konferensi perubahan iklim

COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH sambutan dari Sekretaris Eksekutif UNFCCC,
Christiana Figueres, Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma, dan pidato
pembukaan oleh Menteri Lingkungan Afrika Selatan, Nkoana-Mashabane selaku
Presiden COP 17/CMP 7. Konferensi yang berlangsung di International
Convention Centre (ICC), Durban, Afrika Selatan ini dihadiri oleh 163 negara
parties, 1.409 LSM, dan 86 pengamat, dengan total partisipan lebih dari 20.000
jiwa pada tanggal 28 November 2011.
Dalam konferensi ini, dikemukaan isu-isu yang berkembang terkait perubahan
iklim di dunia. Isu yang pertama adalah tugas lanjutan dari pertemuan Cancun
atau COP 16, antara lain: (1) Peluncuran “Adaptation Committee”, memperbaiki
modalities dan guidelines untuk Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptation
Plans), dan kemajuan pada pendekatan terhadap identifikasi “loss and damage”,
(2) operasionalisasi secara penuh “Technology Mechanism” pada tahun 2012
dan suatu proses yang jelas untuk seleksi “the host for the implementing arm of
the mechanism”, (3) mempertimbangkan dan menyetujui “Green Climate Fund”,
(4) progres lanjutan untuk masalah penyediaan guidelines untuk monitoring,
pelaporan, dan verifikasi, (5) mendefinisikan apa dan bagaimana dari suatu
review, serta (6) mendapatkan penjelasan yang lebih baik terhadap “fast-start
finance”, yang tersedia dengan akses secara mudah dan transparan.
Isu yang ke dua adalah ancaman terkait komitmen terhadap masa depan
Protokol Kyoto yang merupakan dasar dari komitmen perubahan iklim akan


segera berakhir tahun 2012. Dan isu yang ke tiga adalah segera dihasilkannya
solusi bersama (common solution) yang menjamin masa depan yang aman
untuk generasi mendatang.
Adapun kegiatan dalam COP 17/CMP 7 di Durban
meliputi proses negosiasi berupa Conference on
the Parties (COP) 17, Conference of the Parties
serving as the meeting of the Parties to the Kyoto
Protocol (CMP 7), Subsidiary Body for
Implementation (SBI) 35, Subsidiary Body for
Scientific and Technological Advice (SBSTA) 35,
Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative
Action under the Convention (AWG LCA) 14-4,
dan Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under
the Kyoto Protocol (AWG KP) 16-4. Selain itu ada pula acara pendamping
termasuk pameran dan presentasi berupa pavillion dari masing-masing Negara
atau parties.Indonesia berpartisipasi aktif hampir dalam semua agenda kegiatankegiatan COP 17/CMP 7. Selain dalam hal negosiasi untuk mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim, Indonesia turut aktif dalam pameran, side events, dan Pavillion.
Yang membanggakan, Pavillion Indonesia merupakan salah satu pavillion yang
terbesar dan satu-satunya dari negara berkembang selain China dan Afrika

PAVILLION INDONESIA
Pavillion adalah kegiatan kolaborasi selama COP 17/CMP7 di Durban, Afrika
Selatan tahun 2011. Kolaborasi ini melibatkan berbagai pihak dari Pemerintahan
Indonesia (kementerian dan lembaga, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota),
pihak swasta, pihak publik lainnya termasuk pemuda-pemudi perguruan tinggi,
dan stakeholder penting lainnya. Pavillion ini merupakan media atau platform
untuk menangkap dan menyampaikan secara gamblang upaya-upaya yang
sudah, sedang, atau akan dilakukan Indonesia untuk menghadapi dampak
perubahan iklim. Di sisi lain, dari pavillion ini, diharapkan muncul keinginan
(interests) berupa tanggapan atau kerjasama dari berbagai pihak, pengunjung,
dan para ahli untuk memperkaya upaya-upaya berbagai bidang yang terkait
perubahan iklim di Indonesia.
Pavillion pada COP 17 merupakan kesempatan yang langka bagi Indonesia
bukan hanya untuk menunjukkan suatu citra Indonesia yang lebih kuat dan lebih
berkelanjutan terhadap dunia, tetapi juga untuk memperlihatkan pada publik
keberpihakan dalam perubahan iklim, sekaligus membentuk atau
mengembangkan hubungan jejaring yang lebih berarti. Untuk itu, pavillion akan
diisi dengan berbagai program pembangunan dan kampanye komunikasi yang
luas, yang akan terus dilengkapi secara sistematis sebelum, selama, dan bahkan
setelah COP 17. Konsep dan desain Arsitektur pavillion mengembangkan

pengalaman ruang sedemikian rupa sehingga ketika memasuki pavillion,
pengunjung mendapatkan suatu kombinasi berbagai pengalaman budaya

Indonesia tradisional dan modern. Sesuai dengan tema utama: Indonesia,
solutions for the world, pavilion dibangun dengan konsep sebagai solusi
terhadap berbagai permasalahan perubahan iklim yang dialami. Ada empat
subtema yang dipilih Indonesia dalam Pavillion, yaitu Forest and Biodiversity
Solution, Power and Energy Solutions, Inovation and Investment Solutions, dan
Climate Resilience Solutions. Pada subtema Forest and Biodiversity Solution,
dijelaskan tentang kenyataan bahwa Indonesia adalah negara nomor dua
terbesar di dunia yang memiliki hutan tropis basah dan lahan gambut yang
tersisa. Untuk itu, pada subtema ini akan diperlihatkan contoh-contoh “best
practice” sebagai kontribusi Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim. Upayaupaya tersebut antara lain: studi sektor Land Use, Land Use Change and
Forestry (LULUCF), upaya penghutanan kembali (reforestation), proyek
kegiatan-kegiatan demonstrasi pelaksanaan “Reduction Emission from
Deforestation and Degradation” (REDD), pelaksanaan pengelolaan hutan yang
berkelanjutan, inisiatif kebijakan pemerintah daerah, dan berbagai inisiatif dari
dunia usaha.
Sementara pada subtema Power and Energy Solutions digambarkan peran dan
kepemimpinan Indonesia dalam promosi konservasi energi dan penggunaan

energi yang terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk subtema
ini, Indonesia menunjukkan perkembangan atau kemajuan dalam kebijakan
penggunaan berbagai energi, energi terbarukan, dan konservasi energi. Di sini
juga ditunjukkan proyek-proyek biomassa, proses gas berasal dari batubara,
penangkapan CO2, energi air, energi panas bumi, dan pengkayaan penggunaan
energi di sektor angkutan publik.
Dalam subtema Inovation and Investment Solutions, pavilion memfasilitasi
pemerintah dan dunia usaha, terutama industri jasa antara lain: ICT, perusahaan
keuangan dan investasi dalam mempromosikan upaya-upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Subtema pavilion ini juga memfasilitasi investasi dan
inovasi dengan penggunaan teknologi yang berkembang. Selain itu, di sini juga
disediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemerintah dan dunia usaha
untuk menjelaskan praktek-praktek yang ramah lingkungan dan kesempatan
investasi rendah karbon (low-carbon investment) di Indonesia.
Subtema yang terakhir, Climate Resilience Solutions, bicara tentang perubahan
iklim yang sampai saat ini telah terakomodasi dalam kebijakan pembangunan
yang baru dan kritis. Subtema ini menegaskan inisiatif pemerintah dalam
mengarusutamakan perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan. Untuk itu,
ditegaskan beberapa inisiatif kebijakan pembangunan yang dikaitkan dengan
strategi adaptasi perubahan iklim.

PERUNDINGAN COP17 UNFCCC ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pada pembahasan dan perundingan isu/agenda Komite Adaptasi, terdapat
kemajuan negosiasi yang cukup signifikan. Pembahasan dan diskusi difokuskan
pada persoalan: modalitas, cara pelaporan, hubungan dengan kelembagaan

yang lain, keanggotaan, proses dalam pengoperasian komite, serta satu tahun
pelaksanaan kegiatan untuk mempersiapkan rencana kerja komite.
Terkait pelaporan, terdapat dua pilihan pelaporan aktivitas komite. Yang pertama
menyebutkan bahwa pertemuan dilakukan paling sedikit dua kali, namun tetap
mempertimbangkan kebutuhan (fleksibel). Sedangkan yang ke dua, pertemuan
dilakukan paling sedikit dua kali dalam setahun. Isu lainnya yang muncul namun
masih terkait dengan fokus periodesasi pertemuan komite adaptasi ini adalah
implikasinya kepada keuangan.
Dalam pembahasan dan perundingan NAPs, banyak pihak yang menilai NAPs
ini sebagai media untuk mengintegrasikan kegiatan dan aktivitas adaptasi. Di
samping itu, kehadirannya dapat menjadi pedoman dalam rangka kebutuhan dan
strategi adaptasi yang membutuhkan waktu dan periode jangka panjang. Selain
itu, banyak juga para pihak yang menegaskan bahwa isu teknologi adaptasi
menjadi salah satu isu penting dalam upaya memperkuat kapasitas adaptasi.
Oleh karena itulah negara-negara maju diminta untuk membantu penyediaaan

sumber pendanaannya. Kerangka NAPs menilai bahwa modalities dan
guidelines yang akan ditetapkan harus dikaitkan dengan isu/persoalaan
kelembagaan. Dengan penjelasan tersebut, dibutuhkan adanya penguatan
kerjasama internasional yang mendukung implementasinya. Negara/kelompok
LDC menilai dibutuhkan adanya pendanaan lingkungan yang merupakan
langkah untuk meningkatkan sumber daya, termasuk untuk mendorong
pelaksanaan NAPs.
Sebagian besar negara berkembang dan kelompok Least Developed Countries
memandang bahwa dalam upaya membangun program kerja NAPs dibutuhkan
adanya lokakarya mengenai NAPs yang bertujuan membangun kapasitas dan
meningkatkan dukungan teknis terhadap aksi adaptasi sebagai upaya
memperkuat ketahanan. Oleh sebab itu dibutuhkan pedoman (semacam MRV)
untuk mendukung NAPs. Kelompok negara berkembang (G77 + China) secara
khusus berpesan agar modalities dan pedoman dirancang agar sesuai, tepat,
sederhana, jelas dan bermanfaat untuk membantu wilayah/kawasan/region yang
rentan. NAPs juga mendukung strategi adaptasi dan upaya pengurangan resiko
bencana (disaster risk reduction), sesuai dengan hasil laporan IPCC Special
report on Managing the Risks of Extreme Events and Disaster to Advance
Climate Change Adaptation.
Dalam perundingan Durban, pembahasan National Adaptation Plans merujuk

pada guidelines, modalities, financial arrangements for formulation and
implementation, termasuk peran sekretariat dalam mendukung NAPs.
Selanjutnya penyusunan guidelines dan persiapan NAPs akan dikembangkan
berdasarkan pengalaman pelaksanaan NAPAs.
Isu adaptasi lainnya adalah pembahasan dan perundingan mengenai Loss and
Damage. Pembahasan difokuskan pada draft SB135 mengenai Loss and

Damage. Para pihak mendorong proposal yang telah disampaikan pada rapat
ahli sangat penting untuk menjadi subyek pembahasan. Untuk area tematik,
diusulkan adanya rapat informal, yang bisa dinilai sebagai pertemuan pralokakarya. Secara umum, struktur format draft sudah cukup baik namun
diusulkan untuk meletakkan program aktivitas dan elemen secara spesifik.
Terkait dengan isu Loss and Damage, negara, kelompok negara LDC,
G77+China dan AOSIS menyampaikan bahwa adanya work and program dari
isu ini sebaiknya dijadikan target COP 18, 2012. Hal lainnya adalah bahwa isu
Loss and Damage harus mendapatkan pendanaan secara penuh dan harus
melihat dan mempertimbangkan kondisi setiap negaranya (national
circumstances). Dalam konteks area kerentanan, Indonesia meyampaikan isu
agrikultur dan pesisir sebagai area penting yang harus mendapatkan tekanan
dalam mekanisme isu/agenda ini.
Terakhir adalah pembahasan dan perundingan mengenai NWP. Dalam

pertemuan di Durban ini dibutuhkan elaborasi pedoman NWP yang telah
dikeluarkan saat perundingan di Cancun. Dalam konteks substansi isu NWP,
dibutuhkan upaya peningkatan basis ilmiah untuk „mendefinisikan‟ NWP ini.
NWP menjadi isu untuk membantu peningkatan kapasitas adaptasi.
Banyak pihak menyadari adanya
kemajuan pelaksanaan kegiatan
dan pelaksanaan aktivitas dari aksi
adaptasi NWP. Beberapa negara
memberikan penekanan terhadap
keberlanjutan NWP, khususnya
dalam menilai dampak dan strategi
adaptasi dan metodologi di sektor
kehutanan untuk mengaitkan isu
mitigasi dan adaptasi. Oleh
karenanya
integrasi
antara
pendekatan kearifan lokal dan
sistem keamananan pangan dan
air merupakan satu keharusan. Ke depannya, pembahasannya harus

menekankan pada kegiatan program selanjutnya yang sejalan dengan temuan
ilmiah saat ini. Program baru dan pelaksanaan secara penuh dengan modalities
yang baik diharapkan dapat menurunkan tingkat kerentanaan (technical and
social based and local knowledge). Pengintegrasian dengan persoalan
ekosistem, air dan ketahanan pangan harus diletakkan secara bersama. Bagi
negara yang tergabung dalam G77 dan China aktivitas selanjutnya dari NWP
harus lebih ditekankan pada upaya mendorong pelaksanaan adaptasi secara
kongkrit (proposal yang ditawarkan membuka area tematik kerja).
Beberapa negara mengusulkan agar harus ada pengintegrasian upaya adaptasi
dan mitigasi. Disepakati bahwa perlu ada langkah-langkah yang difokuskan pada
penggalian elemen-elemen (yang ditawarkan/disampaikan dalam lokakarya).

Amerika Serikat yang telah mengambil pelajaran dari program NWP sebelumnya
dan mereka meminta untuk lebih menekankan basis ilmiah untuk mendukung
aksi implementasi di periode ke dua NWP ini. Sementara Uni Eropa mendorong
struktur NWP yang dapat merefleksikan kepentingan para pihak (parties). Bagi
Indonesia, sektor pertanian dan pesisir menjadi isu yang harus mendapatkan
perhatian dalam pengembangan kapasitas dan pendanaan serta kegiatan dan
aktivitas lainnya.
Perundingan dan pembahasan Komite Adaptasi menghasilkan butir-butir

kesepakatan sebagai berikut:
 Kesepakatan umum untuk memulai aktivitas persiapan komite adaptasi
untuk satu tahun ke depan dan akan dilaporkan pada COP 18.
 Perlunya upaya untuk mendukung implementasi aksi adaptasi dalam
mendukung upaya menurunkan kerentanan dan membangun ketahanan.
 Upaya di atas tersebut dilakukan sesuai ketentuan konvensi, harus
mengikuti kepentingan nasional, gender sensitive, pelibatan stakeholder
dan transparan dengan memprioritaskan kepada kelompok dan
masyarakat serta
ekosistem yang rentan, dengan panduan
pengetahuan yang dimiliki, kearifan tradisional dan lokal.
 Memasukkan adaptasi ke dalam kebijakan dan rencana aksi (lingkungan,
ekonomi, dan spasial).
 Komite Adaptasi bekerja di bawah otoritas dan bertanggungjawab pada
COP. Komite Adaptasi secara langsung melapor kepada COP.
 Komposisi Komite Adaptasi merupakan keterwakilan mayoritas negara
berkembang yang membutuhkan adaptasi.
Anggota Komite Adaptasi ini merupakan pakar yang berasal dari akademisi
dan masyarakat sipil waki dari Afrika dan Negara berkembang lainnya, Asia
dan Pasifik, Amerika dan Karibia, Europa TImur, Europa Barat dan

Negara lainnya). Hasil perundingan dan pembahasan isu/agenda NAPs,
adalah:








Mengakui upaya banyak negara brekembang dan kemajuan yang telah
dicapai oleh LDC yang telah memulai/membuat rencana, persiapan dan
pelaksanaan adaptasi melalui NAPs.
Peran NWP sangat membantu dalam mempercepat dan penyediaan
informasi terkait best practise kegiatan adaptasi.
Terkait dengan technical paper, Sekretariat bersama para mitra akan
menyiapkan: (1) prioritas informasi yang dibutuhkan dalam rangka
penyusunan rencana dan pelaksanaan aksi adaptasi pada level lokal, (2)
pilihan- pilihan strategi (planning) dan kebijakan yang terkait dengan
keamanan pangan, hutan, dan mata pencaharian ekonomi masyarakat.
Memprioritaskan kepada LDC dalam mendukung pendanaan terkait
penyusunan dan pelaksanaan NAPs.
Penyusunan NAPs sepatutnya dibangun dan menjadi pelengkap dari
rencana adaptasi yang sudah ada. NAPs harus dibangun berdasarkan
pengetahuan dan basis ilmiah yang tepat dan kearifan tradisional dan









masyarakat lokal serta kebutuhan/kondisi sosial, ekonomi dan kebijakan
lingkungan
(dan tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan). Sementara hasil
perundingan dan pembahasan isu/agenda Loss and Damage, antara lain:
Keputusan
Cancun
Agreement
(1/CP16)
menjadi
acuan
dalam menetapkan program kerja terkait isu loss and damage ini.
Keputusan SBI 34 yang telah menetapkan tiga area tematik dalam
mendorong implementasi (assesing the risk of Loss and Damage, a
range of approaches to addres)
Loss and Damage, the role of the Concention in enhancing the
implementation).
Meminta kepada SBI untuk melanjutkan pelaksanaan NWP ini pada
persidangan COP 18 nanti.
bada COP18 diharapkan adanya diskusi lebih dalam, termasuk elemen
dalam keputusan 1/CP16 terkait pendekatan, pengembangan, dan
mekanisme dari Loss and Damage tersebut.

Substansi keempat isu merupakan hasil pemikiran dari persoalan yang dimiliki
oleh para negara yang memiliki tingkat kerentanan. Adanya Komite Adaptasi ini
dan aktivitas kongkrit program NWP dapat mempercepat aksi adaptasi di
negara-negara berkategori rentan. Indonesia menyampaikan kepada UNFCCC
isu kelautan dan pertanian sebagai isu yang perlu mendapat tekanan dan dapat
diadopsi dalam kedua teks di atas. Kedua isu sektoral tersebut telah diadopsi di
dalam teks negosiasi, baik teks komite adaptasi, maupun untuk teks Loss and
Damage.
Referensi:
- Laporan Khusus Konferensi Perubahan Iklim-COP 17 Durban, 2011, disusun
Dit. Tarunas, Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU