Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Berdasa
MEMPERJUANGKAN HAK ASASI MANUSIA
BERDASARKAN IDENTITAS GENDER DAN SEKSUALITAS
DI INDONESIA*
Oleh Dédé Oetomo
Pendiri dan Anggota Dewan Pembina, Yayasan GAYa NUSANTARA
[email protected]
Kompleksitas Seks, Gender dan Seksualitas: Perspektif Teoretik
Ilmu pengetahuan biomedik maupun psikososiokultural makin lama makin
paham akan kerumitan dan keanekaragaman seks (biologis), (identitas dan
ekspresi) gender dan seksualitas (orientasi, pilihan, ekpresi atau tindak/perilaku
seksual) kita manusia.
Sekarang kita tahu bahwa kita tidak hanya dilahirkan sebagai laki‑laki atau
perempuan saja, tetapi juga sebagai berbagai tipe interseks, dan bahwa pembagian
ketiganya pun tidak selalu rapi. Namun karena dominasi binerisme dalam ilmu
pengetahuan biomedik modern, banyak bayi atau anak yang seks biologisnya
tidak dengan segera dapat ditentukan adalah laki‑laki atau perempuan itu,
acapkali tanpa memperhatikan haknya untuk menentukan nasib sendiri menjalani
pembedahan atau pemberian hormon sehingga di belakang hari dapat
menyebabkan keadaan yang merugikan mereka.
Kita yang teliti mengamati manusia di sekitar kita juga sudah lama tahu
bahwa tidak semua anak laki‑laki tumbuh menjadi laki‑laki dewasa, dan tidak
semua anak perempuan besar menjadi perempuan dewasa. Sebagian menjadi
waria, tomboi, sentul, andro, no label dll. Ilmu pengetahuan maupun gerakan hak
*
Naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok
Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Kuta, 15–16 Agustus 2006. Versi sebelumnya pernah dipresentasikan
pada Workshop on The Role of Civil Society in Advancing Human Rights within the
Current Socio/Political Context, Hivos–ELSAM, Puncak, 17–18 Mei 2005; dan pada
Halaqah Orientasi Seks dalam Perspektif Gender dan Tradisi Islam, Rahima, Jakarta, 28–
29 April 2005. Sebagian pernah terbit sebagai “Claiming Gay Persons’ Sexual Rights in
Indonesia,” Sexual Health Exchange 2001/3, hal. 7–8
(www.kit.nl/ils/exchange_content/html/2001‑3‑claiming_gay_persons.asp), dengan
penyesuaian seperlunya, khususnya latar belakang konseptual yang lebih terjabar.
Terima kasih diucapkan pada Joost Hoppenbrouwer atas pengeditan tulisan itu. Sebagian
pula didasarkan pada kata pengantar saya, “Demi Kebahagiaan Anak Kita ...,” dalam
Poedjiati Tan, Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Puteri (Yogyakarta, Galang,
2005), hal. 5–9.
hal. 1 dari 8
asasi manusia (HAM) juga kian mantap dengan konsep identitas maupun ekspresi
gender serta transgender(isme), yang mencakupi juga transeksual(itas) dan
transvestit(isme). Kita yang merasa diri laki‑laki atau perempuan pun, apabila
punya kecerdasan, kepekaan dan kebijakan untuk merenung atau berdialog
dengan hati dan pikiran kita, niscaya sadar bahwa diri kita sebetulnya merupakan
kombinasi yang tidak selalu stabil antara maskulinitas dan femininitas. Tak
berlebihanlah yang mengatakan bahwa gender kita semua sebetulnya tidak stabil
atau tetap, alias campur‑campur (hibrid), berubah‑ubah dengan berkembangnya
kehidupan kita, cair, dan liminal atau dengan perkataan lain, kita semua
sebetulnya transgender.
Kita juga makin sadar akan kompleksitas seksualitas kita, apakah itu
melibatkan orientasi seksual, preferensi seksual ataupun ekspresi atau
tindak/perilaku seksual. Alfred C. Kinsey, salah seorang perintis studi seksualitas,
pada tahun 1948 dalam kajiannya Sexual Behavior in the Human Male, sudah
menunjukkan bahwa orientasi seksual kita ada pada suatu skala tujuh titik antara
heteroseksualitas eksklusif (Kinsey 0) dan homoseksualitas eksklusif (Kinsey 6).
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) terbitan
Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV dari
Ikatan Psikiatri Amerika (APA); dan International Classification of Diseases (ICD)
10 dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ketiga‑tiganya menyatakan
homoseksualitas sebagai varian biasa dari seksualitas manusia, dan bahkan
menganjurkan agar dalam kasus orang yang ragu‑ragu akan homoseksualitasnya,
psikolog dan psikiater mengarahkannya menjadi homoseks yang lebih dapat
menerima diri.
Akan tetapi kesadaran cerdas mengenai ketiga aspek kemanusiaan kita itu
belum menjadi bagian dari pengetahuan umum penyelenggara negara, pemimpin
agama/adat ataupun masyarakat secara luas. Sebagian ilmuwan pun masih tidak
mau tahu ataupun kalau sudah tahu tidak mau menerima fatwa ilmiah di atas,
atas nama moralitas usang yang dianutnya tanpa berpikir jauh sebagai
pengetahuan yang berterima.
Sementara itu masyarakat dalam segala dinamikanya berkembang,
sehingga muncul konstruksi‑konstruksi sosial macam lesbi, gay, biseks,
transgender (waria), metroseksual, hidup bersama tanpa nikah, selain konstruksi
gender dan seksualitas yang lebih konvensional.
Kompleksitas Gender dan Seksualitas di Indonesia
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial
gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja.1
1
Untuk uraian yang lebih lengkap, periksa Dédé Oetomo, “Homoseksualitas di
hal. 2 dari 8
Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada
konstruksi gender lelaki secara sosial‑budaya. Mereka memilih atau
mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun
dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu),
bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe‑kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa)
dan istilah‑istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para
peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh
masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang‑orang yang interseks, yang dalam
derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri‑ciri kelamin biologis lelaki dan/atau
perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah‑
istilah tadi.
Pada beberapa masyarakat adat, tidak saja penerimaan yang terjadi pada
orang‑orang yang menyeberang gender atau memadukan dua atau lebih gender
dalam dirinya: ada pranata‑pranata (institusi) yang secara signifikan melibatkan
orang‑orang macam itu, seperti bissu di masyarakat Bugis, yang dahulu menjaga
dan memelihara arajang, pusaka kerajaan, di lingkungan istana, dan hingga kini
pun masih menjadi perantara manusia dengan para dewata, yang membantu
Allah, Tuhan yang Esa; atau basir di masyarakat Dayak Ngaju, yang juga menjadi
perantara antara dunia ini dengan dunia para arwah nenek‑moyang; atau tadu
mburake pada masyarakat Toraja Pamona, yang memimpin ritus‑ritus spiritual;
atau para seniman pertunjukan tradisional yang memerankan gender yang lain,
seperti pada ludruk di Jawa Timur.
Secara lebih terbatas, umumnya karena androsentrisme (virisentrisme)
dunia ilmu pengetahuan kita, kita kenal juga dengan konstruksi gender orang‑
orang yang secara biologis perempuan, tetapi mengkonstruksi perilaku dan
identitas gender yang sesuai atau lebih mirip konstruksi gender lelaki. Masyarakat
Bugis mempunyai nama calalai untuk orang‑orang macam ini, tetapi pada
masyarakat‑masyarakat lainnya, walaupun orang penyeberang gender macam ini
dikenal, tidak ada istilah yang dipakai untuk menyebut mereka. Kadang istilah
seperti banci dipakai untuk menyebut orang‑orang ini juga.
Dalam budaya nasional kita pun dikenal identitas gender waria (wadam),
dan sampai batas tertentu, tomboi. Sebagian masyarakat merancukan identitas
gender ini dengan identitas seksual macam homoseks/gay atau lesbi, dan memang
acapkali terjadi tumpang‑tindih antara identitas gender dan orientasi/identitas
seksual seperti ini bahkan di kalangan waria maupun gay/lesbi sendiri.
Belakangan ini ditengarai juga mulai timbulnya orang‑orang beridentitas biseks,
Indonesia,” dlm Memberi Suara pada yang Bisu (Yogyakarta, Galang, 2001), hal. 30–36.
Informasi tambahan dan kerangka pikir seks dan gender mengenai bissu dan gender‑
gender lain pada masyarakat Bugis diperoleh dari Sharyn Graham, “Sulawesi’s Fifth
Gender,” Inside Indonesia (www.insideindonesia.org) 66 (April–June 2001), hal. 16–17.
hal. 3 dari 8
namun wacana sosial di seputar ini masih terbatas di masyarakat kita.
Menengok berbagai masyarakat adat, kita temukan juga hubungan seksual
dan/atau emosional antarlelaki, baik di antara mereka yang sebaya maupun yang
beda usia (transgenerasi). Apakah di Atjeh di kalangan ulëëbalang (umumnya
dengan budak belian dari Nias) maupun di lingkungan perdagangan di pantai
timur dan barat di masa lampau, di Minangkabau (induak jawi—anak jawi) dalam
konteks kehidupan di surau, di Ponorogo (warok, warokan, gemblakan) dalam
konteks ilmu kanuragan dan kesenian reyog, di pesantren‑pesantren di Jawa
Tengah dan Jawa Timur (mairilan, amrot‑amrotan) serta Madura (laq‑dalaqan) dalam
konteks kehidupan nyantri/nyantre, maupun di beberapa budaya Melanesia
dalam konteks ritus inisiasi anak laki‑laki, hubungan antarlelaki, dengan berbagai
pemaknaan sosial‑budaya, memang ada, termasuk hubungan‑hubungan “biasa”
(artinya, tidak dalam konteks ritual tertentu) seperti di Jawa dan Bali,
umpamanya. Yang signifikan adalah bahwa hubungan itu hampir senantiasa
terjadi bersamaan dengan maupun disusul oleh pernikahan atau hubungan
dengan perempuan atau kadang‑kadang juga individu semacam waria.
Dalam budaya nasional kita, di mana dikenal pranata waria, juga cukup
banyak lelaki yang menjalin hubungan seksual dan/atau emosional, baik kasual
maupun lebih permanen, dengan waria. Dalam berbagai kasus anekdotal pun kita
temukan perempuan (baik yang beridentitas lesbi maupun tidak) yang menjalin
hubungan dengan waria, baik dalam pernikahan sah (karena warianya dipandang
lelaki oleh agama dan hukum) maupun di luarnya.
Kembali kiranya karena androsentrisme ilmu pengetahuan, belum banyak
yang kita ketahui tentang hubungan antarperempuan dalam berbagai masyarakat
adat kita. Pernah dicatat adanya warok perempuan dan gemblakannya di
Ponorogo, namun tampaknya tidak banyak. Di dunia pesantren budaya Jawa dan
Madura ditengarai juga ada hubungan antarsantri perempuan, yang disebut
dengan istilah musahaqah. Sebagaimana pada hubungan antarlelaki tadi, perlu
dicamkan bahwa hubungan antarperempuan ini berjalan bersamaan dengan atau
disusul oleh hubungan dengan gender lain, apakah itu dalam pernikahan atau
tidak, dan unsur kesukarelaan acapkali tidak relevan, terutama untuk perempuan
ini, mengingat sifat pernikahan yang cenderung masih didasarkan pada anggapan
bahwa perempuan tidak sepatutnya berkehendak bebas dan seksualitas.
Di masyarakat modern tentunya kita kenal hubungan seksual dan/atau
emosional antarperempuan, baik oleh mereka yang mengenal konsep lesbi atau
tidak. Ditengarai di kalangan perempuan yang bekerja di industri seks juga cukup
banyak terjadi hubungan macam ini, yang baru sedikit dikenal oleh dunia ilmu
pengetahuan.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas
di masyarakat‑masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini
adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial,
hal. 4 dari 8
maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja
membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir)
kenyataan yang rumit dan asyik ini. Mereka yang berpretensi menekuni bidang
kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu‑isyu perempuan (dengan
hampir secara kategoris melupakan kaum lesbi maupun kemungkinan perilaku
biseksual, maupun acapkali enggan membahas perempuan dalam industri seks
dengan berbagai kompleksitasnya), sehingga akhirnya kajian gender di Indonesia
hanyalah merupakan istilah lain untuk “kajian wanita,” serta tidak
memproblematikkan maskulinitas. Konstruksi teoretis gender mereka pun
umumnya tidak menangkap kemungkinan kompleks kecairan, kehibridan dan
liminalitas gender. Orang‑orang yang sama juga cenderung tidak memperhatikan
seksualitas, selain dalam wujud perilaku reproduksi atau perkosaan dan tindak
kekerasan lainnya. Juga kurang diperhatikan adalah kompleksitas berbagai
dimensi hubungan seksual dan/atau emosional: perbedaan anatomi (termasuk
difabilitas), kebangsaan dan etnisitas, kelas sosial, keterlibatan uang dan materi
lainnya, serta dimensi‑dimensi relasi kuasa lainnya.2
Eksistensi dan Diskriminasi
Dengan latar atau dalam konteks yang kompleks macam itulah perjuangan
menegakkan hak asasi manusia (HAM) berdasarkan (identitas atau ekspresi)
gender dan seksualitas di Indonesia dilaksanakan.
Secara ringkas dapatlah dikedepankan bahwa di masyarakat kita ada
orang‑orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka
hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu
pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender (tak kompleks): lelaki dan
perempuan. Secara umum dikenal istilah waria dan tomboi, selain istilah‑istilah
setempat yang telah disebutkan tadi.
Kita yang konstruksi gendernya tidak sesuai itu dapat mengalami
perlakuan yang diskriminatif, mulai dari kekerasan fisik (penganiayaan, ancaman
pembunuhan, penggundulan atau yang lain) hingga kekerasan simbolik
(pelecehan, pemaksaan untuk menyesuaikan diri dengan konstruksi gender yang
dianggap pantas untuk kita oleh mereka yang berkuasa di keluarga atau
masyarakat). Perlakuan diskriminatif juga dapat terjadi ketika kita berhadapan
dengan aparat negara: waria dan lelaki yang feminin (yang acapkali dianggap
sama saja dengan waria oleh petugas) yang ditemukan di tempat umum dan
diduga melakukan kerja seks dapat dirazzia (diobrak, digaruk), dan apabila
sampai dibawa ke tempat tahanan dapat dipaksa melakukan hubungan seks
(biasanya oral) terhadap petugas. Paksaan melakukan hal ini dapat juga terjadi
2
Untuk kajian paling komprehensif mengenai hal ini, periksa Tom Boellstorff, The
Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (Princeton, Princeton Univ. Press, 2005).
hal. 5 dari 8
pada tahanan waria dalam perkara yang lain. Hubungan seksual dan/atau
emosional yang kita jalin dengan sebagai waria dengan lelaki atau sebagai tomboi
dengan perempuan tidak dapat dicatatkan sebagai perkawinan seperti hubungan
antara perempuan dan lelaki yang berniat mencatatkan perkawinannya.
Kewariaan kita umumnya tidak dapat secara tegas dicantumkan pada kolom jenis
kelamin di penanda identitas kita, kalaupun itu kita kehendaki dan penampilan
kita memang menunjang. Akibatnya dapat terjadi kebingungan yang dapat
merugikan kita. Kadangkala keluarga memaksa kita untuk menjalani perkawinan
heteroseks, yang dapat membawa akibat yang lebih jauh lagi.
Diskriminasi serupa juga terjadi bagi kita yang beridentitas gay, lesbi atau
biseks. Tidak semua dari kita dapat terbuka menyatakan diri di lingkungan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya, dengan akibat
keadaan tertekan yang dapat terjadi seumur hidup. Dorongan yang kuat dari
berbagai pihak untuk menjalani perkawinan heteroseks juga menjerumuskan
banyak gay dan lesbi, serta istri/suami kita apabila kita mengikuti dorongan itu,
dalam penderitaan yang tak berkeputusan sepanjang hidup.
Di ranah publik sering kita dengar larangan dan ancaman dari para
pemimpin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks‑
teks keagamaan dengan mudahnya menyatakan kita sebagai orang berdosa. Hal
ini amat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi, waria dan biseks di Indonesia justru
karena banyak di antara kita adalah orang‑orang beriman. Kebisuan, tidak adanya
pengakuan atau tidak dibicarakannya kita dalam kehidupan bermasyarakat juga
merupakan perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isyu‑isyu yang
penting untuk kaum gay, lesbi, waria dan biseks; kalaupun ada liputan, seringkali
kita diperlakukan hanya sebagai objek aneh yang apabila diliput dapat
meningkatkan tiras.
Yang belakangan ini kian lantang terdengar adalah suara kaum interseks,
yang menuntut integritas tubuh anak atau remaja yang lahir dengan ciri kelamin
primer maupun sekunder yang dianggap tidak sesuai dengan kelamin “normal”.
Mengorganisasi Komunitas Gay, Lesbi, Waria dan Biseks
Dengan latar represi terang‑terangan maupun tersembunyi terhadap orang‑orang
gay, lesbi, waria, biseks dan interseks, diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk
berorganisasi dan menegakkan hak‑hak kaum kita. Kaum waria adalah yang
pertama kali berorganisasi pada akhir tahun 1960‑an. Organisasi gay terbuka baru
yang pertama di negeri ini, Lambda Indonesia (LI), baru muncul pada tahun 1982.
Diduga pada saat yang hampir bersamaan muncul organisasi Persatuan Lesbian
Indonesia (Perlesin).3 Perluasan gerakan gay (dan kemudian lesbi) Indonesia
ini.
3
Informasi dari Saskia Wieringa, yang sedang melakukan penelitian mengenai hal
hal. 6 dari 8
terjadi ketika perhatian media terfokus pada isyu‑isyu di seputar
homoseksualitas, khususnya dengan berdirinya GAYa NUSANTARA pada tahun
1987. Jumlah organisasi meningkat dari hanya dua pada akhir tahun 1980‑an
menjadi lebih dari sepuluh pada tahun 1993, ketika Kongres Lesbian dan Gay
Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta.4
Sejak awal tahun 1990‑an, wacana publik tentang HIV/AIDS, dengan
sertaannya wacana tentang seksualitas, termasuk homoseksualitas, menjadi kian
menonjol, sehingga dalam kaitan dengan aktivisme di seputar penyakit ini, berdiri
juga beberapa organisasi gay di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1996, Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dideklarasikan
pada bulan Juli tahun itu, dengan tegas menyatakan perjuangan menegakkan
“hak‑hak kaum homoseksual dan transeksual” dalam manifestonya. Dengan
diresmikannya secara legal PRD pada tahun 1999, jumlah organisasi gay di
berbagai daerah juga meningkat. Seiring dengan makin terbukanya ruang
demokratik sesudah Mei 1998, berbagai organisasi gay juga terlibat dalam kerja
sama dengan kekuatan‑kekuatan prodemokrasi lainnya dalam masyarakat kita.
Pada Pemilu Legislatif 2004 secara informal dan malu‑malu seorang caleg nasional
PDIP menghubungi beberapa organisasi lesbi, gay dan waria untuk mendapatkan
dukungan. Pada Pemilihan Presiden 2004, setidaknya di Jawa Timur, tim Mega‑
Hasyim mulai mendekati kelompok‑kelompok gay dan waria, tetapi juga belum
sepenuh hati.
Sejak tahun 2004 pula, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN‑
HAM) yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen
Hukum dan HAM, secara resmi dan eksplisit memasukkan lesbi, gay, biseks dan
waria (dengan istilah LGBT) sebagai kelompok khusus yang perlu dilindungi.
Program konkret sedang disusun saat ini.
Maka perkembangan organisasi gay dapat dibagi menjadi tiga tahap: tahap
kontroversi di media massa, tahap pemberdayaan melalui program HIV/AIDS,
dan tahap aliansi politik dengan kekuatan‑kekuatan prodemokrasi dan HAM.
Pengorganisasian lesbi merupakan usaha yang lebih sulit. Organisasi lesbi
yang ada, yang jumlahnya sedikit, tidak terbuka pada media massa. Kita juga
mengalami penindasan ganda: diskriminasi terhadap perempuan, dan terhadap
orang‑orang dengan seksualitas yang “tidak lazim.” Namun pada bulan
Desember 1998, isyu‑isyu lesbi dibahas pada Kongres Perempuan Indonesia di
Yogyakarta, dan seorang lesbi terbuka dipilih untuk duduk mewakili sektor lesbi
(Sektor 15) pada presidium Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
4
Kongres II dan III masing‑masing diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat (1995)
dan Denpasar, Bali (1997). Sesudah itu terjadi vakum, hingga tahun 2004, ketika
diselenggarakan Pertemuan Nasional Seksualitas dan Kesehatan Seksual Laki‑laki, yang
de facto sebetulnya semacam kongres.
hal. 7 dari 8
Demokrasi yang dibentuk pada Kongres itu. Dalam dua tahun terakhir ini juga
gencar komunikasi antarlesbi melalui internet, dengan hasil berupa pertemuan
bulanan di berbagai lokasi di Jakarta.
Satu fenomena yang penting dalam sejarah gay, lesbi, waria dan biseks di
Indonesia adalah muncul organisasi‑organisasi waria sudah sejak akhir tahun
1960‑an. Hal ini tampaknya merupakan hasil keterbukaan sejenak yang menandai
awal rezim Soeharto kala itu. Memang dalam profesi yang terbatas sebagai artis,
penata kecantikan, perias penganten dan paranormal, waria mendapat tempat
dalam masyarakat Indonesia.
GAYa NUSANTARA
GAYa NUSANTARA (GN) menyediakan layanan bagi kaum gay (dan dalam
batas tertentu juga bagi waria, lesbi dan biseks), seperti pendidikan kesehatan
seksual, konseling (melalui hotline telepon, korespondensi serta tatap muka), dan
penerbitan majalah bulanan (tiras: 400–800 eksemplar). Kami juga
menyelenggarakan advokasi melalui media massa dengan menyediakan diri
untuk diliput. Organisasi nonpemerintah ini juga menjalin aliansi dengan
organisasi prodemokrasi, HAM, dan feminis. Dengan berkomunikasi melalui
media, kami sebagai organisasi kecil dapat mendidik masyarakat umum tentang
isyu‑isyu kesehatan seksual gay.
Kerja GN dalam gerakan gay Indonesia penuh dengan tantangan. Dari
tahun 1993 hingga 1999, program HIV/AIDS pemerintah memarginalkan GN
karena kuatnya heteroseksisme dan homofobia di kalangan pemerintah. Namun
keadaan telah perlahan‑lahan membaik. Sesudah cukup lama kesehatan seksual
lelaki tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, sejak 2001 ada program di
bidang itu di berbagai daerah di Indonesia. Diharapkan dengan konsepsi
kesehatan seksual fisik, psikologis dan sosial yang terpadu, akan kian berkembang
komunitas‑komunitas di berbagai daerah, dengan pemahaman yang menyeluruh
tentang HAM dan kesadaran hukum. Harus diperjuangkan juga agar program
semacam itu membuka kesempatan untuk agenda politik yang pada akhirnya
bermuara pada perubahan hukum dan kerja dengan serikat buruh.
Hasil jerih‑payah GN dalam memperjuangkan hak‑hak asasi dan seksual
kaum gay mendorong kita untuk terus memainkan peran pemimpin dalam
bidang ini. Bahkan sejak 2004 kita memperluas amanat organisasi sehingga tidak
melulu memperjuangkan isyu ataupun kaum lesbi, gay, biseks dan waria, tetapi
juga siapa pun yang beragam seks, gender dan seksualitasnya.
Surabaya, 9 Agustus 2006
hal. 8 dari 8
BERDASARKAN IDENTITAS GENDER DAN SEKSUALITAS
DI INDONESIA*
Oleh Dédé Oetomo
Pendiri dan Anggota Dewan Pembina, Yayasan GAYa NUSANTARA
[email protected]
Kompleksitas Seks, Gender dan Seksualitas: Perspektif Teoretik
Ilmu pengetahuan biomedik maupun psikososiokultural makin lama makin
paham akan kerumitan dan keanekaragaman seks (biologis), (identitas dan
ekspresi) gender dan seksualitas (orientasi, pilihan, ekpresi atau tindak/perilaku
seksual) kita manusia.
Sekarang kita tahu bahwa kita tidak hanya dilahirkan sebagai laki‑laki atau
perempuan saja, tetapi juga sebagai berbagai tipe interseks, dan bahwa pembagian
ketiganya pun tidak selalu rapi. Namun karena dominasi binerisme dalam ilmu
pengetahuan biomedik modern, banyak bayi atau anak yang seks biologisnya
tidak dengan segera dapat ditentukan adalah laki‑laki atau perempuan itu,
acapkali tanpa memperhatikan haknya untuk menentukan nasib sendiri menjalani
pembedahan atau pemberian hormon sehingga di belakang hari dapat
menyebabkan keadaan yang merugikan mereka.
Kita yang teliti mengamati manusia di sekitar kita juga sudah lama tahu
bahwa tidak semua anak laki‑laki tumbuh menjadi laki‑laki dewasa, dan tidak
semua anak perempuan besar menjadi perempuan dewasa. Sebagian menjadi
waria, tomboi, sentul, andro, no label dll. Ilmu pengetahuan maupun gerakan hak
*
Naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok
Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Kuta, 15–16 Agustus 2006. Versi sebelumnya pernah dipresentasikan
pada Workshop on The Role of Civil Society in Advancing Human Rights within the
Current Socio/Political Context, Hivos–ELSAM, Puncak, 17–18 Mei 2005; dan pada
Halaqah Orientasi Seks dalam Perspektif Gender dan Tradisi Islam, Rahima, Jakarta, 28–
29 April 2005. Sebagian pernah terbit sebagai “Claiming Gay Persons’ Sexual Rights in
Indonesia,” Sexual Health Exchange 2001/3, hal. 7–8
(www.kit.nl/ils/exchange_content/html/2001‑3‑claiming_gay_persons.asp), dengan
penyesuaian seperlunya, khususnya latar belakang konseptual yang lebih terjabar.
Terima kasih diucapkan pada Joost Hoppenbrouwer atas pengeditan tulisan itu. Sebagian
pula didasarkan pada kata pengantar saya, “Demi Kebahagiaan Anak Kita ...,” dalam
Poedjiati Tan, Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Puteri (Yogyakarta, Galang,
2005), hal. 5–9.
hal. 1 dari 8
asasi manusia (HAM) juga kian mantap dengan konsep identitas maupun ekspresi
gender serta transgender(isme), yang mencakupi juga transeksual(itas) dan
transvestit(isme). Kita yang merasa diri laki‑laki atau perempuan pun, apabila
punya kecerdasan, kepekaan dan kebijakan untuk merenung atau berdialog
dengan hati dan pikiran kita, niscaya sadar bahwa diri kita sebetulnya merupakan
kombinasi yang tidak selalu stabil antara maskulinitas dan femininitas. Tak
berlebihanlah yang mengatakan bahwa gender kita semua sebetulnya tidak stabil
atau tetap, alias campur‑campur (hibrid), berubah‑ubah dengan berkembangnya
kehidupan kita, cair, dan liminal atau dengan perkataan lain, kita semua
sebetulnya transgender.
Kita juga makin sadar akan kompleksitas seksualitas kita, apakah itu
melibatkan orientasi seksual, preferensi seksual ataupun ekspresi atau
tindak/perilaku seksual. Alfred C. Kinsey, salah seorang perintis studi seksualitas,
pada tahun 1948 dalam kajiannya Sexual Behavior in the Human Male, sudah
menunjukkan bahwa orientasi seksual kita ada pada suatu skala tujuh titik antara
heteroseksualitas eksklusif (Kinsey 0) dan homoseksualitas eksklusif (Kinsey 6).
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) terbitan
Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV dari
Ikatan Psikiatri Amerika (APA); dan International Classification of Diseases (ICD)
10 dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ketiga‑tiganya menyatakan
homoseksualitas sebagai varian biasa dari seksualitas manusia, dan bahkan
menganjurkan agar dalam kasus orang yang ragu‑ragu akan homoseksualitasnya,
psikolog dan psikiater mengarahkannya menjadi homoseks yang lebih dapat
menerima diri.
Akan tetapi kesadaran cerdas mengenai ketiga aspek kemanusiaan kita itu
belum menjadi bagian dari pengetahuan umum penyelenggara negara, pemimpin
agama/adat ataupun masyarakat secara luas. Sebagian ilmuwan pun masih tidak
mau tahu ataupun kalau sudah tahu tidak mau menerima fatwa ilmiah di atas,
atas nama moralitas usang yang dianutnya tanpa berpikir jauh sebagai
pengetahuan yang berterima.
Sementara itu masyarakat dalam segala dinamikanya berkembang,
sehingga muncul konstruksi‑konstruksi sosial macam lesbi, gay, biseks,
transgender (waria), metroseksual, hidup bersama tanpa nikah, selain konstruksi
gender dan seksualitas yang lebih konvensional.
Kompleksitas Gender dan Seksualitas di Indonesia
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial
gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja.1
1
Untuk uraian yang lebih lengkap, periksa Dédé Oetomo, “Homoseksualitas di
hal. 2 dari 8
Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada
konstruksi gender lelaki secara sosial‑budaya. Mereka memilih atau
mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun
dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu),
bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe‑kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa)
dan istilah‑istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para
peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh
masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang‑orang yang interseks, yang dalam
derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri‑ciri kelamin biologis lelaki dan/atau
perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah‑
istilah tadi.
Pada beberapa masyarakat adat, tidak saja penerimaan yang terjadi pada
orang‑orang yang menyeberang gender atau memadukan dua atau lebih gender
dalam dirinya: ada pranata‑pranata (institusi) yang secara signifikan melibatkan
orang‑orang macam itu, seperti bissu di masyarakat Bugis, yang dahulu menjaga
dan memelihara arajang, pusaka kerajaan, di lingkungan istana, dan hingga kini
pun masih menjadi perantara manusia dengan para dewata, yang membantu
Allah, Tuhan yang Esa; atau basir di masyarakat Dayak Ngaju, yang juga menjadi
perantara antara dunia ini dengan dunia para arwah nenek‑moyang; atau tadu
mburake pada masyarakat Toraja Pamona, yang memimpin ritus‑ritus spiritual;
atau para seniman pertunjukan tradisional yang memerankan gender yang lain,
seperti pada ludruk di Jawa Timur.
Secara lebih terbatas, umumnya karena androsentrisme (virisentrisme)
dunia ilmu pengetahuan kita, kita kenal juga dengan konstruksi gender orang‑
orang yang secara biologis perempuan, tetapi mengkonstruksi perilaku dan
identitas gender yang sesuai atau lebih mirip konstruksi gender lelaki. Masyarakat
Bugis mempunyai nama calalai untuk orang‑orang macam ini, tetapi pada
masyarakat‑masyarakat lainnya, walaupun orang penyeberang gender macam ini
dikenal, tidak ada istilah yang dipakai untuk menyebut mereka. Kadang istilah
seperti banci dipakai untuk menyebut orang‑orang ini juga.
Dalam budaya nasional kita pun dikenal identitas gender waria (wadam),
dan sampai batas tertentu, tomboi. Sebagian masyarakat merancukan identitas
gender ini dengan identitas seksual macam homoseks/gay atau lesbi, dan memang
acapkali terjadi tumpang‑tindih antara identitas gender dan orientasi/identitas
seksual seperti ini bahkan di kalangan waria maupun gay/lesbi sendiri.
Belakangan ini ditengarai juga mulai timbulnya orang‑orang beridentitas biseks,
Indonesia,” dlm Memberi Suara pada yang Bisu (Yogyakarta, Galang, 2001), hal. 30–36.
Informasi tambahan dan kerangka pikir seks dan gender mengenai bissu dan gender‑
gender lain pada masyarakat Bugis diperoleh dari Sharyn Graham, “Sulawesi’s Fifth
Gender,” Inside Indonesia (www.insideindonesia.org) 66 (April–June 2001), hal. 16–17.
hal. 3 dari 8
namun wacana sosial di seputar ini masih terbatas di masyarakat kita.
Menengok berbagai masyarakat adat, kita temukan juga hubungan seksual
dan/atau emosional antarlelaki, baik di antara mereka yang sebaya maupun yang
beda usia (transgenerasi). Apakah di Atjeh di kalangan ulëëbalang (umumnya
dengan budak belian dari Nias) maupun di lingkungan perdagangan di pantai
timur dan barat di masa lampau, di Minangkabau (induak jawi—anak jawi) dalam
konteks kehidupan di surau, di Ponorogo (warok, warokan, gemblakan) dalam
konteks ilmu kanuragan dan kesenian reyog, di pesantren‑pesantren di Jawa
Tengah dan Jawa Timur (mairilan, amrot‑amrotan) serta Madura (laq‑dalaqan) dalam
konteks kehidupan nyantri/nyantre, maupun di beberapa budaya Melanesia
dalam konteks ritus inisiasi anak laki‑laki, hubungan antarlelaki, dengan berbagai
pemaknaan sosial‑budaya, memang ada, termasuk hubungan‑hubungan “biasa”
(artinya, tidak dalam konteks ritual tertentu) seperti di Jawa dan Bali,
umpamanya. Yang signifikan adalah bahwa hubungan itu hampir senantiasa
terjadi bersamaan dengan maupun disusul oleh pernikahan atau hubungan
dengan perempuan atau kadang‑kadang juga individu semacam waria.
Dalam budaya nasional kita, di mana dikenal pranata waria, juga cukup
banyak lelaki yang menjalin hubungan seksual dan/atau emosional, baik kasual
maupun lebih permanen, dengan waria. Dalam berbagai kasus anekdotal pun kita
temukan perempuan (baik yang beridentitas lesbi maupun tidak) yang menjalin
hubungan dengan waria, baik dalam pernikahan sah (karena warianya dipandang
lelaki oleh agama dan hukum) maupun di luarnya.
Kembali kiranya karena androsentrisme ilmu pengetahuan, belum banyak
yang kita ketahui tentang hubungan antarperempuan dalam berbagai masyarakat
adat kita. Pernah dicatat adanya warok perempuan dan gemblakannya di
Ponorogo, namun tampaknya tidak banyak. Di dunia pesantren budaya Jawa dan
Madura ditengarai juga ada hubungan antarsantri perempuan, yang disebut
dengan istilah musahaqah. Sebagaimana pada hubungan antarlelaki tadi, perlu
dicamkan bahwa hubungan antarperempuan ini berjalan bersamaan dengan atau
disusul oleh hubungan dengan gender lain, apakah itu dalam pernikahan atau
tidak, dan unsur kesukarelaan acapkali tidak relevan, terutama untuk perempuan
ini, mengingat sifat pernikahan yang cenderung masih didasarkan pada anggapan
bahwa perempuan tidak sepatutnya berkehendak bebas dan seksualitas.
Di masyarakat modern tentunya kita kenal hubungan seksual dan/atau
emosional antarperempuan, baik oleh mereka yang mengenal konsep lesbi atau
tidak. Ditengarai di kalangan perempuan yang bekerja di industri seks juga cukup
banyak terjadi hubungan macam ini, yang baru sedikit dikenal oleh dunia ilmu
pengetahuan.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas
di masyarakat‑masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini
adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial,
hal. 4 dari 8
maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja
membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir)
kenyataan yang rumit dan asyik ini. Mereka yang berpretensi menekuni bidang
kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu‑isyu perempuan (dengan
hampir secara kategoris melupakan kaum lesbi maupun kemungkinan perilaku
biseksual, maupun acapkali enggan membahas perempuan dalam industri seks
dengan berbagai kompleksitasnya), sehingga akhirnya kajian gender di Indonesia
hanyalah merupakan istilah lain untuk “kajian wanita,” serta tidak
memproblematikkan maskulinitas. Konstruksi teoretis gender mereka pun
umumnya tidak menangkap kemungkinan kompleks kecairan, kehibridan dan
liminalitas gender. Orang‑orang yang sama juga cenderung tidak memperhatikan
seksualitas, selain dalam wujud perilaku reproduksi atau perkosaan dan tindak
kekerasan lainnya. Juga kurang diperhatikan adalah kompleksitas berbagai
dimensi hubungan seksual dan/atau emosional: perbedaan anatomi (termasuk
difabilitas), kebangsaan dan etnisitas, kelas sosial, keterlibatan uang dan materi
lainnya, serta dimensi‑dimensi relasi kuasa lainnya.2
Eksistensi dan Diskriminasi
Dengan latar atau dalam konteks yang kompleks macam itulah perjuangan
menegakkan hak asasi manusia (HAM) berdasarkan (identitas atau ekspresi)
gender dan seksualitas di Indonesia dilaksanakan.
Secara ringkas dapatlah dikedepankan bahwa di masyarakat kita ada
orang‑orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka
hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu
pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender (tak kompleks): lelaki dan
perempuan. Secara umum dikenal istilah waria dan tomboi, selain istilah‑istilah
setempat yang telah disebutkan tadi.
Kita yang konstruksi gendernya tidak sesuai itu dapat mengalami
perlakuan yang diskriminatif, mulai dari kekerasan fisik (penganiayaan, ancaman
pembunuhan, penggundulan atau yang lain) hingga kekerasan simbolik
(pelecehan, pemaksaan untuk menyesuaikan diri dengan konstruksi gender yang
dianggap pantas untuk kita oleh mereka yang berkuasa di keluarga atau
masyarakat). Perlakuan diskriminatif juga dapat terjadi ketika kita berhadapan
dengan aparat negara: waria dan lelaki yang feminin (yang acapkali dianggap
sama saja dengan waria oleh petugas) yang ditemukan di tempat umum dan
diduga melakukan kerja seks dapat dirazzia (diobrak, digaruk), dan apabila
sampai dibawa ke tempat tahanan dapat dipaksa melakukan hubungan seks
(biasanya oral) terhadap petugas. Paksaan melakukan hal ini dapat juga terjadi
2
Untuk kajian paling komprehensif mengenai hal ini, periksa Tom Boellstorff, The
Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (Princeton, Princeton Univ. Press, 2005).
hal. 5 dari 8
pada tahanan waria dalam perkara yang lain. Hubungan seksual dan/atau
emosional yang kita jalin dengan sebagai waria dengan lelaki atau sebagai tomboi
dengan perempuan tidak dapat dicatatkan sebagai perkawinan seperti hubungan
antara perempuan dan lelaki yang berniat mencatatkan perkawinannya.
Kewariaan kita umumnya tidak dapat secara tegas dicantumkan pada kolom jenis
kelamin di penanda identitas kita, kalaupun itu kita kehendaki dan penampilan
kita memang menunjang. Akibatnya dapat terjadi kebingungan yang dapat
merugikan kita. Kadangkala keluarga memaksa kita untuk menjalani perkawinan
heteroseks, yang dapat membawa akibat yang lebih jauh lagi.
Diskriminasi serupa juga terjadi bagi kita yang beridentitas gay, lesbi atau
biseks. Tidak semua dari kita dapat terbuka menyatakan diri di lingkungan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya, dengan akibat
keadaan tertekan yang dapat terjadi seumur hidup. Dorongan yang kuat dari
berbagai pihak untuk menjalani perkawinan heteroseks juga menjerumuskan
banyak gay dan lesbi, serta istri/suami kita apabila kita mengikuti dorongan itu,
dalam penderitaan yang tak berkeputusan sepanjang hidup.
Di ranah publik sering kita dengar larangan dan ancaman dari para
pemimpin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks‑
teks keagamaan dengan mudahnya menyatakan kita sebagai orang berdosa. Hal
ini amat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi, waria dan biseks di Indonesia justru
karena banyak di antara kita adalah orang‑orang beriman. Kebisuan, tidak adanya
pengakuan atau tidak dibicarakannya kita dalam kehidupan bermasyarakat juga
merupakan perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isyu‑isyu yang
penting untuk kaum gay, lesbi, waria dan biseks; kalaupun ada liputan, seringkali
kita diperlakukan hanya sebagai objek aneh yang apabila diliput dapat
meningkatkan tiras.
Yang belakangan ini kian lantang terdengar adalah suara kaum interseks,
yang menuntut integritas tubuh anak atau remaja yang lahir dengan ciri kelamin
primer maupun sekunder yang dianggap tidak sesuai dengan kelamin “normal”.
Mengorganisasi Komunitas Gay, Lesbi, Waria dan Biseks
Dengan latar represi terang‑terangan maupun tersembunyi terhadap orang‑orang
gay, lesbi, waria, biseks dan interseks, diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk
berorganisasi dan menegakkan hak‑hak kaum kita. Kaum waria adalah yang
pertama kali berorganisasi pada akhir tahun 1960‑an. Organisasi gay terbuka baru
yang pertama di negeri ini, Lambda Indonesia (LI), baru muncul pada tahun 1982.
Diduga pada saat yang hampir bersamaan muncul organisasi Persatuan Lesbian
Indonesia (Perlesin).3 Perluasan gerakan gay (dan kemudian lesbi) Indonesia
ini.
3
Informasi dari Saskia Wieringa, yang sedang melakukan penelitian mengenai hal
hal. 6 dari 8
terjadi ketika perhatian media terfokus pada isyu‑isyu di seputar
homoseksualitas, khususnya dengan berdirinya GAYa NUSANTARA pada tahun
1987. Jumlah organisasi meningkat dari hanya dua pada akhir tahun 1980‑an
menjadi lebih dari sepuluh pada tahun 1993, ketika Kongres Lesbian dan Gay
Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta.4
Sejak awal tahun 1990‑an, wacana publik tentang HIV/AIDS, dengan
sertaannya wacana tentang seksualitas, termasuk homoseksualitas, menjadi kian
menonjol, sehingga dalam kaitan dengan aktivisme di seputar penyakit ini, berdiri
juga beberapa organisasi gay di berbagai tempat di Indonesia.
Pada tahun 1996, Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dideklarasikan
pada bulan Juli tahun itu, dengan tegas menyatakan perjuangan menegakkan
“hak‑hak kaum homoseksual dan transeksual” dalam manifestonya. Dengan
diresmikannya secara legal PRD pada tahun 1999, jumlah organisasi gay di
berbagai daerah juga meningkat. Seiring dengan makin terbukanya ruang
demokratik sesudah Mei 1998, berbagai organisasi gay juga terlibat dalam kerja
sama dengan kekuatan‑kekuatan prodemokrasi lainnya dalam masyarakat kita.
Pada Pemilu Legislatif 2004 secara informal dan malu‑malu seorang caleg nasional
PDIP menghubungi beberapa organisasi lesbi, gay dan waria untuk mendapatkan
dukungan. Pada Pemilihan Presiden 2004, setidaknya di Jawa Timur, tim Mega‑
Hasyim mulai mendekati kelompok‑kelompok gay dan waria, tetapi juga belum
sepenuh hati.
Sejak tahun 2004 pula, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN‑
HAM) yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen
Hukum dan HAM, secara resmi dan eksplisit memasukkan lesbi, gay, biseks dan
waria (dengan istilah LGBT) sebagai kelompok khusus yang perlu dilindungi.
Program konkret sedang disusun saat ini.
Maka perkembangan organisasi gay dapat dibagi menjadi tiga tahap: tahap
kontroversi di media massa, tahap pemberdayaan melalui program HIV/AIDS,
dan tahap aliansi politik dengan kekuatan‑kekuatan prodemokrasi dan HAM.
Pengorganisasian lesbi merupakan usaha yang lebih sulit. Organisasi lesbi
yang ada, yang jumlahnya sedikit, tidak terbuka pada media massa. Kita juga
mengalami penindasan ganda: diskriminasi terhadap perempuan, dan terhadap
orang‑orang dengan seksualitas yang “tidak lazim.” Namun pada bulan
Desember 1998, isyu‑isyu lesbi dibahas pada Kongres Perempuan Indonesia di
Yogyakarta, dan seorang lesbi terbuka dipilih untuk duduk mewakili sektor lesbi
(Sektor 15) pada presidium Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
4
Kongres II dan III masing‑masing diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat (1995)
dan Denpasar, Bali (1997). Sesudah itu terjadi vakum, hingga tahun 2004, ketika
diselenggarakan Pertemuan Nasional Seksualitas dan Kesehatan Seksual Laki‑laki, yang
de facto sebetulnya semacam kongres.
hal. 7 dari 8
Demokrasi yang dibentuk pada Kongres itu. Dalam dua tahun terakhir ini juga
gencar komunikasi antarlesbi melalui internet, dengan hasil berupa pertemuan
bulanan di berbagai lokasi di Jakarta.
Satu fenomena yang penting dalam sejarah gay, lesbi, waria dan biseks di
Indonesia adalah muncul organisasi‑organisasi waria sudah sejak akhir tahun
1960‑an. Hal ini tampaknya merupakan hasil keterbukaan sejenak yang menandai
awal rezim Soeharto kala itu. Memang dalam profesi yang terbatas sebagai artis,
penata kecantikan, perias penganten dan paranormal, waria mendapat tempat
dalam masyarakat Indonesia.
GAYa NUSANTARA
GAYa NUSANTARA (GN) menyediakan layanan bagi kaum gay (dan dalam
batas tertentu juga bagi waria, lesbi dan biseks), seperti pendidikan kesehatan
seksual, konseling (melalui hotline telepon, korespondensi serta tatap muka), dan
penerbitan majalah bulanan (tiras: 400–800 eksemplar). Kami juga
menyelenggarakan advokasi melalui media massa dengan menyediakan diri
untuk diliput. Organisasi nonpemerintah ini juga menjalin aliansi dengan
organisasi prodemokrasi, HAM, dan feminis. Dengan berkomunikasi melalui
media, kami sebagai organisasi kecil dapat mendidik masyarakat umum tentang
isyu‑isyu kesehatan seksual gay.
Kerja GN dalam gerakan gay Indonesia penuh dengan tantangan. Dari
tahun 1993 hingga 1999, program HIV/AIDS pemerintah memarginalkan GN
karena kuatnya heteroseksisme dan homofobia di kalangan pemerintah. Namun
keadaan telah perlahan‑lahan membaik. Sesudah cukup lama kesehatan seksual
lelaki tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, sejak 2001 ada program di
bidang itu di berbagai daerah di Indonesia. Diharapkan dengan konsepsi
kesehatan seksual fisik, psikologis dan sosial yang terpadu, akan kian berkembang
komunitas‑komunitas di berbagai daerah, dengan pemahaman yang menyeluruh
tentang HAM dan kesadaran hukum. Harus diperjuangkan juga agar program
semacam itu membuka kesempatan untuk agenda politik yang pada akhirnya
bermuara pada perubahan hukum dan kerja dengan serikat buruh.
Hasil jerih‑payah GN dalam memperjuangkan hak‑hak asasi dan seksual
kaum gay mendorong kita untuk terus memainkan peran pemimpin dalam
bidang ini. Bahkan sejak 2004 kita memperluas amanat organisasi sehingga tidak
melulu memperjuangkan isyu ataupun kaum lesbi, gay, biseks dan waria, tetapi
juga siapa pun yang beragam seks, gender dan seksualitasnya.
Surabaya, 9 Agustus 2006
hal. 8 dari 8