PEMIKIRAN MULYADHI KARTANEGARA TENTANG I

PEMIKIRAN MULYADHI KARTANEGARA TENTANG ISLAMISASI
ILMU DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN DI UNIVERSITAS ISLAM1
Oleh Hajar Mutahir
hajarmutahir1994@outlook.co.id
Mahasiswa Jurusan Aqidah & Filsafat Islam Semester II Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
Abstrak
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya penerapan dikotomi keilmuan di dalam
lembaga pendidikan Islam. Alasan itu mendorong penulis mengkaji pemikiran
Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu dan relevansinya dengan
pengembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam. Tulisan ini berisi tentang
latar belakang keilmuan Mulyadhi Kartanegara, yakni sebagai pemikir dan
intelektual Muslim yang banyak berkontribusi dalam bidang keilmuan Islam,
seperti teologi dan filsafat Islam. Kemudian, inti pemikiran Mulyadhi
Kartanegara tentang islamisai ilmu yakni bahwa islamisasi ilmu dimaknai
sebagai proses naturalisasi ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif
ilmu pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas dan dengan begitu spiritualitas
menjadi terlindungi. Adapun asumsi dasar islamisasi ilmu terdiri dari dua;
naturalisasi ilmu dan sekulerisasi ilmu. Sedangkan untuk ruang lingkup islamisasi
ilmu meliputi; status ontologi objek ilmu yang terdiri dari Tuhan, Malaikat,

benda-benda langit dan angkasa, dan benda-benda bumi; klasifikasi islamisasi
ilmu yang terdiri dari ilmu metafisika, ilmu matematika, dan ilmu fisika; metode
ilmiah islamisasi ilmu yang terdiri dari metode observasi, demonstratif, dan
intuitif. Terakhir, terdapat tiga relevansi islamisasi ilmu dengan pengembangan
ilmu pengetahuan di universitas Islam di Indonesia yaitu; pengislaman nalar
manusia, menghidupkan kembali pola berpikir saintifik dalam Islam, dan
menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam.
Keywords: Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi Ilmu, Relevansi Islamisasi Ilmu
A. PENDAHULUAN
Sebelum masuk ke dalam ulasan tentang seorang tokoh intelektual
muslim kontemporer, yaitu Mulyadhi Kartanegara, dalam makalah ini penulis
akan lebih dahulu mengantar pembaca ke dalam islamisasi ilmu pada
umumnya. Islamisasi ilmu bukan barang asing lagi bagi mereka yang
menggumuli ilmu-ilmu seperti filsafat ilmu dan ilmu pendidikan Islam.
Gagasan ini menurut sejarahnya telah dipakai di dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di institusi pendidikan Islam ternama, seperti, International
1

Tulisan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metode dan
Pendekatan Kajian Islam (MPKI), dosen pengampu Dr. Ngainun Naim, M.H.I. Dipresentasikan di

Kelas Filsafat IAIN Tulungagung pada 23 Februari 2017.

1

Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC, Amerika Serikat.
Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, gagasan tentang islamisasi ilmu
ini kemudian diterapkan di Indonesia, dan secara institusional menjadi
universitas Islam. 2 Lalu, sejauh islamisasi ilmu adalah penerapan sains dan
agama secara integral.
Islamisasi ilmu pengetahuan masih menjadi polemik di kalangan umat
islam sendiri, seolah-olah layaknya barang antik yang baru diperkenalkan.
Para pemikir muslim sendiri sebenarnya juga masih ada yang pro-islamisasi,
mempropagandakan atau bahkan menentangnya. 3 Inilah alasan mengapa
program islamisasi ilmu pengetahuan masih begitu hangat di dalam kajiankajian Islam. Persoalan keilmuan, seperti masalah objektivitas dan
universalitas ilmu mulai dipertanyakan lagi, terutama di dalam wilayah kajiankajian post-kolonial. 4 Kritik tajam juga dilontarkan oleh ilmuwan-ilmuwan
kontemporer terhadap teori-teori ilmiah yang dipandang mapan selama
berabad-abad lamanya. Bahkan, kritik tersebut tidak hanya dilontarkan dalam
level teortis, namun sedikit lebih mendalam hingga pada level metode-metode
serta paradigmanya. Teori-teori ilmiah yang dianggap mapan itu pada
akhirnya menjadi pesoalan baru bagi ilmuawan-ilmuwan kontemporer, seperti

yang dilakukan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya The Structure of
Scientific Revolution untuk mengkritik kemapanan epitemologi Barat di awal
abad ke 21.5
Istilah “islamisasi” dapat dipahami sebagai sebuah proses atau
kegiatan mengislamkan sesuatu, seperti halnya kata standarisasi, naturalisasi,
atau kristenisasi, semuanya memiliki makna imbuhan yang sama. Inilah yang
membuat para ilmuwan Muslim prihatin. Pondasi-pondasi ilmu dan tonggak
peradaban yang dahulu dicetuskan dan dipelopori oleh ilmuwan-ilmuwan
Muslim di masa lampau, sekarang justru harus diislamkan.6 Di dalam sejarah
peradaban Islam, umat Muslim di masa lalu memiliki tradisi keilmuan yang
unggul. Penemuan di bidang sains oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim menjadi
landasan pokok bagi perkembangan sains modern kala itu. Walaupun
demikian, kita jua tidak bisa mengatakan bahwa Islam sebagai faktor inheren

2

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan. (Bandung : Nuansa, 2003), h. 330.
3
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode

Kritik. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), h. 124.
4
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.
(Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 129.
5
Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sians. (Bandung: Rosdakarya, 1993), h.
43-51.
6
Abu Bakar Adenan Siregar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. (Medan: UIN Sumatera Utara,
2010), h. 91.

2

perkembangan ilmu, sebab tradisi keilmuan yang unggul itu ternyata tidak ikut
menyebar seperti halnya “Islam” itu sendiri.
Lalu, pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, mungkinkah islamisasi
ilmu dapat dilakukan? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan
nada positif. Dalam konteks ini, penulis akan mencoba berdialog dengan
pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu.
Konsep dan pola-pola pengembangan ilmu-ilmu keislaman di institusi

pendidikan Islam, mendapat banyak perhatian di Indonesia, terutama pada
tokoh Mulyadhi Kartanegara. Mulyadhi Kartanegara kerap mengkritisi nalar
keagamaan yang dominan berkembang di Indonesia sembari menyuguhkan
konsep dan model alternatif dalam mendekati Islam.7 Ia ingin menawarkan
sebuah model alternatif melalui buah pemikirannya yang dituangkan dalam
bukunya Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Ia hendak
menumbuhkan tradisi pengkajian agama yang semula sangat dominan
bercorak normatif-doktriner, menuju ke pengkajian agama yang bercorak
rasional-filosofis.
Tidak cukup sampai disitu, islamisasi ilmu juga diaplikasikan secara
nyata melalui upaya islamisasi secara institusional di lembaga pendidikan
Islam, seperti mendirikan sekolah-sekolah Islam dan universitas-universitas
Islam. Di dalam institusi pendidikan Islam nantinya akan diajarkan konsepkonsep ilmu yang sudah ter-islamisasi (politik islam, sosiologi islam,
psikologi islam, dsb), di samping pengajaran pada ilmu keislaman murni
(fikih, tasawuf, nahwu, lughah, dsb). Dengan demikian, harapan yang hendak
dicapai oleh pendidikan Islam nantinya adalah menghasilkan ahli-ahli agama
yang berwawasan umum, ataupun ilmuan-ilmuan yang berwawasan Islam.
Jadi, output sarjana di bidang fisika astronomi dan biologi, misalnya, tidak
sekedar memahami ilmu-ilmu fisik semata, tetapi juga dengannya, para
ilmuwan dapat menangkap sisi-sisi keimanan kepada Allah, serta menguatkan

kebenaran agama yang sejalan dengan ilmu tersebut. Pun demikian dengan
sarjana di bidang anatomi tubuh tidak sekedar memahami sel-sel dan organ
tubuh manusia, tetapi juga mampu menangkap rahasia kekuasaan Allah di
baliknya. Begitu seterusnya.8
Maka dapat kita pahami bahwa islamisasi ilmu pada dasarnya adalah
upaya-upaya membangun keilmuan secara logis, kritis, dan sistematis untuk
mengikis dikotomi keilmuan agama dan umum. Pemikiran Mulyadhi
Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu ini menjadi dasar sekaligus roh dari
7

Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, h. 130. Lihat juga Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Adib
Abdushomad (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 94.
8
Parluhuran Siregar, “Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah”
dalam jurnal Miqot Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014, h. 336.

3

seluruh sistem pendidikan Islam di universitas islam, terutama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, sebagai lanjutan dari gagasan “Islam Rasional” oleh
Harun Nasution. Gagasan tentang islamisasi ilmu terus dikembangkan dan
diperluas ke berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia hingga detik ini,
sebagai syarat untuk menyelengarakan pendidikan agama (Islam), sosial, dan
sains secara terpadu. Gagasan ini disambut baik oleh dunia Islam di Indonesia
dengan ditandai oleh berdirinya Universitas Islam Negeri (UIN) di Jakarta
pada tahun 2002. Di situlah awal upaya untuk mengintegrasikan ilmu
pengetahuan Islam dan umum dilakukan secara institusional di Indonesia.
Upaya ini umumnya dikenal dengan istilah islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer.9
B. PEMIKIRAN MULYADHI KARTANEGARA TENTANG ISLAMISASI
ILMU
Mulyadhi Kartanegara lahir pada tanggal 11 Juni 1959 di Tangerang.
Ia pernah mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok Tangerang dan
melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang juga.
Kemudian Ia melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP)
IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984.10
Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk
melanjutkan pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East
Studies, The University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas

dasar beasiswa dari Ford Foundation untuk English International Course di
Davis California dan Fullbright Foundation. Hingga akhirnya program Master
berhasil diraihnya pada tahun 1989 dengan thesisnya yang berjudul “The
Mistical Reflection Of Rumi”. Begitu juga dengan gelar Doktornya yang ia
raih di universitas yang sama dan mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor)
dari Department of Near Eastern Languages and Civilization (NELC), The
University of Chicago (1996). 11 Mulyadhi Kartanegara adalah pemikir
Muslim Indonesia yang memiliki kepekaan tinggi dalam segi keilmuan
terutama di bidang filsafat dan teologi. Berbagai bidang akademik ditekuninya
telah membawanya mampu belajar di luar negeri dan memperoleh gelar
Doktor di bidang filsafat Islam. Kedalaman pengetahuan dan keluasan
wawasan membuatnya bergerak membaktikan diri ke ranah akademik pula
9

Nurmawati Restianingsih, Epistemologi Keilmuan Islam dan Umum: Konsep Integrasi
Interkoneksi UIN Sunan Kaljaga dan Implementasinya dalam Pembelajaran Jurusan PAI di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Yogyakarta: Skripsi Tidak Terbit, 2014), hlm. 23.
10
Lihat di dalam pengantar buku Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm.
01.

11
Dharma Shanti Educational Foundation, dalam www.dsief.org, diakses 17 Februari
2017.

4

salah satunya dengan menjadi dosen pengajar sampai dengan dosen tamu di
beberapa lembaga ternama di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam bahasa Arab, islamisasi ilmu dikenal dengan istilah “islamiyyat
al-ma’rifat” dan dalam bahasa inggris disebut dengan “islamization of
knowledge”. Namun dalam pengertiannya, islamisasi ilmu adalah istilah yang
mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar
etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan
menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan
yang sesuai dan metode ilmiah yang tidak bertentangan dengan norma-norma
Islam.12
Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam memaknai istilah islamisasi ilmu sebagai
proses naturalisasi ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif ilmu
pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas dan dengan begitu spiritualitas

menjadi terlindungi. Lebih lanjut, menurutnya, proses islamisasi ilmu
merupakan sebuah proses yang wajar dan alamiah, sebab ilmu tidak pernah
netral dan bebas nilai. Sebagaimana yang telah ia buktikan dan terangkan di
dalam gagasan tentang naturalisasi dan sekukarisasi ilmu.13
Kemunculan gagasan islamisasi ilmu tidak lepas dari istilah
naturalisasi dan sekularisasi ilmu. Analisis Mulyadhi tentang naturalisasi ilmu
dan sekulerisasinya menunjukkan ketidaknetralan ilmu. Sejak dulu ketika ilmu
berkembang di suatu wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai
ideologis, budaya, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuwan di
wilayah tersebut. Kemudian muncullah dengan apa yang disebut helenisasi
ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada masa klasik Islam, kemudian
westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap
ilmu. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang alamiah bahwa ketika dari
Barat ilmu ditransfer ke negara-negara Islam, ilmu tersebut mengalami
naturalisasi, yaitu proses adaptasi dan akulturasi ilmu terhadap nilai-nilai
religius dan budaya yang berkembang di sana. Proses naturalisasi ilmu oleh
orang-orang Islam inilah menurut Mulyadhi yang melatarbelakangi adanya
islamisasi ilmu.14
Kemudian dengan adanya sekularisasi pada ilmu seperti yang telah
terjadi di Barat, islamisasi ilmu barangkali tidak akan begitu penting kalau

saja sekularisasi tersebut tidak menimbulkan ancaman-ancaman bahkan
serangan-serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar-pilar kepercayaan
12

Ismail Raji’ Al-Faruqi, “Islamization of Knowledge” dalam www.wikipedia.com, diakses
tanggal 18 Feb 2017.
13
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar. (Bandung: Mizan & UIN Jakarta Press,
2005), hlm. 01.
14
Ibid, hlm. 131.

5

kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar
dunia. Namun, karena ternyata semuanya terjadi dan kita sebagai penganut
agama merasa terancam secara teologis oleh teori-teori ilmiah sekuler yang
pengaruhnya telah begitu mengglobal, Mulyadhi Kartanegara, sebagai sosok
intelektual Muslim merasa perlu menjawab tantangan yang telah dilayangkan
oleh sains modern terhadap agama.15 Oleh karena itu islamisasi ilmu sebagai
salah satu bentuk naturalisasi ilmu perlu dilakukan untuk meminimalkan
dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama.
Perlu digarisbawahi, terkait istilah islamisasi ilmu yang diajukan oleh
Mulyadhi Kartanegara. Ia memberikan beberapa catatan khusus. Yang
pertama, unsur Islam dalam istilah islamisasi tidak mesti dipahami secara
ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam
Al-Qur'an dan hadis, namun sebaiknya haruslah dilihat dari segi spiritnya
yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran fundamental Islam, seperti
kepercayaan kepada Tuhan, alam gaib, malaikat, hari akhir dan wahyu /
kenabian. Rujukannya bisa bermacam sumber, di samping Al-Qur'an dan
hadis, rujukannya bisa dari sumber-sumber lain, seperti Yunani Klasik, Persia,
India pada masa lalu, bahkan Barat sendiri pada masa kini. Menurut
Mulyadhi, pada saat ini sebuah agama tidak bisa lagi membatasi diri secara
eksklusif hanya pada sumber aslinya, tetapi harus terbuka pada sumber
kebenaran dan kebijaksanaan dari luar selama mereka tidak bertentangan
dengan prinsip ajarannya.16
Kedua, islamisasi ilmu yang Mulyadhi usulkan tidak semata pelabelan
sains dengan ayat Al-Qur'an atau hadis yang dipandang cocok dengan
penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis. Diawali dengan
melakukan dekonstruksi terhadap epistemologi Barat yang berkembang
sekarang dan kemudian merekonstuksi epistemologi alternatif dengan meramu
secara kritis bahan-bahan yang ada dalam tradisi intelektual Islam yang dibina
selama lebih dari satu millenium oleh para filosof dan para ilmuwan Muslim
klasik. Konstruksi ulang epistemologi alternatif ini akan meliputi pembahasan
status ontologis objek ilmu, klasifikasi dan metode-metode ilmiah ilmu.17
Ketiga, islamisasi ilmu didasarkan pada asumsi bahwa sains atau ilmu
tidak pernah bersifat netral dan bebas nilai.18
1. Asumsi Dasar Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu memiliki dua asumsi dasar yaitu; naturalisasi ilmu
dan sekulerisasi ilmu. Pertama, naturalisasi Ilmu. Istilah “naturalisasi”
15

Ibid, hlm. 120.
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 130.
17
Ibid, hlm. 131.
18
Ibid, hlm. 131.

16

6

yang digunakan oleh Mulyadhi merujuk pada proses akulturasi dari sebuah
ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru.
Melalui proses itulah ilmu tersebut kemudian menjadi terasimilasi secara
penuh pada tuntutan kebudayaan negeri tersebut, termasuk agamanya.
Oleh karena itu, istilah naturalisasi bisa dipakai dalam arti
“mempribumikan” ilmu asing sehingga cocok dengan nilai-nilai atau
pandangan keagamaan sebuah negeri atau peradaban. Jadi, Mulyadhi
mendapat kesan bahwa naturalisasi ilmu bisa terjadi di mana saja dan
kapan saja di sepanjang sejarah perkembangan ilmu.19 Tanpa proses ini,
maka munculnya ilmu baru tidak akan mampu berkembang sama sekali.
Sama dengan makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan
lingkungan barunya, sehingga tidak sanggup mempertahankan
kelangsungan hidupnya.
Kedua, sekularisasi ilmu. Kata sekuler diambil dari kata latin
“speculum”, dapat diartikan “bersifat duniawi” (worldly) sebagai lawan
dari yang spiritual atau religius. Mulyadhi menggunakan kata sekuler
dalam pengertian pandangan yang hanya mementingkan kehidupan
duniawi dan mengabaikan yang ukhrawi, atau mementingkan yang bersifat
materiil, mengabaikan yang spiritual. 20 Pandangan sekuler amat kental
dalam berbagai diskusi keilmuan Modern. Dalam epistemologiIslam, kata
ilmu (‘ilm) sama maknanya dengan sains yakni pengetahuan yang teruji.
Namun sekarang dapat kita lihat dalam kamus Webster's New World
Dictionary bahwa sains (ilmu) dimaknai dengan “pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan
yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang
dikaji. Jadi telah ada pergeseran makna sains dari “pengetahuan”, menjadi
“pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi.”21
Kata sekularisasi ilmu digunakan untuk menunjukan lawan dari
sebuah asumsi bahwa ilmu bersifat netral. Menurutnya, ilmu berbeda
dengan fakta. Fakta boleh netral tetapi ilmu, menurutnya, tidak sekedar
fakta, tetapi fakta plus penjelasan dari sang ilmuwan. Justru ketika ilmu
melibatkan penjelasan, ilmu tidak lagi bersifat netral atau objektif dalam
arti yang sebenar-benarnya. Dilemanya adalah ilmu tidak bisa menjadi
ilmu kecuali melibatkan penjelasan terhadap fakta yang ditelitinya.22

19

Ibid, hlm. 111.
Ibid, hlm. 120.
21
Webster’s New World Dictionary of the American Language, (Cleverland and New York:
The World Publishing Company, 1962), hlm. 1305.
22
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 120.
20

7

2. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu memiliki tiga ruang lingkup yang terdiri dari status
ontologis objek ilmu, klasifikasi ilmu, dan metode-metode ilmiah yang
masing-masing akan diuraikan sebagai berikut.
Pertama, status ontologis objek ilmu. Dalam filsafat Islam, status
ontologis tidak hanya diberikan hanya pada objek-objek alami (materiil)
tetapi juga pada objek-objek immateriil. Bukan hanya itu, status ontologis
objek-objek ilmu juga berpadanan dengan hierarki wujud. Semakin tinggi
posisi wujud dalam hierarki wujud, semakin riil dan fundamental status
ontologisnya. Karena objek-objek immateriil menduduki posisi tertinggi,
status ontologisnya mereka juga adalah yang paling riil dan fundamental
daripada yang lainnya. Jadi, terdapat perbedaan antara filsafat Islam
dengan filsafat Barat sekuler, terutama masalah objek ilmu. Jika filsafat
Islam mengakui status objek metafisika, dalam filsafat Barat sekuler tidak
mengakui objek metafisika dan cenderung meniggalkannya. Dalam
konteks keilmuan Islam, keberadaan objek memiliki status ontologis yang
hierarkis. Seperti yang digagas oleh Al-Farabi lebih dari sepuluh abad
yang lalu, Mulyadhi mengemukan hierarki wujud (martabah al-maujudat)
menjadi 4 bagian. (a) Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud
yang lain. (b) Para malaikat yang merupakan wujud-wujud yang sama
sekali materiil. (c) Benda-benda langit atau benda-benda angkasa. (d)
Benda-benda bumi.23
Kedua, klasifikasi ilmu. Menurut Mulyadhi, saat ini banyak
pemikir Barat dan filosof ilmu telah meragukan status ontologis objekobjek non fisik atau metafisika. Perbedaan pengakuan ontologis dari
objek ilmu ini, mempengaruhi cara pandang terhadap klasifikasi
(pembagian) ilmu. Para ilmuan, pemikir, dan filosof ilmu Barat yang
meragukan keberadaan / status ontologis objek non-fisik atau metafisika.
Membagi ilmu pengetahuannya menjadi dua macam, yakni fisik dan
matematika. Hal ini mungkin memberikan peluang bagi mereka dalam
mencurahkan pemikiranya pada objek empirik, baik dalam bidang fisika,
penelitian makro-mikro biologi, ilmu kesehatan, ataupun teori-teori sosial.
Tetapi kekurangan dari epistemologi Barat yang materialis menyebabkan
manusia berkutat dalam hidup materialisme semata. Selanjutnya, para
ilmuwan dan filosof muslim, membagi klasifikasi ilmu Islam, meliputi
tidak hanya bidang fisik, dan matematika, tetapi juga bidang metafisika.
Maka keterkaitan variasi ontologis dan hasil klasifikasinya, jelas dapat
diringkas pada tiga macam. Sebagaimana pandangan Ibn Sina terhadap
wujud-wujud yang ada di alam ini: (1) Metafisika, merupakan wujud23

Ibid, hlm. 41.

8

wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak.
(2) Matematika, merupakan wujud-wujud yang meskipun pada dirinya
bersifat immateriil, terkadang mengadakan kontak dengan materi dan
gerak. (3) Fisika, merupakan wujud-wujud yang secara niscaya terkait
dengan materi dan gerak.24
Ketiga, metode-metode ilmiah. Metode ilmiah harus disesuaikan
dengan sifat dasar objek-objeknya. Objek ilmu memiliki sifat dasar,
karakter, dan status ontologis yang berbeda, maka metode ilmiahnya
secara otomatis juga berbeda. Mulyadhi membagi metode ilmiah menjadi
tiga, yaitu (1) metode observasi atau eksperimen (tajribi) untuk objek
fisik, (2) metode logis (burhani) untuk objek non fisik, dan (3) metode
intuitif (irfani) untuk objek non fisik dengan cara langsung. Mulyadhi
mengigatkan kepada kita bahwa metode ilmiah tidak boleh dipandang
terlalu ketat atau eksklusif karena kerap terjadi adanya gabungan metode
ilmiah tersebut. Seperti menurut Ibn Rusyd, metode demonstratif ternyata
bisa digunakan untuk penelitian empiris. Kalau menurut Al-Kindi, metode
matematika lebih mewakili metode demonstratif sebagai metode ilmiah
mereka. Sedangkan menurut Ibn Haitsam, dalam penelitian optikanya,
metode ilmiah paling tepat adalah gabungan antara metode eksperimen
dan matematika.25
C. RELEVANSI ISLAMISASI ILMU DENGAN PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN DI UNIVERSITAS ISLAM
Dari teori alternatif yang telah dikemukakan oleh Mulyadhi, maka
penulis melihat tiga relevansi gagasan islamisasi ilmu sebagai gagasan yang
amat penting bagi upaya re-integrasi ilmu. Pertama, pengislaman nalar
manusia. Pusat utama islamisasi ilmu adalah membuka wilayah “metafisika”
pada objek bidang-bidang ilmu pengetahuan (sains).
Islamisasi ilmu
merupakan upaya kritis-metodologis untuk menciptakan lahan kajian yang
luas yang meliputi tidak hanya fisika, tetapi juga metafisika ke dalam kerja
sainstifik (ilmiah). Dengan begitu, islamisasi ilmu termasuk bagian dari upaya
mengikat spiritualitas melalui agama (Islam). Sehingga sasaran dari islamisasi
ilmu yang sesunguhnya adalah pengislaman nalar manusia. Apabila kesadaran
manusia mampu menyentuh bagian esensial dari realistas, misalanya seperti
megetahui keberadaan Tuhan, maka di sini lah titik tekan gagasan islamisasi
ilmu. Itulah titik tekan yang ingin disampaikan oleh Mulyadhi Kertanegara
dalam gagasannya, sekaligus alasan terpenting mengapa islamisasi ilmu
diperlukan. Maka dari itu, karena Tuhan, malaikat-malaikat dan benda-benda
24
25

Ibid, hlm. 43.
Ibid, hlm. 52.

9

gaib sebagai objek ilmu adalah yang tertinggi, maka ilmu-ilmu metafisika
akan memberikan kebahagiaan yang besar kalaupun tidak dikatakan yang
tertinggi bagi orang yang mempelajarinya.
Islamisasi ilmu hanya mampu berkembang secara efektif di lingkungan
institusi pendidikan Islam / universitas Islam. Sebagai lembaga institusional,
maka konten serta teori pengajarannya pun harus mengandung nilai-nilai
fundamental Islam. Sayangnya, dalam kenyataan sungguh berbeda dari apa
yang dicita-citakan institusi pendidikan Islam. Konten dan teori yang disajikan
di lingkup universitas Islam misalnya, masih meminjam teori-teori ilmiah dari
sudut pandang sekuler, bahkan juga tidak jarang terjebak ke dalam labirin
positivisme berupa “ilmiah” dan “tidak ilmiah”, “objektif” atau “tidak
objektif” yang berangkat dari asumsi teori Barat sekuler semata yang mana
kesimpulannya nyaris mengabaikan Tuhan Sebagai Pencipta Segala Sesuatu.
Paradigma Barat sekuler dan paham positivisme yang berkembang pesat di
universitas Islam dikarenakan paradigma di dalam keilmuan Islam sendiri tak
kunjung muncul. Akibatnya, pemahaman yang tercipta dalam lingkup
universitas Islam adalah pemahaman yang sekuler karena teori yang
diterapkan cenderung berasal dari Barat sekuler.
Jadi, problematika pendidikan yang sesungguhnya dihadapi oleh
universitas Islam sedikit lebih kompleks daripada universitas umum. Yang
dihadapi universitas Islam adalah tantangan filosofis yang berasal dari paham
positivisme yang mengancam religiusitas manusia, dan mereka hanya bisa
dihadapi secara filosofis juga, yakni dengan berdasarkan kekuatan nalar
rasional-logis, bukan kekuatan religius-dogmatis. Universitas Islam sebagai
lembaga pendidikan yang berorientasi religius harus mampu merumuskan
jawaban-jawaban filosofis berdasarkan argumen-argumen rasional.
Universitas Islam juga harus memperkuat bidang-bidang kajian filsafat baik
yang berkenaan dengan doktrin maupun metodologi.26
Barawal dari mengislamkan nalar manusia sesuai dengan yang seturut
dengan nilai-nilai fundamental Islam, yang timbul selanjutnya yaitu kebiasaan
dan membentuk budaya yang selaras dengan nilai-nilai fundamental Islam
yang amat menghargai manusia, alam semesta, bahkan alam gaib sekalipun.
Sehingga dalam hal ini upaya pengembangan keilmuan di universitas Islam
menjadi amat berguna bagi kelangsungan hidup umat manusia juga kelestarian
alam semesta.
Kedua, menghidupkan kembali pola berpikir saintifik dalam Islam. Di
dalam kajian filsafat ilmu, pengetahuan seringkali diartikan sebagai
kepercayaan yang telah terbukti benar. Ilmu pengetahuan modern
menyediakan sarana untuk pembuktian, apakah suatu pengetahuan itu layak
26

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 114.

10

disebut pengetahuan, atau tidak. Sarana itulah yang disebut sebagai metode,
yakni seperangkat prosedur yang bisa digunakan untuk membedakan antara
pengetahuan dan bukan pengetahuan. Permasalahannya adalah metode yang
berupa seperangkat prosedur itu seringkali tidak cukup memadai untuk
digunakan sebagai alat pembeda antara pengetahuan dan bukan pengetahuan.
Sampai sekarang para ahli masih memperdebatkan metode macam apakah
yang tepat untuk digunakan di dalam memperoleh pengetahuan yang benar.
Upaya integratif metode ilmiah sains dan agama oleh Armahedi
Mahzar disebut sebagai hubungan dialogis antara sains dan agama. Hal ini
juga berkorelasi dengan pendapat Albert Enstein yang mengatakan “Religion
without science is blind; science without religion is lame.” Tanpa sains,
agama itu buta, dan tanpa agama sains itu lumpuh. Pendekatan dialogis akan
melahirkan pendekatan yang lebih bersahabat, yaitu pendekatan integratif.
Dalam hubungan integratif, baik sains maupun agama menyadari akan adanya
suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja
sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan keyakinan umat beragama
dengan memberikan bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis.27
Upaya menghidupkan kembali pola pikir saintifik sejalan dengan nilainilai fundamental Islam yang diyakini sebagai agama yang memiliki ajaran
sempurna, komprehensif dan universal. Bahkan dari banyak sumber literatur
klasik sampai kontemporer, ajaran Islam memuat semua sistem ilmu
pengetahuan. Dengan begitu peran universitas Islam sebagai lembaga
pendidikan tidak semata berfungsi sebagai pembangun karakter kepribadian
manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan semata, namun juga sebagai
penguat dan pengikat sistem keyakinan, budaya, peradaban, dan nilai-nilai
Islami. Dari titik ini, universitas Islam mengalami persinggungan langsung
dengan kerja sains yang belum terpadu dengan nilai Islam. Namun, fungsi itu
akan sulit terwujud tanpa adanya pemahaman yang integral antara materi sains
dengan materi fundamental Islami.
Ketiga, menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional islam. Ilmu
pengetahuan di universitas Islam berpusat pada pengislaman nalar, dengan
berpijak pada teori-teori ilmiah. Kerja ilmiah yang berpijak dari teori-teori
ilmiah yang telah diislamisasi, menurut Mulyadhi, juga mendorong
keseimbangan antara pengetahuan intelektual dan kesadaran nurani. Dua hal
ini, yakni keberanian berjumpa dengan perbedaan, toleransi, dan belajar yang
berpijak pada pengalaman, amat penting untuk perkembangan ilmu
pengetahuan di universitas Islam. Mulyadhi juga amat menekankan
kemampuan nalar manusia di dalam pengembangan keilmuan Islam. Manusia
27

Armehedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam Revolusi
Integralisme Islam. (Bandung: Mizan Media Utama, 2004), hlm. 213.

11

adalah mahluk yang menalar. Ia memiliki kekuatan batin yang besar, yang
perlu dikembangkan lewat keilmuan. Dengan nalar tersebut, ia menentukan
apa yang baik dan buruk bagi hidupnya. Inilah yang disebut Mulyadhi sebagai
nalar Islami. Jadi, manusia memulai proses keilmuan dengan kemampuan
nalar. Keilmuan juga akhirnya memperbesar kekuatan nalar tersebut. Dengan
nalarnya, manusia memperkuat kekuatan kepribadiannya.
Selanjutnya, universitas Islam harus memperbaiki konsep-konsep
keagamaan dengan mengembangkan sistem-sistem ilmu (yang filosofis)
rasional. Yakni dengan mengembalikan sistem etika yang transenden. Salah
satunya dengan cara mengkaji secara intensif karya-karya agung para filsuf
Muslim baik yang berkenaan dengan doktrin maupun metodologi. Terkait
dengan hal ini, ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari saudarasaudara sesama Muslim yang dibesarkan dalam tradisi Syiah, yang senantiasa
memelihara tradisi keilmuan rasional Islam bahkan hingga saat ini. Kasus
dunia Syiah dalam perkembangan ilmu-ilmu rasional cukup berbeda dengan
kasus di dunia Islam Sunni. Di dunia Syiah, tradisi keilmuan rasional filosofis
tidak pernah betul-betul mati. Bahkan dari abad ke abad, tradisi tersebut
senantiasa dijaga dan dikembangkan sehingga mampu melahirkan beberapa
filsuf terkemuka hampir di setiap abad.
Misalnya seperti, belum sampai satu abad setelah serangan Al-Ghazali
terhadap filsafat, tradisi dan sistem filsafat Ibn Sina telah dihidupkan kembali
dengan dimodifikasi iluminatif oleh Suhrawardi Al-Maqtul (w. 587/1191)
yang dikenal dengan Syaikh Al-Isyraq (mahaguru aliran filsafat iluminasi).
Demikian juga serangan terhadap filsafat Ibn Sina oleh Fakhrudin Al-Razi (w.
606/1209) telah dijawab oleh Nashiruddin Al-Thusi (w. 673/1274), seorang
filsuf dan astronom Syiah yang terkenal. Dalam kapasitasnya sebagai direktur
observatorium astronomis Maraghah, Al-Thusi mengembangkan filsafat Ibn
Sina mengembangkan dengan gigih dan konservatif. Sedangkan tradisi-tradisi
ilumunasionis, dipertahankan dan dikembangkan dengan warna paripatetik
oleh Qutbuddin Al-Syirazi (w.701/1311), murid dan rekan kerja Thusi dalam
observatoriumnya, yang juga seorang astronom-filsuf yang cukup terkemuka
pada masanya.28
Ajaran filsafat Mulla Shadra (w. 1050/1641) kemudian dikembangkan
oleh kedua muridnya, Mulla Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072/1661) dan Mulla
Faidh Kasyani (w. 1091/1680) dalam karya-karya mereka yang agung. Dari
hasil semaian mereka muncullah fulsuf-filsuf besar besar lainnya, seperti
Syekh Ahmad Ahsha'i (w. 1241/1826) dan Mulla Hadi Sabzawari (w.
1295/1878) yang keduanya hidup pada masa Bani Qajar. Bahkan sampai abad
20 ini pun, dunia Syiah masih melahirkan filsuf-fiksuf yang disegani dunia,
28

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar…, hlm. 43.

12

seperti Murtadha Muttahari (w. 1400/1979), Sayyid Muhammad Thabathaba'i
(w. 1402/1981), Sayyid Jalaluddin Asyitiyani, Mahdi Ha'iri Yazdi dan
Muhammad Taqi Mishbah Yasdi, yang masih hidup sampai sekarang (akhir
2005). Dan tentu saja kita tidak boleh mengabaikan tokoh lain yang lebih
akrab dengan kita seperti Shadr Al-Baqir dan Sayyed Hossein Nasr yang telah
banyak kita kenal lewat tulisan-tulian mereka.29
Yang menarik adalah ditangan para filsuf yang telah disebutkan di
atas, tradisi filsafat dan ilmu-ilmu rasional, dipelihara, diolah, dan
dikembangkan secara sistematik sehingga mencapai kecanggihan tingkat yang
lebih tinggi. Konservasi dan dan pengembangan tradisi filosofis ilmiah inilah
yang memungkinkan para filsuf Syiah mampu membangun sistem-sistem
filosofis besar dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sistem-sistem
filosofis yang dibangun ini, pada gilirannya memungkinkan mereka untuk
mengadakan respon dialog, dan bahkan koreksi yang konstruktif terhadap
rekan filosofisnya dari dunia Barat.
Dari sini lah kita menemukan relevansi islmisasi ilmu yakni untuk
menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional dalam Islam dan mewujudkan
tujuan yang telah dirumuskan. Tentu diperlukan suatu upaya kolosal yang
tidak mungkin dapat dicapai oleh sekelompok kecil manusia, tetapi harus
digarap oleh, dan menjadi tanggung jawab moral dari kaum intelektual
Muslim di manapun berada. Lingkungan univeraitas islam setidaknya mampu
menaungi apa yang bisa dan perlu dilakukkan, sebagai partisipasi dalam
ikhtiar kolosal ini, salah satunya adalah membentuk pusat kajian filsafat Islam.
D. CATATAN KRITIS
Penulis setidaknya memiliki tiga catatan kritis untuk pemikiran
Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi ilmu. Yang pertama, islamisasi ilmu
Mulyadhi amat kental dengan nuansa metafisis. Pandangan ini merupakan
paham bahwa kenyataan metafisika adalah pusat paling tinggi dalam ilmu.
Implikasinya yaitu segala sesuatu tidak boleh lepas dari kaca mata metafisika,
sebab metafisika di sini metafisika merupakan ukuran dari segalanya. Filsafat
ilmu pengetahuan Mulyadhi hanya memandang realitas fisik amat rendah
untuk keilmuan. Benda-benda material juga dipandang amat rendah
derajatnya. Padahal, keberadaan kajian fisik yang amat kompleks di dunia
sangat membantu peradaban manusia, seperti sains positivistik misalnya. Pola
keilmuan yang dirumuskan Mulyadhi memang pas untuk perkembangan
teologi dan spiritual.
Kedua, di dalam penerapannya, sejauh yang penulis amati, konsep
keilmuan yang dikembangkan oleh Mulyadhi dipelintir menjadi sebentuk
29

Ibid, hlm. 43.

13

eksklusivisme objek metafisis. Eksklusivisme tersebut berakar pada
pandangan, bahwa realitas metafisika adalah realitas yang lebih besar dan
lebih agung dari realitas lain. Di satu sisi, eksklusivisme melahirkan
kepercayaan diri. Metafisika, yang menjadi kajian penting dalam agama,
menjadi otoritas ilmu sejak abad pertengahan hingga renaissance. Produkproduk intelektualnya pun sangat diwarnai dengan dogma. Di sisi lain,
eksklusivisme juga menjadi akar dari munculnya masa dogmatis, dimana para
ilmuwan tunduk dan patuh pada kitab suci yang menggunakan penafsiran
tertentu. Tanpa pemikiran kritis, konsep keilmuan bisa berubah menjadi
eksklusivisme yang menjadi akar untuk berbagai kerusuhan lainnya. Tanpa
pemikiran kritis, konsep keilmuan manusia dalam hubungan dengan alam bisa
dipelintir menjadi kebanggaan ekstrem yang menjadi pembenaran bagi yang
lain, seperti dalam abad kegelapan Eropa.
Ketiga, proses islamisasi ilmu telah mengubah wajah keilmuan di
dunia Islam. Setidaknya ada dua ciri dari peristiwa ini. Yang pertama,
standarisasi seluruh pendidikan Islam di lingkup universitas Islam.30 Artinya,
ijazah di satu institusi Islam bisa langsung dikenali oleh institusi lain dalam
lingkup lembaga yang sama, karena hal-hal yang diajarkan telah diserupakan.
Yang kedua adalah labelisasi pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam
dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan “non-religius”,
umumnya seperti kebutuhan ekonomi dan industri. Akibatnya, segala hal yang
dianggap tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi dan industri
dikesampingkan, bahkan dihilangkan. Dalam keadaan semacam ini,
pandangan islamisasi ilmu tidak berdaya untuk memberikan kekuatan
kemajuan peradaban. Seluruh nilai-nilai keilmuan konservatif yang
dikembangkan Mulyadhi di universitas Islam yang kemudian menjadi model
untuk universitas islam lainnya, kini dikesampingkan atas nama
memenangkan persaingan ekonomi dan industri global, menggunakan “label
islam”. Diperlukan usaha keras untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut,
supaya pendidikan kembali menjadi utuh dan menyeluruh, dan bukan hanya
untuk kepentingan-kepentingan segelintir pihak semata.
E. PENUTUP
Latarbelakang keilmuan Mulyadhi Kartanegara yaitu sebagai pemikir
dan intelektual Muslim yang banyak berkontribusi dalam bidang teologi dan
filsafat. Mulyadhi Kartnegara juga aktif dalam berbagai lembaga yang
berkecimpung dalam bidang keilmuan.
Inti pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisai ilmu yaitu
bahwa islamisasi ilmu dimaknai sebagai proses naturalisasi ilmu dalam rangka
30

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 7.

14

meminimalisir dampak negatif ilmu pengetahuan sekuler terhadap spiritualitas
dan dengan begitu spiritualitas menjadi terlindungi. Adapun asumsi dasar
islamisasi ilmu terdiri dari dua; naturalisasi ilmu dan sekulerisasi ilmu.
Sedangkan ruang lingkup islamisasi ilmu meliputi; status ontologi objek ilmu
terdiri dari Tuhan, Malaikat, benda-benda langit dan angkasa, dan bendabenda bumi; klasifikasi ilmu terdiri dari ilmu metafisika, ilmu matematika,
dan ilmu fisika; metode ilmiahnya terdiri dari metode observasi, demonstratif,
intuitif.
Berdasarkan inti pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang islamisasi
ilmu tersebut, penulis melihat tiga relevansi islamisasi ilmu dengan
pengembangan ilmu pengetahuan di universitas Islam di Indonesia yaitu;
pengisalaman nalar manusia, pengislaman pola pikir saintifik, dan
menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah Ahmad, Na’im, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Jendela.
Asy’arie, Musa. 2002. Filsafat Islam, Yogyakarta: LESFI.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Habib, Zainal. 2007. Islamisasi Sains. Malang, UIN Malang Press.
Hamim, Nur. 2011. “Otonomi Perguruan Tinggi: Tantangan dan Peluang Bagi
IAIN”. Surabaya: FT. IAIN Sunan Ampel, dalam Jurnal Nizamia, Jurnal
Pendidikan dan Pemikiran Islam.
Hidayat, Komaruddin & Prastyo, Hendro. 2000. Problem dan Prospek IAIN:
Anotologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama RI.
Harun dalam Syaiful Muzani (Editor). 1995. Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik.
Bandung: Mizan & UIN Jakarta Press.
_____________. 2002. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.
Bandung: Mizan.
_____________. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Penerbit Mizan.
Karwadi dalam Wiji Hidayati, et. al., 2009. Pendidikan Islam dalam Wacana
Integrasi Interkoneksi. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga.
Kemendikbud RI, KBBI, dalam www.kbbi.web.id, diakses 06 Nop 2015.

15

Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mahzar, Armehedi. 2004. Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam
Revolusi Integralisme Islam. Bandung: Mizan Media Utama.
Masood, Ehsan. 2009. Ilmuwan-Ilmuwan Muslim, Pelopor Hebat di Bidang Sains
Modern, terj. Fahmy Yamani dari buku “Science & Islam A History”,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Qomar, Mujamil. 2012. Pemikiran Islam Metodologis: Model Pemikiran
Alternatif dalam Memajukan Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
_____________. 2006. Epistemologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.
Restianingsih, Nurmawati. 2014. Epistemologi Keilmuan Islam dan Umum:
Konsep Integrasi Interkoneksi UIN Sunan Kaljaga dan Implementasinya
dalam Pembelajaran Jurusan PAI di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan.
Webster's New World Dictionary of the American Language, 1962. Claverland
and New York: The World Publishing Company.

16