KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN M

KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN
PANGKALAN MILITER DI DJIBOUTI 2011

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:
Muhammad Darmawan Ardiansyah
1112113000007

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2017
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang kepentingan Jepang membangun pangkalan
militer di Djibouti pada 2011. Aksi pembajakan kapal yang terjadi di sekitar perairan
Somalia dan Teluk Aden yang mencapai puncaknya pada 2008 menjadi latar belakang

penting bagi pembangunan pangkalan tersebut. Disaat pembajakan kapal di sekitar
perairan Somalia dan Teluk Aden mulai menunjukkan penurunan, terjadi peningkatan
pembajakan kapal di sekitar Selat Malaka pada 2014. Akan tetapi, Jepang tidak
membangun pangkalan militer di sekitar perairan tersebut seperti yang dilakukannya
di Djibouti. Dipilihnya Djibouti sebagai lokasi pembangunan pangkalan militer
pertamanya secara tidak langsung memperlihatkan bahwa wilayah perairan ini sangat
penting bagi Jepang. Penelitian ini bermaksud untuk memahami lebih jelas mengenai
tujuan dan hal-hal apa saja yang mendorong Jepang untuk membangun pangkalan
militer di Dijibouti. Adapun skripsi ini akan berfokus pada kepentingan Jepang
membangun pangkalan militer di Djibouti.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode

penelitian

kualitatif.

Metode

ini


digunakan

untuk

memberikan jawaban yang tepat dari analisa yang telah dilakukan,
sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai
skripsi ini. Sedangkan kerangka pemikiran utama yang digunakan
dalam skripsi ini adalah teori Neorealisme dan konsep kepentingan
nasional

yang

digunakan

untuk

menganalisa

permasalahan


penelitian, sehingga didapat jawaban yang tepat. Dalam konsep
kepentingan nasional menurut Neorealisme,

self-help menjadi

upaya yang sangat penting bagi sebuah negara untuk tetap survive
di sistem internasional yang anarki. Upaya survival ini terlihat ketika

Jepang membangun pangkalan militernya di Djibouti di tengah krisis
global melanda dan terjadinya peningkatan intensitas pembajakan
kapal di perairan Somalia dan Teluk Aden.
Kata kunci: Jepang, Djibouti, survival, self-help, relative
power, balance of power.
DAFTAR ISI
ABSTRAK.... ................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………..

V
VI
VIII
XI
XII
XIII

DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. XIV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .............................................................

8

C. Tujuan dan Manfaat ...............................................................

8


D. Tinjauan Pustaka ....................................................................

9

E. Kerangka Pemikiran ...............................................................

13

1. Neorealisme……….
…......................................................

F.
BAB II

13
15

2.


National Interest.. ............................................................ 17

3.

Balance of Power.............................................................

20

Metode Penelitian ................................................................... 21

G. Sistematika Penulisan .............................................................
KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG

BAB III

A. Kebijakan Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin………...

24

B. Kebijakan Pertahanan Jepang Pasca 11 September…............

PEMBANGUNAN PANGKALAN MILITER JEPANG DI

32

DJIBOUTI
A. Kondisi Geopolitik di Djibouti……………………………… 37
B. Aksi Pembajakan Kapal di Teluk Aden……...……………...

42

C. Pembangunan Pangkalan Militer Jepang di Djibouti Pada
2011………………………………………………………….
1.

47

Insiden Pembajakan Kapal Jepang oleh Perompak
Somalia…………………………………………………. 47

2.


Respon Jepang Terhadap Pembajakan Kapal di Teluk
Aden…………………………………………………….

3.

51

Respon Cina Terhadap Aksi Pembajakan Kapal di Teluk
Aden……………………………………………...

58

BAB IV KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN
PANGKALAN MILITER DI DJIBOUTI
A. Kepentingan Jepang Terhadap Stabilitas Keamanan di
Perairan Teluk Aden………………………………………... 64
B. Kerjasama Ekonomi: Kunci Peningkatan Relative Power

BAB V


Jepang……………………………………………………….

70

C. Upaya Balancing Jepang Terhadap Cina di Asia Timur……

82

PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

XV

DAFTAR TABEL

Tabel IV.B.1 Komoditas Utama Mineral di Afrika…………………………..
Tabel IV.B.2 10 Negara Dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Afrika


77

Pada 2015……………………………………………………………………..

40

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.A.1 Letak Djibouti Berdasarkan Jalur Perdagangan Minyak
Dunia………………………………………………………………………….

39

Gambar III.B.2 Peta Aksi Pembajakan Kapal Oleh Perompak Somalia……...

44

Gambar III.C.3.3 Peta Jalur Maritime Silk Road Cina……………………….. 59
Gambar IV.B.4 Peta Persebaran Sumber Daya Alam di Afrika……………...


75

Gambar IV.B.5 Peta Kepadatan Populasi Penduduk di Afrika……………….

80

DAFTAR GRAFIK

Grafik III.B.2.2 Data Pembajakan Kapal di Teluk Aden dan Perairan
Somalia Dari Tahun 2003 – 2014…………………………………………….

45

DAFTAR SINGKATAN

ABE

African Business Education

CGPCS

Contact Group on Piracy off the Coast of Somalia

CJTF-HOA

Combined Joint Task Force-Horn of Africa

CTF 151

Combined Task Force 151

DCOC

Djibouti Code of Conduct

DK PBB

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

EUNAVFOR

European Union Naval Force

GATT

General Agreement on Tariffs and Trade

GDP

Gross Domestic Product

IMF

International Monetary Fund

IRTC

Internationally Recommended Transit Corridor

NATO

North Atlantic Treaty Organization

ODA

Official Development Assistance

PBB

Perserikatan Bangsa-Bangsa

PKO

Peacekeeping Operation

SDF

Self-Defense Force

SHADE

Shared Awareness and Deconfliction Mechanism

SLOC

Sea Lines of Communication

TICAD

Tokyo International Conference on African Development

TNG Somalia

Transitional Federal Government of Somalia

UNODC

United Nations Office on Drugs and Crime

WMD

Weapon of Mass Destruction

WTO

World Trade Organization

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini menganalisis kepentingan Jepang membangun pangkalan militer di
Djibouti pada 2011. Tingginya angka pembajakan kapal di perairan Somalia dan
Teluk Aden telah menjadi perhatian serius berbagai negara, terutama Jepang. Demi
merespon hal tersebut, pada 2009 pemerintah Jepang mengirimkan kapal perangnya
ke perairan Somalia dan Teluk Aden untuk memberantas perompakan kapal di bawah
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keseriusan Jepang dalam memberantas
perompak ditunjukkan dengan pembangunan pangkalan militer di Djibouti pada
2011. Akan tetapi, Jepang tidak melakukan hal serupa di perairan Asia Tenggara.
Padahal tingkat aksi pembajakan kapal di perairan ini juga tinggi. Selain itu,
pembangunan pangkalan militer ini merupakan pembangunan pangkalan militer
Jepang yang pertama setelah kekalahannya pada Perang Dunia II.
Di bawah kepemimpinan Konoe Fumimora, Jepang menerapkan kebijakan
luar negeri berdasarkan konsep diplomasi Hakko Ichiu periode 1937-1939.12
Kebijakan inilah yang melatar belakangi Jepang melakukan ekspansi kekuasaan di
wilayah Asia. Sampai pada akhirnya kota Hiroshima dan Nagasaki menjadi sasaran
target bom atom yang dilancarkan oleh Amerika Serikat.3 Serangan itu memberikan
kekalahan telak yang menyebabkan Jepang harus menyerah kepada sekutu. Sejak
kekalahan tersebut, Jepang mulai merubah haluan kebijakan luar negerinya.
1 Marcus Willensky, “Japanese Fascism Revisited.” Stanford Journal of East Asian Affairs. Vol.
5, No. 1, (April, 2005): 69.
2 Hakko Ichiu adalah konsep diplomasi yang digunakan sebagai pijakan Jepang dalam
menentukan arah kebijakan luar negerinya pada masa PD II. Inti dari ide tersebut yaitu membentuk
perdamaian dunia di bawah naungan Jepang. Hal inilah yang dijadikan Jepang sebagai justifikasi
invasinya ke negara-negara Asia. Sumber: Marcus Willensky, “Japanese Fascism Revisited.”
3 J. Poolos, The Atomic Bombings of Hiroshima and Nagasaki (New York: Chelsea House
Publishers, 2008), 94.

Berdasarkan Postdam Declaration yang diatur dalam pasal 11 menyatakan
bahwa:
Jepang diizinkan untuk mempertahankan industri yang menopang perekonomiannya
dan diberi keleluasaan membayar ganti rugi perang dalam bentuk lain, lantas bukan berarti
hal ini memungkinkan Jepang mempersenjatai diri lagi. Demi tujuan tersebut, akses terhadap
bahan baku industri diizinkan. Pada akhirnya, Jepang juga diizinkan untuk berpartisipasi
dalam perdagangan dunia.4

Maka dari itu, kebijakan luar negeri Jepang paska PD II lebih diprioritaskan dalam
sektor pembangunan ekonomi.
Untuk mewujudkan hal tersebut dicetuskanlah Yoshida Doctrine oleh Shigeru
Yoshida.5 Poin utama dari doktrin ini menyatakan bahwa ekonomi menjadi
konsentrasi utama dari politik luar negeri Jepang untuk membangun kembali
negaranya yang luluh lantak akibat perang. Sehingga dalam setiap perumusan
kebijakan luar negeri pemerintahan Yoshida, doktrin ini menjadi acuan utama demi
mencapai kepentingannya dalam politik internasional.6

4 Government of Japan, “Postdam Declaration,” National Diet Library, 26 Juli 1945, [dokumen
resmi on-line]; tersedia di http://www.ndl.go.jp/constitution/e/etc/c06.html; Internet; diunduh pada 30
Juli 2016.
5 David M. Potter, Evolution of Japan’s Postwar Foreign Policy, dalam Laura Rubio Diaz Leal,
ed., China y Japon: Modernizacion Economica, Cambios Politicos y Posicionamiento Mundial
(Mexico City: Editorial Castillo, 2008), 6.
6 Agnita Handayani, Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Cina: Studi Kasus Distribusi
ODA Jepang ke Cina Periode 1992-2004, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011), 5.

Colombo Plan menjadi proyek awal dari penerapan Yoshida Doctrine dalam
kebijakan luar negeri Jepang.7 Menurut Huang, dengan terjalinnya kerjasama antara
Jepang dan negara-negara tersebut (berkembang), dapat meningkatkan citra positif
Jepang di mata internasional.8 Yang menyebabkan kepercayaan dunia internasional
terhadap Jepang semakin meningkat.
Selain berfokus pada pembangunan sektor ekonomi, Jepang juga berusaha
untuk memperbaiki citranya yang buruk pasca PD II.9 Hal ini diwujudkan dengan
bergabungnya Jepang menjadi anggota PBB pada 18 Desember 1956 di masa
pemerintahan Ichiro Hatoyama.10 Bergabungnya Jepang dalam PBB menunjukkan
bahwa Jepang memiliki komitmen yang tinggi untuk menjaga perdamaian

dan

keamanan internasional.
Berakhirnya era Perang Dingin memberikan kesempatan bagi Jepang untuk
meningkatkan pengaruhnya dalam politik internasional. Di bawah pemerintahan
Toshiki Kaifu, Jepang ingin menjadi pihak yang mengambil peran penting dalam
menjaga stabilitas dan keamanan khususnya di Asia.11

7 MOFA Japan, “History of Official Development Assistance,” [artikel resmi on-line]; tersedia
di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1994/1.html; Internet; diunduh pada 30 Juli 2016.
8 Meibo Huang, Policies and Practices of China’s Foreign Aid: A Comparison with Japan,
dalam Japan’s Development Assistance: Foreign Aind and the Post-2015 Agenda (New York: Palgrave
Macmillan, 2016), 139.
9 Bruce Stronach, Beyond The Rising Sun: Nationalism in Contemporary Japan (London:
Praeger, 1995), 2.
10 MOFA Japan, “An Argument For Japan’s Becoming Permanent Member,” [artikel resmi online]; tersedia di http://www.mofa.go.jp/policy/q_a/faq5.html; Internet; diunduh pada 30 Juli 2016.
11 Keiko Hirata, Reaction and Action: Analyzing Japan’s Relations With The Socialist
Republic Of Vietnam, dalam Regionalism and Japan: The Bases of Trust and Leadership (New York:
Routledge, 2001), 113.

Hal di atas diwujudkan dengan dibuatnya sebuah rancangan undang-undang
yang bernama UN Peace Cooperation Bill yang diajukan ke parlemen pada Oktober
1990.12 Poin utama dari Rancangan Undang-Undang ini adalah agar pasukan Jepang
dapat ikut berkontribusi dalam peacekeeping operation yang dilakukan oleh PBB.13
Akan tetapi, parlemen Jepang menolak untuk menyetujui undang-undang tersebut, hal
ini diakibatkan adanya penolakan publik terhadap keterlibatan pasukan Jepang dalam
konflik internasional.14
Maka, dicetuskanlah kembali RUU yang bernama International Peace
Cooperation Bill pada September 1991.15 Akan tetapi, RUU ini tidak langsung
disahkan oleh parlemen. Sampai pada akhirnya RUU ini disetujui pada 9 Juni 1992
dan disahkan pada 15 juni 1992 dengan nama International Peace Cooperation Act di
bawah pemerintahan Miyazawa Kiichi.16 Landasan hukum inilah yang menjadi awal
dari lahirnya landasan-landasan hukum lain terkait misi internasional yang dilakukan
oleh Self-Defense Force.
Salah satu landasan hukum penting yang menjadi dasar keterlibatan pasukan
Self-Defense Force dalam misi internasional adalah Law on Punishment of and
12 Inoguchi Takashi & Purnendra Jain, Japanese Foreign Policy Today, (New York: Palgrave,
2000), 127.
13 Christopher W. Hughes, Japan’s Security Agenda: Military, Economic, and Enviromental
Dimensions, (Colorado: Lynne Rienner Publishers, 2004), 160.
14 Namzariga Adamy, Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin, Tesis, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2004), 6.
15 Namzariga Adamy, Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin.
16 Namzariga Adamy, Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin.

Measures against Acts of Piracy.17 Landasan hukum ini dibuat berdasarkan resolusi
Dewan Keamanan PBB nomor 1816.18 Tujuannya adalah untuk menanggulangi aksi
pembajakan kapal yang terjadi di perairan Somalia dan Teluk Aden.19
Tingginya angka pembajakan di perairan Somalia dan Teluk Aden membuat
negara-negara di dunia, termasuk Jepang sangat antusias dalam menumpas aksi
kriminal tersebut.20 Untuk pertama kalinya, pada 2007, kapal tanker Jepang yang
berbendera Panama dibajak di perairan ini. Total sejak 2007 sampai dengan Maret
2011 telah terjadi 10 kali pembajakan terhadap kapal Jepang.21
Berdasarkan Law on Punishment of and Measures against Acts of Piracy
Jepang mengirimkan dua kapal perangnya yang membawa 400 personil pada 13
Maret 2009 untuk melakukan misi anti pembajakan di wilayah perairan teluk Aden
sekitar Somalia.22 Hal ini didukung oleh survei yang menunjukkan bahwa 60%
masyarakat Jepang mendukung kebijakan tersebut.23 Aksi ini juga didukung oleh
17 MOFA Japan, “Japan’s Actions Against Piracy Off the Coast of Somalia,” [artikel resmi online]; tersedia di http://www.mofa.go.jp/policy/piracy/ja_somalia_1210.html; Internet; diunduh pada 8
Agustus 2016.
18 Jade Lindley, Somali Piracy: A Criminological Perspective (New York: Routledge, 2016),
95.
19 Jennifer G. Cooke, “Piracy in the Gulf of Aden,” 2 Oktober 2008 [berita on-line]; tersedia di
https://www.csis.org/analysis/piracy-gulf-aden; Internet; diunduh pada 8 Agustus 2016.
20 Statista Analyst, “Number of Actual & Attempted Piracy Attacks in Somalia,” [artikel online]; tersedia di http://www.statista.com/statistics/250867/number-of-actual-and-attempted-piracyattacks-in-somalia/; Internet; diunduh pada 5 Agustus 2016.
21 John Knott, “Piracy Off Somalia: An overview of catch and release, counter measures,
trends, ransoms, hostages, rescues, recent developments appraised, and proposals for the future,”
[berita on-line]; tersedia di http://www.hfw.com/Piracy-off-Somalia; Internet; diunduh pada 4
November 2015.
22 MOD Japan, “Dispatch of MSDF Vessels to Water off the Coast of Somalia,” [berita resmi
on-line]; tersedia di http://www.mod.go.jp/e/jdf/no13/policy.html; Internet; diunduh pada 6 Agustus
2016.
23 Japan Times Reporter, “Mission Backed by 60% but 29% Shun SDF Poll,” [berita on-line];
tersedia di http://www.japantimes.co.jp/news/2009/03/15/national/mission-backed-by-60-but-29-shun-

Japanese Shipowners Association, Japan Seamen’s Union, serta beberapa Non
Governmental Organization Jepang yaitu, Nippon Foundation dan Ocean Policy
Research Foundation.24 Hal ini menunjukkan bahwa dinamika dalam negeri
mendukung penuh aksi Jepang dalam pemberantasan perompak di teluk Aden.
Dua tahun berikutnya, tepatnya 1 Juni 2011 Jepang secara resmi
mengoperasikan pangkalan militernya yang terletak di Djibouti. Dana sebesar 4,7
miliar yen atau $59 miliar dianggarkan untuk pembangunan fasilitas militer tersebut.
Pembangunan ini ditujukan untuk mendukung segala kegiatan yang dilakukan oleh
pasukan militer Jepang dalam melakukan aksi pemberantasan pembajakan kapal di
sekitar perairan teluk Aden dan Somalia.25
Operasi pemberantasan aksi pembajakan kapal yang dilakukan oleh Jepang di
perairan Somalia dan Teluk Aden memiliki dasar-dasar hukum yang kuat. Adapun
hukum-hukum tersebut diantaranya adalah Japan’s Basic Act on Ocean Policy yang
disahkan pada April 2007. Terdapat dua pasal penting yang berkaitan dengan isu ini
yaitu, pasal 20 yang memuat tentang keamanan transportasi di lautan dan pasal 21
yang berisikan kewajiban negara untuk menjamin keamanan dan keselamatan kapalkapal Jepang di lautan.26
sdf-poll/; Internet; diunduh pada 6 Agustus 2016.
24 Harry N. Scheiber & Jin-Hyun Paik, Regions, Institutions, and Law of the Sea: Studies in
Ocean Governance (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013), 260.
25 MOD Japan, “Japanese Facility for Counter – piracy Mission in Djibouti,” [berita on-line];
tersedia di http://www.mod.go.jp/e/jdf/no22/topics.html#article02; Internet; diunduh pada 5 agustus
2016.
26 Japan Cabinet, “Basic Act on Ocean Policy: Act No. 33 of April 27, 2007,” [berita resmi online]; tersedia di http://www.kantei.go.jp/jp/singi/kaiyou/konkyo5.pdf; Internet; diunduh pada 10
November 2016.

Kemudian dasar hukum yang ada dalam Basic Plan on Ocean Policy yang
disusun pada 2008. Dalam penyusunan dasar hukum tersebut, pemerintah Jepang
secara tegas menyatakan bahwa perlu diambil tindakan untuk menekan aksi
pembajakan kapal dengan pembuatan kerangka hukum yang sesuai dengan hukum
internasional.27
Selanjutnya pasal 82 yang termuat dalam Self-Defense Force Law, yang
menjadi dasar legitimasi Jepang untuk mengirimkan pasukannya memberantas
pembajakan kapal di teluk Aden.28 Kemudian diperkuat oleh Law on Punishment of
and Measures against Acts of Piracy yang disahkan pada 19 Juni 2009. Hal ini
memungkinkan pasukan Jepang untuk bertindak lebih efektif dalam melakukan
operasi pembajakan kapal.29
Diresmikannya pangkalan militer pertama Jepang di Djibouti pada 2011 ini
sangat menarik sekali untuk dikaji. Pertama, terjadinya peningkatan pembajakan
kapal di perairan Somalia dan Teluk Aden mendorong Jepang untuk membangun
pangkalan militer di perairan tersebut. Akan tetapi, Jepang tidak melakukan hal yang
serupa di perairan Asia Tenggara dan Selat Malaka. Padahal, perairan ini merupakan
wilayah yang paling rawan terjadinya aksi pembajakan kapal daripada perairan

27 Harry N. Scheiber & Jin-Hyun Paik, Regions, Institutions, and Law of the Sea: Studies in
Ocean Governance, 261.
28 Yoneyuki Sugita, Japan Viewed from Interdisciplinary Perspectives: History and Prospects
(Maryland: Lexington Books, 2015), 182.
29 B. S. Chimni, Miyoshi Masahiro, & Javaid Rehman, Asian Yearbook of International Law:
Volume 15 (2009) (New York: Routledge, 2012), 276.

Somalia dan Teluk Aden.30 Kedua, pembangunan pangkalan militer ini merupakan
pembangunan pangkalan militer Jepang yang pertama setelah kekalahannya pada
Perang Dunia II.31 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kepentingan di balik
pembangunan pangkalan militer tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, penulis mengajukan pertanyaan
penelitian untuk dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
Apa kepentingan Jepang membangun pangkalan militer di Djibouti pada
2011?
C. Tujuan dan Manfaat
Skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu:
1) Mengetahui kepentingan Jepang dalam membangun pangkalan militer di
Djibouti, baik itu kepentingan ekonomi dan militer. Dalam hal ini mencoba
untuk memahami arah kebijakan pertahanan Jepang.
2) Mengetahui pengaruh aksi pembajakan kapal oleh perompak Somalia
terhadap stabilitas perekonomian Jepang.
30 Al Jazeera, “The Pirates of Southeast Asia,” [berita on-line]; tersedia di
http://www.aljazeera.com/news/2015/12/pirates-southeast-asia151206061744642.html; Internet; diunduh pada 29 Januari 2017.
31 Alex Martin, “First Overseas Military Base Since WWII to Open in Djibouti,”
[berita on-line]; tersedia di
http://www.japantimes.co.jp/news/2011/07/02/national/first-overseas-militarybase-since-wwii-to-open-in-djibouti/#.WI17DVxp_6g; Internet; diunduh pada 29
Januari 2017.

3) Menganalisis dampak pembangunan pangkalan militer Jepang di Djibouti
terhadap stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur.
Berdasarkan tujuan di atas, penulis mengharapkan bahwa skripsi ini dapat
menjadi salah satu referensi yang bermanfaat bagi peneliti yang memiliki ketertarikan
dan minat tinggi terhadap isu ekonomi dan militer Jepang.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian

yang

membahas

mengenai

perkembangan

kebijakan pertahanan Jepang dan aksi pembajakan kapal di perairan
Somalia

dan Teluk Aden telah banyak sekali dipublikasikan,

diantaranya:
Tesis yang ditulis oleh Mark C. Jackson yang berjudul “Rising
Sun Over Africa: Japan’s New Frontier for Military Normalization.”
Secara garis besar tesis ini menjelaskan tentang hubungan Jepang
dengan Afrika, terutama hubungan dalam aspek keamanan melalui
Tokyo International Conference on African Development (TICAD)
dan peacekeeping operation. Jepang melihat bahwa Afrika dapat
menjadi alternatif bagi Jepang untuk meningkatkan statusnya dalam
sistem internasional, dari negara yang pasifis menjadi negara yang
normal.32
32 Mark C. Jackson, Rising Sun Over Africa: Japan’s New Frontier for Military
Normalization, Tesis, (California: Naval Postgraduate School, 2016), 30.

Evolusi

kebijakan

pertahanan

Jepang

dan

peningkatan

aktivitas internasional oleh Japan Self-Defense Force menunjukkan
bahwa adanya usaha Jepang meredefinisi kembali posisinya dalam
sistem internasional. Kebutuhan Jepang terhadap sumber daya alam
dari

Afrika

secara

tidak

langsung

mendorong

Jepang

untuk

meningkatkan kepentingan yang lain, yakni politik dan keamanan.
Kepentingan tersebut digunakan untuk mengurangi pembatasan
mengenai peran dan memberikan legitimasi bagi JSDF untuk terlibat
aktif dalam misi internasional yang dilakukan oleh PBB.33
Persamaan yang dimiliki oleh tesis dan skripsi ini terletak
pada pembahasan tentang kebijakan Jepang dalam merespon
fenomena

pembajakan

kapal

di

perairan

Somalia.

Walaupun

memiliki topik bahasan yang sama, akan tetapi tesis dan skripsi ini
memiliki perbedaan yang signifikan pada jawaban penelitian.
Jawaban penelitian yang ada di tesis ini berfokus pada kepentingan
Jepang menjadikan Afrika sebagai alternatif dalam meningkatkan
posisi pasukan militernya di sistem internasional. Sedangkan, dalam
skripsi ini penulis berfokus pada kepentingan Jepang membangun
pangkalan militer di Djibouti pada 2011.

33 Mark C. Jackson, Rising Sun Over Africa: Japan’s New Frontier for Military
Normalization, 69.

Yang kedua, yaitu sebuah working paper yang ditulis pada
2015 oleh Wilhelm Vosse dari Cardiff University yang berjudul, “An
Independent Deployer in Informal Organizational Structures: Japan’s
Contribution to the CGPCS.” Artikel ini menjelaskan tentang
partisipasi Jepang dalam misi anti pembajakan kapal yang terjadi di
sekitar perairan teluk Aden dan Somalia pada 2009 melalui Contact
Group on Piracy off the Coast of Somalia (CGPCS).34
Menurut Vosse, kontribusi Jepang terhadap CGPCS diwujudkan
dalam bentuk bantuan finansial yang sangat besar. 35 Walaupun
Jepang berkontribusi besar terhadap CGPCS, akan tetapi Jepang
belum mendapatkan posisi yang strategis di

working group

tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan legalitas hukum-hukum
Jepang mengenai misi anti pembajakan kapal yang masih menjadi
perdebatan di internal CGPCS itu sendiri.36
Persamaan antara artikel dan skripsi ini terdapat pada
pembahasan mengenai kontribusi Jepang terhadap CGPCS yang
dibentuk pada 2009, untuk mendukung misi anti pembajakan kapal
di perairan teluk Aden dan Somalia. Artikel ini sangat menekankan
34 Wilhelm Vosse, An Independent Deployer in Informal Organizational Structures: Japan’s
Contribution to the CGPCS, Working Paper, (Cardiff: Cardiff University, 2015), 1.
35 Wilhelm Vosse, An Independent Deployer in Informal Organizational Structures: Japan’s
Contribution to the CGPCS, 16.
36 Wilhelm Vosse, An Independent Deployer in Informal Organizational Structures: Japan’s
Contribution to the CGPCS.

pada kontribusi Jepang terhadap CGPCS agar lebih fleksibel dan
efisien dalam berkoordinasi serta bertukar informasi. Sedangkan
skripsi ini lebih menekankan pada relevansi pembangunan fasilitas
militer Jepang di Djibouti dengan misi anti pembajakan kapal di
perairan tersebut.
Tulisan ketiga, yakni sebuah skripsi yang ditulis oleh Endar
Aminata dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul, “Kebijakan Pemerintah
Jepang Mengirimkan Kapal Perang Dalam Memberantas Perompak
Ke Teluk Aden Somalia Tahun 2009.” Endar menjelaskan tentang
langkah

strategis

Jepang

untuk

terlibat

dalam

memberantas

perompak di teluk Aden. Hal ini merupakan peristiwa yang sangat
besar, di mana sebelumnya Jepang tidak pernah terlibat aksi militer
pasca kekalahannya di Perang Dunia II.37
Endar melihat bahwa Jepang mulai berani untuk mengambil
kebijakan pertahanannya sendiri tanpa bayang-bayang Amerika
Serikat.38 Selain itu, Endar menekankan bahwa kebijakan Jepang
mengirimkan pasukan SDF ke teluk Aden tidak melanggar konstitusi
37 Endar Aminata, Kebijakan Pemerintah Jepang Mengirimkan Kapal Perang Dalam
Memberantas Perompak Ke Teluk Aden Somalia Tahun 2009, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2010), 6.
38 Endar Aminata, Kebijakan Pemerintah Jepang Mengirimkan Kapal Perang Dalam
Memberantas Perompak Ke Teluk Aden Somalia Tahun 2009.

1947. Hal ini dikarenakan tujuan utamanya adalah untuk melakukan
operasi kriminal, bukan operasi militer. Di mana operasi ini sangat
diperlukan untuk mengamankan kepentingan ekonomi Jepang.39
Perbedaan utama dengan skripsi yang penulis teliti adalah
fokus pembahasan yang lebih menekankan pada motif utama
dibalik kepentingan Jepang membangun pangkalan militer Jepang di
Djibouti. Persamaannya terletak pada pembahasan isu kejahatan
transnasional berupa pembajakan kapal di teluk Aden. Dapat
dikatakan juga skripsi ini ingin melanjutkan pembahasan skripsi
yang ditulis oleh Endar, di mana telah terjadi eskalasi dalam isu
tersebut. Yang di awal Jepang hanya mengirimkan dua kapal
perangnya ke teluk Aden sampai membangun pangkalan militer di
Djibouti.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa
konsep yang terdapat dalam ilmu hubungan internasional. Konsepkonsep yang akan penulis gunakan, yaitu:
E.1 Neorealisme

39 Endar Aminata, Kebijakan Pemerintah Jepang Mengirimkan Kapal Perang Dalam
Memberantas Perompak Ke Teluk Aden Somalia Tahun 2009, 89.

Dalam bukunya yang berjudul Theory of International Politics,
Kenneth Waltz menjelaskan bahwa keadaan sistem internasional
yang anarki mendorong negara-negara untuk bersiap menghadapi
segala situasi, karena sifat alami negara adalah berperang dan hal
itu dapat terjadi sewaktu-waktu.40 Self-help adalah prinsip yang
paling penting dalam sistem internasional yang anarki. Berdasarkan
prinsip tersebut maka setiap negara akan melakukan segala upaya
untuk meningkatkan security-nya.41
Menurut pandangannya, balance of power adalah kondisi
yang paling ideal untuk mempertahankan sistem internasional yang
anarki. Waltz menjelaskan bahwa balance of power dapat terjadi
karena negara-negara dalam sistem internasional yang anarki
berusaha untuk survive. Maka dari itu, upaya negara untuk tetap
survive dalam sistem internasional ditujukan demi terciptanya
balance of power. Terdapat dua jenis bentuk dalam balance of
power bagi suatu negara yaitu, internal balancing dengan cara
meningkatkan kekuatan militer dan kebijakan pertahanan, serta
external balancing dengan cara memperkuat aliansi dengan negara
lain.42
40 Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics (Philipines: Addison-Wesley
Publishing Company, Inc., 1979), 88-102.
41 Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, 112.
42 Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, 118-121.

Dalam karyanya lain yang berjudul The Origins of War in
Neorealist Theory,43 Waltz menjelaskan bahwa terdapat dua faktor
penting dalam sistem anarki yang menyebabkan kompetisi atau
konflik. Kedua faktor tersebut yakni: kondisi negara yang berada
dalam situasi yang anarki mendorong negara untuk mengamankan
negaranya dan adanya ancaman atau potensi ancaman yang
mengancam keamanan negaranya. Berdasarkan dua hal di atas,
negara akan mengidentifikasi ancaman-ancaman tersebut dan
mengunakan power-nya untuk menangkal ancaman-ancaman itu.
Hal ini dikarenakan setiap negara akan melakukan berbagai usaha
untuk mengamankan negaranya.
Terjadinya eskalasi kebijakan pertahanan Jepang dari tahun ke
tahun menunjukkan bahwa Jepang sedang melakukan upaya selfhelp

untuk

mempertahankan

eksistensinya

dalam

sistem

internasional yang anarki. Kedinamisan Jepang dalam meningkatkan
kebijakan pertahanannya menunjukkan bahwa keputusan Jepang
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sistem internasional
yang anarki.
E.2 National Interest

43 Kenneth N. Waltz, “The Origins of War in Neorealist Theory,” Journal of
Interdisciplinary History 18 (1988): 619.

Kepentingan nasional menjadi salah satu konsep penting yang seringkali
digunakan untuk menganalisis sebab dari perilaku yang ditunjukkan oleh sebuah
negara. Dalam skripsi ini penulis menggunakan konsep kepentingan nasional
berdasarkan pandangan kaum neo-realis. Tentunya konsep kepentingan nasional yang
dikemukakan oleh kaum neo-realis sangat berbeda dengan kaum realis.
Kenneth Waltz sebagai tokoh utama neo realis berpendapat bahwa,
kepentingan nasional merupakan produk yang dihasilkan oleh struktur sistem
internasional, yang memberikan sinyal otomatis kepada negara untuk merespon
peristiwa yang ditimbulkan olehnya. Tidak seperti asumsi Morgenthau yang
menyatakan bahwa kepentingan nasional adalah ide-ide yang digunakan sebagai
acuan pemimpin dalam menentukan kebijakan luar negerinya.44
Pada dasarnya, negara berupaya untuk mengamankan kelangsungan hidup
mereka dengan kapabilitas yang dimiliki dalam merespon sistem internasional.
Dalam proses tersebut, negara memiliki kesempatan untuk mempengaruhi sistem
internasional, tetapi tidak dapat mengontrolnya. Selama negara berada dalam situasi
self-help, survival menjadi hal terpenting yang harus diperjuangkan negara dalam
sistem yang anarki. Karena survival menjadi syarat mutlak bagi suatu negara untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lain.45

44 Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory (New York: Palgrave
Macmillan, 2005), 43.
45 Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, 44.

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat poin-poin penting yang harus
diperhatikan, yaitu:46
1. Negara memiliki kapabilitas untuk mempengaruhi sistem, tetapi tidak
dapat mengontrolnya.
2. Survival menjadi kepentingan nasional paling primer yang harus
didahulukan oleh negara sebelum kepentingan yang lainnya.
3. Kemampuan negara untuk mencapai keamanan (security) ditentukan
oleh relative power daripada absolute power.
Negara dapat dikatakan bertindak sesuai dengan kepentingan nasional jika
keamanan menjadi prioritas utama kebijakannya. Pada dasarnya, setiap negara
memiliki kebijakannya masing-masing, maka dari itu setiap negara akan
memperhitungkan segala tindakannya dalam merespon sistem yang anarki agar
negara tersebut tidak terjebak dalam situasi yang membahayakan.47
Dalam pandangan Waltz, memaksimalkan relative power menjadi cara terbaik
bagi sebuah negara untuk mempertahankan upaya survival mereka dalam sistem
internasional yang anarkis. Karena kepentingan yang lain akan mudah di dapat jika
kebutuhan dasar negara dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial
telah tercapai.48
46 Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, 44-45.
47 Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, 45.
48 Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, 46.

Terjadinya eskalasi kebijakan luar negeri Jepang terhadap fenomena
pembajakan kapal di Somalia patut menjadi perhatian. Pembangunan pangkalan
militer pertama Jepang di Djibouti sejak kekalahannya pada PD II merupakan hal
bersejarah bagi kebijakan luar negeri Jepang. Keberanian Jepang untuk mengambil
keputusan tersebut tentunya dilandasi oleh motif yang kuat. Dalam hal ini konsep
kepentingan nasional digunakan sebagai alat analisis untuk melihat kepentingan
Jepang dalam membangun pangkalan militer tersebut.
E.3 Balance of Power
Dalam menganalisis penelitian ini penulis mencoba mengkaji permasalahan
dengan konsep “balance of power” yang dikemukakan oleh Stephen M. Walt. Dalam
teori ini, Walt menunjukkan bahwa negara melakukan upaya balancing maupun
bandwagoning untuk merespon ancaman dari negara lain. Yang pada akhirnya
diperlukan beberapa kriteria atau situasi dimana suatu negara mempertimbangkan
negara lain sebagai ancaman.49
Jika suatu negara merasakan besarnya kekuatan melalui kapabilitas suatu
negara secara kuantitatif, misalnya suatu negara yang dianggap sebagai ancaman
adalah negara yang memiliki populasi penduduk yang besar, kekuatan ekonomi yang
stabil, ataupun kapabilitas militer yang semakin meningkat. Selain itu, kedekatan

49 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power,” International
Security Journal, Vol. 9, No. 4 (1985): 9.

jarak geografis suatu negara juga bisa menjadi indikator adanya sumber ancaman
terhadap negara lain dalam satu wilayah berdekatan.50
Sehingga negara menganggap ancaman terbesarnya adalah negara yang
berdekatan secara geografis dengan negaranya.51 Kemudian Walt memberikan empat
kriteria sumber ancaman yang dapat dilihat dari suatu negara yang menentukan
kebijakan balancing atau bandwagoning suatu negara, yaitu:
i) Aggregate Power: Negara yang memiliki sekumpulan kekuatan seperti
kekuatan ekonomi dan perdagangan, kemajuan teknologi dan industri,
kepadatan populasi, dan kekuatan militer, adalah negara yang sebagian
besar

menunjukkan

ancaman

terhadap

negara

lainnya

dengan

menggunakan kapabilitas tersebut.52
ii) Proximate Power: Dimana wilayah atau jarak jauh dan dekatnya suatu
negara dengan negara lain ternyata mampu menentukan ancaman. Negara
lain yang berjarak lebih dekat dengan suatu negara memiliki potensi yang
lebih besar untuk memberikan ancaman dibandingkan mereka yang
berjarak lebih jauh dari negara tersebut.53
iii) Offensive Power: Berkaitan dengan kriteria atau sumber ancaman dilihat
dari aggregate power, secara lebih spesifik Walt menunjukkan bahwa
50 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power.”
51 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power.”
52 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power.”
53 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power,” 10.

negara yang memiliki kapabilitas tools atau perangkat yang bersifat
ofensif seperti angkatan militer dan perlengkapan persenjataan, akan
memiliki kemungkinan untuk memicu ketegangan antar negara maupun
aliansi.54
iv) Offensive Intentions: Offensive power yang dimiliki negara akan
menimbulkan hasrat suatu negara untuk menyerang negara lain. Seperti
yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, bahwa kekuatan atau
kapabilitas perangkat ofensif adalah modal untuk memberikan ancaman.
Oleh karena itu, hasilnya adalah sikap negara menjadi lebih agresif dan
mengesampingkan international order.
Meningkatnya intensitas ketegangan di Asia Timur, terutama di Laut Cina
Selatan menjadi perhatian serius bagi Jepang. Agresifitas Cina dalam mengklaim
kepemilikan wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur memberikan ancaman
nyata bagi negara-negara di sekitarnya, salah satunya Jepang. Dengan keterbatasan
kebijakan pertahanan yang dimilikinya, akan menyulitkan Jepang untuk menghadapi
kapabilitas militer Cina yang semakin meningkat.
Maka dari itu, Jepang harus mengambil langkah yang tepat dalam kebijakan
luar negerinya, agar bisa mengimbangi kekuatan Cina di Asia Timur. Berdasarkan
konsep Balance of Power, skripsi ini akan menganalisis mengenai keterkaitan

54 Stephen M. Walt, “Alliance of Formation and the Balance of World Power,” 11.

peningkatan kapabilitas militer Cina terhadap kebijakan luar negeri Jepang
membangun pangkalan militer di Djibouti.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Penulis menggunakan metode ini karena lebih sederhana
dan praktis untuk digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian
yang menjelaskan tentang terjadinya sebuah fenomena yang
disusun berdasarkan sumber-sumber yang telah ada. Penelitian ini
diawali dengan penelitian yang bersifat deskriptif dan eksploratif
yang dilanjutkan dengan mengidentifikasi fenomena tersebut.
Penelitian ini berfokus pada satu topik yang melihat asal usul
terjadinya sesuatu.55
Kemudian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengumpulan
data secara kualitatif. Data-data yang digunakan antara lain berasal
dari buku-buku, artikel, jurnal akademis, berita, dan internet yang
sebagian besar berasal dari situs-situs internet yang memiliki
otoritas dalam mempublikasikan tulisan-tulisan yang terkait dengan
penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
55 W. Lawrence Newman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches
(Boston: Pearson Education, Inc., Fourth Edition, 1999), 22.

Bab I

Pendahuluan
Pendahuluan

adalah

bagian

penelitian

yang

menjadi

dasar

utama

dilakukannya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II

Kebijakan Pertahanan Jepang
Bab ini menjelaskan tentang sejarah kebijakan pertahanan Jepang pasca

perang dingin dan pasca terjadinya peristiwa 11 September sampai saat ini. Bab ini
diawali dengan pembahasan mengenai kebijakan pertahanan Jepang pasca Perang
Dingin. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kebijakan pertahanan Jepang
pasca terjadinya peristiwa 9 September. Peningkatan kebijakan ini ditandai dengan
dibentuknya National Defence Programme Guidelines (NDPG) pada 2004 yang
berisi poin penting mengenai keterlibatan SDF dalam menjaga stabilitas
internasional.
BAB III

Pembangunan Pangkalan Militer Jepang di Djibouti

Pada bab ini akan di bahas mengenai kondisi geopolitik di sekitar Djibouti.
Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
tumbuhnya pengaruh eksternal di negara tersebut. Meningkatnya pembajakan kapal
di teluk Aden dan Somalia menjadi salah satu faktor penting yang mendorong Jepang
untuk ikut terlibat dalam pemberantasan aksi kriminal di kawasan. Keseriusan Jepang

dalam hal ini ditunjukkan dengan pembangunan pangkalan militer pada 2011 di
Djibouti.
BAB IV

Kepentingan Jepang Membangun Pangkalan Militer di Djibouti

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai motif Jepang membangun pangkalan
militer di Djibouti menggunakan teori kepentingan nasional menurut pandangan
kaum neo realisme. Kepentingan utama Jepang terkait pembangunan pangkalan
militernya di Djibouti adalah sebagai upaya survival terhadap ancaman perompak
Somalia. Adapun dalam hal ini kepentingan Jepang terhadap keamanan perairan ini
dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu ekonomi dan keamanan. Dalam aspek
ekonomi, Jepang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perairan ini
karena sebagian besar perdagangan Jepang didistribusikan melalui transportasi laut.
Keputusan Jepang untuk memperpanjang operasional pangkalan militernya di
Djibouti secara tidak langsung menunjukkan bahwa, ada upaya dari Jepang untuk
meningkatkan relative power-nya. Di mana relative power ini akan sangat berguna
bagi Jepang untuk melakukan upaya balancing terhadap Cina di kawasan Asia Timur.
BAB V

Penutup

Pada bab ini, penulis akan memaparkan kesimpulan dari tiap bab sampai
dengan hasil analisis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sehingga didapat
sebuah pemahaman yang komprehensif terkait skripsi ini.

BAB II
KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG
Berakhirnya Perang Dingin dijadikan penulis sebagai pengawal untuk
memahami transformasi kebijakan pertahanan Jepang, di mana peristiwa tersebut
merupakan awal perubahan yang signifikan dari kebijakan pertahanan Jepang dalam
sistem internasional. Hal ini ditandai dengan dibuatnya konsep kokusai koken
(international contributions) di bawah pemerintahan PM Toshiki Kaifu. Tujuan utama

dibuatnya konsep ini adalah untuk meningkatkan peran Jepang yang lebih aktif dalam
isu-isu internasional.56
Dalam sisi keamanan, konsep ini digunakan Jepang untuk dapat berkontribusi
dalam UN Peacekeeping Operation mengatasi berbagai permasalahan keamanan
demi menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian dunia. 57 Berdasarkan hal di
atas, pertama, bab ini akan menjelaskan tentang kebijakan pertahanan Jepang pasca
Perang Dingin. Kedua, akan dijelaskan kebijakan pertahanan Jepang pasca peristiwa
9 September. Dimana terjadi peningkatan yang signifikan dalam kebijakan
pertahanan Jepang, yang ditandai oleh pembentukan National Defence Programme
Guidelines (NDPG) pada 2004.
A. Kebijakan Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin
Seperti yang telah dijelaskan di atas, berakhirnya perang dingin membawa
perubahan yang sangat besar terhadap arah kebijakan pertahanan Jepang. Konsep
kokusai koken (contribution to the international community) menjadi panduan
penting dalam pembentukan kebijakan pertahanan Jepang. Di mana konsep ini tidak
hanya terbatas dalam isu ekonomi saja, tetapi juga isu-isu yang berkaitan dengan
keamanan dan stabilitas perdamaian dunia.58
56 Takehiko Ochiai, “Beyond TICAD Diplomacy: Japan’s African Policy and African
Initiatives In Conflict Response.”
57 Louis G. Perez, Japan at War: An Encyclopedia (California: ABC-CLIO, 2013), 371.
58 In Sung Jang, “How the Japanese Understand International Responsibility and Contribution:
Its Historical Nature as Featured in the International System,” [artikel on-line]; tersedia di
http://dev.wcfia.harvard.edu/us-japan/research/pdf/05-06.Jang.pdf; Internet; diunduh pada 14 Oktober
2016.

Masifnya perkembangan isu keamanan pasca perang dingin mendorong
pemerintah Jepang untuk meningkatkan pengaruhnya dalam politik internasional. Di
bawah pemerintahan Toshiki Kaifu, Jepang ingin menjadi pihak independen yang
mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah Asia.59
Hal ini tercermin dalam pidatonya di Singapura yang menyatakan bahwa,
“Jepang akan mengambil peran politik untuk memberikan kontribusi bagi stabilitas
wilayah Asia, khususnya Indochina, dan Jepang bersumpah tidak akan lagi menjadi
kekuatan militer.”60 Implementasi dari pidato tersebut yakni keikutsertaan Jepang
dalam misi yang dilakukan PBB untuk menyelesaikan konflik internasional,
khususnya di wilayah Asia.
Perang teluk pada 1990-1991 menjadi batu loncatan bagi Jepang untuk terlibat
dalam isu keamanan internasional khususnya di Asia.61 Kontribusi Jepang dalam
penyelesaian konflik di wilayah tersebut lebih bersifat bantuan logistik dan bantuan
finansial untuk pembangunan kembali infrastruktur yang rusak akibat perang. 62 Total
dana bantuan yang dikeluarkan Jepang dalam konflik tersebut sebesar 13 miliar dolar
AS.63
59 Keiko Hirata, “Reaction and Action: Analyzing Japan’s Relations With The Socialist
Republic Of Vietnam,” dalam Regionalism and Japan: The Bases of Trust and Leadership, Routledge,
New York, 2001, hal. 113.
60 Keiko Hirata, “Reaction and Action: Analyzing Japan’s Relations With The Socialist
Republic Of Vietnam,” hal. 114.
61
“Current
Issues
Surrounding
UN
PKO
&
Japanese
Perspective,”
http://www.mofa.go.jp/policy/un/pko/issues.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2016, pukul 17:45.
62
“Japan’s
Response
To
The
Gulf
Crisis,”
http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1991/1991-2-2.htm. Diakses pada tanggal 31 Juli 2016,
pukul 17:58.
63 Amy L. Catalinac, “Identity Theory and Foreign Policy: Explaining Japan’s Responses To
The 1991 Gulf War & The 2003 US War In Iraq,” Politics & Policy, Vol. 35, No. 1, Cambridge, 2007,

Untuk melegitimasi tindakannya, pemerintahan Toshiki Kaifu membuat
sebuah rancangan undang-undang yang bernama UN Peace Cooperation Bill. RUU
ini diajukan ke parlemen pada Oktober 1990.64 Akan tetapi, parlemen Jepang menolak
untuk menyetujui undang-undang tersebut, hal ini diakibatkan adanya penolakan
publik terhadap keterlibatan pasukan Jepang dalam konflik internasional.65
Selain itu, sebagian besar publik Jepang pada masa Toshiki Kaifu merasa
pengiriman tersebut telah melanggar konstitusi.66 Dalam Peace Constitution 1947,
secara jelas menyatakan bahwa, “Dengan hati yang tulus didasarkan pada keadilan
dan ketertiban bagi perdamaian internasional, rakyat Jepang selamanya menolak
perang dan ancaman atau penggunaan kekerasan sebagai hak kedaulatan bangsa
dalam menyelesaikan konflik internasional. Untuk memenuhi tujuan paragraf
sebelumnya, angkatan darat, laut, dan udara, demikian pula potensi perang lainnya,
tidak akan dipelihara. Hak beligerensi negara tidak akan diakui.67
Walaupun intensitas penolakan terhadap keterlibatan pasukan SDF dalam misi
internasional masih cukup tinggi. Pemerintahan Toshiki Kaifu tetap berusaha untuk
membuat sebuah landasan hukum agar pasukan SDF memiliki legitimasi dalam setiap
hal. 62.
64 Inoguchi Takashi & Purnendra Jain, “Japanese Foreign Policy Today,” Palgrave, New
York, 2000, hal. 127.
65 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin,” Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004, hal. 6.
66
Japan’s
Response
To
The
Gulf
Crisis.
http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1991/1991-2-2.htm. Diakses pada tanggal 1 agustus
2016, pukul 10:30.
67
“The
Constitution
of
Japan”,
http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html. Diakses pada
tanggal 4 November 2015, pukul 21:35.

misi yang akan dijalankannya. Maka, dicetuskanlah kembali RUU yang bernama
International Peace Cooperation Bill pada September 1991.68
Akan tetapi, RUU ini tidak langsung disahkan oleh parlemen. Sampai
akhirnya RUU ini disetujui pada 9 juni 1992 dan disahkan pada 15 juni 1992 dengan
nama International Peace Cooperation Act di bawah pemerintahan Miyazawa
Kiichi.69 Tujuan utama dibentuknya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan
peran Jepang dalam menjaga keamanan dan stabilitas perdamaian dunia, melalui
peacekeeping operation di bawah naungan PBB.70
Prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang tersebut adalah (1)
kesepakatan gencatan senjata di antara kedua belah pihak terjadi, (2) Kedua pihak
setuju akan adanya operasi penjaga perdamaian yang dilakukan oleh Jepang di bawah
naungan PBB, (3) Pasukan perdamaian harus menjaga netralitas di antara pihak yang
berkonflik, (4) Jika prinsip-prinsip di atas tidak terpenuhi, pemerintah Jepang dapat
menarik pasukan perdamaiannya, dan (5) penggunaan senjata diperbolehkan dalam
batas seminimal mungkin untuk melindungi nyawa pasukan.71

68 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin,” Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004, hal. 6.
69 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin.”
70 Patrick M. Cronin & Michael J. Green, Redefining the US-Japan Alliance: Tokyo’s National
Defense Program, (Washington: National Defense University Press, 1994), 37.
71 Andrew L. Oros & Yuki Tatsumi, Global Security Watch Japan, (California: Praeger, 2010),
13.

Adapun dalam pelaksanaannya, peacekeeping operation yang dilakukan
Jepang dapat dibagi dalam 4 macam, yaitu: peacekeeping missions, humanitarian
relief operations, election monitoring activities, dan in-kind contributions.72 Sejak
diberlakukannya PKO Act oleh Jepang pada Agustus 1992,73 terlihat bahwa Jepang
memiliki keinginan besar untuk