Kajian Arsitektur Tradisional sebagai Acuan Desain Rumah Tinggal Kontemporer, Studi Kasus: Arsitektur Vernakular Gayo Lut di Kota Takéngën

BAB II
DESKRIPSI LOKASI STUDI

2.1 Latar Belakang Sejarah Suku Gayo
Provinsi Aceh memiliki populasi ± 4,9 juta penduduk yang terdiri dari suku asli
setempat maupun pendatang. Suku asli yang mendiami provinsi Aceh terdiri dari 10 suku,
yakni suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet, Haloban, Julu, Devayan dan
Sigulai. Suku terbesar di provinsi Aceh adalah suku Aceh (50,32%), sementara suku Gayo
menempati posisi kedua (11,46%) dan diikuti oleh suku-suku lainnya dengan presentasi
yang lebih kecil (Ananta dan Onn, 2007). Peta provinsi Aceh dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Provinsi Aceh
Sumber: Bappeda Aceh Tengah, 2013
Suku Gayo mendiami kawasan pegunungan di tengah-tengah provinsi Aceh yang
dikenal dengan istilah dataran tinggi Gayo. Daerah ini dipisahkan dari daerah utara, timur
13

14

dan barat pesisir Aceh oleh rangkaian gunung Bukit Barisan. Saat ini dataran tinggi Gayo

meliputi 3 kabupaten, yakni kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues.
Ilustrasi daerah Aceh pesisir dan dataran tinggi Gayo dapat dilihat pada Gambar 2.2
dan 2.3.

Gambar 2.2 Daerah Pesisir Aceh
Sumber: Penulis

Gambar 2.3 Daerah Dataran Tinggi Gayo
Sumber: Penulis

Meskipun secara administratif dataran tinggi Gayo termasuk dalam wilayah
provinsi Aceh, suku Gayo memiliki identitas budaya, tradisi serta bahasa yang
sangat berbeda dari suku Aceh. Tidak banyak ditemukan tulisan dan bukti

15

ilmiah mengenai asal-usul suku Gayo dan bagaimana keadaan suku ini sebelum
invasi Belanda. Satu-satunya referensi eksplisit tentang kondisi daerah Gayo
sebelum tahun 1800-an muncul dalam bentuk teks berbahasa melayu yang
berjudul Hikayat Raja-Raja Pasai. Manuskrip ini menceritakan kejadian diabad

keempat belas tentang kehidupan seorang raja di Sumatera yang pertama kali
memeluk Islam bernama Merah Silu dan kemudian lebih dikenal dengan nama
Malikus Saleh.
Sang raja yang berasal dari kerajaan Samudera Pasai di pesisir utara Aceh kemudian
melakukan perjalanan ke daerah hulu sungai Peusangan (Lokasi Takéngën saat ini),
dimana ia menemukan sekelompok penduduk yang menanam padi dan pohon pisang.
Terdapat beberapa versi cerita mengenai keberadaan suku Gayo terkait manuskrip
tersebut. Hill dalam bukunya The Story of Kings of Pasai yang diterbitkan pada tahun
1960 menyatakan:
And those who tell the story say that there was a group (kaum) in the country (nëgëri,
Sëmudra) that did not wish to convert to Islam. So they fled to the headwaters of the
Peusangan, and because of that they have been called Gayo till today.

Hill menerangkan dari cerita yang beredar diketahui bahwa suku Gayo
sebenarnya

terlebih

dahulu


menempati

daerah

pesisir

Aceh

kemudian

berpindah ke daerah dataran tinggi di hulu sungai Peusangan sebagai akibat dari
tekanan masuknya agama Islam yang tidak ingin mereka tterima. Bertolak
belakang dengan hal itu, versi lain menceritakan bahwa manuskrip tersebut
menyebutkan daerah hulu sungai Peusangan sejak awal telah ditempati suku
Gayo bahkan sebelum Pasai berkonversi ke agama Islam (bowen, 1984).

16

Dikalangan masyarakat suku Gayo sendiri terdapat cerita (këkëbërën) yang
berkembang mengenai asal usul nenek moyang mereka. Berbeda dari kedua versi asalusul diatas, cerita ini menerangkan bahwa sejarah sosial suku Gayo berasal dari satu

sumber raja yang dahulu hidup di sebuah kerajaan bernama Lingë (daerah Isak) bernama
Genali. Genali sendiri merupakan keturunan dari raja yang berasal dari kerajaan Rum
(Konstantinopel, Turki). Dikarenakan suatu kondisi yang membuat kedua orangtuanya
malu, saat masih bayi Genali dimasukkan kedalam labu manis berbentuk bundar dan
dihanyutkan di laut hingga akhirnya terdampar di sebuah daratan bernama Lingë. Genali
kemudian mengirim ikan kepada ayahnya di Rum dan sang ayah mendapati ikan tersebut
berisi penuh dengan emas. Raja Rum lalu mengirim kembali seorang puteri kepada Genali
untuk dijadikan istri. Genali dan istrinya kemudian menjadi raja dan ratu Lingë. Anakanak dari raja Lingë inilah yang kemudian berpetualang ke berbagai tempat dan menjadi
raja di daerah tersebut, dimana bahkan raja dari kerajaan Aceh (Sultan Iskandar Muda)
dan Karo (raja Lingga Sibayak) diceritakan sebagai keturunan dari Genali. Anak sang raja
yang menetap di Gayo bernama Meurah Lingga dan menjadi raja turun temurun disana.
Kemudian diceritakan Islam masuk dari daerah pesisir Aceh ke daerah dataran tinggi
Gayo yang penduduknya memang sudah ada sejak awal. Cerita ini seolah didukung oleh
fakta ditemukannya fosil manusia berumur sekitar 3.400 tahun di Ceruk Mendale (salah
satu daerah tepi danau Laut Tawar) oleh tim Balai Arkeologi Medan pada tahun 2012 lalu.
Walau demikian, fosil tersebut hingga saat ini masih dalam tahap penelitian.
Sejak awal tahun 1900-an, setelah hampir sebagian besar wilayah Aceh pesisir
dikuasai Belanda, pemerintahan kolonial Belanda memusatkan serangan ke pedalaman
Aceh termasuk daerah Gayo. Belantara hutan pegunungan Gayo adalah benteng terakhir


17

pertahanan kerajaan kesultanan Aceh. Berbagai strategi Belanda tidak sepenuhnya
berhasil menembus pertahanan ini antara lain karena medan pegunungan yang sulit.
Namun akhirnya pada serangan kedua di bulan Februari 1904 Belanda berhasil memasuki
sepenuhnya tanah Gayo dibawah pimpinan letnan kolonel Van Daalen yang berkekuatan
10 brigade marsose bersama 12 perwira terbaik mereka (Hurgronje, 1903, hal. 95). Dalam
faktor sosial ekonomi, kedatangan Belanda ini merupakan cikal bakal pengenalan
masyarakat Gayo terhadap kopi, pinus, teh dan sayuran yang beberapa diantaranya hingga
saat ini menjadi mata pencaharian utama di dataran tinggi Gayo.
Kedatangan Jepang akhirnya mengusir Belanda dari tanah Gayo pada tahun 1942 dan
menempati daerah ini selama 3,5 tahun. Selama pendudukan Jepang, masyarakat Gayo
dipaksa membangun jalan dan infrastruktur lain demi memudahkan akses dari dan menuju
daerah ini. Keberadaan Jepang juga “memaksa” masyarakat Gayo untuk lebih
meningkatkan kemampuan militer dan keterampilan menenun pakaian. Ketika Jepang
telah angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1945, stasiun Radio Rimba Raya yang
berlokasi di dataran tinggi Gayo (saat ini kabupaten Bënër Mëriah) mengudara dan
membantah pemberitaan radio milik Belanda yang menginformasikan bahwa Indonesia
sudah tidak ada.


2.2 Letak Geografis, Luas dan Wilayah Administratif Kota Takéngën
Kota Takéngën adalah ibukota kabupaten Aceh Tengah sebagai salah satu kabupaten
di provinsi Aceh. Secara geografis kabupaten Aceh Tengah terletak pada
4o10’33”-5o57’50” Lintang Utara dan 95o15’40”-97o20’25” Bujur Timur, dengan luas
wilayah 4.318,39 km2. Kabupaten Aceh Tengah memiliki batasan sebagai berikut:

18

Utara:

Kabupaten Bener Meriah

Timur:

Kabupaten Aceh Timur

Selatan: Kabupaten Gayo Lues
Barat:

Kabupaten Nagan Raya dan kabupaten Pidie


Kabupaten Aceh Tengah terdiri dari 14 (empat belas) kecamatan, yakni kecamatan
Linge, Atu Lintang, Jagong Jeget, Bintang, Lut Tawar, Kebayakan, Pegasing, Bies,
Bebesen, Kute Panang, Silih Nara, Ketol, Celala dan Rusip Antara (Katalog BPS Kab.
Aceh Tengah, 2013). Sedangkan wilayah kota Takéngën sebagai ibukota kabupaten secara
administratif terbentuk dari 3 (tiga) kecamatan yakni, kecamatan Kebayakan, Lut Tawar
dan Bebesen.
Kota Takéngën adalah Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) kabupaten Aceh Tengah yang
dibentuk untuk melayani provinsi Aceh bagian tengah. Takéngën yang juga merupakan
sentra perkumpulan masyarakat Gayo ini terletak di sisi barat Danau Lut Tawar dan berada
di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Takéngën dijuluki ‘negeri di atas awan’
dikarenakan pemandangan rutin pagi hari kota ini yang mengekspos embun turun
menyelimuti kota dan membuatnya seolah-olah berada diatas awan. Kawasan perkotaan
Takéngën berada antara 4o66’64”LU-4o60’74”LU dan 96o84’14”BT-96o84’50”BT
dengan luas 2973 ha (IKP Wilayah Tengah Aceh, 2012, Hal. 3). Kota Takéngën memiliki
batasan wilayah sebagai berikut:
Utara:

Kecamatan Kute Panang dan kabupaten Bener Meriah


Timur:

Kecamatan Bintang

Selatan: Kecamatan Jagong Jeget dan Linge
Barat:

Kecamatan Silih Nara, Celala dan Pegasing.

19

2.3 Populasi
Penduduk kota Takéngën tersebar dalam tiga kecamatan dengan populasi terbesar
berada di kecamatan Bebesen dan terkecil di kecamatan Kebayakan. Rincian jumlah
penduduk kota Takéngën dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Populasi Kota Takéngën Berdasarkan Kecamatan

No.

Kecamatan


Laki-Laki

Perempuan

Jumlah

9.445
7.389
18.233

18.858
14.742
36.060
69.660

1.
2.
3.


Lut Tawar
9.413
Kebayakan
7.353
Bebesen
17.827
Jumlah total
Sumber: Aceh Tengah Dalam Angka, 2013

Sedangkan persebaran dan kepadatan penduduk di kota Takéngën dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Persebaran dan Kepadatan Penduduk Kota Takéngën Berdasarkan Kecamatan

No.

Kecamatan

Luas
(km2)


Jumlah
Penduduk

1. Lut Tawar
99,56
18.858
2. Kebayakan
56,34
14.724
3. Bebesen
47,19
36.060
Sumber: Aceh Tengah Dalam Angka, 2013

Kepadatan
Penduduk

Persebaran
Penduduk

189
262
764

10,23
8,00
19,57

2.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi
Penduduk asli kota Takéngën adalah suku Gayo khususnya Gayo Lut, yang dalam
istilah lokal disebut urang Gayo. Seperti kebanyakan suku lainnya di Indonesia, urang

20

Gayo cenderung memiliki ikatan persaudaraan yang kuat serta sangat bangga akan hal

tersebut.
Dari segi ekonomi, dataran tinggi Gayo sangat bergantung pada pertanian dan
perkebunan. Selain sayur-sayuran, tebu dan kakao, kopi adalah komoditas utama dari
daerah ini yang dikenal sangat baik kualitasnya. Kopi arabika Gayo adalah salah satu
komoditas pasar dunia karena tipikal citarasanya yang bernilai tinggi serta telah
memperoleh sertifikasi Indikasi Geografis (IG) sebagai bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI). Menteri pertanian telah melepas varietas kopi dataran tinggi Gayo
dengan nama Gayo 1 dan Gayo 2. Masyarakat Aceh Tengah mendapat keahlian menanam
kopi dari pemerintah kolonial belanda yang datang sekitar tahun 1904. Hingga saat ini di
Kabupaten Aceh Tengah kopi ditanam secara tradisional tanpa pupuk dan menghasilkan
produk kopi ramah lingkungan yang secara luas dikenal dengan istilah green bean.
Dalam bidang seni, urang Gayo sangat mengapresiasi syair dan cerita. Cerita-cerita
masa lampau serta syair-syair tentang alam, sejarah Gayo dan agama Islam digubah
dengan indah dalam bahasa lokal untuk kemudian diturunkan pada anak dan cucu sebagai
salah satu cara pelestarian budaya dalam bentuk nyanyian ataupun cerita langsung.
Dari segi pendidikan, urang Gayo cenderung memiliki kemampuan yang sangat baik
dalam beradaptasi dengan kehidupan modern. Akan sangat sulit menemukan urang Gayo
yang tidak mampu berbahasa Indonesia bahkan penduduk yang sudah sangat tua
sekalipun. Mereka menganggap pendidikan sangat penting seperti juga pentingnya
menguasai bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan umum dan ilmu keagamaan. Dalam
sistem daur hidup urang Gayo tradisional ketika sekolah umum belum ada, terdapat satu

21

fase penting dimana setiap anak dalam sebuah keluarga diserahkan kepada guru atau
ustadz untuk tinggal dan belajar di pesantren atau mërsah. Para orang tua akan melakukan
serah terima anak mereka untuk dididik kepada ustadz dengan membawa beras, buah atau
apapun yang mereka miliki untuk diberikan seikhlas dan semampunya sebagai imbalan,
tanda penghormatan sekaligus tanda terima kasih bagi sang guru karena pada saat itu
pendidikan tidak dipungut biaya.
Pemahaman dan semangat memperoleh pendidikan tersebut masih tercermin dalam
perilaku urang Gayo saat ini. Meskipun secara geografis letak dan alat transportasi daerah
dataran tinggi Gayo cukup terisolasi, para orangtua di kota Takéngën tidak keberatan
melepaskan anak-anak mereka untuk pergi menuntut ilmu keluar daerah demi tercapainya
pendidikan yang memadai.

2.5 Iklim
Kabupaten Aceh Tengah termasuk kota Takéngën beriklim tropis. Daerah ini
berhawa sejuk dengan suhu rata-rata sekitar 20o C. Bulan April dan Mei merupakan bulan
terpanas dengan suhu mencapai 26,6o C, dan bulan September adalah bulan dengan suhu
rata-rata 19o C.
Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Januari sampai dengan bulan Juli, dan
musim hujan berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Desember. Curah hujan
berkisar antara 1.082 sampai dengan 2.409 mm per tahun dengan jumlah hari hujan antara
113 sampai dengan 160 hari per tahun. Tingkat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

22

November yang mencapai 316,5 mm serta terendah umumnya terjadi pada bulan Juli
mencapai 6,2 mm.
Rata-rata kelembapan udara di Kabupaten Aceh Tengah adalah 80% dimana
kelembapan udara terbasah adalah 86% dan terkering 74%. Kecepatan angin dapat
berkisar antara 0,95 m/det sampai 2,53 m/det yang bertiup dari arah barat laut.