View of Sebuah Metamorfosa Budaya 130 1 10 20171017

92

SUSASTRA

gembira, kendati usaha seperti itu seharusnya telah dilakukan sejak lama.
Sebuah harapan yang diam-diam menyembul di benak adalah masih
banyak karya para penulis drama yang belum diterbitkan, misalnya saja
terbayang sebuah buku yang lengkap mengenai karya-karya Wisran Hadi,
Rendra, Akhudiat, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Ikranagara, N. Riantiano,
Iwan Simatupang. Usaha yang sudah dilakukan dan sangat berharga
adalah pencrbitan karya-karya Melayu Tionghoa oleh penerbit yang
berada di bawah naungan Gramedia Grup.

Sebuah Metamorosa Budaya
Ibnu Wahyudi

Universitas Indonesia

Judul buku: Perantau wnpula11 Ce,pen)
Penulis: Gus fSakai
Penerbir: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2007
Tebal: 133 halaman

D

ari segi semantik, laku "merantau" tenlu eat berkaitan dengan tindakan
atau langkah melepaskan diri dari kungkungan kehidupan yang dirasa
membelenggu, dengan pergi ke daerah atau negeri tertcntu. Akan tetapi,
bisa juga penyebabnya tidak sekadar keterbatasan semacam itu; merantau
sangat mungkin dilakukan karena memang harus dilakukan: sebuah
k�mestian! Tujuan yang hendak digapai, barang tentu alasannya berbagai­
bagai pula, tetapi kehendak untuk mencari penghidupan yang lebih layak,
memperluas cakrawala atau memperdalam pengetahuan, dan semacamnya,
sangat boleh jadi merupakan pemicu utamanya.
Lamas dalam perantauannya itu, niscaya beragam kisah atau suka­
duka kehidupan telah dihirup oleh sang perantau sehingga orang lain
bisa saja akan memperoleh pengalaman darinya atau akan mendapat
sisi-sisi kehidupan berbeda yang mungkin saja belum direngkuh.
Sekiranya harapan semacam ini yang berayun-ayun manakala membaca
kata "perantau" yang telah ditabalkan sebagai judul kumpulan cerpen

ini, pembaca pantas bersiap untuk cukup kecewa lantaran bukan hal-hal
yang bersifat pengalaman merantau yang disajikan dalam kumpulan
cerpen ini melainkan lebih pada semacam pemahaman ulang atau bahkan
kegamangan akan makna kebiasaan atau adat merantau itu.

94

SUSASTRA

Kendati kita matbum bahwa penulisnya, Gus tf Sakai, boleh
dinyatakan sebagai orang yang tidak tengah dalam perantauan atau or­
ang yang belum pemah merantau, sementara ia berasal dari lingkungan
yang mengkondisikan laku yang sedemikian itu, tidak berarti bahwa ia
tidak boleb atau tidak mungkin menulis mengenai laku merantau itu.
Dalam ranah sastra, pengalaman menghadapi atau langsung mengalami
suatu peristiwa atau suatu keadaan tidak menjadi jaminan akan kualitas
kisah sebagaimana pernah dialaminya itu. Dengan perkataan lain, sangat
terbuka kcmungkinan bahwa seseorang yang bahkan belum penah
datang atau hidup dalam suatu komun itas atau budaya tertentu misalnya,
tetap mempunyai peluang untuk mampu bercerita mengenai komunitas

atau budaya tertentu itu secara sedap dan meyakinkan. Semuanya ini
berpulang kepada kekuatan "imajinasi" seperti bebcrapa kali disurat dan
ditunjukkan dalam kisah "SpongeBob" bahwa imajinasilah, dan hanya
karena imajinasi semata, yang selama ini telah menyihir pemirsa untuk
betah dan pasrab "dikibuli" oleh kefiksian.
Namun demikian, Gus tf Sakai memang sungguh tidak dalam posisi
ingin mendemonstrasikan kemampuan imaj inatifnya untuk,
katakankalah, bercerita mengenai pengalaman merantau atau sejenisnya
itu. Yang terasa kuat dari cepen-ccpen yang dihimpun dalam antologi
ini justru adalah persoalan bersikap, bertimbang, atau bcrkalkulasi
kembali atas sejun1lab laku budaya yang tentunya ia kenal dengan baik
itu. Pertimbangan atau pemahaman kembali tersebut kcmudian
mengejawantah menjadi semacam kebimbangan, kegamangan,
ketidakpastian, atau malahan juga kritik atas sejumlah praksis budaya
yang membebat di sekelilingnya.
Membaca cerpen-cerpen Gus tf Sakai dalam kumpulan ini,
istimewanya bagi saya, tidak lagi sebatas membaca pada tataran yang
wadag saja sebab dari komposisi yang ia pertujukkan jclas ada isyarat
untuk merenungkan pem1asalahan di sebalik narasi yang ia kreasi. Ada
semacam ajakan untuk menyelusup ke dalam ranab makna yang tidak

sekadar permukaan, utamanya dirangsang oleh ketidaktransparanan
pesan yang ia siratkan. Pada cerpen yang diambil sebagai judul antologi
ini, misalnya, pembaca dihadapkan pada sebuah persoalan esensial yang
sangat manusiawi, yang sehari-bari, yak:ni bahwa .ita seringkali lebih

IBNU WAHYUDI

95

dikooptasi oleh pikiran-pikiran tentang sesuatu hal daripada secara
langsung bergumul atau bergelut dengan sesuatu hal itu. Dalam kaitan
"merantau", contohnya, duga-duga akan hidup di perantauan yang
niscaya selalu akan mengingatkan segala sesuatu yang telah ditinggalkan,
semisal ingatan akan suara bangsi atau romantisme hidup di masa belum
akil balig atau masa kanak-kanak, dipampangkan di depan pembaca.
Padahal, sekali lagi, kesemuanya itu hanya sebuah konstruksi yang baru
dibayangkan, belum dilakukan. "Hams kuakui, semua hanya mungk.in
kutemui dalam mimpi." ("Gadis Terindah", halaman 23).
Bahwa sesuatu yang telah biasa atau sudah menjadi semacam adat
untuk dijalankan tidak selalu hendak dilaksanakan, sangat bermuara pada

sejumlah realita. Salah satunya adalah bersumber atas keterbelahan
pribadi seseorang, yang kondisi psikologisnya tidak sclamanya mudah
membedakan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang mungkin
atau bisa dilakukan (Jihat cerpen "Lelaki Bermantel"). Pada kondisi
semacam ini, "merantau" sesungguhnya sudab dilakukan meski "rantau"
yang telah dirambab adalah bukan di nana-mana, "Kami terus masuk,
kian ke dalam; bagai ke wilayah lain di luar kampung, tetapi sebenamya
di kampung itu juga." ("Gadis Terindab", halaman 24). Perantauan
imajinatifatau bahkan perantauan kejiwaan semacam ini pada hakikatnya
juga adalah merantau, mengalami suatu gerak atau lakuan yang tidak
sepenuhnya disadari, yang sesungguhnya "tak pemah ada, tak lebih hanya
ciptaan, ... rekaan dalam pikirannya." (''Lelaki Bermantel", halaman I 0).
Jika di dalam perantauan yang biasa, adalah wjar mengalami suatu
keadaan suka maupun duka, pada "perantauan" sebagaimana baru
disebut, yang terungkap bisa-bisa hanyalah aspek dukanya saja. Apa­
apa yang belum dijalani tetapi gambaran dukanya sudah seringkali
disimak dari kisah-kisah para perantau, memang akan sangat mungkin
memberikan semacam rangsang a tau rekayasa imajinatif yang jauh lebih
kaya, lebih mengerikan, dan mungkin juga lebih mengendap dalam benak
seseorang. Dan jika kondisi seperti ini yang lantas meraja, yaitu adanya

rasa was-was yang melibas, tak dapat disangkal memang sekiranya ada
yang lebih memiJih merantau di rumah saja, atau memilih menjadi katak.
Merantau atau tidak merantau, galibnya, dipilib atas sejumlah
pertimbangan. Tetapi siapa yang mau atau suka menimbang-nimbang

96

SUSASTRA

sesuatu yang telah menjadi semacam lradisi,kebiasaan, adat, kelaziman,
dan laku sosial itu? Kalaupun ada yang kemudian merepotkan diri dengan
persoalan ontologis ini tentu bukan mereka yang telah merantau, bukan
mereka yang tunduk dan takzim begin, saja kepada adat, atau bukan
mereka yang mau mengalir saja dalam hidup ini, melainkan adalab
mercka yang bisa jadi belum pemah merantau, seperti halnya Gus tf
Sakai. Kendati begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa yang pernab
merantau pun, atau bahkan mereka yang bukau dari lingkungan sosial
budaya seperti itu, tertarik untuk memperbincangkan ihwal merantau
ini dari sudut pandang yang bcragam. Kemudian hasilnya, barang tentu,
tidak dengan sendirinya akan operasional atau akan menjati semacam

pertimbangan sosial yang mampu mcngubah tradisi atau adat in.1,
melainkan menjadi sekadar bahan renungan, retleksi, atau pemikiran
yang menyebabkan orang lebih menjadi dewasa dan matang dalam
bersikap terhadap kehidupan.
Lewat cerpen-cerpennya, setidak-tidaknya dalam kumpulan ini, ada
nada gamang yang cukup kuat dilontarkan oleh penulis, meski bisa saja
kegamangan ill.1 tidak selalu bersinggungan dengan persoalan merantau.
Akau tetapi,jika ditimbang-timbang lagi,agalcnya rasa gamang itu tetap
saja bertelekan pada akar kehidupan yang digambarkan, yang sangat
mungkin kembali kepada persoalan merantau itu. Kegamangan yang
direpresentasi oleh penegasian atau ketidakpastian itu bertebaran dalam
banyak cerpen dalam Perantau ini. Sebagai misal, banyaknya
ketidakpastian seperti terungkap pada penggalan kalimat "... tampak
seperti melayang (ataukah terbang?)" ("Belatung", halaman 53), "...
mengiringi (ataukah menuntun?)" ("Hilangnya Malam", halaman 64),
"Gambar-gambar (bentuk-bentuk itu!)" (''Tok Sakat", halaman 82), "...
jatuh meluncur (ataukah disedot?)" ("Sumur", halaman 110), "... hun1a
(ataukah pantai?)" ("Stefani dan Steanny", halaman 116), dan "... biru
(ataukah hijau?)" ("Lelaki Bermantel", halaman 3), mengisyaratkan
kegamangan yang ditebarkan di hampir semua cerpen. Belun1 lagi dengan

dipakainya sejumlah kata yang secara langsung menunjukkan
kebimbangan itu seperti "entah", "tidak", "ragu" yang muncul berulang
kali di sejumlah cerpen, kian memperkuat dugaan akan kegamangan
terhadap sesuatu yang telab berlaku dalam kehidupan. Dan karena

IBNU WAHYUDI

97

pengikat semua cerpen dalam buku ini diberi tajuk "perantau", maka
prasangka akan kegamangan yang menyerempet soal "merantau" cukup
punya alasan dikemukakan di sini.
Namun demikian, apa sesungguhnya hakikat "merantau" itu?
Jawabau terhadap masalah ini secara sosio-budaya tentu dapat diperoleh
dari sejumlah buku, namun Gus tf Sakai agaknya ingin menjelaskan
esensi "merantau" ini dengan cerpen-cerpennya. Dalam cerpcn berjudul
"Belatung" misalnya, secara metaoris dikemukakan bahwa merantau
itu intinya adalah sebuah metamorfosa, sebuah perubahan laiknya dari
ulat menjadi kupu-kupu, dari sesuatu yang tak berharga menjadi scsuatu
yang dipuja-puja. Apabila makna "pcrubahan" itu diwakili oleh hanya

sebuab kata, ia dapat saja berupa ungkapan "aku ingin" ("Belatung",
halaman 53), "ia ingin" ("Hilangnya Malam",halaman 61),atau dengan
kata-kata verbal-denotatif seperti "berubah" ("Hilangnya Malam",
halaman 63) atau "menjelma" ("Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas",
halaman 50.)
Dari cepen yang terakhir disebut, terdapat alinea yang menunjukkan
bahwa kehidupan ini sendiri adalah sebuah perantauan, sebuah perubahan
yang seringkali tidak lagi dipahami hakikat perubahannya itu. Dan
perubahan itu tidak selamanya bennula dari yang jclek menjadi indah
sebagaimana tersurat dalam cerpen "Belatung" melainkan bisa
sebaliknya.
Tak mungkin! Itu kejadian 40 tahun lalu. Tak mtmgkin! Itu peristiwa
dari tempat berbeda. Ini Jakarta, di sebuah kaki lima, dan ia telah
menjelma jadi seorang pengemis renta dengan sebelah kaki lain pun
kini nyaris tak ada,ha bis digasak borok, kudis. Ia telah tak lebih seonggok
daging 77 tahun yang tens meny11sut ... ("Tujuh Puluh Tujuh Lidah
Emas", halaman 50).
Tentu saja, bukan perubahan seperti ini yang kita harapkan semua
dari "perantauan" kita di dunia ini, tapi sebaliknya. Semoga!


Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

An Analysis of illocutionary acts in Sherlock Holmes movie

27 148 96

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

Teaching speaking through the role play (an experiment study at the second grade of MTS al-Sa'adah Pd. Aren)

6 122 55

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

Analysis On Students'Structure Competence In Complex Sentences : A Case Study at 2nd Year class of SMU TRIGUNA

8 98 53

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37