KECERDASAN ADVERSITAS DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

(1)

PERBEDAAN KECERDASAN ADVERSITAS DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Hamdan Busthomi B07212012

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xiii ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kecerdasan adversitas berdasarkan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala keceerdasan adversitas/ Adversity Response Profile (ARP) dan skala MBTI (Myers Briggs Type Indicators) untuk tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Subyek penelitian ini berjumlah 117 dari jumlah populasi sebanyak 440 melalui teknik pengambilan sampling purposive sampling dan quota sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan dalam analisis Uji Z (Mann-Whitney U-Test). Bahwa nilai signifikansi kelas sebesar 0,000 < 0,05, karena lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa terdapat perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Dengan rincian Mean Rank untuk kecerdasan adversitas tipe kepribadian ekstrovert sebesar 67,96 lebih besar (>) daripada Mean Rank tipe kepribadian introvert sebesar 33,04, maka berarti kecerdasan adversitas tipe kepribadian ekstrovert cenderung lebih tinggi dibanding kecerdsasan adversitas tipe kepribadian introvert. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introver mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci : Kecerdasan Adversitas, Tipe Kepribadian Ekstrovert,Tipe Kepribadian Introvert


(7)

xiv ABSTRACT

The purpose of this research is to know the difference in the adversity intelligence that based on extroverted and introverted personality type of scholarship students recipients Bidikmisi. This research is quantitative research that using adversity response profile (ARP) and Myers Briggs Type Indicators (MBTI) scale as data collecting technique for extroverted and introverted personality type. The subject of this research is 117 of 440 population through sampling purposive and sampling quota technique.

The result of this research indicates in Z analysis test ( Mann-Whitney U-Test ) that the class significance value is 0,000 < 0.05 , because smaller than 0.05, so Ho is rejected and Ha is accepted, it means there are differences of adversitasity intelligence based on extroverted and introverted personality type. With details Mean Rank for adversitasity intelligence of extroverted personality type is 67,96, higher than Mean Rank of introverted personality type that 33,04. So the adversity of extroverted personality type is higher than introverted personality type. So it can be concluded that there is diffferences of adversity intelligence based on extroverted and introverted personality type of students that receive scholarship Bidikmisi State Islamic University of Sunan Ampel Surabaya.

Keywords : Adversity Intelligence, extroverted personality type, introverted personality type


(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSANMASALAH ... 12

C. TUJUANPENELITIAN ... 12

D. MANFAATPEELITIAN ... 12

E. KEASLIAN PENELITIAN ... 13

BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan Adversitas ... 19

1. Definisi Kecerdasan Adversitas... 19

2. Aspek-aspek Kecerdasan Adversitas ... 21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas ... 24

4. Tingkatan dalam Kecerdasan Adversitas ... 27

5. Peranan Kecerdasan Adversitas dalam Kehidupan ... 31

6. Mengembangkan Kecerdasan Adversitas ... 34

7. Pandangan Islam terhadap Kecerdasan Adversitas ... 35

B. Kepribadian ... 42

1. Pengertian Kepribadian ... 42

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembentukan Kepribadian .... 44

3. Struktur Kepribadian ... 46

4. Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 50

C. Perbedaan Kecerdasan Adversitas ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 60

D. Landasan Teoritis ... 62

E. Hipotesis Penelitian ... 63

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 64

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 67

C. Teknik Pengumpulan Data ... 69

D. Validitas dan Reliabilitas ... 73

E. Teknik Analisis Data ... 75

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 76

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 78


(9)

viii

D. Pembahasan ... 90

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Mahasiswa merupakan tulang punggung penerus bangsa dan cikal bakal tenaga profesional yang akan menjadi pendorong progresifitas pembangunan bangsa. Ungkapan idealis yang terkesan klise, namun demikian menimbulkan tantangan dan tanggung jawab besar bagi mahasiswa. Tidak semua mahasiswa memang, meletakkan tujuan pendidikannya dalam koridor besar tersebut (Imam, 2011).

Menjadi mahasiswa merupakan proses melebur dalam struktur sekolah yang lebih besar, lebih impersonal, interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang etnisnya, serta bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja, dan nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Mahasiswa sebagai anggota dari sebuah lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemandirian dan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas akademik yang telah ditetapkan, guna mencapai kompetensi lulusan yang diharapakan oleh perguruan tinggi yang menjadi almamaternya. Tugas akademik tersebut diantaranya adalah penyelesaian dan pencapaian beban studi yang ditetapkan, penyelesaian tugas kuliah, praktikum dan penyusunan skripsi.

Seorang mahasiswa maupun mahasiswi di dalam perguruan tinggi tentunya tak bisa lepas dari sebuah masalah. Masalah-masalah yang dialami mahasiswa sangat beragam. Secara umum masalah masalah itu dapat


(11)

2

dikelompokkan kedalam beberapa masalah utama seperti: masalah kesehatan jasmani, ekonomi, kondisi sosial ekonomi, keluarga, kondisi kejiwaan, masalah lingkungan , hubungan dalam pergaulan, masalah akademis. Masalah-masalah tersebut akan mempengaruhi prestasi akademik yang akan diperoleh mahasiswa jika tidak segera ditemukan solusi penyelesaian masalah tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Sugiarto (1999), menyebutkan ada beberapa permasalahan yang dihadapi mahasiswa, antara lain: (1) penyesuaian dengan lingkungan, (2) stress menghadapi ujian, (3) malas belajar, (4) ketidakmampuan belajar yang spesifik, (5) kehilangan teman baik, (6) pengalaman kegagalan, (7) peraturan-peraturan sekolah/lembaga yang dirasa memberatkan, (8) tekanan dan ambisi orang tua, (9) hubungan antara mahasiswa dengan dosennya, dengan teman seangkatan, sepondokan dan sebagainya.

Sebuah penelitian di Amerika dan Jepang menyatakan bahwa dari 100% orang sukses, hanya 10-20 persen aja yang berpendidikan tinggi, berijazah lengkap, dan tentunya dengan Intelligence Quotient (IQ) yang di atas rata-rata, selebihnya, 80-90 persen hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan tidak punya latar belakang pendidikan, dan kebanyakan dari mereka mengawali karir dari berdagang. Hal ini membuktikan bahwa IQ bukanlah segala-galanya. Namun ada faktor-faktor lain yang berperan dalam kesuksesan seseorang, antara lain oleh IQ, namun banyak kemampuan lain yang sangat berpengaruh pada kesuksesan seseorang, antara lain EQ


(12)

3

(Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), FQ (Financial Quotient), dan AQ (Adversity Quotient) (Fauziah, 2014).

Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari masalah, ujian, dan cobaan. Semua hal tersebut merupakan sunnatullah, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 155.

















































Artinya: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya, mereka mengaku memiliki masalah terutama yang berkaitan dengan studi mereka saat ini. Beberapa mahasiswa angkatan 2012 mengaku memiliki masalah berkaitan dengan kurangnya motivasi sehingga merasa malas saat mengerjakan tugas kuliah maupun tugas akhir. Masalah lain yang dikemukakan oleh mahasiswa angkatan 2013 dan 2014 adalah kurangnya kemampuan untuk mengatur waktu, kurangnya rasa percaya diri, dosen yang kurang sesuai, masalah ekonomi keluarga, kurang konsentrasi saat kuliah, dan sebagainya.

Fakta-fakta tersebut memperkuat argumentasi bahwa hidup tidak mudah, dalam mencapai sebuah kesuksesan dibutuhkan usaha dan daya tahan untuk menghadapi masalah dan resiko atas usaha tersebut. Beragam masalah


(13)

4

dihadapi setiap orang dengan cara yang berbeda, dan hasilnya pun ada yang gagal dan ada pula yang berhasil. Salah satu aspek yang diduga menjadi faktor penyebab kesuksesan dan kegagalannya adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidupnya yang dalam psikologi dikenal dengan istilah kecerdasan adversitas (adversity intelligence).

Menurut Paul G. Stoltz, Ph.D (Stoltz, 2000), suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh kecerdasan adversitas. Kecerdasan adversitas merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Dikatakan juga bahwa kecerdasan adversitas berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan. Orang yang memilik kecerdasan adversitas lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Stoltz juga mengemukakan konsep kecerdasan adversitas, merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. Seseorang dengan kecerdasan adversitas tinggi ini adalah individu yang merasa berdaya, optimis, tabah, teguh dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan.

Dalam Al-Qur‟an, telah dijelaskan bahwa dalam setiap kesulitan terdapat kesempatan untuk menemukan jalan keluar. Seseorang tidak akan diberi kesulitan di luar kemampuannya, manusia hanya diperintahkan untuk


(14)

5

berusaha serta tidak berputus asa atas rahmat Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Yusuf: 87.























































Artinya: “Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang

Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" Q.S. Yusuf: 87.

Stoltz menyatakan bahwa untuk memecahkan suatu masalah, sebaiknya terlebih dulu memahami kedudukan masalah itu sendiri. Stoltz mengembangkan tingkatan kesulitan dengan model piramida yang dapat dilihat pada gambar 1. Tingkatan kesulitan ini dimulai dari tangga pertama (paling atas) berupa masalah di masyarakat, pada tangga kedua masalah di tempat kerja, dan pada tangga ketiga (paling bawah) masalah pada diri individu. Selanjutnya kemampuan menghadapi tantangan dalam hidup ini merupakan suatu kemampuan yang bisa dipelajari dan dikembangkan melalui pelatihan atau pendidikan (Stoltz, 2000). Kemampuan ini ada pada setiap orang termasuk pada mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi atau yang biasa disebut AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidikmisi) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, yang kemudian akan dikaji pada penelitian ini.


(15)

6

Masya rakat

Tempatkerja

Individu

Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan (Stoltz, 2000)

Kecerdasan adversitas sangat penting bagi kehidupan, diantaranya berperan dalam mempengaruhi daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, ketekunan, belajar serta cara merangkul perubahan (Stoltz, 2000). Dengan demikian, mahasiswa diharapkan memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi sehingga mampu menghadapi daya saing yang dimulai sejak mereka masih belajar di perguruan tinggi hingga nanti mereka kembali ke masyarakat. Kecerdasan adversitas juga turut mempengaruhi produktivitas, serta cara-cara menyesuaikan diri dengan perubahan sehingga kesuksesan akan diraih sekalipun masalah-masalah datang menjadi penghalang. Selama masih di perguruan tinggi, adversitas ini akan jelas berpengaruh terhadap motivasi, ketekunan, dan belajar mahasiswa.

Hal-hal di atas menjadi alasan mengapa mahasiswa diharapkan memiliki kecerdasan adversitas tinggi, selain itu juga nantinya mahasiswa diharapkan menjadi anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan,


(16)

7

keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan (PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi). Demikian juga pada mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya, yang diharapkan dapat memiliki kematangan profesional saat terjun di masyarakat nanti sesuai dengan visi dan misi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kecerdasan adversitas tidak bisa muncul dengan sendirinya, terdapat beberapa hal yang ikut mempengaruhi tingkat adversitas yang dimiliki seseorang, diantaranya berasal dari faktor internal dan eksternal (Stoltz, 2000). Faktor internal yang mempengaruhi kecerdasan adversitas antara lain genetika, keyakinan, bakat, hasrat atau kemauan, karakteristik kepribadian, kinerja, kecerdasan, dan kesehatan. Warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini, seperti yang didapatkan dari riset anak kembar identik yang terpisah sejak lahir tetapi memiliki kemiripan perilaku saat mereka dewasa. Keyakinan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup. Kecerdasan seseorang dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya dipengaruhi oleh bakat yang merupakan gabungan pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan. Hasrat dan kemauan menjadi tenaga pendorong untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Faktor lain yang berpengaruh adalah karakter, seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas


(17)

8

akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Faktor kinerja, kecerdasan dan kesehatan sangat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan masalah.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kecerdasan adversitas adalah pendidikan dan lingkungan. Pendidikan berpengaruh karena turut mengembangkan pengetahuan dan kecerdasan yang dimiliki seseorang, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak dan keterampilan, hasrat dan kinerja yang dihasilkan. Lingkungan tempat individu tinggal dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon kesulitan yang dihadapinya.

Penelitian tentang kecerdasan adversitas telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Di luar negeri salah satunya dilakukan oleh Lea Daradal Canivel dalam tesisnya meneliti bahwa hubungan antara kecerdasan adversitas dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah di Filipina dan menunjukkan korelasi negatif (Daradal, 2010). Sedangkan penelitian yang di dalam negeri oleh Nailul Fauziah yang meneliti tentang empati, persahabatan, dan kecerdasan adversitas pada mahasiswa yang sedang skripsi menunjukkan adanya hubungan yang positif (Fauziah, 2014). Endriyanto dkk dalam jurnalnya menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan adversitas dengan prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya (Endriyanto, dkk 2014).


(18)

9

Penelitian lain mengenai kecerdasan adversitas pernah dilakukkan

oleh Aarifatunnisaa tentang hubungan adversity quotient dengan

kebermaknaan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat adversity quotient mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang rata-rata berada pada kategori sedang dengan prosentase 71,11% atau 32 mahasiswa (Aarifatunnisaa, 2010).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dessi Herwianti dan Yulianti Dwi Astuti (2012) mengenai hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan adversity quotient pada ibu pekerja menunjukkan hasil yang positif, yaitu r = 0,732; p = 0,000 (p<0,01), hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara tipe kepribadian ekstravert dengan adversity quotient pada ibu pekerja.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, pada penelitian ini kecerdasan adversitas dikaji sebagai variabel terikat yang diduga dipengaruhi oleh faktor yang lain. Hal ini didasari anggapan bahwa kecerdasan adversitas adalah suatu kemampuan yang bisa dipengaruhi oleh karakter yang merupakan bagian dari kepribadian seseorang (Stoltz, 2000).

Kepribadian (personality) berasal bahasa latin persona yaitu topeng yang digunakan oleh para aktor Romawi kuno dalam pertunjukan drama Yunani sehingga mereka dapat memainkan peran atau penampilan palsu. Kepribadian adalah pola sifat dan karakteristik tertentu yang relatif permanen dan memberikan konsistensi maupun individualitas pada perilaku seseorang (Feist & Feist, 2010).


(19)

10

Beragam teori kepribadian muncul sejak lahirnya ilmu Psikologi pada akhir abad 18. Para ahli psikologi kepribadian melakukan riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep serta memakai kaidah ilmiah untuk menegakkan teori yang handal (Alwisol, 2009). Menurut Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan.

Dalam dunia psikologi dikenal ada dua tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Menurut Jung dalam Hall dan Lindzey (1998), individu yang bertipe kepribadian introvert orientasi jiwanya terarah ke dalam dirinya, suka menyendiri, menjaga jarak terhaap orang lain, cenderung pemalu, membutuhkan waktu yang lama dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan, tidak mudah percaya pada impuls seketika, tidak menyukai perangsangan, suka hidup teratur, perasaannya dibawah kontrol yang ketat, agak pesimis, dan menjunjung nilai etis. Menurut Alwisol (2009) tipe kepribadian ekstrovert cenderung aktif, berinteraksi dengan orang lain dan dunia sekitarnya.

Banyak studi atau penelitian sebelumnya yang membahas hubungan antara kepribadian (personality). Afifah dan wardhana (2015) dalam penelitiannya menemukan adanya pengaruh positif dari tipe kepribadian introvert terhadap emotional eating pada wanita dewasa awal. Pada penelitian


(20)

11

sebelumnya yang dilakukan oleh Siti Lailatul Musarofah (2010) diketahui bahwa terdapat perbedaan penerimaan teman sebaya ditinjaui dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada siswa MTS Negeri Pare Kediri.

Terkait dengan kecerdasan adversitas yang terdiri dari beberapa aspek (CO2RE), tipe kepribadian yang muncul akan menentukan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan adversitasnya seseorang. Sebagaimana tipe kepribadian introvert dan ekstrovert jika ditinjau dari ciri-ciri yang ditunjukkan masing-masing tipe maka diasumsikan bahwa semakin tinggi ekstraversi yang ada dalm individu maka semakin tinggi pula kecerdasan adversitasnya.

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya merupakan salah salah satu dari 134 PTN yang ada di Indonesia (Primandari, 2016). Sebagai sebuah perguruan tinggi Islam yang mengembangkan konsep ulul albab dan diharapkan mahasiswa mempunyai empat pilar kekuatan dalam menjalani kehidupannya. Keempat pilar tersebut adalahkedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Dengan keempat pilar inilah para mahasiswa dibekali untuk mampu menghadapi tantangan dalam hidupnya, baik ketika mereka berstatus sebagai mahasiswa maupun ketika mereka telah menyelesaikan studinya (Aziz, 2012).

Berdasarkan penelitian terdahulu, kami tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan kecerdasan adversitas mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya.


(21)

12

B. RUMUSAN MASALAH

1. Adakah perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini disamping memiliki tujuan-tujuan tertentu, juga mencakup dua manfaat utama, yaitu manfaat teoritis dan praktis:

1. Manfaat teoritis: secara umum penelitian ini memberikan pengetahuan baru, serta melakukan pengujian dan pengembangan konsep dan teori ilmu pengetahuan psikologi dalam bidang pendidikan. Penelitian ini juga akan memberikan sumbangan data mengenai gambaran tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, utamanya dalam melihat tingkat kecerdasan adversitasantara keduanya, mengingat selama ini belum banyak penelitian hal ini dalam bidang psikologi pendidikan.

2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini ingin mengungkapkan tentang tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan kecerdasan adversitas mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya,


(22)

13

sehingga siapapun yang berkepentingan dapat mengambil manfaatnya dengan mengacu pada hasil penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang nyata pada dunia Psikologi sebagai masukan dalam memahami kepribadian dalam kaitannya daya tahan mahasiswa dalam menghadapi masalah (adversity).

3. Untuk UIN Sunan Ampel Surabaya, khususnya Fakultas Psikologi dan Kesehatan: sebagai bahan kajian untuk melengkapi perpustakaan dan bahan dokumentasi.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovertdan introvert.

Sesanti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Tipe Kepribadian Carl Gustaf Jung dengan Adversity Quotient Mahasiswa Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang” dan subjeknya mahasiswa psikologi sebanyak 80 mahasiswa (10% dari 770 mahasiswa) memaparkan bahwa hasil penelitian menunjukkan tipe kepribadian yang dominan pada mahasiswaPsikologi: tipe dikotomi I-E dominan pada tipe extroversion yang terdiri dari 46 mahasiswa (57,5%), tipe dikotomi S-N, diketahui 53 mahasiswa (66,25%) dominan pada tipe sensing, tipe dikotomi T-F, mayoritas dominan pada tipe feeling yang terdiri dari 50 mahasiswa (62,5%), dan tipe dikotomi J-P terlihat 67,5% atau 54 mahasiswa lebih dominan pada


(23)

14

tipe perceiving. Hasil analisis penelitian AQ, diketahui bahwa mayoritas mahasiswa ada pada kategori camper yaitu 52 mahasiswa (65%). Hubungan antara tipe kepribadian I-E, S-N, T-F, J-P dengan AQ secara bersama-sama menunjukkan nilai F sebesar sebesar 1,657 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,169. Karena nilai probabilitas 0,169 (p>0,05) dengan sampel sebanyak 80 mahasiswa maka model regresi tidak dapat dipakai untuk memprediksi AQ. Maka hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian C.G.Jung dengan AQ.

Desi H dan Yulianti D. A. (2013) dalam penelitiannya yang berjudul

“Hubungan Tipe Kepribadian Ekstravert Dengan Adversity Quotient Pada Ibu Bekerja” memaparkan bahawa hasil menunukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel tipe kepribadian ekstravert dengan variabel

Adversity Quotient pada ibu bekerja. Adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel ditunjukkan oleh koefisien karelasi (r) sebesar 0,732; p= 0,000 (p< 0,01). Hal ini berarti menunjukkan bahwa ibu bekerja yang memiliki tingkat ekstroversi tinggi memiliki Adversity Quotient tinggi. Sebaliknya ibu bekerja yang memiliki tingkat ekstroversi rendah memiliki

Adversity Quotient rendah.

Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat ekstravert yang sedang. Hal ini ditunjukkan dari hasil rerata empirik subjek yakni 88,03 (60 ? X< 96). Sedangkan pada Adversity Quotient memiliki tingkat yang tinggi. Ditunjukkan dari hasil rerata empirik subjek yakni 99,29 (X = 96). Kontribusi variabel tipe kepribadian ekstravert terhadap Adversity Quotient pada


(24)

15

penelitian ini yakni, 0,536. Hal ini menunjukkan bahwa tipe kepribadian ekstravert memberi sumbangan efektif sebesar 53,6 % terhadap Adversity Quotient pada ibu bekerja. Sisanya sebesar 46,6 % adalah faktor lain yang memungkinkan dapat mempengaruhi Adversity Quotient pada ibu bekerja, namun faktor ini tidak diperhatikan pada penelitian ini. Pada penelitian ini memiliki sumbangan efektif yang tinggi, kemungkinan dapat disebabkan karena pada kedua variabel penelitian ini memiliki aspek yang mirip. Sehingga ada kemungkinan adanya overlaping pada variabel penelitian.

Selain itu dari hasil analisis regresi diketahui bahwa aspek sociable

memberikan sumbangan sebasar 40,3 % terhadap variabel Adversity Quotient. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang sociable mampu bertahan terhadap kesulitan. Ibu bekerja yang sociable memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang baik, memiliki banyak teman, dan mudah bergaul. Oleh karena itu ketika ibu bekerja menghadapi kesulitan mampu menyelesaikan dengan cepat, karena memiliki pengalaman sosial yang baik.

Aspek dominant memberikan sumbangan terhadap variabel

Adversity Quotient sebesar 10,1 %. Ibu bekerja yang dominant yakin terhadap diri sendiri sehingga ketika mendapat kesulitan akan mampu mengatasi.

Aspek carefree memberikan sumbangan terhadap variabel Adversity Quotient sebesar 2,4 %. Ibu bekerja yang ekstravert memiliki Adversity Quotient tinggi dikarenakan individu ekstravert memiliki karakteristik periang dan tidak terlalu memusingkan masalah, optimis, dan ceria ( Aiken dalam Abidin & Suyasa, 2004). Individu ekstravert memiliki pandangan


(25)

16

bahwa masalah yang dihadapi bersifat sementara. Hal ini relevan dengan salah satu aspek pada variabel Adversity Quotient, jadi individu yang memiliki reach tinggi memiliki jangkauan masalah yang dihadapi ada batasannya.

Aspek sensation seeking memberikan sumbangan terhadap variabel

Adversity Quotient sebesar 1, 8 %. Hal ini menunjukkan bahwa ibu bekerja berani mengambil resiko dan berani menghadapi perubahan. Oleh karena itu ketika menghadapi kesulitan akan cepat mencari solusi. Dari penjelasan sumbangan efektif setiap aspek tipe kepribadian ekstravert diketahui bahwa aspek sociable memiliki sumbangan paling tinggi terhadap variabel Adversity Quotient. Jadi dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa karakteristik pada individu ekstravert dapat meningkatkan Adversity Quotient.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Fauziah (2014) yang berjudul

“Empati, Persahabatan, Dan Kecerdasan Adversitas Pada Mahasiswa Yang Sedang Skripsi” yang subjeknya sebanyak 74 orang mahasiaswa yang sedang mengerjakan skripsi menunjukkan adanya hubungan positif. Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi sederhana memperlihatkan nilai koefisien korelasi sebesar rxy = 0,165 dengan p = 0,001 (p<0,05) yang menggunakan Skala Empati, Skala Persahabatan dan Skala Kecerdasan Adversitas. Kemampuan mengembangkan empati dan memiliki banyak sahabat mendukung terbentuknya kecerdaasan adversitas mahasiswa. Melalui pengembangan interaksi sosial, mahasiswa belajar untuk dapat menempatkan dirinya dalam suatu masalah, persahabatan memunculkan kehangatan,


(26)

17

dukungan, pelajaran dari suatu kesalahan serta pengalaman baru untuk bekal menghadapi tantangan, khususnya pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Afifah dan Wardhana

(2015) yang berjudul “Pengaruh Tipe Kepribadian Extrovert-Introvert

terhadap Emotional Eating pada Wanita Dewasa Awal” memaparkan hasil analisis data penelitian menggunakan metode stepwise menunjukkan bahwa tipe kepribadian introvert mempengaruhi emotional eating (F=5,851 dan p=0,017). Tipe kepribadian introvert memiliki 4,9% pengaruh terhadap

emotional eating. Tipe kepribadian extrovert signifikan memiliki korelasi negatif, namun menunjukkan tidak berpengaruh terhadap emotional eating. Kesimpulannya adalah tipe kepribadian introvert mempengaruhi emotional eating. Koefisien regresi 0,329 yang menunjukkan pengaruh positif dari tipe kepribadian introvert terhadap emotionaleating pada wanita dewasa awal. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi introvert maka semakin tinggi kecenderungan emotionaleating seseorang.

Di luar negeri salah satunya dilakukan oleh Lea Daradal Canivel dalam tesisnya meneliti bahwa hubungan antara kecerdasan adversitas dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah di Filipina dan menunjukkan korelasi negatif (Daradal, 2010).

Melihat beberapa hasil penelitian di atas, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, alasannya, dalam penelitian ini akan membahas perbedaan kecerdasan berdasarkan tipe kepribadian ekstrovet dan introvert


(27)

18

mahasiswa, sedangkan pada penelitian terdahulu tidak ada yang membahas tentang perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe kepibadian ekstrovert dan introvert mahasiswa, melainkan tentang hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan Adversity Quotient pada ibu bekerja, empati, persahabatan, dan kecerdasan adversitas pada mahasiswa yang sedang skripsi, pengaruh tipe kepribadian extrovert-introvert terhadap emotional eating pada wanita dewasa awal, dan hubungan kecerdasan adversitas dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah di Filipina.


(28)

19 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan Adversitas

1. Definisi Kecerdasan Adversitas

Kecerdasan Adversitas (Adversity Intelligence) adalah suatu konsep mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya (Paul G Stoltz, 2000: 9). Dalam kamus bahasa

Inggris, kata “adversity” diartikan dengan kesengsaraan dan kemalangan,

sedangkan “Intelligence” diartikan dengan kecerdasan. Stoltz (2000:9)

menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Adversity Intelligence menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi sebuah keadaan atau situasi yang sulit (adversity) dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan.

Stoltz (2000: 9) secara ringkas menjelaskan kecerdasan adversitas sebagai kapasitas manusia dalam bentuk pola-pola respon yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan dan mengarahkan situasi


(29)

20

mempersepsikan jangkauan situasi yang sulit dan mempersepsikan jangka waktu terjadinya kesulitan di berbagai aspek dalam hidupnya. Konsep ini merupakan satu kerangka kerja yang dapat diukur karena memiliki alat yang dikembangkan dengan dasar ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan dan memahami aspek-aspek dari kesuksesan seseorang dalam merespon keadaan sulit. Definisi kesuksesan yang dikemukakan oleh Stolz (2000: 38) adalah tingkat dimana seseorang bergerak maju untuk mencapai misinya, meskipun banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi. Faktor tersebut adalah kecerdasan adversitas.

Apakah yang dimaksud kecerdasan adversitas (AI) ? Kecerdasan adversitas merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang ketika menghadapi permasalahan, atau bisa dikatakan merupakan kecerdasan daya juang seseorang. Stolz (2000:9) mengatakan bahwa AI:

1) AI menjelaskan kepada kita bagaimana sebaiknya tetap bertahan pada masa-masa kesulitan dan meningkatkan kemampuan kita untuk mengatasinya.

2) AI memprediksi siapa saja yang akan dapat mengatasi kesulitan dan siapa saja yang tidak akan dapat mengatasinya.

3) AI memprediksi siapa saja yang akan memiliki harapan yang tinggi terhadap kinerjanya dan siapa yang tidak.


(30)

21

Dengan kata lain adversity intelligence merupakan suatu kemampuan untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala masalah ataupun kesulitan hidup.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Adversitas

Menurut Stoltz (2000: 140-148) Adversty Intelligence atau

Adversity quotient (AQ) dari seseorang terdiri dari empat dimensi yang dikenal dengan istilah CO2RE (Control, Origin Ownership, Reach, Endurance).

1) Kendali (control)

Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya. Kemampuan individu dalam mempengaruhi secara positif suatu situasi, serta mampu mengendalikan respon terhadap situasi, dengan pemahaman awal bahwa sesuatu apapun dalam situasi apapun individu dapat melakukannya dimensi ini memiliki dua fase yaitu pertama, sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi secara positif suatu situasi? Kedua, yaitu sejauh mana seseorang mampu mengendalikan respon terhadap suatu situasi? Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan.


(31)

22

2) Asal-usul dan Pengakuan (Origin & Ownership)

Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya. Kemampuan individu dalam menempatkan perasaan dirinya dengan berani menanggung akibat dari situasi yang ada, sehingga dapat melakukan perbaikan atas masalah yang terjadi. Dimensi ini mengukur sejauh mana seseorang menanggung akibat dari situasi saat itu, tanpa mempermasalahkan penyebabnya. Dimensi ini mempunyai keterkaitan dengan rasa bersalah. Suatu kadar rasa bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang kritis atau lingkaran umpan balik yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Kemampuan untuk menilai apa yang dilakukan dengan benar atau salah dan bagaimana memperbaikinya merupakan hal yang mendasar untuk mengembangkan pribadi.

3) Jangkauan (Reach)

Dimensi ini merupakan bagian dari AQ yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya. Kemampuan individu dalam menjangkau dan membatasi masalah agar tidak menjangkau


(32)

23

bidang-bidang yang lain dari kehidupan individu, dimensi ini melihat sejauh mana individu membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain pekerjaan dan kehidupan individu.

4) Daya Tahan (Endurance)

Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan indivudu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya. Kemampuan individu dalam mempersepsi kesulitan, dan kekuatan dalam menghadapi kesulitan tersebut dengan menciptakan ide dalam pengatasan masalah sehingga ketegaran hati dan keberanian dalam penyeleasaian masalah dapat terwujud dimensi ini berupaya melihat berapa lama seseorang mempersepsi kesulitan tersebut akan berlangsung.

Dari dimensi-dimensi tersebut membentuk dorongan bagi individu dalam menghadapi masalah. Kendali atau control merupakan tingkat optimisme individu mengenai situasi yang dihadapi, apabila situasi berada dalam kendali individu maka dalam diri individu akan membentuk intensi menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki kendali yang tinggi akan berinisiatif menangkap peluang yang ada. Asal-usul dan Pengakuan (origin & ownership) merupakan faktor yang menjadi awal tindakan individu. Apabila individu memandang


(33)

24

penyebab atau asal-usul kesalahan bukan berasal dari diri individu melainkan berasal dari luar atau masalah itu sendiri maka akan timbul intensi untuk melakukan sesuatu yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Jangkauan (reach) merupakan faktor sejauh mana kesulitan yang dihadapi individu, semakin besar kesulitan-kesulitan yang dihadapi individu maka semakin rendah intensi individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Daya tahan (endurance) merupakan jangka waktu masalah yang dihadapi, apabila lama masalah yang dihadapi maka intensi yang ada dalam diri individu menjadi rendah.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas

Paul G. Stoltz dalam bukunya menggambarkan potensi dan daya tahan individu dalam sebuah pohon yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek yang ada dalam pohon kesuksesan tersebut yang dianggap mempengaruhi kecerdasan adversitas seseorang, diantaranya (Stoltz, 2000):

1) Faktor Internal a) Genetika

Warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini. Beberapa riset-riset terbaru menyatakan bahwa genetika sangat mungkin mendasari perilaku. Yang paling terkenal adalah kajian tentang ratusan anak kembar identik yang tinggal terpisah sejak lahir dan dibesarkan di


(34)

25

lingkungan yang berbeda. Saat mereka dewasa, ternyata ditemukan kemiripan-kemiripan dalam perilaku.

b) Keyakinan

Keyakinan mempengaruhi seseorang dalam mengahdapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup.

c) Bakat

Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan.

d) Hasrat atau kemauan

Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau disebut hasrat. Hasrat menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat.

e) Karakter

Seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Karakter merupakan bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup berdampingan secara damai.


(35)

26

f) Kinerja

Merupakan bagian yang mudah dilihat orang lain sehingga seringkali hal ini sering dievaluasi dan dinilai. Salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan hidup dapat diukur lewat kinerja.

g) Kecerdasan

Bentuk-bentuk kecerdasan kini dipilah menjadi beberapa bidang yang sering disebut sebagai multiple intelligence. Bidang kecerdasan yang dominan biasanya mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi.

h) Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik dapat memepengaruhi seseorang dalam menggapai kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan sakit akan mengalihkan perhatiannya dari msalah yang dihadapi. Kondisi fisik dan psikis yang prima akan mendukung seseorang dalam menyelesaikan masalah.

2) Faktor Eksternal a) Pendidikan

Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Gest. Dkk.. (1999 dalam McMillan dan Violato, 2008) menyebutkan bahwa


(36)

27

kesengsaraan yang diakibatkan oleh pola hubungan dengan orang tua, namun permasalahan orang tua secara langsung ikut berperan dalam perkembangan ketahanan remaja. Salah satu sarana dalam pembentukan sikap dan perilaku adalah melalui pendidikan.

b) Lingkungan

Lingkungan tempat individu tinggal dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon kesulitan yang dihadapinya. Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih tinggi. Menurut Stoltz, individu yang terbiasa berada di lingkungan yang sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi.

4. Tingkatan dalam Kecerdasan Adversitas

Stoltz mengelompokkan individu berdasarkan daya juangnya menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Penggunaan istilah ini dari kisah pendaki Everest, ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian, merasa puas sampai pada ketinggian tertentu, dan mendaki terus hingga puncak tertinggi. Kemudian Stoltz menyatakan bahwa orang yang menyerah disebut quitter, orang yang merasa puas pada pencapaian tertentu sebagai camper, dan seseorang yang terus ingin meraih kesuksesan disebut sebagai climber.


(37)

28

Dalam bukunya, Stoltz menyatakan terdapat tiga tingkatan daya tahan seseorang dalam menghadapi masalah, antara lain (Stoltz, 2000): a. Quitters

Quitters yaitu orang yang memilih keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Individu dengan tipe ini memilih untuk berhenti berusaha, mereka mengabaikan menutupi dan meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk terus berusaha. Dengan demikian, individu dengan tipe ini biasanya meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Campers

Campers atau orang yang berkemah adalah orang-orang yang telah berusaha sedikit kemudian mudah merasa puas atas apa yang dicapainya. Tipe ini biasanya bosan dalam melakukan pendakian kemudian mencari posisi yang nyaman dan bersembunyi pada situasi yang bersahabat. Kebanyakan para campers menganggap hidupnya telah sukses sehingga tidak perlu lagi melakukan perbaikan dan usaha.

c. Climbers

Climbers atau si pendaki adalah individu yang melakukan usaha sepanjang hidupnya. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan kerugian, nasib baik maupun buruk, individu dengan tipe ini akan terus berusaha.


(38)

29

Profil yang lebih lengkap mengenai ketiga tingkatan AQ dapat dilihat dapa tabel 2.1 berikut.

Tabel 1.

Profil Quitters, Campers, dan Climbers (Sriati, 2008)

Profil Ciri, Deskripsi, dan Karakteristik

Quitter 1.Menolak untuk mendaki lebih tinggi lagi

2.Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan

tidak “lengkap”

3.Bekerja sekedar cukup untuk hidup

4.Cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesungguhnya

5.Jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati

6.Dalam menghadapi perubahan mereka cenderung

melawan atau lari dan cenderung menolak dan menyabot perubahan

7.Terampil dalam menggunakan kata-kata yang sifatnya

membatasi, seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol” dan sebagainya.

8.Kemampuannya kecilatau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, konribusinya sangat kecil.

Camper 1.Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti” di pos tertentu, dan merasa cukup sampai disitu

2.Cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satisficer)

3.Masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha.

4.Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya

5.Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada

6.Menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis,

misalnya, “ini cukup bagus”, atau “kita cukuplah sampai di sini saja”

7.Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga


(39)

30

8.Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan

mereka “berkemah” di situ

Climber 1. Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan

2.Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan

mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh

dalam jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil”

yang sedang dilewatinya

3.Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup; merekacenderung membuat segala sesuatu terwujud

4.Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia menerima kritik

5.Menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke arah yang positif

6.Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang

tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan

7.Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya

8.Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup

Ketiga tipe ini jika dihubungkan dengan hierarki kebutuhan Maslow, maka tingkatan yang akan mereka raih juga berbeda, seperti terlihat pada gambar 2.


(40)

31

Gambar 2. Tingkatan Kecerdasan Adversitas dalam Hierarki Kebutuhan Maslow

5. Peranan Kecerdasan Adversitas dalam Kehidupan

Faktor-faktor kesuksesan berikut ini dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian individu serta cara individu tersebut merespon kesulitan, diantaranya (Stoltz, 2000):

a. Daya Saing

Jason Sattefield dan Martin Seligman (Stoltz, 2000), dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat

Quitters Campers


(41)

32

ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.

b. Produktivitas

Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kinerja dan cara-cara pegawai merespon kesulitan. Seligman (2006) membukitkan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

c. Kreativitas

Joel Barker (dalam Stoltz, 2005. h. 94), kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.

d. Motivasi

Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang kecerdasan adversitasnya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.

e. Mengambil Resiko

Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2005) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif,


(42)

33

bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian.

f. Perbaikan

Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa bertahan hidup dikarenakan individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang lebih tinggi menjadi lebih baik, sedangkan individu yang kecerdasan adversitasnya lebih rendah menjadi lebih buruk.

g. Ketekunan

Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan kecerdasan adversitas individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan.

h. Belajar

Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.

i. Merangkul Perubaha

Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2005), menemukan individu yang memeluk perubahan cendrung merespon kesulitan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat, individu merespon dengan merubah kesulitan


(43)

34

menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh kesulitan.

6. Mengembangkan Kecerdasan Adversitas

Menurut Stoltz, cara mengembangkan dan menerapkan kecerdasan adversitas dapat diringkas dalam kata LEAD (Stoltz, 2000), yaitu:

a. Listened (dengar)

Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah kecerdasan adversitas individu. Individu berusaha menyadari dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon kecerdasan adversitas yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi kecerdasan adversitas mana yang paling tinggi.

b. Explored (gali)

Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.

c. Analized (analisa)

Pada tahap ini, individu diharapkan mampu menganalisa bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu harus


(44)

35

berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta-fakta ini perlu dianalisa untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung kecerdasan adversitas individu.

d. Do (lakukan)

Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan itu terjadi.

7. Pandangan Islam terhadap Kecerdasan Adversitas

1. Telaah Teks Psikologi tentang Kecerdasan Adversitas a) Sampel Teks

Stoltz mendefinisikan kecerdasan adversitas sebagai kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kecerdasan adversitas memiliki beberapa dimensi, yaitu control,

origin-ownership, reach, dan endurance. b) Analisis Komponensial

Dalam definisi di atas, terdapat beberapa bagian yang penting yang menjelaskan makna kecerdasan adversitas, yaitu: individu/orang, kemampuan mengamati, kesulitan, mengolah dengan kecerdasan, mengubah, tantangan menjadi peluang,


(45)

36

mengontrol kognisi, tanggungjawab, membatasi jangkauan masalah, daya tahan menghadapi masalah.

c) Pola Teks

Pola teks kecerdasan adversitas dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Pola Teks Kecerdasan Adversitas d) Mindmap (Peta Konsep)

Peta konsep kecerdasan adversitas dapat dilihat pada gambar 4, dan empat dimensi kecerdasan adversitas pada gambar 5.


(46)

37

Gambar 4. Peta Konsep Kecerdasan Adversitas AQ

Person

Kecerdasan

Ubah Kesulitan Persespsi Pihak lain

Dua Tunggal

Jamak

Tunggal Dua Jamak Panca Indera

Dari dalam diri

Dari lingkungan/ orang lain

MI EQ SQ IQ

Dengan CO2RE


(47)

38

Gambar 5. Empat Dimensi Kecerdasan Adversitas

2. TelaahTeks Psikologitentang Kecerdasan Adversitas dalam Al-Quran









































































































Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan

sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"( Artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali). [kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil]. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S Al-Baqarah 155-157)

Kecerdasan Adversitas Endurance Reach Origin - ownership Control Harapan / Optimis Usaha / Ikhtiyar Kekuatan Tindakan Tanggung Jawab Kesabaran


(48)

39

Pada ayat di atas, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan berkaitan dengan konsep kecerdasan adversitas, diantaranya tertuang pada tabel 2.

Tabel 2.

Kajian kecerdasan adversitas dalam QS Al-Baqarah: 155-157

Komponen Teks Keterangan

Person

; ;



Mereka (jamak), orang-orang ((jamak) Persepsi

 Mengucapkan/menggunakan indera

Kesulitan Cobaan beberapa kekuatan

(dari dalam diri), kekurangan harta, jiwa dan

buah-buahan (dari lingkungan). Kecerdasan

 Sabar mengindikasikan SQ => dimensi control

Ubah

; Mengubah cobaan menjadi keberkahan dan rahmat Dalam ayat di atas (Q.S Al-Baqarah 155-157), Allah SWT kembali memerintahkan hamba-hambaNya untuk bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan hidup di alam dunia. Kesabaran ini didasarkan pada keyakinan bahwa betapapun besarnya musibah, Allah SWT akan selalu bersama orang-orang yang sabar serta melimpahkan rahmat dankaruniaNya kepada mereka. (Shaleh & dkk, 2002).

Kecerdaan adversitas dapat kita teladani dari para nabi Allah, seperti ketabahan Nabi Ayyub as saat diberikan cobaan


(49)

40

penyakit fisik hingga orang-orang terdekatnya meninggalkannya. Nabi Ibrahim as yang menghadapi tekanan Raja Namrud hingga dibakar hidup-hidup tetapi beliau diselamatkan oleh Allah SWT. Nabi Yusuf as yang sejak kecil mendapatkan tekanan saudara-saudaranya, fitnah istri pembesar Mesir hingga dipenjara, namun atas pertolongan Allah swt akhirnya beliaumemperoleh kebahagiaan sebagai raja dan bertemu dengan keluarga dan ayah tercinta, Nabi Yaqub as. Nabi Musa yang menghadapi tekanan Fir‟aun beserta pengikut-pengikutnya. Rasulullah Muhammmad saw ketika menghadapi tekanan dan tantangan kaun kafir Quraisy.

Kisah-kisah para Rasul di atas dapat kita contoh sebagai panutan dalam menjalani kehidupan yang memiliki banyak ragam cobaan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran 146.





























































Artinya: “Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang

bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)


(50)

41

Beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam QS. Ali Imran: 146 berkaitan dengan konsep kecerdasan adversitas, diataranya tertuang pada tabel 3.

Tabel 3.

Kajian kecerdasan adversitas dalam QS Ali Imran: 146

Komponen Teks Keterangan

Person

 Nabi-nabi

Persepsi

 Pengikutnya yang

bertaqwa

Kesulitan Bencana, perang

Kecerdasan

 Sabar mengindikasikan SQ => dimensi control

Ubah Tidak lemah, tidak lesu,

tidak menyerah

Ayat di atas menunjukkan kepada kita agar selalu bersabar dalam menerima cobaan dari Allah swt. Al-Qur‟an memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi segala rintangan dan kesulitan hidup, karena dengan bersabar maka semuanya akan mampu teratasi. Kesabaran akan membentuk suatu ketenangan batin dalam diri individu dan ketenangan tersebut akan dapat membimbing manusia pada jalan yang akan dipilihnya.

3. Rumusan Konseptual tentang Kecerdasan AdversitasMenurut Islam. Kecerdasan adversitas dalam Islam adalah kemampuan individu untuk mempersepsikan kesulitan dan mengubahnya menggunakan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi peluang menuju kesuksesan. Adapun dimensi kecerdasan adversitas dalam


(51)

42

Islam antara lain diwujudkan berupa kesabaran ketika menghadapi kesulitan, tanggung jawab serta tindakan nyata untuk menghadapi masalah, kekuatan dan usaha (ihtiyar) serta harapan (do’a) untuk menunjukkan optimisme dalam menghadapi masalah.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian menurut Jung adalah keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran yang membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Jung juga mengemukakan bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009).

Menurut Allport kepribadian yaitu “personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment to his ti his environment”. Yang artinya kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang system psikofisik yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya (LN Yusuf, 2008).

Allport dalam menggunakan istilah “psikofisik” bertujuan menjelaskan bahwa kebiasaan, sikap, emosi, semtimen, motif, keyakinan yang kesemuanya itu merupakan aspek psikis, juga mempunyai dasar fisik dalam diri individu. Psikofisik ini meskipun mempunyai dasar pembawaan, namun dalam perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil


(52)

43

belajar, atau diperoleh melalui pengalaman. Sedangkan iIstilah “unik”

dalam definisi kepribadian Allport memiliki artian bahwa setiap individu bertingkah laku dalam caranya sendiri, karena setiap individu memiliki kepribadian sendiri sehingga setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain sehingga tidak ada yang sama diantara tingkah laku seseorang (LN Yusuf, 2008).

Berbagai definisi yang ditawarkan oleh para ahli psikologi, menurut Alwisol ada lima persamaan yang menjadi ciri bahwa definisi itu mengandung suatu definisi kepribadian, yaitu sebagai berikut (Alwisol, 2009):

a. Kepribadian bersifat umum: kepribadian menunjuk kepada sifat umum seseorang - pikiran kegiatan dan perasaan – yang berpengaruh secara sitematik terhadap keseluruhan tingkah lakunya.

b. Kepribadian bersifat khas: kepribadian dipakai untuk menjelaskan sifat individu yang membedakan dia dengan orang lain, semacam tandatangan atau sidik jari psikologik, bagaiman individu berbeda dengan orang lain.

c. Kepribadian berjangka lama: kepribadian digunakan untuk

menggambarkan sifat individu yang tahan lama, tidak mudah berubah sepanjang hidupnya.

d. Kepribadian bersifat kesatuan: kepribadian dipakai untuk memandang diri sebagai unit tunggal, struktur atau organisasi internal hipotetik yang membentuk kesatuan dan konsisten.


(53)

44

e. Kepribadian bisa berfungsi baik atau berfungsi buruk: kepribadian adalah cara bagaimana orang berada di dunia. Apakah dia tampil dalam tampilan yang baik, kepribadiannya sehat atau kuat, Atau tampil sebagai burung yang lumpuh, yang berarti kepribadiannya menyimpang atau lemah.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa, kepribadian adalah suatu totalitas dari tingkah laku khas bagi individu yang bereaksi serta menyesuaiakan dirinya terhadap segala rangsangan yang ada, baik yang datang dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang berasal dari dirinya sendiri dimana kepribadian dapat bersifat umum, merujuk pada sifat umumnya atau sifat khusus yang melekat pada dirinya, berjangka waktu lama, yang membentuk diri menjadi suatu kesatuan yang konsisten dan berfungsi baik atau buruk pada diri sendiri dan lingkungannya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembentukan Kepribadian

Murray beranggapan bahwa faktor-faktor genetika dan

pematangan mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan

kepribadian. Menurutnya, proses-proses genetik pematangan bertugas memprogramkan sejenis suksesi atau urutan pergantian berbagai masa sepanjang kehidupan seorang individu.dalam setiap periode, terdapat banyak program peristiwa tingkah laku dan pengalaman yang lebih kecil yang berlangsung di bawah bimbingan proses pematangan yang dikontrol secara genetis (Sobur, 2003).


(54)

45

Carl Gustav Jung mengatakan bahwa pertumbuhan pribadi merupakan suatu dinamika dan proses evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Bagi Jung, perilaku individu bukan hanya ditentukan oleh pengalaman masa lalu, melainkan juga oleh tujuan masa depan. Individu secara kontinyu berkembang dan belajar ketrampilan baru serta bergerak menuju realisasi diri (Sobur, 2003).

Menurut Yusuf dan Nurihsan menjelaskan bahwa secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi proses pembentukan dan perkembangan kepribadian, yaitu faktor hereditas (genetika) dan faktor lingkungan (environment), yaitu (LN Yusuf, 2008):

a. Faktor genetika (pembawaan), faktor genetika menjelaskan bahwa kepribadian juga dapat dipengaruhi oleh salah satu faktor tersebut. Bermula adanya hereditas inividu yang akan lahir dibentuk oleh 23 kromosom (pasangan x x) dari ibu, dan 23 kromoson (x y) dari ayah. Berbagai studi tentang perkembangan prenatal (sebelum kelahiran atau

masa dalam kandungan) menunjukkan bahwa kemampuan

menyesuaikan diri terhadap kehidupan setelah kelahiran (post natal) berdasar atau bersumber pada masa konsepsi. Kepribadian sebenarnya tidak mendapat pengaruh langsung dari gen dalam pembentukannya, karena yang dipengaruhi gen secara langsung adalah kualitas sistem saraf, keseimbangan biokimia tubuh, dan struktur tubuh.

b. Faktor lingkungan, faktor lingkungan yang mempengaruhi kepribadian diantaranya keluarga, sekolah, dan budaya. Keluarga dipandang sebagai


(55)

46

penentu utama pembentukan kepribadian individu karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi individu, individu banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, para anggota keluarga merupakan “significant people” bagi

pembetukan kepribadian individu. Selain itu sekolah juga

mempengaruhi perkembangan individu karena setelah dari keluarga interaksi social yang banyak terjadi di lingkungan sekolah terutama dengan teman sebaya. Kebudayaan juga ikut serta mempengaruhi proses pembentukan kepribadian karena setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi, adat, atau kebudayaan yang khas. Pola-pola tingkah laku yang sudah terlembaga dalam masyarakat akan membentuk karakteristik individu yang kemudian karakteristik ini mendorong berkembangnya konsep-konsep tipe kepribadian (Sobur, 2003).

Sehingga jika ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mendorong proses pembentukan dan perkembangan kepribadian adalah faktor hereditas (gen atau pembawa) dan juga ditambah faktor lingkungan.

3. Struktur Kepribadian

Jung sebenarnya tidak membahas struktur kepribadian secara khusus melainkan lebih membahas tentang jiwa. Menurut Jung Psiche

adalah “psyche embraces all thought, feeling and behavior, conscious and

unconscious”. Kepribadian itu adalah seluruh pemikiran, perasaan dan perilaku nyata yang disadari maupun yang tidak disadari (LN Yusuf, 2008).


(56)

47

Menurut Jung, struktur kepribadian manusia terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi kesadaran dan dimensi ketidaksadaran. Kedua dimensi ini saling mengisi dan mempunyai fungsi masing-masing dalam penyesuaian diri.

a. Dimensi kesadaran

Dimensi kesadaran adalah penyesuaian terhadap dunia luar individu. Dimensi kesadaran manusia mempunyai dua komponen pokok yaitu:

1) Fungsi jiwa

Fungsi jiwa adalah bentuk suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi jiwa yang pokok. Yang dua rasional, yaitu pikiran dan perasaan., sedangkan yang dua lagi irrasional, yaitu pendirian dan intuisi.dalamberfungsinya, fungsi-fungsi rasioanal bekerja dengan penilaian: fikiran menilai atas dasar benar dan salah, sedangkan perasaan menilai atas dasar menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua fungsi irrasional dalam berfungsinya tidak memberikan penilaian, melainkan hanya semata-mata mendapat pengamatan: pengindraan mendapatkan pengamatan dengan sadar-indraiah, sedangkan intuisi mendapatkan pengamatan seacara taksadar-naluriah. Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi jiwa tersebut, akan tetapi biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi


(1)

98

dan mendukung pembentukan kecerdasan adversitas dalam dirinya, sangat

dimungkinkan dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya.

Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Ar-Ra’d: 11, bahwa nasib seseorang tergantung pada usaha yang ialakukan, apakah menuju hal yang

lebih baik atau sebaliknya.



























Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS: Ar’Ra’d: 11).


(2)

99 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melaksanakan tahapan-tahapan penelitian yang telah

diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa terdapat perbedaan kecerdasan adversitas ditinjau dari tipe

kepribadian ekstrovert dan inrovert. Hal ini bahwa semakin tinggi

ekstraversi yang ada dalam individu maka semakin tinggi pula kecerdasan

adversitasnya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai

berikut :

1. Bagi Fakultas Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya, hasil penelitian

ini dapat dijadikan bahan pertimbangan sebagai penambahan

khazanah keilmuan Psikologi, khususnya teori tentang tipe

kepribadian ekstrovert dan introvert serta kecerdasan adversita

(adversity quotient).

2. Bagi peneliti lain untuk mempertimbangkan beberapa kelemahan

dalam penelitian ini agar dijadikan perhatian, yakni beberapa

kelemahan antara lain keterbatasan dalam pemilihan sampel serta

kendala saat melakukan penelitian.

3. Bagi mahasiswa hendaknya terus mengembangkan kemampuannya


(3)

100

individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan

meskipun memiliki tipe kepribadian yang berbeda. Salah satu cara

pengemnbangan kecerdasan adversitas ini dapat dilakukan dengan

menggunakan metode LEAD seperti yang tertera di BAB II.

4. Bagi pihak Aliansi Mahasiswa Bidikmisi (AMBISI) agar dilakukan

stimulasi untuk mahasiswanya agar dapat mahasiswa memiliki

kecerdasan adversitas yang lebih baik untuk mencapai kesuksesan

dalam hal studi di UIN Sunan Ampel Surabaya serta nanti ketika telah


(4)

101

101

DAFTAR PUSTAKA

‘Aarifatunnisaa’. (2010). Skripsi: Hubungan Adversity Quotient dengan Makna Hidup Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Afifah, L., M. & Wardhana, I S., P. (2015). Pengaruh Tipe Kepribadian Extrovert-Introvert terhadap Emotional Eating pada Wanita Dewasa Awal. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aziz, Rahmat. (2012). Pengaruh Kepribadian Ulul Albab Terhadap Kemampuan Menghadapi Tantangan. Malang: El-Qudwah.

Azwar, Saifuddin. (2011). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2008). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baihaqi, M. (2008). Psikologi Pertumbuhan; Kepribadian Sehat Untuk

Mengembangkan Optimisme. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Catrunada, L. (2008). Perbedaan Kecenderungan Prokrastinasi Tugas Skripsi Berdasarkan Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Chaplin, J. (2008). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Daradal, L. C. (2010). Thesis: Pricipal's Adversity Quotient: Style, performance,

and Practices. Quezon City: Division of Educational Leadership and Professional Servoces College of Education University of Phillipines. Departemen Agama RI. (1976). Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Bumi


(5)

102

Endriyanto., & dkk. (2014). Hubungan Antara Adversity Intelligence Dengan Prokrastinasi Dalam Menyelesaikan Skripsi Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya. Malang: Universitas Brawijaya.

Fauziah, Nailul. (2014). Empati, Persahabatan, dan Kecerdasan Adversitas pada Mahasiswa yang Sedang Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Feist., Jess dan Feist, Gregory. (2010). Teori Kepribadian; Theories of Personality. Jakarta: Salemba Humanika.

Ghozali, Imam. (2011). Aplik asi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 19 (edisi kelima.) Semarang: Universitas Diponegoro.

Hall, Calvin. S, Lindzey Gardner; Campbell, John B. (1998). Theories of Personality 4th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Herwianti, D., & Dwi, Y., A. (2012). Hubungan Tipe Kepribadian Ekstravert Dengan Adversity Quotient Pada Ibu Bekerja. Ciamis.

Ladius, N. (2003). Psikologi Jung; Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses dalam Hidup (Tipe Kebijaksanaan Jung). Jakarta: Grasindo.

LN Yusuf, S. N. (2008). Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhid, A. (2010). Analisis Statistik SPSS for Windows Cara Praktis Melakukan

Analisis Statistik. Surabaya: CV. Duta Aksara

Musarofah,. S., L. (2010). Perbedaan Penerimaan teman sebaya Ditinjau dari Tipe kepribadian Ekstrovert dan introvert pada Siswa MTs Negeri Pare Kediri. Surabaya: Program Studi Psikologin Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Mustikayati, N. D. (2005). Perbedaan Perilaku Persahabatan pada Remaja Introvert dan Ekstrovert. Malang: UMM.

Nasaiban, L. (2003). Psikologi Jung: Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses dalamHidup; Tipe Kebijaksanaan Jung. Jakarta: PT. Grasindo. Nisfiannoor, Muhammad.(2009). Pendekatan Statistik Modern: Untuk Ilmu


(6)

103

103

Nuqul, Lubabin Fathul.(2004). Hubungan antara Tipe kepribadian dengan Sikap Percaya terhadap Paranormal, Laporan Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang (tidak dipublikasikan).

Primandari, Tika. Menristek Resmikan 36 Perguruan Tinggi Negeri Baru. 27 Juli 2016. https://m.tempo.co/read/news/2016/01/06/079733726/menristek-resmikan-36-perguruan-tinggi-negeri-baru.html

Santrock, John W. Adolescence. (2003). Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Sesanti, Diawinasis Mawi. (2012). Hubungan antara Tipe Kepribadian Carl Gustaf Jung dengan Adversity Quotient Mahasiswa Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Malana: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka setia.

Stoltz. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Grasindo: Jakarta.

Sugiarto, Endar (1999). Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. (2001). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujanto, A., Lubis, H., & Hadi, T. (2001). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumaatmadja, Nursid. (2000). Manusia dalam konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.