BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Batak Toba - Dalihan Na Tolu” Sebagai Katup Pengaman Bagi Potensi Konflik Dalam Masyarakat Batak Toba Yang Berbeda Agama (Studi : Sidabaribaparapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Batak Toba

  Masyarakat Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang menurut daerah administratif Negara Republik Indonesia setelah pemekaran saat ini terdiri dari KabupatenTapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir. Di sebelah barat Danau Toba terletak Gunung Pusuk Buhit, yang bagiorang Batak merupakan gunung suci sebab menurut mitos di kaki bukit inilah SiRaja Batak, manusia pertama Batak mendirikan hutanya (tempat pemukiman) atau sering juga didefenisikan dengan perkampungan, yaitu Sianjur mulamula yang menjadi awal semua huta orang batak. Luas daerah Batak Toba ada

  2

  sekitar 13.000 km .Daerah ini berada pada ketinggian antara 300-2000 meter di atas permukaan laut.Sebagian besar tanahnya tidak subur; gersang, terdiri dari pasir, tanah merah, tanah berbatu-batu, dan humusnya sangat tipis, serta beriklim kering(Nainggolan, 2012).

  Masyarakat Batak Toba terutama hidup dari pertanian. Berabad-abad lamanya mereka mengusahakan pertanian sawah dengan perairan terpadu. Maka tidak heran kalau orang Batak Toba berdiam di lembah-lembah dan sekitar Danau Toba sebab di sana ada cukup air untuk persawahan. Kondisi geografis lembah membuat mereka hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi. Komunitas ini hidup dalam ikatan keluarga yang kuat.Karena keterbatasan tersebut orang Batak Toba hanya melakukan migrasi ke daerah sub-suku Batak lainnya, migrasi bagi orang batak adalah mekanisme utama untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi kepadatan penduduk (Nainggolan, 2012). Yang kemudian masyarakat Batak Toba meneruskan hidupnya dengan bertani, berladang, dan beternak. Dimana hasil mata pencaharian mereka tukar dan jual di pasar pada hari tertentu dalam waktu satu minggu yang disebut dengan nama onan (pekan). Yang mana onan tersebut menjadi media yang sangat penting dalam masyarakat Batak Toba selain melakukan transaksi ekonomi namun disisi lain memiliki nilai sosiologis yang dimanfaatkan masyarakat Batak Toba untuk berkomunikasi satu sama lainnya serta memberikan informasi penting mengenai suatu acara maupun kejadian-kejadian yang terjadi dimasyarakat.

  Mengenai Masyarakat Batak Toba, antropologi sering menggunakan istilah yang sama mengenai Bius (desa) Yakni village (inggris), dorp (belanda), dorf (jerman). Tidak peduli dan tidak membedakan apakah yang dibicarakan itu adalah Bius, atau Horja, Atau Huta.Dalam tulisan ini kata desa terfokus mengacu pada Bius(Situmorang, 2004).

  Adat bius meliputi pengaturan : 1. Hukum pertanahan (Hak Ulayat) 2. Hukum relasi bertetangga (setelah jumlah bius bertambah) 3.

  Hukum prnguasaan tanah, yang dalam Bius disebut hukum Golat 4. Hukum tali air (irigasi) dan pengairan (sungai, danau) 5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persawahan, dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban 6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah 7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta (benteng pemukiman bujur sangkar), dan lain-lain (Situmorang, 2004).

  Semua perangkat hukum adat tak tertulis tersebut mencakup dalam lembaga Bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Siradja Batak.Bius menurut Sianjur mula-mula, menguasai sebuah territorial (wilayah) dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya. Integritasnya juga dihormati pihak Bius (desa) lain sebagai wilayah yang memiliki hukum dan ketentuan yang sah(Situmorang, 2004).

  Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut

  Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat

  perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).

2.2. Dalihan Na Tolu

  Dalihan Na Tolu yang merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad 14

  Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai Dalihan Na Tolu di

  Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu, Daliken Sitelu, Owuloa Hada (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).

  Dalam sejarah yang ada mengenai Dalihan Na tolu, bahwa awal mula nya terdapat sebuah kesepakatan para leluhur Batak sebelum mereka menyebar ke berbagai wilayah secara berkelompok, agar selalu memegang teguh Dalihan Na Tolu dimana mereka akan tinggal. Kesepakatan atas sistem Dalihan Na Tolu yang berarti kesepakatan untuk tidak mendaulat jadi seseorang menjadi raja. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai Dalihan Na Tolu.

  Kesepakatan tersebut mengartikan bahwa siapapun yang mengusulkan, alasannya sudah pasti adalah “yang mengatur kita selama ini pun adalah Habatahon/Budaya kita”. Jika kita semua tunduk pada hukum Habatahon itu, tidak akan ada konflik diantara kita. Maka semua lelaki dewasa harus sebagai Anak Ni Raja dan semua perempuan dewasa harus sebagai Boru Ni Raja (Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., 2012).

  Dalihan Na Tolu merupakan nafas atau ibaratkan ideologi yang harus

  dilaksanakan bagi orang Batak manapun, terkhususnya masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya.Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peran/status yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggal/terpisahkan.

  Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki

  penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku (tataring) ini berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah (Nainggolan, 2012).Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang sangat mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tersebut tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.

  Menurut ahli lainnya dalam hal yang sama menyatakan bahwa bahwa Dalihan

  

Na Tolu , arti kata ini secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan

  lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunya tiga tiang penopang, yaitu Dongan Sabutuha, Boru, dan Hula-hula. Arti tiga kata ini secara berturut ialah: 1. Pihak yang semarga, 2. Pihak yang menerima isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife receiveng party), dan 3. Pihak yang memberi isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife giving party).Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari (Siahaan, 1982).

  Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya (Margaretha, 2008).

  Untuk Orang Batak Toba, pihak pemberi isteri (hula-hula) adalah sumber kahidupan bagi pihak penerima isteri (boru). Secara konkret hal itu tampak karena pihak pemberi isteri memberikan putri mereka kepada penerima isteri, dan putri ini akan melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus marga. Terhadap pemberian isteri ini, penerima isteri membalas dengan mahar yang dalam bahasa Batak Toba disebut tuhor (tukar, yang bisa berarti menukarkan atau membeli).Secara simbolis pemberi isteri mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima isteri. Pemberi isteri mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi (prinsip hidup) yang lebih tinggi. Kuasa sahala pemberi isteri ini mempengaruhi nasib penerima isteri baik dalam hal yang baik maupun hal yang buruk, seperti: keturunan, panen gagal, kecelakaan, penyakit dan bahkan kematian. Penerima isteri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada berkat pemberi isteri( Nainggolan, 2012).

  Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima isteri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pihak pemberi isteri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan,

  

somba marhula-hula .Pada ritus perkawinan, penerima isteri menyembah pemberi

  isteri dengan membawa persembahan babi/kerbau (tudu-tudu sipanganon, yang merupakan bagian organ terpenting dari kurban babi/kerbau tersebut).Dalam hal ini tondi babi/kerbau tersebut membawa sembah /hormat penerima isteri kepada pemberi isteri yang kemudian akan sampai kepada Debata (Tuhan/Allah)( Nainggolan, 2012).

  Kemudian sebaliknya datang berkat dari Debata (Tuhan/Allah) melalui pemberi isteri (hula-hula) kepada boru pihak penerima isteri.Pihak hula-hula memberikan ikan (dekke) dalam istilah mangupa boru (memberi upah tondi kepada boru nya), supaya tondi /jiwa putri beserta penerima isteri kuat.Untuk itu orang Batak Toba mengatakan elek marboru (penerima isteri harus disayangi). Sementara disisi lain pihak dongan sabutuha (teman semarga) mempunyai tanggung jawab bersama untuk menanggung mahar apabila seorang putri dari pihak pemberi isteri untuk menikah. Dengan demikian, jelas untuk kita mengapa perkawinan masyarakat Batak Toba itu asimetri. Secara religius kedudukan pemberi isteri (hula-hula) lebih tinggi dari pada penerima isteri ( Nainggolan, 2012).

  Perlu dikatakan bahwa hirarki (superior-inferior) antara pihak pemberi isteri dengan pihak penerima isteri adalah relatif dan bukan absolut.Kepatuhan penerima isteri kepada pemberi isteri adalah kepatuhan religius, yang tentu saja mempunyai pengaruh untuk kehidupan mereka sehari-hari. Pihak penerima isteri memberi hormat (sembah) kepada pemberi isteri.Sebaliknya pihak pemberi isteri menyayangi (elek) kepada pihak penerima isteri.

  Tetapi status dan prestasi pribadi tidak berfungsi dalam ritus.Kedudukan sebagai pegawai atau kekayaannya tidak mengubah posisinya dari pemberi isteri menjadi penerima isteri atau sebaliknya.Setiap orang juga pernah sebagai pemberi atau penerima isteri dalam salah satu ritus.Hal ini berhubungan dengan sistem asimetri tadi, bahwa Dalihan Na Tolu berfungsi sebagai suatu penyeimbang sosial dalam masyarakat Batak Toba. Menurut Verouwen, orang Batak Toba tidak mengenal kelas dalam masyarakat (Nainggolan, 2012).

  

Hula-hula Boru Dongan Sabutuha Gambar 1. Pola Sistem Dalihan Na Tolu ( Nainggolan, 2012) Eksogami pada orang Batak-Toba adalah asimetri (assumentrie circulatie

  

connubium ). Perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan dengan pariban ,

  perkawinan matrilateral cross-cousin, walaupun hal ini semakin berkurang dengan datangnya kekristenan ke tanah Batak. Perkawinan sirkulasi asimetri ini mengandaikan sekurang-kurangnya tiga kelompok marga, yaitu kelompok Ego, kelompok pemberi isteri (hula-hula), dan kelompok penerima isteri (boru).Ketiga kelompok ini selalu dalam aliansi.Maka kelompok ego ialah sendiri bersama teman semarganya, yang disebut dengan dongan sabutuha.

  Yang masuk dalam kelompok hula-hula adalah mertua dan saudara mertua ego, saudara isteri dan semua anggota keluarga dari garis keturunan saudara isteri (Nainggolan, 2012) atau dalam artian seluruh saudara laki-laki (iboto/ito) perempuan baik yang satu ayah maupun dari keluarga ayah perempuan maupun satu marga dengan siperempuan. Yang termasuk dalam kelompok boru adalah semua kelompok marga yang mengambil wanita dari garis keturunan marga ego (Nainggolan, 2012), dalam artian seluruh kelompok marga yang menikahi saudara perempuan (iboto) dari pihak laki-laki. Prinsip yang dipegang teguh dalam adat Batak Toba ialah klen yang menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena kawin dengan salah seorang putera klen itu, tetap berhutang budi kepada klen yang telah memberi sang isteri tersebut.

  Dari penjelasan diatas Dalihan Na Tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena Dalihan Na Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto. Apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa.

  Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada (Margaretha, 2008).

  Dalihan Na Tolu

  Dimanapun ada orang batak bertemu di daerah perantauan, katakanlah di Jakarta atau di Amerika, mereka ini terus merasa seolah-olah berkerabat meskipun belum pernah berkenalan sebelumnya, dan menurut ukuran barat tidak ada hubungan pamili sama sekali diantara mereka. Apalagi kalau kedua-duanya mempunyai marga yang sama, maka hubungan itu rasanya amat dekat, tinggal meminta bantuan ahli adat untuk dapat menelusuri jauh dekatnya hubungan silsilah diantara dua insan tadi, demikian Prof. Dr. Clark. E. Cunningham, seorang ahli antropologi dari Amerika pada tahun 1950-an mengadakan penelitian ilmiah di Sumatera Utara mengenai orang Batak (Siahaan, 1982).

  Sesuai dengan pengalaman antropolog tersebut ketika sedang mengadakan penelitiandan jika di hubungkan dengan pengalaman dan kebiasaan penulis, bahwa jika kedua orang yang disebut tadi kebetulan mempunyai marga atau boru Sinaga, maka pertanyaan yang diajukan adalah “Sinaga yang mana kah anda?”. Yang disapa harus taulah menjawabnya. Yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui asal-usul serta keturunan leluhur dari mana yang terus berkembang mereka, karena mereka adalah bersaudara hingga akhirnya mengerucut pada istilah sapaan apabila mereka sama atau berbeda nomor urut generasi dari marga Sinaga.

  Istilah-istilah sapaan yang digunakan oleh orang Batak Toba kepada sesamanya, apakah semarga atau tidak semarga, adalah sesuai dengan kaidah pada sistem Dalihan

  Na Tolu .

2.3. Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat

  Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik dibagi 2 yaitu konflik realistik dan non-realistik. Oleh karenanya masyarakat selalu berada dalam ruang konflik yang terjadi secara terus-menerus, baik dalam kelompok maupun kelas dalam setiap masyarakat. Pandangan ini berdasarkan pada asumsi, bahwa masyarakat pada dasarnya telah terikat di bawah kekuatan-kekuatan dominan, baik kelas pemodal yang berkuasa, maupun kekuasaan negara. Dalam konteks ini nilai-nilai bersama berdasarkan konsensus diyakini bukan merupakan suatu konsensus yang nyata, namun nilai tersebut sengaja diciptakan oleh kelompok dominan. Oleh karenanya ketika semakin kuat kelompok pinggiran mempertanyakan keabsahan distribusi sumberdaya yang ada, semakin besar peluang mereka akan menginisiasi konflik(Karim, 2014).

  Menurut Lewis A. Coser katup penyelamat (Savety-Valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.“Katup-penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup-penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur(Poloma, 2004).

  Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser, lewat katu penyelamat (savety-

  valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya.Tetapi

  penggantian yang demikianmencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Poloma, 2004).

2.4 Status Sosial

  Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya, 2007), menyatakan bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Hal serupa terdapat kesamaan makna di dalam Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang memiliki fungsi unsur masing-masing sesuai dengan statusnya sebagai pihak hula-hula, dongan tubu maupun sebagai boru. Secara kajian sosiologis dapat dilihat bahwa masyarakat pada umumnya mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut:

  1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan yang juga merupakan bangsawan. Pada umumnya, jenis status sosial seperti ini dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada masyarakat feodal.

  2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu.

  3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

  Status akan selalu berkaitan dengan peranan (role), di mana peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Di mana jika seseorang menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang dimilikinya dalam masyarakat.

2.5.Nilai dan Norma

2.5.1 Nilai

  Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.

  Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadah atau rajin amal dan sebagainya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang pantas dihormati dan diteladani.

  Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi perubahan Folkways dan mores. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tanyangan televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai tentang kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron- sinetron mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini telah ikut berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah simbol ketertinggalan, dan sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan kata lain bahwa kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu (Narwoko, 2004).

2.5.2. Norma Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan.

  Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan- peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.

  Alvin L. Bertrand (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri, norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku.

  Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.

  Dalam penjelasan buku (Basrowi, 2005) dijelaskan bahwa ntuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu: 1.

  Cara(usage) Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan- hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya mendapat sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.

2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways) Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama.

  Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Kebiasaan merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan salam setiap bertemu orang lain dan sebagainya.

  3. Tata kelakuan (mores) Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya dari tempat tinggalnya.

  4. Adat istiadat (custom) Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja, dan sebagainya.

  Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat.

  Didalam penelitian ini, nilai dan norma yang ingin dilihat penulis adalah nilai dan norma yang masih terjaga dan dilaksanakan oleh mayarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon melalui nilai dan norma yang terkandung dalam sistem budaya kekerabatan Dalihan Na Tolubaik melalui interaksi sosial sehari-hari maupun pada ceremonial adat isti-adat.

2.6. Defenisi Konsep

  Defenisi konsep dalam penelitian ilmiah sangatlah dibutuhkan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesalah pahaman konsep yang dipakai, memberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah : 1.

   Dalihan Na Tolu: Merupakan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba.

  Adapun Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba sering dinamai dengan istilah "partuturan", maksudnya ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT (Dalihan Na Tolu). Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan- hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok antara pihak hula-hula, dongan sabutuha, dan boru.

  2. Status : merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya.

  3. Katup Pengaman : Merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.

  4. Potensi konflik: Merupakan suatu kemungkinan akan tibulnya pertentangan yang terjadi atas dasar perbedaan antara pihak yang satu dengan yang lainnya.

  5. Konflik : Secara sosiologis konflik dapat diartikan sebagai suatu proses sosial antara

  dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

  6. Masyarakat Batak Toba : Merupakan masyarakat yang terdiri dari suku Batak Toba

  yang mendiami wilayah Sumatera Utara sebagai daerah asalnya. Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang sudah memiliki aturan/norma secara kompleks yang diteruskan secara turun-temurun dari leluhur hingga ke generasi saat ini dan masa yang akan datang.

  7. Akulturasi : Merupakan proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan

  kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing (baru), sehingga kebudayaan asing (baru) diserap/diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri, tanpa meninggalkan sifat aslinya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba Parapat yang telah menganut sistem kepercayaan baru lewat agama islam maupun kristen (katolik dan protestan) tidak meninggalkan kebudayaan Batak Toba yang mereka miliki. Namun, masyarakat Batak Toba memadukan dua kebudayaan yang berbeda tersebut, dan kemudian menjadikan pembaharuan pada budaya Batak Toba yang tradisional ke arah yang lebih modern, serta menjadikannya sebagai suatu batasan masyarakat dalam bertindak dan berperilaku dalam menjaga keharmonisan berinteraksi satu sama lainnya.

  8. Agama : Agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual.

Dokumen yang terkait

Peranan Burhanuddin Usman Sebagai Pemusik Saksofon dalam kebudayaan Musik Melayu

0 1 14

10 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “TOKYO TOWER” DAN KONSEP MORAL JEPANG 2.1 Pengertian Novel

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pesan Moral On, Gimu, dan Giri dalam Novel “Tokyo Tower” Karya Lily Franky

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Penggunaan Obat Pada Pasien Anak Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan Periode Januari 2013 - Desember 2013

0 1 11

Studi Penggunaan Obat Pada Pasien Anak Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan Periode Januari 2013 - Desember 2013

0 2 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Pengaruh Efektivitas Koagulan PAC (Poly Auminium Chloride) dan Tawas terhadap Logam Mangan (Mn) pada Air Baku PDAM Tirtanadi Hamparan Perak

0 0 11

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Peristiwa Banjir Medan - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 18

Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 2 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Ekonomi - AnalisisHubunganKetimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara

0 0 26