Pertumbuhan dan Pembangunan Cina Sebagai

Makalah Akhir Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional 1

Pertumbuhan dan Pembangunan Cina Sebagai
Tanda Kemunculan Kekuatan Dunia Baru Dilihat
dari Teori Power Transitions

Tiara Maharanie
1206210856
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia
Depok
2013

SURAT PERNYATAAN ANTI PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Tiara Maharanie
NMP : 1206210856
Menyatakan makalah di bawah ini
Judul: Pertumbuhan dan Pembangunan Cina Sebagai Tanda Kemunculan Kekuatan Dunia

Baru Dilihat dari Teori Power Transitions
Untuk memenuhi tugas Mata kuliah: Teori Hubungan Internasional 1
Adalah BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, tidak mengandung plagiarisme dan belum
pernah digunakan untuk mata kuliah lain. Semua kutiban baik yang langsung maupun tidak
langsung SUDAH DICANTUMKAN sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Depok, 27 Desember 2013

(Tiara Maharanie)

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dan pembangunan pesat yang terjadi pada Cina merupakan suatu fenomena
yang banyak menyita perhatian internasional. Kesuksesannya untuk bangkit dari keterpurukan
dan dinamika dalam negeri pasca perang sipil yang berujung pada kemenangan Partai Komunis
Cina memberikan sejarah baru bagi keberlangsungan Cina sebagai sebuah negara. Pada periode
1949 – 1976, tidak ada pembangunan signifikan yang terjadi pada Cina, hingga kemudian pada

1978, Deng Xiaoping—pemimpin baru yang menggantikan Mao Zedong—melakukan
reformasi pada politik dan ekonominya dan memutuskan untuk memulai modernisasi. Partai
Komunis Cina mulai mengikuti langkah negara tetangganya seperti Jepang, Korea Selatan,
Hong Kong, dan Singapura untuk mencapai kemakmuran dengan kebijakan yang berorientasi
pada ekspor, sehingga tidak lama kemudian mengakibatkan investasi dan join ventur
membanjiri Cina, dan membawanya pada posisi sebagai “factory of the world”.
Pembangunan perekonomian yang pesat merupakan akibat dari reformasi politik yang
dilakukan oleh Cina. Segala kebijakan yang diambil harus mendukung pembangunan
perekonomian, dan dari perubahan politik pula, Cina dapat memulai usahanya untuk
melakukan modernisasi. Hal ini terlihat pada tahun 1988, dimana Cina mulai melegitimasi
perusahaan swasta, kemudian menetapkan ekonomi pasar sosialis pada 1993, dan mulai
menganggap perusahaan swasta sama pentingnya dengan pelaku ekonomi negara pada 1999.
Bahkan, angkatan pertahanan Cina menjadi salah satu aktor yang harus menjadi penyokong
pembangunan perekonomian negeri tirai bambu tersebut.
Tiga puluh tahun setelah melakukan reformasi, pembangunan ekonomi Cina
memperlihatkan kemajuan yang besar, terlihat dari Cina yang telah menjadi negara
perdagangan terbesar dunia kedua pada tahun 2008 serta melampaui Jepang berdasarkan
ukuran Gross Domestic Product (GDP) pada 2010. Selain itu, pada periode 2008-2012,
pertumbuhan GDP Cina telah mengalami peningkatan dengan angka sekitar 10% pertahunnya.
Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat sebagai negara dominan saat ini yang mana pasca

krisis finansial 2008, tingkat pertumbuhan GDP Amerika Serikat justru menunjukan angka
yang rendah, yaitu hanya sekitar 2% hingga periode 2012.
Pembangunan pesat yang terjadi pada Cina dan kemampuannya yang mulai mampu
mengejar negara-negara besar khususnya secara ekonomi kemudian menjadi penting untuk
dianalisa. Hal tersebut dikarenakan, sebagaimana yang dijelaskan dalam teori power

2

transitions, pembangunan pesat yang terjadi pada suatu negara sewaktu-waktu akan
menimbulkan dampak terhadap negara lain, khususnya terhadap negara yang menjadi
‘pemimpin’ dalam sistem internasional. Dalam hal ini, negara yang mengalami pertumbuhan
pesat dapat saja menjadi penantang yang potensial bagi negara dominan dalam sistem
internasional, khususnya apabila pertumbuhan yang dimilikinya mulai mengejar dan setara
dengan negara dominan. Selain itu, peningkatan pesat yang terjadi pada suatu negara juga dapat
memicu timbulnya keinginan untuk mengubah sistem yang ada oleh negara yang mengalami
peningkatan power. Maka dari itu, teori power transitions akan digunakan sebagai dasar dalam
menganalisis kasus dalam tulisan ini.

1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini akan menjawab permasalahan “Bagaimana teori power transitions

menjelaskan pembangunan Cina Sebagai Kekuatan Dunia Baru?”. Maka, level analisis
yang diambil adalah pertumbuhan dan pembangunan Cina pasca reformasi politik dan ekonomi
tahun 1978, dan bagaimana pembangunan Cina kemudian mempengaruhi Amerika Serikat
sebagai negara dominan saat ini.

1.3 Kerangka Teori
Teori power transitions merupakan penamaan pada teori yang pertama dijelaskan oleh
A.F.K Organski dalam tulisannya yang berjudul World Politics. Tujuan dari teori ini adalah
untuk menyelidiki siklus perang, dan bagaimana transisi power dalam sistem internasional
memyebabkan terjadinya perang tersebut. Berbeda dengan penjelasan dalam teori balance of
power yang menyatakan bahwa kondisi yang damai dihasilkan dari distribusi power yang
equilibrium, maka Organski mengatakan bahwa kondisi yang paling baik untuk menciptakan
perdamaian adalah saat adanya ketidakseimbangan kapabilitas antarnegara, dengan adanya satu
negara yang berperan sebagai dominan dalam sistem internasional. Dalam hal ini, status quo
dominan menjadi faktor yang menciptakan kondisi yang damai.1
Teori power transitions menjelaskan sistem yang hierarki, dengan distribusi power yang
terpusat hanya pada beberapa pihak. Terdapat empat kategori negara dalam teori power
transitions, yaitu dominant power, great powers, middle powers, dan small powers. Negara
dominan berada di puncak, yang berperan sebagai pihak yang paling banyak mengatur dalam
sistem internasional. Selain itu, negara dominan juga akan berusaha menjaga posisinya dalam

sistem, dengan memastikan posisinya ‘aman’ dari negara penantang yang berpotensi menjadi
1 A. F. K. Organski, World Politics (New York: Alfred A. Knopf, 1958), hlm. 326

3

lawannya, serta dengan mengelola sistem internasional di bawah aturan yang menguntungkan
dan memenuhi kepentingan nasionalnya.2
Lebih lanjut, yaitu great powers—negara-negara kuat, namun tidak sekuat negara
dominan3 dan berperan dalam menjaga sistem internasional. Diantara great powers, terdapat
negara yang tidak sepenuhnya terintegrasi dengan negara dominan, sehingga potensi
munculnya penantang terhadap negara dominan berasal dari great powers tersebut.
Ketidakpuasan penantang terhadap kondisi dan sistem yang ada kemudian menimbulkan
kemungkinan terjadinya perang dengan negara dominan.4 Maka itu, dalam hal ini, negara
dominan akan berusaha untuk menjaga interaksinya dengan great powers sebagai usaha
mempertahankan posisinya dalam sistem internasional, juga untuk mencegah timbulnya
ketidakpuasan dari great powers yang sewaktu-waktu dapat menjadi lawannya.5
Ketidakpuasan itu sendiri muncul baik terhadap international leadership, ataupun aturan
dan norma yang dibangun negara dominan sehingga penantang berusaha untuk mengubah hal
tersebut.6 Rasa ketidakpuasan muncul dari akumulasi dalam suatu periode tertentu yang
dibarengi dengan transisi politik domestik negara great powers yang menjadi penantang dalam

tiga tahap.7 Tahapan ini dimulai dengan proses pembangunan sosial-ekonomi dari negara
penantang menuju taraf berkembang dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
sebagai potensi perubahan. Kemudian negara penantang akan membandingkan kondisi internal
di negara-negara yang dianggap lebih kuat, untuk melihat seberapa besar perbedaan kapasitas
power yang dimilikinya. Tahap terakhir adalah saat dimana negara penantang mulai
menunjukkan pembangunan besar-besaran dalam berbagai aspek, untuk mengimbangi negara
dominan, serta menerapkan rumusan tatanan baru.
Ciri-ciri negara penantang sebagaimana disampaikan oleh Organski dan Kugler adalah
negara yang memiliki pertumbuhan pesat pada kapasitas power-nya, dan akan terus
mengusahakan pertumbuhan tersebut. Selain itu, ada keyakinan bahwa negara penantang akan
mampu melawan atau melampaui negara dominan, dan tidak sedia untuk menerima posisinya
yang ada saat ini, karena posisi dominasi dipercaya akan memberikan keuntungan yang lebih
baginya.8
2 Ronald L. Tammen et.al., Power Transitions: Strategies for the 21st Century (New York: Seven Bridges Press, 2000),
hlm. 6
3 A. F. K. Organski dan Jacek Kugler, The War Ledger (Chicago: The University of Chicago Press, 1980), hlm. 19
4 Tammen, et.al. hlm. 6-7
5 A. F. K. Organski dan Jacek Kugler, “The Power Transition: A Retrospective and Prosprective Evolution”, dalam
Manus I. Midlarsky, ed, Handbook of War Studies II, (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1989), hlm. 173
6 Ronald L. Tammen, et.al. hlm. 9.

7 Jacek Kugler dan A. F. K. Organski, 1989, hlm. 177.
8 A.F.K Organski dan Jacek Kugler, 1980, hlm. 19-20.

4

Dalam teori power transitions, usaha negara dominan untuk menjaga status quo
dilakukan dengan membentuk aliansi dengan great powers yang mendukungnya dan dianggap
memiliki kepentingan yang sama dengan negara dominan. Aliansi yang kuat dibentuk dari
adanya komitmen antarnegara yang terlibat untuk menjaga status quo dan saling bekerjasama
dalam mencapai hal tersebut.9 Perilaku aliansi yang mendukung negara dominan juga penting
untuk diperhitungkan sebagai potensi dalam memenangkan perlawanan dengan negara
penantang. Negara dominan memiliki probabilitas yang tinggi untuk didukung oleh aliansi
yang secara umum lebih kuat dari negara penantangnya.10
Tidak hanya itu, cara negara dominan untuk mempertahankan posisinya selain melalui
aliansi juga dapat melalui globalisasi.11 Maksutnya adalah, globalisasi, sebagai aturan dan
norma internasional yang muncul melalui aktor non-state, dapat memberikan dampak terhadap
negara dengan memberikan pengaruh “satisfaction” terhadap sistem yang ada. Sehingga hal ini
menjadi aset penting bagi negara dominan untuk secara tidak langsung menyebarkan
“satisfaction” tersebut terhadap negara-negara lain, sehingga dapat mencegah timbulnya pihak
yang menjadi penantang terhadap negara dominan ataupun sistem internasional. Tidak jarang,

globalisasi dianggap sebagai alat yang lebih efektif untuk mempengaruhi dissatisfied states
untuk menerima sistem yang ada, ketimbang melalui inisiatif langsung yang dilakukan oleh
negara dominan terhadap negara-negara tersebut.
Selanjutnya, Organski dan Kugler menjelaskan bagaimana suatu konflik terjadi sebagai
tanda transisi power dimulai, yang mana hal ini memiliki dua indikator. 12 Pertama, parity—
apabila negara penantang memiliki power yang mendekati atau sejajar dengan power negara
dominan. Dengan kata lain, ketegangan dari kedua pihak akan semakin meningkat apabila
pihak yang tidak puas dan menjadi penantang, mengalami peningkatan power lebih cepat dari
negara dominan, sehingga berpotensi untuk mengejar dan menyalip kapabilitas power negara
dominan. Dikatakan bahwa negara penantang tidak akan mulai menyerang apabila belum
melampaui power yang dimiliki negara dominan. Kedua, great powers yang puas dengan
international order yang dibangun oleh negara dominan akan berpihak dan mendukung negara
dominan dengan membentuk suatu aliansi dalam melawan negara penantang.
Dalam buku yang ditulis oleh Tammen dengan delapan rekan lainnya, dimana kedua
diantaranya termasuk Organski dan Kugler sebagai scholars pertama yang menjelaskan tentang
teori power transitions, disebutkan bahwa indikator dalam mengukur power dalam teori power
9 Ronald L. Tammen, et.al. hlm. 13.
10 A.F.K Organski dan Jacek Kugler, 1980, hlm. 55-56.
11 Ronald L.Tammen, et.al. hlm. 38-39.
12 A.F.K. Organski dan Jacek Kugler, 1989, hlm.182-184.


5

transitions meliputi tiga aspek.13 Pertama, power diukur dari pertumbuhan ekonomi yang
dilihat dari pendapatan nasional berupa GDP perkapita. Kedua, yaitu populasi. Meski populasi
bukan menjadi ciri utama yang menentukan status negara great powers ataupun negara
dominan, namun jumlah populasi yang besar akan menyediakan potential resources yang besar
bagi negara, yang mana hal tersebut akan menentukan dan mempengaruhi kapabilitas power
yang dapat diraih dan dimiliki oleh negara. Ketiga, kapasitas politik—yaitu kemampuan negara
dalam memanfaatkan potensi populasi yang dimilikinya demi tujuan meningkatkan pencapaian
kepentingan dan kebijakan negara.
Berdasarkan penjelasan teori diatas, maka operasionalisasi teori yang akan digunakan
dalam makalah ini dijelaskan dalam bagan berikut.
Bagan Operasionalisasi Teori Power Transitions

Adanya
negara
dominan

Muncul

negara yang
tidak puas
dengan sistem
dan tatanan
internasional

pertumbuhan
dan
pembangunan
pesat pada
negara
penantang

pembentukan
aliansi dalam
menghadapi
negara
penantang
oleh negara
dominan


Perang antara
negara
dominan dan
aliansinya
dengan negara
penantang

Proses tansisi
power

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Amerika Serikat sebagai Negara Dominan
13 Ronald L. Tammen et. al., hlm. 16-20.

6

Pasca berakhirnya Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) berdiri sebagai satu-satunya
negara superpower yang dominan dalam sistem dan tatanan internasional. Posisinya yang kuat
dan unggul dari negara-negara lain terlihat dari tiap domain power seperti ekonomi, politik,
militer, diplomatik, teknologi, maupun budaya, dengan kapabilitas dan kemampuan untuk
mencapai kepentingan-kepentingan tersebut dari tiap bagian dalam ranah internasional. Selain
itu, dalam ukuran populasi dan teritorial, AS juga memiliki power yang signifikan.14
Tidak lama setelah Perang Dingin berakhir, “Defense Guidance” pada masa pemerintahan
Bush tahun 1992 terkuak secara terang menyatakan bahwa AS saat ini merupakan negara
terkuat di dunia, dan akan menjaga posisi tersebut. Pesan yang serupa dituliskan kembali dalam
“National Security Strategy” pada 2002 yang menyebutkan bahwa AS harus memonitor rising
powers untuk menjaga posisinya dalam pencaturan global.15
Dengan posisinya sebagai negara dominan, AS seringkali bertindak seakan-akan sistem
yang ada adalah unipolar. Para pejabat AS dan segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan
cenderung memberikan keputusan dan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan powernya. AS seringkali memberikan ‘pengajaran’ kepada negara-negara lain bahwa nilai-nilai yang
diusungnya merupakan hal-hal yang universal sehingga berlaku pada tiap negara lain dalam
sistem internasional. Hal ini terlihat dari bagaimana tekanan oleh AS terhadap negara-negara
lain untuk mengadopsi nilai-nilai terkait demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), mencegah
munculnya negara yang meningkatkan kapabilitas militer yang dapat mengancam AS,
mengkategorikan secara sepihak dan memberikan sanksi terhadap negara-negara yang
dianggapnya tidak sesuai standar AS terkait HAM, terorisme, proliferasi nuklir dan misil, dan
tentang kebebasan beragama. Kemudian mempromosikan kepentingan ekonomi AS dengan
slogan perdagangan bebas dan keterbukaan pasar, membentuk World Bank dan International
Monetary Fund dengan aturan yang disusunnya, serta sering memaksakan kebijakan ekonomi
dan sosial terhadap negara lain yang sesuai dengan AS dalam upaya mencapai
kepentingannya.16

2.2 Pertumbuhan dan Pembangunan Cina Pasca 1978
2.2.1 Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Sepeninggal Mao Zedong pada 1976, Cina mengalami disfungsi dan kemunduran
ekonomi yang membawanya pada situasi kritis, dan lebih dari 900 juta rakyat Cina menuntut
14 Samuel P. Huntington, “The Lonely Superpower,” Foreign Affairs, no. 2 (1999): 36.
15 John J. Mearsheimer, “China’s Unpeaceful Rise,” Current History, no. 690 (2006): 161.
16 Samuel P. Huntington, hlm. 38.

7

untuk dilakukannya perubahan pada politik. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1978,
Deng Xiaoping muncul sebagai tokoh pemimpin baru bagi Partai Komunis Cina yang
kemudian melakukan reformasi pada perekonomian. Reformasi ekonomi tersebut dapat
dijelaskan dalam tiga preposisi, yaitu berupa mulai dibukanya ekonomi Cina terhadap
investasi asing dan private ownership, memperbolehkan kekuatan pasar Mempengaruhi harga
dan alokasi barang, serta mengharuskan material incentives menjadi mekanisme utama dalam
menstimulasi peningkatan produktivitas dan efisiensi.17 Reformasi ini sendiri dilakukan
dengan slogan “reforming and opening”, yaitu modernisasi yang dilakukan dengan
menggunakan ilmu dan teknologi Barat yang dilakukan dengan aturan sosialis.18
Pada pertengahan 1990an, produk Cina telah memasuki hampir seluruh pasar diseluruh
dunia. Istilah “Made in China” juga menjadi hal yang tidak dapat disangkal dan mulai umum
ditemui pada barang-barang impor di berbagai negara, serta dikenal sebagai barang “cheap
but well-made”.19 Selain itu, saat negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan negara di
Eropa telah mengalami kemerotosan perekonomian akibat krisis yang menimpanya, Cina
bertahan sebagai kekuatan yang memperlihatkan pembangunan yang stabil, terlihat dari total
perdagangan dan GDP yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Tabel 1
Total Nilai Perdagangan Barang Cina ke Seluruh Dunia, Tahun 2007 – 2012
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Total Nilai Perdagangan (dalam juta US$)
1.220.456
1.430.693
1.201.612
1.577.754
1.898.381
2.048.714

Sumber:

Trade Organization
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa peningkatan nilai World
perdagangan
barang Cina ke
seluruh dunia meningkat tiap tahunnya, dimana pada tahun 2012, nilai perdagangan barang
Cina mencapai angka senilai 2 triliyun US Dollar. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu
faktor terpenting terhadap pertumbuhan ekonomi Cina yang berimbas pada peningkatan
power Cina, khususnya berdasarkan aspek ekonomi yang dilihat dari nilai GDP.
17 Harry Harding, China’s Second Revolution: Reform After Mao (Washington: Allen & Unwin,
1987), 99-100.
18 Kokubun Ryosei, “Globalizing China: The Challenges and the Opportunities,” dalam The Rise
of China and a Changing East Asian Order, ed. Kokubun Ryosei dan Wang Jisi (Tokyo: Japan
Center for International Exchange, 2004), 25.
19 Wu Xiao-bo, China Emerging: 1978 – 2008 (Singapore: Cengage Learning Asia Pte Ltd,
2009), 123.

8

Grafik 1 - Tabel 2

Gross Domestic Product (GDP) Terbesar di Dunia
$18,000,000
$16,000,000

(dalam juta US$)

$14,000,000
$12,000,000
$10,000,000
$8,000,000
$6,000,000
$4,000,000
$2,000,000
$0
2007

2008

2009

2010

2011

2012

Sumber: World Bank
Dari grafik dan tabel diatas, terlihat bahwa total nilai GDP Cina mengalami peningkatan
yang signifikan tiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2010, Cina telah menyalip Jepang sebagai
negara kedua terbesar dalam ukuran GDP. Fenomena ini menjadi gambaran bagaimana
pertumbuhan dan pembangunan Cina yang pesat telah mampu mengungguli Jepang yang telah
lebih dahulu melakukan pembangunan sebelum Cina. Selain itu, terlihat pula bahwa Cina kini
telah mengungguli kekuatan-kekuatan besar dunia seperti Jerman, Inggris, dan Perancis
berdasarkan total nilai GDP, yang mana hal ini kemudian berimbas pada kapabilitas power Cina
serta posisinya dalam sistem internasional.
Selain itu, faktor yang juga banyak mempengaruhi pertubuhan dan pembangunan Cina
khususnya pada bidang ekonomi pada dekade terakhir adalah pasca bergabungnya Cina dalam
organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) pada Desember 2001.
Bergabungnya Cina ke dalam WTO bukan tanpa alasan, karena pada hakekatnya, sebelum
bergabung dalam organisasi perdagangan internasional tersebut, pada tahun 1993 situasi
perekonomian Cina mengalami penurunan, khususnya setelah diberlakukannya reformasi
ekonomi Cina dengan menerapkan sistem socialist market economy. Pada tahun 1992,
pertumbuhan perekonomian Cina meningkat sebesar 14,2%, namun menjadi 10,5% di tahun
9

1995. Selain itu, krisis finansial Asia juga mengakibatkan angka pertumbuhan ekonomi Cina
kembali menurun, dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 9,6% pada 1996, dan 7,1% di
tahun 1999. Fenomena ini juga berdampak pada penurunan tingkat Foreign Direct Investment
(FDI) Cina, yang mana FDI merupakan motor penggerak terbesar Cina saat itu. Hal ini yang
kemudian mendorong Cina secara “terpaksa” untuk begabung dalam WTO, guna memulihkan
perekonomiannya.20
Meski reformasi ekonomi yang kini dijalankan oleh Cina merupakan transportasi dalam
mencapai modernisasi, namun hanya terdapat empat aspek yang melalui tahap modernisasi,
yaitu modernisasi terhadap agrikultur, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pertahanan nasional. Dalam hal ini, modernisasi terhadap sistem sosial-politik tidak dilakukan,
meski Partai Komunis Cina telah banyak melalui perubahan dalam perkembangannya yang
mana telah menetapkan untuk melakukan reformasi ekonomi pada 1978. Hal tersebut
dikarenakan, Cina memiliki tanggungjawab terhadap ideologinya, dimana tiap perubahan harus
dengan tujuan membangun dan tidak merusak nilai sosialisme dan posisi Partai Komunis
Cina.21
2.2.2 Reformasi Politik Cina
Pertumbuhan dan pembangunan pesat yang terjadi pada perekonomian Cina tidak
terlepas dari keputusan politik negara tersebut. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya,
bahwa sistem ekonomi yang mulai diberlakukan pada tahun 1978 merupakan keputusan politik
yang kemudian menjadi tonggak bagi perubahan Cina yang membawanya pada kemajuan
hingga saat ini. Reformasi dan amandemen pada politik Cina sendiri dilakukan dalam berbagai
tahap di banyak periode. Sebagaimana yang disampaikan oleh Yang Guangbin, Cina telah
melakukan amandemen terhadap konsitusi sebanyak tiga kali sejak tahun 1988. Pada 1988,
Cina mulai melegitimasi perusahaan swasta. Kemudian 1993, amandemen kembali dilakukan
dengan menetapkan socialist market economy, dan pada 1999, Cina mulai menganggap
perusahaan swasta sama pentingnya dengan pelaku ekonomi negara. Amandemen konstitusi
tersebut menegaskan bahwa Cina telah mengusahakan economic freedom dan pertumbuhan
pada perusahaan-perusahaan swasta sebagai penyokong ekonominya. 22 Dari penjelasan
tersebut, terlihat bahwa reformasi politik yang dilakukan oleh Cina erat hubungannya dengan
20 Kokubun Ryosei, hlm. 23-24.
21 David Lai, The United States and China in Power Transition (Carlisle: U.S. Army War College,
2011), 48.
22 Yang Guangbin, “Political Developments in the Rise of China,” dalam The Rise of China and
a Changing East Asian Order, ed. Kokubun Ryosei dan Wang Jisi (Tokyo: Japan Center for
International Exchange, 2004), 92.

10

aspek ekonomi, dimana perubahan-perubahan yang dilakukan dalam politik Cina dilakukan
demi kepentingan ekonomi sebagai tonggak dan tujuan utama yang ingin dicapai oleh Cina,
khususnya pada pasca pemerintahan Mao Zedong.

2.3 Perbandingan Ukuran Power Cina – AS Berdasarkan Teori Power Transitions
Menurut teori power transitions, suatu negara great power akan berpotensi untuk
menjadi penantang bagi negara dominan apabila mengalami perubahan dan
pertumbuhan yang pesat, diiringi dengan adanya keyakinan bahwa pertumbuhan
tersebut akan mengejar dan melampaui power yang dimiliki oleh negara dominan.
Dalam teori ini pula, power suatu negara diukur dari tingkat produktivitas, populasi, dan
kapasitas politik,23 dimana produktivitas dalam teori power transitions dinilai dari
kapabilitas ekonomi suatu negara yang mana hal ini dilihat dari ukuran GDP perkapita. 24
Dalam sistem dan tatanan internasional saat ini, Amerika Serikat (AS) merupakan
satu-satunya negara dominan yang memiliki power terkuat dilihat dari berbagai aspek,
seperti ekonomi, politik, militer, diplomatik, teknologi, maupun budaya, dengan
kapabilitas dan kemampuan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersebut dari tiap
bagian dalam ranah internasional.25 Selain itu, dalam ukuran populasi dan teritorial, AS
juga memiliki power yang signifikan. Namun, dengan adanya pertumbuhan dan
pembangunan pesat yang terjadi pada Cina, khususnya secara ekonomi dan politik,
maka hal ini akan berimplikasi pada posisinya dalam sistem dan tatanan internasional.
Maka dari itu, perbandingan power akan dilakukan antara Cina dengan AS sebagai
negara dominan, yang mana hal ini dilihat dari indikator power yang diukur dalam teori
power transitions, yaitu GDP perkapita, populasi, dan kapasitas politik.
Grafik 3
Total GDP perkapita Amerika Serikat dan Cina Tahun 2008 – 2012
(dalam US$)

23 Tammen, et.al. hlm. 15
24 A.F.K Organski dan Jacek Kugler, 1980, hlm. 19
25 Samuel P. Huntington, hlm. 36.

11

60,000
50,000
40,000

46,760

49,965

48,113

46,616

45,305

Cina
AS

30,000
20,000
10,000

3,414
0
2008

3,749
2009

6,188

5,442

4,448
2010

2011

2012

Sumber: World Bank

Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa total nilai GDP perkapita AS tiap
tahunnya jauh lebih besar dibandingkan Cina, yang mana hingga tahun 2012, AS masih
jauh unggul sekitar delapan kali lipat atau lebih besar US$. 43.777 dari nilai GDP
perkapita Cina. Namun, hal tersebut tidak heran mengingat bahwa beban populasi Cina
jauh lebih besar dibanding AS dan kemajuan ekonomi AS sudah lebih dahulu dimulai
sebelum Cina. Maka dari itu, selanjutnya perbandingan akan dilihat dari growth rate
GDP perkapita kedua negara sebagai relative power, dimana hal ini akan
memperlihatkan kecenderungan yang berbeda.
Grafik 4
Tingkat Pertumbuhan GDP Perkapita Amerika Serikat dan Cina Tahun 2008 – 2012
(dalam %)
12
10
9
8
6
4
2
0
-1
-2
-4
-6
2008

9

10

9
7

2

1

1

2011

2012

Cina
AS

-4
2009

2010

Sumber: World Bank
Dari grafik diatas, terlihat bahwa tingkat pertumbuhan GDP perkapita AS sangat rendah
dimana pada tahun 2008 bahkan menunjukan angka -1%. Hal ini diperparah pada tahun 2009
dengan tingkat pertumbuhan mencapai -4%, yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan
ekonomi AS apabila dinilai dari GDP perkapita mengalami kemerosotan yang sangat tajam.
Bila dihubungkan dengan kondisi perekonomian AS pada tahun tersebut, data ini sesuai dimana
pada periode 2008-2009, AS mengalami krisis finansial yang berakibat pada penurunan
pertumbuhan ekonominya. Berbeda dengan Cina yang mengalami pertumbuhan GDP perkapita

12

dengan angka yang relatif tinggi dan stabil tiap tahunnya, meski pada tahun 2012 hanya
mengalami pertumbuhan sebesar 7,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa hingga saat ini, tingkat
pertumbuhan perekonomian Cina lebih kuat dibandingkan AS, yang mana hal ini menjadi
keunggulan Cina berdasarkan relative power.
Selain itu, meski secara absolut GDP perkapita AS lebih besar dibanding Cina, namun saat
ini AS merupakan negara yang memiliki hutang besar dan rentan akan hal tersebut, dimana AS
menguasai sekitar 50% arus modal dunia, sedangkan Cina kini berada dalam posisi sebagai
substantial creditor di dunia.26 Lebih lanjut, meski secara absolut nilai GDP percapita AS lebih
unggul dibanding Cina, namun kini Cina juga dominan dalam beberapa aspek, khususnya
secara ekonomi. Pertama, dengan foreign reserves senilai US$ 3 juta, Cina telah menawarkan
bantuan kepada Yunani, Irlandia, Portugal, dan Spanyol untuk membeli hutangnya dalam upaya
pemulihan krisis finansial di Eropa. Kemudian, Cina juga telah memanfaatkan kemampuan
ekonominya dalam menguatkan hubungan perdagangan dan finansialnya dengan negara-negara
di Asia dan Amerika Latin, seperti contoh, kini, transaksi perdagangan antara Cina dengan
beberapa negara di kedua kawasan tersebut telah dilakukan dengan menggunakan mata uang
yuan.27
Potensi power dan keunggulan lain yang dimiliki Cina adalah jumlah populasinya yang
merupakan terbesar di dunia. Dikatakan oleh Tammen et.al., bahwa meski jumlah populasi
tidak menjamin suatu negara akan menjadi kuat, namun dengan jumlah populasi yang besar,
maka hal tersebut akan memberikan potential power bagi negara, yang mana hal ini
berkontribusi pada kapabilitas power negara secara keseluruhan.28 Perbandingan populasi
terlihat pada tabel berikut,

Tabel 2
Perbandingan Total Populasi Amerika Serikat dan Cina Tahun 2008 – 2012
Negara

Tahun

26 Arvina Subramanian, “The Inevitable Superpower: Why China’s Dominance Is a Sure Thing,” Foreign Affairs, no. 5
(2011): 69.
27 Arvina Subramanian, hlm. 71.
28 Tammen et.al. hlm. 18.

13

Amerika
Serikat
Cina

2008

2009

2010

2011

2012

304.093.966

306.771.529

309.326.225

311.587.816

313.914.040

1.324.655.00

1.331.260.00

1.337.705.00

1.344.130.00

1.350.695.00

0

0

0

0

0
Sumber: World Bank

Dari data diatas, terlihat bahwa total populasi yang dimiliki oleh Cina jauh lebih besar
ketimbang AS, dimana hingga tahun 2012, Cina masih sangat unggul dengan selisih sekitar 1
milyar penduduk. Hal ini kemudian menjadi salah satu keunggulan terbesar Cina dimana
dengan jumlah penduduk yang besar, Cina memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
memanfaatkan potential resources dari penduduknya dalam upaya mencapai kepentingan
negara serta meningkatkan kapabilitas power-nya.
Indikator ukuran power ketiga, yaitu kapasitas politik. Dalam tulisan Yi Feng yang berjudul
Sources of Political Capacity: A Case Study of China, dijelaskan bagaimana kapasitas politik
Cina mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh respon terhadap prioritas politik maupun
ekonomi dalam program nasional Cina. Dikatakan bahwa pemerintahan Cina memiliki political
capital yang memberikan peluang pada sistem politiknya untuk melalukan desentralisasi.
Seperti halnya pada awal periode dilakukannya reformasi ekonomi, kekuatan politik Cina di
relokasikan dari urban ke rural areas. Dalam tahap kedua reformasi ekonomi, provinsiprovinsi di Cina telah memiliki kapasitas diskresi dan semakin kuat posisinya, dan pada tahap
saat ini, bank sentral Cina telah memiliki relevansi dan menjadi aspek penting sebagai salah
satu decision maker Cina.29 Kapasitas politik Cina kemudian dikalkulasikan oleh Yi Feng
dengan berbagai rumus yang kemudian menghasilkan grafik yang menggambarkan
kecenderungan dan nilai dari kapasitas politik Cina pada periode 1960-2000.

Grafik 5
Nilai Kapasitas Politik Cina, Tahun 1960 – 2000

29 Yi Feng, “Sources of Political Capacity: A Case Study of China,” International Studies Review, no.4 (2006): 599 –
600.

14

Sumber: Yi Feng, “Sources of Political Capacity: A Case Study of China,” International
Studies Review, no.4 (2006): 600.
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa nilai kapasitas politik Cina mengalami pasang surut yang
signifikan, dimana kecenderungan angka yang tertinggi berada pada tahun 1978. Hal ini
berkesinambungan, dimana pada periode tersebut, Cina mulai melakukan reformasi
ekonominya sebagai keputusan politik, dan sebagai awal mula pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Cina. Pada periode tersebut pula, terlihat signifikansi kapasitas politik Cina, baik
terhadap hubungannya dengan kondisi ekonomi maupun populasinya, sebagai dua indikator
ukuran power yang efektivitasnya dipengaruhi oleh kapasitas negara yang bersangkutan.
Namun begitu, kecenderungan kapasitas politik yang menurun pasca tahun 1992 akibat
reorientasi program nasional Cina menjadi gambaran bagaimana kapasitas politik Cina
kedepannya, yaitu tidak sekuat tahun 1978. Hal tersebut menurut Yi Feng dikarenakan,
reformasi politik dengan reformasi ekonomi memiliki implikasi satu sama lain dan berdampak
pada kapasitas politik negara bersangkutan, dengan mengatakan, “If it had started with
economic reforms before political reforms, the government would not have possessed enough
political capacity to sustain economic transformation.”30
Berbeda dengan Cina yang pemerintahannya dikuasi oleh Partai Komunis Cina sebagai
aktor yang dapat mengatur dan membuat berbagai keputusan terhadap ekonomi dan rakyatnya,
AS—yang banyak diatur oleh dua partai besar yaitu Demokrat dan Republik sebagai posisi dan
oposisi seringkali memiliki pandangan yang berbeda terkait kebijakan pemerintah, sehingga hal
tersebut menyulitkan pengambilan keputusan dan berimbas pada efektivitas dan kinerja
30 Yi Feng, hlm. 599.

15

pemerintahan AS sendiri. sebagaimana yang disampaikan oleh Lane Kenworthy, institusi
politik AS dan pergeseran persepsi terhadap kekuatan ekonomi AS kini besar dipengaruhi oleh
mobilisasi perusahaan dan usaha politik terhadap kebijakan AS. Pergeseran kultur dan strategi
dari partai Republik juga memiliki pengaruh terhadap kebijakan. Selain itu, perubahan yang
terjadi pada teknologi, kompetisi ekonomi, dan corporate governance practices juga
berkontribusi pada perubahan-perubahan dalam kebijakan yang diambil AS, yang mana hal
tersebut diakibatkan oleh persaingan dan perebutan economic outcomes oleh pihak-pihak
terkait tersebut.31 Hal ini terlihat dari kasus dimana pada Oktober 2013, terjadi shutdown pada
pemerintahan AS akibat adanya perbedaan persepsi oleh partai Republik terkait anggaran AS
tahun 2014 khususnya mengenai jaminan kesehatan.
Selain itu, krisis finansial yang menimpa AS pada tahun 2008 juga menjadi gambaran
bagaimana kapital, atau kekuatan ekonomi berperan besar dalam dinamika dan kinerja
pertumbuhan ekonomi AS. Dari kasus ini, terlihat bagaimana kecenderungan kapasitas politik
AS tidak sekuat kekuatan ekonomi dalam mengatur pertumbuhan dan pembangunan dalam
negeri, khususnya secara ekonomi, sehingga kemudian mengakibatkan krisis yang berimbas
pada merosotnya pertumbuhan ekonomi dan permasalahan pada rakyatnya.

2.4 Cina Sebagai Kekuatan Dunia Baru Menurut Teori Power Transitions
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang pesat, diikuti dengan reformasi politik
Cina yang telah berlangsung selama tiga kali pasca tahun 1978 menjadi gambaran bagaimana
Cina sedang mengalami transisi internal yang membawanya kepada posisi yang semakin kuat
dalam sistem dan tatanan internasional, khususnya secara ekonomi. Namun, hingga saat ini,
pertumbuhan dan pembangunan Cina yang pesat masih terlalu dini untuk diperkirakan dampak
akhirnya terhadap kondisi sistem dan tatanan internasional, serta pada posisi AS sebagai negara
dominan, karena pertumbuhan dan pembangunan Cina masih terus berjalan. Selain itu, dari
penjelasan sebelumnya mengenai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Cina, serta
reformasi politik yang berlangsung dalam pemerintahan Cina, mengindikasikan bahwa
fenomena tersebut telah memenuhi indikator potential challenger state dalam teori power
transitions sebagaimana yang dijelaskan oleh Organski dan Kugler sebagai scholars pertama
yang menjelaskan teori tersebut. Kemudian berdasarkan pertimbangan relative power yang
dilihat dari growth rate GDP, Cina memang telah unggul dan memiliki kemampuan untuk

31 Lane Kenworthy, “Business Political Capacity and the Top-Heavy Rise in Income Inequality:
How Large an Impact?,” Politics and Society, no. 2 (2010): 255.

16

mengejar AS secara ekonomi. Selain itu, besarnya jumlah populasi Cina tidak dapat dipungkiri
sebagai keunggulan yang dimiliki oleh negara tirai bambu tersebut.
Berdasarkan penjelasan dan data yang disajikan pada pembahasan sebelumnya pula,
terlihat bahwa Cina telah menjadi salah satu kekuatan dunia baru, khususnya secara ekonomi.
Hal ini terlihat dimana pada tahun 2010, Cina telah menyalip Jepang sebagai negara kedua
terbesar berdasarkan ukuran GDP, dan telah menjadi negara perdagangan besar di dunia,
terlihat dari nilai total perdagangan yang pada tahun 2012 mencapai 2 triliyun US Dollar. Hal
ini menjadikan Cina masuk dalam kategori negara great power sebagaimana yang dijelaskan
dalam teori power transitions, yaitu negara yang kuat namun tidak sekuat negara dominan.
Namun demikian, hingga saat ini, Cina belum dapat dikategorikan sebagai negara
penantang yang seutuhnya, yang secara gamblang ingin mengubah sistem yang ada, serta
menantang AS sebagai negara dominan saat ini. Melainkan, terlihat bagaimana globalisasi dan
pembangunan Cina justru memberikan keuntungan bagi Cina sendiri. Hal ini kemudian sesuai
dengan penggambaran yang dijelaskan dalam teori power transitions bahwa globalisasi dapat
menjadi salah satu cara tidak langsung negara dominan dalam mencegah munculnya negara
penantang. Selain itu, Sejak pemerintahan Hu Jintao, “peaceful development” menjadi
kebijakan luar negeri Cina, yang pada hakekatnya menyatakan bahwa Cina akan melakukan
dan mengusahakan pembangunan tanpa secara agresif menantang dan mengubah kondisi yang
ada.32 Hal ini memperlihatkan bahwa indikator dalam teori power transitions yang menjelaskan
bahwa negara penantang adalah negara yang tidak puas dengan sistem yang dibentuk oleh
negara dominan sehingga muncul niat untuk mengubah sistem belum terpenuhi. Pembangunan
yang dilakukan oleh Cina tidak dilakukan dengan niatan untuk menyalip AS atau
menyamaratakan power yang dimiliki AS, melainkan untuk menguatkan posisinya dan
memainkan peran sebagai rising power dalam tatanan internasional. Sebagaimana hal ini
disampaikan oleh Fu Mengzi dikutip oleh Clegg yang menyatakan bahwa,
“In declaring its commitment to peaceful development, China has made clear its
intention, as it steps up to its major power role, not to challenge or disrupt the USled international political and economic system. Rather, by participating in
regional and global affairs, it seeks to play its part as a rising power in improving
the unjust international order.”33

BAB III
32 Zhiqun Zhu, review dari ‘China’s “Peaceful Rise” in the 21st Century: Domestic and
International Conditions,’ oleh Sujian Guo, The China Journal no. 58 (2007): 228-230.
33 Jenny Clegg, China’s Global Strategy: Towards a Multipolar World, (New York: Pluto Press,
2009), 179.

17

KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran dan analisa pada pembahasan sebelumnya, maka secara umum
pembahasan dalam tulisan ini dapat menjawab pertanyaan penelitian, yaitu ‘bagaimana teori power
transitions menjelaskan pembangunan Cina Sebagai Kekuatan Dunia Baru?’. Hal ini dilihat dari
data-data dan fakta yang memperlihatkan bahwa Cina telah menjadi kekuatan dunia baru
berdasarkan indikator power dan penjabaran dari posisi Cina saat ini dalam ranah internasional.
Berdasarkan indikator power yang diukur dalam teori power transitions, terlihat bahwa Cina telah
unggul dalam hal populasi dan secara relatif berdasarkan GDP perkapita dan kapasitas politik
dengan perbandingan AS sebagai negara dominan saat ini. Namun, secara absolut AS masih berada
dalam posisi yang paling kuat secara keseluruhan dalam sistem internasinal.
Selain itu, posisinya yang menguat khususnya berdasarkan ekonomi yang kini menjadi
negara kedua terbesar berdasarkan ukuran total GDP dan menjadi negara perdagangan terbesar
menjadikan Cina masuk dalam kategori great powers dalam teori power transitions, yaitu negara
kuat namun tidak sekuat negara dominan. Dalam hal ini, Cina belum secara terang menyatakan
tidak puas dengan sistem yang ada dan berniat untuk mengubahnya. Melainkan, pertumbuhan dan
pembangunan yang pesat oleh Cina bertujuan untuk menguatkan posisinya dan memainkan peran
tersebut dalam tatanan internasional, namun tidak untuk mengubah kepemimpinan AS. Hal tersebut
dikarenakan berdasarkan analisa bahwa globalisasi yang terjadi saat ini memberikan keuntungan
bagi Cina sendiri, terlihat dari power yang dimilikinya saat ini merupakan sebagai akibat dari
aktivitas perekonomian yang sangat aktif, dimana hal ini bermula dengan reformasi ekonomi dan
politik yang dilakukannya sejak tahun 1978.

Daftar Pustaka
18

Buku dan Jurnal:
Clegg, Jenny. China’s Global Strategy: Towards a Multipolar World, New York: Pluto Press, 2009.
Feng, Yi. “Sources of Political Capacity: A Case Study of China,” International Studies Review, no.
4 (2006): 597-606.
Harding, Harry. China’s Second Revolution: Reform After Mao, Washington: Allen & Unwin, 1987.
Huntington, Samuel P. “The Lonely Superpower,” Foreign Affairs, no. 2 (1999): 35-49.
Kenworthy, Lane. “Business Political Capacity and the Top-Heavy Rise in Income Inequality: How
Large an Impact?,” Politics and Society, no. 2 (2010): 255-265.
Lai, David. The United States and China in Power Transition, Carlisle: U.S. Army War College,
2011.
Mearsheimer, John J. “China’s Unpeaceful Rise,” Current History, no. 690 (2006): 160-162.
Organski, A.F.K dan Kugler, J., “The Power Transition: A Retrospective and Prosprective
Evolution”, dalam Handbook of War Studies II, ed. Manus I. Midlarsky, 173. Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1989.
Organski, A.F.K. dan Kugler, J. The War Ledger. Chicago: The University of Chicago Press, 1980.
Organski, A.F.K. World Politics. New York: Alfred A. Knopf, 1958.
Ryosei, Kokubun dan Wang Jisi, ed., The Rise of China and a Changing East Asian Order. Tokyo:
Japan Center for International Exchange, 2004.
Subramanian, Arvina. “The Inevitable Superpower: Why China’s Dominance Is a Sure Thing,”
Foreign Affairs, no. 5 (2011): 66-78.
Tammen, Ronald L., Jacek Kugler, Douglas Lemke, Allan C. Stam III, Mark Abdollahian, Carole
Alsharabati, Brian Efird, dan A.F.K. Organski. Power Transitions: Strategies for the 21st
Century. New York: Seven Bridges Press, 2000.
Xiao-bo, Wu. China Emerging: 1978-2008, Singapore: Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2009.
Zhu, Zhiqun. Review dari China’s Peaceful Rise in the 21st Century: Domestic and International
Conditions, oleh Sujian Guo. The China Journal, no. 58 (2009): 228-230.
Internet:
World Bank, “China, United States, United Kingdom, Germany, Japan, France Database,” World
Bank, http://databank.worldbank.org/data/home.aspx# (diakses pada 16 November 2013).
World Trade Organization, “International Trade and Market Access Data,” World Trade
Organization,

http://www.wto.org/english/res_e/statis_e/statis_bis_e.htm?

solution=WTO&path=/Dashboards/MAPS&file=Map.wcdf&bookmarkState={%22impl
19

%22:%22client%22,%22params%22:{%22langParam%22:%22en%22}} (diakses pada 16
November 2013).

20