Makalah Hukum - Makalah hukum adat copy2

MAKALAH HUKUM ADAT
Tanah Adat di Desa Tenganan, Bali

Oleh :
Didik Sugianto

(134704009)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PMP-KN
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2014

Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya. Kami sangat bersyukur sekali dengan terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari tuntunan dan bantuan
teman-teman sekalian. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun kami telah berupaya untuk
menyajikan yang terbaik kepada pembaca. Oleh karena itu, kiranya kami menerima saran,
masukan, serta perbaikan guna menyempurnakan makalah ini lebih baik lagi.
Disini kami akan mendeskripsikan tentang desa adat Tenganan. Serta mendeskripsikan
tentang tanah adat desa Tenganan. Kami berharap semoga makalah ini bisa berguna di
kemudian hari, sebagai bahan referensi, ataupun sebagai pengetahuan yang perlu untuk
dipelajari.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca,
masyarakat pada umumnya, mahasiswa pada khususnya.

Surabaya, 25 Oktober 2014

Didik Sugianto

DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………
Daftar isi …………………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………….
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………

1.3 Tujuan Makalah……………………………………………
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tanah Adat Desa Tenganan……………………….
2.2 Status Tanah Adat Desa Tenganan……………….
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………
. Saran………………………………………………………………………

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Desa tenganan atau dikenal dengan tenganan pegringsingan merupakan salah satu dari
sejumlah desa adat yang ada di Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan
kebudayaan dan adat istiadat, berbeda dengan desa-desa di Bali lainya, karena desa tenganan
dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata budaya. Lokasi desa Tenganan terletak di
Kecamatan Manggis kabupaten Karangasem. Sebagai obyek wisata budaya, desa Tenganan
memiliki keunikan dan kekhasan yang menarik untuk dilihat dan dipahami. Dari sistem
kemasyarakatan yang dikembangkan, bahwa masyarakat Desa Tenganan terdiri dari penduduk
asli desa setempat. Hal ini disebabkan karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem

parental dimana perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan
berhak menjadi ahli waris. Masyarakat setempat terikat dalam awig-awig (hukum adat) yang
mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila
dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa
ia harus keluar dari Desa Tenganan.
Daya tarik lain yang dimiliki Desa Tenganan adalah tradisi ritual Mekaré-karé atau yang
lebih dikenal dengan “perang pandan”. Mekaré-karé merupakan bagian puncak dari prosesi
rangkaian upacara Ngusaba Sambah yang digelar pada setiap Bulan Juni yang berlangsung
selama 30 hari. Selama 1 bulan itu, Mekaré-karé berlangsung sebanyak 2-4 kali dan setiap kali
digelar akan dihaturkan sesajen kepada para leluhur. Mekaré-karé atau “perang pandan” diikuti
para lelaki dari usia anak-anak sampai orang-orang tua. Sesuai namanya, maka sarana yang
dipergunakan adalah daun pandan yang dipotong-potong sepanjang ±30 cm sebagai senjata dan
tameng yang berfungsi untuk menangkis serangan lawan dari geretan duri pandan. Luka yang
diakibatkan oleh geretan duri pandan akan dibalur dengan penawar yang dibuat dari ramuan
umbi-umbian, seperti laos, kunyit, dan lain-lain. Mekaré-karé pada hakekatnya sama maknanya
dengan upacara tabuh rah yang lazim dilakukan oleh umat Hindu di Bali ketika melangsungkan
upacara keagamaan. Dalam upacara Mekaré-karé selalu diiringi dengan tetabuhan khas Desa
Tenganan, yaitu gamelan selonding. Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang
tidak dimiliki oleh daerah lainya di Bali bahkan di Indonesia adalah kerajinan tenun double ikat
kain Gringsing. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau

musibah, dan “sing” yang artinya tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai
penolak bala. Proses pembuatan kain gringsing sangatlah unik dan memerlukan waktu yang

lama ( sampai 3 tahun ), sehingga keberadaannya menjadi langka dan harganya cukup
mahal.Kain gringsing wajib dimiliki oleh warga Desa Tenganan.
Ada keunikan lainya yaitu mengenai tanah adat desa Tenganan hampir semua tanah didesa
Tenganan milik adat, tapi masih ada hak-hak ulayat masyarakat desa Tenganan. Obyek dari hak
ulayat antara lain:
a. Tanah
b. Air (perairan misalnya: sungai,danau,)
c. Tumbuh-tumbuhan
d. Binatang yang hidup liar.
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari pada persekutuan atas tanah yang
didiami, sedangkan pelaksanaanya dilakukan oleh persekutuan itu sendiri. Dalam masyarakat
desa Tenganan juga ada hak perseorangan atas tanah, tapi dibatasi.
Dari segi yuridis hukum adat desa Tenganan tetap diakui Negara, seperti tercantum dalam UUD
1945 pasal 18B ayat 2
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang”
Dan untuk tanah adat tercantum dalam UUPA pasal 3 dan 5.


1.2 Rumusan Masalah
1. Mendekripsikan tentang tanah adat desa Tenganan?
2. Status tanah adat dalam hukum nasional?

1.3 Tujuan Penulisan
Dengan maksud mengetahui dan memahami tentang tanah adat didesa Tenganan, status
tanah adat dalam hukum nasional.

1.4 Manfaat Penulisan
Dengan maksud mengetahui dan memahami tentang tanah adat didesa Tenganan,
memahami status tanah adat desa tenganan dalam hukum nasional.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tanah adat didesa Tenganan
Desa Tenganan memiliki wilayah yang luas yaitu 917,2 hektare, sebagian besar digunakan
untuk persawahan seluas 255 hektare, dan 583 hektare untuk lahan kering, lainya untuk
permukiman, pekuburan. Didesa Tenganan, tanah adat milik persekutuan adat, masing-masing
dibagi menjadi tanah milik adat, tanah milik pribadi, dan tanah milik organisasi, yang semuanya

tetap dibawah naungan adat. Lahan itu ada yang garap sendiri, tetapi umumya digarap oleh
orang luar warga tenganan hanya menerima hasilnya, untuk pembagian hasil antara pemilik dan
penggarap sawah yaitu dibagi sama warga Tenganan hanya diperkenankan untuk tinggal dan
memanfaatkan lahan atau tanah, jika ingin membuat rumah atau mengambil hasil hutan akan
terlebih dahulu melapor ke kepala adat desa Tenganan, dan mellalui rapat akan diputuskan,
Didesa Tenganan permukiman terdiri atas tiga banjar, yaitu banjar barat, banjar tengah, banjar
timur.
Desa Tenganan juga mempunyai aturan adat yang disebut awiq-awiq, semua peraturan
terdapat di awig-awig juga mengenai tanah, jika ada masalah tentang tanah akan diselesaikan
secara musyawarah tetapi menggunakan acuan awig-awig, jika ada orang melakukan kesalahan
hak kepemilikan atas tanah dicabut, tetapi masih menjadi warga adat desa Tenganan.
Jika ada orang menikah , orang yang melakukan pernikahan tersebut akan diberikan oleh adat
tanah untuk ditempati dan mendirikan bangunan untuk tempat tinggal bukan sebagai hak milik
hanya hak guna pakai, karena jika masih bertempat tinggal bersama mertuan tidak
diperbolehkan, satu pekarangan harus milik dari 1 kepala keluarga tidak boleh lebih.
Untuk transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah adat desa Tenganan.
Didesa Tenganan tidak diperbolehkan menjual tanah meskipun sudah mempunyai sertifikat
karena tanah milik adat dan tanah adat tidak boleh digadaikan, jika digadaikan pemilik tanah
wajib membayar denda sebesar apa yang diberikan penggadai kepemilik tanah, tanah yang
digadaikan akan diambil oleh adat.

Untuk hal-hal yang dilarang berhubungan dengan tanah adat adalah tidak diperbolehkan
menebang pohon sembarangan, meskipun milik kita sendiri boleh ditebang asal mati, mati pun
harus izin ke kepala adat dan kepala adat akan melakukan musyawarah dengan perangkat adat
lainya dan melakukan verifikasi langsung kepohon yang akan ditebang. Boleh menebang pohon
yang hidup asal pohon itu tiga sejajar, orang yang baru nikah diperbolehkan menebang pohon
yaitu sebanyak empat pohon hanya digunakan untuk pembuatan rumah dan tidak boleh dijual,

saknsinya jika pohon dijual yaitu denda dua kali lipat harga kayu, dan kayu akan diambil
sebagai milik adat.
Masyarakat desa Tenganan boleh mengambil buah-buahan asal buah itu jatuh dari pohonya
langsung, tapi ada pengacualian buah yang tidak boleh diambil yaitu: buah durian, buah kemiri,
buah kluak, jiak ada masyarakat desa Tenganan yang memetik bahkan mengambilnya buah
tersebut akan dikenakan sanksi yaitu berupa denda sebesar 25 kg beras.
Tanah adat desa Tenganan sebagian sudah mempunyai setifikat tapi yang diutamakan yang
bersertifikat tanah yang berbatasan langsung dengan desa lain, agar jelas mengenai batas-batas
tanah desa Tenganan, untuk sertifikat atas nama masing-masing masyarakat adat tetapi naungan
masih dalam adat dan tidak boleh dijual, umumnya tanah yang bersertifikat yaitu tegalan karena
berbatasan dengan desa lain.
Dalam hal pembayaran pajak, pajak merupakan pendapatan Negara dan semua warga Negara
wajib membayar pajak, masyarakat desa tenganan juga membayar pajak untuk tanah dan juga

mempunyai SPPT, tetapi bukan sebai pemilik tanah kepemilikan tanah masih dalam naungan
adat.
Pembagian tanah adat di desa tenganan yaitu digunakan sebagai sawah,hutan,pekuburan,
dan permukiman masyarakat adat, untuk hutan sendiri, hutan dikuasai adat semuanya yang ada
didalam hutan milik adat, memang hutan adat termasuk milik Negara tetapi barada dalam
masyarakat hukum adat. Seperti tercantum dalam Undang-undang nomor.41 tahun 1999
tentang kehutanan pasal 1 ayat 6.
“Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Untuk perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam hukum adat desa Tenganan seperti tidak
boleh menebang pohon sembarangan sebenarnya bisa diterapkan di hukum nasional, tapi
kenyataanya belum bisa maksimal seperti hukum adat, hukum adat merupakan hukum yang
mempunyai sanksi yang sangat tegas, diindonesia peraturan tentang pelarangan menebang
pohon atau hutan masih kurang, sanksinya pun kurang maksimal. Sebenarnya hukum nasional
sudah membuat peraturan tentang pelarangan penebangan hutan atau pohon sembarangan yaitu
terdapat pada Undang-undang nomor.41 tahu 1999 tentang kehutanan dan Undang-undang
nomor.18 tahun 2013 tentang pencegahan dan perusakan hutan, tapi Undang-undang ini tidak
efektif faktanya masih banyak penebangan hutan secara liar dan pengerusakan hutan,
pengerusakan hutan dan penebangan pohon juga mengakibatkan dampak langsung pada
kehidupan masyarakat, padahal isi dari Undang-undang nomor.18 tahun 2013 sudah jelas
seperti yang tercantum dalam pasal 12:

Pasal 12 Setiap orang dilarang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil
penebangan di kawasan hutan tanpa izin;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah
pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;

k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil
hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil
hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Karena hutan sendiri sebagai paru-paru bumi dan harus dilestarikan banyak terjadi bencana
seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan yang semuanya ulah manusia sendiri, bahkan
PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) menjadikan desa adat Tenganan sebagai contoh untuk
pelestarian alam sebagai langkah pencegahan global warming.
Seharusnya hukum adat desa Tenganan bisa menjadi contoh untuk hukum nasional, meskipun
sanksi dari hukum adat sangat tegas tetapi masih eksis, karena tingginya perhatian yang
diberikan oleh desa adat tenganan terhadap masyarakat adatnya dan tingginya keadilan yang
diberikan oleh adat terhadap masyarakat dibandingkan dengan hukum nasional.

2.1 Status Tanah Adat Desa Tenganan
Untuk masalah status sebenarnya hukum adat sudah diakui dalam hukum nasional tercantum
dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 2.
“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.

Dalam hal ini hukum adat bersifat luas seperti hukum perkawinan adat, hukum tata Negara adat,
hukum tanah adat,waris adat,pidana adat. Didesa Tenganan sendiri menerapkan hukum adat
yang semuanya menjadi undang-undang bagi masyarakat desa tenganan.
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari persekutuan dan
perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam
memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis.
Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat , harus terlebih dahulu
diketahui atau meminta izin kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah
adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untukmengolahnya
tanpa ada pihak yang melarang.
Tanah adat juga sudah diakui didalam Undang-undang Pokok Agraria, Termasuk tanah adat
desa Tenganan.
Kedudukan hak ulayat dalam Undang-undang Pokok Agraria
1. terdapat pada pasal 3 dan pasal 4
2. eksistensi hak ulayat diakui sepanjang masih ada.
Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria
“ dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi”.
Pasal 5 Undang-undang pokok agraria
“ hukum agraia yang berlaku atas bumi dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia sert dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pengakuan hak ulayat juga dilakukan oleh kementrian agaria melalui peraturan mentri
agraria (keputusan badan pertanahan nasional nomor.5 tahu 1999 tentang pedoman
penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat)

Tujuan keputusan ini adalah untuk melaksanakan urusan pertanahan dalam kaitanya dengan
hak ulayat yang masih ada didaerah tersebut.
Kriteria adanya hak ulayat (pasal 2 peraturan mentri agraria/ keputusan badan pertanahan
nasional nomor.5 tahun 1999)
1. adanya masyarakat adat tertentu
2. adanya hak ulayat yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan
hidup masyarakat hukum adat
3. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayat berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat.
Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum
adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai
suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat
sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian
hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan
keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif
dan fleksibel ketika dihadapkan dengan masyarakat modern seperti ini. Sehingga dalam hukum
agraria nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya.
Hukum agraria pada masa penjajahan Hindia Belanda bersifat dualistis, yaitu hukum agraria
barat, dan hukum adat bangsa Indonesia. Hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang
Belanda, orang eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, sedang hukum agraria adat
berlaku bagi golongan bumi putera (penduduk asli).
Undang-undang no. 5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa Indonesia
dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hukum
agraria nasional didasarkan kepada hukum adat. Penegasan itu dapat dijumpai dalam Pasal 56
Undang-undang Pokok Agraria.
Ketentuan hukum adat itu tidak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
Contoh dalam hubungan dengan pelaksanaan hak ulayat. Sekalipun penguasa-penguasa adat
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah hak ulayat dalam
wilayahnya, namun kewenangan itu tidak boleh menghalangi program pemerintah untuk
mencapai kemakmuran rakyat, misalnya pembukaan tanah secara besar-besaran untuk areal
perkebunan atau untuk pemindahan penduduk.
Untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh Indonesia,
dibuat dalam bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja,
tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.

BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
a. Tanah adat desa Tenganan memang memiliki wilayah yang cukup luas dan tanah
itu dibagi menjadi tanah sebagai permukiman, hutan, sawah, pekuburan. Dan dalam
tanah tersebut ada hak ulayat masyarakat adat desa Tenganan dan Negara mengakui
hak ulayat masyarakat adat, semua tanah di desa Tenganan milik adat, ada juga
yang milik pribadi, milik organisasi yang semuanya masih dalam naungan adat.
PBB bahkan menjadikan desa adat Tenganan menjadi contoh pencegahan global
warming, melalui peraturan yang sangat tegas bahwa semua masyarkat desa adat
tersebut tidak diperbolehkan mengambil pohon, menebang pohon, menjual kayu,
itu yang seharusnya menjadi contoh untuk Negara Indonesia agar tidak terjadi
global warming dan bencana alam, di Indonesia sendiri masih banyak penebangan
pohon secara illegal, memang sudah ada undang-undang yang mengatur tentang
hutan, tapi sanksinya masih kurang.
b. Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan
adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam
pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat
dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat
menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga
benar-benar menjamin keadilan. Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku
penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin
adanya kepastian hukum dalam bidang agraria.
Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal,
karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman, tepat keberadaannya
masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga dengan tanah adat
yang ada didesa Tenganan sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap
dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya.
Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA,
hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan

bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam
UUPA.

3.2 Saran
Bagi pemerintah:
Untuk bahan kajian untuk membuat undang-undang dari hukum adat desa Tenganan
dan mengakui hak ulayat masyarakat adat jika hak ulayat itu masih ada dan tidak
bertentangan dengan prinsip Negara Indonesia.
Bagi masyarakat:
Ikut serta dalam menanamkan nilai-nilai moral dan sosial dari hukum adat.

Daftar pustaka
Wignjodipoero, soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Toko Gunung
Agung. 1967