DIII TEKNIK TEKSTIL LAPORAN PRAKTIKUM PE

PENGUJIAN KETIDAKRATAAN BENANG PENGUJIAN NOMOR BENANG PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PERHELAI PENGUJIAN TPI PENGUJIAN KEKUATAN TARIK DAN MULUR KAIN PENGUJIAN KEKUATAN SOBEK KAIN PENGUJIAN KEKUATAN JEBOL KAIN RAJUT (CARA DIAFRAGMA)

PENGUJIAN KEKUATAN JAHIT PENGUJIAN SLIP JAHITAN PENGUJIAN TAHAN GOSOK PENGUJIAN KEKAKUAN KAIN PENGUJIAN DRAPE KAIN (KELANGSAIAN KAIN) PENGUJIAN KEMAMPUAN KAIN KEMBALI DARI KUSUT PENGUJIAN DAYA TEMBUS UDARA PADA KAIN

DISUSUN OLEH :

NAMA

: RIZKI PURWANING WULAN

: TOTONG, AT.,T.T

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TEKSTIL BANDUNG 2014

BAB I UJI KETIDAKRATAAN BENANG

I. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui ketidakrataan suatu benang dengan menggunkan alat U Tester, selain itu untuk mengetahui grade benang kapas dengan cara membandingkan dengan benang kapas standar

II. TEORI DASAR

Kerataan benang merupakan faktor yang amat penting dalam mutu benang, karena itu pada perusahaan-perusahaan pemintalan yang moderen selalu akan menempatkan pengujian kerataan setarap dengan pengujian-pengujian lain yang sangat penting.

Beberapa macam alat dapat dipakai untuk mengukur kerataan benang. Diantaranya adalah alat-alat buatan Zellweger Uster, Brush dan Fielden Walker, semuanya menggunakan sistem capasitance, sedang lainnya pacific tester dan saco Lowell menggunakan sistem mekanik.

Dari macam-macam alat tersebut, alat Uster Evenness Tester paling populer sekarang ini terutama untuk pengukuran-pengukuran kerataan hasil-hasil proses dalam pemintalan kapas tau serat staple sintetis.

Pacific tester populer digunakan dalam pabrik-pabrik pemintalan wol yang memproses sliver, roving dan benang yang besar-besar.

Uster Evennes Tester

Uster Evenness Tester salah satu alat yangmenggunakan sistem capasitance, dibuat oleh Zellweger Company dikota Uster Switzerland. Alat ini terdiri dari :

1. Evenness Tester (GGP), merupakan alat induk yang dilengkapi dengan

2. Recorder (Reg GGP), untuk mencatat grafik ketidak rataan bahan

3. Integrator (ITG), yang mencatat harga-harga ketidak rataan U % atau CV %.

4. Spectrograph (SPG) dan recordernya (Reg. SPG), yang mencatat periodicity dari bahan yang diuji dan

5. Imperfection Indicator (IP), yang dapat mencatat banyaknya neps bagian benang yang tebal atau tipis setiap panjang tertentu.

III. ALAT DAN BAHAN

 Uster Evennes Tester  Imperfection Indicator

IV. LANGKAH KERJA Kalibrasi alat

1. panaskan alat selama ½ jam (30 menit) dengan urutan :  tekan tombol “ON” (main supply) pada eveness tester  tekan tombol “ON” (main supply) pada integrator  tekan tombol “ON” (main supply) pada imperfection indicator  tekan tombol “ON” (main supply) pada spectograph

2. setelah ½ jam (30 menit) dipanaskan lalu tekan :  tekan tombol “ON” (output) pada eveness tester  range of scale (3) pada posisi 100%

3. tekan tombol servis selector (4) pada posisi normal test

Menentukan ketidak rataan benang

1. tekan tombol range of scale (3) pada posisi eveness tester dan intergrator sesuai dengan ketentuan

2. pasang benang melalui penghantar benang, peraba sambungan, dan tention

3. pilih slot yang sesuai dengan no. benang (lihat tabel) dan lewatkan pada penghantar benang, rol penarik dan lilitkan pada penggulung benang.

4. atur kecepatan sesuai dengan yang ditentukan

5. lakukan penggulungan benang dengan menekan tombol “ON”

6. atur tombol average value hingga posisi jarum bergerak diantara 0% kemudian hentikan pengggulungan dengan mene kan tombol “OFF”

7. putar evaluating time pada integrator diposisi “NOL” tunggu hingga jarum U% mencapai angka nol (0)

8. secara bersamaan jalankan penggulung benang dan evaluating time baca skala U% sampai pada batas waktu yang ditentukan

Menentukan jumlah thin, thick, dan neps

1. tekan tombol output pada integrator

2. stel semua counter pada posisi nol dan range of scale pada eveness tester dan integrator diposisi 100%

3. putar evaluating time pada imnperfection indicator pada posisi 10 tunggu sampai lampu menyala

4. lakukan penggulungan benang

5. bila lampu indicator telah mati, hentikan penggulungan dan catat thin, thick, dan neps nya

Grade benang dan indeksnya Grade

Penilaian Index

A dan diatasnya 130

B + Exellent 120

B Very good 110

C + Good 100

C Fair

D + Poor

70 BG Below grade

D Very poor

V. DATA PERCOBAAN

tabel slot dan No. benang Menggunakan U Tester

Slot

No. benang(Ne 1 )

1 Menit 12 %

1 0,015-0,06

2 Menit 11,5 %

2 0,2-0,047

3 Menit 11 %

3 0,65-0,18

4 Menit 12,5 %

4 3,7-0,53

5 Menit 12 %

5 9-3,7

6 28-9

7 73-28

8 150-73

No. U%

(xi- 2 x )

x  11 , 8  3 1 ,

VI. PERHITUNGAN

SD = 

CV = SD  100% x

VII. DISKUSI

Pada praktikum ketidakrataan yeng menggunakan alat U Tesster ada beberapa kendala yang dihadapi oleh praktikan salah satunya pada awal penjalankan alatnya. Ada beberpa hal yang harus diperhatikan untuk menggunakan alat Uster Evenness antara lain :

1. Persiapan alat Persiapan alat, peneraan dan cara-cara pengujian praktikan haruslah menuruti buku petunjuk yang sesuai dengan model alatnya.

2. Pemilihan Slot Terdapat 8 buah slot pada condensor pengukur, praktikan harus bisa memilih slot yag sesuai

VIII. KESIMPULAN

Pada praktikum ketidak rataan dapat disimpulkan bahwa benang yang diuji memiliki Neps 18/1000 meter, benang ini memiliki benang yang tidak rata atau dalam kata lain Thin Places (tipis beneng) = 1, Thick Places (tebal benang) = 0. Ketidakrataan U % = 11,8 dan SD = 0,57 dan CV = 4,83%

BAB II UJI NOMOR BENANG

I. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dari pengujian penomoran benang ini antara lain :

1. Untuk mengetahui nomer benang yang diuji

2. Untuk mengetahui kehalusan benang dari nomer benang yang dihasilkan

II. TEORI DASAR

Dari pengujian nomer benang ini, dapat diketahui nomer banangnya dimana nomer benang tersebut dapat diketahui dari besar kecilnya diameter benang, kehalusan benangnya dan lain lain.

Telah dikenal beberapa sistem penomeran benang akan tetapi secara garis besar sistem penomeran benang dibagi menjadi dua yaitu :

Sistem Penomeran Langsung

Yaitu penomeran benang yang menyatakan berat benang setiap panjang tertentu (panjang tetap).

Yang termasuk sistem penomeran langsung antara lain :

a. Td atau Denier Menyatakan berat setiap panjang 9000 meter.

9000 xB ( gram )

Rumus : Td =

P ( meter )

b. Tex Menyatakan berat benang setiap panjang 1000 meter

1000 xB ( gram )

Rumus : Tex =

P ( meter )

A. Sistem Penomeran Tidak Langsung

Yaitu penomeran benang yang menyatakan panjang benang setiap berat tertentu (berat tetap).

Yang termasuk dalam sistem penomeran ini antara lain :

a. Ne 1 ( untuk kapas )

Menyatakan bahwa panjang benang dalam satuan Hank setiap berat satu Pound

P ( hank )

Rumus : Ne 1 =

B ( pound )

b. Sistem penomeran Woolen Cut ( Ne 2 )

Menyatakan bahwa berapa Hank panjang benang ( 1hank = 300 yard ) setiap berat 1 pound.

300 xP ( yard )

Rumus : Ne 2 =

B ( pound )

c. Sistem penomeran untuk Worsted ( Ne 3 )

Menyatakan bahwa berapa Hank panjang benang ( 1hank = 560 yard ) setiap berat 1 pound.

560 xP ( yard )

Rumus : Ne 3 =

B ( pound )

d. Sistem penomeran untuk Woolen ( Ne 4 )

Menyatakan bahwa berapa Hank panjang benang ( 1hank = 256 yard ) setiap berat 1 pound.

256 xP ( yard )

Rumus : Ne 4 =

B ( pound )

e. Sistem penmeran Metrik ( Nm ) Menyatakan bahwa berapa meter panjang benang setiap berat 1 gram. Biasanya

digunakan dalam benang benang hasil pintalan ( spin yarn )

P ( meter )

Rumus : Nm =

B ( gram )

Dalam pengujian nomer benang perlu memperhatikan faktor faktor yang berhubungan dengan ketegangan benang dan juga regain benang, karena akan mempengaruhi pengujian nomer benangnya. Pengukuran panjang biasanya dilakukan setiap panjang 120 yard ( 1 Lea ) dengan menggunakan kincir atau skein reel yang sekali putar dapat mengukur 1,5 yard. Untuk mengukur berat dipakai neraca Analitis.

III. ALAT DAN BAHAN

 Kincir / skein reel  Neraca Analitis dan Benang

IV. LANGKAH KERJA

Cara menjalankan alat penggulung benang ( Reeling Machine ) :

1. Pasang benang pada alat dengan melewatkannya pada lapet, tension dan ikatkan pada kincir.

2. Stel panjang gulungan yang diinginkan dengan menekan tombol angka yang tertera.

3. Naikkan posisi main switch untuk menghidupkan mesin

4. Tekan tombol starter untuk menjalankan mesin

5. Jka penggulungan benang telah selesai lepaskan benang dari kincir. Hasil gulungan sepanjang 120 yard tersebut kemudian ditimbang dalam neraca, dan catat beratnya.

Dari hasil panjang dan berat tersebut dapat dicari nomer benangnya.

V. DATA PERCOBAAN

No Panjang Panjang Berat

VI. PERHITUNGAN

Panjang benang

= 120 yard

Berat benang

= 3,2582 gram

1 hank

= 768 m

1 lbs

= 453,6 gram

120 yard

Panjang (hank)

x1 hank

840 yard = 0,143 hank

Berat (lbs)

x 1 lbs

453 , 6 = 0,007183 lbs

a. Berat

= 3,300 gram

Panjang 120 yard

= 109,73 m =0,143 hank

1 lbs

= 453,6 gram

Berat

x 1 lbs = 0,0072751

P ( meter ) P ( meter ) Nm

Nm

B ( gram )

B ( gram ) 109 , 73 109 , 73

= 33,251515 = 33,25 P ( hank )

Ne 1 = 0,59 x Nm Ne 1 =

B ( lbs ) = 0,59 x 33,25

1000 Tex = 1000 x

B ( gram )

Tex =

P ( meter ) Nm

3 , 300 1000 = 1000 x

B ( gram ) Td = 9 x Tex Td = 9000 x P ( meter )

= 9 x 30,07

3 , 300 = 9000 x

b. Berat

= 3,273 gram

Panjang 120 yard

= 109,73 m =0,143 hank

1 lbs

= 453,6 gram

Berat

x 1 lbs = 0,0071362

P ( meter ) P ( meter ) Nm

Nm

B ( gram )

B ( gram ) 109 , 73 109 , 73

= 33,8986725 = 33,89 P ( hank )

Ne 1 = 0,59 x Nm Ne 1 =

B ( lbs ) = 0,59 x 33,89

B ( gram ) 1000 Tex = 1000 x

Tex =

P ( meter ) Nm

3 , 237 1000 = 1000 x

B ( gram ) Td = 9 x Tex Td = 9000 x P ( meter )

= 9 x 29,50

3 , 237 = 9000 x

c. Berat

= 3,125 gram

Panjang 120 yard = 109,73 m =0,143 hank

1 lbs

= 453,6 gram

Berat

x 1 lbs = 0,0068893

P ( meter ) P ( meter ) Nm

Nm

B ( gram )

B ( gram ) 109 , 73 109 , 73

= 35,1136= 35,11 P ( hank )

Ne 1 = 0,59 x Nm Ne 1 =

B ( lbs ) = 0,59 x 35,11

B ( gram ) 1000 Tex = 1000 x

Tex =

P ( meter ) Nm

3 , 125 1000 = 1000 x

B ( gram ) Td = 9 x Tex Td = 9000 x P ( meter )

= 9 x 28,48

3 , 125 = 9000 x

d. Berat

= 3,476 gram

Panjang 120 yard

= 109,73 m =0,143 hank

1 lbs

= 453,6 gram

Berat

x 1 lbs = 0,0076631

P ( meter ) P ( meter ) Nm

Nm

B ( gram )

B ( gram ) 109 , 73 109 , 73

= 31,5678914= 31,56 P ( hank )

Ne 1 = 0,59 x Nm Ne 1 =

B ( lbs ) = 0,59 x 31,56

B ( gram ) 1000 Tex = 1000 x

Tex =

P ( meter ) Nm 3,476 1000

= 1000 x

B ( gram ) Td = 9 x Tex Td = 9000 x P ( meter )

e. Berat

= 3,153 gram

Panjang 120 yard

= 109,73 m =0,143 hank

1 lbs

= 453,6 gram

Berat

x 1 lbs = 0,0069511

P ( meter ) P ( meter ) Nm

Nm

B ( gram )

B ( gram ) 109 , 73 109 , 73

= 34,801776= 34,80 = 34,801776= 34,80 P ( hank )

Ne 1 = 0,59 x Nm Ne 1 =

B ( lbs ) = 0,59 x 34,80

B ( gram ) 1000 Tex = 1000 x

Tex =

P ( meter ) Nm 3,153 1000

= 1000 x

B ( gram )

Td = 9 x Tex

Td = 9000 x P ( meter )

= 9 x 28,53

3,153 = 9000 x

Untuk menghitung standar deviasi, cukup menggunakan data salah satu nomor benang saja, data

yang saya gunakan adalah Ne 1

Ne 1

(xi- 2 x ) (xi- x )

 SD = SD

 CV =

x 100 %

x 100 %

VII. DISKUSI

Pada waktu melakukan praktikum uji nomor benang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh praktikan, yaitu pada waktu melakukan penimbangan benang contoh uji dan pada waktu menggulung benang pada Reeling Machine harus dilakukan dengan hati hati, karena kesalahan sedikit saja akan mempengaruhi hasil akhir dari pengujian tersebut, yaitu akan melenceng dari standar baku nomor benang contoh uji tersebut.

VIII.KESIMPULAN

Dari hasil pengujian yang telah praktikan kerjakan, maka dapat disimpulkan bahwa : Nm rata-rata

= 33,72

Ne 1 rata-rata

= 21,89

Tex rata-rata

= 29,69

Td rata-rata

= 267,22

Dimana SD yang dihasilkan = 2,38 dan CV = 10,87 %

BAB III UJI KEKUATAN TARIK PER HELAI

I. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dari pengujian kekuatan tarik per helai adalah :

1. Untuk mengetahui kekuatan per helai benang uji

2. Untuk mengetahui besarnya breaking length contoh uji

3. Untuk mengetahui besarnya tenacity contoh uji

II. TEORI DASAR

Sama halnya pada bab sebelumnya, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan antara lain : panjang stapel, kehalusan serat, kekuatan serat. Twist, kerataan, distribusi panjang serat, pengerjaan finish serat, pengerjaan kimia terhadap benang, regain benang, letak serat dan mulur serat individu.

Demikian pula prinsip penguian kekuatan tarik per helai hampir sama dengan pengujian kekuatan tarik per berkas. Tetapi untuk ketelitian, pengujian per helai lebih memakan waktu dan biaya jika menggunakan mesin yang otomatis.

Akan tetapi kekuatan per helai menunjukkan kekuatan benang yang sebenarnya dan dalam waktu yang sama memberikan beberapa petunjuk juga titik titik yang paling lemah pd benang. Krn hasil pengujian perhelai menunjukkan variasi kekuatan benang, maka datanya akan mempunyai variasi yang lebih besar daripada kekuatan per lea.

Ini berarti lebih banyak pengamatan yang dilakukan pada kekuatan per helai daripada kekuatan per lea untuk benang yang sama dengan rata rata yang sama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi sifat sifat kekuatan tarik bahan tekstil dan hasil yang diperoleh dari alat penguji kekuatan :

1. Panjang Specimen ( contoh pengujian ) Makin panjang suatau contoh pengujian benang makin banyak kemungkinan terdapat bagian yang lemah, jika yang lemah mendapatgaya tarik maka akan putus, sehingga hasil kekuatan tarik pada contoh pengujian yang lebih panjang akan cenderung lebih kecil

2. Kecepatan pembebanan dan lama waktu putus

Pengujian yang cepat akan menghasilkan breaking stress yang lebih besar daripada pengujian yang lambat. Hal ini dialami pada pengujian benang pintalan karena pengujian yag lambat memberikan pengujian benang pintalan karena pengujian yang lambat memberikan kesempatan benang membuka twist nya dan memungkinkan serat serat yang seharusnya putus karena twist menahan juga menjadi slip.

3. Kapasitas mesin Benang yang ditarik dengan mesin yang berkapasitas tinggi akan memberikan kekuatan

yang lebih besar karena waktu untuk memutuskan menjadi cepat sekali.

4. Mulur benang Suata benang yang mulurnya besar akan memerlukan waktu yang lama untuk putus. Karena itu hasil pengujian cenderung akan lebih rendah.

III. ALAT DAN BAHAN

 Asano dengan kapasitas 500 gram dan 2000 gram jarak jepit 50 cm  Benang contoh uji

IV. LANGKAH KERJA

1. Kencangkam kunci pengatur mulur, kemudian pasang benang melalui pengantar benang dan jepita pada klem atas ( pasif ) selanjutnya kencangkan.

2. Lepaskan kunci pengatur mulur, dan pasang benang pada klem bawah ( aktif ) dengan memberi tegangan awal sampai pada batas yang ditentukan, kemudian kencangkan.

3. Tarik handle ke arah belakang untuk menjalankan mesin dan biarkan hingga benang putus.

4. Bila benang putus, dorong hnadle ke posisi tengah dan baca skala kekuatan ( g ) dan mulurnya ( % atau mm )

5. Dorong handle ke arah depan , kemudian kembalikan jarum penunjuk skala ke arah posisi semula sambil menarik handle penahan roda gigi rachet.

Catatan :  Bila jarak jepit 50 cm, mulur dapat dibaca langsung dalam “ % ”

 Bila jarak jepit 20 cm mulur dibaca dalam “ mm “

V. DATA PERCOBAAN

2 No 2 Kekuatan ( g ) Mulur ( % ) Kekuatan ( xi- x ) Mulur ( xi- x )

x =392,6

x =5,04

VI. PERHITUNGAN KEKUATAN

MULUR

( x  x )  SD

 SD

n  1 n  1 111 , 2 0 , 352

 CV = SD

SD

x kekua tan

x kekua tan

Tenacity =

Tenacity

x Tex

x denier

g/Tex

g/denier

= 13,04 g/Tex

= 9 g/denier

Breaking Length

x kekua tan xNm

1000 392 x , 6 33 , 23

km

= 13,04 km

VII. DISKUSI

Pada waktu melakukan pengujian kekuatan per helai ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh praktikan, antara lain :

 Perlu adanya ketelitian yang tinggi dalam membaca skala pada alat uji  Harus tepat atau benar dalam menjalankan alat uji yang digunakan dalam pengujian  Sebelum digunakan, praktikan harus terlebih dahulu menyetel alat uji pada posisi standar

(menstandarkan alat uji ).  Ternyata pengujian kekuatan per helai lebih bervariasi, karena terlihat jelas bagian benang yang lemah akan langsung putus ( kekuatannya rendah ).

VIII.KESIMPULAN

Dari data yang didapat oleh praktikan, maka dapat disimpulkan :  Kekuatan per helai rata-rata = 392,6 g

 Mulur per helai rata-rata

 Kekuatan

= SD = 5,27 CV = 1,34 %

 Mulur

= SD = 0,29 CV = 5,75 %

 Breaking Length

= 13,04 km

 Tenacity

= 13,04 g/Tex atau 9 g/denier

BAB IV UJI TPI ( Twist Per Inchi )

I. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dari pengujian TPI adalah untuk mengetahui jumlah twist per inch, arah twist dan kekuatan dari benang contoh uji.

II. TEORI DASAR

Twist ( antihan / puntiran ) pada beang dapat mempengaruhi sifat sifat fisik benang, pemakaian benang ( apakah untuk lusi, pakan atau rajut ) dan juga kenampakan ( appearance ) hasil akhirnya.

Jumlah twist mempengaruhi jumlah produksi, karena perubahan twist akan merubah kecepatan rol depan. Makin tinggi twist, makin lambat. Yang berarti produksi makin kecil, dan sebaliknya.

Arah twist pada benang dibedakan menjadi 2 yaitu : arah kanan atau arah Z dan arah kiri atau arah S, seperti tampak pada gambar berikut :

Arah Z

Arah S

Pengaruh twist pada benang :

1. Kekuatan Penambahan twist menambah kekuatan benang sampai suatau titik tertentu, sesudah itu penambahan twist akan mengurangi kekuatan.

Demikian juga bila jumlah twistnya dibawah twist optimum, maka kekuatannya akan rendah / turun.

2. Mulur Twist yang tinggi menambah mulur benang sebelum putus pada waktu penarikan.

3. Pegangan Twist yang rendah memberikan pegangan yang lembut, sedangkan twist yang tinggi memberikan pegangan yang kaku.

4. Elastisitas Twist yang rendah memberikan elastisitas yang kurang pada benang.

5. Kilat Twist yang tinggi mengurangi kilat benang.

6. Absorbsi Twist yang tinggi mengurangi absorbsi / daya serap benang terhadap zat warna, dan menghambat dalam proses pencelupan.

7. Arah twist Dalam konstruksi kain arah twist dapat mempengaruhi kenampakan ( apearance ) kain. Twist pada lusi dan pakan searah akan memberikan garis twist yang bersilangan. Hal ini akan mengurangi kilat bhan disamping memberikan pegangan yang kurang lembut.

III. ALAT DAN BAHAN

 Twist Teter, jarak jepit10 inchi  Benang contoh uji

IV. LANGKAH KERJA Cara Uji TPI Benang Rangkap

1. Hidupakan mesin dengan menaikkan swicth power netz ke posisi (1)

2. Atur posisi kedua switch pengatur arah putaran sesuai dengan arah twist benang yang akan dibuka.

3. Atur posisi jarum pengatur Rpm motor pada skala “nol”, kemudian counter dinolkan dengan menekan tombol counter hazler.

4. Atur posisi jarum penunjuk pada penjepit pasif supaya berada pada skala 3 – 4 mm.

5. Pasang beban sesuai dengan nomer benan yang akan diuji ( lihat tabel )

6. Pasang benang pada dudukan benang, jepitkan pada penjepit pasif dan penjepit aktif sambil mengatur posisi jarum penunjuk berad a pada skala “nol”, kemudian potong ujung benang yang tidak terjepit

7. Tekan tombol START untuk memulai pengujian

8. Atur kecepatan dengan memutar tombol pengatur Rpm motor sesuai dengan skala.

9. Hentikan putaran dengan menekan tombol STOP bila komponen benang tunggalnya telah sejajar

10. Bsarnya gintiran adalah angka yag terdapat pada counter dibagi ( 1x10 )

Benang Tunggal

1. Lakukan point 1sd 8 seperti diatas

2. Hentika putaran dengan menekan tombol STOP, bila posisi jarum penunjuk telah mencapai skala 3 mm dan kembali la gi ke skala “nol”

3. Besarnya antihan adalah angka yang terdapat pada counter dibagi ( 2 x 10 )

V. DATA PERCOBAAN No

 putaran

TPI

TPM

putaran

(TPI X 39,37)

2x 10

x 315

VI. PERHITUNGAN TPI 

Ne 1

VII. DISKUSI

Pada waktu melakukan praktikum uji TPI praktikan harus memperhatikan hal hal sebagai berikut :

 Selalu melihat jarum penunjuk untuk skala 3 – 4 mm  Teliti dalam melihat skala serta tepat dalam mengatur kecepatan putaran dan berhentinya. Hal diatas tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari praktikum uji TPI.

VIII.KESIMPULAN

Dari haril praktikum dan data data yang telah praktikan peroleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

 TPI rata-rata

= 15,75

 TPM rata-rata

= 620,0775   = 3,37

BAB V PENGUJIAN PRODUK TEKSTIL BAGIAN FISIKA

A. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud

Studi tentang pengujian produk tekstil dengan metode atau cara fisika.

Tujuan

1. Mampu menguji kekuatan tarik kain cara pita tiras dan pita potong.

2. Mampu menguji kekuatan sobek kain dengan cara Elmendorf dan cara Trapesium.

3. Mampu menguji kekuatan jahitan dan slip jahitan.

4. Mampu menentukan harga daya tembus udara pada kain.

5. Mampu menguji ketahanan gosok dan ketahanan kusut kain.

6. Mampu menguji kekakuan kain dan menguji kelangsaian kain ( Drape ).

7. Mampu menentukan kekuatan jebol untuk kain rajut.

8. Mampu mengetahui konstruksi kain

B. TEORI DASAR

Kata “design” yang biasa digunakan dalam tekstil, mempunyai perbedaan sedikit dengan arti umum yang biasa digunakan untuk istilah disain pada umumnya. Dalam tekstil, pengertian

“disain”adalah sama dengan pattern atau pola atau figure, dimana selalu diulangi baik kearah vertical maupun arah horizontal didalam kainnya.

Pada umumnya, tekstil design dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 

Structural design 

Surface design Dalam kehidupan sehari-hari kain merupakan salah satu bahan yang sangat penting dan utama. Kain ini dapat dibuat produk apa saja, misalnya pakaian. Pakaian ini merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus selalu dipenuhi. Dengan fungsi pakaian itu sendiri yaitu dapat melindungi tubuh dari sinar matahari, binatang buas, dan untuk menutupi aurat. Pakaian ini bisa dibuat dengan cara ditenun, dirajut, disulam, dan non woven. Kain tenun merupakan salah satu jenis kain tekstil tertua di dalam sejarah pakaian manusia. Bahkan kata “tekstil” sendiri, berasal dari kata kerja bahasa latin “texere” berarti menenun yaitu membuat kain dengan cara penyilangan atau penganyaman dua kelompok benang yang saling tegak lurus sehingga membentuk anyaman benang- benang. Selanjutnya kata “kain tenun” itu sendiri berubah menjadi “tekstil” atau “bahan tekstil” yang identik dengan pengertian “bahan pakaian” karena pada umumnya kain tenun digunakan untuk bahan pakaian.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kain tenun dibentuk dengan cara menyilangkan dan menganyamkan dua kelompok benang yang saling tegak lurus posisinya sehingga membentuk kain tenun dengan konstruksi tertentu. Dua kelompok benang yang dimaksud adalah kelompok benang yang membentuk ke arah panjang kain (vertical) yang disebut benang lusi dan kelompok benang yang membentuk ke arah lebar kain (horizontal) yang disebut benang pakan. Agar dihasilkan kain yang memiliki mutu, pola dan sifat seperti yang dikehendaki, maka diperlukan unsur-unsur yang merupakan bangunan atau konstruksi dari kain tersebut. Jenis kain tenun mempunyai berbagai macam variasi, yang satu sama lain dapat berbeda mutu, sifat maupun polanya. Bahkan dengan jenis anyaman yang sama dapat dibuat macam-macam variasi kain yang mempunyai rupa dan karakteristik berbeda.

Faktor yang mempengaruhi antara lain :  Jenis serat tekstil yang digunakan.  Jenis benang yang digunakan.  Ketentuan kain.  Persiapan.  Anyaman.  Pertenunan.  Pengubahan permukaan kain, dan sifat kain.  Bentuk design dan motif.

Anyaman tekstil dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu :

1. Anyaman dasar  Anyaman dasar  Anyaman keper  Anyaman satin

2. Anyaman turunan  Anyaman turunan dari anyaman polos. Anyaman ini dapat dibedakan dalam turunan

langsung dan turunan tidak langsung.  Anyaman turunan dari anyaman keperturunan anyaman keper . Ayaman ini dapat dibedakan dalam turunan langsung dan turunan tidak langsung.  Anyaman turunan dari anyaman satin.

3. Anyaman campuran

4. Anyaman dengan benang berwarna

5. Anyaman untuk tenunan rangkap

6. Anyaman khusus Misalnya : anyaman handuk, anyaman berbulu, anyaman dengan benang pengisi, anyaman permadani dan lain-lain.

DEKOMPOSISI

Kain tenun merupakan hasil silangan antara benang lusi dan benang pakan, dimana silangan itu memiliki variasi tertentu. Variasi tersebut dinamakan pola anyaman. Anyaman yang dibuat mempengaruhi kain hasil. Anyaman yang paling banyak silangannya cenderung lebih kuat daripada kain dengan silangan yang sedikit, ini disebabkan karena silangan tersebut saling memperkuat antara benang satu dengan benang yang lainnya.

Fakor lain yang mempengaruhi sifat kain adalah tetal benang, tetal benang menunjukan banyaknya benang per satuan panjang. Semakin tinggi tetal benang maka kain semakin padat sehingga kekuatan kain akan semakin baik.

Benang yang menyusun kain mengalami pengkeretan, hal ini deisebabkan karena adanya silngan-silangan antara benang lusi dan benang pakan. Mengkeret benang ditunjukan dengan persentase perbandingan antara selisih panjang benang sesungguhnya berbanding dengan panjang benang setelah menjadi kain.

Data-data diatas sangat perlu didapatkan jika akan membuat kain yang sesuai dengan kain contoh, maka untuk mencari data-data diatas digunakan ilmu dekomposisi kain. Dekomposisi kain adalah penelitian terhadap kain mengenai tetal benang, jenis anyaman, berat kain, no benang, dan lainnya yang menyangkut produksi kain.

Perlu ilmu khusus ini karena benang sangat kecil sekali dan juga pola anyamannnya ada yang sederhana dan ada yang rumit. Mendekomposisi kain arinya kita ingin mendapatkan data-data mengenai kain sampel yang akan kita buat kembali supaya kain yang dibuat sesuai atau sama dengan kain yang didekomposisi.

Proses dekomposisi harus dilakukan secara hati-hati dan diusahakan pada suhu dan kelembapan yang stabil, karena sifat benang terpengaruh oleh suhu dan kelembapan. Ketelitian orang yang mendekomposisi sangat diperlukan supaya hasil dari penelitian tentang kain tidak salah. Jika salah melakukan pendekomposisian maka kain yang akan dibuat tidak akan sesuai dengan kain yang didekomposisi.

Proses ini biasa dilakukan pada industry yang memproduksi kain, Pihak produsen biasnya menerima contoh kain lalu diminta untuk membuat kain yang sama dengan contoh yang diberikan. Maka proses dekomposisi merupaka begian yang penting bagi proses perencanaan pembuata kain yang sesuai dengan sampel.

Alat – alat yang digunakan pada praktikum dekomposisi anyaman polos adalah

1. Lup

Lup merupakan alat yang digunakan untuk menghitung tetal kain. Alat ini terdiri dari 3 bagian pokok yaitu :

A. Bagian atas, sebagai tempat melihat orang yang akan mencari tetal. Dibagian ini ada satu buah kaca pembesar untuk mempermudah penghitungan helai benang.

B. Bagian penyangga Bagian penyangga berfungsi untuk memberi jarak antara kaca pembesar dengan bagian untuk menentukan tetal dengan luas satu inchi

C. Bagian Bawah Bagian yang menempel pada kain dimana ada bagian yang berlubang sebesar 1 inchi berbentuk persegi agar memudahkan kita menandai jumlah helai benang dalam satu inchi

Bagian bawah

Posisi ketika melakukan penghiutngan tetal lusi atau pakan

2. Jarum kasur

Jarum kasur adalah jarum yang ukurannya besar berfunsi untuk menisar dan juga untuk menandai benang ketika melakukan penghitungan untuk menentukan tetal lusi atau tetal pakan pada kain.

3. Gunting

Gunting befungsi untuk memotong kain seukuran yang telah ditentukan. Gunting yang digunakan diusahakan gunting yang mempunyai gerigi kecil supaya ketika menggunting kain tidak licin.

4. Mistar

Mistar berfungsi untuk mengukur panjang kain yang didekomposisi juga untuk mengukur panjang benang yang akan dicari faktor mengkeretnya.

5. Timbangan mikrobalam

Timbangan mikrobalam digunakan untuk menimbang benang, timbangan ini digunakan untuk menimbang benang karena memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari timbangan analitik.

6. Timbangan analitik

Timbangan analitik digunakan untuk menimbang kain contoh yang kan didekomposisi, timbangan ini hanya digunakan untuk menimbang kain saja tidak utuk menimbang benang Timbangan analitik digunakan untuk menimbang kain contoh yang kan didekomposisi, timbangan ini hanya digunakan untuk menimbang kain saja tidak utuk menimbang benang

Bahan yang dipakai pada praktikum ini adalah kain yang mempunyai anyaman sesuai dengan yang akan didekomposisi.

Langkah-langkah percobaan yang dapat dilakukan pada setiap praktikum secara keseluruhan adalah sebagai berikut ini:

1. Contoh uji ditentukan arah lusi dan pakannya terlebih dulu, kemudian diberi tanda panah untuk arah lusi.  Cara menentukan arah lusi dapat dilakukan seperti :

Ketika diraba permukaan bahan, maka permukaan yang paling halus merupakan arah lusi. Pada kain anyaman polos, arah lusi dapat ditentukan dengan melihat arah sisiran

dan pinggir kain. Arah lusi dapat diketahui dengan menerawang kain kearah cahaya, benang yang searah dengan sisiran yang berupa garis – garis cahaya merupaka benang lusi. Jika pinggir kain masih terlihat maka benang yang searah adalah benang lusi. Ada cara lain yang lebih baik yaitu kain ditiras sampai terlihat umbaian – umbaian kain, Maka tetal benang yang paling besar merupakan benang lusi

2. Tetal lusi dan pakan dihitung pada 5 tempat yang berbeda dan keempat tempat itu membentuk garis miring, kemudian dicari nilai rata-ratanya. Pola daerah yang dihitung lusi dan pakannya.

3. Dibuat garis persegi dengan ukuran 10 x 10 cm lalu digunting seukuran 10,5 x 10,5 cm.

4. Ditiras setiap sisi sehingga sudut – sudut kain tegak lurus dengan ukuran 10 x 10 cm.

5. Kain ditimbang teliti menggunakan timbangan analitik.

6. Setiap pinggir kain ditiras dan diambil lima – lima sehingga diperoleh benang lusi sepuluh dan pakan sepuluh.

7. Kemudian benang itu ditimbang, sehingga diperoleh berat 10 helai benang lusi dan berat 10 helai benang pakan.

8. Benang – benang yang telah ditimbang lalu diluruskan dan dihitung panjang setiap benang, dicari rata – rata benang pakan dan rata – rata banang lusi..

9. Mengkeret benang lusi dan pakan dihitung, dengan rumus: Panjang benang dari kain contoh = Pk

Panjang benang setelah pelurusan = Pb, maka

Pb  Pk

Mengkeret benang = M =

10. Hitung nomor benang secara metrik (Nm), inggris (Ne 1 ) dan untuk benang lusi dan pakan.

Panjang ( m )

Nm =

1 Ne = 0,59 x Nm

Berat 10 helai ( gram )

11. Berikutnya berat kain per meter persegi dihitung, baik secara penimbangan maupun perhitungan.

a. Penimbangan

b. dengan perhitungan

dasar perhitungan = Nm =

b=

b Nm

 panjang seluruh benang lusi dalam 1 m 2 kain dibagi dengan Nm lusi;

tetal ( helai / cm )  100 cm 

100  meng ker et

bL =

Nm  100

dalam gram/meter  Dilakukan perhitungan yang sama untuk pakan = bP

 Maka berat kain/m 2 adalah : bL + bP = b

c. hitung selisih berat hasil penimbangan dan perhitungan, dengan rumus :

B 2  B 1 x 100 %

12. Menentukan tetal lusi dalam Sisir dan No Sisir Hani yang digunakan, untuk menghitung tetal lusi dalam sisir, jika TS adalah tetal sisir , Cp adalah mengkeret pakan, TL adalah tetal lusi ( Helai / “ ), NSH adalah nomor sisir hani dan t adalah banyaknya cucukan dalam lubang, maka :

Ts =

x TL dan NSH =

ANYAMAN POLOS

Nama-nama lain yang biasanya digunakan pada anyaman polos yaitu : Anyaman blacu, plat, tabby, taffeta (taffeta weave), plain (plain weave).

Anyaman polos mempunyai ciri-ciri dan karakteristik sebagai berikut:

1. Mempunyai rapot yang paling kecil dari semua jenis anyaman.

2. Paling tua dan sederhana

3. Paling luwes untuk kain  Dari jarang sampai dengan padat  Dari paling ringan sampai dengan paling berat  Dengan berbagai ragam disain

4. Bekerjanya benang-benang lusi dan pakan paling sederhana, yaitu: 1-naik, 1-turun.

5. Simetris

6. Kain relative kuat

7. Ulangan rapot : kearah horizontal (lebar kain) atau kearah pakan diulangi sesudah 2 helai pakan. Pengulangan ke arah vertikal (panjang kain) atau ke arah lusi, diulangi sesudah 2 helai lusi.

8. Jumlah silangan paling banyak diantara jenis anyaman yang lain.

9. Jika faktor-faktor yang lain sama, maka anyaman polos mengakibatkan kain dengan anyaman polos menjadi kain paling kuat daripada kain dengan anyaman lain dan letak benang lebih teguh atau tak mudah berubah tempat.

10. Anyaman polos paling sering dikombinasikan dengan faktor-faktor konstruksi kain yang lain daripada jenis anyaman yang lainnya.

11. Tetal lusi dan tetal pakan pada anyaman polos mempunyai perpencaran (range) yang lebih besar daripada anyaman lain (10 helai/inch – 200 helai/inch). Perpencaran berat kain lebih besar daripada anyaman lain (0,25 oz/yds 2 – 52 oz/yds 2 ).

12. Anyaman polos lebih sesuai untuk diberi rupa yang lain dengan jalan mengadakan ubahan-ubahan desain, baik pengubahan pada structural design maupun pengubahan pada surface design dibandingkan dengan anyaman lainnya.

13. Pada umumnya, kain dengan anyaman polos penutupan kainnya (fabric cover) berkisar pada 25 % - 75 %.

14. Anyaman polos dapat dipakai untuk kain yang jarang dan tipis (open construction / sheer texture) dengan hasil yang memuaskan dari anyaman yang lain.

15. Banyak gun yang digunakan minimum 2 gun, tetapi untuk tetal lusi yang tinggi digunakan 4 gun atau lebih.

16. Anyaman polos banyak dipakai untuk kain dengan konstruksi medium, dengan fabric covers 51 % - 75 %. Penutupan lusi dan pakan berkisar 31 % - 50 %.

17. Anyaman polos untuk kain padat (close construction), biasanya menggunakan benang pakan yang lebih kasar daripada benang lusi. Karakteristik dari jenis ini cenderung menunjukan rip (rusuk horizontal pada permukaan kain.

 Rencana Tenun untuk Anyaman Polos Cucukan sisir pada anyaman polos biasanya 2 helai tiap lubang dengan system cucukan teratur. Rencana tenun untuk ATBM dengan rol menggunakan 2 buah gun dan injakan yang digunakan pun hanya 2 yang dilakukan secara bergantian. Rencana tenu dengan Dobby pada umumnya menggunakan 4 gun dan cucukan loncat.

Pada anyaman polos, penggunaan 2 gun jarang digunakan, terutama yang digunakan untuk menenun kain katun dengan tetal lusi yang lebih besar dari 20 helai/cm. Untuk tetal tersebut biasanya digunakan 4 gun. Padapertenunan sutera kadang-kadang tetal lusi mencapai 120 helai/cm, untuk ini digunakan 6-8 gun dengan cucukan loncat. Untuk menenun kain wol halus dengan tetal lusi di atas 40 helai/cm, digunakn 12 gun dengan cucukan loncat.

 Pengaruh Twist pada Anyaman Polos Jika benang lusi dan pakan mempunyai arah twist yang berlawanan , maka permukaan lusi bagian bawah dan permukaan benang pakan bagian atas, arah putarannya saling bertentangan satu sama lain. Keadaan ini menyebabkan pada waktu terjadinya proses penetakan (beating)benang pakan dalam mulut lusi mempunyai kecenderungan untuk kembali kea arah sebaliknyadari arah ketekan. Hal in menyebabkan susunan benang dalam kain menjadi kurang kompak dan kurang tertutup.

Jika benang lusi dan pakan mempunyai arah twist yang sama, maka permukaan benang lusi bagiann bawah dan permukaan benang pakn bagian atas arah putaran dari serat- serat mempunyai arah yang sama. Sehingga pada aat terjadinya pengetekan benang pakan di dalam mulut lusi , benang pakan cenderung untuk segara masuk dan merapat pada benang pakan sebelumnya. Oleh karena itu susunan benang dalam kain akan menjadi lebih kompak dan lebih tertutup.

 Perhitungan Tetal Benang Tetal lusi dan pakan adalah salah satu faktor yang sngat penting pada konstruksi kain, karena tetal tersebut mempunyai pengaruh tehadap kekuatan kain, penutupan kain, kekompakan kain, keindahan kain, appearance, dan lain-lain

Ada tiga macam cara yang digunakan untuk menentukan tetal lusi dan pakan, yaitu :

a. Dengan cara coba-coba a. Dengan cara coba-coba

c. Dengan cara teoritis

PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PITA TIRAS

Kekuatan kain dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :  Kekuatan tarik kain

 Kekuatan sobek kain  Kekuatan jebol kain

Kekuatan Tarik Dan Mulur Kain

Kekuatan tarik kain adalah beban maksimal yang dapat ditahan suatu contoh uji kain hingga kain tersebut putus, sedangkan mulur kain adalah penambahan panjang kain pada saat kain putus, dibandingkan dengan panjang kain semula dinyatakan dalam persen. Kekuatan tarik digunakan untuk kain tenun. Kekuatan tarik kain dapat diuji dengan tiga cara, yaitu Pengujian Cara Cekau, Pengujian Cara Pita Tiras, Dan Pengujian Cara Pita Potong.

Pengujian Cara Pita Tiras

Pengujian cara pita tiras (jalur urai) biasa dilakukan dengan ukuran contoh uji 3 cm x 20 cm ditiras menjadi 2,5 cm x 20 cm, atau 6 cm x 20 cm ditiras menjadi 5 cm x 20 cm. Cara ini umumnya dipakai untuk kain yang tidak dilapisi dengan kata lain kain yang mudah diurai. Pengujian kekuatan tarik dengan pita tiras pada saat terjadi penarikan benang pada bagian tengah kain yang mengalami tarikan, sedangkan benang yang terdapat pada kedua sisi kain hanya mengalami tarikan yang kecil. Hal ini terjadi karena contoh uji yang telah diurai tidak ada jalinan yang memegang benang pada sisi kain, maka pada saat beban bertambah benang-benang sisi kain hanya hilang keritingnya saja, baru setelah bagian tengah putus benang pada bagian pinggir kain putus. Pengujian kekuatan cara pita tiras selalu menghasilkan kekuatan tarik yang lebih rendah dari cara cekau namun masih lebih tinggi dari cara pita potong.

UJI KEKUATAN SOBEK KAIN CARA ELMENDORF

Pengujian ketahan sobek kain adalah uji daya tahan kain terhadap sobekan. Pengujian kekuatan sobek kain sangat diperlukan untuk kain-kain militer seperti kain untuk kapal terbang, paying udara, dan tidak kalah pentingnya untuk kain sandang. Pegujian tahan sobek dapat dilakukan dengan cara :

 Cara Trapesium  Cara Lidah  Cara elmendorf.

Pengujian cara Elmendorf menggunakan alat khusus yaitu Elmendorf, dengan system ayunan pendulum, berbeda dengan cara trapezium dan cara lidah yang mengunakan alat uji kekuatan tarik kain untuk mengujinya

Pada uji kekuatan sobek cara elemendorf ini bahan dibuat seperti contoh yang disediakan dimana ukurannya adalah 10,2 x 7,5 cm sebanyak 5 buah untuk tiap masing-masing arah lusi dan pakan. Pada tengah-tengah pinggir yang panjangnya 10,2 cm dibuat kotak dengan ukuran 1,2 x 1,2 cm.

Dengan menggunakan cara elmendorf ini maka data yag didapat dalam satuan % tetapi berdasarkan SII maka data diolah dalam satuan gram sehingga diguakan rumus :

Skala terbaca

Kek. sobek (gram)  x beban yang digunakan.

PENGUJIAN KEKUATAN SOBEK KAIN CARA LIDAH

Kekuatan kain dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :  Kekuatan tarik kain

 Kekuatan sobek kain  Kekuatan jebol kain

Kekuatan Sobek Kain

Pengujian kekuatan sobek kain adalah menguji daya tahan kain terhadap sobekan. Pengujian kekuatan sobekkain sangat diperlukan untuk kain-kain militer seperti kain untuk kapal terbang, payung udara, dan tidak kalah pentingnya juga untuk kain sandang. Pengujian kekuatan sobek kain dapat dikakukan dengan tiga cara, yaitu :

 Kekuatan sobek kain cara trapesium Pengujian cara trapesium ini meniru keadaan dari kejadian sebagai berikut : apabila sepotong kain ditarik dan digunting pada bagian pinggir kain, dan contoh dipegang dengan kedua tangan, kemudian disobek mulai dari sobekan yang telah dibuat.

 Kekuatan sobek kain cara lidah Pengujian kekuatan sobek cara lidah, yaitu apabila sepotong kain digunting menjadi dua sampai kira-kira setengahnya, kain kemudian disobek dengan memegangkedua lidah kemudian ditarik. Pengujian dengan cara lidah tidak dapat dilakukan pada kain tidak seimbang. Kain dengan tetal lusi lebih besar dari tetal pakan, apabila disobek pada arah lusi, maka arah sobekan pada saat pengujian akan berubah ke arah pakan yang lebih lemah. Oleh karena itu orang lebih suka melakukan pengujian dengan cara trapesium.

 Kekuatan sobek kain cara Elmendorf Pengujian kekuatan sobek kain cara Elmendorf menggunakan alat khusus yaitu Elmendorf, dengan system ayunan pendulum, berbeda dengan cara trapesium dan cara lidah yang menggunakan alat uji kekuatan tarik kain untuk mengujinya.

UJI KEKUATAN TARIK CARA PITA POTONG

Kekuatan kain dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu kekuatan tarik dan daya tahan terhadap tarikan, tahan sobek (daya tahan terhadap sobekan) dan kekuatan tahan pecah (tahan terhadap gesekan/bursting).

Masing-masing dari ketiga car pengujian ini mempunyai kegunaan masing-masing, dimana contoh-contoh uji dibuat khusus tergantung pada jenis kain dan penggunannya.

Kekuatan kain merupakan daya tahan kain tarhadap tarikan pada arah lusi maupun pakan. Untuk mengetahui kekuatan tarik kain, dipakai dengan tiga cara pengujian yaitu:  Cara pita potong  Cara pita tiras (grab strip raveled)  Cara cekau (strip test)

Pengujian Cara Pita Potong

Pada pengujian cara potong, contoh uji tepat dipotong 2,5 cm. cara ini pada umumnya dipakai untuk kain yang dilapis atau kain yang dikanji tebal yang sukar atau tidak mungkin untuk diurai. Dalam pemotongan kain contoh uji harus benar-benar sejajar dengan arah benang yang memanjang.

Prinsip Pengujian cara Pita Potong

Kain tenun dipotong dengan ukuran (2,5 x 20) cm, pada kedua ujung contoh uji dijepit dan diberi tegangan sampai kain tersebut menjadi putus. Jadi yang diukur adalah beban maksimum yang dapat ditahan oleh kain, hingga kain tersebut putus. Pada saat putus, kain tersebut mendapat pertambahan panjang yang disebut mulur kain. Jadi kekuatan kain yang diukur merupakan kekuatan minimum dari kain tersebut,baik untuk arah lusi maupun arah pakan. Sedangka mulur yang diukur merupakan mulur pada saat putus.

PENGUJIAN KEKAKUAN KAIN

Sifat-sifat kain dapat diuji dan dinyatakan dalam angka-angka, seperti kekuatan tarik, mulur kain, ketahanan terhadap zat kimia dan sebagainya. Tetapi ada beberapa sifat kain yang tidak dapat dinyatakan dalam angka-angkan seperti kenampakan,kehalusan atau kekasaran, kekakuan atau kelemasan, dan mutu draping yang baik atau yang jelek. Sifat-sifat kain diatas diperluakn dalam pemilihan kain.

Dalam pemilihan kain ada beberapa hal yang dilakukan seperti memegang, mencoba, kemudian menentukan mana yang sesuai dengan penggunaannya. Dengan memegang dan merasakan kain sebenarnya telah dinilai beberapa sifat sekaligus secara subyektif. Menurut Pierce apabila pegangan kain ditentukan, maka mencakup rasa kaku atau lembek, keras atau lunak, dan kasar atau halus.

Drape agak berbeda artinya yaitu kemampuan kain untuk memberikan kenampakan indah waktu dipakai. Tidak semua bahan pakaian harus mempunyai Drape yang baik. Kain untuk Bullet Skirt atau Patti Coat kaku, tidak harus mempunyai Drape yang baik. Untuk menentukan besarnya kekakuan dan Drape ternyata terdapat beberapa kesulitan. Penelitian dilakukan untuk menentukan metode yang bias mengatasi kesulitan dalam penentuan pegangan dan Drape.

Untuk itu ada dua hal yang perlu diperhatikan : 

Pemisahan macam-macam bahan yang memiliki pegangan dan Drape, dan disain instrument yang cocok untuk mengukur sifat-sifat kain secara individu.

 Menentukan teknik statistic untuk menentukan kesimpulan hubungan antara hasil-hasil pengujian yang dinilai secara individu dan secara grup oleh tim penilai.

Kekakuan Kain

Prinsip penentuan kekakuan kain dengan Shirley Stiftness Tester adalah contoh uji kain dengan ukuran 20 x 2,5 cm yang disangga oleh bidang datar bertepi. Pita kain tersebut digeser kearah memanjang dan ujung pita melengkung karena beratnya sendiri. Setelah ujung pita kain

sampai pada bidang yang miring dengan sudut 41,5 o terhadap bidang datar, maka dari panjang kain yang menggantung tadi dan sudut dapat dipertimbangkan parameter-parameter :

a) Bending Length (C) Adalah panjang kain yang lelengkung karena beratnya sendiri pada suatu pemanjangan tertentu. Ini merupakan ukuran kekakuan yang menentukan mutu draping.

C = I ( cos ½ θ / 8 tg θ ) 1/3

I adalah panjang pita kain yang menjulur keluar bidang datar. Pada Shirley Stiftness Tester dipilih sudut 41,5 o sehingga harga fungsi sudut θ adalah 0,5 dan harga bending

length sama dengan 0,5 I.

b) Flexural Regidity (G) Adalah ukuran kekakuan yang diasosiasikan dengan pegangan. Abott menyarankan bahwa nilai Flexural Regidity yang ditentukan dengan alat menunjukkan hubungan yang baik dengan penentuan kekakuan yang dilakukan yang dilakukan oleh orang.

G = 0,1 W C 3 .............................mg.cm

W adalah berat kain dalam g/m 2 .

Perhitungan Flexural Regidity (kekakuan) arah lusi (KL) berarti yang panjang lengkung (bending length / C) yang dipakai adalah panjang lengkung lusi dan demikian juga kekakuan arah pakan (KP) makan panjang lengkung (C) yang dipakai adalah panjang lengkung pakan. Untukmenghitung kekakuan total (KP) dapat digunakan rumus :

KT = KL x KP ........................mg.cm

c) Bending Modulus (Q) Nilai ini tergantung pada luas pita dan bisa dianggap sebagai kekakuan yang sebenarnya. Nilai ini bisa dipakai untuk membandingkan kekakuan bahan pada kain

dengan tebal yang berbeda-beda. Tebal kain diukur dengan tekanan 1 lbs/inci 2 .

Q = 12 G x 10 2 kg/cm

g = tebal kain dalam cm

UJI KEKUATAN SOBEK CARA “TRAPESIUM”

Pengujian kekuatan sobek kain adalah menguji daya tahan kain terhadap sobekan. Pengujian kekuatan sobek kain sangat diperlukan untuk kain-kain militer seperti kain untuk kapal terbang, payung udara, dan tidak kalah pentingnya juga untuk kain sandang. Pengujian kekuatan sobek kain dapat dikakukan dengan tiga cara, yaitu :

 Kekuatan sobek kain cara trapesium Pengujian cara trapesium ini meniru keadaan dari kejadian sebagai berikut : apabila sepotong kain ditarik dan digunting pada bagian pinggir kain, dan contoh dipegang dengan kedua tangan, kemudian disobek mulai dari sobekan yang telah dibuat.

 Kekuatan sobek kain cara lidah Pengujian kekuatan sobek cara lidah, yaitu apabila sepotong kain digunting menjadi dua sampai kira-kira setengahnya, kain kemudian disobek dengan memegangkedua lidah kemudian ditarik. Pengujian dengan cara lidah tidak dapat dilakukan pada kain tidak seimbang. Kain dengan tetal lusi lebih besar dari tetal pakan, apabila disobek pada arah lusi, maka arah sobekan pada saat pengujian akan berubah ke arah pakan yang lebih lemah. Oleh karena itu orang lebih suka melakukan pengujian dengan cara trapesium.

 Kekuatan sobek kain cara Elmendorf Pengujian kekuatan sobek kain cara Elmendorf menggunakan alat khusus yaitu Elmendorf, dengan system ayunan pendulum, berbeda dengan cara trapesium dan cara lidah yang menggunakan alat uji kekuatan tarik kain untuk mengujinya.

Ketiga cara pengujian ini berbeda dalam menyiapkan contoh dan pembebanan yang dipakai.

PRINSIP PENGUJIAN CARA TRAPESIUM

Contoh uji diberi suatu garis sehingga membentuk tarpesium sama kaki sehingga sisi yang tidak sejajar dijepit pad alat uji. Gaya diberikan akan menyobek contoh uji yang telah diberi sobekan awal sepanjang 1 cm. Kekuatan sobek dapat dihitung dari besarnya beban dan mulur

UJI KETAHANAN GOSOK

Keawetan kain (serviceability) adalah lamanya suatu kain bisa dipakai sampai tidak bisa dipakai lagi, karena suatu sifat penting telah rusak. Keawetan kain misalnya ditentukan oleh daya tembus air, keawetan kain kanvas atau kain sepatu benar-benar ditentukan oleh keusangan. Jadi keawetan tidak diuji dan hanya bergantung dari lamanya dipakai atau jumlah kali pakai. Sedangkan keusangan (wear) adalah jumlah kerusakan kain karena serat-seratnya putus atau lepas. Dalam hal-hal tertentu, misalnya kain belt keawetan dan keusangan mungkin sama, tetapi dalam banyak hal lainnya berbeda. Keusangan juga merupakan suatu mutu kain yang tidak diuji sebab kondisi-kondisi sangat bervariasi disamping tidak dapat diketahui secara kuantitatif pengaruh macam-macam faktor terhadap keusangan.

Pilling kain adalah istilah yang diberikan untuk cacat permukaan kain karena adany a “pills” yaitu gundukan serat-serat yang mengelompok dipermukaan kain yang menyebabkan tidak baik dilihat. Pills akan terbentuk ketika dipakai atau dicuci, karena kekusutan serat-serat lepas yang menonjol di permukaan kain akibat gosokan. Faktor-faktor yang menyebabkan keausan antara lain :