Perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel.

(1)

PERBEDAAN CULTURE SHOCK DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT DAN EKSTROVERT PADA MAHASISWA ASING DI UIN

SUNAN AMPEL SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Uswatun Chasannah B37213050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan culture shock yang ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan ampel Surabaya. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Penelitian ini merupakan penelitian populasi sehingga seluruh populasi dijadikan subjek penelitian sejumlah 86 Mahasiswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sedangkan alat pengumpul data menggunakan skala culture shock dan tes kepribadian EPI (Eysenck Personality Inventory). Kemudian, analisis datanya menggunakan uji Mann Whitney U-Test dengan bantuan SPSS 16.00 for windows, yang diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya. Subjek dengan tipe kepribadian introvert memiliki culture shock yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tipe kepribadian ekstrovert.


(7)

xiii ABSTRACT

This study aims to find out the difference of culture shock in terms of introvert and extrovert personality types in foreign student at UIN Sunan Ampel Surabaya. This hypothesis proposed in this research is the difference culture shock in terms of introvert and extrovert personality types. This research is a population research so that the entire population became the subject of research a total of 86 students. The method used in this research is quantitative method. While the data collection tool using the scale of culture shock and EPI (Eysenck Personality Inventory). Then, the data analysis using mann whitney u-test with SPSS 16.00 for windows, obtained values p = 0,000 (p<0,05). The result of the research showed that there is a difference culture shock in terms of ontrovert and extrovert personality types on foreign students at uin sunan ampel surabaya. The subject with introvert personality types have higher culture shock than those with the subject with extrovert personality types.


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman Sampul

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Halaman Persetujuan ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

Intisari ... xii

Abstrack ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Culture Shock 1. Definisi Culture Shock ... 14

2. Dimensi Culture Shock ... 19

3. Proses Proses Culture Shock ... 21

4. Faktor Faktor Culture Shock ... 22

5. Aspek Aspek Culture Shock ………...…….. ... 23

6. Gejala Culture Shock………...…….. ... 24

B.Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian ... 25

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian ... 27

3. Aspek Aspek Kepribadian... ... 29

4. Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert... ... 30

5. Aspek Aspek Kepribadian Introvert dan Ekstrovert ... 36

C.Perbedaan Culture Shock Ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert ... 36

D.Landasan Teoritis ... 40

E. Hipotesis ... 42

BAB III : METODE PENELITIAN ... A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 43


(9)

viii

1. Variabel Penelitian……….. 43

2. Definisi Operasional………... 44

B. Populasi dan Sampel ... 45

1. Populasi ... 45

2. Sampel ... 46

C. Teknik Pengumpulan Data ... 47

D. Validitas dan Reliabilitas ... 51

1. Uji Validitas... ... 51

2. Uji Reliabilitas ... 55

E. Uji Teknik Analisis Data ... 57

1. Uji Normalitas ... 58

2. Uji Linearitas ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 60

a. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Usia... 60

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Tahun Angkatan ... 61

c. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

d. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Asal Negara.... ... 62

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 62

1. Deskripsi Data ... 62

2. Reliabilitas Data ... 66

3. Uji Prasyarat ... 66

4. Uji Linieritas ... 68

C. Hasil Penelitian ... 69

D. Pembahasan ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada era globalisasi seperti saat ini, pendidikan menjadi sangat penting sebagai usaha untuk mengembangkan potensi atau untuk mencapai cita-cita dan impian di masa depan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembankan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan tinggi di Indonesia sangat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa menghadapi persaingan dengan negara lain yang semakin ketat.

Dunia Pendidikan ternyata masih melirik Indonesia sebagai salah satu negara untuk menimba ilmu. Terbukti ratusan pelajar dari luar negeri masih melirik sejumlah Universitas di Tanah Air. Tingginya peminat pelajar asing yang akan menempuh pendidikan di Indonesia direspon positif pemerintah, dengan menyediakan 650 beasiswa untuk mahasiswa dari 70 negara guna belajar di Indonesia, seperti yang dilansir sindonews.com.


(11)

2

Salah satu kota yang menjadi tujuan bagi pelajar yang berasal dari luar negeri yang ingin meneruskan studi ke perguruan tinggi adalah kota Surabaya. Menurut berita yang dimuat AntaraNews jumlah mahasiswa asing terbanyak di Indonesia adalah mahasiswa yang berasal dari Negeri Jiran, Malaysia.

Tak terkecuali di UIN Sunan Ampel Surabaya, menurut keterangan dari ketua himpunan mahasiswa asal Malaysia bernama Yaman yang duduk di semester 8 jurusan BKI (Bimbingan Konseling Islam), saat ini mahasiswa asal Malaysia yang menempuh pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya berjumlah 74 orang yang tersebar di berbagai jurusan dan semester. Selain mahasiswa yang berasal dari Malaysia, terdapat mahasiswa asing yang berasal dari Thailand. Menurut keterangan Settawut Khlongmodkhan selaku ketua himpunan mahasiswa Thailand, saat ini terdapat 12 orang mahasiswa yang juga tersebar di berbagai jurusan dan semester di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam tabel berikut adalah rincian jumlah mahasiswa asing yang ada di UINSA.

Tabel 1

Data Rincian Jumlah Mahasiswa Thailand

JURUSAN SEMESTER JUMLAH

KESELURUHAN 2 4 6 8

Bahasa & Sastra Arab - 2 - 2

12 Pendidikan Agama Islam 1 3 - -

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

1 2 - - Pendidikan Bahasa Inggris 1 - - -


(12)

Tabel 2

Data Rincian Jumlah Mahasiswa Malaysia

Menetap dan mencari ilmu di negara lain merupakan tantangan tersendiri bagi mahasiswa asing. Mahasiswa yang menjalani studi ke luar negeri (study abroad) bisa diartikan sebagai sojourn. Sojourn didefinisikan sebagai orang baru yang tinggal di tempat yang baru untuk sementara waktu (Ward, Bochner, & Furhanm, 2001). Menurut Argyle (1982) sojourners seringkali mengalami permasalahan lintas budaya, karena kesulitan dalam menyesuaikan diri (adjustment) di kehidupan sosial sehari-hari. Terlebih bagi mereka yang memilih Indonesia sebagai destinasi pendidikannya. Tantangan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar semakin bertambah, mengingat Indonesia merupakan negara multikultural, yang memiliki berbagai macam kebudayaaan serta kaya akan berbagai macam bahasa. Direktur Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristek Dikti, Paristianti Nurwardani dalam okezone.com menyatakan, masalah yang

JURUSAN SEMESTER JUMLAH

KESELURUHAN 2 4 6 8

Bimbingan & Konseling Islam

1 6 17 10

74 Sejarah Kebudayaan Islam 3 1 - 19

Hukum Keluarga Islam 1 - 4 2

Tafsir Hadist 1 - 2 -

Muamalah - 2 1 -

Ilmu Komunikasi - 3 - - Ilmu Al-Quran dan Tafsir 1 - - -


(13)

4

biasanya dihadapi mahasiswa Indonesia di luar negeri adalah pada bahasa dan budaya.

Perbedaan kultural dari Mahasiswa asing dengan budaya tuan rumah dapat menyebabkan masalah-masalah komunikasi dan interaksi. Hal ini seperti yang diungkap oleh Sirrullah, salah satu mahasiswa asing asal Malaysia yang saat ini duduk di semester 8 di jurusan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Ia mengungkap bahwa selama ini ia tidak pernah tinggal seatap dengan mahasiswa Indonesia. Di Surabaya, ia mengontrak rumah dan ditempati sesama mahasiswa asal malaysia yang pada umumnya memiliki budaya dan gaya hidup yang sama. Ia merasa terdapat beberapa perbedaan kultural di Indonesia dengan negara asalnya yaitu Malaysia, salah satu contohnya adalah perbedaan waktu, perbedaan waktu ini meliputi waktu istirahat dan waktu pengerjaan tugas-tugas. Ia berkata hal ini sangat ia rasakan ketika ia menjalani masa KKN selama 1 bulan yang mengharuskannya tinggal satu atap dengan banyak mahasiswa Indonesia. Menurut penuturannya, Mahasiswa Indonesia kebanyakan mengerjakan tugas sampai larut malam tanpa memperhatikan waktu istirahat yang sudah tiba, hal itu membuatnya merasa tidak nyaman ketika harus bersama mahasiswa Indonesia dalam pengerjaan tugas. Selain itu juga persoalan tipe makanan. Mayoritas dari mereka tidak menyukai makanan Indonesia yaitu tahu, tempe serta sambal. Bahkan ketika secara terpaksa mereka memakannya, hal itu menimbulkan dampak psikosomatis sepeti diare, mual dan gatal-gatal. Hal lain yang berbeda adalah dari segi


(14)

budaya. Ia mengungkapkan bahwa ia merasa sangat cemas ketika ia hadir dalam acara perpisahan KKN, karena pihak desa menghadirkan hiburan berupa orkes dangdut yang pada umumnya semua penyanyi memakai pakaian yang minim dan ketat. Ia merasa hal ini sangat bertentangan dengan budaya islam yang ia pelajari di negaranya.

Perbedaan semacam ini juga dirasakan oleh Mahasiswa asal Thailand. Salah satu mahasiswa asal Thailand, Settawut Klhongmodkhan yang memiliki nama Islam Shobirin yang duduk di semester 8 jurusan sastra Arab, merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh mahasiswa asal Malaysia tersebut, karena ketika di negaranya ia memiliki jam istirahat yang sudah teratur, sehingga ia merasa sedih ketika tinggal bersama mahasiswa Indonesia yang mengerjakan tugas hingga larut malam. Selain itu ia juga mengungkap perbedaan tipe makanan Indonesia dengan negara asalnya, meskipun ia tidak sampai mengalami psikosomatis. Namun dalam hal budaya, ia juga merasakan sangat cemas ketika ia melihat pagelaran musik dangdut yang merupakan musik asli Indonesia dengan para penyanyi yang berpakaian minim dan ketat.

Gejala-gejala yang muncul seperti cemas, psikosomatis, marah, marah, sedih merupakan gejala gejala yang timbul akibat Culture Shock. Culture Shock adalah suatu keadaan psikologis yang bersifat negatif, dimana individu merasa tidak mampu dalam menghadapi lingkungan dengan budaya yang berbeda. Hal-hal yang dapat menimbulkan Culture Shock yaitu: tipe makanan, perilaku pria dan wanita, sikap terhadap


(15)

6

kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian maupun transportasi umum (Spradly dan Philips dalam Ward, dkk; 2001).

Beberapa penelitian yang pernah mengungkap tentang Culture Shock diantaranya adalah penelitian Indrianie (2012) yang berjudul “Culture Adjustment Untuk Mengatasi Culture Shock Pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Pulau Jawa Barat” memaparkan hasil bahwa terdapat perubahan derajat Culture Shock sestelah mengikuti Culture adjustment training, dalam hal ini. Derajat Culture shock pada mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung (yang berasal dari luar Jawa Barat) mengalami penurunan setelah mengikuti culture adjustment training. Penurunan culture shock terjadi secara bertahap selama proses monitoring yang dilakukan seminggu sekali selama satu bulan.

Selain itu, penelitian Niam (2009) yang berjudul “Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta”, menemukan hasil bahwa Hasilnya ada 13 bentuk koping yang dilakukan mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi culture shock yaitu: (a) mencari dukungan sosial, (b) penerimaan terhadap perbedaan, (c) keaktifan diri, (d) kontrol diri, (e) mencari hiburan, (f) tindakan instrumental, (g) religiusitas, (h) negosiasi, (i) pengurangan beban masalah, (j) harapan, (k) penghindaran terhadap masalah, (l) putus asa, (m) koping individual tidak efektif.


(16)

Menurut Parillo, dalam Frandawati (2009) ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi terjadinya Culture Shock, diantaranya yaitu faktor intrapersonal yang meliputi keterampilan komunikasi, pengalaman dengan budaya baru, dan trait personal (sifat-sifat yang dimiliki seseorang). Trait yang dimiliki masing masing orang sangat penting dalam proses adaptasi dengan lingkungan yang baru. Trait berbeda yang dimiliki masing-masing orang, juga dapat menghasilkan respon yang berbeda ketika dihadapkan dengan situasi dan budaya yang baru. Trait personal merupakan salah satu dari aspek kepribadian seseorang. Kepribadian menurut Jung adalah keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran yang membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Jung juga mengemukakan bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009). Banyak para ahli yang memberikan penggolongan pada kepribadian manusia, diantaranya Jung, yang membagi tipe kepribadian manusia berdasarkan sikap pokok individu terhadap dirinya sendiri dan dunia luar yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian introvert. Berdasarkan teori Jung (dalam Eysenck, 2006) yang menyatakan beberapa ciri orang introvert, yaitu terutama dalam keadaan emosional atau konflik, orang dengan kepribadian ini cenderung untuk menarik diri dan menyendiri. Mereka lebih menyukai pemikiran sendiri daripada berbicara dengan orang lain. Mereka cenderung berhati-hati, pesimis, kritis dan


(17)

8

selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan sendirinya mereka sulit untuk dimengerti. Sedangkan Orang-orang yang termasuk dalam golongan tipe ekstrovert mempunyai sifat-sifat seperti: berhati terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah, penggembira, kontak denga lingkungan besar sekali. Mereka mudah mempengaruhi dan mudah dipengaruhi lingkungannya (Suryabrata, 1988).

Terkait dengan Culture Shock yang dialami mahasiswa asing, Tipe kepribadian sangat penting untuk dibahas dalam penilitian ini karena tipe kepribadian merupakan petunjuk bagaimana seorang individu mampu menyesuaikan diri, mengingat individu yang mengalami Culture Shock juga harus bisa menyesuaikan diri secara psikologis guna menghadapi kendala yang terjadi dalam proses akulturasi terhadap budaya baru di lingkungan baru.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Culture Shock ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert-Ekstrovert pada Mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya.

B. RUMUSAN MASALAH

Adakah perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya?


(18)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan Ekstrovert pada Mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Selain memiliki tujuan-tujuan tertentu, penelitian ini juga memiliki dua manfaat utama yakni manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Secara umum penelitian ini memberikan pengetahuan baru melalui pengujian dan pengembangan konsep dan teori ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang sosial dan budaya. Penelitian ini juga akan memberikan sumbangan data mengenai gambaran tipe kepribadian introvert dan ekstrovert, terutama dalam melihat fenomena Culture Shock diantara kedua tipe kepribadian tersebut. 2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini dapat memberikan manfaat atau sebagai bahan referensi bagi mahasiswa Asing yang menjalani studi di Indonesia, ataupun mahasiswa Indonesia yang akan menjalani studi di Luar Negeri agar mampu mengenali tipe kepribadian masing-masing serta seberapa besar pengaruhnya terhadap Culture Shock yang akan dialami.


(19)

10

b. Bagi pihak-pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan identifikasi awal bagi mahasiswa asing yang akan menjalani studi di Indonesia atau bagi mahasiswa Indonesia yang akan menjalani studi ke Luar Negeri sebagai upaya untuk memperkecil tingkat Culture Shock yang dialami.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.

Pada penelitian Niam (2009) yang berjudul “Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta”, menemukan hasil bahwa Hasilnya ada 13 bentuk koping yang dilakukan mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi culture shock yaitu: (a) mencari dukungan sosial, (b) penerimaan terhadap perbedaan, (c) keaktifan diri, (d) kontrol diri, (e) mencari hiburan, (f) tindakan instrumental, (g) religiusitas, (h) negosiasi, (i) pengurangan beban masalah, (j) harapan, (k) penghindaran terhadap masalah, (l) putus asa, (m) koping individual tidak efektif.

Indrianie (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Culture Adjustment Untuk Mengatasi Culture Shock Pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Pulau Jawa Barat” memaparkan hasil bahwa terdapat perubahan derajat Culture Shock sestelah mengikuti Culture adjustment


(20)

training, dalam hal ini. Derajat Culture shock pada mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung (yang berasal dari luar Jawa Barat) mengalami penurunan setelah mengikuti culture adjustment training. Penurunan culture shock terjadi secara bertahap selama proses monitoring yang dilakukan seminggu sekali selama satu bulan.

Hutabarat & Sawitri (2015) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Gegar Budaya Dengan Pengungkapan Diri Pada Mahasiswa Tahun Pertama Bersuku Batak di Universitas Diponegoro.” Penelitian tersebut memaparkan hasil bahwa semakin tinggi gegar budaya maka semakin rendah pengungkapan diri yang dilakukan oleh mahasiswa tahun pertama bersuku batak di Universitas Diponegoro.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widiantari dan Herdiyanto (2013) dengan judul “Perbedaan Intensitas Komunikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introivert pada Remaja” memaparkan hasil bahwa perbedaan intensitas komunikasi melalui jejaring sosial antara tipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian introvert, tipe kepribadian ekstrovert mempunyai intensitas komunikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe kepribadian introvert. Terdapat perbedaan kecenderungan penggunaan jenis jejaring sosial. Individu dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung menggunakan facebook dan twitter sebanyak 22,9% dan individu dengan tipe kepribadian introvert sebanyak 36,7%.Tidak terdapat perbedaan intensitas komunikasi komunikasi melalui jejaring sosial antara laki-laki


(21)

12

dan perempuan, serta terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah jejaring sosial dengan intensitas komunikasi melalui jejaring sosial.

Rosida & Astuti (2015) memiliki penelitian yang berjudul “Perbedaan Penerimaan Teman Sebaya Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ” yang memiliki hasil bahwa tidak terdapat perbedaan penerimaan diri teman sebaya jika ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert.

Dalam penelitian Xia (2009) yang berjudul “Analysis of Impact of

Culture Shock on Individual Psychology” memaparkan hasil berupa lima solusi dan evaluasi tentang bagaimana menghadapi gejala-gejala yang disebabkan oleh Culture Shock. Yang pertama, Sebelum memasuki budaya baru, sangat penting seseorang untuk membuat persiapan penuh. Yang kedua yaitu memahami proses dari Culture Shock itu sendiri, sehingga ketika sudah menghadapi Culture Shock seseorang akan dengan percaya diri dan optimis untuk menghadapinya. Yang ketiga adalah mencari dukungan sosial. Yang keempat adalah menerima budaya yang baru. Yang kelima adalah mengurangi stress psikologis.

Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Pantelidou dan Craig (2006) dengan judul “Culture Shock and Social Support A survey in Greek Migrant Students” memberikan hasil bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang terkait dengan tingkat kejutan budaya dan harus dipertimbangkan untuk melindungi dan membantu mengatasi tekanan psikologis yang dialami oleh seorang migran.


(22)

Penelitian yang dilakukan oleh Burtaverde & Mihaila (2011) yang berjudul “Significant Differences Between Introvert and Extrovert

People’s Simple Reaction Time in Conflict Situations” memaparkan hasil bahwa terdapat perbedaan reaksi yang signifikan antara subjek yang memiliki kepribadian introvert dan ekstrovert dalam menghadapi situasi konflik. Subjek dengan kepribadian ekstrovert merespon lebih baik terhadap rangsangan eksternal tetapi lebih mungkin untuk membuat kesalahan dibanding dengan subjek berkepribadian introvert.

Sedangkan dalam penelitian Prakas, Singh, & Yadav (2016) dengan judul “Personality (Introvert & Ekstrovert) and Professional

Commitment Effect Among B.Ed Teacher Educator Students” memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kepribadian introvert dan ekstrovert dengan komitmen profesional.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, maka penelitian ini dikatakan berbeda dengan penelitian terdahulu karena dalam penelitian ini membahas tentang perbedaan Culture Shock yang ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert mahasiswa asing, sedangkan pada penelitian terdahulu ada beberapa variabel yang dikaitkan dengan Culture Shock yaitu Koping Terhadap Stres, Culture Adjusment Training, serta Dampaknya Terhadap Pengalaman Belajar. Sedangkan untuk variabel tipe kepribadian introvert dan ekstrovert dikaitkan dengan intensitas komunikasi, perbedaan penerimaan teman sebaya, serta komitmen profesional.


(23)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Culture Shock

1. Definisi Culture Shock

Pada awalnya definisi Culture Shock cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby (dalam Dayakisni, 2008) menggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan. Sehingga dapat dikaitkan mirip dengan kondisi seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ Culture Shock (Littlejohn, dalam Mulyana, 2006)

Istilah "Culture Shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (dalam Dayaksini, 2004) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai.


(24)

Ward (2001) mendefinisikan Culture Shock adalah suatu proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan Cognitive, yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.

Edward Hall (dalam Hayqal, 2011) mendeskripsikan Culture Shock adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. Sementara Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa Culture Shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan Culture Shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego, dan self-image individu (Dayaksini, 2004).

Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, banyak konsep tentang Culture Shock untuk memperluas definisi ini. Menurut Adler (dalam Abbasian and Sharifi, 2013) mengemukakan bahwa Culture Shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan di tipu, dilukai ataupun diacuhkan. Culture Shock merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh


(25)

16

terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011).

Menurut Kim (dalam Abbasian & Sharifi, 2013) menyatakan Culture Shock adalah proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru. Selanjutnya Culture Shock adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru (Odera, dalam Niam, 2009).

Culture Shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda. Hal ini dapat mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri sampai individu yang berpindah ke negara lain (Dayaksini, 2004).

Menurut Littlejohn (dalam Mulyana 2006) Culture Shock adalah perasaan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain. Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan baru, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka ketika seseorang


(26)

meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, banyak masalah akan dapat terjadi (Mulyana, 2006).

Gegar budaya (Culture Shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang. Kapan dan bagaimana kita memberikan tips bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dan sebagainya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut streotip dengan cara negatif (Mulyana, 2006).


(27)

18

Culture Shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).

Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru (Mulyana, 2005).

Selanjutnya Culture Shock menurut Ruben & Stewart (dalam Hayqal, 2011) adalah rasa putus asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan adanya rasa keterasingan dan kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya.

Culture Shock bukanlah istilah klinis ataupun kondisi medis. Culture Shock merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan perasaan bingung dan ragu-ragu yang mungkin dialami seseorang setelah ia meninggalkan budaya yang dikenalnya untuk tinggal di budaya yang baru dan berbeda (Kingsley dan Dakhari, 2006).

J.P. Spradley dan M. Philips (dalam Ward, dkk, 2001) mengemukakan bahwa hal-hal yang dapat menimbulkan Culture Shock yaitu: tipe makanan, perilaku pria dan wanita, sikap terhadap


(28)

kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian, maupun transportasi umum.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, Culture Shock yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menurut Oberg (dalam Dayakisni, 2004) yakni istilah yang menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai.

2. Dimensi Culture Shock

Ward (2001) membagi Culture Shock kedalam beberapa dimensi yang disebut dengan ABCs of Culture Shock, yakni:

a. Affective

Dimensi ini berhubungan dengan perasaan dan emosi yang dapat menjadi positif atau negatif. Individu mengalami kebingungan dan merasa kewalahan karena datang ke lingkungan yang tidak familiar. Individu merasa bingung, cemas, disorientasi, curiga, dan juga sedih karena datang ke lingkungan yang tidak familiar. Selain itu individu merasa tidak tenang, tidak aman, takut ditipu ataupun dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-teman, merindukan kampung halaman, dan kehilangan identitas diri.


(29)

20

b. Behavior

Dimensi ini berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial. Individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi di seluruh budaya. Mahasiswa asing yang datang dan kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang baik di budaya lokal akan mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan hubungan harmonis di lingkungan yang tidak familiar. Perilaku individu yang tidak tepat secara budaya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat menyebabkan pelanggaran. Hal ini juga mungkin dapat membuat kehidupan personal dan profesional kurang efektif. Biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain. Dengan kata lain, individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan. Misalnya, mahasiswa asing yang lebih sering berinteraksi dengan orang sebangsanya/ senegaranya saja.

c. Cognitive

Dimensi ini adalah hasil dari aspek affectively dan behaviorally yaitu perubahan persepsi individu dalam identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak budaya. Saat terjadi kontak budaya, hilangnya hal-hal yang dianggap benar oleh individu tidak dapat dihindarkan. Individu akan memiliki pandangan negatif, kesulitan bahasa karena berbeda


(30)

dari negara asal, pikiran individu hanya terpaku pada satu ide saja, dan memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.

3. Proses Culture Shock

Mahasiswa asing yang datang ke lingkungan yang tidak familiar akan mengalami Culture Shock dengan serangkaian proses. Samovar (dalam Sekeon, 2011) mengungkapkan adanya empat fase untuk Culture Shock, yaitu:

1) Fase Bulan Madu yaitu fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Fase ini adalah fase yang paling disukai oleh semua orang. Pada fase ini mahasiswa asing merasakan sesuatu hal yang berbeda dari semula, jadi mahasiswa asing menikmati suasana yang terjadi oleh karena sesuatu yang baru dengan lingkungan yang lain dari sebelumnya. Pada fase ini semuanya merasakan kesenangan, kegembiraan serta kenikmatan. Layaknya seperti pasangan baru yang merasakan bulan madu yang belum ada termasuk kesulitan-kesulitan dalam menjalani hubungan dan budaya yang baru.

2) Fase Pesakitan yaitu fase krisis dalam Culture Shock, karena lingkungan baru mulai berkembang. Pada fase ini mahasiswa asing dihadapkan dengan keadaan yang sangat sulit, timbul perasaan yang tidak nyaman, kegelisahan, rasa ingin menolak apa yang dirasakan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab fase ini adalah fase yang membuat


(31)

22

seseorang merasa sendiri, terpojok, dan bimbang. Oleh karena itu, perubahan lingkungan yang mereka rasakan, mereka mendapati hal-hal yang mereka tidak inginkan di lingkungan yang baru. Disinilah perasaan hilangnya simbol-simbol, adat kebiasaan yang dulu menjadi identitas dirinya, saat ini harus dihadapkan dengan suatu keadaan yang berlawanan.

3) Fase Adaptasi yaitu fase dimana individu mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 4) Fase Penyesuaian Diri yaitu fase dimana individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya. Pada fase ini para mahasiswa asing tidak mendapatkan kesulitan lagi karena telah melewati masa adaptasi yang begitu panjang. Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hal menyatakan, bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya tersebut, individu akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Culture Shock Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi Culture Shock yaitu :

a) Faktor intrapersonal termasuk keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam setting lintas budaya),


(32)

trait personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian menunujukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan Culture Shock . Individu yang lebih muda cenderung mengalami Culture Shock yang lebih tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami culture shock daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995)

b) Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain. Culture Shock lebih cepat jika budayatersebut semakin berbeda,hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Bochner (2003) menyatakan bahwa semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang berinteraksi, semakin sulit kedua induvidu tersebut membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Pederson (1995) menyatakan bahwa semakin beda antar dua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa lokal akan semakin rendah.

c) Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi Culture Shock . Sikap dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotip, dan intimidasi.

5. Aspek-Aspek Culture Shock

Menurut Oberg (dalam Dayakisni, 2004), terdapat tiga aspek dari Culture Shock, yaitu:


(33)

24

1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gesture), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak pada situasi tertentu.

2) Krisis identitas, dengan pergi ke luar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.

3) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari atau tak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.

6. Gejala-Gejala Culture Shock

Ada beberapa gejala Culture Shock yang dapat di alami oleh individu yang berada di lingkungan baru (Guanipa, dalam Niam, 2009), diantaranya ialah:

1) Kesedihan, kesepian, dan kelengangan

2) Preokupasi (pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan.

3) Kesulitan untuk tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit 4) Perubahan perilaku, tekanan atau depresi

5) Kemarahan, sifat cepat marah, keengganan untuk berhubungan dengan orang lain


(34)

6) Mengidentifikasikan dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama

7) Kehilangan identitas

8) Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru 9) Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana

10) Tidak percaya diri

11) Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan 12) Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru 13) Mengembangkan obsesi seperti over- cleanliness 14) Rindu keluarga

B. KEPRIBADIAN

1. Pengertian Kepribadian

Secara umum kepribadian (personality) suatu pola watak yang relatif permanen, dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi perilaku seseorang (Feist & Feist, 2006).

Kepribadian menurut Eysenck (dalam Alwisol, 2004) adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan dari keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui fingsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, sektor kognitif, sektor afektif, dan sektor somatik.


(35)

26

Kepribadian menurut GW. Allport adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Kepribadian juga merupakan jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh dari lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi kejiwaan seseorang dan mempengaruhi sikapnya terhadap kehidupan (Weller, 2005).

Kepribadian menurut Jung adalah keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran yang membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Jung juga mengemukakan bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009).

Menurut Allport kepribadian bersifat fisik sekaligus psikologis, yang mencakup perilaku tampak dan pikiran yang terungkap. Kepribadian bukan hanya sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. Kepribadian merupakan substansi sekaligus perubahan, produk se kaligus proses, dan struktur sekaligus pertumbuhan (Feist & Feist, 2006).

Kartini Kartono dan Dali Gulo (dalam Hall dan Lindzey, 1993) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki


(36)

seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.

Sullivan (dalam Alwisol, 2004), mendefinisikan kepribadian sebagai pola yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia.

Berdasarkan beberapa pengertian kepribadian diatas yang dimaksud kepribadian dalam penelitian ini adalah menurut menurut Eysenck (dalam Alwisol, 2004) yaitu keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan dari keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui fingsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, sektor kognitif, sektor afektif, dan sektor somatik.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian Murray beranggapan bahwa faktor-faktor genetika dan pematangan mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan kepribadian. Menurutnya, proses-proses genetik pematangan bertugas memprogramkan sejenis suksesi atau urutan pergantian berbagai masa sepanjang kehidupan seorang individu.dalam setiap periode, terdapat banyak program peristiwa tingkah laku dan pengalaman yang lebih kecil yang berlangsung di bawah bimbingan proses pematangan yang dikontrol secara genetis (Sobur, 2003).


(37)

28

Horton et. al., (1977) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua faktor besar, yaitu faktor hereditas (keturunan) dan faktor lingkungan (dalam Mangkunegara, 2005).

Jung (dalam hartati, dkk, 2004) juga membagi dua faktor yang membentuk kepribadian yaitu sebagai berikut:

1. Faktor genetik

Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refrleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. 2. Faktor lingkungan

Kepribadian dipengaruhi lingkungan yang berasal dari luar individu tersebut. Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap [embentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam pembentukan kepribadian seseorang.


(38)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian dapat terbentuk dari faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan, cara berfikir, sikap, dll.

3. Aspek-Aspek Kepribadian

M. Ngalim Purwanto (1990) menguraikan beberapa aspek kepribadian yang penting dan berhubungan dengan oendidikan dalam rangka pembentukan pribadi seseorang, yaitu:

a. sifat-sifat kepribadian (traits), yaitu sifat-sifat yang ada pada individu, seperti penakut, pemarah, suka bergaul, peramah serta penyendiri.

b. intelegensi kecerdasan termasuk di dalamnya kewaspadaan, kemampuan belajar, kecakapan berfikir.

c. pernyataan diri dan cara menerima pesan-pesan. d. kesehatan jasmani.

e. bentuk tubuh.

f. sikapnya terhadap orang lain.

g. pengetahuan, kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang

h. keterampilan.

i. nilai-nilai yang ada pada seseorang dipengaruhi adat-istiadat, etika, kepercayaan yang dianutnya.


(39)

30

k. peranan adalah kedudukan atau posisi seseorang di dalam masyarakat dimana ia hidup.

l. the self yaitu anggapan dan perasaan tertentu tentang siapa, apa, dan dimana sebenarnya ia berada.

4. Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok dengan kategori tipe tadi (Chaplin, 2008). Tipe kepribadian diakui merupakan sesuatu yang penting dalam mempelajari manusia dengan segala tingkah lakunya, karena dengan mendalami dan memahami manusia berdasarkan tipe kepribadiannya, maka akan diperoleh keterangan yang jelas, langsung, dan lugas mengenai karakteristik kepribadian orang tersebut dan pada gilirannya dapat meramalkan tingkah laku (Catrunada, 2008).

Banyak para ahli yang memberikan penggolongan pada kepribadian manusia antaranya Jung, yang membagi tipe kepribadian manusia berdasarkan sikap pokok individu terhadap dirinya sendiri dan dunia luar yaitu tipe kepribadian Ekstrovert dan tipe kepribadian Introvert .

1. Tipe kepribadian Introvert

Orang yang bertipe Introvert , yaitu orang yang perhatiannya lebih di arahkan pada dirinya, pada “aku” nya. Adapun orang yang tergolong tipe Introvert


(40)

mempunyai sifat-sifat: kurang pandai bergaul, pendiam, sukar diselami batinnya, suka menyendiri, bahkan sering takut pada orang (Sobur, 2003). Hal ini hampir sama dengan yang diungkapkan Nuqul (2004) bahwa manusia dalam memandang objek yang ada disekitarnya pertama-tama mementingkan dirinya dahulu. Orang yang termasuk dalam penggolongan tipe ini sukar menyesuaiakan diri terhadap lingkungannya. Bagi dirinya yang primer (utama), objek yang ada di sekitarnya atau masyarakat dianggap sekunder. Orang semacam ini menghendaki lingkungan menyesuaiakan kepada dirinya. Orang ini disebut dengan orang Introvert dengan gejala introversi.

Berdasarkan teori Jung (dalam Eysenck, 2006) yang menyatakan beberapa ciri orang Introvert , yaitu terutama dalam keadaan emosional atau konflik, orang dengan kepribadian ini cenderung untuk menarik diri dan menyendiri. Mereka lebih menyukai pemikiran sendiri daripada berbicara dengan orang lain. Mereka cenderung berhati-hati, pesimis, kritis dan selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan sendirinya mereka sulit untuk dimengarti. Mereka seringkali banyak pengetahuan atau mengembangkan bakat diatas rata-rata dan mereka hanya dapat menunjukkan bakat


(41)

32

mereka di lingkungan yang menyenangkan. Orang Introvert berada dalam puncaknya dalam keadaan sendiri atau dalam kelompok kecil tidak asing.

Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003) juga menguraikan sifat-sifat dari orang Introvert sebagai berikut yaitu lebih lancar menulis daripada berbicara, cenderung atau sering diliputi kekhawatiran, lekas malu dan canggung, cenderung bersifat radikal, suka membaca buku-buku dan majalah, lebih dipengaruhi oleh perasaan-perasaan subyektif, agak tertutup jiwanya, lebih senang bekerja sendiri, sangat menjaga atau berhati-hati terhadap penderitaan dan miliknya, sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan.

Menurut Eysenck (dalam Niswatin, 2010) introvert adalah salah satu ujung dari dimensi kepribadian introversi-ekstraversi dengan karakteristik watak yang tenang, pendiam, suka menyendiri, suka termenung, dan menghindari resiko.

Dari pemaparan pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang berkepribadian Introvert adalah orang yang tidak mudah membaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, serta cenderung pendiam dan menyukai dunianya sendiri


(42)

daripada harus berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.

2. Tipe Kepribadian Ekstrovert

Menurut Suryabrata (1993), orang orang yang Ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektifnya, yaitu dunia luar darinya. Orientasinya terutama tertuju keluar. Pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Dia bersikap positif terhadap masyarakatnya, ini sama artinya dengan hati terbuka, mudah bergaul, hubungan dengan orang lain lancar. Bahaya bagi Ekstrovert ini adalah apabila ikatan terhadap dunia luar terlalu kuat, sehingga tenggelam dalam dunia objektifnya, kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.

Menurut Ladislaus (dalam Nasaiban, 2003), Ekstrovert adalah suatu kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang Ekstrovert memiliki sifat sosial, lebih banyak berbuat daripada berkontemplasi (merenung dan berfikir). Ia juga adalah orang yang penuh motif-motif, yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal.


(43)

34

Secara terperinci sifat tipe kepribadian Ekstrovert dilukiskan oleh Jung sebagai berikut (Mustikayati, 2005): 1) Cenderung dan menyukai partisipasi dalam realitas social, dalam dunia objektif dan dalam peristiwa-peristiwa praktis, lancar dalam bergaul. Bersifat realistis, aktif dalam bekerja dan komunikasi sosialnya baik (positif) serta ramah tamah.

2) Gembira dalam hidup, bersikap spontan dan wajar dalam ekspresi serta menguasai perasaan.

3) Bersikap optimis, tidak putus asa menghadapi kegagalan atau dalam menghadapi konflik-konflik-konklik pekerjaan selalu tenang, bersikap suka mengabdi.

4) Tidak begitu banyak pertimbangan, dan kadang-kadang sering tidak terlalu banyak analisa serta kurang self cristism, bersifat kurang mendalam.

5) Relatif bersifat independen dalam mendapat, mempunyai cita-cita bebas.

6) Meskipun ulet dalam berpikir namun mempunyai pandangan yang prakmatis disamping punya sifat keras hati.

Orang-orang yang termasuk dalam golongan tipe Ekstrovert mempunyai sifat-sifat seperti: berhati terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah, penggembira, kontak


(44)

denga lingkungan besar sekali. Mereka mudah mempengaruhi dan mudah dipengaruhi lingkungannya (Suryabrata, 1988).

Sedangkan menurut L. A. Pervin (dalam Nuqul, 2006), bahwa gambaran sifat tipe kepribadian Ekstrovert adalah sebagai orang yang ramah dalam pergaulan, banyak teman, sangat memerlukan kegembiraan, ceroboh, impulsive. Secara lebih rinci dijabarkan mudah marah, gelisah, agresif, mudah menerima rangsang, berubah-ubah, impulsif, aktif, optimis, suka bergaul, banyak bicara, mau mendengar, menggampangkan, lincah, riang, dan kepemimpinan.

Menurut Eysenck (dalam Niswatin, 2010) ekstrovert adalah salah satu ujung dari dimensi kepribadian ekstraversi dan interovertsi dengan karakteristik watak yang peramah, suka bergaul, suka menuruti kata hati, dan suka mengambil resiko.

Dari paparan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang dengan tipe kepribadian Ekstrovert adalah orang yang dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan mudah bergaul dengan lingkungan baru karena fikiran, tindakan dan perasaannya dipengaruhi oleh dunia luarnya (objektif).


(45)

36

5. Aspek Aspek Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Kepribadian introvert-ekstrovert menurut Eysenck (dalam Supatmawati, 2003) terbentuk dari beberapa sifat yaitu:

a. Sociability : kemampuan individu untuk menjalin hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

b. Impulsiveness : tingkat kemampuan individu dalam menuruti dorongan hati

c. Activity : Jenis aktivitas tertentu yang disukai individu

d. Liveness : pernyataan yang berhubungan dengan segala sesuatu kecenderungan umum untuk memperlihatkan emosi kepada orang lain

e. Exiability : berhubungan dengan individu dalam berfikir

C. Perbedaan Culture Shock ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Menurut teori yang dikemukakan oleh Parillo (2008) salah satu hal yang mempengaruhi terjadinya Culture Shock adalah Trait personal yang merupakan salah satu dari aspek kepribadian. Kepribadian menurut Jung adalah keseluruhan pikiran, perasaaan, dan tingkah laku, kesadaran, dan ketidak sadaran yang membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Jung juga mengemukakan


(46)

bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009).

Tipe kepribadian merupakan suatu kumpulan dimensi-dimensi primer dari kepribadian yang diklasifikasi menurut sifat-sifat yang dapat diselidiki dan diuji kebenarannya mengenai perilaku unik individu. Jung membagi Tipe kepribadian menjadi 2 yaitu, tipe kepribadian Ekstrovert dan tipe kepribadian Introvert .

Terkait dengan fenomena Culture Shock, tipe kepribadian yang muncul akan dapat menentukan mudah atau tidaknya seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Gejala Culture Shock akan muncul dalam jangka waktu yang lama bagi mereka yang sulit menyesuaian diri (Furham & Bochber, 1986). Adaptasi sosiokultural ini meningkat dengan adanya ektroversi (Dayakisni, 2008). Namun dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosida dan Astuti (2015) yang berjudul Perbedaan Penerimaan Teman Sebaya Ditinjau dari tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara individu berkepribadian introvert dan kepribadian ekstrovert dalam hal penerimaan terhadap teman sebaya.

Dari hasil penelitian Niam (2009), mengungkapkan bahwa kesulitan yang sering dialami mahasiswa luar jawa sewaktu pertama kali di Jawa adalah perbedaan bahasa dan rasa makanan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Spardly dan Philips (dalam Ward, 2001) bahwa


(47)

38

hal hal yang dapat menimbulkan Culture Shock yaitu perbedaan tipe makanan, perilaku terhadap pria dan wanita, sikap terhadap kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian maupun transportasi umum. Dari hasil penelitian tersebut juga menunjukkan hasil bahwa banyak yang mengalami Culture Shock tertinggi adalah anak-anak perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Dan dari 6 orang subjek yang memiliki nilai Culture Shock tertinggi adalah pendatang yang bertempat tinggal di kos umum, tidak tinggal dengan orang sedaerah diasrama.

Oberg (dalam Sodjakusumah, 1996) menyatakan bahwa dampak negatif dari Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa baru di New Zealand adalah masalah akademis (termasuk didalamnya perbedaan bahasa dan sistem pembelajaran disana), masalah sosial (tidak bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar), dan masalah pribadi (karena merasa sendiri dan rindu rumah). Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kholivah (2007) yang berjudul Pengaruh Culture Shock Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa PPKN Angkatan 2007 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh Culture Shock dengan hasil belajar (IP). Maka hasil penelitian ini dikatakan bertentangan dengan yang hasil penelitian Oberg yang menunjukkan bahwa dampak negatif dari Culture Shock salah satunya adalah masalah akademis.


(48)

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Stella Pantelidou dan Tom K. J. Craig (2006) yang berjudul Culture Shock and Social Support memaparkan hasil bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang terkait dengan tingkat kejutan budaya. Dukungan sosial sangat penting untuk melindungi atau juga mengatasi fenomena Culture Shock ini. Dalam penelitian ini juga dipaparkan hasil yang menyarankan lembaga pendidikan untuk menyediakan konseling bagi para siswa migran dengan mempertimbangkan faktor sosial yang berhubungan dengan kesehatan mental siswa. Hal ini juga terdapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Niam (2009) yang berjudul Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian tersebut adalah ada 13 bentuk koping stres yang dilakukan Mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi Culture Shock yang salah satunya yaitu dukungan sosial.

Menurut teori yang dikemukakan oleh Jung (dalam Mustikayati, 2005), salah satu sifat dari individu yang berkepribadian ekstrovert adalah bersifat realistis, aktif dalam bekerja dan komunikasi sosialnya baik (positif) serta ramah tamah. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiantari & Herdiyanto (2013) yang berjudul Perbedaan Intensitas Komunikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Introvert dan Tipe Kepribadian Ekstrovert pada Remaja. Penelitian tersebut memaparkan hasil bahwa terdapat perbedaan intensitas komunikasi melalui jejaring sosial antara tipe kepribadian introvert dan


(49)

40

ekstrovert pada remaja. Tipe kepribadian ekstrovert mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi dibandingkan dengan tipe kepribadian ekstrovert.

Jika seseorang sulit menyesuaikan diri, maka gejala Culture Shock akan muncul, bahkan dalam kurun waktu yang lama (Furham & Bochber, 1986). Menurut Nuqul (2004) tipe kepribadian introvert merupakan tipe orang yang sukar menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Suryabrata (1993) orang-orang yang ekstrovert selalu bersikap positif terhadap masyarakatnya, terbuka, mudah bergaul, serta hubungn dengan orang lain lancar. Ini sama artinya dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sebagaimana tipe kepribadian Ekstrovert dan intovert jika ditinjau dari ciri-ciri yang ditunjukkan masing-masing tipe maka diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat ektroversi yang ada pada individu, maka semakin rendah tingkat Culture Shock yang dialaminya. Sedangkan jika semakin tinggi tingkat introversi yang ada pada individu, maka akan semakin tinggi tingkat Culture Shock yang dialaminya.

D. LANDASAN TEORITIS

Oberg seperti yang dikutip oleh Dayakisni (2008) menggambarkan konsep Culture Shock sebagai respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Sementara Furnham dan Bochner (dalam Dayakisni, 2008) mengatakan bahwa


(50)

Culture Shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tidak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan Culture Shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego dan self image individu.

Terkait dengan fenomena Culture Shock, tipe kepribadian yang muncul akan dapat menentukan mudah atau tidaknya seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Adaptasi sosiokultural ini meningkat dengan adanya ektroversi (Dayakisni, 2008). Jika seseorang sulit menyesuaikan diri, maka gejala Culture Shock akan muncul, bahkan dalam kurun waktu yang lama (Furham & Bochber, 1986). Sebagaimana tipe kepribadian Ekstrovert dan intovert jika ditinjau dari ciri-ciri yang ditunjukkan masing-masing tipe maka diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat ektroversi yang ada pada individu, maka semakin rendah tingkat Culture Shock yang dialaminya.

Dari kerangka teori diatas, dapat dibuat bagan yang menunjukkan hubungan antara Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert dengan Culture Shock sebagai berikut.

Gambar 1. Landasan teoritis tipe kepribadian Introvert dan Ekstrovert dengan Culture Shock


(51)

42

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Setelah mengkaji beberapa teori yang ada, maka dibuatlah hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

“Ada perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian Introvert dan tipe kepribadian Ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya.”


(52)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai metode penelitian yang dibatasi secara sistematis sebagai berikut: Variabel penelitian, subjek penelitian, metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisis data.

A. Variabel Penenlitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Pentingnya identifikasi dan perumusan variabel penelitian adalah untuk mengarahkan, membatasi perhatian penelitian masalah yang hendak diteliti dengan segala hal yang terkait didalamnnya. Batasan-batasan variabel bebas dan variabel tergantung yang harus dipertegas. Hal ini masing- masing didefinisikan secara operasional agar dapat di ukur (Bustomi, 2015).

Berdasarkan landaan teori yang diuraikan diatas, maka variabel yang diteliti adalah:

a. Variabel terikat/ dependent variable (Y) = Culture Shock b. Variabel bebas/ independent variable (X) = Tipe Kepribadian


(53)

44

2. Definisi Operasional

a. Definisi Operasional Culture Shock

Culture Shock Istilah yang menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan skala Culture Shock untuk mencari tingkat Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya yang diadaptasi dari penelitian Umayyah (2015) yang berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Oberg (dalam Dayakisni, 2004). Aspek-aspek tersebut adalah kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya, putusnya komunikasi antar pribadi dan krisis identitas. Skala ini terdiri dari 45 pernyataan yang harus direspon subjek. Skala ini menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilainya. Metode seperti ini disebut dengan metode rating yang dijumlahkan atau Likert.

b. Definisi Operasional Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok. Tipe kepribadian ini didasarkan pada teori Jung yaitu sikap jiwa introvert dan ekstrovert.

Individu dengan tipe kepribadain introvert lebih menyukai pemikiran sendiri daripada berbicara dengan orang lain. Mereka


(54)

cenderung berhati-hati, pesimis, kritis dan selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan sendirinya mereka sulit untuk dimengerti. sifat-sifat dari orang introvert yaitu lekas malu dan canggung, agak tertutup jiwanya, lebih senang bekerja sendiri, sangat menjaga atau berhati-hati terhadap penderitaan dan miliknya, sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan. Sedangkan individu dengan kepribadian ekstrovert lebih suka bergaul, menyenangi interaksi sosial, beraktifitas dengan orang lain, dan berfokus pada dunia luar.

Untuk mengklasifikasikan tipe kepribadian mahasiswa menggunakan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan indikator tipe kepribadian diukur menggunakan tes EPI (Eysenck Personality Inventory) berdasarkan teori H. J Eysenck yang memiliki indikator sebagai berikut: sociability, impulsiveness, activity, liveness, exitability (Sapuri, 2009). Tes EPI (Eysenck Personality Inventory) terdiri dari 30 butir pernyataan dengan pilihan jawaban “ya” dan “tidak”

B. Populasi, sampel dan Teknik Sampling 1. Populasi

Populasi menurut Arikunto (2010) adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2011). Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah jumlah dari mahasiswa asing di


(55)

46

UIN Sunan Ampel Surabaya yang berasal dari Malaysia dan Thailand yang termasuk mahasiswa aktif angkatan 2013-2016 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 86. Rincian jumlah populasi Mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya terdapat pada tabel berikut:

Tabel 3

Rincian Jumlah Mahasiswa Asing Semester Mahasiswa asal

Thailand

Mahasiswa asal Malaysia

Jumlah

2 3 7 10

4 7 12 19

6 - 24 24

8 2 31 33

Jumlah Keseluruhan 86

2. Sampel

Arikunto (2008) dalam bukunya tentanag “Penentuan Pengambilan Sampel” sebagai berikut: Apabila kurang dari 100 lebih baik semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Teknik sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan objek penelitian (Nursalam, 2008). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling sejumlah 86 Mahasiswa. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2007). Alasan


(56)

mengambil total sampling, karena menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari 100, maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2010), Teknik pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan dugunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Sedangkan menurut Suryabrata (2008), teknik pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk merekam pada umumnya secara kuantitatif keadaan dan aktifitas atribut-atribut psikologis.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah metode skala. Skala yang digunakan untuk mengukur Culture Shock mahasiswa adalah skala yang diadaptasi dari Umayyah (2015). Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat Culture Shock yang dialami mahasiswa asing berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Oberg (dalam Dayakisni, 2004). Skala ini terdiri dari 45 pernyataan yang harus direspon subjek. Skala ini menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilainya. Metode seperti ini disebut dengan metode rating yang dijumlahkan atau Likert. Dalam pendekatan ini tidak diperlukan adanya kelompok panel penilai dikarenakan nilai skala setiap pernyataan tidak akan ditentukan oleh derajat favorabelnya


(57)

48

masing-masing akan tetapi ditentukan oleh distribusi respon setuju atau tidak setuju dari subyek penelitian yang bertindak sebagai uji coba (Azwar, 2003). Variasi bentuk pilihan menunjukkan tingkat kesesuaian dengan subyek. Dalam skala ini ada 4 pilihan respon yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Setiap pilihan tersebut memiliki skor masing-masing tergantung dari jenis aitem, apakah favorabel atau unfavorabel. Penilaian untuk pernyataan favorable disebarkan dengan kesatuan sebagai berikut: Sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi dengan skor 1. Sedangkan penilaian untuk pernyataan unfavorable diberikan dengan kesatuan sebagai berikut: Sangat Sesuai (SS) diberi skor 1, Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi dengan skor 4. Adapun blueprint skala Culture Shock dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Blueprint Skala Culture Shock

No. Aspek Indikator Item Jumlah

F Uf 1 Kehilangan

cues atau tanda-tanda yang dikenalnya

Terkejut dengan kebiasaan baru

22 23, 24

3 Merasa asing

dengan kebiasaan di sekitar

1, 6, 18, 19

14 5

Belum memahami maksud kebiasaan lain yang berbeda

4, 5, 15. 20. 21 5


(58)

2. Putusnya Komunikasi antar pribadi

Tidak berani bertemu dengan orang lain yang berbeda budaya

37, 38

2

Bingung

komunikasi dengan berbeda bahasa

40, 44

39 3

Kurang percaya

diri dalam

mengeluarkan pendapat

41, 42

43 3

3. Krisis Identitas

Merasa takut ditolak oleh kebudayaan lain 9, 10, 11, 12, 13 5

Merasa bingung di lingkungan yang baru 25, 28, 29, 30 31, 32 6

Merasa kurang

nyaman di

lingkungan baru

17, 34, 35, 36

33 5

Mencoba-coba budaya lain 26, 27 2 Mulai membandingkan budayanya dengan budaya lain

2, 45

2

Mengetahui aturan budayanya tidak berlaku lagi di lingkungan baru

3, 16

2

Jumlah Keseluruhan 45

Sedangkan alat tes yang digunakan untuk mengukur tipe kepribadian mahasiswa asing adalah dengan menggunakan skala tipe kepribadian EPI (Eysenck Personality Inventory) dari H. J. Eysenck yang peneliti adaptasi dari Niswatin (2010). Eysenck Personality Inventory


(59)

50

(EPI) adalah skala yang dirancang oleh Hans Jurgen Eysenck dan Sybil B. G. Eysenck. Pada tahun 1985 tes EPI (Eysenck Personality Inventory) telah dipublikasikan dalam jurnal Personality and Individual differences . Tes ini memiliki 100 pernyataan ya/ tidak dalam versi lengkapnya dan 30 pernyataan ya/ tidak dalam versi singkatnya. Tes ini disusun berdasarkan teori H. J Eysenck yang memiliki indikator sebagai berikut: sociability, impulsiveness, activity, liveness, dan exitability (Sapuri, 2009).

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dalam versi singkat yang memiliki 30 pernyataan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Dalam tes tersebut terdapat 15 item pernyataan Introvert dan 15 item pernyataan Ekstrovert yang harus direspon subjek. Berikut adalah sebaran item dari skala tipe kepribadian EPI (Eysenck Personality Inventory).

Tabel 5

Blueprint Skala tipe Kepribadian EPI

No. Indikator Nomor Butir Jumlah

Ekstrovert Introvert

1 Sociability 1, 2, 3, 15, 25 3, 5, 16, 27 9 2 Impulsiveness 12, 14, 19, 26 9, 11, 30 7 3 Activity 7, 10, 17 4, 8, 21, 29 7

4 Liveness 18, 23 22, 28 4

5 Exitability 24 13, 20 3

Jumlah 15 15 30

Pada tes EPI (Eysenck Personality Inventory) menggunakan dua alternatif jawaban pada tiap butir pertanyaan. Untuk butir


(60)

pernyataan yang berjenis ekstrovert variasi nilainya adalah sebagai berikut:

Tabel 6

norma penilaian butir ekstrovert Nilai Jawaban

1 Ya

0 Tidak

Sedangkan pada butir pernyataan yang berjenis introvert, penilaian bergerak sebaliknya sebagaimana tabel dibawah ini:

Tabel 7

norma penilaian butir introvert Nilai Jawaban

0 Ya

1 Tidak

Skala ini mempunyai 15 pernyataan ekstrovert dan 15 pernyataan introvert, sehingga individu yang memproleh skor >7,5 termasuk ke dalam tipe kepribadian ekstrovert, sedangkan individu yang memperoleh skor ≤7,5 termasuk kedalam tipe kepribadian introvert.

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas berasal dari kata validy yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan


(61)

52

fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrument dapat dapat memiliki validitas tinggi, apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan pengukuran yang hasilnya tidak relevan dengan tujuan pengukurannya, maka pengukuran ini memiliki validitas yang rendah (Azwar, 2008). Tidak semua pendekatan dan estimasi terhadap validitas tes akan menghasilkan suatu koefisien. Koefisien validitas diperolehhanya dari komputasi statistika secara empirik antara skor tes dengan kriteria yang besarnya disimbolkan oleh rxy.

Azwar, (2004), juga menyatakan bahwa uji validitas dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat. Syarat bahwa item-item tersebut valid adalah nilai korelasi r hitung harus positif dan lebih besar atau sama dengan r tabel dimana menggunakan ketentuan df= N-1 dan pada penelitian ini karena responden N= 86, berarti 86-1= 85 dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05%, maka diperoleh r tabel = 0,213. Syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat validitas adalah kalau nilai daya diskriminasi item atau r sama dengan atau lebih dari 0,213. Jadi korelasi antara butir dengan skor total kurang dari 0,213 maka butir dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak


(62)

valid atau tidak dapat digunakan sebagai instrumen pengumpul data.

Skala Culture Shock merupakan skala yang diadaptasi dari penelitian Umayyah (2015) dengan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Oberg (dalam Dayakisni, 2004). Skala tersebut pernah diuji cobakan sebelumnya dan terdapat 45 aitem yang valid. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Try Out terpakai, yang artinya peneliti hanya melakukan satu kali pengambilan data yang digunakan untuk uji validitas dan reliabilitas dan juga digunakan untuk analisis data. Alasan peneliti menggunakan Try Out terpakai adalah karena jumlah populasi subjek terbatas dan sulitnya menemukan subjek yang setara dengan ciri-ciri yang sama seperti yang dimaksudkan.

Tabel 8

Seberan Aitem Valid dan Gugur Skala Culture Shock

Aitem

Corrected Aitem-Total

Correlation

Keterangan Aitem

Corrected Aitem-Total

Correlation

Keterangan

1 0.612 Valid 26 0.227 Valid

2 0.248 Valid 27 0.213 Valid

3 0.018 Gugur 28 0.610 Valid

4 0.512 Valid 29 0.650 Valid

5 0.604 Valid 30 0.647 Valid

6 0.509 Valid 31 0.115 Gugur

7 0.598 Valid 32 0.113 Gugur

8 0.622 Valid 33 0.360 Valid

9 0.599 Valid 34 0.517 Valid

10 0.744 Valid 35 0.633 Valid

11 0.647 Valid 36 0.656 Valid

12 0.654 Valid 37 0.340 Valid

13 0.574 Valid 38 0.147 Gugur

14 0.264 Valid 39 0.551 Valid


(1)

77

dengan teori yang dikemukakan oleh Kazantzis (dalam Pederson, 1995) yang menyatakan bahwa jenis kelamin juga termasuk kedalam faktor interpersonal yang mempengaruhi tingkat Culture Shock dimana wanita cenderung lebih mudah mengalami Culture Shock dibandingkan dengan pria. Selain itu, Niam (2009) juga melakukan penelitian yang memaparkan hasil bahwa yang mengalami Culture Shock tertinggi adalah anak-anak perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki.

Dari perbedaan yang telah diketahui dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa identifikasi awal terhadap diri individu akan dapat mengantisipasi terjadinya Culture Shock yang dialami, karena jika telah diketahui bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert memiliki tingkat Culture Shock yang lebih rendah dan individu dengan tipe kebribadian introvert yang lebih tinggi maka akan dapat ditentukan tindakan atau perlakuan yang sesuai dengan traits yang terdapat dalam diri setiap individu.


(2)

77 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing. Mahasiswa asing dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki tingkat Culture Shock lebih tinggi dibandingkan tipe kepribadian introvert.

Selain itu, dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa responden dengan umur yang lebih tua memiliki tingkat Culture Shock yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang lebih muda. Jika berdasarkan tahun angkatan, responden angkatan 2016 memiliki tingkat Culture Shock yang lebih tinggi dibanding dengan angkatan tahun 2015, 2014 dan 2013. Sedangkan jika dianalisis berdasarkan jenis kelamin, responden perempuan memiliki tingkat Culture Shock yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan terkait dengan penelitian yang serupa, yaitu:

1. Bagi Mahasiswa Asing

Diharapkan bagi mahasiswa asing yang tinggal di Indonesia, maupun mahasiswa Indonesia yang tinggal di luar negeri agar mampu mengenali


(3)

78

dirinya dengan mengetahui tipe kepribadian yang dimiliki, sehingga dapat melakukan antisipasi terhadap Culture Shock yang akan dialami di lingkungan yang baru.

2. Bagi Pihak-Pihak Terkait

Diharapkan bagi pihak-pihak terkait agar dapat melakukan identifikasi awal bagi mahasiswa asing yang akan menjalani studi di Indonesia ataupun mahasiswa Indonesia yang akan menjalani studi di luar negeri sebagai upaya antisipasi dan untuk menentukan tindakan agar dapat memperkecil tingkat Culture Shock yang akan dialami sehingga akan timbul semangat belajar yang dapat meningkatkan prestasi akademik mahasiswa.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan agar mencermati faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap Culture Shock seperti keterampilan komunikasi, variasi budaya, dan juga manifestasi sosial politik.


(4)

79

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press..

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Azwar, S. (2011). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Burtaverde, V. & Mihaila, T. (2011). Significant Differences Between Introvert and Extrovert People’s Simple Reaction Time in Conflict Situations. Journal: University of Bucharest. Vol. 2 No. 3

Bustomi, H. (2016). Perbedaan Kecerdasan Adversitas Ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi UIN Sunan Ampel Surabaya. Skripsi: Fakultas Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Catrunada, L. (2008). Perbedaan Kecenderungan Prokrastinasi Tugas Skripsi Berdasarkan Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Chaplin, J. (2008). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Dayakisni, T. Dan Yuniardi, S, (2008). Psikologi Lintas Budaya, UMM Press

Malang.

Eysenck, H. J., & Sybil, B. G. (1975). Manual of the Eysenck Personality Questionnaire. London: Hodder and Stoughton.

Feist., Jess dan Feist, Gregory. (2006). Teori Kepribadian; Theories of Personality. Jakarta: Salemba Humanika.

Frandawati. (2009). Gambaran Culture Shock Pada Mahasiswa Asing. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara.

Furnham, A. & Bochner , S. (1986). Culture shock, psychological reaction to unfamiliar environment, New York : Cambrige.

Hutabarat, Y., & Sawitri, D. (2015). Hubungan Antara Gegar Budaya Dengan Pengungkapan Diri Pada Mahasiswa Tahun Pertama Bersuku Batak di Universitas Diponegoro. Jurnal: Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro. Vol.4 No. 2


(5)

80

Indrianie, Efnie. (2012). Culture Adjusment Training Untuk Mengatasi Culture Shock pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Jawa Barat..Jurnal: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Vol. 14 No. 3 Muhid, A. (2010). Analisis Statistik SPSS for Windows Cara Praktis Melakukan

Analisis Statistik. Surabaya: C.V. Duta Aksara

Mulyana, D. Dan Rahmat, J (2006). Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.

Mustikayati, N. D. (2005). Perbedaan Perilaku Persahabatan pada Remaja Introvert dan Ekstrovert. Malang: UMM.

Nasaiban, L. (2003). Psikologi Jung: Tipe Kepribadian Manusia dan Rahasia Sukses dalam Hidup; Tipe Kebijaksanaan Jung. Jakarta: PT. Grasindo. Niam, E. (2009). Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang

Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal: Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Vol. 11 No. 1

Niswatin (2010). Perbedaan Kecenderungan Depresi Ditinjau dari Tipe Kepribadian Pada Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Skripsi: Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Oberg, K. (1998). Cultural shock: Adjustment to new cultural environments. Practical Anthropology. Vol. 7 No. 4

Pantelidou, S., Craig, T. (2006). Culture Shock and Social Support: A survey in greek migrant students. Institute of Psychiatry, Kings College London. Vol. 41 No. 10

Prakas, S., Singh, A., & Yadav, S. (2016). Personality (Introvert & Ekstrovert) and Professional Commitment Effect Among B.Ed Teacher Educator Students. International Journal of Indian Psychology. Vol. 2 No. 4

Purwanto, Ngalim. (1990). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Rosida, E., & Astuti T., (2015). Perbedaan Penerimaan Teman Sebaya Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Jurnal. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro. Vol. 4 No. 1


(6)

Sapur, R. (2009). Psikologi Islam Tuntutan Jiwa Manusia Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka setia.

Sugiyono,. (2007). Metode penelitian Kuantutatif Kualitatif dan R&D. Bandung: PT. Alfabeta.

Suryabrata, S. (1988). Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali. Suryabrata, S. (1993). Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali.

Umayyah, U. (2015). Pengaruh Culture Shock Terhadap Kemampuan Adaptasi Mahasantri Ditinjau dari regional (Jawa dan Non-Jawa) di Ma’had Sunan Ampel al-Aly’ UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi: Fakultas Psikologi: UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

UU RI No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1. Ward, C., Bochner, S., Furhanm, A. (2001). The psychology of culture shock

(2nd Ed.). Philadelphia: Routledge.

Widiantari, K. & Herdiyanto, Y. (2013). Perbedaan Intensitas Kounikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert pada Remaja. Jurnal: Program Studi Psikologi Universitas Udayana Bali. Vol. 1 No. 1

Xia, J. (2009). Analysis of Impact of Culture Shock on Individual Psychology. Journal: University of Nottingham Ningbo China. Vol. 1 No.2

http://news.okezone.com/read/2015/10/23/65/1236906/gegar-budaya-kendala-kuliah-di- negara-asing Diakses pada 12:13 tanggal 11-12-2016.

http://www.antaranews.com/print/259751/mahasiswa-asing-di-indonesia-terbanyak-dari- malaysia Diakses pada 09:27 tanggal 14-11-2016.


Dokumen yang terkait

Perbedaan Perilaku Konsumtif Ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert

6 85 100

PERBEDAAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT PADA REMAJA

2 19 19

PERBEDAAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA Perbedaan Antara Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert Dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 6 15

PERBEDAAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA Perbedaan Antara Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert Dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

1 6 12

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT.

2 1 9

PERBEDAAN KREATIVITAS KARYAWAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT Perbedaan Kreativitas Karyawan Antara Tipe Kepribadian Introvert dan Kepribadian Ekstrovert.

1 3 14

KECERDASAN ADVERSITAS DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.

2 8 112

PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT DAN EKSTROVERT (Studi pada Mahasiswa Psikologi UNNES)

0 3 61

PERBEDAAN KECENDERUNGAN KECANDUAN INTERNET DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT- EKSTROVERT DAN JENIS KELAMIN

1 1 15

PERBEDAAN PERILAKU MINUM MINUMAN BERALKOHOL PADA REMAJA DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT – EKSTROVERT - Unika Repository

0 0 15