BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Esa, bahkan anak dianggap - Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya.Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa yang akan datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

  Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi baru, dimana anak menjadi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan Negara.Oleh karena itu, generasi muda perlu dibina agar dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar sehingga pada gilirannya, mampu meneruskan pembangunan bangsa dan dapat hidup mandiri dan terampil di masa depannya. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan rusak pula kehidupan bangsa yang akan datang.

  Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak pada aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.Orangtua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

  Kenyataan yang menyedihkan, bahwa masih sangat banyak anak di Indonesia harus yang lebih dikenal dengan sebutan “krismon” semakin membuat jumlah anak yang harus hidup dengan kondisi tersebut bertambah dan memperburuk situasi dan kondisi kehidupan mereka.

  Lebih dari 4 juta anak usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah atau harus putus sekolah karena meteka tidak memiliki rumah untuk tinggal. Anak-anak di jalanan ini harus menjalani kehidupan yang keras dan mereka harus berjuang untuk tetap dapat bertahan hidup.Namun masih banyak masyarakat yang menganggap remeh dan memandang rendah mereka.Banyak anak harus terpaksa terjun dan bekerja sebagai buruh anak untuk membantu menambah pendapatan keluarga. Mereka sering harus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang dan menjalankan pekerjaan yang berbahaya serta memerlukan ketahanan fisik yang kuat. Juga banyak anak-anak yang mengalami penganiayaan seksual maupun fisik dari orang dewasa.Sejumlah anak bahkan dipaksa bekerja ke dunia pelacuran dan eksploitasi sex oleh orang dewasa.

  Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang ikut mensyahkan Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, namun hak anak yang paling dasarpun masih tidak dapat dinikmati oleh banyak anak di Indonesia.Hak anak untuk mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal yang layak dan aman, bahkan hak untuk mendapatkan makanan yang layak masih merupakan mimpi yang teramat jauh untuk diraih bagi ratusan ribu anak.(Manik, 1999:2).

  Selain itu, sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan dalam menangani masalah anak yang berkembang saat ini yaitu telah ditunjukkan dalam Konvensi ILO 138 tentang usia minimum anak yang bekerja pada bulan Mei 1999 dan kemudian dituang dalam UU Nomor 20 Tahun 2000, intinya UU ini menegaskan tanpa kecuali di wilayah hukum Indonesia, bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan buruk dan dilacurkan, pornografi, produksi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta pekerjaan eksploitatif lainnya tanpa terkecuali.

  Secara riil, situasi anak anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus selalu mendapat perlindungan yang baik dikarenakan anak-anak pada masa sekarang mudah sekali tergoda dengan bujuk rayu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (Huraera, 2006 dalam www.pikiran-rakyat.com).

  Secara khusus, sering dijumpai anak-anak, baik laki-laki atau perempuan, anak masih balita ataupun sudah bekerja untuk membantu orangtua atau untuk menghidupi diri sendiri.

  Anak-anak itu ada yang bekerja pada sektor formal sebagai buruh pabrik dan sektor informal sebagai pedagang asongan atau pedagang kaki lima, kuli panggul, pengamen, penyemir sepatu, pemulung, pembantu, calo kendaraan umum, tukang parkir, pekerja prostitusi dan peminta- minta. Terlihat memang kemiskinan ekonomi menyebabkan mereka harus mencari uang dan merelakan diri untuk kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain, bukan bekerja membanting tulang. Juga pengalaman mendapat perlakuan kasar dan kejam yang mereka alami di lapangan ketika bekerja (nanti) akan menunjukkan bahwa mereka mengalami juga dimensi kemiskinan yang lain.

  Banyak dari anak-anak tersebut bekerja memang karena diminta atau dipaksa oleh orangtua mereka sendiri untuk menambah penghasilan keluarga.Seringkali bukan kasih sayang atau penghargaan yang diterima anak-anak sepulang bekerja, melainkan pukulan dan tinju dari pihak orangtua apabila pulang ke rumah tanpa penghasilan.Mereka sebelumnya memang tidak

  (perlu) bekerja tetapi sering menjadi sasaran kekerasan dari orang dewasa.Kehidupan di keluarga demikian mendorong anak-anak untuk memutuskan hubungan dengan keluarga dan memilih hidup di jalanan.(Tjandraningsih, 1996:79-80).

  Kondisi anak Indonesia sekarang ini sebagaimana telah diteliti dari berbagai daerah, masih banyak yang butuh perhatian yang sangat diharapkan seperti proses pendidikan yang tidak dapat dijangkau dikarenakan alasan masalah ekonomi juga dimana akibatnya jumlah anak putus sekolah dalam beberapa tahun terakhir meningkat. Hal ini dapat dikatakan mengingat jika melihat bagaimana kondisi anak-anak yang sangat menyedihkan saat ini, yang membuat kita menjadi ragu apakah nantinya anak-anak bangsa ini mampu untuk mengemban tugas sebagai penerus bangsa.

  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahkan pernah membuat perkiraan lebih tinggi lagi, sekitar 9 juta siswa.Jumlah pekerja anak di Indonesia kini diperkirakan sudah mencapai 10 juta, bahkan mungkin lebih besar lagi. Selain itu, masalah yang dihadapi anak saat ini yaitu merebaknya korban eksploitasi seksual dimana terdapat 40.000-70.000 anak yang mengalaminya, begitu juga derita anak Indonesia yang ada di kamp-kamp pengungsian di daerah konflik atau di daerah bekas bencana dimana lebih dari 2000 anak yang tidak mempunyai orangtua dan akibat dari itu orang-orang yang melihat hal tersebut berpura-pura menjadi orang baik namun dari kebaikannya malah melecehkan mereka terutama anak dan wanita, cerita menjijikkan tentang anak perempuan yang diperjualbelikan dan dipaksa jadi pelacur, nasib sekitar 10,6 juta anak penyandang cacat, sekitar 4000 kasus anak yang diadili di pengadilan karena punya konflik dengan hukum dan sebagainya (Milah, 2004 dalam Kompas 24 Juli 2008).

  Masalah-masalah lain yang dialami mereka yaitu anak yang bekerja dalam sektor terburuk lebih dari 3 juta anak, anak-anak yang diperdagangkan sekitar 100.000 setiap tahunnya dimana kebanyakan untuk tujuan pekerja seks komersial (PSK) serta 5000 anak ditahan atau dipenjara dimana 84% ditempatkan di penjara dewasa dan juga anak yang butuh perlindungan khusus sebanyak 6.686.936 anak (Unicef Perlindungan Anak, 2004).

  Berdasarkan hasil Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menunjukkan bahwa hampir 70% anak mengalami kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dan rumah dan mayoritas pelaku pelecehan seksual merupakan orang yang dikenal korbannya. Sekitar 30% adalah keluarga si anak, khususnya saudara laki-laki.Sedangkan, 60% merupakan kenakalan seperti teman dari keluarga.sisanya, 10 persen pelakunya orang tak dikenal. Nur Agustina, tim Profesi Lembaga Perlindungan Anak mengatakan data ini cukup menjadi keprihatinan bersama. Maka, diperlukan perhatian dan peduli kepada anak.Beri pengertian melalui bahasa anak tentang pentingnya komunikasi dengan orangtua, jika mendapatkan perlakuan tidak wajar dari orang yang tidak dikenal maupun orang di sekitarnya. Dijelaskan, berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak, sejak Januari-April 2014 terdapat 175 kasus kekerasan seksual menimpa anak-anak. Dari total 175 kasus, sekitar 40% dengan tersangka di lingkungan sekolah, 30% dari keluarga sendiri, serta 30% sisanya campuran.Hal itu salah satunya dipicu pelakunya pernah menyaksikan adegan porno dalam video, internet maupun bacaan yang berbau pornografi (http://www.kemenppa.go.id/jdih/?page=berita&id=138, diakses pada tanggal 9 Februari 2015 pukul 09.03 WIB).

  Paradoks hak anak melanda anak-anak yang pada tatanan praktis terlibat sebagai pekerja pembantu rumah tangga. Anak-anak jalanan (street children) yang merupakan produk dinamika perkotaan marak di kota-kota besar Indonesia yang ironisnya tanpa perlindungan hukum, rawan dengan kekerasan, asumsi kriminal (crime image) dan destruktif bagi kemajuan kota. Sementara itu, eksploitasi seks (sex exploitation) dan pelacuran anak (child prostitution) yang rentan dalam industri pariwisata dan bisnis hiburan mulai menjalari anak-anak Indonesia mulai menggenjala.Demikian juga praktek jual beli, penculikan dan penyelundupan anak (sale,

  

trafficking, and abdurating). Kasus-kasus lain yang muncul lebih dahulu seperti kekerasan

  terhadap anak, penyiksaan dan perampasan hak (turtore and depri vation of liberation) baik secara nyata atau secara tersembunyi, di dalam keluarga atau di luar rumah. Praktek perlakuan salah terhadap anak (child abuse) yang wujud dalam kasus perkosaan anak, kekerasan terhadap anak, eksploitasi dan penekanan anak dalam media iklan, siaran televisi, dalam rumah tangga, bahkan perlakuan aparatus penegak hukum: hakim, jaksa, polisi yang dalam praktek penegakan cenderung memidana anak

  akses pada tanggal 6 Februari 2015 pukul 18.41 WIB).

  Menghadapi permasalahan anak yang sedemikian rupa, implementasi hak-hak anak harus dilakukan dengan transformasi hak anak secara struktural.Hak-hak Anak harus diaktualisasikan dalam kebijakan politik tertinggi Negara. Tatkala isu anak tidak diposisikan sebagai isu politik Negara atau isu Hak Asasi Manusia, maka masalah anak dianggap sebagai suatu soal yang terlepas begitu saja dalam derap pembangunan. Oleh karena itu, konkretisasi hak anak sebagai totalitas dari Hak Asasi Manusia diartikan formalisasi politik Negara yang diupayakan untuk melegalisir tatanan, sistem dan konstruksi struktural yang pro anak/hak anak.Upaya ini sekaligus sejalan dengan upaya dekonstruksi konsep, kebijakan, regulasi dan bangunan struktural yang eksploitatif-destruktif terhadap anak dan hak anak.

  Berbagai pihak berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin pemenuhan hak-hak anak tersebut, mulai dari institusi terkecil yaitu keluarga, masyarakat, pemerintah desa/kelurahan, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah. Untuk mempercepat pemenuhan hak-hak anak telah disusun kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Sebagai langkah awal pengembangan KLA, Kementrian Pemberdayaan Perempuan telah melakukan ujicoba pengembangan KLA di 5 Kabupaten/Kota pada tahun 2006 dan 10 Kabupaten/Kota pada tahun 2007. Landasan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak makin diperkuat dengan ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.

  Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, menjelaskan bahwa program "Kota Layak Anak" sebenarnya sudah digagas sejak tiga tahun lalu.

  Program ini bertujuan untuk menyediakan kota yang aman dan nyaman bagi anak-anak sesuai dengan 31 butir yang terangkum dalam Konvensi Hak-hak Anak PBB, misalnya dengan pembangunan taman bermain dan sekolah ramah anak. Meski program ini merupakan program kerja peninggalan menteri pemberdayaan sebelumnya, Meutia Hatta, dengan perubahan nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, maka Gumelar akan lebih memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan- kebijakan terkait hak-hak anak. Berbagai persoalan memang dihadapi oleh anak-anak (0-18 tahun) di Indonesia, antara lain mengenai gizi buruk. Gumelar mengatakan, gizi buruk mengakibatkan angka kematian bayi cukup tinggi.Belum lagi persoalan tenaga kerja anak, target Millenium Development Goals 2015, untuk itu kami perlu mengkomunikasikannya melalui organisasi masyarakat dan pemerintah-pemerintah daerah setempat," ungkap Gumelar.

   diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 12.26 WIB).

  Perlindungan anak merupakan isu pembangunan lintas program, sehingga perlu adanya kebijakan yang mengintegrasikan berbagai program pembangunan yang berhubungan dengan anak di Kabupaten/Kota. Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebijakan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya pembangunan dan pengintegrasian berbagai kebijakan perlindungan anak yang sudah ada di Kabupaten/Kota secara terencana dan menyeluruh untuk memenuhi hak anak.KLA merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan KLA.Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah KLA menjadi Kabupaten atau Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA.Komitmen ini diperkuat lagi dengan lahirnya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Puncaknya adalah pada Kabinet Indonesia bersatu jilid kedua, Presiden memberikan perhatian secara khusus pada masalah anak dengan merubah nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan Kabupaten atau Kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum kedalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.Dalam upaya terwujudnya Kota atau Kabupaten Layak Anak telah dilakukan langkah-langkah, diantaranya: ogspot.com/2014/02/layak-anak.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 12.21 WIB).

  Pemko Medan melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP&KB) Kota Medan ingin seluruh kecamatan dan kelurahan yang ada di ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki Forum Anak.Pembentukan forum ini dinilai sangat penting dalam rangka percepatan terwujudnya KLA.Selain itu melalui Forum Anak diharapkan para anak dapat diajak berpartisipasi dalam pembangunan.Keinginan dibentuknya Forum anak diseluruh kecamatan dan kelurahan ini disampaikan Pelaksana Tugas Wali Kota Medan diwakili Kepala BPP&KB Kota Medan, Pulungan Harahap, SH, M.Si.Pulungan menjelaskan, anak-anak di Indonesia mempunyai 31 hak yang tidak hanya harus dipenuhi oleh pemerintah saja tetapi juga masyarakat luas lainnya. Dari 31 hak anak tersebut, terdapat 4 hak anak yang menjadi prioritas utama dalam pemenuhannya yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan bekembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpatisipasi dalam pembangunan. Perlu ditanamkan sejak dini dalam keluarga bahwa anak-anak juga memiliki hak untuk berpartisipasi.Di Indonesia melibatkan anak berpartisipasi dalam pembangunan sangat minim dan bisa dikatakan hal yang mustahil walaupun kenyataannya di Kota Medan anak sudah beberapa kali dilibatkan dalam kegiatan, khususnya Musrembang (musyawarah rencana pembangunan).

  Menurut Pulungan, sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak, pemerintah terus mendorong program KLA mengingat pentingnya anak sebagai generasi bangsa yang harus disiapkan dari sekarang. Guna merealisasikan Medan sebagai KLA, kini terus diperluas kawasan infra struktur kota yang mempertimbangkan ruang bagi anak, terutama dalam penguatan go.id/berita-143-kecamatan-dan-kelurahan-harus-bentuk-forum-anak.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 12.46 WIB).

  KLA adalah sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak. Pentingnya mewujudkan KLA ialah jumlah anak sekitar sepertiga dari jumlah penduduk, anak adalah modal investasi dan sumber daya manusia di masa yang akan datang, sekaligus sebagai generasi penerus bangsa, anak harus berkualitas agar tidak menjadi beban pembangunan, koordinasi dan kemitraan antara pemangku kepentingan terkait, pemenuhan hak-hak anak harus diperkuat agar terintegrasi, holistik akan berkelanjutan. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP&KB) Kota Medan ialah instansi pemerintahan yang menyelenggarakan sendiri program KLA. Faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan KLA adalah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam sebuah proses pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat.

  Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan pelaksanaan program KLA dalam meningkatkan kesejahteraan anak serta melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program tersebut. Untuk itu, peneliti mengangkat permasalahan yang dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan”.

  1.2 Rumusan Masalah

  Masalah penelitian merupakan pokok dari suatu penelitian. Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan?”.

  1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.3.1 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program Kota Layak Anak dalam meningkatkan kesejahteraan anak oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

  1.3.2 Manfaat Penelitian 1.

  Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai pelaksaan program kota layak anak yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

  2. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian serta studi komparasi bagi para peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.

  3. Secara praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran dan juga menjadi referensi bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam program kota layak anak dan juga instansi pemerintahan maupun lembaga lainnya yang bergerak di bidang pemerhati anak.

  4. Bagi penulis sendiri adalah dapat mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir penulis melalui penulisan ilmiah mengenai pelaksanaan program kota layak anak oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama belajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

1.4 Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan secara garis besarnya telah dikelompokkan ke dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

  BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

  BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian. BAB V : ANALISA DATA Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Ekonomi - AnalisisHubunganKetimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara

0 0 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Batak Toba - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 11

Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

0 0 12

Tinjauan Sosial Dan Ekonomi Keluarga Penambang Emas Di Tambang Emas Rakyat di Desa Hutabargot Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal

0 0 28

1 Bab I Pendahuluan - Tinjauan Sosial Dan Ekonomi Keluarga Penambang Emas Di Tambang Emas Rakyat di Desa Hutabargot Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal

0 0 10

Tinjauan Sosial Dan Ekonomi Keluarga Penambang Emas Di Tambang Emas Rakyat di Desa Hutabargot Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal

0 1 13

2.1. Permainan Rubik’s Cube - Implementasi Penyelesaian Permainan Rubrik Cube dengan Algoritma Kociemba pada Platform Android

0 0 15

BAB II PENGELOLAAN KASUS A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH KEBUTUHAN DASAR OKSIGENASI 1. Pengertian Kebutuhan Oksigenasi - AsuhanKeperawatanpada An.A dengan Gangguan Kebutuhan Dasar Oksigenasi di RSUD.dr.Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program - Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

0 0 41