PENGATURAN TENTANG HAK ASASI MANUSI DALA

PENDAHULUAN

Pernyataan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat) dan

tidak

berdasarkan

kekuasaan

belaka

(machtsstaat) serta

pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat
absolutisme, sebagaimana termuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum
perubahan, telah dimuat menjadi materi norma dalam batang tubuh UUD 1945
hasil perubahan. Istilah Rechtstaat berbeda dengan rule of law. Rechtstaat
berangkat dari tradisi sistem hukum Eropa kontinental. Sedangkan rule of law
lebih dikenal dari negara sistem hukum Anglo Saxon.

Ciri-ciri suatu negara hukum yaitu; adanya Perlindungan terhadap HAM,
adanya pemisahan kekuasaan, Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturanperaturan hukum, dan adanya peradilan administratif. Ciri-ciri negara hukum ini
terdapat dalam konstitusi, dan tentunya sebuah negara mempunyai konstitusi yang
berbeda jenisnya, dalam artian konstitusi secara tertulis (Written constitucy)
maupun (unwritten constitucy) dan hal ini tidak mengurangi terhadap ciri dan nilai
dari negara hukum tersebut.
Penegasan negara Indonesia adalah negara hukum dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa,”Negara Indonesia merupakan
negara hukum”. Merujuk pada salah satu ciri-ciri negara hukum adalah

perlindungan terhadap HAM, sehingga Indonesia memberikan perlindungan
terhadap HAM melaui pengaturan tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam
konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XI A yang terdiri dari
Pasal 28A-28J dan pasal 29.
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 berakibat terhadap perubahan tatanan ketatanegaraan kita. Akibat dari empat
kali perubahan (amandemen Undang-Undang Dasar 1945) itu tidak hanya secara
kuantitatif jumlah ketentuan (ayat) bertambah tiga kali lipat, yaitu dari 71 menjadi
199 ayat, melainkan juga telah terjadi perubahan mendasar yaitu, beralihnya
supremasi MPR ke supremasi konstitusi,

pembatasan kekuasaan presiden, penguatan kekuasaan DPR, pembentukan
lembaga negara baru (antara lain Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan

Daerah, Komisi Yudisial) serta penghapusan lembaga tertentu yaitu Dewan
Pertimbangan Agung, peningkatan jaminan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia,
penguatan sistem kesejahteraan sosial, dan, tidak ada lagi Penjelasan UndangUndang Dasar 1945.
Dengan hilangnya konsepsi supremasi parlemen (lembaga negara tertinggi)
merupakan salah satu unsur penting rechtsstaat yaitu adanya pembagian dan
pemisahaan kekuasaan, akhirnya terbentuk konsep baru mengenai supra struktur
politik, dimana Lembaga Negara kini tidak berpusat pada satu Lembaga Tertinggi.
Lembaga Negara berubah menjadi lembaga-lembaga yang sejajar dengan prinsip
pembagian secara horizontal dimana kedudukan MPR kini sejajar dengan lembaga
konstitusional lainya seperti DPR, DPD, MA dan BPK. Dengan kesejajaran
tersebut, maka perlu diadakan suatu bentuk kontrol agar diantara lembaga tersebut
dapat bekerjasama dan berkoordinasi dengan baik.
Salah satu bentuk pembagian dan pemisahan kekuasaan yang dikenal
dengan prinsip check and balances adalah fungsi anggaran. Fungsi anggaran di
Indonesia dijalankan oleh pemerintah yang bertugas menyusun Rancangan
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (R-APBN), bersama dengan DPR yang
bertugas menyetujui R-APBN, termasuk pengawasan dan pelaksanaan Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah diatur keberadaan sebuah Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai bagian dari cabang kekuasaan kehakiman, yang salah satu
kewenangannya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Lembaga dan mekanisme yang diadopsi berbeda dengan sistem yang dikenal di
Amerika Serikat, melainkan lebih menganut model Kelsen. Di dalam model
Kelsen, kewenangan khusus untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar tidak merupakan bagian dari kewenangan mahkamah
agung. Indonesia membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga
yang berdiri sendiri atau terpisah dari Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan yang dimiliki MK yang telah disebut di atas, yakni pengujian
undang-undang

terhadap

Undang-UndangDasar,

secara

umum/lazim


disebut judicial review, karena wewenang tersebut dilaksanakan oleh sebuah badan
peradilan. Pengertian judicial review dalam praktik sistem common law maupun

dalam praktik peradilan umum di Indonesia, mencakup juga pemeriksaan tingkat
banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK).

PERMASALAHAN

1. Bagaimana pengaturan tentang Hak Asasi Manusia pada UUD 1945 sesudah
amandemen?
2. Bagaimana penerapan prinsip check and balances yang terjadi di lembaga
pemerintahan khususnya lembaga legislaif sesudah perubahan UUD 1945?
3. Bagaimana pengaturan fungsi anggaran DPR sesudah amandemen ke empat
UUD 1945?
4.. Bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana akibat hukum
dari putusan Mahkamah Konstitusi ?

PEMBAHASAN


A. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang
melekat dalam setiap diri manusia sejak dilahirkan. Pengertian ini mengandung arti
bahwa HAM merupakan karunia dari yang Maha Kuasa kepada Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hakhak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam proses lahirnya hak asasi manusia di dunia terdapatnya beberapa naskah
yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan azasi.
Naskah tersebut sebagai berikut :
1 Magna Charta (1215), suatu dokumen yang mencatat bebrapa hak yang
diberikan Raja John kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka.
2 Bill of Rights (1689), undang-undang yang diterima Parlemen Inggris setelah
mengadakan perlawanan kepada Raja James II, dalam suatu revolusi tak
berdarah.
3 Déclaration des Droits de l'Homme et du Citoyen (1789)suatu naskah yang
dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap
kesewenangan dari rezim lama.
4 Selain itu konteks pemikiran hak asasi manusia juga dipengaruhi oleh pendapat

para ahli seperti Thomas Hobbes yang melihat hak asasi manusia sebagai jalan
keluar untuk mengatasi keadaan homo homini lupus, bellum omnium contra
omnes. Dimana manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas, keadaan ini yang

mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat untuk menyerahkan hakhaknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes mengarah
kepada pembentukan monarki absolut.

Pengaturan tentang hak asasi manusia di Indonesia tercantum dalam UUD
1945 sesudah perubahan pada tahun 2000 . Materi mengenai HAM dalam
UUD 1945 telah mengalami perubahan. Disahkannya perubahan ke dua pada
tahun 2000 terdapat Pasal 28A ayat (1) sampai dengan Pasal 28J ayat (2),
yaitu:
1 Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.1
2 Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.2
3 Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3
4 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.4
5 Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.5
6 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.6
7 Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.7
8 Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.8
9 Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.9
10 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
1

Pasal 28A
Pasal 28B ayat (1)
3
Pasal 28B ayat (2)
4

Pasal 28C ayat (1)
5
Pasal 28C ayat (2)
6
Pasal 28D ayat (1)
7
Pasal 28D ayat (2)
8
Pasal 28D ayat (3)
9
Pasal 28D ayat (4)

2

memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.10
11 Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.11
12 Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.12
13 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.13
14 Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain.14
15 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.15
16 Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.16
17 Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.17
18 Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.18
19 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

10

Pasal 28E ayat (1)
Pasal 28E ayat (2)
12
Pasal 28F
13
Pasal 28G ayat (1)
14
Pasal 28G ayat (2)
15
Pasal 28H ayat (1)
16
Pasal 28H ayat (2)
17
Pasal 28H ayat (3)
18
Pasal 28H ayat (4)
11


pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.19
20 Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.20
21 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.21
22 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dalah tanggung
jawb negara, terutama pemerintah.22
23 Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.23
24 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.24

Disamping pasal 28A sampai 28J tersebut, terdapat pula pasal yang juga
dikaitakn dengan hak asasi manusia ialah pasal 29 ayat (2), yaitu “negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang sebenarnya paling memenuhi syarat untuk
disebut sebagai pasal HAM yang diwarisi dari naskah asli UUD 1945. Sedangkan
ketentuan lainnya seperti pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), pasal 28 A-28J, pasal 30
ayat (1), pasal 31 ayat (1), serta pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) merupakan kaitan
dan pengertian hak warga negara.

19

Pasal 28I ayat (1)
Pasal 28I ayat (2)
21
Pasal 28I ayat (3)
22
Pasal 28I ayat (4)
23
Pasal 28J ayat (1)
24
Pasal 28J ayat (2)
20

B. Prinsip Check and Balances

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak terlepas dari adanya
kristalisasi ide-ide demokrasi dari berbagai komponen bangsa dan refleksi atas
perjalanan kehidupan bernegara dan kebangsaan selama puluhan tahun. Tujuan
perubahan UUD 1945 adalah menyempurnakan aturan dari penyelenggaraan
pemerintahan negara secara demokratis dan modern, anatara lain pembagian
kekuasaan yang sesuai dengan prinsip check and balances yang ketat dan
transparan pada lembaga pemerintahan seperti pada lembaga legislatif
Salah satu pembagian kekuasaan yang terjadi setelah perubahan UUD 1945 adalah
bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang yang dimilik oleh Presiden
(executive heavy), kepada Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif heavy) yang diatur
dalam pasal 20 UUD 1945. Dengan adanya pergeseran pembentuk undang-undang
yang diserahkan kekuasaannya kepada DPR, maka Presiden hanya berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.25

C. Fungsi Anggaran Legislatif
Fungsi anggaran Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan fungsi legislasi
dan fungsi pengawasan dari lembaga legislative itu sendiri. Fungsi legislasi
menetapkan kebijakan yang harus dijadikan pegangan dalam penyusunan program
dan anggaran. Yang terkait dengan fungsi anggaran adalah hal-hal yang berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan program-program kerja pemerintahan dan
pembangunan. Penyusunan program-program pemerintahan dapat dikukuhkan
dalam bentuk hukum yang berlaku dan mengikat untuk umum. Dengan demikian
program pemerintah dan pembangunan adalah produk hukum yang telah
dikukuhkan dan bersifat mengikat untuk umum.
Perencanaan

dan

penganggaran

keuangan

negara

Republik

Indonesia

dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden dan pengesahan anggaran

25

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945

dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah26.
Setiap melaksanakan penyusunan APBN maka pemerintah harus memperhatikan
beberapa ketentuan yaitu :
I.

Dilaksanakan secara terbuka dan akuntabel, artinya pelaksanaan APBN

haruslah diketahui oleh seluruh pihak dan masyarakat untuk melakukan
penyerapan aspirasi masyarakat seluas-luasnya serta menutup kemungkinan
adanaya celah korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara;
II.
III.

Ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Penetapan APBN melalui undang-undang. Yang merupakan jaminan

legalitas yakni masyarakat yang telah membayar pajak.
Fungsi anggaran legislative yakni DPR adalah pemeriksaan, persetujuan, dan
pengawasan yang sesuai dengan implementasi negara hukum. Pendek kata,
kedudukan DPR dalam pelaksanaan fungsi anggaran ini sebenarnya sangat kuat.
namun dalam praktik, oleh karena kapasitas kelembagaan DPR juga kurang
dilengkapi oleh staf pendukung yang memadai, DPR tidak memiliki kemampuan
untuk menyiapkan konsep tandingan atau setidaknya bahan-bahan pembanding
terhadap usulan yang diajukan oleh pemerintah. Kebutuhan akan kelembagaan
DPR yang kuat di bidang anggaran ini juga mirip dengan kebutuhan yang sama di
bidang legislasi yang sekarang telah dilengkapi dengan Badan Legislasi yang
tersendiri. Namun, Badan Anggaran dan Badan Legislasi yang ada dewasa ini tidak
lebih dari pengelompokan jenis pekerjaan seperti halnya komisi-komisi.
Bekerjanya sistem kelembagaan sangat tergantung kepada kinerja individual
anggota DPR yang diberi tugas untuk duduk di Badan Anggaran atau pun Badan
Legislasi tersebut.
Sering berkembang anggapan bahwa DPR sekarang sudah terlalu kuat, melebihi
Presiden dalam semua hal, termasuk dalam fungsi legislasi. Ada anggapan bahwa
di masa Orde baru berkembang praktik “executive heavy”, sedangkan di masa
reformasi berkembang praktik “legislative heavy”. Ada pula yang menganggap
bahwa sistem ketatanegaraan kita menganut sistem presidensial, tetapi cita-rasanya

26

Pasal 23 ayat (2)

parlementer,

karena

kelemahan

dalam

praktik

penyelenggaraan

sistem

pemerintahan presidentil selama masa reformasi 13 tahun terakhir.

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Lahirnya pemikiran Hans Kelsen tentang Mahkamah Konstitusi tidak dapat
dilepaskan dari runtuhnya Kekaisaran Austro-Hungarai (1919) pada akhir perang
dunia I yang sekaligus menandai lahirnya Republik Austria. Pada tahun 1919-1920
Kelsen diangkat menjadi anggota Chancelery yang bertugas menyusun konstitusi
dalam

rangka

pembaruan

konstitusi

Austria.

Pada

saat

itulah

Kelsen

menyampaikan gagasannya untuk membentuk Mahkamah Konstitusi yang terpisah
dalam sistem peradilan biasa yang fungsi utamanya adalah menegakkan konstitusi
dan kewenangannya untuk membatalkan undang-undang jika bertentangan dengan
konstitusi. Usul Kelsen diterima dan dimasukkan sebagai bagian dari konstitusi
Austria yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi 1 Oktober 1920, dikenal dengan
nama Konstitusi Tahun 1920. Gagasan Kelsen mengenai Mahkamah Konstitusi
dipengaruh dari ajarannya tentang hukum yakni ajaran seorang positivis yang
memandang hukum sebagai hukum positif yang dikenal dengan nama “Teori
Murni Tentang Hukum”.
Mahkamah Konstitusi Indonesia lahir setelah perubahan undang-undang dasar
pada tahun 2001. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat dan
demokratis akhirnya ide MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat
(2) dan pasal 24 C UUD 1945.
Dalam pasal 24 ayat (2) hasil perubahan ketiga UUD 1945, dinyatakan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C UUD 1945 menyatakan :
(1)

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang ter-

hadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
(2)

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3)

Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden.
(4)

Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh

hakim konstitusi.
(5)

Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta
tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6)

Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undangundang.
Sesuai ketentuan UUD 1945 tersebut, kewenangan MK sebagai berikut :
a) Menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review). . Gagasan
tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi muncul karena terdapatnya
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dinilai
bertentangan dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi pada negara-negara
yang menganut rechtsstaat. Pengajuan pengujian undang-undang dapat
dilakukan oleh warga negara baik perserorangan maupun komunitas atau
badan hukum yang menganggap hak konstitusinya atau undang-undnag
tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam memutus sengketa lembaga negara adalah untuk memutusnya
sengketa kewenangan itu pada lembaga negara yang mendapatkan

kewenangannya dari undang-undang dasr. Argumentasinya, karena
Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir dalam menjaga konstitusi.
c) Memutus pembubaran partai politik. Putusan MK terhadap pembubaran
partai politik telah membawa implikasi terhadap perolehan kursi DPR
dimana terdapat partai politik yang akan kehilangan kursi.
d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Melalui penyelesaian
sengketa pemilu, MK telah membawa perkara-perkara yang bersifat politis
untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum sehingga menghindarkan
kemungkinan aksi kekerasan di jalanan atau di lobi-lobi partai politik;
e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan :
Pertama , sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan

konstitusional di tengah kehidupan masyarakat.
Kedua , MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan

dilaksanakan oleh semua semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab.
Ketiga , di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi

berperan sebgai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegaran dan berkebangsaan.

Akibat Hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai Judicial Review.
Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan satu pasal, ayat atau bagian
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila menurut
pendapatnya pasal, ayat atau bagian undang-undang tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Putusan MK merupakan putusan tingkat
pertama dan terakhir, dan tidak dikenal upaya hukum kepada pengadilan yang
lebih tinggi lagi, sehingga putusan MK tersebut mengikat secara umum begitu
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kebijakan hukum yang dirumuskan

oleh pembentuk undang-undang, yang oleh MK ditemukan bertentangan dengan
UUD 1945, dikesampingkan dan digantikan oleh kebijakan hukum yang baru,
yang dirumuskan oleh MK.
Sebagai sesuatu hal baru yang diadopsi dalam praktik ketatanegaraan, konsep
pengawasan dan penyeimbang terhadap satu cabang kekuasaan negara dengan
memberi ruang bagi lembaga negara lain memasuki ranah kekuasaan satu cabang
kekuasaan negara tertentu dan membatalkan keputusan atau kebijakan yang
diambilnya. Hal ini boleh jadi merupakan satu persoalan tersendiri dalam
penerimaan putusan MK serta tindak lanjut dalam implementasinya. Kewenangan
yang disebut sebagai judicial review demikian, sesungguhnya telah memberi ruang
dan kesempatan pada hakim MK untuk turut serta menjadi policy maker dalam
pembuatan hukum, melalui pengujian dan tafsir maupun konstruksi hukum yang
digunakan dalam rangka penyelesaian perselisihan yang dihadapkan padanya.
Tindak lanjut putusan MK yang membatalkan satu undang-undang, baik pasal,
ayat

atau

bagiannya

saja,

membutuhkan

kejelasan

bagaimana

proses

implementasinya dilakukan agar dapat berlangsung efektif dalam koordinasi
horizontal fungsional yang setara berdasar doktrin checks and balances. Hal
tersebut akan selalu mengandung kontroversi sendiri dalam konsep separation of
powers jika tanpa penjelasan yang cukup.

Dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan MK sebagaimana
telah diutarakan di atas, maka meskipun hanya bersifat deklaratif, putusan MK
dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar juga
memiliki sifat konstitutif. Artinya putusan MK tersebut mengandung pengertian
hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Hal ini
membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum
baru yang bersesuaian dengan UUD 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum
yang lama dalam ketentuan undang-undang yang diuji. Dalam hal demikian,
sebagaimana

dikatakan

Hans

Kelsen,

hakim

konstitusi

adalah negative

legislator. Artinya hakim dan putusan-putusannya berfungsi melaksanakan

pengawasan dan penyeimbangan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Putusan hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum baik
terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara
kekuasaan pemerintahan. Akibatnya semua organ penegak hukum, terutama

pengadilan terikat untuk tidak menerapkan lagi hukum yang telah dibatalkan
tersebut. Putusan yang bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum menyebabkan materi
muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang ataupun undang-undang secara
keseluruhan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut
membawa implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu
undang-undang yaitu bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut
mengikat seluruh warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara. Putusan MK
yang demikian telah mengubah hukum yang berlaku dan menyatakan lahirnya
hukum yang baru, dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai muatan
materi undang-undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai
hukum.

PENUTUP

Sejarah lahirnya Hak Asasi Manuis di dunia beraneka ragam yang ditulis dalam
beberapa naskah yang kemudian dapat kita ketahui, seperti sejarah lahirnya HAM
yang diyakini sebagai cikal bakal lahirnya pengakuan HAM secara universal
adalah Magna Charta. Setelah lahirnya pengakuan terhadap HAM, maka tidak
terlepas dari berdirinya negara Indonesia sebgai penganut paham negara hukum.
Salah satu ciri dari negara hukum adalah mengakui dan menjamin adanya Hak
Asasi Manusia yang tertuang dalam konstitusi negara Indonesia yakni UUD 1945
terdapat pada satu bab khusus yaitu Bab XI A terdiri dari pasal 28A-28J dan pasal
29. Pengaturan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan pasa-pasal
yang sudah terjadinya perubahan pada tahun 2000. Jika dicermati banyaknya pasalpasal tentang HAM di UUD 1945 yang terjadi pegulangan pada pasal sebelumnya.
Seperti pengulangan atas pasal sebelumnya yakni pasal 28D ayat (3) dan pasal 27
ayat (1) bahwa terdapatnya prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan.
Prinsip negara hukum selanjutnya adalah adanya prinsip check and balances
yang bertujuan agar tidak terjadinya kekuasaan pemerintah yang bertumpu pada
satu lembaga dan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Setelah terjadi perubahan UUD 1945 yang menyebabkan perubahan struktur
ketatanegaraan yang tadinya bersifat vertical berubah menjadi struktur yang
bersifat horizontal. Perubahan yang paling terlihat adalah perubahan kekuasaan
presiden membentuk undang-undang, menjadi kekuasaan mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR selaku pembuat undang-undang. Perubahan
kekuasaan ini sesuai dengan sistem prisedensiil yang dianut Negara Republik
Indonesia.
Setelah terjadinya pembagian kekuassan Presiden ke DPR dalam hal pembentuk
undang-undang yang sesuai dengan prinsip check and balances. Begitu juga
sebaliknya pada pelaksanaan fungsi anggaran legislative yang menimbulkan pro
dan kontra terhadap lembaga ini. Sering berkembang anggapan bahwa DPR
sekarang sudah terlalu kuat, melebihi Presiden dalam semua hal, termasuk dalam
fungsi legislasi. Ada anggapan bahwa di masa Orde baru berkembang praktik
“executive heavy”, sedangkan di masa reformasi berkembang praktik “legislative

heavy”. Ada pula yang menganggap bahwa sistem ketatanegaraan kita menganut
sistem presidensial, tetapi cita-rasanya parlementer, karena kelemahan dalam
praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan presidentil selama masa reformasi
13 tahun terakhir.
Dalam sistem hukum yang dianut di berbagai negar, terdapatnya kekuasaan
yudikatif yang mempunyai kewenangan mengawal dan menafsirkan konstitusi.
Kekuasaan ini dijalankan oleh kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri dan
terpisah dari MA yakni, Mahkamah Konstitusi. Keberadan lembaga MK di
Indonesia lahir setelah perubahan undang-undang dasar pada tahun 2001. Setelah
melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat dan demokratis akhirnya ide
MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan pasal 24 C UUD
1945. Kewenangan yang dimilik MK antara lain : 1. Menguji undang-undang
terhadap UUD (judicial review); 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar; 3. Memutus
pembubaran partai politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
5. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Salah satu kewenangan MK ialah menguji undang-undang
terhadap undang-undnag dasar yang mempunyai akibat hukum dari putusan
lembaga tersebut. Akibat hukum itu ialah memberi ruang dan kesempatan pada
hakim MK dalam pembuatan hukum, melalui pengujian dan tafsir maupun
konstruksi hukum yang digunakan dalam rangka penyelesaian perselisihan yang
dihadapkan padanya. Kemudian, putusan MK dalam perkara pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar juga memiliki sifat konstitutif. Artinya
putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan
sekaligus membentuk hukum yang baru. Hal ini membawa keharusan
bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian
dengan UUD 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum yang lama dalam
ketentuan undang-undang yang diuji.

DAFTAR PUSTAKA

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , (Jakarta; PT. RajaGrafindo
Persada, cetakan ke 5,2013).
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer Kelompok Gramedia, 2009).
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,1989).
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Edisi Revisi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2014).

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana, 2011)

Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003