Kota dengan Konsep Kota Ramah Anak

Kota dengan Konsep Kota Ramah Anak
Philippines
Philippines memperkenalkan Program Kota Ramah Anak di 20 provinsi dan 5 kota –
Pasay City, Manila, Quezon City, Cebu City, dan Davao City tahun 1999. Program ini
diawali dengan penelitian mengenai anak-anak kota yang menderita di 4 kota,
1990-1992. Program tersebut dipercepat dengan inisiatif Walikota Pembela Anak
(Mayors as Defender of Children), 1992 dan Liga Kota mengeluarkan “Philippines
Declaration of Commitment to Children,” 1993.
Program Kota Ramah Anak memperoleh sambutan yang hangat, karena
sebelumnya warga kota telah memperoleh pengetahuan mengenai program
“Pelayanan Dasar Kota.” Program tersebut telah memperkuat organisasi dan peran
serta komuniti, perencanaan dan program yang multi agen dan multi sektor dalam
pengembangan kota-kota miskin. Advokasi dan kemampuan organisasi juga
meningkat. Modal ini kemudian dimanfaatkan oleh UNICEF untuk
mentransformasikan Konvensi Hak Anak dari kerangka kerja yang legal ke dalam
sebuah rumusan yang baik berupa Child Friendly Movement secara nasional,
meliputi keluarga, komuniti, pemerintah daerah dan pusat, dan sektor swasta.
Gerakan ini bertujuan untuk menentukan dan mengawasi komuniti, sekolah,
fasilitas kesehatan, tempat kerja, komuniti agama, kota, dan provinsi yang ramah
anak. Gerakan ini menghubungkan tiga komponen, yakni:
1. komunikasi;

2. kebijakan daerah dan institusi pembangunan; dan
3. pendukung program strategi di bidang kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan
anak, dan gender.
Program Kota Ramah di kota-kota Philippines secara khusus bertujuan untuk:
1. memaksimumkan peran kepemimpinan walikota;
2. meningkatkan pendidikan umum dan penyuluhan visi baru untuk anak;
3. merumuskan rencana pembangunan kota untuk anak;
4. menganalisis situasi terus menerus untuk advokasi, program, dan pengawasan;
laporan tahunan negara dari kota anak;
5. membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak;
6. memperdayakan keluarga melalui organisasi komuniti dan organisasi
pembangunan;

7. memperkuat jaringan dan sistem untuk anak dalam kebutuhan perlindungan
khusus; dan
8. memperkuat legislatif dan penegak hukum.

Australia
Queensland merupakan salah satu kota di Australia yang telah mengadopsi konsep
“Kota Ramah Anak.” Pemerintah kota Queensland membentuk komisi anak dan

remaja pada tahun 2000. Komisi tersebut mempromosikan komuniti ramah anak
melalui fungsi utama yang sesuai dengan Undang Undang Komisi Anak dan Remaja
2000 meliputi:
1. advokasi untuk memberikan perlindungan hak, perhatian, dan kesejahteraan
anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun;
2. administrasi negara agar bersedia mengadvokasi dan memberikan pelayanan
untuk anak dan remaja yang berada di pusat penahanan;
3. menerima, melihat persoalan, dan menyelidiki keluhan mengenai pembagian
pelayanan yang disediakan untuk anak dan remaja;
4. mengawasi dan mereview hukum, kebijakan, dan praktik yang terkait dengan
pemberian pelayanan untuk anak dan remaja, atau yang berdampak kepada
mereka; dan
5. memimpin dan mengkoordinir penelitian yang terkait dengan masalah yang
berdampak pada anak.
Komisi ini secara khusus mengembangkan sebuah kegiatan untuk anak dengan
lembaga non pemerintah yang bersedia menjadi penasehat praktik-praktik dan
kebijakan yang menjamin kesesuaian kegiatan dengan anak; mengorganisasikan
“Parlemen Remaja”; dan mempublikasikan cetak biru dari sebuah Persemakmuran
Ramah Anak dan Remaja.
India

Calcutta merupakan salah satu kota di India yang mengadopsi konsep Kota Ramah
Anak. Program ini berfokus pada Program Aksi tingkat kota untuk Anak Jalanan dan
Pekerja Anak (City Level Program of Action for Street and Working Children –
CLPOA). CLPOA beroperasi melalui 6 titik komite yang dikoordinir oleh badan pusat
yang beranggotakan perusahaan, departemen pemerintah (kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial, buruh, dan lain-lain), polisi, komisi hak asasi, UNICEF, British
Council, asosiasi dokter, dan 50 lembaga non pemerintah. Kegiatan CLPOA meliputi
pendidikan dasar, kesehatan, penasehat hukum, peningkatan sumber pendapatan,
pelatihan, dan konseling. Program ini ditujukan kepada pekerja anak, anak jalanan,

pekerja seks anak, dan perdagangan anak. Fokus kegiatannya adalah pelayanan
dasar, perlindungan hak anak, penyuluhan, dan advokasi.
Ada dua contoh inovasi dari aksi CLPOA:
1. Polisi Ramah Anak
Di bawah inisiatif CLPOA, Polisi Calcutta telah mengadopsi rencana perlindungan
anak. Rencana ini merupakan kegiatan antara polisi dan lembaga non pemerintah
yang menangani anak jalanan. Melalui program ini polisi dapat menangani
permasalahan anak, khususnya anak yang tinggal di jalanan.
2. Pendidikan untuk semua Anak Calcutta
Program Shishalaya Prakalpa merupakan program yang menekankan pembangunan

dasar untuk anak. Program yang didesain untuk mencapai strategi
mentransformasikan pendidikan agar masuk ke dalam sistem kota ini berambisi
untuk mendaftarkan semua anak Calcutta di sekolah reguler. Dengan kemitraannya
yang luas terutama dengan pihak swasta, didukung pemerintah India, UNICEF dan
adanya kegiatan fundraising, maka program pendidikan seperti ini dapat segera
terwujud;
Brazil
Porto Alegre merupakan salah satu kota di Brazil yang mengadopsi konsep Kota
Ramah Anak. Program di kota Porto Alegre terfokus pada peran serta warga dalam
penyusunan anggaran belanja. Program ini diperkenalkan tahun 1989. Melalui
program ini, Porto Alegre dikenal secara nasional dan internasional sebagai kota
yang meningkatkan kualitas hidup anak, yaitu dengan keberhasilannya
menurunkan angka kematian dari 20 menjadi 12 per 1.000 kelahiran hidup selama
sepuluh tahun terakhir. Strategi ini sekarang diimplementasikan di 200 kota di
Brazil. Hal ini merupakan prestasi dalam pemberian akses pelayanan sosial dasar
kepada anak. Dua tahun yang lalu (2002), proses peran serta penyusunan anggaran
berhasil dilaksanakan dengan melibatkan 10 juta warga kota di 497 kota.
Demonstrasi peran serta penyusunan anggaran dapat dilaksanakan dalam skala
regional atau nasional. Gerakan ini merupakan pendekatan dari tradisional ke
keterlibatan warga merupakan kombinasi demokrasi perwakilan (melalui pemilu)

dan demokrasi langsung (melalui peran serta warga sipil). Sehingga pengambilan
keputusan tidak hanya menjadi monopoli legislatif atau eksekutif, tetapi berbagi
dengan warga sipil.
Catatan
1. Walaupun pendekatan yang diterapkan oleh kota-kota di beberapa negara
seperti Philippines, Australia, India, Bangladesh, dan Brazil mempunyai perbedaan
dan ciri khas masing-masing, akan tetapi menurut Marta Santos Pais dari UNICEF

Innocenti Centre, Florence, tujuan mereka adalah satu, yaitu melakukan perubahan
kepada warga dalam komuniti yang inklusif untuk anak, dan mengakui bahwa suatu
kota yang ramah kepada anak adalah kota yang ramah kepada seluruh anggota
komuniti yang lain (UN-Special Session on Children, 2002).
2. Keterlibatan anak dalam suatu inisiatif global peran serta anak bukan merupakan
ancaman bagi orang dewasa. Peran serta anak dalam proses pengambilan
keputusan di tingkat lokal, memberi kesempatan kepada anak untuk belajar
menumbuhkan rasa memiliki warga dan melatih hak dan tanggungjawab mereka.
Pengertian
Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang
menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:
1. keputusannya mempengaruhi kotanya;

2. mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;
3. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
4. menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
5. mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang
baik;
6. terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah;
7. aman berjalan di jalan;
8. bertemu dan bermain dengan temannya;
9. mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan;
10. hidup di lingkungan yang bebas polusi;
11. berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
12. setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa
memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

MENGAPA PERLU KOTA RAMAH ANAK?
Kondisi Kota

Sekarang ini, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa setengah dari penduduk dunia –
6 miliyar penduduk – tinggal di kota (Christencen, 2003:xv). Kehidupan kota banyak
menghadirkan kesempatan, karena di dalamnya terpusat berbagai jenis pelayanan,

jaringan dan sumber daya. Perkembangan dan pertumbuhan kota dan industri yang
kurang terencana, menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO untuk Kawasan
Asia Tenggara, telah menambah resiko baru untuk kesehatan anak. Belakangan ini,
banyak penyakit yang diderita oleh anak, berkait erat dengan lingkungan tempat
mereka tinggal, belajar, dan bermain – rumah, sekolah dan komuniti mereka.
Anak merupakan bagian dari warga kota. PBB memperkirakan pada tahun 2025, 60
persen anak tinggal di kota. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika
Serikat (David, 1995:65), anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka
kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak
yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan seharihari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama mereka yang tinggal di
daerah kumuh dan permukiman liar yang padat, dan perumahan yang kurang sehat
serta kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan
pembuangan sampah.
Kondisi lain menggambarkan keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar
anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan
jalan, dan pedestrian. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran
pemerintah kota di bidang anak belum menjadi prioritas dan masih terbatas.
Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya
membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, diharapkan ada

keseimbangan antara keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan. Misalnya pemerintah tidak dominan dalam proses perencanaan.
Pada tahap perencanaan, pendekatan bawah-atas lebih diutamakan dalam
pencarian kebutuhan, dibandingkan pendekatan atas-bawah. Begitu pula dengan
tahap selanjutnya, masyarakat tetap dilibatkan, sehingga proses tersebut
memperoleh legitimasi dan dukungan masyarakat.
Dalam proses pembangunan, peran anak-anak sebagai calon pemimpin bangsa
perlu diperhatikan. Peran apa yang diberikan kepada anak dalam kaitannya dengan
lingkungan kota? Sebagai pengguna atau pelayan, warga aktif atau warga pasif?
Bagaimana anak mempunyai andil di tiap tahap proses pembangunan? Porsi apa
yang diberikan kepada anak dalam pembangunan kota? Pernyataan tersebut
bermakna bahwa anak mempunyai hak pada tiap proses pembangunan. Hal ini
menarik, namun harus dibedakan kelompok anak mana yang dimaksud. Apakah
anak pada masa usia 2 tahun, masa usia 3-5 tahun, masa usia 6-12 tahun, masa
usia 13-15 tahun, atau masa usia 16-18 tahun?

Pada penelitian tentang ”Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota” yang dilakukan
oleh Hamid Patilima (Hamid, 2004) disimpulkan bahwa dengan membangun sarana
kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa
kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian

pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang
terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang
berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal,
lingkungan komuniti, lingkungan sekolah mereka, serta tempat pelayanan
kesehatan, merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota di satu
sisi pada kasus Kelurahan Kwitang, sedangkan perasaan terganggu dengan sampah
yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih
adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan-trotoar yang rusak
di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lainnya.
Permukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran lain bagi anak, jika
sewaktu-waktu terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma
bagi mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan
pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan
anak.
Tidak semua keluarga informan ini tinggal di rumah yang menjadi milik sendiri,
beberapa di antaranya bahkan masih mengontrak. Perasaan nyaman dan tenang,
ada pada anak dengan rumah tinggal yang jelas status kepemilikannya (milik
pribadi), berbeda dengan anak dari keluarga yang mengontrak atau menumpang di
rumah kakek/nenek yang mulai khawatir ketika masa kontraknya selesai dan

mereka harus pindah. Mempunyai akses ke sumber air bersih, sistem pembuangan
sampah, saluran pembuangan air kotor, jaringan listrik dan telepon adalah hal lain
yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman berada di rumah yang mereka
tinggali.
Di mata anak, kekurang-disiplinan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan
terutama mengenai sampah dan saluran air kotor mengganggu pemandangan dan
membuat polusi.
Penerapan sistem ronda siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), adanya pos
kamling, dan lampu penerangan jalan yang cukup membuat anak-anak Kwitang
merasa aman dengan lingkungan mereka.
Rusaknya ruas jalan di beberapa bagian dan trotoar di beberapa titik hingga beralih
fungsinya tempat ini menjadi tempat usaha bagi pedagang kaki lima, dianggap
anak mengganggu karena bisa membuat pejalan kaki terperosok, terjatuh, atau
bahkan terserempet kendaraan.
Gedung sekolah yang kokoh, berhalaman luas, dan berpagar besi, membuat anakanak ini merasa tenang bersekolah. Bentuk gedung yang bertingkat mereka

ungkapkan sebagai satu ketidaknyaman untuk berinteraksi dengan teman mereka
di lantai yang lain, karena mereka enggan untuk naik atau turun.
Ruang terbuka belum menjadi prioritas pemerintah kota dalam pembangunan kota.
Hal ini teridentifkasi oleh anak-anak Kwitang bahwa, mereka tidak mempunyai

tempat bermain aktif yang aman dan nyaman. Jalan, taman (Tugu Pak Tani),
bantaran kali (Kali Ciliwung), halaman sekolah, tempat parkir, dan tanah kosong
adalah tempat-tempat favorit yang mereka manfaatkan sebagai tempat bermain.
Syarat keselamatan, jauh dari tempat tinggal dan pantauan orang-tua/orang
dewasa tidak menjadi pertimbangan mereka.
Demikian juga halnya dalam bidang transportasi. Rasa aman dan nyaman
menggunakan jasa transportasi seperti bus dan kereta api ketika bepergian, belum
mereka rasakan sepenuhnya. Kondisi kendaraan yang kurang baik, seperti coretan
di dinding, bangku rusak, sampah berserakan, panas, berbau dan berdiri
berdesakkan mereka deskripsikan sebagai ketidaknyaman berkendaraan. Cerita
mengenai adanya copet membuat kekhawatiran mereka bertambah. Bus yang
selalu tergesa-gesa ketika menurunkan penumpang, berhenti secara mendadak,
penumpang yang terjatuh atau terantuk besi karenanya, sopir dan kernet yang
kerap berperilaku kasar terhadap penumpang diungkapkan anak sebagai hal yang
menakutkan ketika naik bus kota. Hal yang kurang lebih sama juga mereka rasakan
di kereta api. Jatuh, tertindih atau terpisah dengan orangtua sehingga tidak bisa
kembali ke rumah adalah hal yang menakutkan mereka naik kereta api.
Penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit
yang umumnya diderita anak-anak ini. Penyakit-penyakit tersebut erat kaitannya
dengan resiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higienis,
sanitasi yang buruk, dan polusi udara di lingkungan tempat tinggal, tempat belajar,
dan bermain.
Kota yang Mereka Inginkan
1. menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang
sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan;
2. menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak;
3. menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak
dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang
psikososial dan ekspresi budayanya;
4. keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh
kerusakan lingkungan dan bencana alam;
5. memberikan perhatian khusus kepada anak seperti yang tinggal dan bekerja di
jalan, eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua;
dan

6. adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan
keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.
Lebih khusus, apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save the
Children, 1996:13-15):
1. mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak
atas kehidupan untuk pengembangan fsik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu
orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan
untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat
berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
terputus dengan orang tua;
2. mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat
dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan
pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan
ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat kurangi bila orang tua peduli
terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam
perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara
seksual;
3. mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fsik dan psikososial
merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum,
meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak
dan remaja;
4. mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk,
kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi
dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi
masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit
penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga
yang tinggal di wilayah kumuh;
5. mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang
terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk
anak kecil dan anak dengan kecacatan;
6. mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak
dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat
perhatian pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena
tempat mereka tidak dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di
wilayah kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk;
7. mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses
tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk

memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki,
naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi; dan
ramah anak.
BAGAIMANA MEWUJUDKAN KOTA RAMAH ANAK?
Kemitraan
Pada intinya pemerintah kota dapat berperan penting dalam merealisasikan
Konvensi Hak Anak dan konsep Kota Ramah Anak. Hal ini dapat terwujud melalui
suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di
kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh
masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau
sektor, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu
kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan
ini menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran
projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Fase yang
dimaksud seperti terlihat pada gambar berikut (IULA&UNICEF, 2001:6 ):
Mobilisasi dan pengumpulan
data
Analisis situasi dan permasalahan
program dan perencanaan
Pelaksanaan dan monitoring
Evaluasi dan
refleksi

Kebijakan dan Anggaran
Kendala utama dalam mewujudkan konsep Kota Ramah Anak adalah kurangnya
kebijakan dan terbatasnya anggaran pembangunan untuk anak. Keberhasilan kotakota di Philippines dalam mengadopsi konsep Kota Ramah Anak adalah karena
adanya inisiatif dan komitmen dari pemerintah kota yang tergabung dalam liga
kota, disamping kuatnya organisasi dan peran serta komuniti. Keadaan serupa
terjadi di Australia dan India. Penerapan konsep Kota Ramah Anak di kedua negara
ini didukung oleh undang-undang. Sedangkan di kota Poerto Alegre, Brazil, konsep
ini mudah diterima, karena ada dukungan dana untuk pelayanan dasar kesehatan
dari pemerintah, yakni dengan dilibatkannya warga kota termasuk anak, untuk

berperan serta dalam penyusunan anggaran. Jadi tidak mengherankan kalau
kemajuan yang dicapai oleh Poerto Alegre dalam menurunkan angka kematian bayi
menjadi suatu prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pemerintah kota harus didukung oleh kebijakan dan anggaran. Untuk mewujudkan
hal ini dibutuhkan dukungan dan dorongan dari semua pihak, untuk mendesak
pembuatan kebijakan dan peningkatan anggaran untuk anak.
Peran
Seperti pada uraian sebelumnya, kita dapat mengidentifkasi peran apa yang dapat
dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk
mewujudkan konsep Kota Ramah Anak. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan
kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi.
Legislatif berperan dalam kebijakan; eksekutif berperan dalam perencanaan,
anggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan peninjauan kembali kebijakan;
pihak swasta memberikan konsesi dan dana tanggung jawab sosial; lembaga non
pemerintah berperan dalam advokasi kebijakan dan anggaran; dan masyarakat sipil
berperan dalam pelaksanaan.
Sosialisasi
Komitmen
Pihak-pihak yang terlibat dalam mendorong peran serta untuk mengadopsi konsep
Kota Ramah Anak perlu menyusun komitmen-komitmen yang akan menjadi sasaran
Kota Ramah Anak. Komitmen yang perlu disusun dan disepakati oleh pemerintah
kota, sektor swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil antara lain:
1. Untuk tujuan bidang kesehatan, yang ingin dicapai adalah:
a. semua anak tercatat pada saat lahir;
b. semua bayi memperoleh Air Susu Ibu eksklusif selama 6 bulan;
c. semua anak memperoleh imunisasi secara utuh – BCG, DPT, tetanus, polio, dan
cacar;
d. semua anak memperoleh makanan yang baik;
e. semua anak usia 1-5 tahun memperoleh Vitamin A dua kali dalam setahun;
2. Untuk tujuan bidang kesehatan ibu hamil, yang ingin dicapai adalah:
a. semua kelahiran memperoleh pelatihan oleh tenaga ahli;
b. semua wanita hamil memperoleh semua pemeriksaan kesehatan;
c. semua wanita hamil memperoleh imunisasi tetanus;

d. semua wanita hamil memperoleh Vitamin A dan zat besi;
e. semua wanita hamil mendapat pelayanan darurat;
3. Untuk tujuan bidang pendidikan, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 3-5 tahun memperoleh program pendidikan usia dini;
b. semua anak usia 6-17 tahun dapat bersekolah;
c. semua anak lulus di pendidikan dasar dan menengah pertama;
d. semua anak yang putus sekolah diberikan pendidikan alternatif;
e. semua orang tua yang buta huruf mendaftar pada program literasi
4. Untuk tujuan bidang perlindungan, yang ingin dicapai:
a. mengapuskan semua bentuk eksploitasi dan pekerjaan yang berbahaya,
pelacuran, dan pornograf;
b. semua kasus child abuse (pelecehan) terhapus dari rumah dan komuniti;
5. Untuk tujuan bidang peran serta, yang ingin dicapai:
a. semua anak usia 9-18 tahun peran serta di kegiatan sosial budaya dan
pengembangan komuniti
a. adanya wadah bagi anak dapat menyampaikan pendapat dan aspirasi;
b. adanya pertemuan yang teratur dalam penyusunan anggaran dan kebijakan yang
terkait dengan kepentingan dan kebutuhan anak.
6. Untuk tujuan kebutuhan keluarga, yang ingin dicapai:
a. semua keluarga mempunyai air minum yang bersih dan aman;
b. semua keluarga hanya menggunakan garam beriodium;
c. semua keluarga menggunakan sanitasi dan WC;
d. semua ayah dan ibu berbagi kepedulian dan membesarkan anak.
7. Untuk tujuan pelayanan transportasi, yang ingin dicapai:
a. transportasi dapat diakses oleh anak, orang tua, dan orang yang hidup dengan
kecacatan secara murah dan seimbang;
b. transportasi didesain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi anak;
c. peningkatan sistem transportasi dengan memperkenalkan tiket terusan;

d. pedestrian dan penyeberangan didesain sesuai kebutuhan anak;
8. Untuk tujuan tempat bermain, yang ingin dicapai:
a. jarak tempat bermain dengan kompleks dekat, misalnya 50 meter dari rumah
untuk balita 0-5 tahun;
b. penyediaan fasilitas tempat bermain;
c. pengawasan orang-tua terhadap anak.
d. bersama anak menentukan lokasi dan desain tempat bermain.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Preparasi dan Karaterisasi Nanopartikel Zink Pektinat Mengandung Diltiazem Hidroklorida dengan Metode Gelasi Ionik.

7 51 92