Perlindungan hukum kelompok minoritas: studi analisa peraturan gubernur Jawa Timur nomor 188/94/Kpts/013/2011 terhadap kelompok jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur.

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM KELOMPOK MINORITAS

(STUDI ANALISA PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 TERHADAP KELOMPOK JAMAAT AHMADIYAH

INDONESIA DI JAWA TIMUR)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam progam Studi Hukum Tata Negara

Oleh: Imas Setiyawan NIM: F02213014

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Judul :Perlindungan Hukum Kelompok Minoritas (Studi Analisa Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/Kpts/013/2011 Terhadap Kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Timur)

Penulis : Imas Setiyawan

Kata Kunci : Pergub Jatim No. 188/94/Kpts/013/2011, UUD 45, dan Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah merupakan kaum minoritas yang ada di Jawa Timur, jumlahnya sekitar 1500 orang yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur, pada tahun 2011 Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan No. 188/94/Kpts/013/2011 tentang pelarangan terhadap aktifitas jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur.

Hal ini tentu menimbulkan berbagai dampak terhadap aktifitas jemaat Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur. Oleh karenanya, ada beberapa problematika yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1), bagaimana implikasi Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/Kpts/013/2011 tentang pelarangan terhadap aktifitas jemaat

Ahmadiyah di Jawa Timur, (2), bagaimana Peraturan Gubernur No

188/94/Kpts/013/2011 ditinjau dari Undang – undang 45 tentang kebebasan beragama, (3), bagaimana aktifitas jemaat Ahmadiyah 5 tahun pasca Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/Kpts/013/2011 dikelurakan.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa: (1), terdapat berbagai implikasi yang timbul di lingkungan jemaat Ahmadiyah Jawa Timur dikarenakan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/Kpts/013/2011, diantarnya adalah dampak sosial, dampak keagamaan serta dampak hukum, (2), pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan urusan keagamaan, selain itu juga tidak sejalan dengan Undang – undang kebebasan beragama yang menjamin hak warga negara untuk menjalankan keyakinannya (3), Perkembangan jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur masa kini setelah 5 tahun menerima keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 ialah tetap melakukan aktifitas seperti biasanya, untuk rutinitas individu jemaat Ahmadiyah tetap melakukannya seperti para muslim yang lainnya, akan tetapi untuk kegiatan yang bersifat masif atau menyeluruh, jemaat Ahmadiyah terkadang masih terkendala dengan izin dari aparat keamanan.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM………..i

PERNYATAAN KEASLIAN ………ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS……….…… ..…………...iii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS………iv

ABSTRAKSI………v

HALAMAN PERSEMBAHAN………..vi

KATA PENGANTAR………vii

DAFTAR ISI………ix

BAB I PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang ……….………..……….1

B. Identifikasi Masalah……….………11

C. Rumusan Masalah………12

D. Tujuan Penelitian.………13

E. Manfaat Penelitian………...13

F. Kerangaka Teoritik………...14

G. Penelitian Terdahulu………....17

H. Metode Penelitian ………...19

I. Sistematika Pembahasan...………..27 BAB II LANDASAN TEORI... .………..28 A. Perlindungan Hukum ………..28

B. Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011……….33


(8)

D. Hubungan Undang-Undang Dasar 1945 Tentang hak Kebebasan

Beragama Dan berserikat ...………...……..……43

BAB III JEMAAT AHMADIYAH SEBAGAI OBJEK PENELITIAN……...52

A. Sejarah Ahmadiyah ………...52

B. Jemaat Ahmadiyah Jawa Timur ………..72

C. Latar belakang lahirnya Pergub Jatim...……….75

D. Pro dan kontra Pergub Jatim…...……….79

BAB IV ANALISA DATA..………...…79 A. Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 ditinjau dari UUD 45 tentang Hak Asasi Manusia……….……….84

B. Implikasi Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011..89

C. Realitas Jemaat Ahmadiyah Pasca Peraturan Gubernur Jawa Timur ..….96

BAB V PENUTUP………..…98

A. Kesimpulan………..98

B. Saran………100


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ahmadiyah adalah nama ajaran dan gerakan yang ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, Punjab, India. Ajaran dan gerakan ini, sebagaimana Ajaran Babiyyah dan Baha’iyyah yang timbul di Persia yang dicetuskan oleh Ali Muhammad Syrazi (wafat tahun. 1850) dan Mirza Husein Ali (1817-1892), oleh kalangan muslim Sunni ortodoks dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya1.

Sebenarnya ada dua kelompok Ahmadiyah yang berbeda penafsiran tentang klaim Mirza Ghulam Ahmad. Cabang Qadian, pendiri mereka adalah seorang Nabi, sementara cabang Lahore mengklaim bahwa ia hanyalah seorang pembaharu (Mujaddid). Dengan demikian terjadi perbedaan yang mendasar antara Sekte Lahore dan Sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah keNabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri’iyyah (keNabian yang membawa

syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Ghair Tasyri’iyyah (keNabian tanpa

membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa keNabian versi kedua ini

(Nubuwwah Ghair Tasyi’iyah atau keNabian tanpa membawa syaria’at), meliputi

1 Sir Muhammad Iqbal, Islam and Ahmadism, Replay to Questions Raised by Pandit Jawahar Lal

Nehru, Terj. Machnun Husein, Islam dan Ahmadiyah, Jawaban Terhadap Pertanyaan Pandit Jawahar Lal Nehru, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 5.


(10)

Nubuwwah Mustaqillah (keNabian mandiri) dan Nubuwwah Ghair Mustaqillah

(keNabian yang tidak mandiri)2.

Para Nabi yang mandiri adalah semua Nabi yang datang sebelum Nabi

Muhammad Saw, dimana mereka tidak perlu mengikuti syari’at Nabi sebelumnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Nabi Ghair Mustaqillah (tidak mandiri) yaitu Nabi yang mengikuti syari’at Nabi sebelumnya, seperti keNabian Mirza Ghulam

Ahmad yang mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, menurut Faham Ahmadiyah, hanya Nabi-Nabi yang membawa syaria’at saja yang sudah berakhir, sedangkan Nabi-Nabi yang tidak

membawa syari’at akan tetap berlangsung. Nabi mandiri dalam pandangan Sekte

Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa Nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuknya guna menghapus sebagian ajaran Nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari’at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit demi sedikit dari Nabi-Nabi yang datang kemudian sehingga syari’atnya menjadi lebih sempurna dari

pada syari’at yang dibawa Nabi-Nabi sebelumnya, maka jenis keNabian seperti itu,

mereka istilahkan dengan Nabi Mustaqil. Oleh karena itu, kata Nabi mempunyai dua arti yaitu arti secara Lughawi dan arti istilah, maka golongan Lahore ini berkesimpulan bahwa Nabi yang tidak membawa syari’at disebut Nabi Lughawi atau

2 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Terj.

Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1996), 128.


(11)

Nabi Majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya Nabi yang membawa syari’at mereka sebut Nabi Hakiki.

Menurut Faham Lahore, Mirza Ghulam Ahmad atau Al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Nabi hakiki. Berbeda dengan faham keNabian Sekte Qadiani, mereka memandang Al-Mahdi Al-Ma’hud (yang dijanjikan) sebagai Nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya. Sebagaimana Nabi dan rasul yang lain, menurut Sekte Qadiani, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara Nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti Al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian, faham kedua aliran tersebut terdapat juga persamaannya yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya Nabi Tasyri’i atau Nabi

Mustaqil sesudah Nabi Muhammad SAW.

Ajaran Ahmadiyah, terutama ajaran yang digulirkan oleh Sekte Qadiani sangat meresahkan kehidupan ummat Islam pada umumnya. Hal itu terbukti dengan adanya hujatan dari sebagian ummat Islam yang ditujukan kepada Ahmadiyah. Namun dalam kenyataanya ajaran ini tetap berkembang meskipun banyak terjadi pasang surut.

Dari perkembangan Ahmadiyah yang pasang surut di Negara asalnya India dan kemudian mulai menyebar ke Negara lain, termasuk salah satunya menyebar ke Indonesia, dalam beberapa pernyataan, awal kemunculan aliran Ahmadiyah di Indonesia memang ada beberapa pendapat yang berbeda. Hal ini dilihat karena kronologi kedatangan Ahmadiyah di Indonesia masih diperdebatkan. Pendapat


(12)

pertama dikemukakan oleh Federspiel yang menyatakan “bahwa Ahmadiyah pada

awalnya sampai ke Indonesia melalui para siswa yang kembali dari sekolah Ahmadiyah di India pada akhir abad ke 19”3.

Akan, tetapi secara kronologi versi itu dipermasalahkan karena akhir abad lalu gerakan ini baru lahir di India. Pendapat kedua dikemukakan oleh Hamka,

menurutnya “bahwa berita tentang Ahmadiyah tersebar melalui buku - buku dan

majalah yang terbit dari luar negeri. Lain halnya dengan Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito, menyatakan bahwa dirirnya mendengar gerakan Ahmadiyah sekitar tahun 1921 dan 1922 M. Sebenarnya Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 M, melalui majalah Islamic Review edisi melayu yang terbit di Singapura, tetapi Ahmadiyah baru mendatangkan tokohnya ke Indonesia pada tahun 1920, tokoh yang dimaksud adalah Prof. Dr. Maulana H. Kwadjah Kamaluddin. Sedangkan pada tanggal 23 Oktober 1920 M, ia berkunjung ke Surabaya dengan maksud berobat karena gangguan kesehatan dan melihat keadaan di Surabaya. Pada tanggal 28 November 1920 tiba - tiba perhimpunan Taswirul Afkar mengundangnya untuk memberikan ceramah umum pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, di Masjid Ampel Surabaya. Sedangkan menurut catatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, pada tanggal 2 Oktober 1925 seorang mubaligh dari Jemaat Ahmadiyah Qadian sudah sampai di Tapaktuan, Sumatra Utara. Mubaligh yang didatangkan dari Qadian tersebut bernama Maulana Rahmat Ali H.A.O.T, ia diperintahkan oleh Khalifah II untuk berdakwah di Indonesia. Hal itu disebabkan para pelajar dari


(13)

Indonesia meminta kepada Khalifah II agar dapat mengadakan kunjungan ke Indonesia lalu Khalifah II mengirim Maulana Rahmat Ali H.A.O.T ke Indonesia4.

Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1953, organisasi ini telah mendapat pengesahan dari pemerintahan Republik Indonesia 13 Maret 1953. Menteri Kehakiman R.I dengan SK. No. J. A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 mengesahkan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) sebagai Badan Hukum5. Dalam perkembangan selanjutnya, pengakuan Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu lebih dipertegas lagi oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 0628/Ket/1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai Badan Hukum berdasarkan Statsblaad 1870 No. 64.6

Selanjutnya, kelengkapan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang - Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan. Sehingga, keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku oleh Direktorat

Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri, dengan surat No.

363A/DPM/505/93.7 Walaupun banyak yang mempertentangkan bandan hukum dan pengesahannya, hal ini mengacu pada dikeluarkannya penetapan Presiden (penpres) No. 1/PNPS/1965 junto undang -undang No. 5/1965 tentang pencegahan

4 4 Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama (Jakarta:

Wijaya, 1950), 109.

5 Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Jakarta: Jemaat

Ahmadiyah, 2008), 21.

6 Ibid., 22. 7 Ibid., 23.


(14)

penyalahgunaan dan penodaan Agama8 dan dikeluarkanya fatwa dari Majelis Ulama

Indonesia (MUI) pada tahun 1980 yang intinya agar umat Islam tidak mengikuti paham Ahmadiyah9 dengan landasan surat Al Ahzab ayat 40:

Yang artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.10

Berkembang dan tumbuh di beberapa kota di Indonesia, perjalanan Ahmadiyah tidak selalu berjalan mulus, bahkan di berberapa kota di Indonesia Ahmadiyah mengalami penolakan dari masyarakat. Ahmadiyah Qodian yang juga dikenal dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mengalami penolakan dan kekerasan oleh masyarakat, angka tertinggi terjadi di Jawa Barat sebagai pusat JAI, dan juga di beberapa daerah lain Jamaah Ahmadiyah sering mengalami penolakan, diskriminasi, dan kekerasan oleh masyarakat.

Berbeda dengan JAI, Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Yogyakarta tergolong aman, meskipun tetap ada penolakan dan ancaman dari warga setempat. Perlakuan pemerintah menjadi salah satu faktor kenapa Ahmadiyah Lahore relatif aman di Yogyakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa, di Yogyakarta sendiri, Gubernur sekaligus Sultan Yogyakarta menjamin langsung keamanan warga Ahmadiyah. Di Yogyakarta Ahmadiyah bahkan sudah memiliki sekolah yang di

8 FKUB JAWA TIMUR, Sewindu (Surabaya: FKUB Pers, 2014), 70.

9 Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat (Jakarta: PT. Cahaya Kirana Rajasa, 2006), 69. 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz1-Juz 30, (Surabaya : Pustaka Agung


(15)

sebut sekolah Persatuan Islam Seluruh Indonesia (PIRI), sehingga Jamaah Ahmdiyah Lahore yang berpusat di Yogyakarta jarang terdengar ketika kekerasan dan penolakan terjadi terhadap Jamaah Ahmadiyah. Ahmadiyah Qodian di Jawa Barat, Surabaya, Lombok, dan di beberapa kota lain, sudah terbiasa dengan penolakan dan kekerasan, bahkan pengusiran seperti yang terjadi di Lombok Barat. Menurut Setara Institute antara tahun 2007-2009 terjadi pelanggaran terhadap Jamaah Ahmadiyah sebanyak 286 pelanggaran11, sama sekali Tidak ada jaminan keamanan dari pemerintah secara langsung seperti halnya dengan Ahmadiyah Lahore di Yogyakarta.

Di Indonesia sendiri, Ahmadiyah sudah medapatkan penolakan sejak tahun 1950-an dan mendapatkan legitimasi sejak MUI mengeluarkan fatwa tahun 1980-an yang kemudian di rapat kerja Nasional MUI pada tahun 1984, menyatakan Ahmadiyah Qodian menyimpang dari ajaran Islam dan menganggu ketertiban negara, serta fatwa MUI tahun 2005 yang memutuskan, pertama; untuk menguatkan fatwa MUI tahun 1980, kedua; bagi mereka yang sudah menjadi Jemaat Ahmadiyah agar kembali ke jalan yang haq, ketiga; pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Puncak dari penolakan keberadaan Ahmadiyah terjadi pada tahun 2008 dengan dikelurkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri (SKB). Kemudian keputusan bersama menteri Agama, jaksa Agung dan menteri dalam negeri Republik Indonesia tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan warga


(16)

masyarakat, yang salah satu isi keputusannya dalah memberikan peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sepanjang mengaku islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok – pokok ajaran islam yaitu faham yang mengakui Nabi dengan segala ajaranya setelah Nabi Muhammad.12

Rangkaian larangan yang dikeluarkan oleh beberapa pemerintah daerah juga turut mempengaruhi kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah, eskalasi kekerasan di beberapa daerah semakin meningkat setiap tahun. Catatan Setara Institute, pelanggaran terhadap Ahmadiyah pada tahun 2007 sebanyak 15 pelanggaran, 193 pelanggaran pada tahun 2008, 33 pelanggaran pada tahun 2009, dan 50 pelanggaran pada tahun 2010. Kondisi kebebasan beragama di Indonesia dalam satu dekade terakhir memang cukup memperihatinkan, pengerusakan tempat ibadah, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah serta diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat semakin marak. Ruang gerak Ahmadiyah dalam menjalankan keyakinan dipersempit, tidak hanya masyarakat menjadi pelaku langsung kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah yang melegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dengan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif.

Di Jawa Timur sendiri, pemerintah daerah provinsi Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 yakni tentang Larangan terhadap aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur yang

12 Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 3 tahun 2008

tentang Peringatan Perintah kepada penganut, anggota, dan pengurus jemaat Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat, 3.


(17)

menetapkan : “melarang aktifitas Jemaat Ahmadiyah yang dapat memicu atau

menyebabkan gangguan keamanaan dan ketertiban masyarakat Jawa Timur”, adapun larangan sebagaimana yang dimaksud adalah pertama; menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, kedua; memasang papan nama Jemaat Ahmadiyah di tempat umum, ketiga; memasang papan nama pada masjid atau musholla, lembaga pendidikan dan lain lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah, keempat; menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah dalam segala bentuknya.

Keputusan Gubernur Jawa Timur ini dikeluarkan setelah mendapat masukan dari berbagai elemen masyarakat serta tokoh keagamaan di Jawa Timur, lain dari pada itu Peraturan Gubernur tahun 2011 ini juga bertujuan untuk melindungi Jemaat Ahmadiyah dari berbagai bentuk kekerasan oleh kelompok – kelompok yang tidak senang terhadap gerakan dan akidah Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur. Pada Peraturan Gubernur tersebut juga diatur beberapa hal tentang maksud melarang aktifitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur yakni pertama, larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik, kedua, larangan memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah di tempat umum, ketiga, larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah dalam berbagai bentuk.13

Hasil dari Peraturan Gubernur Jawa Timur tersebut memang mampu mencegah terjadinya kekerasan dan intimidasi terhadap Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur, karena tanpa adanya atribut tentang Ahmadiyah dilingkungan masyarakat

13 Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Terhadap Aktifitas


(18)

maka masyarakat secara umum dapat berbaur dan tidak merasa terancam secara ideologi dan akidah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Akan tetapi Peraturan Gubernur ini berdampak pada perkembangan Jemaat Ahmadiyah, mereka tidak bisa melakukan kegiatan dakwah dan pertemuan secara kelompok sebagaimana biasanya, selain itu segala bentuk atribut yang berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah juga mulai diturunkan atau ditinggalkan guna menghindari intimidasi dan taat pada aturan pemerintah daerah provinsi Jawa Timur.

Persoalan Ahmadiyah merupakan salah satu contoh dari bentuk kurang bisanya pemerintah dalam melindungi keyakinan yang dianut oleh warganya, padahal dalam UUD 45, terutama pasal 28E, 28I, dan 29 menyataakan bahwa Negara berdasarkan ketuhanan YME, Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk Agamanya dan untuk beribadat menurut Agamanya dan kepercayaannya itu.14 Dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan

Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan menganut Agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya15.

Oleh karenanya pada penelitian ini, peneliti ingin kembali melakukan telaah terhadap keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 terhadap UUD 45, serta melihat bagaimana perkembangan Jemaat Ahmadiyah provinsi Jawa Timur

14 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

15 Pieter Radjawane, Kebebasan Beragama Sebagai Hak Konsitutsi di Indonesia, Jurnal Sasi, Vol. 2


(19)

setelah pada lima tahun silam mendapat larangan beraktifitas serta menggunakan atribut dalam bentuk apapun dari pemerintah provinsi Jawa Timur.

B. IdentifikasiMasalah dan Batasan Masalah

Berdasarka latar belakang di atas yang sudah disebutkan, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, diantaranya adalah:

1. Bahwa gerakan Ahmadiyah telah menjadi perbincangan masyarakat umum, sehingga keberadaannya yang kontrofersial menjadikan konflik di tengah – tengah masyarakat.

2. Menurut beberapa elemen masyarakat Islam di beberapa daerah memberikan tanggapan bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat karena menyimpang dari ajaran Islam, sehingga keberadaannya sudah sepatutnya untuk dibatasi dan dilarang oleh pemerintah.

3. Persoalan Ahmadiyah ini juga perlu ditinjau ulang dari segi kebebasan beragama yang telah diatur dalam undang – undang dasar negara republik Indonesia, serta perlindungan hak asasi manusia yang telah diatur juga dalam kitab dasar undang – undang dasar 1945.

4. Melihat kembali landasan Peraturan Gubernur Jawa Timur NO

188/94/KPTS/013/2011 tentang pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur.


(20)

5. Kemudian juga bagaimana kelanjutan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Jawa Timur setelah mendapat pelarangan beraktifitas oleh Gubernur Jawa Timur melalui Peraturan Gubernur NO 188/94/KPTS/013/2011.

Dalam judul yang diangkat oleh peneliti perlu di identifikasi beberapa persoalan tentang latar Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan No. 188/94/KPTS/013/2011 karena menurut konstitusi yang berlaku bahwa Negara menjamin kebebasan beragama sesuai dengan keyakinan warganya. Selain itu persoalan yang teridentifikasi juga adalah tentang surat keputusan gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 dipandang dari kacamata hukum kebebasan beragama di Indonesia yang merupakan hak setiap warganya.

Kemudian peneliti juga membatasi ruang lingkup penelitian untuk menfokuskan penelitin pada kajian surat keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 tentang pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa

Timur serta bagaimana surat keputusan Gubenrur Jawa Timur NO

188/94/KPTS/013/2011 tersebut dipandang dari hukum kebebasan beragama yang diatur oleh konstitusi Negara. Sehingga dengan fokus kajian ini nanti diharapkan penelitian ini akan mampu menjelaskan secara rinci tentang persoalan yang akan diangkat.


(21)

Dari uraian di atas maka akan peneliti ambil persoalan mendasar, diantaranya adalah:

1. Bagaimanakah Implikasi Keputusan Gubernur Jawa Timur NO.

188/94/KPTS/013/2011 terhadap Jemaat Ahmadiyah?

2. Bagaimanakah Keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 ditinjau dari segi kebebasan berkeyakinan menurut Undang – undang dasar 1945?

3. Bagaimanakah perkembangan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur masa kini,

setelah 5 tahun menerima keputusan Gubernur Jawa Timur NO

188/94/KPTS/013/2011?

D. TujuanPenelitian

Adapun tujuan penelitian dalam tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui Implikasi Keputusan Gubernur Jawa Timur NO.

188/94/KPTS/013/2011 terhadap Jemaat Ahmadiyah.

2. Untuk menjelaskan Keputusan Gubernur Jawa Timur NO

188/94/KPTS/013/2011 jika ditinjau dari segi kebebasan berkeyakinan menurut Undang – undang dasar 1945.

3. Untuk mengetahui perkembangan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur masa kini, setelah 5 tahun menerima keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011.


(22)

E. KegunaanPenelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan keilmuan di progam studi Hukum Tata Negara progam Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, serta dengan adanya penelitian ini nanti diharapkan hasilnya mampu menambah daftar refrensi keilmuan terkait dan menjadi rujukan bagi penelitian yang setelahnya. 2. Manfaat secara praktis

a. Penelitian ini untuk memenuhi tugas akhir dalam menyelesaikan program Magister (S-2) progam studi Hukum Tata Negara pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.

b. Berharap bisa dijadikan refrensi bagi pemerhati kerukunan umat beragama dalam mengkaji persoalan Ahmadiyah di provinsi Jawa Timur dalam menjaga kerukunan umat beragama di Jawa Timur.

c. Selanjutnya bisa menjadi bahan rujukan bagi masyarakat umum, khususnya di Jawa Timur dalam melihat kasus Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur dalam berbagai prespektif, salah satunya dari prespektif hukum dan kepentingan kerukunan umat beragama.


(23)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan beberapa kerangka teoritik yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam penelitian yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat ini, peneliti akan menggunakan beberapa kerangka teori sosial agar menjadi landasan terhadap peneilitian yang dilakukan dilapangan. Diantara teori yang digunakan adalah Struktural fungsional. Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang.16 Tokoh-tokoh yang pertam kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organism biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut meruapakan hasil atau konsekuensi agar organism tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Emile Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organism, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi

16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, (Jakarta: Kencana,


(24)

panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.

Durkheim mengungkapkan bahwa masyrakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sitem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai structural fungsional. 17

Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern. Fungsionalisme structural merupakan sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Dalam hal ini, teori structural fungsional menjadikan agama beserta elemen- elemennya yakni umat, budaya serta bentu aktifitasnya sebagai sebuah kesatuan yang menjadi bagian dari kehidupan sosial bermasyarakat.


(25)

Keberadaan Jemaat Ahmadiyah dalam tatanan kehidupan bermsyarakat merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang masuk kedalam kerangka struktur kemasyarakatan, kenyataan bahwa Peraturan Gubernur Jawa Timur melarang aktifitas keagamaan mereka merupakan bagian dari keputusan yang sulit untuk dihindari, sehingga respon dan implikasi dari Peraturan Gubernur tersebut terhadap kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur menjadi perhatian penting untuk dikaji dengan menggunakan teori ini. Apapun implikasi yang diterima oleh Jemaat Ahmadiyah sebagai dampak dari Peraturan Gubernur Jawa Timur tersebut tidak bisa menggugurkan posisi Jemaat Ahmadiyah sebagai bagian dari struktur masyarakat Jawa Timur.

G. Penelitian Terdahulu

Sebelum penulis melakukan penelitian ini, sudah terlebih dahulu ada beberapa hasil kajian dan penelitian tentang Jemaat Ahmadiyah, diantaranya:

1. Penelitian dalam rangka menyelesaikan tugas ahir progam pascasarjana ilmu pemerintahan yang dilakukan oleh Delyna Asriyani dengan tema Analisis Surat Tiga Menteri tentang Peringatan dan Perintah Kepada pengurus Jemaat Ahmadiyah (Studi Kasus Konflik FUI dan Gerakan Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta), menghasilkan temuan bahwa terhadap dua kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta, diantara yang pro beralasan bahwa Negara menjamin kebebasan beragama bagi setiap warganya, sedangkan yang kontra


(26)

berargumen bahwa Jemaat Ahmadiyah telah menistakan ajaran agama Islam sehingga keberadaannya dianggap sesat.18

2. Penelitian yang dilakukan oleh Aji Sofanudin dari balai penelitian dan pengembangan agama semarang dalam jurnal multicultural dan multireligious dengam judul Studi tahapan penanganan Jemaat Ahmadiyah, yang menghasilkan temuan bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah di masyarakat sudah meresahkan masyarakat pada umumnya sehingga pemerintah perlu melakukan beberapa hal, diantaranya adalah melakukan dialog dengan Jemaat Ahmadiyah, meminta keapada pihak Ahmadiyah untuk menjelaskan tentang ajaran yang mereka pegang, menerbitkan surat keputusan tentang aktifitas Jemaat Ahmadiyah serta melakukan pembinaan dan penyadaran terhadap Jemaat Ahmadiyah.19 3. Kajian lapangan yang dilakukan oleh Mustain dan kawan – kawan dari

tim peneliti Institut Agama Islam Mataram dengan judul Dampak sosial kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok dan upaya resolusi konflik, menghasilkan temuan bahwa dampak sosial kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah perlu untuk segera ditangani sehingga penting untuk menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan kasus Ahmadiyah, salah satu diantaranya adalah SKB 3 mentri dianggap sebagai salah satu solusi

18 Delyna Asriani, Analisis Surat Tiga Menteri tentang Peringatan dan Perintah Kepada Pengurus

Jemaat Ahmadiyah (Studi Kasus Konflik FUI dan Gerakan Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta) Tesis jurusan Magister Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2012.

19 Aji Sofanudin, Studi Tahapan Penanganan Jemaat Ahmadiyah dari balai penelitian dan


(27)

untuk menengahi persoalan Ahmadiyah, karena persoalan iman sejatinya sulit untuk dilakukan proses resolusi konflik secara musyawaroh sehingga diperlukan ketegasan dari pemerintah20.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Maimanah dkk dalam jurnal Tashwir Vol. 1 No. 1 2013 yang berjudul Fenomena Aliran Kegamaan di Banjarmasin ( Studi Kasus Ahmadiyah), menghasilkan kesimpulan bahwa Ahmadiyah merupakan salah satu aliran keagamaan yang menyimpang, sehingga keberadaanya perlu segera direspon oleh pemerintah.21

Dalam beberapa kajian terdahulu yang sudah pernah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bersama bahwa penelitian tentang Jemaat Ahmadiyah sudah pernah dilakukan sebelumnya, akan tetapi yang mencoba untuk menggalinya dari segi hukum masih belum begitu banyak. Kebanyakan dari penelitian tentang Jemaat Ahmadiyah berbasis sejarah serta perkembangan dan respon masyarakat terhadap gerakan tersebut. Sehingga dalam rangkaian penelitian ini, peneliti akan mencoba untuk menggali secara menadalam perihal keputusan Gubernur Jawa Timur tentang larangan beraktifitas Jemaat Ahmadiyah dalam prespektif kebebasan beragama menuurt undang – undang.

H. Metode Penelitian

1. Sumber data

20 Mustain dkk, Dampak Sosial Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok dan Upaya

Resolusi Konflik IAIN Mataram.

21 Maimunah dkk, Fenomena Aliran Kegamaan di Banjarmasin (Studi Kasus Ahmadiyah) jurnal

Tashwir Vol. 1 No. 1 2013 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin .


(28)

Dalam penelitian ini, sumber data adalah peneliti sendiri sebagai kunci utama dan narasumber atau informan. Sebagai sumber data, informan memiliki kedudukan penting dan harus diperlakukan sebagai subjek yang memiliki kepribadian, harga diri, posisi, kemampuan dan peranan sebagaimana adanya.22 Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah Jemaat Ahmadiyah yang ada di provinsi Jawa Timur.

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Data primer adalah bahan yang mengikat dan menjelaskan tentang Jemaat Ahmadiyah yang ada di Surabaya provinsi Jawa Timur. Untuk mendapatkan data ini, peneliti menggunakan metode wawancara yang bersifat langsung, yaitu wawancara yang dilakukan dengan Jemaat Ahmadiyah yang ada provinsi Jawa Timur. Peneliti juga mendapatkan informasi di lapangan berupa catatan, buku, dan arsip yang berkatian dengan Jemaat Ahmadiyah yang ada provinsi Jawa Timur.

b. Data sekunder bertujuan untuk mendukung data primer yang memberikan penjelasan mengenai data primer, berupa buku-buku terkait, diantaranya:

22 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2001),


(29)

1. Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat (Jakarta: PT. Cahaya Kirana Rajasa, 2006).

2. Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

(Yogyakarta: LKiS, 2006).

3. Munasir Sidk, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah, 2008).

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di lapangan dalam rangka

mendiskripsikan dan menjawab permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah antara lain:

a. Metode Observasi

Observasi yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana penulis mengadakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematis tentang fenomena- fenomena yang diselidiki23.

Metode ini merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara pengamatan atas perilaku seseorang atau objek penelitian24. Observasi dilakukan terhadap kehidupan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jawa Timur, yakni dengan melakukan peninjauan ke kantor jemaat ahmadiyah secara langsung serta melihat

23 Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, ( Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), 136. 24 S. MargoNo Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 158.


(30)

berbagai aktifitas keagamaa dan sosial yang mereka lakukan, observasi dilakukan secara menyeluruh sehingga berbagai persoalan yang menjadi objek penelitian akan digali di lapangan secara menyuluruh untuk mendapatkan jawaban yang komperhensif dan objektif terhadap persoalan yang sedang dibahas dalam penelitian ini.

b. Metode wawancara

Wawancara disebut juga dengan interview yaitu suatu teknik mendapatkan keterangan secara lisan dari responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka secara langsung25.

Wawancara dilakukan terhadap informan secara acak dan mendalam dengan bertemu langsung terhadap jemaat ahmadiyah secara representatit, diantaranya adaah muballigh, pengurus jemaat ahmadiyah Jawa Timur, anggota jemaat ahmadiyah serta beberapa ketua cabang jemaat ahmadiyah di wilayah Jawa Timur. Diantaranya adalah bapak Budi, bapak arif, bapak jaelani, bapak Subhan Ahmad


(31)

(Ketua Cabang Surabaya). Selain sebagai informan yang sudah disebutkan, terdapat beberapa informan lain yang peneliti gunakan sebagai sumber informasi yang berjumlah sekitar 15 orang. Adapun wawancara akan dilakukan secara mendalam untuk memperoleh informasi demi menjawab persoalan yang menjadi pembahasan dalam penelitian.

c. Metode Dokumentasi

Yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya26. Dokumentasi merupakan bahan atau data tertulis atau film yang diperoleh dari lapangan, dokumentasi diperlukan dalam penelitian karena banyak hal yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan juga dijadikan sebuah bukti untuk suatu pengujian27.

Dokumentasi tentang kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia wilayah Jawa Timur menjadi prioritas yang peneliti ambil, terlebih dokumentasi kegiatan sebelum Peraturan Gubernur Jawa Timur dan pasca Peraturan Gubernur Jawa Timur, sehingga akan menjadi bukti kondisi Jemaat Ahmadiyah Indonesia wilayah Jawa Timur. Dalam

26 Suharmisi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta: Rineka Cipta, 1998),

236.


(32)

menggali dokumentasi kegiatan Jemaat Ahmadiyah ini, peneliti akan mencari melalui dibagian dokumentasi dan publikasi pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia wilayah Jawa Timur, serta ke anggota Jemaat Ahmadiyah yang lainnya.

Dokumentasi yang akan dijadikan objek oleh peneliti diantaranya adalah dokumentasi kegiatan bakti sosial, pengobatan gratis, donor darah, serta beberapa dokumen lain yang berkaitan dengan keberadaan dan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Jawa Timur.

3. Metode Analisis Data

Analisa data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan28, analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman. Penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis kritis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning) serta mencoba untuk


(33)

mengkomparasikannya dengan sumber lain yang berkaitan29. Teknik

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah,

a. Penyajian data

Miles mengemukakan bahwa yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang jelas dan singkat yang memberi kemungkinan adanya kesimpulan dan pengambilan tindakan.30 Setelah penyajian data langkah selanjutnya adalah penyesuaian dengan teori, dalam langkah ini data dari lapangan di sesuaikan dengan teori yang ada.31

Dalam penyajian data ini peneliti menyajikan data hasil dari pengamatan di lapangan, diantaranya adalah data tentang dampak sosial keagamaan peraturan Gubernur Jawa Timur tentang pelarangan Jemaat ahmadiyah, dan data tentang kegiatan jemaat ahmadiyah baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial.

b. Reduksi data

Data yang didapat dari lapangan langsung ditulis dengan rapi dan terinci serta sistematis stiap mengumpulkan data. Tulisan atau laporan tersebut perlu direduksi yaitu dengan memilih hal-hal

29 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104.

30 Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi

Aksara,1996), 36.

31 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosada Karya,2001),


(34)

pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.32 Reduksi data

merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan,

menggolongkan mengarahkan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data.33

Dari segala data yang peneliti dapatkan dari lapangan dengan menggunakan berbagai metode penelitian, peneliti hanya mengambil beberapa data yang berkaitan dengan fokus penelitian dan persoalan yang diangkat, diantaranya adalah data tentang implikasi Peraturan Gubernur Jawa Timur, serta aktifitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah pasca dikeluarkannya peraturan Gubernur Jawa Timur tentang pelarangan terhadap aktifitas jemaat ahmadiyah di Jawa Timur.

c. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih sepesifik dalam hipotesa yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan penelitian yang telah ditetapkan.34Setelah data di deskripsikan

32 Imam Suprayogo,. ..,194.

33 Ibid.,135


(35)

dengan jelas maka akan dapat ditarik kesimpulan yang didasarkan pada rumusan masalah penelitian.

I. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang diharapkan maka akan disusun sistematika. Sistematika penulisannya terdiri dari lima bab, yang masing-masing membicarakan masalah yang berbeda-beda namun saling memiliki keterkaitan. Secara rinci pembahasan masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi Pendahuluan yang menggambarkan obyek kajian secara ringkas, yang memuat pembahasan mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori. Dalam bab ini nanti peneliti akan

membahas diantaranya keputusan Gubernur Jawa Timur No.

188/94/KPTS/013/2011 tentang pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur, peraturan pemerintah tentang kewenangan mengeluarkan regulasi dan UUD 45 tentang kebebasan beragama.

Bab ketiga berisi tentang sejarah Ahmadiyah, ajaran Ahmadiyah serta deskripsi tentang Lokasi Penelitian yakni Jemaat Ahmadiyah di Surabaya Jawa Timur.


(36)

Bab keempat berisi tentang Penyajian dan Analisis Data, peneliti menyajikan data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis.

Bab kelima berisi tentang Penutup, peneliti menyimpulkan seluruh hasil penelitian, yang memuat Kesimpulan dan Saran.


(37)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Perlindungan Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.1

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya tersebut. Pemberian kekuasaan, atau yang sering disebut dengan hak ini, dilakukan secara terukur, keluasan dan kedalamannya.

Menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga karena ada pengakuan terhadap itu. Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, tapi juga kehendak.2 Terkait fungsi hukum untuk memberikan perlindungan, Lili Rasjidi dan

B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi

1 Satjipto Rahardjo, IlmuHukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 53. 2 Ibid., 54.


(38)

yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.3

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa “Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan

peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.”4

Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga Negara.

Perlindugan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan

3 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi (Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya, 1994), 64.

4 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia (sebuah Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 38.


(39)

ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.5

Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsep perlindungan hukum, yang tidak lepas dari perlindungan hak asasi manusia, merupkan konsep Negara hukum yang merupkan istilah sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law. Sehingga, dalam penjelasan UUD RI 1945 sebelum amandemen disebutkan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.

Teori Negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law), semuanya ada dibawah hukum (under the rule of law), dengan kedudukan ini, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).6

Dalam konteks tegaknya suatu negara modern, Jimly Assiddiqie menambhakan, diperlukan pilar-pilar utama, sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, antara lain:

5 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), 2004, Tesis Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 3.

6 Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Dalam

Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, 15.


(40)

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu

memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential

yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan


(41)

‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui


(42)

pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri

‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk

kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

B. Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 1. Latar Belakang Peraturan Gubernur Jawa Timur

Sebelum dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Ahmadiyah, terlebih dahulu sudah ada beberapa kepala daerah yang terlebih dahulu sudah memberikan larangan terhadap aktifitas Jemaat Ahmadiyah dengan mengeluarkan perda, diantaranya adalah yang terjadi pada tahun 1983 di Lombok Timur melalui surat keputusan bersama Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tentang pelarangan terhadap kegiatan jemaah Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur yang dikeluarkan pada tanggal 21 November 1983, setelah itu di Sumatra Selatan pada tahun 2008 dikeluarkan surat keputusan Gubernur No.563/KPT/BAN. KESBANGPOL&LINMAS/2008 yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatra Selatan pada 1 September 2008.

Di Sulawesi Selatan juga melakukan hal yang sama, melalui Surat edaran Gubernur Sulawesi Selatan No. 223.2/803/Kesbang yang


(43)

dikeluarkan pada 10 februari 2011.7 Pada bulan yang sama tanggal 28

Februari 2011 Gubernur Jawa Timur H. Soekarwo juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur, Peraturan Gubernur Jawa Timur ini melarang aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jawa Timur dan merupakan langkah yang dhiambil oleh pemerintah provinsi Jawa Timur dalam rangka menjaga kondusifitas masyarakat Jawa Timur, seperti diketahui bersama bahwa sebelum dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur, dibeberapa daerah diluar Jawa Timur sudah terjadi konflik yang disebabkan oleh perdebatan tentang ideologi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Oleh karenanya pemerintah provinsi Jawa Timur mengambil langkah cepat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur.

2. Isi Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur

Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur, yang isinya melarang aktifitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jawa


(44)

Timur, serta adanya larangan memasang atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia di berbagai tempat ibadah.

Sebagai bahan pertimbangan dari dikeluarkannya peraturan Gubernur jawa Timur tersebut adalah agar masyarakat wajib menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Jawa Timur untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi terwujunya persatuan dan kesatuan nasional, selain itu juga dalam rangka menjaga stabilitas keamanaan daerah Jawa Timur, hal ini tidak lepas dari berbagai kasus yang terjadi berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah diberbagai wilayah di Indonesia.

Selain itu beberapa pertimbangan lain yang menjadi landasan dikeluarkannya peraturan Gubernur jawa Timur tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalagunahan dan/atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan nomor 8 tahun 2006 tentang pedoman Pelaksana Tugas Kepada Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota,


(45)

dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga Masyarakat.

Sehingga dari berbagai pertimbangan sosial dan yuridis tersebut Gubernur jawa Timur selaku pemimpin tertinggi di wilayah jawa Timur

memutuskan untuk “Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI) yang dapat memicu dan/atau menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat di Jawa Timur”.

Larangan yang dimaksud dalam peraturan Gubernur tersebut adalah larangan Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara Lisan, tulisan maupun melalui media elektronik, larangan Memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum, dan larangan Menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala Bentuknya.

Dari keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa dengan berbagai pertimbangan di tetapkan bahwa melarang aktiifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah Jawa Timur untuk menyebarkan ideologi keagamaannya serta menggunakan dan memasang atribut Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur.8

C. Peraturan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Mengeluarkan Regulasi

8 Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat


(46)

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum pembentukan Pemerintahan Daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Dalam menentukan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, berlaku teori residu, kewenangan daerah merupakan sisa dari semua kewenangan setelah dikurangi lima kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian berarti kewenangan yang dimiliki daerah tidak terhingga, sehingga setiap daerah dapat menyelenggarakan kewenangan sebanyak-banyaknya tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah yang bersangkutan.

Akan tetapi dalam menjalankan tugasnya, badan atau aparatur pemerintah harus dilandasi wewenang yang sah yang diberikan oleh peraturan perundang – undangan. Oleh karena itu setiap badan atau aparatur pemerintah sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya kewenangan yang sah yang diberikan oleh peraturan perundang – undangan, maka kewenangan tersebut dibatasi dan diatur oleh peraturan perundang – undangan sehingga tidak melebihi kewenangan yang dimilikinya.9

Berdasarkan undang – undang pemerintahan daerah, gubernur adalah kepala daerah yang memimpin suatu wilayah/provinsi.10 Gubernur disini sebagai kepala

9 Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara (Depok: CLGS-FHUI, 2007) 29.

10 Indonesia, Pasal 24 ayat 2Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah UU Tahun 2004, TLN


(47)

pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bersama DPRD berdasar asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas – luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia. Selain sebagai keala daerah provinsi, gubernur juga berfungsi pula selaku wakil pemerintah di wilayah provinsi tersebut. 11 Gubernur disini mempunyai pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten/kota. Jadi terdapat dua kedudukan gubernur yakni sebagai kepala daerha suatu wilayah provinsi dan sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.

Sebagai kepala daerah, Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan menurut prinsip otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dalam melaksanakan urusan pemerintahannya menurut otonomi daerah itu, Gubernur mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya ini berdasarkan asa desentralisasi yang berarti hanya urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom tersebut yang dapat dilakukan yaitu urusan diluar pemerintah pusat yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal nasional, dan agama. Kewenangan pemerintah pusat adalah semua kewenangan pemerintahan sebagai akibat pelimpahan dari rakyat.12 Namun pemerintahan harus

11 Ibid.,37.

12 Hanif Nur Cholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta: Grasindo, 2005),


(48)

diselenggarakan secara desentralisasi maka sebagian kewenangn tersebut harus diserahkan kepada daerah.Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan 6 (enam) bidang urusan pemerintahan. Sedaangkan kewenangan selain 6 (enam) bidang itu menjadi kewenangan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Kewenangan yang dipegang pusat adalah kewenangan yang bersifat

nasional.Sedngkan kewenangan yang diserahkan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat lokalitas (merupakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat). Daerah diberi kebebasan untuk menemukan kewenangan yang bersifat lokalitas tersebut menurut prakarsanya sendiri.

Dalam kaitannya untuk menciptakan produk hukum dalam melaksanakan otonomi daerah, Gubernur mempunyai wewenang mengatur dan mengurus dimana wewenang mengatur tersebut perbuatan untuk menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan abstrak, dimana dalam undang – undang pemerintahan daerah produk hukum hasil mengatur tersebut antara lain:13

1. Peraturan daerah atau Perda, yakni keputusan kepala daerah berdasarkan persetujuan DPRD.

Perda merupakan hasil kerja bersama antara Gubernur/Bupati/Walikota dengan DPRD, karena itu tata cara membentuk Perda harus ditinjau dari beberapa unsur pemerintahan tersebut, yaitu unsur DPRD adalah Peraturan

13 Behnyamin Hoessein, Perubahan, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah; dari Era Orde Baru ke


(49)

Daerah merupakan sutu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD membentuk Perda bertalian dengan wewenang DPRD dibidang legislatif atau yang secara tidak langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif, yaitu hak penyelidikan, hak inisiatif, hak amandemen, persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda).Unsur Partisipasi adalah partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membentuk Ranperda atau Perda.14

2. Peraturran Kepala Daerah yakni keputusan kepala daerah tanpa persetujuan DPRD.

Sedangkan dengan wewenang mengurus, Gubernur selaku kepala daerah provinsi dapat menciptakan norma hukum yang berlaku kongkrit dan individual dalam undang – undang pemerintah daerah terdapat hasil produk pengurusan yaitu keputusan kepala daerah. Keputuusan kepala daerah merupakan produk hukum hasil pengurusan yang bersifat penetapan dan istilah yang dipakai oleh peradilan adalah keputusan tata usaha negara. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh gubernur baik mengatur dan mnegurus tersbeut membentuk tiga produk hukum. Produk hukum tersebut hanya untuk melaksanakan urusan – urusan pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas

14 Rosjidi Ranggawidjadja, Pengantar Ilmu Perundang – Undangan Indonesia (Bandung: Mandar


(50)

desentralisasi. Sedangkan untuk urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom hanya bisa dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi, Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Maksudnya adalah pelimpahan wewenang pemerintahan yang sebenarnya kewenangan itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertical didaerah berdasarkan arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat.15 yaitu dengan adanya pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat kepada Gubernur.

Kedudukan Gubernur selaku wakil pemerintah mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan:16

1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota

15 Sunarto Siswanto, Hukum Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 7-8. 16 Indonesia, Pasal 37Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah. . ..


(51)

2. Kordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota

3. Kordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Gubernur sebagai wakil pemerintah juga melaksanakan urusan

pememrintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.17 Dalam hal ini Gubernur sebagai wakil pemerintah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, yakni Politik Luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal dan agama. Setelah mendapat limpahan sebagian urusan pemerintahan kepadanya berdasarkan asas dekonsentrasi atau dapat menugaskan kepeda pemerintahan daerah dengan asas tugas pembantuan.

Dalam hal kaitannya dengan dikeluarkannya sebuah keputusan Gubernur yang

berisi tentang urusan agama, yaitu surat keputusan Gubernur No.

188/94/KPTS/013/2011 tentang larangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Timur. Keputusan tersebut adalah keputusan kepala daerah yang merupakan produk hukum hasil pengurusan yang bersifat penetapan.

Dapat diuraikan menurut sifatnya, bahwa individual disini adalah keputusan itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju yaitu ditujukan dan dialamatkan kepada seseorang, beberapa orang atau banyak orang


(52)

tertentu. Dalam keputusan tersebut yang dituju adalah Jemaatn Ahmadiyah Indonesia Jawa Timur. Selanjutnay keputusan tersbeut bersifat kongkret yang berarti keputusan tersebut di dalamnya diatur perbuatan yang sudah nyata, yaitu tidak hanya melarang melakukan kegiatan yang dapat memicu atau menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat Jawa Timur, tetapi sudah dikongkretkan menjadi menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun media elektronik, memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tempat umum, memasang papan nama pada masjid, musholla, lembaga pendidikan dan lain – lain dengan identirtas Jemaat Ahmadiyah, dan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam segala bentuk. Selanjutnya keputusan tersbeut final atau sekali selesai yang berarti tanpa meminta persetujuan pihak atasan, keputusan tersbeut sudah langsung dapat berlaku.

Dengan demikian surat keputusan Gubernur Jawa Timur tersebut merupakan produk hukum kepala daerah yang berasal dari wewenang kepala daerah yang berupa hasil pengurusan yang bersifat penetapan atau keputusan tata usaha negara. Surat keputusan tersebut adalah surat keputusan yang berisi tentang urusan agam yang dilihat dari isinya yakni berisi tentang larangan melakukan aktifitas suatu kelompok keagamaan tertentu yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Mengingat urusan agama merupaka urusan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah tidak berwenang mengeluarkan produk hukum baik itu melalui perbuatan mengatur maupun mengurus yang berisi tentang urusan agama kecuali


(53)

telah mendapatkan pelimpahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi berdasarkan asas dekonsentrasi atau mendapatkan tugas dari pemerintah berdasarkan asas pembantuan. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan Gubernur Jawa Timur dalam mengeluarkan surat keputusan tersebut melebihi kewenangan yang dimilikinya.

D. Hubungan UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama

Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Dengan arti kata, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.

Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Pasal 28E menjelaskan bahwa :

1. Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih


(54)

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28J menerangkan bahwa :

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghorsemata-matan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dan Pasal 29 yang menegaskan bahwa :

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPK berbunyi:


(55)

bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian diubah lewakeputusan rapat PPKI, 18

Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar ataKetuhanan Yang Maha Esa”.

Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusaninilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

UUD 1945 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia setelah UUD 1945 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam masa reformasi UUD 1945 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.

Di era reformasi sekarang, banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara


(56)

dan berbagai agenda kepentingan lainnya, reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hukum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hukum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk multitafsir.

Namun demikian, di sisi lain Negara Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Penduduk Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Penduduk ini menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Bagian terbesar dari penduduk menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu Buddha dan Khonghucu, bahkan juga ratusan aliran keagamaan. Karena itu diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Dari sisi Pemerintah, diperlukan kebijaksanaan dan strategi untuk menciptakan dan memelihara suasana kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai sejahtera dan bersatu.

Dimana yang dimaksud kerukunan umat beragama disini adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang


(57)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama.

Dilain pihak kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Menurut Mahfud M.D, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation/judicial review) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya.18

Dengan demikian, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 terutama pasal 28E, 28I, dan 29. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya dapat dilakukan melalui UU sebagaimana ditur dalam Pasal 28J UUD 1945 tersebut. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa:


(58)

“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”19

Tetapi Undang-Undang yang sama juga mengatur adanya kewajiban dasar manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 1, 67, 68, 69 dan 70 UU tersebut. Tentang pembatasan hak dan kebebasan hanya dapat dilakukan oleh UU sebagaimana diatur Pasal 73 UU tersebut. Demikian pula kebebasan beragama dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU ini, disebutkan sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.


(59)

2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat umum dan perlu penjabaran lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 masalah11: 1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya benturan program antara satu agama dengan agama lain. 2) Hubungan kebebasan beragama pada pemeluk agama masing- masing. Ini menyangkut masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat penganut agama tersebut dianggap menyimpang. 3) Hubungan kebebasan beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemeluk agama. 4) Hubungan kebebasan beragama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam


(1)

tersebut masih menimbulkan tanda tanya besar dikalangan jemaat Ahmadiyah sendiri karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan tentang ideologi organisasi Ahmadiyah, kedua tidak

melakukan gugatan ke PTUN dikarenakan tidak ingin membuang tenaga secara sia – sia, karena berdasarkan pengalaman gugatan PTUN tidak pernah ada titik penyelesaiannya.

2. Keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 ditinjau dari segi kebebasan berkeyakinan menurut Undang – undang dasar 1945 dijelaskan bahwa negara menjamin kebebesan berkeyakinan warganya, selain itu kaitannya dengan hak asasi manusia juga memberikan kebebasan bagi warga negara untuk berkeyakinan karena merupakan hak dasar sebagai manusia. Pergub Jawa Timur bertujuan untuk mengatur agar dalam menjalankan kebebasan berkeyakinan tidak mengganggu kebebasan berkeyakinan orang lain, serta mencegah terjadinya konflik. Akan tetapi hal tersebut mendapatkan protes keras dari Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur karena mereka merasa tidak pernah menimbulkan gangguan ketertiban umum di Jawa Timur, sehingga beranggapan bahwa Peraturan Gubernur Jawa Timur terlalu dipaksakan dan terlalu dini. Selain kewenangan mengeluarkan regulasi terkait urusan keagamaan adalah wewenang pemerintah pusat

3. Perkembangan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur masa kini setelah 5


(2)

188/94/KPTS/013/2011 ialah tetap melakukan aktifitas seperti biasanya, untuk rutinitas individu Jemaat Ahmadiyah tetap melakukannya seperti para muslim yang lainnya, akan tetapi untuk kegiatan yang bersifat masiv atau menyeluruh, Jemaat Ahmadiyah terkadang masih terkendala dengan izin dari aparat keamanan.

B. Saran – Saran

Penelitian tesis ini memang masih jauh dari kata sempurna. Penelitian ini hanya memotret bagaimana implikasi Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang pelarangan aktifitas Jemaat Ahmadiyah di wilayah Jawa Timur serta tinjauan hukum terhadap UUD 45 tentang Hak Aasasi Manusia. Tentu saja ada unsur lain yang bisa dilihat, semisal bagaimana kaitan Peraturan Gubernur ini dinamika politik di wilayah Jawa Timur, jika ada. Oleh karena itu, masih sangat terbuka ruang bagi para akademisi untuk meneliti hal-hal tersebut di atas.


(3)

DAFTARPUSTAKA

Ahmad, Basyruddin Mahmud, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad Parung: Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, 1995.

Ahmad, Mirza bashir, Silsilah Ahmadiyah (Kemang: Jemaat Ahmadiyah Indonesia,

1997.

Arikunto, Suharmisi, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta:

Rineka Cipta, 1998.

Asriani, Delyna, Analisis Surat Tiga Menteri tentang Peringatan dan Perintah

Kepada pengurus Jemaat Ahmadiyah (Studi Kasus Konflik FUI dan Gerakan Jemaat

Ahmadiyah di Yogyakarta) Tesis jurusan Magister Ilmu Pemerintahan Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2012.

Burhanuddin, Asep, Jihad Tanpa Kekerasan Yogyakarta: PT.LkiS, 2005.

Cholis, Hanif Nur, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah Jakarta:

Grasindo, 2005.

Data Kepengurusan JAI Jawa Timur tahun 2016.

Federspiel, Howard M., Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century

Indonesia, Terj. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Pembaharuan Islam

Indonesia Abad XX, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1996.

FKUB JAWA TIMUR, Sewindu Surabaya: FKUB JAWA TIMUR, 2014

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam,


(4)

Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama

Jakarta: Wijaya, 1950.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research II, ( Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM,

1980.

Iqbal, Muhammad, Islam And Ahmadism, Replay To Questions Raised By Pandit

Jawahar Lal Nehru, Terj. Machnun Husein, Islam dan Ahmadiyah, Jawaban

Terhadap Pertanyaan Pandit Jawahar Lal Nehru, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.

Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:

Bumi Aksara, 1996.

Hoessein, Behnyamin, Perubahan, Pola dan Bentuk Pemerintahan Daerah ; Dari

Era Orde Baru ke Era Reformasi Jakarta: DIA FISIP UI, 2009.

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun 2011.

Keputusan Gubernur Jawa Timur NO 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Terhadap Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur.

Koenjtaraningrat, Metode- Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1994.

Mahfud, Politik Hukum di Indonesia Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998.

Mahally, Abdul Halim, Benarkah Ahmadiyah Sesat Jakarta: PT. Cahaya Kirana

Rajasa, 2006.

Maimanah dkk, FeNomena Aliran Kegamaan di Banjarmasin (Studi Kasus

Ahmadiyah) jurnal Tashwir Vol. 1 No. 1 2013 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora


(5)

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Mustain Dkk, Dampak sosial kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok dan

upaya resolusi konflik IAIN Mataram.

Nazsir, Nasrullah, Teori – teori Sosiologi Bandung: Widya Padjadjaran, 2008. Nugraha, Safri, Hukum Administrasi Negara Depok: CLGS-FHUI, 2007.

Pemantauan dan Dokumentasi- Kontras 2011.

Ranggawidjadja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang – Undangan Indonesia Bandung: Mandar Maju, 1998.

Radjawane, Pieter, Kebebasan Beragama Sebagai Hak Konsitutsi di Indonesia Jurnal

Sasi, Vol. 2 No. 1 Bulan Januari – Juni 2014.

Shadiq, Muhammad, Analisa Tentang Khataman An Nabiyyin Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, 1984.

Setara Institute, Atas Nama Ketertiban Dan Keamanan Jakarta: Setara Institute, 2010.

Sidik, Munasir, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(Jakarta: Jemaat Ahmadiyah, 2008.

Siswanto, Sunarto, Hukum Pemerintahan Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Sofanudin, Aji, Studi tahapan penanganan Jemaat Ahmadiyah dari balai penelitian

dan pengembangan agama semarang dalam jurnal multicultural dan multireligious Vol. 11 tahun 2012.

Suprayogo, Imam, Metodologi Penelitian Sosial-Agama Bandung: Remaja Rosada


(6)

Sudjono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2003.

S. MargoNo Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Indonesia, Undang – Undang Tentang Pemerintahan Daerah.

Yasir, Ali, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam Yogyakarta: yayasan Perguruan

Islam, 1978.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir, Al Quran dan Terjemahannya

Departemen Agama, 1986.