ANALISIS KONDISI SEKTOR PERANGKAT LUNAK

ANALISIS KONDISI SEKTOR PERANGKAT LUNAK DI
INDONESIA DENGAN PENDEKATAN TRIPLE HELIX
DALAM RANGKA MENDUKUNG PERKEMBANGAN
EKONOMI KREATIF
Oleh :
Kristiana
Perekayasan Muda BPPT
tee_ana@yahoo.com

Abstrak
Tahun 1990-an merupakan tahun kebangkitan ekonomi kreatif, dimana negaranegara maju tidak bisa lagi mengandalkan kepada supremasi industri, tetapi harus
lebih mengandalkan pada SDM kreatif yang mengintensifkan informasi dan
kreativitas. Sektor industri yang digerakkann oleh kreatifitas dan SDM yang
kreatif disebut dengan industri kreatif. Terdapat 15 sub sektor industri kreatif
diantaranya adalah (1) periklanan; (2) arsitektur; (3) pasar barang seni; (4)
kerajinan; (5) desain; (6) Fesyen; (7) video, film dan fotografi; (8) permainan
interaktif; (9) musik; (10) seni pertunjukkan; (11) penerbitan dan percetakan; (12)
layanan komputer dan piranti lunak; (13) televisi dan radio; (14) riset dan
pengembangan, (15). Kuliner. Industri perangkat lunak masuk ke dalam sub
sektor industri kreatif yang dianggap cukup potensial. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi yang diberikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, pertumbuhan

PDB, dan penyerapan jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan. Untuk
meningkatkan potensi ini diperlukan sebuah analisis tentang kondisi sektor
perangkat lunak di Indonesia dalam rangka mendukung perkembangan ekonomi
kreatif. Metodologi yang digunakan untuk melakukan analisis tersebut adalah
dengan pendekatan triple helix, dimana kondisi yang ada dipetakan ke dalah tiga
variabel yaitu akademisi, bisnis dan pemerintahan. Berdasarkan analisis tersebut
diharapkan produk-produk industri perangkat lunak yang dihasilkan dapat
memiliki kualitas yang baik dan berdaya saing tinggi, sehingga dapat bersaing
dengan produk impor.
Kata Kunci : ekonomi kreatif, perangkat lunak, industri, daya saing, triple helix

Abstract
1990 was a year of awakening the creative economy, in which developed
countries can no longer rely on the supremacy of the industry , but it must rely
more on creative Human Rsesources that intensify information and creativity. The
industrial sector is driven by creativity and creative human resources called

creative industries. There are 15 sub- sectors of the creative industries which are
(1) advertising; (2) architecture; (3) art market; (4) craft; (5) design; (6)
Fashion; (7) video , film and photography; (8) interactive games; (9) music ; (10)

performing arts; (11) publishing and printing; (12) computer services and
software; (13) television and radio; (14) Research and development (15)
Culinary. The software industry into the creative industry sub- sectors that are
considered potential. It can be seen from the contributions made in the national
economic growth, GDP growth, and the amount of labor absorption significantly.
To increase the potency required an analysis of the condition of the software
industry in Indonesia in order to support the development of the creative
economy. The methodology used to conduct the analysis is the triple helix
approach, where existing conditions dalah mapped to three variables: academic,
business and government. Based on the analysis of the expected products
generated software industry can have good quality and highly competitive, so it
can compete with imported products .
Keyword : creative economy, software, industrial, competitiveness, the triple helix

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pergeseran dari era pertanian ke
era industrialisasi, disusul oleh era
informasi serta globalisasi ekonomi,
telah menggiring peradaban manusia

ke dalam suatu arena interaksi sosial
baru
yang
belum
pernah
terbayangkan
sebelumnya.
Industrialisasi telah menciptakan
pola kerja, pola produksi dan pola
distribusi yang lebih murah dan lebih
efisien.
Negara-negara
maju
mulai
menyadari bahwa saat ini mereka
tidak bisa mengandalkan supremasi
dibidang industri lagi, tetapi mereka
harus lebih mengandalkan SDM
yang kreatif, sehingga kemudian
pada tahun 1990-an dimulailah era

ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas, yang
populer disebut Ekonomi Kreatif
yang digerakkan oleh sektor industri
yang disebut Industri Kreatif.

Gambar 1. Pergeseran Ekonomi
Dunia Barat
Negara-negara
membangun
kompetensi ekonomi kreatif dengan
caranya
masing-masing
sesuai
dengan kemampuan yang ada pada
negara tersebut. Ada beberapa arah
dari pengembangan industri kreatif
ini, seperti pengembangan yang lebih
menitikberatkan
pada

industri
berbasis: (1) lapangan usaha kreatif
dan budaya (creative cultural
industry); (2) lapangan usaha kreatif
(creative industry), atau (3) Hak
Kekayaan Intelektual seperti hak
cipta (copyright industry).
Di Indonesia, peran industri
kreatif dalam ekonomi Indonesia
cukup signifikan dengan besar
kontribusi terhadap PDB rata-rata
tahun 2002-2006 adalah sebesar

6,3% atau setara dengan 104,6
Triliun rupiah (nilai konstan) dan
152,5 triliun rupiah (nilai nominal).
Industri ini telah mampu menyerap
tenaga kerja rata-rata tahun 20022006 adalah sebesar 5,4 juta dengan
tingkat partisipasi sebesar 5,8%.


Gambar 2. Nilai PDB 9 Sektor
Lapangan Usaha Utama dan Industri
Kreatif di Indonesia Tahun 2006
Berdasarkan Harga Konstan Tahun
2000 (Ribu Rp)
Studi pemetaan yang dilakukan
oleh Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia pada tahun 2007
telah menetapkan 14 subsektor
industri yang berbasis kreatifitas,
diantaranya adalah : (1) periklanan;
(2) arsitektur; (3) pasar barang seni;
(4) kerajinan; (5) desain; (6) Fesyen;
(7) video, film dan fotografi; (8)
permainan interaktif; (9) musik; (10)
seni pertunjukkan; (11) penerbitan
dan percetakan; (12) layanan
komputer dan piranti lunak; (13)
televisi dan radio; (14) riset dan
pengembangan.

Berdasarkan
rata-rata
pertumbuhan PDB tahunan periode
2002-2006, maka subsektor industri
kreatif yang memiliki rata-rata
pertumbuhan di atas rata-rata
pertumbuhan ekonomi nasional
(5,24%)
adalah:
(1)
Musik
(18,06%);(2)
Penerbitan
dan

Percetakan (12,59%); (3) Periklanan
(11,35%); (4) Arsitektur (10,86%);
(5) Layanan Komputer dan Piranti
Lunak (10,60%); (6) Televisi dan
Radio ((8,51%); (7) Permainan

Interaktif (8,24%); (8) Pasar barang
seni (7,65%); (9) Seni Pertunjukan
(7,65%).
Jika dilihat dari penyerapan
tenaga kerja sub sektor layanan
komputer dan piranti lunak pada
tahun 2006 memberikan kontribusi
penyerapan tenaga kerja yang cukup
baik, yaitu berada pada posisi kedua
dari 14 sub sektor industri kreatif,
dengan nilai penyerapan 31.40%.
Berdasarkan data-data tersebut,
dapat disimpukan bahwa sub sektor
layanan komputer dan piranti lunak
khususnya industri perangkat lunak
memiliki potensi ekonomi yang
cukup baik. Hal ini disebabkan
karena subsektor perangkat lunak
memberikan kontribusi yang cukup
baik terhadap pertumbuhan PDB

(sekitar 7.54%) dan terhadap
penyerapan tenaga kerja (sekitar
31.40%).
Untuk dapat meningkatkan
potensi ini maka dibutuhkan sebuah
analisa yang dapat melihat kondisi
sektor perangkat lunak di Indonesia.
Hal ini bertujuan agar industri
perangkat lunak lokal dapat berdaya
saing tinggi, dan dapat disetarakan
dengan industri perangkat lunak
internasional.
Metodologi yang digunakan
untuk dalam melakukan analisis
tentang kondisi sektor perangkat
lunak
di
Indonesia
adalah
menggunakan pendekatan triple

helix. Triple helix adalah sebuah
framework yang membagi peranan

pelaku menjadi tiga bagian yaitu
akademisi, bisnis dan pemerintahan.
Berdasarkan
hasil
analisis
tersebut kemudian dapat dilihat
kelemahan yang terjadi pada
aktor/pelaku yang mana, sehingga
dapat direkomendasikan sebuah
program perkuatan yang dapat
mengatasi
kelemahan
tersebut.
Sehingga
diharapkan
industri
perangkat lunak dapat berdaya saing

dan
membantu
menciptakan
kemandirian bangsa di bidang
teknologi informasi dan komunikasi.
1.2 Tujuan dan Sasaran
Adapun tujuan yang ingin
dicapai melalui penelitian ini
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan analisis terhadap
perkembangan dan prospek
industri perangkat lunak di
Indonesia.
2. Mengidentifikasi kondisi yang
saat
ini
terjadi
pada
pelaku/elemen akademisi, bisnis
dan pemerintahan (ABG).
3. Mengidentifikasi permasalahan/
tantangan yang ada dalam
mengembangkan
industri
perangkat lunak di Indonesia.
Selanjutnya
sasaran
yang
diharapkan tercapai dalam penelitian
ini diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Teranalisisnya
perkembangan
dan prospek industri perangkat
lunak di Indonesia.
2. Teridentifikasinya kondisi dari
elemen/pelaku
industri
perangkat
lunak,
dengan
berdasarkan
pada
elemen
akademisi,
bisnis
dan
pemerintahan.

3. Teridentifikasikannya
permasalahan/tantangan dalam
mengembangkan
industri
perangkat lunak di Indonesia.
2. METODOLOGI
2.1 Pengertian Triple Helix
Triple Helix adalah sinergi
kekuatan antara akademisi, bisnis,
dan pemerintah. Kalangan akademisi
dengan
sumber
daya,
ilmu
pengetahuan,
dan
teknologinya
memfokuskan
diri
untuk
menghasilkan berbagai temuan dan
inovasi yang aplikatif. Kalangan
bisnis melakukan kapitalisasi yang
memberikan keuntungan ekonomi
dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Sedang pemerintah menjamin dan
menjaga
stabilitas
hubungan
keduanya dengan regulasi kondusif
(Etzkowitz&Leydesdorff, 2000).
Model
Triple
Helix
mengidentifikasi empat proses yang
terkait dengan perubahan-perubahan
penting
dalam
pengembangan,
pertukaran
dan
penggunaan
pengetahuan, yaitu :
1) Terdapat
transformasi
internal dalam setiap pusaran
(helix).
Sebagai
contoh
misalnya
:
perusahaan
mengembangkan hubungan
melalui aliansi strategis;
perguruan tinggi menjadi
lebih enterpreneurial. Dalam
hal ini pasokan/ penyediaan
pengetahuan/
teknologi/
inovasi juga dapat terjadi
dari
lembaga
litbang
pemerintah.
2) Bulatan/lingkaran atau spiral
institusional
(institutional
spheres) dapat meningkatkan
transformasi dalam bulatan

lain.
Contohnya
adalah
perubahan aturan pemerintah
tentang HKI.
3) Perpaduan baru tiga pihak
dari keterkaitan, jaringan dan
organisasi antara tIga pusaran
diciptakan
untuk
melembagakan
antarmuka
dan menstimulasi kreativitas
organisasi dan keterpaduan
regional/daerah.
Ini
dipandang sebagai proses
transisi yang dinamis dan
tanpa akhir. Satu contoh
diantaranya adalah Joint
Venture Silicon Valley yang
mendorong interaksi antara
anggota dalam ketiga pusaran
spiral.
4) Jaringan
antar
lembaga
mempunyai dampak berulang
pada pusaran awal maupun
masyarakat yang lebih luas.
Berdasarkan
peranan
dari
masing-masing pelaku/aktor dalam
model triple helix yang mengacu
pada industri kreatif terbagi menjadi
tiga aktor utama, diantaranya adalah
:
1. Intelektual/Akademisi
Intelektual disini memiliki
peran sebagai agen yang
menyebarkan
dan
mengimplementasikan ilmu
pengetahuan,
seni
dan
teknologi, serta sebagai agen
yang membentuk nilai‐nilai
yang
konstruktif
bagi
pengembangan
industri
kreatif dalam masyarakat.
Intelektual sebagai bagian
dari komunitas cendekiawan
di dalam lembaga pendidikan
tinggi
dan
lembaga

penelitian, memiliki peranan
yang
besar
dalam
mengembangkan
ekonomi
kreatif. Kontribusi akademisi
tersebut dapat dijabarkan
dalam bentuk tiga peranan,
yaitu :
a. Peran
pendidikan
ditujukan
untuk
mendorong
lahirnya
generasi kreatif Indonesia
dengan pola pikir yang
mendukung tumbuhnya
karsa dan karya dalam
industri kreatif.
b. Peran
penelitian
dilakukan untuk memberi
masukan tentang model
kebijakan pengembangan
industri
kreatif
dan
instrumen
yang
dibutuhkan,
serta
menghasilkan teknologi
yang mendukung cara
kerja dan penggunaan
sumber daya yang efisien
dan menjadikan industry
kreatif nasional yang
kompetitif
2. Bisnis (Business)
Aktor bisnis merupakan
pelaku usaha, investor dan
pencipta teknologi‐teknologi
baru, serta juga merupakan
konsumen industri kreatif.
Aktor bisnis juga perlu
mempertimbangkan
dan
mendukung keberlangsungan
industri kreatif dalam setiap
peran yang dilakoninya.
Misalnya melalui prioritas
penggunaan input antara
industri kreatif domestik,
seperti jasa‐ jasa industri
kreatif dalam riset, iklan dan

lain‐lain. Peran bisnis dalam
pengembangan
industri
kreatif adalah :
a. Pencipta, yaitu sebagai
center of excellence dari
kreator produk dan jasa
kreatif, pasar baru yang
dapat menyerap produk
dan jasa yang dihasilkan,
serta pencipta lapangan
pekerjaan bagi individu‐
individu kreatif ataupun
individu
pendukung
lainnya.
b. Pembentuk
Komunitas
dan Entrepreneur kreatif,
yaitu sebagai motor yang
membentuk ruang publik
tempat terjadinya sharing
pemikiran,
mentoring
yang dapat mengasah
kreativitas
dalam
melakukan
bisnis
di
industri kreatif, business
coaching atau pelatihan
manajemen pengelolaan
usaha di industri kreatif.
Dalam
menjalankan
perannya, bisnis dituntut
untuk
menggunakan
kemampuan konseptual
yang
tinggi,
mampu
menciptakan variasi baru
berupa produk dan jasa,
mahir
berorganisasi,
bekerjasama,
berdiplomasi (semangat
kolaborasi
dan
orkestrasi),
tabah
menghadapi
kegagalan
yang dialami, menguasai
konteks teknikal dan
kemampuan perencanaan
finansial.

3. Pemerintahan
(Government)
Keterlibatan
pemerintah
dalam pembangunan industri
kreatif sangatlah dibutuhkan
terutama melalui pengelolaan
otonomi daerah yang baik,
penegakan
demokrasi,
dengan prinsip‐prinsip good
governance. Ketiganya bukan
merupakan hal yang baru,
memang
sudah
menjadi
agenda utama reformasi. Jika
berhasil
dengan
baik,
ketiganya merupakan kondisi
positif bagi pembangunan
industri kreatif. Para ahli
percaya,
kemajuan
pembangunan
ekonomi
kreatif sangat dipengaruhi
oleh lokasi/place (identik
dengan otonomi daerah), dan
toleransi/pola pikir kreatif
(identik dengan demokrasi).
Peran utama pemerintah
dalam
pengembangan
industri kreatif adalah :
a. Katalisator, fasilitator dan
advokasi yang memberi
rangsangan,
tantangan,
dorongan, agar ide‐ide
bisnis bergerak ke tingkat
kompetensi yang lebih
tinggi. Tidak selamanya
dukungan itu haruslah
berupa bantuan finansial,
insentif ataupun proteksi,
tetapi dapat juga berupa
komitmen
pemerintah
untuk
menggunakan
kekuatan
politiknya
dengan proporsional dan
dengan
memberikan
pelayanan
administrasi
publik dengan baik;

b. Regulator
yang
menghasilkan kebijakan‐
kebijakan yang berkaitan
dengan people, industri,
insititusi,
intermediasi,
sumber
daya
dan
teknologi.
Pemerintah
dapat
mempercepat
perkembangan
industri
kreatif jika pemerintah
mampu
membuat
kebijakan‐kebijakan yang
menciptakan iklim usaha
yang
kondusif
bagi
industri kreatif.
c. Konsumen,
investor
bahkan
entrepreneur.
Pemerintah
sebagai
investor harus dapat
memberdayakan
asset
negara untuk menjadi
produktif dalam lingkup
industri
kreatif
dan
bertanggung
jawab
terhadap
investasi
infrastruktur industri.
d. Urban
planner.
Kreativitas akan tumbuh
dengan subur di kota kota
yang memiliki iklim
kreatif.
Agar
pengembangan ekonomi
kreatif ini berjalan dengan
baik,
maka
perlu
diciptakan
kota‐kota
kreatif di Indonesia.
Pemerintah memiliki peran
sentral dalam penciptaan kota
kreatif (creative city), yang
mampu mengakumulasi dan
mengkonsentrasikan energi
dari individu‐individu kreatif
menjadi
magnet
yang
menarik
minat

individu/perusahaan
untuk
membuka usaha di Indonesia.
Ini bisa terjadi karena
inidividu/perusahaan tersebut
merasa
yakin
bisa
berinvestasi secara serius
(jangka panjang) di kota‐kota
itu, karena melihat adanya
potensi suplai SDM yang
berpengetahuan tinggi yang
bersirkulasi aktif di dalam
daerah itu.
3. PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan
Industri
Perangkat Lunak di Indonesia
Industri perangkat lunak saat ini
telah menjadi komoditas industri
yang diramalkan akan menjadi pilar
utama perindustrian di Indonesia, di
samping industri lainnya yang
menjadi
pendukung
dalam
pelaksanaannya. Pemerintah melalui
Departemen Perindustrian telah
membuat suatu teori bahwa industri
masa depan yang bisa diharapkan
adalah
industri
agrobisnis,
transportasi, dan telematika.
Ketiga industri ini menjadi pilar
utama industri masa depan yang
diharapkan
menjadi
pilar
kebangkitan
industri Indonesia.
Industri telematika yang mencakup
industri perangkat lunak menjadi
tumpuan
harapan
melihat
perkembangan industri ini di dunia
international dan potensi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dibandingkan dengan sejumlah
Negara tetangga, seperti Singapura,
Malaysia, atau Philipina, Industri
Perangkat Lunak di Indonesia dapat
dikatakan tertinggal. Tertinggal dari

segi jumlah industri, jumlah produk
yang dihasilkan, maupun jumlah
dana yang digalang. Hal ini tentu
sangat
disayangkan
mengingat
Indonesia memiliki jumlah penduduk
yang jauh melebihi jumlah penduduk
negara-negara tetangga di kawasan
ASEAN, sedangkan modal utama
dari industri perangkat lunak adalah
sumber daya manusia. Tumbuh
kembang industri perangkat lunak
dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti kualitas sumber daya manusia
dan iklim investasi pada sektor
perangkat lunak.
Di Indonesia perangkat lunak
merupakan industri yang masih
relatif muda keberadaannya (kurang
lebih 12 tahun), namun demikian
banyak harapan optimis yang
ditimpakan
kepada
industri
perangkat lunak sebagai salah satu
yang terus berkembang pesat dan
dapat menjadi salah satu komoditi
ekspor andalan untuk penghasilan
devisa negara, serta meningkatkan
prospek ketenagakerjaan di dalam
negeri
dan
secara
umum
menggairahkan
pertumbuhan
ekonomi di masa mendatang.
Berdasarkan data yang diperoleh
dari Capital Market Society of
Indonesia, bahwa pada saat ini
pengembangan industri teknologi
informasi di Indonesia akan lebih
diarahkan kepada bidang teknologi
yang perputaran produknya relatif
lambat, dan yang termasuk ke dalam
kategori tersebut antara lain adalah
perangkat lunak, media penyimpanan
data, teknologi data, komunikasi
data, dan penyajian informasi.
Perangkat keras tidak disarankan
untuk dimasukkan ke dalam prioritas

pengembangan industri teknologi
informasi
karena
perputaran
teknologinya sangat cepat, dimana
setiap tiga bulan sekali selalu muncul
produk perangkat keras yang baru.
Jika melihat pasar lokal industri
perangkat lunak, saat ini di Indonesia
masih di dominasi oleh office suite,
terutama yang berasal dari sektor
korporat sebagai sasaran pasar yang
terpenting. Dari jenis perangkat
lunak untuk komputer pribadi, office
suite memberikan kontribusi sebesar
50%; hal ini disebabkan oleh adanya
persaingan
harga
yang
lebih
kompetitif bila dibandingkan dengan
paket
individual
(individual
packaged). Diantara semua jenis
perangkat lunak yang ada, perangkat
lunak
untuk
komunikasi
(communication software) tidak
kalah populer di Indonesia. Hal ini
disebabkan
oleh
bertambahnya
hubungan antara satu komputer
pribadi dengan komputer pribadi
lainnya di perusahaan-perusahaan
skala menengah dan besar.
3.2 Prospek Industri Perangkat
Lunak di Indonesia
Perkembangan perangkat lunak
di Indonesia sangatlah pesat,
menurut badan riset New Century
Group, industri perangkat lunak akan
tumbuh sebesar 21% setiap tahunnya
(sebelum terjadinya krisis moneter).
Pesatnya perkembangan ini antara
lain dikarenakan pada saat menuju
era globalisasi, dimana persaingan
antar perusahaan-perusahaan akan
semakin ketat dan intens, kebutuhan
akan teknologi informasi akan
semakin meningkat.

Secara statistik perkembangan
software lokal makin populer di
Indonesia, hal ini dapat dibuktikan
dengan laporan penelitian dari IDC
(Internasional Data Corporation)
yang menyatakan bahwa Jumlah
software house atau independent
software vendor (ISV) di Indonesia
tahun 2006 ini tercatat sekitar 250,
dan terus berkembang hingga
mencapai 500 dalam 5 tahun ke
depan. Selain itu data IDC juga
menyebutkan
bahwa
Jumlah
pengembang
profesional
(professional developer) sampai
tahun ini tercatat 56.500 dan akan
terus berkembang hingga mencapai
71.600 sampai tahun 2008 (total
developer dunia mencapai 13,5 juta).
Data IDC di bawah menunjukkan
jumlah pengembang profesional
Region Asia Pacific dari tahun 20012008, dimana angka dalam ribuan.
Tabel 1. Laporan Research IDC

Sumber : Laporan IDC

Dalam laporan IDC tersebut
juga dijelaskan bahwa dalam 5 tahun
ke depan (2004 – 2009), sektor IT di
Indonesia akan didominasi oleh IT
Service. Pertumbuhan ini akan
memberikan
81.000
lapangan
pekerjaan dan menumbuhkan 1100
perusahaan IT baru yang akan
memberikan
penghasilan
pajak
sebesar 1.1 miliar USD dan

berkontribusi sebesar 12 miliar USD
terhadap GDP. Dalam periode
tersebut software spending akan
naik hingga mencapai 11.4% dari
total IT spending, khususnya di
market vertical. 29.9% dari seluruh
pekerja IT di Indonesia akan terlibat
dalam
pengembangan,
pendistribusian
atau
pelayanan
implementasi perangkat lunak.
Perkembangan
teknologi
informasi
juga
mempengaruhi
pertumbuhan bisnis software lokal.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
perkembangan trend penggunaan
layanan Cloud Computing ternyata
dapat
mendorong
pertumbuhan
bisnis software lokal yang diprediksi
akan tumbuh pesat pada tahun 2012
menjadi sekitar 350 – 400
perusahaan, atau naik sekitar 12%
dari 280 perusahaan pada tahun
2011.
Pertumbuhan bisnis software as
a service (SaaS) untuk hiburan, ecommerce, dan jejaring sosial
menjadi
pendorong
utama
tumbuhnya perkembangan software
lokal. Diperkirakan layanan SaaS
dapat tumbuh 25% tahun ini
sedangkan software berlisensi hanya
tumbuh 3%.
Pada tahun 2011 pasar software
lokal sebesar 1,7 miliar rupiah,
sedangkan
pada
tahun
2012
diprediksi nilai bisnis software lokal
mencapai 20% dari total pasar
software nasional, atau sekitar 1,8
miliar rupiah. Diharapkan peluang
pertumbuhan beberapa jenis software
seperti system management, small
medium
business,
high-end

individuals, payment gateway, dan
retail trading juga meningkat.
Dari hasil riset Business Monitor
International mengatakan bahwa
peluang pertumbuhan software lokal
menjadi penting karena didukung
pencanangan tahun industri kreatif di
tahun 2009 yang dapat mendorong
inovasi software. Di samping itu, 237
juta penduduk Indonesia adalah
pasar
potensial
yang
dapat
menciptakan peluang pertumbuhan
belanja teknologi informasi (TI) di
Indonesia. Selanjutnya diperkirakan,
belanja TI di Indonesia akan
mencapai US$ 10,2 miliar pada
tahun 2015.
Kedepannya,
diharapkan
software lokal dapat menekan
software asing yang saat ini masih
lebih banyak beredar. Hanya saja,
harga software lokal yang masih
terlalu murah dan masih minimnya
modal
pengembang
untuk
kontinuitas
layanan,
para
pengembang masih kesulitan dalam
mengembangkan usahanya.
Berdasarkan data-data tersebut
dapat disimpulkan bahwa Indonesia
memiliki potensi yang sangat baik
dalam bidang industri perangkat
lunak, kesempatan yang baik ini
dapat dijadikan sebagai motivasi
untuk
menumbuhkembangkan
semangat pengembangan perangkat
lunak lokal di Indonesia. Potensi ini
juga harus diimbangi dengan
strategi-strategi yang tepat agar
industri perangkat lunak ini dapat
dijadikan sebagai industri unggulan,
dan diharapkan dapat merebut pasar
internasional.

3.3 Dukungan Akademisi dan
Litbang di Bidang Perangkat
Lunak
Industri Perangkat Lunak di
Indonesia memiliki prospek untuk
membentuk lapangan kerja tingkat
tinggi, menghemat devisa negara
dengan
penggunaan
produk
perangkat lunak lokal, menghasilkan
devisa dari ekspor, meningkatkan
efisiensi kerja organisasi baik
pemerintah maupun swasta, serta
meningkatkan kualitas layanan.
Sejumlah negara seperti Singapura,
Malaysia, dan India bahkan sudah
menjadikan industri perangkat lunak
sebagai andalan survival mereka
dalam menghadapi masa depan.
Industri perangkat lunak tidak
memerlukan pasokan sumber daya
alam, tidak mencemari lingkungan,
tidak memerlukan kawasan usaha
yang luas atau tertentu, memiliki
nilai jual produk yang tinggi dan
masa jual yang relative lama.
Dengan berbagai kelebihan
yang dimiliki oleh industri perangkat
lunak, maka untuk mendukung
perkembangan industri perangkat
lunak
dukungan
SDM
yang
berkualitas sangat dibutuhkan. Untuk
mendapatkan SDM yang berkualitas
maka peran dari litbang dan
akademisi (perguruan tinggi dan
sekolah kejuruan) sangat penting.
Selain dihasilkannya SDM yang
berkualitas, litbang dan perguruan
tinggi juga dapat mendukung dalam
hal
riset
dan
pengembangan
teknologi yang terkait dengan
perangkat lunak.
Kondisi yang terjadi saat ini
jumlah SDM yang dibutuhkan dalam

bidang perangkat lunak masih sangat
sedikit. Sebagaimana terlihat pada
tabel 2, target ekspor sebesar U$ 30
miliyar dimana untuk mencapai
target tersebut menuntut tersedianya
tenaga kerja hampir sebesar 2,5 juta.
Tenaga kerja ahli/unggul (yakni
berproduktivitas setiap tahun lebih
dari $ 20,000 per orang) diperkirakan
lebih dari 600,000 orang, khusus
untuk bidang elektronika saja.
Tuntutan ini cukup sukar dipenuhi.
Sebagai gambaran seluruh lulusan S1
kedua program studi Teknik Elektro
dan Informatika Institut Teknologi
Bandung (ITB) pertahun hanya
sekitar 250 orang. Dalam sepuluh
tahun,
kedua
program
studi
terkemuka ini hanya akan memasok
2500 sarjana, atau 0.41% dari
kebutuhan tahun 2010. Jelas
diperlukan program pencetak tenaga
unggul di bidang elektronika ini
secara masif.

Lainnya
Total

SDM

8.200

350.000

23.000

Modul
Komponen

8.000

1.000.000

8.000

Semikonduktor

4.000

80.000

50.000

Elektronika
Konsumer

4.000

660.000

6.000

Telekomunikasi

1.800

40.000

45.000

Alat Rumah
Tangga

1.500

187.500

8.000

2.417.500



Untuk menjamin kualitas SDM,
spesifikasi-spesifikasi
SDM
yang hendak dikembangkan
harus
ditentukan
oleh
kecenderungan
(trend)
kebutuhan industri IT agar tetap
kompetitif
secara
global.
Penekanan pembinaan SDM
ditujukan pada dua jalur, yaitu
tenaga kerja inovatif (yang padat
pengetahuan) dan tenaga kerja
efisien (yang bersertifikasi).



Untuk
menjamin
aspek
kuantitas, pembinaan SDM
harus memanfaatkan teknologi
IT sejak dini. Keharusan SDM
untuk melek IT (menggunakan
aplikasi komputer, memrogram
komputer,
dan
mengakses
Internet berbahasa Inggris)
dibuat setara dengan keharusan
melek
baca-tulis.
Materi

Produk
tivitas
($/o)

Teknologi
Informasi

30.000

25.000

Dari uraian di atas jelaslah
bahwa akan terjadi krisis SDM di
bidang elektronika, khususnya IT,
apabila Indonesia masih ingin untuk
menggenjot ekspor melalui industri
elektronika
(khususnya
IT),
dibutuhkan strategi untuk mengatasi
krisis SDM ini, diantaranya adalah :

Target Tahun 2010
Ekspor
(j$)

100.000

Tabel 2 juga mengisyaratkan
cukup besarnya kebutuhan tenaga
semi ahli (semi-expert), tenaga
trampil (skilled workers), dan tenaga
tidak-trampil (non-skilled workers)
di bidang ini. Saat ini di Indonesia
belum ditemukan studi mengenai
kecenderungan komposisi tenaga
kerja pada sektor-sektor industri di
atas.

Tabel 2. Perkiraan
Kebutuhan SDM dan
Produktivitasnya

Sektor

2.500

pendidikan berkualitas tinggi
harus dibentuk dalam format IT
dan disebarkan ke seluruh
Indonesia dengan murah atau
bahkan gratis.
Untuk dapat menerapkan
strategi-strategi tersebut dibutuhkan
dukungan dari perguruan tinggi dan
sekolah menengah kejuruan dalam
mencetak SDM di bidang IT yang
berkualitas dan memiliki kompetensi
yang sesuai dengan kebutuhan
industri. Kementerian pendidikan
nasional, dimana dalam hal ini yang
berperan langsung adalah Dirjen
Pendidikan Tinggi juga memiliki
peranan yang penting dalam hal
penetapan kurikulum di bidang
Informasi Teknologi.
A. Lembaga Pendidikan Formal
Bidang Perangkat Lunak
1.

SMK Informatika

Dalam
analisis
proyeksi
pengembangan SMK ada tiga
kemungkinan yang dapat terjadi
yaitu program keahlian yang akan
mengalami perkembangan yang
sangat pesat, program keahlian yang
mengalami perkembangan wajar
(stabil), dan program keahlian yang
akan mengalami kejenuhan. Jika
dikelompokkan ke dalam tiga
kategori tersebut, maka program
keahlian teknologi informasi berada
dalam kategori akan mengalami
perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan SMK bidang
teknologi informasi sejalan dengan
perkembangan industri perangkat
lunak
yang
demikian
cepat.
Perkembangan ini harus didukung
oleh tersedianya sumber daya
manusia Indonesia yang kompetitif,

sehingga lahan yang potensial ini
tidak dipenuhi oleh tenaga kerja
asing yang sudah terlalu banyak
merambah di Indonesia. Terjun di
bidang industri perangkat lunak
merupakan profesi baru yang sedang
dibutuhkan pada saat sekarang dan
yang akan datang. Imajinasi yang
kuat diperlukan di bidang ini untuk
dapat
membayangkan,
melihat
potensi, menciptakan apa yang tidak
terbayangkan oleh kebanyakan orang
saat ini.
Untuk
dapat
mendukung
ketersediaan sumber daya manusia
yang memiliki kompetensi di bidang
Teknologi Informasi khususnya
bidang perangkat lunak beberapa
sekolah menengah kejuruan (SMK)
telah memulai dengan program
Teknologi Informasi, yang dikenal
dengan istilah SMK-TI. Pada tahun
2001 ada 24 SMK yang telah
menyelenggarakan
kurikulum
Teknologi Informasi secara tandem,
yaitu memberikan materi khusus
untuk Teknologi Informasi pada
kelas 3 atau kelas 4. Pada tahun 2002
telah ada beberapa SMK yang
mencoba menjalankan kurikulum
Teknologi Informasi dari tahun
pertama.
Menurut data yang dikeluarkan
oleh Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan (DitPSMK)
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan, saat ini jumlah SMK di
bidang TIK yang ada di Indonesia
berjumlah 780
sekolah, baik
berstatus sekolah negeri maupun
sekolah swasta. Provinsi terbanyak
yang memiliki SMK di bidang TIK
adalah provinsi Jawa Barat, dengan
jumlah 273. Provinsi kedua setelah

Jawa Barat adalah Jawa Timur, yaitu
dengan jumlah 125 SMK TIK.
Selanjutnya
provinsi
terbanyak
ketiga adalah Jawa Tengah dengan
jumlah SMK TIK sebanyak 101. Hal
ini menunjukkan secara statistik
jumlah
SDM
yang
memiliki
kompetensi di bidang TIK banyak
terdapat pulau Jawa, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pulau jawa
merupakan daerah potensial untuk
pengembangan
industri
TIK
khususnya industri perangkat lunak.

Tabel 3. Data Jumlah SMK Bidang
TIK di Indonesia
No

Provinsi

2

Bali

9

3

Banten

4

Bengkulu

1

5

DI Yogyakarta

7

6

Gorontalo

7

7

Jakarta

8

8

Jambi

1

9

Jawa Barat

273

10

Jawa Tengah

101

11

Jawa Timur

125

12

Kalimantan Barat

9

13

Kalimantan Selatan

7

14

Kalimantan Tengah

3

15

Kalimantan Timur

9

16

Lampung

4

17

Maluku

1

18

Maluku Utara

4

19

Nusa Tenggara
Barat

14

Papua

3

22

Riau

28

23

Sulawesi Barat

24

Sulawesi Selatan

22

25

Sulawesi Tengah

10

26

Sulawesi Tenggara

2

27

Sulawesi Utara

4

28

Sumatera Barat

10

29

Sumatera Selatan

30

Sumatera Utara

1

6
62
780

300

100

10

21

Sumber : DitPSMK

250

Aceh

8

Total

Jumlah
SMK

1

Nusa Tenggara
Timur

200
150
50
0

31

Aceh
Bengkulu
Jakarta
Jawa Tengah
Kalimant an Selat an
Lam pung
Nusa Tenggara…
Riau
Sulawesi Tengah
Sumat era Barat

Data-data statistik terkait dengan
SMK TIK dapat dilihat pada tabel 4
dan gambar 3 sebagai berikut :

20

Series1

Gambar 3. Grafik Jumlah SMK
Bidang TIK di Indonesia
2.

Perguruan Tinggi Bidang TIK

Sebenanya sejak tahun 1990
Indonesia tidak tinggal diam dalam
menghadapi kelangkaan SDM TI ini.
Hal ini dibuktikan dengan tumbuh
suburnya
berbagai
lembaga
pendidikan baik formal maupun non
formal, mulai dari LPK, Training
Center,
SMKTI,
Akademi,
Politeknik sampai dengan Perguruan
Tinggi baik Negeri maupun swasta.
Jurusannya pun beraneka ragam,
mulai dari Teknik Informasi, Sistem

Informasi, Managemen Informasi,
Ilmu Komputer, dan sebagainya.
Lulusan tenaga TI ini secara umum
menghasilkan Sumberdaya Manusia
yang terampil menggunakan produk
Teknologi Informasi atau IT user dan
Sumberdaya Manusia yang terampil
menghasilkan produk Teknologi
Informasi atau IT producer.
Sampai saat ini tidak kurang dari
200 perguruan tinggi (PT) baik
negeri maupun swasta di Indonesia
yang memiliki program studi terkait
dengan TI untuk jenjang pendidikan
sarjana, magister, dan doktoral.
Sekitar 300 lainnya untuk jenjang
Diploma III dan Diploma IV, yang
keseluruhannya
menghasilkan
kurang lebih 25,000 lulusan setiap
tahunnya.
Kalangan pengamat industri
menilai bahwa jumlah itu sangat jauh
dari kebutuhan industri yang
sebenarnya, yang mencapai sekitar
500,000 lulusan bidang Teknologi
Informasi setiap tahunnya. Bahkan
diperkirakan untuk tahun 2020
jumlah lulusan perguruan tinggi di
Indonesia sekitar 6 juta orang per
tahun dengan asumsi sekitar 7%
mahasiswanya mengambil disiplin
TI. Dalam kategori PBB, lulusan
yang dihasilkan nantinya dapat
dibagi dalam dua golongan, yakni IT
Workers, yang secara langsung
terkait dengan keahlian TI. Sedang
IT-enabled Worker, yang lebih
sebagai pengguna TI sesuai dengan
bidang-bidang keahliannya, misalnya
ekonomi, manajemen, kedokteran,
akuntansi, sastra, hukum, dan
sebagainya.

Menurut data yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Ditjen Dikti) terkait jumlah
program
studi,
memberikan
informasi jumlah dua program studi
teratas pada kelompok bidang ilmu
teknik yang paling banyak adalah
program studi teknik informatika dan
teknik sipil. Data tersebut dapat
dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Program studi
dalam kelompok teknik, ilmu
ekonomi, dan kesehatan yang
dikelola oleh seluruh perguruan
tinggi di lingkungan Ditjen Dikti
untuk semua jenjang pendidikan
tahun 2008-2

Sumber : Ditjen Dikti

Perguruan
tinggi
yang
menghasilkan sarjana di bidang
Teknologi Informasi sebenarnya
sudah banyak, namun kualitas
lulusannya belum bisa dikatakan
memadai. Dalam suatu diskusi
dengan seorang pelaku bisnis
software
terkemuka,
perguruan
tinggi di Indonesia umumnya
menghasilkan programmer akan
tetapi belum mampu menghasilkan

software engineer, dan dapat
dipastikan tidak lebih dari 2
perguruan tinggi saja yang mampu
menghasilkan software engineer.
Untuk itu, bagi sebagian besar
perguruan tinggi perlu bebenah agar
mampu
menghasilkan
lulusan
dengan kualitas software engineer.
Bangsa Indonesia masih lebih
menjunjung gelar dibandingkan
kemampuan, oleh karena itu
pemikiran seperti ini harus mulai
ditinggalkan, karena gelar bukanlah
segalanya, tetapi kemampuan lebih
bermanfaat dan utama daripada gelar
tersebut.
Walaupun
volume
lulusan
pendidikan formal seperti Diploma
II, Diploma III, Sarjana (S1), dan
Magister (S2) sudah cukup besar,
namun kita masih membutuhkan
banyak Sumberdaya Manusia yang
handal dan professional. Namun
lulusan IT di Indonesia masih jauh
dari yang diharapkan untuk bersaing
dengan tenaga IT lulusan luar, maka
sangat diperlukan pendidikan yang
sifatnya lebih professional. Karena
dalam dunia TI yang diperlukan
bukan gelar kesarjanaannya saja,
melainkan kemampuan atau skill.
B. Lembaga Litbang di Bidang
TIK
Secara umum, produktivitas
ilmiah akademisi/ peneliti Indonesia
masih tergolong rendah, baik jika
diukur berdasarkan jumlah publikasi
pada jurnal ilmiah maupun jika
digunakan
indikator
akademik
lainnya. Jika dibandingkan dengan
produktivitas ilmiah negara-negara
Asia Tenggara (ASEAN) lainnya,
maka produktivitas pengembang

iptek Indonesia masih belum
membanggakan (Gambar 4). Jauh
tertinggal dibandingkan Singapura,
Malaysia, dan Thailand; relatif setara
dengan Vietnam, Filipina dan
Brunei;
hanya
lebih
baik
dibandingkan
dengan
Laos,
Kambodia, Myanmar, dan Timor
Leste.
Perkembangan
produktivitas
akademik negara-negara ASEAN
sejak tahun 2000 menarik untuk
disimak. Singapura sejak tahun 2000
memang telah jauh lebih produktif
dibandingkan
seluruh
negara
ASEAN lainnya. Namun selama
dasawarsa terakhir, terlihat bahwa
Thailand secara bertahap dan
konsisten
meningkat
pesat,
memperkecil kesenjangannya dengan
Singapura;
dan
yang
lebih
mengesankan adalah capaian yang
ditunjukkan oleh Malaysia yang
selama kurun waktu yang sama
menunjukkan
pertumbuhan
eksponensial
dan
berdasarkan
kecenderungan
tersebut
akan
melampaui Singapura pada tahun ini
atau paling lambat tahun 2013
mendatang. Ketiga negara ini
menjadi kelompok paling produktif
di ASEAN. Sementara itu, Indonesia,
Vietnam, dan Filipina mengalami
pertumbuhan yang lamban sehingga
pada tahun ini diyakini Brunei akan
masuk dalam kelompok menengah
ini . Empat negara lainnya yang tidak
menunjukkan perkembangan yang
berarti adalah Laos, Kambodia,
Myanmar, dan Timor Leste.

Gambar 4. Publikasi artikel
ilmiah negara ASEAN, 2002 – 2011
(Lakitan et. Al., 2002)
Kondisi litbang dan perguruan
tinggi saat ini masih belum positif,
karena dianggap belum mampu
memberikan kontribusi yang nyata
dan signifikan terhadap upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan memajukan peradaban bangsa.
Kenyataan ini terkait dengan isu
yang sangat fundamental, yakni
orientasi riset yang dilakukan baik di
lingkungan. Kenyataan ini terkait
dengan isu yang sangat fundamental,
yakni orientasi riset yang dilakukan
baik di lingkungan.
Jika dilihat dari anggaran
belanja TIK pemerintah pusat, pada
tahun anggaran 2009, realisasi
belanja pemerintah pusat untuk TIK
adalah Rp. 10,8 triliun, yang meliputi
belanja barang Rp. 4,35 triliun
(40,25%), Belanja Modal Rp. 5,63
triliun
(52,10%),
Belanja
Pembayaran Bunga Utang Rp.
190,87 juta, Belanja Bantuan Sosial
Rp. 25,1 miliar (0,2%), dan Belanja
Lain-lain
Rp. 801,52
miliar.
Sementara itu, realisasi Belanja
APBN TA 2009 untuk kelima jenis
belanja tersebut sebesar Rp. 362,46
triliun.

Gambar 5. Proporsi Belanja TIK
Dalam Belanja APBN 2009
Dari data-data indikator TIK
seperti yang telah disajikan pada
gambar 5 diatas dapat disimpulkan
bahwa kontribusi pemerintah pusat
terhadap sektor TIK masih rendah,
hal ini dapat dilihat dari total
anggaran yang dibelanjakan pada
sektor TIK hanya sebesar 1,12%.
Namun total belanja TIK tersebut
juga masih terbagi menjadi beberapa
komponen mata anggaran, yang
terbesar adalah pada komponen
belanja modal, yaitu sebesar 52,10%.
Sementara untuk kegiatan riset pada
sektor TIK berada pada komponen
belanja lain-lain, yaitu sebesar
7,41%. Sementara untuk dana CSR
di sektor TIK sebesar 0,25%.
Selanjutnya diantara Lembaga
Pemerintah Pusat pelaksana kegiatan
pembangunan TA 2009 (Gambar
3.4), Kementerian ESDM dan
Kementerian Keuangan merupakan
lembaga Pemerintah Pusat dengan
Belanja TIK terbesar, yaitu Rp. 3,11
triliun (28,80% dari Belanja TIK
Pemerintah Pusat), dan Rp. 795
miliar
(7,35%).
Kementerian
Informasi dan Komunikasi dan KN
Ristek membelanjakan TIK Rp.
427,64 miliar (3,96%), dan Rp. 51,60

miliar (0,48%) dari Belanja TIK
Pemerintah Pusat.

Gambar 6. Belanja TIK Beberapa
Lembaga Pemerintah Pusat
Jika mengerucut kepada LPND
di bawah koordinasi Kementerian
Negara Riset dan Teknologi (KNRT)
merealisasikan
anggaran
(tidak
termasuk dalam realisasi anggaran
KN Ristek sendiri, Gambar 3.5) Rp.
152,38 miliar untuk TIK. Di
antaranya, BPPT membelanjakan Rp.
48,13 miliar (31,59% dari Total
Belanja TIK LPND RISTEK) untuk
TIK,
BAKOSURTANAL
membelanjakan Rp. 38,79 miliar
(25,46%) untuk TIK, LAPAN
membelanjakan Rp. 38,16 miliar
(25,04%) untuk TIK, sedangkan LIPI
membelanjakan Rp. 24,26 miliar
(15,92%) untuk TIK.

Gambar 7. Belanja TIK LPNK
Ristek
Salah satu contoh lembaga
litbang pemerintah yang saat ini
dianggap cukup banyak memberikan
kontribusi terhadap perkembangan
TIK adalah Pusat
Teknologi
Informasi dan Komunikasi (PTIK),
yaitu salah satu direktorat yang
berada di bawah instansi Badan
Pengkajian
dan
Penerapan
Tekonologi (BPPT). Telah banyak
produk-produk software engineering
yang dihasilkan oleh PTIK-BPPT,
diantaranya adalah e-KTP, perisalah,
e-Voting, teknologi cloud computing
dan lain sebagainya. Produk-produk
tersebut telah dilakukan produksi
massal dan telah dimanfaatkan
secara luas oleh masyarakat.
Perkembangan lembaga litbang
di bidang TIK saat ini sudah cukup
baik, hanya saja perlu pengembangan
lebih lanjut, dimana hasil penelitian
yang dilakukan tidak hanya sampai
pada prototipe, tetapi diharapkan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pemanfaatan sektor TIK memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap
perekonomian,
dimana
1%
pemanfaatan
TIK
mampu
berkontribusi sebesar 3% terhadap
perekonomian nasional. Selain itu
perlu adanya perubahan pola pikir,
dimana selama ini lembaga litbang
hanya berfokus pada hasil penelitian,
tetapi tidak dikembangan dari sisi
bisnisnya. Oleh sebab itu sangat
diperlukan perubahan mindset dari
R&D (Research and Development)
menjadi R&BD (Research and
Business Development) dimana
produk riset yang dihasilkan dapat
dikomersialisasikan.

3.4 Dukungan
Pemerintahan Pada
Perangkat Lunak

Sistem
Sektor

Saat ini pemerintah telah
memiliki paradigma baru tentang
bagaimana menyediakan sarana yang
paling kondusif untuk perkembangan
industri
telematika
khususnya
industri perangkat lunak.
Kebijakan adalah hal yang
paling mendasar yang bisa dilakukan
oleh pemerintah untuk mengatur halhal
yang
menjadi
parameter
keberhasilan industri telematika yang
antara lain meliputi iklim usaha,
standarisasi,
daya
saing
dan
kompetensi.






Iklim
Usaha
:
Untuk
menciptakan iklim usaha yang
kondusif
dibidang
industri
telematika
pemerintah
mengeluarkan kebijakan publik
yang mengatur tentang 3 hal
yaitu: moneter, fiskal dan
administratif.
Standarisasi : Setelah kebijakan
yang mengatur tiga hal tersebut
dan iklim usaha menjadi
kondusif maka perlu diatur juga
masalah
standarisasi
agar
memudahkan pergerakan antar
layanan
dalam
industri
telematika sekaligus melindungi
pasar dalam negeri dari serbuan
asing.
Daya Saing : Sebaik apapun
proteksi dalam negeri dilakukan
kalau
daya
saing
tidak
ditingkatkan maka proteksi
tersebut tidak akan efektif.
Karena itu daya saing industri
telematika dalam negeri harus
ditingkatkan.
Peranan



pemerintah masih menjadi faktor
penting dalam menciptakan
lingkungan dimana industri
telematika dalam negeri dapat
memperoleh
keunggulan
kompetitif.
Klaster dan Kompetensi :
Daya saing dapat dibangun
dengan sistem cluster untuk bisa
mencapai
fokus
pada
kompetensi inti. Jadi dibanding
memiliki sebuah perusahaan
besar yang punya kompetensi
pada banyak bidang lebih baik
memiliki perusahaan perusahaan
yeng
lebih
kecil dengan
kompetensi inti masing masing.
Kemudian
perusahaan
perusahaan itu
membentuk
cluster untuk meningkatkan daya
saing. Sistem cluster hanya bisa
efektif jika diatur oleh standar
dan tentu saja dalam iklim usaha
yang kondusif.

Selain
beberapa
kebijakan
tersebut, pemerintah juga telah
memberikan kontribusi terhadap
perkembangan sektor TIK nasional.
Salah satu kebijakan yang telah
dikeluarkan
untuk
mendukung
perkembangan TIK nasional adalah
pembentukan DETIKNas (Dewan
TIK Nasional). Tugas utama dari
DETIKNas adalah merumuskan
kebijakan umum dan arahan strategis
pembangunan nasional, melalui
pendayagunaan teknologi informasi
dan komunikasi. Sehingga dengan
adanya
dewan
TIK
nasional
diharapkan TIK menjadi prioritas
nasional yang bersifat strategis dan
menjadi
kunci
utama
dalam
pemanfaatan TIK secara nasional.

Kebijakan lain
yang telah
dikeluarkan
pemerintah
dalam
mendukung perkembangan TIK
nasional adalah Jastranas IPTEK
2009 – 2014. Dalam Jakstranas
IPTEK 2009 – 2014 tercantum
arahan kebijakan pembangunan
nasional IPTEK, dimana prioritas
utama dan fokus pembangunan
IPTEK terbagi menjadi 7 bidang
prioritas, salah satunya adalah bidang
teknologi informasi dan komunikasi.

industri
yang
effektif
untuk
menghemat bahkan menghasilkan
devisa
bagi
negara.
Dalam
manajemen pemerintahan maupun
perusahaan
umum
lainnya,
perkembangan industri perangkat
lunak akan membantu meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kerja dan
sebaliknya.

Secara detail pengembangan
bidang prioritas TIK yang tercantum
Jakstranas IPTEK 2009 – 2014
bertujuan
untuk
mengurangi
kesenjangan informasi, mengurangi
pembajakan
Hak
Kekayaan
Intelektual, dan mengurangi belanja
teknologi impor, yang meliputi :
telekomunikasi
berbasis
IP,
penyiaran
multimedia
berbasis
digital, aplikasi perangkat lunak
berbasis open source, telekomunikasi
murah
untuk
desa
terpencil,
teknologi digital untuk industri
kreatif, dan infrastruktur informasi.

Industri software Indonesia, jika
kita gambarkan dalam bentuk kurva
maka kurva yang terbentuk adalah
kurva lurus. Meskipun begitu
pertumbuhan pelaku industri ini
mencapai
kisaran
11-12%
dibandingkan tahun 2010. Stagnasi
tersebut tidak terlepas dari beberapa
faktor yang mempengaruhi, berikut
ini beberapa faktor yang dihimpun
dari berbagai sumber yaitu :

Kebijakan lain yang dianggap
penting
dalam
meningkatkan
perkembangan industri TIK adalah
perlunya
dukungan
pemerintah
terhadap merek TI lokal, promosi
dan investasi industri TI. Kebijakan
ini diharapkan dapat memberikan
subsidi investasi, kredit pajak, pasar,
dan aspek makro.
Dengan iklim usaha yang
didukung
sepenuhnya
oleh
pemerintah, industri perangkat lunak
di Indonesia dapat berkembang
dengan baik. Industri ini selain akan
menjadi satu solusi terhadap masalah
ketenagakerjaan, juga bisa menjadi

3.5 Tantangan
Perkembangan
Lunak



Dalam
Perangkat

Pembajakan
Berdasarkan
Direktur
Pemasaran
BSA
(Bussines Software Alliance)
mengatakan sebanyak 84 dari
100 komputer diperkirakan
software bajakan. Hal ini tidak
terlepas
dari
rendahnya
kesadaran
masyarakat
menggunakan software asli dan
kian
canggihnya
teknologi
informasi.
Kondisi
ini
menempatkan Indonesia dalam
urutan ke 12 dari 20 negara
dengan pembajakan software
tertinggi di dunia. Perwakilan
BSA Indonesia mengatakan
pembajakan
telah
mengakibatkan banyak kerugian
negara, terutama dari sektor
penerimaan
pajak
dan





penyerapan tenaga kerja. Jika
dalam 4 tahun mendatang
Indonesia bisa menurunkan
tingkat pembajakan hingga 10
persen, maka diperkirakan akan
mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 2.200 orang dengan
keahlian
tinggi.
Namun
demikian, trend pembajakan di
Indonesia mengalami penurunan
dari tahun ke tahun. Pada tahun
2003 sebesar 88% menjadi 87%
pada 2004. Berlanjut sebesar
87% pada 2005, 85% pada 2006,
dan turun menjadi 84% pada
2007. Meski telah turun menjadi
84% pada tahun 2007, namun
kerugian yang dialami masih
tinggi, yakni sebesar 411 US
Dolar atau sekitar Rp 3,8 trilliun.
Melihat data-data diatas tentu
akan membuat para developer
lokal akan berpikir berulangulang ketika membuat sebuah
aplikasi. Tentu saja jika hal ini
terus menerus terjadi dan tidak
ada sinergi dari berbagai pihak
yang memiliki kepentingan
maka dapat mematikan industri
software lokal.
Keterbatasan pengetahuan dalam
software development. Kurang
pengetahuan tentang standard
methodology sehingga begitu
software diukur dari seluruh
proses Software Development
Life Cycle (SDLC)nya, kalah
bersaing. Padahal pengetahuan
ini sangat berguna agar produk
aplikasi yang dibuat dapat
dikembangkan lebih lanjut.
Kurangnya ide dalam produk
dan inovasi. Ini berhubungan
juga dengan kurangnya sarana
(pipa) penghubung dengan pihak



yang membutuhkan software.
Kebutuhan mungkin ada, tapi
antara yang membutuhkan dan
mengembangkan tidak bertemu.
Perusahaan asing kebanyakan
memiliki expert khusus untuk
membaca kebutuhan pasar dan
bergerak mencari pasar, serta
membuat pipa koneksi bagi
pihak yang membutuhkan dan
pihak yang mengembangkan
Kurangnya
keterlibatan
pemerintah untuk melindungi
pengembang software lokal.
Diperlukan
proteksi
yang
“cantik” dan tidak vulgar
terhadap industri software lokal.
Kita mungkin perlu mencontoh
Jepang, bagaimana kemampuan
mereka mendukung software
lokal office (Ichitaro) sehingga
secara defacto menguasai pasar
aplikasi office di sana, juga
sistem operasi (OS) lokal
bernama TRON yang kemudian
banyak
digunakan
untuk
peralatan gadget (HP, PDA)
produksi Jepang.

Keterbatasan modal usaha. Ini
berhubungan dengan perusahaan
software rata-rata tidak bankable,
banyak yang berumur muda, tidak
memiliki aset nyata yang bisa
digunakan sebagai agunan pinjaman
ke bank. Akhirnya dalam proyekproyek besar, software house kita
banyak bertumbangan karena banyak
proyek yang berbasis ke kualifikasi
perusahaan.
4.

KESIMPULAN

Sebagai salah satu dari ke-14
sub sektor industri kreatif, perangkat
lunak merupakan salah satu sektor

industri kreatif yang cukup potensial.
Hal ini dibuktikan dengan kontribusi
yang diberikan oleh sektor ini
terhadap PBD tahunan periode 2002
– 2006 sebesar 10,60%. Nilai
pertumbuhan PDB ini berada di atas
pertumbuhan
PDB
nasional.
Sedangkan
pada
tahun
2006
pertumbuhan sektor perangkat lunak
berada pada angka 7,54% yaitu
diatas PDB nasional.
Dari sisi penyerapan tenaga
kerja, sektor perangkat lunak juga
memiliki porsentase pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja di atas ratarata pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja nasional, yaitu berada pada
angka 31,40%. Hal ini diharapkan
dapat berdampak terhadap penurunan
tingkat pengangguran di Indonesia.
Untuk
dapat
menunjang
pengembangan industri perangkat
lunak
dalam
mendukung
perkembangan ekonomi kreatif di
Indonesia, dibutuhkan visi dan
strategi yang harus dilakukan untuk
dapat mencapai target yang telah
ditentukan. Visi dan strategi tersebut
dilakukan untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang muncul terkait
dengan
pengembangan
sektor
perangkat
lunak.
Beberapa
permasalah yang paling banyak
muncul dan dapat menjadi kendala
utama
yang
dihadapi
dalam
pengembangan industri perangkat
lunak adalah terkait masalah
pembajakan. Pembajakan perangkat
lunak inilah yang merupakan
ancaman utama bagi pertumbuhan
perangkat lunak di baik di Indonesia
maupun di negara dimana perangkat
lunak itu dibuat.

Menekan
sekecil
mungkin
terjadinya pembajakan haruslah
dilakukan secara serius, karena jika
hal ini tidak segera diantisipasi
dampaknya akan buruk terhadap
perekonomian dan bisnis. Salah satu
pengaruh terhadap perekonomian
adalah dengan tidak berkembangnya
industri lokal, serta hilangnya pajak
yang semestinya dikenakan ataupun
tersendatnya investasi asing di
Indonesia. Sedangkan dari sisi
bisnisnya,
akan
menyebabkan
potensi bisnis yang ilegal terus
bertumbuh, sementara yang legal
terhenti. Oleh sebab itu, langkahlangkah
guna
menyadarkan
masyarakat
akan
pentingnya
menggunakan perangkat lunak yang
asli sangatlah penting dan perlu lebih
digalakkan lagi.
Disamping masalah pembajakan,
pemerintah masih harus menghadapi
kenyataan
bahwa
pemakaian
perangkat lunak yang ada di
Indonesia sampai saat ini masih
didominasi oleh produk buatan luar
negeri.
Meskipun
harganya
terkadang jauh lebih mahal dari
produk dalam negeri, namun tetap
mereka lebih suka memakai produk
perangkat lunak dari luar negeri.
Banyaknya pengguna yang hanya
percaya pada produk luar negeri,
bahkan para produsen luar negeri
pun sudah mulai menurunkan harga
sehingga hampir sama dengan
produk
dalam
negeri,
harus
dipandang sebagai ancaman serius
bagi perkembangan perangkat lunak
di Indonesia. Untuk mengatasi
masalah tersebut perlu dicanangkan
program-program dan promosi yang
terus menerus untuk mengubah

persepsi
masyarakat
bahwa
perangkat lunak Indonesia tidaklah
kalah bila dibandingkan dengan
produk luar negeri. Pada saat ya