PELUANG TERKINI TANAMAN JARAK PAGAR

1

Peluang Terkini Tanaman Jarak Pagar
dalam Menunjang Kemandirian Energi
pada Situasi Ketidak-pastian Harga Minyak Dunia 2012
Written by : Eko Widaryanto
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Pertambahan jumlah penduduk akan berdampak tidak hanya pada peningkatan
kebutuhan primer seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga pada
kebutuhan pendukung lainnya seperti sarana transportasi dan aktivitas industri untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat. Implikasinya adalah terjadi peningkatan kebutuhan
energi, khususnya bahan bakar minyak.
Walaupun dapat memproduksi bahan bakar sendiri, Indonesia sekarang telah
tercatat sebagai negara pengimpor bahan bakar minyak (Net Importer Country).
Keadaan ini semakin mengkhawatirkan karena disinyalir cadangan minyak fosil
Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan.
Persoalan lain dari penggunaan energi fosil ini adalah menjadi penyebab
terjadinya kerusakan lingkungan yaitu terjadinya perubahan iklim dan pemanasan
global. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida dari hasil pembakaran bahan bakar
fosil, dilepaskan ke atmosfir. Keberadaannya akan menghalangi panas yang akan
meninggalkan bumi sehingga akan meningkatkan suhu bumi. Perubahan iklim yang

terjadi disebabkan oleh gas rumah kaca seperti disebutkan di atas juga methane (CH 4)
dan nitrous oksida (N2O). Pada pembakaran biomassa sebenarnya juga menghasilkan
CO2 , tetapi karbon dioksida yang dihasilkan akan distabilisasi dengan penyerapan
kembali oleh tumbuhan, sehingga tidak ada penimbunan karbon dioksida dalam
atmosfer dan keberadaannya terus seimbang.
Dampak yang terjadi di Indonesisa akibat dari lonjakan harga minyak dunia adalah
berkaitan erat dengan pembangunan bangsa Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai
1,3 juta barel tidak seimbang dengan produksinya yang hanya berkisar sekitar 1 juta
barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM
(2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terusmenerus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan
cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Bila hal ini terus
berlanjut tanpa mempertimbangkan energi alternatif maka akan terjadi permasalahan
yang krusial bagi ekonomi bangsa Indonesia.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah
berperan aktif untuk menanggulangi masalah harga minyak yang semakin meningkat
dan cadangan yang makin menipis. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan Bahan
Bakar Nabati (biofuel) dengan membentuk tim nasional pengembangan Bahan Bakar
Nabati (BBN). Sebagai upaya untuk mendukung pengembangan BBN maka telah
diterbitkan Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.
Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.

Kebijakan utama meliputi penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang
efisien, penetapan harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian
lingkungan. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 10
Tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
(BBN) untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Tim nasional ini
berkewajiban untuk menyusun Blue Print dan Road Map pengembangan energi
terbarukan termasuk BBN, khususnya biodiesel dalam kurun waktu 20 tahun, sejak
tahun 2005 hingga tahun 2025. Pada tahap I (2005-2010), minimal pemanfaatan
biodiesel sebesar 2% atau setara dengan 720.000 kilo liter untuk memenuhi kebutuhan
BBM nasional. Produk yang dapat memenuhi ini berasal dari tanaman jarak pagar dan

2
kelapa sawit. Tahap II (2011-2015), produksi biodiesel mampu memenuhi 3% konsumsi
solar atau setara dengan 1,5 juta kilo liter. Pada tahap III (2016-2025), diharapkan 5%
dari konsumsi solar nasional atau setara 4,7 juta kilo liter.
Di samping itu, Indonesia mempunyai potensi pengembangan jarak pagar yang
cukup besar, yaitu pada lahan yang sementara tidak diusahakan (lahan terlantar) yang
luasnya mencapai 12,40 juta ha serta padang rumput 3,10 juta ha serta sekitar 1 juta ha
lahan alang-alang yang tersebar di 13 provinsi telah diidentifikasi kesesuaiannya
(Mulyani et al., 2006).

Untuk percepatan penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati , kebijakan
tersebut di atas diikuti dengan adanya Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006, yang mana
antara lain menginstruksikan kepada Menteri Pertanian untuk :
1. Mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) termasuk
benih dan bibitnya.
2. Melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati
(biofuel)
3. Memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati.
4. Mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman
bahan baku Bahan Bakar Nabati (biofuel).
Oleh karena itu, pengembangan tanaman penghasil minyak (lemak) sebagai
bahan baku biofuel, khususnya biodiesel, harus segera diupayakan. Penggunaan
biodiesel mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bahan bakar yang berasal dari
minyak bumi, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal
dari fosil, mengurangi emisi yang membahayakan kesehatan, melindungi tanah dengan
bahan yang biodegradable.
Di Indonesia komoditas perkebunan penghasil minyak (lemak) cukup tersedia,
seperti kelapa sawit, kelapa, kemiri, jarak pagar dan lain-lain. Namun mengingat minyak
kelapa sawit dan kelapa merupakan minyak yang dapat dikonsumsi manusia (edible oil),
maka jarak pagarlah yang mempunyai peluang sangat besar, terutama pada lahanlahan marjinal. Pemilihan jarak pagar ini karena sudah ditanam di Indonesia sejak

“jaman penjajahan Jepang”, dapat tumbuh di lahan tandus dan lahan kritis, cepat
berproduksi, menggunakan teknologi sangat sederhana, menciptakan lapangan kerja di
kantong-kantong kemiskinan, bila ditinjau dari sisi pengendalian lingkungan dapat
menghijaukan lahan kritis dan lahan tandus, mengendalikan erosi sehingga dapat
membangun ekonomi pedesaan dan menghasilkan minyak nabati sebagai bahan bakar
yang ramah lingkungan. Sehingga kebutuhan bahan bakar nabati untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga atau perusahaan besar yang akan menyediakan sendiri bahan
bakarnya dalam rangka kemandirian energi.
BIJI JARAK SEBAGAI BAHAN BAKU BIODIESEL, PPO (PURE PLANT OIL) DAN
BIOKEROSIN
Dalam suatu produksi pertanian, khususnya tanaman jarak bahwa hasil biji
bukanlah merupakan parameter tunggal untuk mengukur keberhasilan suatu usaha
budidaya tanaman, khususnya tanaman jarak, namun rendemen yang diperoleh akan
sangat menentukan nilai keuntungan dari usaha budidaya, karena akan menentukan
jumlah minyak jarak yang akan dihasilkan.
Adanya penghapusan subsidi minyak tanah dan pembatasan pemakaian bahan
bakar minyak yang bersubsidi, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar, berkurangnya
produksi minyak dalam negeri serta adanya subsidi Bahan Bakar Nabati sebesar Rp
3.000,-/liter (APBN P 2012) adalah momen yang tepat untuk menghitung ulang peluang
pengusahaan tanaman jarak dalam skala luas (perusahaan) ataupun untuk skala petani

melalui bantuan-bantuan paket budidaya seperti Proyek-proyek APBD II, APBD I,
maupun APBN dalam rangka mensukseskan program Desa Mandiri Energi yang telah
dicanangkan sejak tahun 2007.
Biodiesel, lebih tepat disebut FAME (Fatty Acid Methyl Ester), merupakan BBN

3
yang digunakan untuk menggerakkan mesin-mesin diesel sebagai pengganti solar. BBN
ini berasal dari minyak nabati yang dikonversi melalui reaksi fisika dan kimia sehingga
secara kimia sifatnya sudah berubah dari sifat aslinya. Saat ini Pertamina telah
mengeluarkan produk ini dengan merek dagang Biosolar B5 yang merupakan hasil
pencampuran FAME dengan solar biasa (petrosolar) dengan perbandingan campuran
5% biodiesel dengan 95% minyak solar.
Biodiesel mempunyai fungsi yang sama dengan solar (sebagai bahan subtitusi),
maka harga solar akan sangat menentukan harga biodiesel, sehingga para pengguna
akan menginginkan agar harga biodiesel yang berbahan baku jarak pagar maksimal
harus sama dengan harga solar di dalam negeri. Dengan demikian akan merangsang
para pengusaha yang menggunakan bahan bakar minyak (non subsidi) untuk berfikir
mengusahakan tanaman jarak pagar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya
sendiri, yang nantinya akan berimplikasi pada pemanfaatan tenaga kerja dalam sektor
perkebunan jarak pagar.

PPO (Pure Plant Oil) adalah minyak nabati yang telah melalui proses pemurnian
seperti proses degumming (penghilangan getah) dan penyaringan. Pada proses
pembuatan PPO tidak diperlukan proses bleaching (pemucatan) dan deodorisasi
(penghilangan bau) seperti pada proses pembuatan minyak goreng, karena PPO
ditujukan sebagai subtitusi bahan bakar mesin diesel ”tidak bergerak” atau RPM rendah
seperti (genset, huller, traktor, penggergajian, dll) yang sekarang bertebaran di
masyarakat pedesaan. Adapun biaya pembuatan PPO dari CJO diperkirakan hanya Rp
1.000,-/l (Hendroko, 2008).
Biokerosin atau CJO (Jatropha Crude Oil) merupakan minyak nabati yang
ditujukan sebagai pengganti minyak tanah. Minyak nabati ini juga dikenal sebagai
minyak kasar karena belum mengalami proses pemurnian dan hanya mengalami proses
penyaringan dengan saringan 3 mikron.
Untuk mengetahui efisiensi biaya pembuatan biodiesel yang berbahan baku jarak
pagar dibuat simulasi penghitungan biaya produksi biodiesel, PPO dan CJO berdasar
perhitungan analisis usaha tani selama 10 tahun, yang dihitung dengan harga pada
keadaan sekarang (Nopember 2010) dengan menggunakan jenis jarak pagar
rekomendasi Kementrian Pertanian, yaitu IP 3 dan populasi tanaman 2500 per hektar
yang ditanam secara monokultur. Dari perhitungan analisis usahatani tersebut, pada
skala perusahaan (tanpa subsidi bibit) dan skala petani (dengan subsidi bibit dan tanpa
sewa tanah), diperlukan biaya yang cukup tinggi untuk menghasilkan satu kg biji jarak

kering, yaitu sebesar Rp 868,- untuk skala petani dan Rp 945,- untuk skala perusahaan.
Dari Tabel 1 pada asumsi harga minyak dunia US$ 105/barel, nilai tukar rupiah Rp
9.100,-/US$ seperti pada saat ini, dengan biaya pembuatan biodiesel berkisar antara Rp
5.263,- sampai dengan Rp 6.770,- kesemuanya lebih mahal dibanding harga solar
bersubsidi pada saat sekarang (Rp 4.500,-/l). Sehingga apabila tidak ada insentip
khusus yang diberikan kepada pelaku industri, mustahillah program pengembangan
Bahan Bakar Nabati bisa tercapai. Keadaan semacam ini menyebabkan program
pengembangan BBN yang berbasis jarak pagar berjalan di tempat. Namun bila
pemerintah memberikan subsidi BBN Rp 3.000,-/l (APBN P 2012) kepada para pelaku
industry seperti yang diberikan pada Pertamina pada saat ini, maka pengusahaan jarak
pagar yang mempunyai rendemen paling rendahpun (25%) layak untuk dikembangkan
sebagai bahan baku biodiesel. Adapun penghematan yang didapat berkisar antara Rp
3230,- sampai dengan Rp 5.303,- per liter biodiesel.
Dari Tabel 1 tersebut juga dapat dikemukakan bahwa makin tinggi rendemen biji
jarak yang diperoleh akan didapatkan biaya pembuatan biaodiesel yang semakin
murah..
Demikian pula biaya pembuatan PPO bahwa hampir semua hasil pengusahaan
tanaman jarak dari rendemen biji ke CJO (25-35%) tidak dapat bersaing dengan harga
solar subsidi, karena biaya pembuatan PPO hampir semua lebih mahal dibanding harga
solar subsidi (Rp 4500)/, namun bila dibandingkan dengan asumsi harga solar non


4
subsidi (Rp 7000/l), pengusahaan tanaman jarak dengan rendemen biji 25% sampai
35% kesemuanya mempunyai nilai positip, nilai selisih yang positip tersebut berkisar
antara Rp 730 sampai dengan Rp 2303 per liter PPO. Pemberian subsidi BBN sebesar
Rp 3000 per liter akan sangat menguntungkan petani maupun perusahaan, karena
dengan rendemen biji sebesar 25% sudah mendapatkan selisih biaya (penghematan)
yang cukup signifikan dan nilai selisih biaya akan semakin besar dengan semakin
tingginya rendemen biji jarak.
Di samping ada keuntungan lain yang tidak dapat dihargai dengan materi,
penggunaan PPO akan terjadi penyelamatan lingkungan dan terjadi kontinuitas pasokan
BBN yang diproduksi lingkungan sendiri dalam rangka mensukseskan program DME.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang subsidi BBN sebesar Rp 3000/l
maka harapan besar di kemudian hari untuk pengembangan BBN berbahan baku jarak
pagar akan terbuka luas kembali. Dengan adanya kebijakan tersebut rendemen biji
paling rendahpun (25%), baik perusahaan ataupun petani mendapatkan selisih yang
cukup signifikan apabila menyediakan sendiri bahan bakarnya.
Dengan adanya kebijakan subsidi BBN sebesar Rp 3000,-/l sebenarnya akan
sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan besar yang selama ini
memanfaatkan BBM dari minyak fosil. Pemanfaatan biodiesel asal jarak pagar akan

sangat menguntungkan karena dapat menanam sendiri, lalu mengolahnya sendiri dan
kemudian menggunakan sendiri untuk pabrik atau perusahaannya. Walaupun harga
minyak bumi turun hingga US$ 80/barel, mereka masih dapat memproduksi biodiesel
sendiri yang lebih murah dibanding membeli solar tanpa subsidi, meskipun hanya
mampu menghasilkan rendemen biji-CJO menjadi minimal 25%. Keuntungan bagi
perusahaan besar akan lebih besar jika pengusahaan jarak pagar memperoleh
rendemen yang lebih besar lagi. Penghematan biaya bahan bakar minyak akan menjadi
sangat besar jika harga minyak mentah dunia naik di atas US$105/barel.
Demikian pula jika pengusahaan tanaman jarak dilakukan oleh petani masih
sangat terbuka luas dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Hal tersebut dapat dilihat
pada nilai selisih yang cukup besar apabila petani menyediakan sendiri bahan bakar
untuk kemandirian energinya, baik berupa biodiesel, PPO maupun CJO yang
disetarakan dengan minyak tanah.

5

6
TANTANGAN DAN PENGEMBANGAN KE DEPAN
Secara umum dapat dikemukakan bahwa kendala utama untuk pengembangan
jarak pagar secara besar-besaran, adalah karena kurangnya pengetahuan tentang

potensi hasil dalam kondisi sub-optimal dan marjinal. Hal ini membuat sulit untuk
memprediksi hasil dari perkebunan masa depan pada kondisi sub-kondisi pertumbuhan
yang optimal, kondisi di mana Jarak pagar seharusnya membuktikan nilainya. Selain itu,
memprediksi produktivitas sangat diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat
dalam kaitannya dengan investasi.
Adapun penelitian-penelitian yang harus segera dilakukan berkaitan dengan
tindakan budidaya tanaman tersebut meliputi : pemilihan varietas, pengelolaan
pertanaman di lapang yang meliputi antara lain bahan tanam (bibit), penyiapan lahan
(pengolahan tanah), jarak tanam, pemupukan, pengairan, pengendalian hama dan
penyakit, pemangkasan dan pola tanam (tumpangsari) dsb.
Dalam suatu produksi pertanian, khususnya tanaman jarak pagar bahwa hasil biji
bukanlah merupakan parameter tunggal untuk mengukur keberhasilan suatu usaha
budidaya tanaman, khususnya tanaman jarak, namun rendemen yang diperoleh akan
sangat menentukan nilai keuntungan dari usaha budidaya, karena akan menentukan
jumlah minyak jarak yang akan dihasilkan.
Keberhasilan penggunaan jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel pada masa
mendatang, tidak lain adalah upaya peningkatan hasil biji jarak baik secara kuantitatip
dan kualitatip melalui tindakan budidaya tanaman dengan biaya serendah-rendahnya
untuk menghasilkan per kilogram biji jarak.
Persoalan yang muncul jika jarak pagar akan dikembangkan oleh rakyat, tidak

adanya lahan lagi dan tidak akan mau menggeser tanaman yang sudah ada untuk
diganti dengan jarak pagar. Penanaman jarak sebagai pembatas (pagar), saat ini lebih
cocok, karena secara teknis mudah dikembangkan, karena di pedesaan jarak pagar
banyak digunakan sebagai pagar hidup. Apabila petani enggan mengolah biji jarak
menjadi CJO, dengan hanya memanfaatkan inti biji (kernel) telah dapat digunakan
sebagai bahan bakar kompor UB-16 dengan murah dan mudah untuk kebutuhan
memasak dalam rumah tangga.
Harga biji jarak yang diberikan kepada petani akan lebih menarik jika bukan
berdasar dari harga biji jarak per kilogram secara sama rata, namun berdasar dari hasil
minyak yang didapatkan. Dengan kata lain petani menjual minyak jarak yang dihasilkan
berdasarkan kualitas biji (rendemen) ke koperasi. Program ini jika telah melembaga
dapat mengadopsi sistem pada Tebu Rakyat Intensifikasi, yang mana petani tidak
menjual tebu, namun petani menjual gulanya.
Belum adanya kejelasan tentang pasar dan harga untuk biji jarak bagi petani dan
produksi masih terbatas, pembeli belum berani bergerak karena skala ekonomi belum
efisien dimana jumlah produksi bahan baku masih terlalu sedikit untuk diproses dalam
pabrik. Gejolak harga minyak mentah pada semester pertama tahun 2008 yang
mencapai $130, semua akan berpikir tentang pemanfaatan BBN, namun begitu harga
minyak mentah turun pada kisaran $60 dan $70, program-program tersebut sangatlah
mudah untuk dilupakan pemerintah. Posisi petani juga sangat rentan jika tiba-tiba harga
minyak mentah dunia turun sampai US$60/barel, karena jika tidak ada campur tangan
pemerintah seperti halnya insentif, kemudahan-kemudahan dan subsidi BBN yang jelas
dan didasarkan pada Peraturan Pemerintah, siapapun akan enggan melaksanakan
Perpres No. 5 Tahun 2006 maupun mengimplementasikan Inpres No. 1 tahun 2006.
Oleh karena harga BBM dalam negeri sangat tergantung dari harga minyak
mentah dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar, yang mana kita ketahui semua
parameter penentu tersebut sangat berfluktuasi, maka pihak yang dapat diandalkan
untuk memproduksi biodiesel asal jarak pagar adalah perusahaan besar atau koperasi
yang dapat mengolah biodiesel sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri atau dijual
jika memungkinkan. Dengan cara ini, minimal dapat : (1) Menghemat devisa negara

7
untuk impor BBM fosil; (2) Memanfaatkan lahan tidur menjadi lahan produktif yang akan
berdampak positif pada lingkungan (berfungsi sebagai penghijauan) dan penyerapan
tenaga kerja pedesaan untuk kebun jarak pagar dan pabrik biodiesel; (3) Merangsang
peningkatan kegiatan ekonomi pedesaan; (4) mendorong kegiatan ekonomi yang lebih
hulu (penangkaran benih, dll) dan lebih hilir (transportasi, warung-warung makanan, dll);
dan (5) Menghasilkan pupuk organik dari sisa pengolahan.
Dalam rangka program pengembangan BBN, pemerintah perlu memberikan
fasilitas atau insentif kepada investor (dalam dan luar negeri) berupa: (1) Kemudahan
prosedur dan kecepatan waktu pemberian ijin usaha; (2) Pembebasan sementara pajak
(tax holiday) selama tanaman jarak pagar belum berproduksi; (3) Pembangunan
insfrastruktur pedesaan; dan (4) Melakukan sertifikasi dan pengawasan terhadap mutu
produk biodiesel yang akan dihasilkan, terutama yang akan dipasarkan kepada
konsumen, karena bahan baku biodiesel.
Realisasi subsidi BBN sebesar Rp 3.000,-/l yang telah ditetapkan pada APBN P
2012, hendaknya tidak hanya untuk konsumsi Bahan Bakar Nabati yang diproduksi oleh
Pertamina, karena tidak akan ada pendekatan yang langsung bersentuhan dengan
sektor riil, tenaga kerja dan ekonomi kerakyatan, dengan Triple Track Strategy, yaitu
Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor. Kebijakan subsidi BBN haruslah diterapkan kepada
perusahaan-perusahaan besar yang mengusahakan tanaman jarak pagar untuk
kebutuhan pabriknya sendiri. Hal tersebut sangatlah berimplikasi pada penyerapan
tenaga kerja, sehingga Program Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) diyakini
dapat digunakan untuk mewujudkan Triple Track Strategy yaitu Pro-Growth, Pro-Job
dan Pro-Poor.
Adanya program subsidi Bahan Bakar Nabati tersebut adalah momen yang tepat
untuk menghitung ulang peluang pengusahaan tanaman jarak dalam skala luas
(perusahaan) ataupun untuk skala petani melalui bantuan-bantuan paket budidaya
seperti Proyek-proyek APBD II, APBD I, maupun APBN dalam rangka mensukseskan
Inpres No. 1/2006 yang telah dicanangkan 3 tahun lalu serta tercapainya Desa Mandiri
Energi, khususnya di pedesaan.
Keberhasilan dan keberlangsungan dari program-program bantuan tersebut juga
harus ada partisipasi dari masyarakat sendiri melalui pengembangan kelompokkelompok tani andalan melalui Program Prima Tani. Demikian pula dalam menunjang
program ini harus diakomodasi oleh Dinas-dinas terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas
Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian, dan lain sebagainya.