Deteksi Ilusi Fiskal Kabupaten Kota di Provinsi Sumareta Utara (Pengujian Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Dalam Merespon Dana Perimbangan)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fenomena Ilusi Fiskal
Teori ilusi fiskal pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom Italia
yang bernama Amilcare Puviani. Amilcare Puviani menggambarkan ilusi fiskal
terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam institusi
menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan yang mampu merubah perilaku
keuangan.Mueller (1989) sebagaimana dikutip oleh Dollery dan Worthington
(1999) memberikan pengertian definisi ilusi fiskal kontemporer sebagai berikut :
To bring about an increase in government size, for which citizens are not
willing to pay voluntary, the legislative – executive entites must increase
citizens tax burdens in such a way that citizens are unaware that they are
paying more taxes ..... if tax burdens can be disguished in this way,
citizens have the illusion that the government is smaller than it actually is
and government can grow beyond the levels citizens prefer.
Defenisi ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan melakukan rekayasa
terhadap laporan keuangan sedemikian rupa, sehingga mampu mengarahkan pihak
lain pada persepsi/ penilaian maupun pada tindakan/perilaku tertentu. Ilusi fiskal
dapat dideteksi baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Apabila
terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran,
maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal. Berkaitan dengan hal itu Dollery dan
Worthington (1996) memberikan pengertian lebih mendasar tentang ilusi fiskal
sebagai berikut:
7
Universitas Sumatera Utara
The concept of fiscal revolves around the proposition that the true cost and
benefit of government may be consistenly misconstrued by the citizenry of
a given fiscal juridictions. ........ The empirical analysis of fiscal illusion
has been directed almost exclusively at revenue side of fiscal equation
with corresponding neglect benefit of public sector activity.
Pendapat yang disampaikan kedua peneliti ini menegaskan bahwa
berbagai penerimaan harus memberikan benefit adanya peningkatan aktivitas
layanan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah
itu sendiri. Bila realitas yang terjadi justru berlawanan maka dapat diindikasikan
terjadi ilusi fiskal.
Menurut Hewitt (1989) dalam Kuncoro (2007) Ilusi fiskal ini
karena asimetris informasi
terjadi
Pemerintah pusat tidak memahami sepenuhnya
kapasitas fiskal daerah dan situasi seperti ini justru dimanfaatkan daerah untuk
meningkatkan kebutuhan fiskalnya (meningkatkan belanja) dalam rangka untuk
memperoleh dana transfer yang besar (khususnya DAU).
Menurut khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat
dikelompokkan
menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu
model
birokratik
(bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik
menelaah flypaper effect dari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model
ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang
mengalami
keterbatasan
informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya
(Kuncoro, 2007).
Oates dalam Kuncoro(2007) menyatakan fenomena flypaper effect
dapat dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya
rata-rata penyediaan barang publik (bukan biaya marginalnya). Namun,
8
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya
rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang
publik
akan
menurun. Bila permintaan barang publik
transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi
tidak elastis, maka
masyarakat. Ini berarti flypaper
effectmerupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah
daerah.
Fillimon, Romer, dan Rosenthal (1982) mengembangkan hipotesis ilusi
fiskal dalam konteks ketidaktahuan masyarakat akan jumlah transfer yang
diterima.Dalam kasus ini, pemerintah daerah menyembunyikan jumlah transfer
yang diterima dari pusat dan kemudian membelanjakannya pada level puncak.
Akibatnya,
masyarakat
memandang
telah
terjadi
kenaikan
pengeluaran
pemerintah daerah dengan kenaikan yang lebih tinggi daripada kenaikan kuantitas
yang diminta sebagai cerminan dari kenaikan pendapatannya.
2.1.1. Deteksi Ilusi Fiskal
Deteksi terhadap ilusi fiskal dapat dilakukan melalui berbagai cara,
dua diantaranya
adalah
melalui
pengukuran
pendapatan
(revenue
enhancement) (Bergstrom dan Goodman, (1973) Dollery dan Worthington,
(1999) dan melalui manipulasi belanja (expenditure manipulation). Pengukuran
dengan menggunakan pengukuran pendapatan mengasumsikan bahwa komponen
penerimaan mempunyai hubungan positif dengan belanja.penelitian ini hanya
memfokuskan pada pengukuran
ilusi fiskal
dengan Pengukuran Pendapatan
(Revenue Enchancement)
9
Universitas Sumatera Utara
Menurut Adi (2009) Belanja daerah pada dasarnya merupakan fungsi
dari penerimaan daerah. Belanja merupakan variabel terikat yang besarannya
akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah, baik yang
berasal
dari
penerimaan
sendiri maupun dari transfer pemerintah pusat.
Sehingga dalam pengukurannya jika terdapat hubungan negatif antara variabelvariabel pendapatan dengan variabel belanja, maka terdapat ilusi fiskal.
Sedangkan pengukuran dengan manipulasi belanja, deteksi terjadinya ilusi
fiskal dilakukan dengan melihat peran/kontribusi masing-masing komponen
penerimaan terhadap peningkatan anggaran. Komponen belanja dimanipulasi
(dihilangkan), sehingga diasumsikan sama (ceteris paribus) dengan besarnya
penerimaan daerah itu sendiri. Semakin besar penerimaan daerah maka
besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya juga menjadi semakin besar.
Maimunah (2006) dalam Ekaristi (2008) Secara umum (menurut APBD),
penerimaan daerah
bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Perimbangan. Tujuan dari pemberian dana perimbangan yang berupa Dana
Alokasi Umum adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah
dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri.
Dengan peningkatan standar pelayanan publik, diharapkan PAD juga mengalami
peningkatan. DAU yang besar diharapkan dapat memaksimalkan kinerja
pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD baik yang berupa pajak maupun
retribusi.
10
Universitas Sumatera Utara
Dollery dan Worthington (1996) dalam Ekaristi (2008) mengindikasikan
adanya keuntungan yang didapat pemerintah daerah dengan melakukan
ilusi
fiskal melalui peningkatan belanja dan penurunan pendapatan pajak. Oleh karena
itu, pemerintah daerah akan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat yang
lebih besar. Pengukuran peningkatan belanja dilakukan dengan membandingkan
antara anggaran dan realisasi anggaran DAU, untuk melihat kesesuaian alokasi
DAU dengan kebutuhan daerah. Untuk melihat adanya indikasi ilusi fiskal dalam
anggaran belanja dan untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya
ilusi fiskal, dapat dilakukan dengan menganalisis pertumbuhan realisasi belanja
daerah dibandingkan dengan realisasi PAD. Pemerintah pusat dapat mengetahui
seberapa efektif dana bantuan yang diberikan untuk meningkatkan PAD, bila
dibandingkan dengan belanja daerah. Penelitian terkait oleh Holtz-Eakin (1985)
dalam Ekaristi (2008) menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara
transfer pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Berbagai kebijakan
pemerintah daerah dalam jangka pendek lebih
ditentukan oleh transfer yang
diterima oleh pemerintah pusat. Idealnya semua komponen penerimaan daerah
mempunyai korelasi yang positif terhadap besarnya belanja daerah. Peningkatan
belanja daerah diharapkan memprioritaskan aspek pelayanan publik, sehingga
terjadi peningkatan kesejahteraan (peningkatan pertumbuhan ekonomi) dan pada
gilirannya
terjadi
peningkatan
kontribusi
pajak
maupun
retribusi
dari
masyarakat.Gemmel dkk (1998) dalam Elaristi (2008) menunjukkan naiknya
anggaran belanja daerah sebagai upaya untuk mendapatkan jumlah transfer yang
besar.
11
Universitas Sumatera Utara
Diamond (1989) dan Ashworth (1995) dalam Ekaristi (1998) menemukan
terjadinya ilusi fiskal melalui adanya hubungan yang negatif antara pengeluaran
pemerintah dengan pajak tidak langsung dan rasio pengeluaran yang digunakan
untuk belanja.
2.2.
Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Dana Perimbangan
Menurut Ekaristi (2007) menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris
terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai
kemampuan
dan
potensi
daerah
yang
dimiliki
untukmemaksimalkan
pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan celah
kesempatan yang ada dengan dengan tidak memaksimalkan PAD agar pemerintah
pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dalam jumlah yang besar.
Hal inilah yang dikemudian hari berdampak pada menurunnya kemandirian
daerah.
Menurut Ndadari dan Adi, (2008) Pemerintah daerah memperlihatkan
adanya perilaku asimetris dengan cara memanipulasi pengeluaran pemerintah
setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan memaksimalkan PAD agar
nantinya dapat memperoleh bantuan berupa transfer daripemerintah pusat.
Timbulnya perilaku asimetris pada umumnya dikarenakan pemerintah pusat tidak
memiliki informasi yang cukup, mengenai kemampuan dan potensi daerah yang
dimiliki untuk memaksimalkanpendapatannya dan juga, pemerintah daerah
menginginkan agar besarnya DAU dan DBH yang diterima tetap, atau dapat terus
bertambahdari satu periode keperiode selanjutnya. Hal ini mendorong pemerintah
daerah untuk menggunakan celah kesempatan yang ada dengan tidak
12
Universitas Sumatera Utara
memaksimalkan PAD, agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan
berupa DAU dan DBH dalam jumlah yang besar. Perilaku asimetris dapat dilihat
saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupa DAU yang lebih kecil dari
periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun.
Ndadari dan Adi, (2008) menegaskan, Penurunan belanja yang ada tidak
sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebih rendah
dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan
DAU yang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak
disertai dengan peningkatan PAD yang signifikan.Sedangkan Gramlich (1977)
menyatakan bahwa dalam kasus keuangan daerah ada respon yang tidak simetris
terhadap perubahan besarnya transfer. Argumentasi ini didasarkan pada pemikiran
bahwa transfer diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu. Selama periode
tersebut, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer
cenderung meningkat. Setelah transfer dikurangi, pihak-pihak tersebut mulai lobi
untuk mempertahankan keuntungannya melalui kenaikan pajak lokal.
Transfer yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan perekonomian. Transfer dapat
meningkatkan belanja dearah yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian.
Menurut Holtz-Eakin et al (1994) dalam Harianto dan Adi (2007)
menyatakan adanya keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah
pusat dengan belanja modal.Respon tiap-tiap pemerintah daerah terhadap dana
transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat berbeda-beda. Tidak semua
13
Universitas Sumatera Utara
daerah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya
adalah
terjadi
perilaku
yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana
transfer yang diberikan.
Maimunah (2006) juga membuktikan bahwa besarnya nilai DAU
berpengaruh secara positif terhadap belanja daerah. Selain itu penelitian yang
dilakukan Adi (2006) membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah
memberikan dampak yang positif terhadap PAD. Hal ini membuktikan bahwa
PAD dan transfer pemerintah dalam bentuk DAU dan DBH memiliki peran yang
penting di dalam perekonomian suatu daerah.
Dalam APBD belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja
pembangunan. Belanja rutin merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja
operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan belanja
pembangunan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas pelayanan publik
berupa pembangunan sarana dan prasarana publik. Namun yang terjadi saat ini
adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai instrumen horizontal
imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi
pemerintah daerah DAU dijadikan sebagai sarana untuk mendukung kecukupan
(sufficiency). Dengan demikian dapat diartikan pemerintah daerah akan
mengupayakan agar pemerintah pusat tetap memberikan DAU sehingga belanja
daerah tercukupi.
14
Universitas Sumatera Utara
Menurut Levaggi (1991), dalam Kuncoro (2006) hubungan antara
pemerintah daerah digambarkan sebagaimana layaknya prinsipal dengan agen.
Pemerintah pusat (prinsipal) akan memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah (agen) untuk menyelenggarakan penyediaan barang dan jasa publik di
daerahnya.
Permasalahan mulai timbul saat ada asimetri informasi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan berakibat pemerintah pusat tidak memiliki kontrol
terhadap penggunaan transfer. Namun hal inilah yang justru menjadi tujuan dari
bantuan tak bersyarat, yaitu pemerintah daerah mampu menentukan sendiri
penggunaan
transfer
yang
paling
efisien
sesuai
dengan
kebutuhan
daerahnya.Perilaku asimetris juga dapat dilihat saat pemerintah daerah
mendapatkan transfer berupaDAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka
belanja pemerintah akan turun. Penurunanbelanja yang ada tidak sebanding
dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebihrendah dibanding dengan
penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAUyang lebih
tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai
denganpeningkatan PAD yang signifikan.
Kuncoro (2007) menjelaskan bahwa saat masyarakat (pemerintah daerah)
menerima transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan
peningkatan konsumsi barang publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer
meningkatkan konsumsi akan barang publik namun tidak menjadi substitut
pajak daerah. Kondisi
inilah yang dalam berbagai
literatur disebut dengan
flypaper effect.
15
Universitas Sumatera Utara
Dougan dan Kenyon (1988) menyebutkan flypaper effect merupakan
suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan (transfer) akan
meningkatkan
belanja
pertambahan pendapatan
dikatakan
bahwa
publik
yang
yang
lebih
diperoleh
besar
dibandingkan
dari masyarakat.
Dapat
dengan
juga
flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat
digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah
tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.
Dadan (2006) juga menuturkan bahwa masalah timbul karena belum
maksimalnya pengalokasian DAU karena dasar perhitungan fiscal needs yang
tidak
memadai.
Ditambah
lagi
pengeluaran
anggaran
(APBD)
belum
mencerminkan belanja yang sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.
Seharusnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja daerah, pemerintah perlu
untuk mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang dimilikinya.
Salah satu cara yaitu dengan menggali dari sumber penerimaan pajak atau dari
potensi SDA.
Davey (1988) menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya
merupakan sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak
terlalu boros dalam pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya.
Transfer dana dari pusat justru akan mudah mengundang munculnya intervensi
pusat kepada daerah yang akhirnya justru menimbulkan ketergantungan suatu
daerah kepada pemerintah pusat.
16
Universitas Sumatera Utara
2.3
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha
pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang
bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah,
dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah
diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian
pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu
sendiri.Menurut pasal 6 Undang-undang No.32 tahun 2004 pendapatan asli
daerah berasal dari:
1. Hasil pajak daerah.
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekeyaan daerah.
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana yang di amanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah harus melakukan maksimalisasi
pendapatan asli daerah. Maksimalisasi PAD dalam pengertian bahwa keleluasaan
yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun
untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru.
17
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Pajak Daerah (TAX)
Pajak merupakan iuran yang dapat di paksakan kepada wajib pajak oleh
pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat di tunjuk. Pada pokoknya
pajak memeiliki dua peranan utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara
(fungsi budget)
dan
sebagai alat untuk mengukur (fungsi regulator)
(Miyasto,2009). Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 tentang pajak
daerah yang selanjutnya di sebut pajak, adalah iuran wajib yang di lakukan
oleh pribadi atau badan
kepada daerah
tanpa
imbalan
langsung
yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang- undangan
yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah.
Dari batasan atau definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
pajak adalah:
a. Iuran masyarakat kepada Negara
b. Berdasarkan undang-undang
c. Tanpa balas jasa secara langsun
d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah
2.4.1. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan paksa yang dilakukan pemerintah daerah
terhadap wajib retribusi dengan kontra prestasi langsung yang diberikan
pemerintah daerah kepada wajib retribusi (Miyasto, 2009). Peraturan pemerintah
No. 66 tahun 2002 tentang retribusi daerah pasal satu menyebutkan bahwa
retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin
18
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip
komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 retribusi daerah yang selanjutnya
disebut retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri-ciri mendasar dari retribusi daerah adalah:
a. Retribusi dipungut oleh daerah
b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang
langsung dapat di tunjuk.
c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan barang atau
jasa yang disediakan oleh daerah
2.4.2. Bagian Laba Perusahaan Daerah
Sumber pendapatan asli daerah yang ketiga yaitu adalah laba dari
perusahaan daerah. Karena berbentuk perusahaan maka prinsip pengelolaannya
berdasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan. Dengan demikian perusahaan
harus mencari keuntungan dan selanjutnya sebagian dari keuntungan tersebut
diserahkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen
yang diharapkan dalam memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi
sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada keuntungan, akan
tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum,
atau dengan perkataan lain perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang
harus terjamin keseimbangannya yaitu fungsi ekonomi.
19
Universitas Sumatera Utara
Fungsi pokok dari perusahaan daerah adalah:
a. Sebagai dinamisator perekonomian daerah, yang berarti perusahaan daerah
harus mampu memberikan rangsangan bagi berkembangnya perekonomian
daerah.
b. Sebagai penghasil pendapatan daerah yang berarti harus mampu
memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat
diserahkan ke kas daerah.
2.4.3. Pendapatan Lain-lain yang disahkan
Penerimaan lain-lain, di lain pihak adalah penerimaan pemerintah daerah
di luar penerimaan-penerimaan dinas, pajak, retribusi dan bagian laba perusahaan
daerah. Penerimaan ini antara lain berasal dari sewa rumah dinas milik daerah,
hasil penjualan barang-barang (bekas) milik daerah, penerimaan sewa kios milik
daerah dan penerimaan uang langganan majalah daerah. Fungsi utama dari dinasdinas daerah adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa
terlalu memperhitungkan untung dan ruginya, tetapi dalam batas-batas tertentu
dapat didayagunakan untuk bertindak sebagai organisasi ekonomi yang
memberikan pelayanan dengan imbalan jasa.
Penerimaan lain-lain membuka
kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menghasilkan baik yang berupa materi dalam hal
kegiatan bersifat bisnis,
maupun non materi dalam hal kegiatan tersebut untuk menyediakan,melapangkan
atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah dalam suatu bidang
tertentu.
20
Universitas Sumatera Utara
2.5
Belanja Daerah
Pendapatan daerah
yang diperoleh baik dari pendapatan
asli daerah
maupun dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih
bersangkutan. Berdasarkan
dalam
periode
tahun
anggaran
yang
struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang
termasuk dalam belanja daerah terdiri dari:
1. Belanja aparatur daerah
Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan,
serta
belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk
membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara
langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
2. Belanja pelayanan publik
Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi
dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan
atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan
dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
3. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan pengeluaran uang
dengan kriteria:
a. Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti
layak terjadi dalam transaksi pembelian dan penjualan.
21
Universitas Sumatera Utara
b. Tidak mengharap dibayar kembali pada masa yang akan datang,
seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
c. Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layak
yang diharapkan pada kegiatan investasi.
4.Belanja tidak tersangka. Pengeluaran yang disediakan untuk :
a. Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat
membahayakan daerah.
b. Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau
yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
c. Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang
dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Belanja
daerah
dipergunakan
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi ataukabupaten/kota yang terdiri
dari urusan wajib dan
pilihan
yang
ditetapkan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan. Belanja daerah berdasarkan pada Permendagri No.13
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah dikelompokkan ke dalam
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung,
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan, yaitu belanja pegawai, belanja bunga,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Kelompok
belanja
merupakan
langsung
belanja
yang
dianggarkan
terkait secara
langsung
dengan
22
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan program dan kegiatan yaitu belanja pegawai, belanja barang dan
jasa, dan belanja modal.
2.6
HCT (Herfindahl Concentration Taxes)
Herfindahl Concentration Taxes
(HCT) terdiri dari beberapa kategori
pajak yang bervariasi seperti: pajak sektor personal, pajak perusahaan, peneriman
pajak bukan dari penduduk dan beberapa pajak dengan kriteria khusus. Dalam
penelitian ini variabel HCT diproksi dengan rasio antara retribusi daerah dengan
total penerimaan retribusi provinsi. Penggunaan retribusi dalam proksi HCT
mengingat retribusi daerah merupakan komponen terbesar PAD, selain pajak
daerah. Retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan sehubungan dengan
suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah provinsi secara
langsung dan nyata kepada pembayar. Satuan hitung HCT untuk penelitian ini
dinyatakan dalam satuan persen.
2.7.
Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan untuk masingmasing daerah terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).Pemberian dana transfer ini bertujuan untuk
mengatasi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(disparitas vertikal), dan kesenjangan fiskal antar Pemerintah Daerah (disparitas
horizontal). Daerah diharapkan mampu mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya tersebut sehingga terjadi pengingkatan kapasitas fiskal, serta mampu
23
Universitas Sumatera Utara
mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat sehingga menjadi lebih
mandiri (Rusydi,2010)
2.8.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu
dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004,
besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam
negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah Propinsi dan untuk
daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari
DAU.Pengalokasian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal rendah. Dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi akan
mendapatkan alokasi DAU yang relatif lebih rendah agar dapat mengurangi
disparitas fiskal antar daerah dalam era otonomi.
Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut:
1. Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan
dalam negeri yang ditetapkan APBN.
2. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
ditetapkan masing-masing 10% dan 90 % dari dana alokasi umum yang
ditetapkan diatas. Dari dana alokasi umum untuk suatu daerah
kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana
alokasi umum untuk daerah kabupaten/kota yang ditetapkan APBN
24
Universitas Sumatera Utara
dengan porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Porsi daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot
daerah kabupaten/kota diseluruh Indonesia.
2.9.
Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentrslisasi. DBH dilakukan
berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarakan
realisasi peneriamaan DBH dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, teridiri
dari pajak, yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB), biaya perolehan hak atas tanah
dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh); sumber daya alam berasal dari
kehutanan yaitu iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provinsi sumber
daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR); pertambangan umum berasal dari
iuran tetap (Landrent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (Royalty); perikanan
berasal dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan;
pertambangan minyak bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk 36 pemerintah
pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah; pertambangan gas bumi dibagi dengan
imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah;
pertambangan panas bumi untuk daerah sebesar 80% dan dibagi dengan rincian
16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan
32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
(UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).
25
Universitas Sumatera Utara
2.10.
Penelitian Terdahulu
1. Citra Varika (2014) yang berjudul “Deteksi Ilusi Fiskal Pada Kinerja
Keuangan Daerah Kabupaten /Kota Provinsi lampung” Penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi adanya ilusi fiskal pada kinerja keuangan
daerah di 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 20072012. Ilusi fiskal menggunakan dua metode, yaitu metode pengukuran
pendapatan dan metode manipulasi belanja.Hasil penelitian menujukan
bahwa
terdeteksi
ilusi
fiskal
pada
kinerja
keuangan
daerah
Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 2007-2012 dengan
menggunakan dua metode analisis.Metode pengukuran pendapatan
mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya pengaruh negatif terhadap variabel
yaitu rasio kemampuan pdrb untuk memenuhi pengeluaran, dan rasio dari
pendapatan
yang digunakan untuk belanja terhadap pengeluaran
daerah.metode manipulasi belanja mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya
pengaruh positif variabel rasio pendapatan nasionalyang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap anggaran pendapatan
asli daerah.
2. Priyo Hari Adi (2009) yang berjudul “Fenomena ilusi fiskal dalam kinerja
anggaran pemerintah daerah” tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
adanya fenomena ilusi fiskal dalam APBD dan kota se-Jawa Tengah.Hasil
penelitian ini membuktikan adanya ilusi fiskal dalam APBD kabupaten
dan kota se-Jawa Tengah. Jadi untuk menentukan seberapa besar Dana
26
Universitas Sumatera Utara
Alokasi Umum (DAU), pemerintah pusat perlu memperhatikan informasi
mengenai faktor- faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan dan belanja
pemerintah daerah.
3. Dewi Purwanti Dude (2014) yang berjudul “analisis kinerja keuangan dan
fisikal illusion pada pemerintah provinsi Sulawesi Utara Tahun 20032012” penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan
daerah Provinsi Sulawesi Utara serta mendeteksi ilusi fiskal. Adapun
untuk alat analisis Kinerja keuangan menggunakan Analisis rasio
kemandirian keuangan daerah,rasio efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas
dan rasio pertumbuhan.analisis rasio kemandirian keuangan daerah,rasio
efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan. Metode
deteksi ilusi fiskal menggunakan pendekatan pendapatan (revenue
enchanchement).Hasil Penelitian menunjukkan dari hasil analisis rasio
disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah
dan tingkat kemandirian keuangan daerah Provinsi Sulawesi Utara yang
terus membaik.
4. Jothi Sivagnanam K. and Naganathan M. (1999) yang berjudul ”Federal
Transfers and the Tax efforts of the States in India” Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk melihat dampak dari dana transfer pemerintah pusat
terhadap upaya peningkatan pajak di India. Metode yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah Rasio laba pendapatan (Revenue income Ratio)
digunakan sebagai proxy untuk mengetahui upaya pajak . Hal ini
dijelaskan
dengan
menggunakan
transfer
pemerintah
yaitu
27
Universitas Sumatera Utara
pendapatantransfer keuangan percapita (Finance Commission transfers),
rencana hibah perkapita
terencan
(percapita plan grants), hibah perkapita tak
(per capita non-plan grants) dan perkapita produkdomestic
negara (percapita State domestic product). Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa upaya peningkatan pajak
tidak meningkat secara
siknifikan.
5. Dollery, Brian dan Worthington, Andrew (1999) yang berjudul ”Fiscal
Illusion at the Local Level: An Empirical Test Using Australian Municipal
Data”Penelitian ini bertujuan untuk memperluas literatur tentang
analisisempirisilusifiskal dalam dua cara.Pertama,
simultan empat tahap dengan hipotesis
menyediakan tes
ilusi fiskal, yaitu pendapatan
kompleksitas, ilusi hutang dan model flypaper.Kedua, menggunakan data
tahun 1991 dari 46 pemerintah daerahyangberwenang di Tasmania. Hasil
dari penelitian ini menunjukan bahwa format tes yang tepat adalah
ekonometri, dan bahwa dukungan yang signifikan bagi pendapatan
kompleksitas, terdapat ilusi fiskal
hutang pemerintah dan
adanya
ketidaktransparan dari sistem penerimaan di tingkat daerah.
28
Universitas Sumatera Utara
2.11.
Kerangka Konseptual
Adapun kerangka teoritis yang dapat penulis paparkan mengenai deteksi
ilusi Fiskal pada keuangan provinsi Sumatera yaitu dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini.
TAXit
HCTit
BDit
DAUit
DBHit
Gambar 2.1
Skema Kerangka Konseptual Deteksi Ilusi Fiskal
pada Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara
2.12.
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh yang negatif TAX terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
2. Terdapat pengaruh yang negatif HCT terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
3. Terdapat pengaruh yang negatif DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
4. Terdapat fenomena ilusi fiskal dalam keuangan Kabupaten/Kota di
provinsi Sumatera Utara.
29
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fenomena Ilusi Fiskal
Teori ilusi fiskal pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom Italia
yang bernama Amilcare Puviani. Amilcare Puviani menggambarkan ilusi fiskal
terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam institusi
menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan yang mampu merubah perilaku
keuangan.Mueller (1989) sebagaimana dikutip oleh Dollery dan Worthington
(1999) memberikan pengertian definisi ilusi fiskal kontemporer sebagai berikut :
To bring about an increase in government size, for which citizens are not
willing to pay voluntary, the legislative – executive entites must increase
citizens tax burdens in such a way that citizens are unaware that they are
paying more taxes ..... if tax burdens can be disguished in this way,
citizens have the illusion that the government is smaller than it actually is
and government can grow beyond the levels citizens prefer.
Defenisi ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan melakukan rekayasa
terhadap laporan keuangan sedemikian rupa, sehingga mampu mengarahkan pihak
lain pada persepsi/ penilaian maupun pada tindakan/perilaku tertentu. Ilusi fiskal
dapat dideteksi baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Apabila
terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran,
maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal. Berkaitan dengan hal itu Dollery dan
Worthington (1996) memberikan pengertian lebih mendasar tentang ilusi fiskal
sebagai berikut:
7
Universitas Sumatera Utara
The concept of fiscal revolves around the proposition that the true cost and
benefit of government may be consistenly misconstrued by the citizenry of
a given fiscal juridictions. ........ The empirical analysis of fiscal illusion
has been directed almost exclusively at revenue side of fiscal equation
with corresponding neglect benefit of public sector activity.
Pendapat yang disampaikan kedua peneliti ini menegaskan bahwa
berbagai penerimaan harus memberikan benefit adanya peningkatan aktivitas
layanan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah
itu sendiri. Bila realitas yang terjadi justru berlawanan maka dapat diindikasikan
terjadi ilusi fiskal.
Menurut Hewitt (1989) dalam Kuncoro (2007) Ilusi fiskal ini
karena asimetris informasi
terjadi
Pemerintah pusat tidak memahami sepenuhnya
kapasitas fiskal daerah dan situasi seperti ini justru dimanfaatkan daerah untuk
meningkatkan kebutuhan fiskalnya (meningkatkan belanja) dalam rangka untuk
memperoleh dana transfer yang besar (khususnya DAU).
Menurut khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat
dikelompokkan
menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu
model
birokratik
(bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik
menelaah flypaper effect dari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model
ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang
mengalami
keterbatasan
informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya
(Kuncoro, 2007).
Oates dalam Kuncoro(2007) menyatakan fenomena flypaper effect
dapat dijelaskan dengan ilusi fiskal. Bagi Oates, transfer akan menurunkan biaya
rata-rata penyediaan barang publik (bukan biaya marginalnya). Namun,
8
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya
rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang
publik
akan
menurun. Bila permintaan barang publik
transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi
tidak elastis, maka
masyarakat. Ini berarti flypaper
effectmerupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah
daerah.
Fillimon, Romer, dan Rosenthal (1982) mengembangkan hipotesis ilusi
fiskal dalam konteks ketidaktahuan masyarakat akan jumlah transfer yang
diterima.Dalam kasus ini, pemerintah daerah menyembunyikan jumlah transfer
yang diterima dari pusat dan kemudian membelanjakannya pada level puncak.
Akibatnya,
masyarakat
memandang
telah
terjadi
kenaikan
pengeluaran
pemerintah daerah dengan kenaikan yang lebih tinggi daripada kenaikan kuantitas
yang diminta sebagai cerminan dari kenaikan pendapatannya.
2.1.1. Deteksi Ilusi Fiskal
Deteksi terhadap ilusi fiskal dapat dilakukan melalui berbagai cara,
dua diantaranya
adalah
melalui
pengukuran
pendapatan
(revenue
enhancement) (Bergstrom dan Goodman, (1973) Dollery dan Worthington,
(1999) dan melalui manipulasi belanja (expenditure manipulation). Pengukuran
dengan menggunakan pengukuran pendapatan mengasumsikan bahwa komponen
penerimaan mempunyai hubungan positif dengan belanja.penelitian ini hanya
memfokuskan pada pengukuran
ilusi fiskal
dengan Pengukuran Pendapatan
(Revenue Enchancement)
9
Universitas Sumatera Utara
Menurut Adi (2009) Belanja daerah pada dasarnya merupakan fungsi
dari penerimaan daerah. Belanja merupakan variabel terikat yang besarannya
akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah, baik yang
berasal
dari
penerimaan
sendiri maupun dari transfer pemerintah pusat.
Sehingga dalam pengukurannya jika terdapat hubungan negatif antara variabelvariabel pendapatan dengan variabel belanja, maka terdapat ilusi fiskal.
Sedangkan pengukuran dengan manipulasi belanja, deteksi terjadinya ilusi
fiskal dilakukan dengan melihat peran/kontribusi masing-masing komponen
penerimaan terhadap peningkatan anggaran. Komponen belanja dimanipulasi
(dihilangkan), sehingga diasumsikan sama (ceteris paribus) dengan besarnya
penerimaan daerah itu sendiri. Semakin besar penerimaan daerah maka
besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya juga menjadi semakin besar.
Maimunah (2006) dalam Ekaristi (2008) Secara umum (menurut APBD),
penerimaan daerah
bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Perimbangan. Tujuan dari pemberian dana perimbangan yang berupa Dana
Alokasi Umum adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah
dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri.
Dengan peningkatan standar pelayanan publik, diharapkan PAD juga mengalami
peningkatan. DAU yang besar diharapkan dapat memaksimalkan kinerja
pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD baik yang berupa pajak maupun
retribusi.
10
Universitas Sumatera Utara
Dollery dan Worthington (1996) dalam Ekaristi (2008) mengindikasikan
adanya keuntungan yang didapat pemerintah daerah dengan melakukan
ilusi
fiskal melalui peningkatan belanja dan penurunan pendapatan pajak. Oleh karena
itu, pemerintah daerah akan mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat yang
lebih besar. Pengukuran peningkatan belanja dilakukan dengan membandingkan
antara anggaran dan realisasi anggaran DAU, untuk melihat kesesuaian alokasi
DAU dengan kebutuhan daerah. Untuk melihat adanya indikasi ilusi fiskal dalam
anggaran belanja dan untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya
ilusi fiskal, dapat dilakukan dengan menganalisis pertumbuhan realisasi belanja
daerah dibandingkan dengan realisasi PAD. Pemerintah pusat dapat mengetahui
seberapa efektif dana bantuan yang diberikan untuk meningkatkan PAD, bila
dibandingkan dengan belanja daerah. Penelitian terkait oleh Holtz-Eakin (1985)
dalam Ekaristi (2008) menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara
transfer pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Berbagai kebijakan
pemerintah daerah dalam jangka pendek lebih
ditentukan oleh transfer yang
diterima oleh pemerintah pusat. Idealnya semua komponen penerimaan daerah
mempunyai korelasi yang positif terhadap besarnya belanja daerah. Peningkatan
belanja daerah diharapkan memprioritaskan aspek pelayanan publik, sehingga
terjadi peningkatan kesejahteraan (peningkatan pertumbuhan ekonomi) dan pada
gilirannya
terjadi
peningkatan
kontribusi
pajak
maupun
retribusi
dari
masyarakat.Gemmel dkk (1998) dalam Elaristi (2008) menunjukkan naiknya
anggaran belanja daerah sebagai upaya untuk mendapatkan jumlah transfer yang
besar.
11
Universitas Sumatera Utara
Diamond (1989) dan Ashworth (1995) dalam Ekaristi (1998) menemukan
terjadinya ilusi fiskal melalui adanya hubungan yang negatif antara pengeluaran
pemerintah dengan pajak tidak langsung dan rasio pengeluaran yang digunakan
untuk belanja.
2.2.
Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Dana Perimbangan
Menurut Ekaristi (2007) menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris
terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai
kemampuan
dan
potensi
daerah
yang
dimiliki
untukmemaksimalkan
pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan celah
kesempatan yang ada dengan dengan tidak memaksimalkan PAD agar pemerintah
pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dalam jumlah yang besar.
Hal inilah yang dikemudian hari berdampak pada menurunnya kemandirian
daerah.
Menurut Ndadari dan Adi, (2008) Pemerintah daerah memperlihatkan
adanya perilaku asimetris dengan cara memanipulasi pengeluaran pemerintah
setinggi mungkin dengan tidak mengupayakan memaksimalkan PAD agar
nantinya dapat memperoleh bantuan berupa transfer daripemerintah pusat.
Timbulnya perilaku asimetris pada umumnya dikarenakan pemerintah pusat tidak
memiliki informasi yang cukup, mengenai kemampuan dan potensi daerah yang
dimiliki untuk memaksimalkanpendapatannya dan juga, pemerintah daerah
menginginkan agar besarnya DAU dan DBH yang diterima tetap, atau dapat terus
bertambahdari satu periode keperiode selanjutnya. Hal ini mendorong pemerintah
daerah untuk menggunakan celah kesempatan yang ada dengan tidak
12
Universitas Sumatera Utara
memaksimalkan PAD, agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan
berupa DAU dan DBH dalam jumlah yang besar. Perilaku asimetris dapat dilihat
saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupa DAU yang lebih kecil dari
periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun.
Ndadari dan Adi, (2008) menegaskan, Penurunan belanja yang ada tidak
sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebih rendah
dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan
DAU yang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak
disertai dengan peningkatan PAD yang signifikan.Sedangkan Gramlich (1977)
menyatakan bahwa dalam kasus keuangan daerah ada respon yang tidak simetris
terhadap perubahan besarnya transfer. Argumentasi ini didasarkan pada pemikiran
bahwa transfer diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu. Selama periode
tersebut, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer
cenderung meningkat. Setelah transfer dikurangi, pihak-pihak tersebut mulai lobi
untuk mempertahankan keuntungannya melalui kenaikan pajak lokal.
Transfer yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan perekonomian. Transfer dapat
meningkatkan belanja dearah yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian.
Menurut Holtz-Eakin et al (1994) dalam Harianto dan Adi (2007)
menyatakan adanya keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah
pusat dengan belanja modal.Respon tiap-tiap pemerintah daerah terhadap dana
transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat berbeda-beda. Tidak semua
13
Universitas Sumatera Utara
daerah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya
adalah
terjadi
perilaku
yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana
transfer yang diberikan.
Maimunah (2006) juga membuktikan bahwa besarnya nilai DAU
berpengaruh secara positif terhadap belanja daerah. Selain itu penelitian yang
dilakukan Adi (2006) membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah
memberikan dampak yang positif terhadap PAD. Hal ini membuktikan bahwa
PAD dan transfer pemerintah dalam bentuk DAU dan DBH memiliki peran yang
penting di dalam perekonomian suatu daerah.
Dalam APBD belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja
pembangunan. Belanja rutin merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja
operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan belanja
pembangunan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas pelayanan publik
berupa pembangunan sarana dan prasarana publik. Namun yang terjadi saat ini
adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai instrumen horizontal
imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi
pemerintah daerah DAU dijadikan sebagai sarana untuk mendukung kecukupan
(sufficiency). Dengan demikian dapat diartikan pemerintah daerah akan
mengupayakan agar pemerintah pusat tetap memberikan DAU sehingga belanja
daerah tercukupi.
14
Universitas Sumatera Utara
Menurut Levaggi (1991), dalam Kuncoro (2006) hubungan antara
pemerintah daerah digambarkan sebagaimana layaknya prinsipal dengan agen.
Pemerintah pusat (prinsipal) akan memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah (agen) untuk menyelenggarakan penyediaan barang dan jasa publik di
daerahnya.
Permasalahan mulai timbul saat ada asimetri informasi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan berakibat pemerintah pusat tidak memiliki kontrol
terhadap penggunaan transfer. Namun hal inilah yang justru menjadi tujuan dari
bantuan tak bersyarat, yaitu pemerintah daerah mampu menentukan sendiri
penggunaan
transfer
yang
paling
efisien
sesuai
dengan
kebutuhan
daerahnya.Perilaku asimetris juga dapat dilihat saat pemerintah daerah
mendapatkan transfer berupaDAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka
belanja pemerintah akan turun. Penurunanbelanja yang ada tidak sebanding
dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebihrendah dibanding dengan
penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAUyang lebih
tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai
denganpeningkatan PAD yang signifikan.
Kuncoro (2007) menjelaskan bahwa saat masyarakat (pemerintah daerah)
menerima transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan
peningkatan konsumsi barang publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer
meningkatkan konsumsi akan barang publik namun tidak menjadi substitut
pajak daerah. Kondisi
inilah yang dalam berbagai
literatur disebut dengan
flypaper effect.
15
Universitas Sumatera Utara
Dougan dan Kenyon (1988) menyebutkan flypaper effect merupakan
suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan (transfer) akan
meningkatkan
belanja
pertambahan pendapatan
dikatakan
bahwa
publik
yang
yang
lebih
diperoleh
besar
dibandingkan
dari masyarakat.
Dapat
dengan
juga
flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat
digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah
tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.
Dadan (2006) juga menuturkan bahwa masalah timbul karena belum
maksimalnya pengalokasian DAU karena dasar perhitungan fiscal needs yang
tidak
memadai.
Ditambah
lagi
pengeluaran
anggaran
(APBD)
belum
mencerminkan belanja yang sesungguhnya dan cenderung tidak efisien.
Seharusnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja daerah, pemerintah perlu
untuk mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang dimilikinya.
Salah satu cara yaitu dengan menggali dari sumber penerimaan pajak atau dari
potensi SDA.
Davey (1988) menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya
merupakan sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak
terlalu boros dalam pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya.
Transfer dana dari pusat justru akan mudah mengundang munculnya intervensi
pusat kepada daerah yang akhirnya justru menimbulkan ketergantungan suatu
daerah kepada pemerintah pusat.
16
Universitas Sumatera Utara
2.3
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha
pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang
bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah,
dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah
diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian
pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu
sendiri.Menurut pasal 6 Undang-undang No.32 tahun 2004 pendapatan asli
daerah berasal dari:
1. Hasil pajak daerah.
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekeyaan daerah.
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana yang di amanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah harus melakukan maksimalisasi
pendapatan asli daerah. Maksimalisasi PAD dalam pengertian bahwa keleluasaan
yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun
untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru.
17
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Pajak Daerah (TAX)
Pajak merupakan iuran yang dapat di paksakan kepada wajib pajak oleh
pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat di tunjuk. Pada pokoknya
pajak memeiliki dua peranan utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara
(fungsi budget)
dan
sebagai alat untuk mengukur (fungsi regulator)
(Miyasto,2009). Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 tentang pajak
daerah yang selanjutnya di sebut pajak, adalah iuran wajib yang di lakukan
oleh pribadi atau badan
kepada daerah
tanpa
imbalan
langsung
yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang- undangan
yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah.
Dari batasan atau definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
pajak adalah:
a. Iuran masyarakat kepada Negara
b. Berdasarkan undang-undang
c. Tanpa balas jasa secara langsun
d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah
2.4.1. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan paksa yang dilakukan pemerintah daerah
terhadap wajib retribusi dengan kontra prestasi langsung yang diberikan
pemerintah daerah kepada wajib retribusi (Miyasto, 2009). Peraturan pemerintah
No. 66 tahun 2002 tentang retribusi daerah pasal satu menyebutkan bahwa
retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin
18
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip
komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 retribusi daerah yang selanjutnya
disebut retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri-ciri mendasar dari retribusi daerah adalah:
a. Retribusi dipungut oleh daerah
b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang
langsung dapat di tunjuk.
c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan barang atau
jasa yang disediakan oleh daerah
2.4.2. Bagian Laba Perusahaan Daerah
Sumber pendapatan asli daerah yang ketiga yaitu adalah laba dari
perusahaan daerah. Karena berbentuk perusahaan maka prinsip pengelolaannya
berdasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan. Dengan demikian perusahaan
harus mencari keuntungan dan selanjutnya sebagian dari keuntungan tersebut
diserahkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen
yang diharapkan dalam memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi
sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada keuntungan, akan
tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum,
atau dengan perkataan lain perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang
harus terjamin keseimbangannya yaitu fungsi ekonomi.
19
Universitas Sumatera Utara
Fungsi pokok dari perusahaan daerah adalah:
a. Sebagai dinamisator perekonomian daerah, yang berarti perusahaan daerah
harus mampu memberikan rangsangan bagi berkembangnya perekonomian
daerah.
b. Sebagai penghasil pendapatan daerah yang berarti harus mampu
memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat
diserahkan ke kas daerah.
2.4.3. Pendapatan Lain-lain yang disahkan
Penerimaan lain-lain, di lain pihak adalah penerimaan pemerintah daerah
di luar penerimaan-penerimaan dinas, pajak, retribusi dan bagian laba perusahaan
daerah. Penerimaan ini antara lain berasal dari sewa rumah dinas milik daerah,
hasil penjualan barang-barang (bekas) milik daerah, penerimaan sewa kios milik
daerah dan penerimaan uang langganan majalah daerah. Fungsi utama dari dinasdinas daerah adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat tanpa
terlalu memperhitungkan untung dan ruginya, tetapi dalam batas-batas tertentu
dapat didayagunakan untuk bertindak sebagai organisasi ekonomi yang
memberikan pelayanan dengan imbalan jasa.
Penerimaan lain-lain membuka
kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menghasilkan baik yang berupa materi dalam hal
kegiatan bersifat bisnis,
maupun non materi dalam hal kegiatan tersebut untuk menyediakan,melapangkan
atau memantapkan suatu kebijakan pemerintah daerah dalam suatu bidang
tertentu.
20
Universitas Sumatera Utara
2.5
Belanja Daerah
Pendapatan daerah
yang diperoleh baik dari pendapatan
asli daerah
maupun dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih
bersangkutan. Berdasarkan
dalam
periode
tahun
anggaran
yang
struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang
termasuk dalam belanja daerah terdiri dari:
1. Belanja aparatur daerah
Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan,
serta
belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk
membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara
langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
2. Belanja pelayanan publik
Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi
dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan
atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan
dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
3. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan pengeluaran uang
dengan kriteria:
a. Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti
layak terjadi dalam transaksi pembelian dan penjualan.
21
Universitas Sumatera Utara
b. Tidak mengharap dibayar kembali pada masa yang akan datang,
seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
c. Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layak
yang diharapkan pada kegiatan investasi.
4.Belanja tidak tersangka. Pengeluaran yang disediakan untuk :
a. Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat
membahayakan daerah.
b. Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau
yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
c. Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang
dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Belanja
daerah
dipergunakan
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi ataukabupaten/kota yang terdiri
dari urusan wajib dan
pilihan
yang
ditetapkan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan. Belanja daerah berdasarkan pada Permendagri No.13
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan daerah dikelompokkan ke dalam
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung,
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan, yaitu belanja pegawai, belanja bunga,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Kelompok
belanja
merupakan
langsung
belanja
yang
dianggarkan
terkait secara
langsung
dengan
22
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan program dan kegiatan yaitu belanja pegawai, belanja barang dan
jasa, dan belanja modal.
2.6
HCT (Herfindahl Concentration Taxes)
Herfindahl Concentration Taxes
(HCT) terdiri dari beberapa kategori
pajak yang bervariasi seperti: pajak sektor personal, pajak perusahaan, peneriman
pajak bukan dari penduduk dan beberapa pajak dengan kriteria khusus. Dalam
penelitian ini variabel HCT diproksi dengan rasio antara retribusi daerah dengan
total penerimaan retribusi provinsi. Penggunaan retribusi dalam proksi HCT
mengingat retribusi daerah merupakan komponen terbesar PAD, selain pajak
daerah. Retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan sehubungan dengan
suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah provinsi secara
langsung dan nyata kepada pembayar. Satuan hitung HCT untuk penelitian ini
dinyatakan dalam satuan persen.
2.7.
Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan untuk masingmasing daerah terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).Pemberian dana transfer ini bertujuan untuk
mengatasi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(disparitas vertikal), dan kesenjangan fiskal antar Pemerintah Daerah (disparitas
horizontal). Daerah diharapkan mampu mengoptimalkan pengelolaan sumber
daya tersebut sehingga terjadi pengingkatan kapasitas fiskal, serta mampu
23
Universitas Sumatera Utara
mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat sehingga menjadi lebih
mandiri (Rusydi,2010)
2.8.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu
dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004,
besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam
negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah Propinsi dan untuk
daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari
DAU.Pengalokasian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal rendah. Dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi akan
mendapatkan alokasi DAU yang relatif lebih rendah agar dapat mengurangi
disparitas fiskal antar daerah dalam era otonomi.
Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut:
1. Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan
dalam negeri yang ditetapkan APBN.
2. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
ditetapkan masing-masing 10% dan 90 % dari dana alokasi umum yang
ditetapkan diatas. Dari dana alokasi umum untuk suatu daerah
kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana
alokasi umum untuk daerah kabupaten/kota yang ditetapkan APBN
24
Universitas Sumatera Utara
dengan porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Porsi daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot
daerah kabupaten/kota diseluruh Indonesia.
2.9.
Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentrslisasi. DBH dilakukan
berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarakan
realisasi peneriamaan DBH dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, teridiri
dari pajak, yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB), biaya perolehan hak atas tanah
dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh); sumber daya alam berasal dari
kehutanan yaitu iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provinsi sumber
daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR); pertambangan umum berasal dari
iuran tetap (Landrent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (Royalty); perikanan
berasal dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan;
pertambangan minyak bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk 36 pemerintah
pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah; pertambangan gas bumi dibagi dengan
imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah;
pertambangan panas bumi untuk daerah sebesar 80% dan dibagi dengan rincian
16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan
32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
(UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah).
25
Universitas Sumatera Utara
2.10.
Penelitian Terdahulu
1. Citra Varika (2014) yang berjudul “Deteksi Ilusi Fiskal Pada Kinerja
Keuangan Daerah Kabupaten /Kota Provinsi lampung” Penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi adanya ilusi fiskal pada kinerja keuangan
daerah di 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 20072012. Ilusi fiskal menggunakan dua metode, yaitu metode pengukuran
pendapatan dan metode manipulasi belanja.Hasil penelitian menujukan
bahwa
terdeteksi
ilusi
fiskal
pada
kinerja
keuangan
daerah
Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 2007-2012 dengan
menggunakan dua metode analisis.Metode pengukuran pendapatan
mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya pengaruh negatif terhadap variabel
yaitu rasio kemampuan pdrb untuk memenuhi pengeluaran, dan rasio dari
pendapatan
yang digunakan untuk belanja terhadap pengeluaran
daerah.metode manipulasi belanja mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya
pengaruh positif variabel rasio pendapatan nasionalyang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap anggaran pendapatan
asli daerah.
2. Priyo Hari Adi (2009) yang berjudul “Fenomena ilusi fiskal dalam kinerja
anggaran pemerintah daerah” tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
adanya fenomena ilusi fiskal dalam APBD dan kota se-Jawa Tengah.Hasil
penelitian ini membuktikan adanya ilusi fiskal dalam APBD kabupaten
dan kota se-Jawa Tengah. Jadi untuk menentukan seberapa besar Dana
26
Universitas Sumatera Utara
Alokasi Umum (DAU), pemerintah pusat perlu memperhatikan informasi
mengenai faktor- faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan dan belanja
pemerintah daerah.
3. Dewi Purwanti Dude (2014) yang berjudul “analisis kinerja keuangan dan
fisikal illusion pada pemerintah provinsi Sulawesi Utara Tahun 20032012” penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan
daerah Provinsi Sulawesi Utara serta mendeteksi ilusi fiskal. Adapun
untuk alat analisis Kinerja keuangan menggunakan Analisis rasio
kemandirian keuangan daerah,rasio efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas
dan rasio pertumbuhan.analisis rasio kemandirian keuangan daerah,rasio
efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan. Metode
deteksi ilusi fiskal menggunakan pendekatan pendapatan (revenue
enchanchement).Hasil Penelitian menunjukkan dari hasil analisis rasio
disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah
dan tingkat kemandirian keuangan daerah Provinsi Sulawesi Utara yang
terus membaik.
4. Jothi Sivagnanam K. and Naganathan M. (1999) yang berjudul ”Federal
Transfers and the Tax efforts of the States in India” Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk melihat dampak dari dana transfer pemerintah pusat
terhadap upaya peningkatan pajak di India. Metode yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah Rasio laba pendapatan (Revenue income Ratio)
digunakan sebagai proxy untuk mengetahui upaya pajak . Hal ini
dijelaskan
dengan
menggunakan
transfer
pemerintah
yaitu
27
Universitas Sumatera Utara
pendapatantransfer keuangan percapita (Finance Commission transfers),
rencana hibah perkapita
terencan
(percapita plan grants), hibah perkapita tak
(per capita non-plan grants) dan perkapita produkdomestic
negara (percapita State domestic product). Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa upaya peningkatan pajak
tidak meningkat secara
siknifikan.
5. Dollery, Brian dan Worthington, Andrew (1999) yang berjudul ”Fiscal
Illusion at the Local Level: An Empirical Test Using Australian Municipal
Data”Penelitian ini bertujuan untuk memperluas literatur tentang
analisisempirisilusifiskal dalam dua cara.Pertama,
simultan empat tahap dengan hipotesis
menyediakan tes
ilusi fiskal, yaitu pendapatan
kompleksitas, ilusi hutang dan model flypaper.Kedua, menggunakan data
tahun 1991 dari 46 pemerintah daerahyangberwenang di Tasmania. Hasil
dari penelitian ini menunjukan bahwa format tes yang tepat adalah
ekonometri, dan bahwa dukungan yang signifikan bagi pendapatan
kompleksitas, terdapat ilusi fiskal
hutang pemerintah dan
adanya
ketidaktransparan dari sistem penerimaan di tingkat daerah.
28
Universitas Sumatera Utara
2.11.
Kerangka Konseptual
Adapun kerangka teoritis yang dapat penulis paparkan mengenai deteksi
ilusi Fiskal pada keuangan provinsi Sumatera yaitu dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini.
TAXit
HCTit
BDit
DAUit
DBHit
Gambar 2.1
Skema Kerangka Konseptual Deteksi Ilusi Fiskal
pada Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara
2.12.
Hipotesis
1. Terdapat pengaruh yang negatif TAX terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
2. Terdapat pengaruh yang negatif HCT terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
3. Terdapat pengaruh yang negatif DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah
Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.
4. Terdapat fenomena ilusi fiskal dalam keuangan Kabupaten/Kota di
provinsi Sumatera Utara.
29
Universitas Sumatera Utara