BAB II STUDI PUSTAKA - Redesain Prestress (Post-Tension) Beton Pracetak I Girder Antara Pier 4 dan Pier 5, Ramp 3 Junction Kualanamu “Studi Kasus pada Jembatan Fly-Over Jalan Toll Medan-Kualanamu”

BAB II STUDI PUSTAKA II.1 Umum Balok merupakan komponen struktur jembatan yang penting. Balok pada

  jembatan ini berfungsi untuk memikul sekaligus menyalurkan beban dari lantai kendaraan ke kolom-kolom jembatan atau disebut dengan pier.

  Balok jembatan yang sering kita jumpai dapat berupa baja ataupun beton bertulang. Balok dengan bahan baja umumnya dijumpai pada jembatan komposit yaitu balok baja yang digabungkan dengan slab beton di atasnya, sedangkan balok beton bertulang biasa banyak dijumpai pada jembatan dengan bentang pendek.

  Balok beton bertulang biasa memiliki keterbatasan bila digunakan untuk bentang yang panjang. Balok dengan bentang yang panjang akan mengakibatka n beban yang lebih besar pula. Hal ini akan berpengaruh pada penampang balok beton yang lebih besar lagi, sehingga tidak efisien dalam memikul beban serta dalam biaya konstruksi.

  Sebagaimana kita ketahui sifat alami beton adalah lemah terhadap Tarik, namun kuat dalam keadaan tekan. Menurut Edward G. Nawy (2001), kuat tarik beton bervariasi antara 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Karena rendahnya kuat tarik pada beton, maka retak akibat lentur sering terjadi meskipun pembebanan masih rendah.

  8

Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang [Budiadi, 2008]

  Untuk meminimalisir keretakan yang terjadi akibat tarik tersebut, diberikan gaya eksentris dalam arah longitudinal elemen struktur tersebut. Gaya ini bekerja dengan mengurangi tegangan tarik yang terjadi pada daerah tumpuan dan daerah kritis pada saat beban bekerja. Akibat gaya ini hampir semua elemen beton memik ul tekan pada saat semua beban rencana bekerja di struktur tersebut.

  Gaya longitudinal di atas disebut gaya pratekan, yaitu gaya tekan yang mengakibatkan tegangan awal pada penampang di sepanjang bentang sebelum beban rencana bekerja.

  Banyak buku yang menyebutkan nama yang berbeda sebagai penggagas pratekan ini, namun menurut Andri Budiadi (2008) system penegangan ini mulai digunakan pada tahun 1886 saat PH. Jackson dari Amerika Serikat membuat konstruksi pelat atap.

Gambar 2.2 Struktur Beton Pratekan Pertama oleh Jackson, 1886 [Budiadi,2008]

  9 Atas gagasan inilah konsep gelagar beton bertulang konvensio na l berkembang pesat menjadi beton prategang. Dengan konsep ini penggunaan beton pada konstruksi jembatan tidak lagi hanya sebatas beton dengan gelagar pendek namun mampu menghasilkan jembatan beton dengan gelagar menengah hingga panjang.

  Sehingga dapat kita simpulkan beton prategang adalah beton yang diberi tegangan awal sebelum beban bekerja untuk mengimbangi beban luar yang akan dipikulkan kepadanya, sehingga seluruh komponen beton dapat bekerja secara optimal. Yang dimaksudkan optimal yaitu keseluruhan beton menerima gaya tekan sehingga sifat alami beton bekerja optimal yaitu kuat terhadap tekan.

  Menurut Manual Bina Marga, Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk Jembatan (2011), beberapa keuntungan digunakannya sistem beton pratekan adalah:

  1. Terhindar dari retak terbuka di daerah tarik, sehingga dengan demikian beton pratekan lebih tahan terhadap penetrasi klorida

  2. Lebih kedap air, sehingga air pada plat jembatan tidak mudah meresap.

  3. Dapat diperoleh defleksi struktur yang lebih kecil sehingga terbetuknya lawan lendut (chamber) dari konfigurasi layout kabel prategang sepanjang elemen.

  4. Penampang struktur lebih kecil/langsing karena seluruh luas penampang dapat digunakan secara efektif.

  5. Memungkinkan bentang yang lebih panjang dibandingkan beton bertulang.

  10

  6. Karena kabel prategang menggunakan mutu baja tinggi, sehingga kapasitas penampangnya jauh lebih besar daripada tulangan biasa dengan luas tulangan yang sama

II.2 Proses Pencetakan Beton

  Salah satu butir pekerjaan pada proyek yaitu pencetakan beton. Beradasarkan tempat pencetakannya, balok girder dibedakan atas dua jenis: Cast in Place 1. Pada metode ini beton dicetak langsung di lapangan. Metode ini membutuhkan waktu pelaksanaan konstruksi yang lebih lama, sebab beton yang dicetak harus ditunggu sampai umur rencana kemudian dapat mengerjakan kostruksi diatasnya. Namun metode ini sangat efisien untuk proyek dengan akses transportasi yang sulit.

Gambar 2.3 Pencetakan Beton di lapangan

  11 Precast 2. Precast merupakan metode pencetakan beton yang dilakukan di pabrik. Pada metode ini, beton telah dikerjakan terlebih dahulu di pabrik meskipun pekerjaan di lapangan belum sampai pada tahap teresebut. Beton yang telah dicetak di pabrik akan dikirim ke lokasi proyek dengan menggunakan flat bed jika umur rencana sudah memenuhi.

  Metode ini sangat baik diterapkan di lapangan sehingga dapat mengefisienkan waktu pelaksanaan konstruksi. Metode ini juga cocok untuk proyek di lapangan. Kekurangan dari metode ini tidak bisa dipakai jika akses menuju proyek tidak memadai. Hal ini akan menghambat pengiriman beton dari pabrik menuju proyek.

Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik [Wika Beton]

  Pada proyek pembangunan jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu ini menggunakan kedua metode tersebut. Untuk bagian footing, kolom, diafragma, dan

  12 pier head menggunakan metoda cast in place. Sedangkan untuk bagian bore pile dan balok girder menggunakan metode precast.

  II.3 Proses Penarikan Kabel (Stressing)

  Ada dua metode yang digunakan dalam pemberian tegangan kabel pada beton, yaitu Pre-Tension (pratarik) dan Post-Tension (pascatarik).

  II.3.1 Pratarik

  Metode ini biasanya dilakukan di pabrik. Pada metode ini kabel ditarik terlebih dahulu, kemudian beton dicor pada cetakan bersamaan dengan kabel tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai kekuatan rencana, maka kabel di potong. Pada saat baja mengalami kontraksi, maka beton akan tertekan. Metode ini tidak menggunakan duct, yaitu saluran kabel di dalam beton. Metode ini hanya bisa dilakukan untuk tendon yang lurus saja, dan tidak memungkinkan untuk tendon berbentuk kurva karena pengerjaan yang sulit.

  a. Kabel di tarik dan diangkur

  b. Beton dicor bersamaan dengan kabel dan dibiarkan mengeras

  13

c. Kabel dipotong dan beton akan mengalami gaya tekan

Gambar 2.5 Metode Penarikan Kabel Pratarik

II.3.2 Pascatarik Proses penarikan kabel metode ini biasanya dilakukan di lapangan.

  Penarikan dilakukan setelah beton mengeras. Dengan metode ini memungkinka n membentuk kabel menjadi kurva karena sebelum beton dicor, terlebih dahulu disediakan duct (saluran kabel). Dengan adanya duct ini kita dapat membentuk alur kabel nantinya setelah beton mengeras.

  a. Kabel Dimasukkan ke Dalam Duct Setelah Beton Mengeras

  b. Kabel Ditarik

  d. Kabel Diangkur dan Di-grouting

Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik

  14

  II.4 Jenis Balok Girder

  Berdasarkan bentuk tampang, girder beton jembatan secara umum dibedakan atas 3 jenis yaitu PCI girder, PCU girder, dan box girder.

  II.4.1 PCI Girder

  PCI girder (Precast-Prestress Concrete I Girder) yaitu balok girder yang memiliki tampang bentuk huruf I. PCI girder ini terdiri atas beberapa buah balok dalam satu bentang jembatan. Contoh struktur yang menggunakan PCI girder yaitu pada Proyek Pembangunan Jalan Bebas-Hambatan Medan Kualanamu ini.

Gambar 2.7 Bentuk tampang balok girder PCI Girder

  II.4.2 PCU Girder

  PCU (Precast-Prestress Concrete U Girder) adalah balok girder yang memiliki bentuk tampang huruf U. Sama halnya seperti I girder, dalam satu bentang jembatan terdiri atas beberapa balok girder (balok segmental). Salah satu contoh penggunaan PCU girder ini adalah pada jembatan fly-over Amplas Medan. Jenis yang terakhir adalah box girder.

  15

Gambar 2.8 Bentuk tampang balok girder PCU Girder [Wika Beton]

  II.4.3 Box Girder Box girder adalah jenis girder yang memiliki bentuk tampang box persegi.

  Contoh penggunaan box girder adalah pada jembatan fly-over Simpang Pos Medan.

  Bentuk tampang tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girder Box Girder [https://dukenmarga. wordpress.com/category/sipil/]

  II.5 Peraturan Pembebanan

  Sebelum melakukan perhitungan analisa struktur, hal yang terlebih dahulu dilakukan yaitu menganalisa beban-beban yang akan bekerja. Peraturan pembebanan yang tersedia sangatlah banyak, sehingga terkadang menyulitka n

  16

II.5.1 Beban mati

  3

  10 Beton bertulang 23,5-25,5 2400-2600

  9 Beton prategang 25,0-26,0 2560-2640

  8 Beton 22,0-25,0 2240-2560

  7 Beton ringan 12,25-19,6 1250-2000

  6 Aspal beton 22,0 2240

  5 Kerikil dipadatkan 18,8-22,7 1920-2320

  4 Timbunan tanah dipadatkan 17,2 1760

  3 Besi tuang 71,0 7200

  2 Lapisan permukaan beraspal 22,0 2240

  1 Campuran aluminium 26,7 2720

  )

  17

  perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturan- peraturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI 2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan dalam menganalisa beban-beban rencana.

  ) Kerapatan Massa

  3

  (kN/m

  ) No. Bahan Berat/ Satuan Isi

  3

Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati (kN/m

  Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.

  3. Beban kejut

  2. Beban hidup

  1. Beban mati

  Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut:

  (kg/m

  18

  20 Kayu (keras) 11,0 1120

  Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T” digunakan untuk bentang pendek.

  Beban hidup yang harus ditinjau dalam perencanaan beban jembatan terdiri atas dua yaitu beban truk “T” dan beban lajur “D”.

  Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing- masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor.

  23 Besi tempa 75,5 7680 (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)

  22 Air garam 10,0 1025

  21 Air murni 9,8 1000

  19 Kayu (ringan) 7,8 800

  11 Timbal 111 11400

  18 Baja 77,0 7850

  17 Lumpur lunak 17,2 1760

  16 Pasir basah 18,0-18,8 1840-1920

  15 Pasir kering 15,7-17,2 1600-1760

  14 Neoprin 11,3 1150

  13 Batu pasangan 23,5 2400

  12 Lempung lepas 12,5 1280

II.5.2 Beban hidup

  19 II.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana

  Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu lintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana

  Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)

  Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (n

  1)

  Satu lajur 4,0 - 5,0

  1 Dua arah, tanpa median 5,5 – 8,25 11,3 – 15,0 2 (3)

  4 Banyak arah 8,25 – 11,25 11,3 – 15,0 15,1 – 18,75 18,8 – 22,5

  3

  4

  5

  6 CATATAN (1) Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi yang berwenang.

  CATATAN (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median untuk banyak arah. CATATAN (3) Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur adalah 6,0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemud i seolah-olah memungkinkan untuk menyiap. (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)

II.5.2.2 Beban truk “T”

  Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.10 Pembebanan truk “T” (500 kN) [RSNI T-02-2005]

  Faktor penyebaran beban truk “T” pada arah melintang gelagar jembatan disajikan dalam table berikut:

Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”

  Jenis bangunan Jembatan jalur tunggal Jembatan jalur majemuk atas

  Pelat lantai beton di atas:

  • balok baja I S/4,2 S/3,4 atau balok (bila S>3,0 m lihat catatan 1) (bila S>4,3 m lihat catatan 1) beton pratekan
  • balok S/4,0 S/3,6 beton bertulang T (bila S>1,8 m lihat catatan 1) (bila S>3,0 m lihat catatan 1)
  • balok kayu S/4,8 S/4,2

  (bila S>3,7 m lihat catatan 1) (bila S>4,9 m lihat catatan 1) Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2 Lantai baja gelombang tebal S/3,3 S/2,7 50 mm atau lebih Kisi-kisi baja

  20

  • kurang dari tebal 100 mm
  • tebal 100 mm atau lebih

  21

  S/2,6 S/3,6

  (bila S>3,6 m lihat catatan 1) S/2,4 S/3,0

  (bila S>3,2 m lihat catatan 1) CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai balok sederhana

  CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebabkan oleh S/factor ≥ 0,5 CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang

  (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005) Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut:

  a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian), S = bentang bersih b. Untuk [elat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan tumpuan. Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil pengaruh antara beban kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Untuk pembebanan truk ditetapkan sebesar 30%. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas permukaan tanah.

II.5.2.3 Beban lajur “D”

  Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring- iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada besarnya lebar jalur kendaraan rencana.

  Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.

a. Beban terbagi rata

  Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:

  L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah Dengan: q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan (kPa) L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)

Gambar 2.11 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani

  [RSNI T-02-2005]

b. Beban garis

  Beban ini dilambangkan p kN/m dengan arah yang tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.

  Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam gambar berikut

  22

Gambar 2.12 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D”

  [RSNI T-02-2005] Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.13 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005]

  Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut:

1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.

  23

  2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (table 2.2) dengan

  1

  intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar n x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n

  1 x 2,75 p kN, kedua-duanya

  1 bekerja berupa strip pada jalur selebar n x 2,75 m.

  3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%.

Gambar 2.14 Penyebaran pembebanan arah melintang

  24

  25 II.6 Kombinasi Pembebanan

  TB

  P PL

  Tetap 1,0 1,25 N/A

  6.3 Beban Lajur “D”

  T TD

  Trans 1,0 1,8 N/A

  6.4 Beban Truk “T”

  T TT

  Trans 1,0 1,8 N/A

  6.7 Gaya Rem T

  Trans 1,0 1,8 N/A

  5.7 Beban Pelaksanaan

  6.8 Gaya Sentrifugal

  T TR

  Trans 1,0 1,8 N/A

  6.9 Beban Trotoar T

  TP

  Trans 1,0 1,8 N/A

  6.10 Beban-Beban Tumbukan

  T TC

  Trans *(3) *(3) N/A

  Tetap

  Tetap 1,0 *(3) *(3)

  Kombinasi beban rencan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok- kelompok yaitu: a. Kombinasi dalam batas daya layan

  Ultimit K U;;XX; Normal Terkurangi

  b. Kombinasi dalam batas ultimit

  c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja Faktor beban yang digunakan untuk menghitung aksi rencana disajikan dalam table berikut

  Pasal No

  Aksi Lamanya waktu (3)

  Faktor Beban pada Keadaan Batass

  Nama Simbol

  (1) Daya

  Layan K

  S;xx;

  5.2 Berat Sendiri P MS Tetap 1,0 *(3) *(3)

  TA

  5.3 Beban Mati Tambahan

  P MA

  Tetap 1,0/1,3

  (3) 2,0/1,4

  (3) 0,7/0,8

  (3)

  5.4 Penyusutan dan Rangkak

  P SR Tetap 1,0 1,0 N/A

  5.5 Prategang P PR Tetap 1,0 1,0 N/A

  5.6 Tekanan Tanah P

  7.2 Penurunan P ES Tetap 1,0 N/A N/A

  26

  0,7 (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)

Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri

  Jangka Waktu

  Faktor Beban

  K S;;MS; K

  Biasa Terkurangi Tetap

  Baja, aluminium 1,0 Beton pracetak 1,0 Beton dicor di tempat 1,0 Kayu 1,0

  1,1 1,2 1,3 1,4

  0,9 0,85 0,75

Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan

  7.3 Temperatur T

  Jangka Waktu

  Faktor Beban

  K

  K

  Biasa Terkurangi Tetap

  Keadaan umum 1,0 (1) Keadaan khusus 1,0

  2,0 1,4

  0,7 0,8

  CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)

  (Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)

  = Berat sendiri rencana CATATAN (2) Trans = transien CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai CATATAN (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol

  MS

  Trans *(3) *(3) *(3) CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk P MS = berat sendiri nominal, P*

  ET

  Trans 1,0 1,2 0,8

  7.4 Aliran/Benda Hanyutan

  T EF

  Trans 1,0 *(3) N/A

  7.5 Hidro/Daya Apung

  T EU

  Trans 1,0 1,0 1,0

  7.6 Angin T

  EW

  Trans 1,0 1,2 N/A

  7.7 Gempa T EQ Trans N/A 1,0 N/A

  8.1 Gesekan T

  BF

  Trans 1,0 1,3 0,8

  8.2 Getaran T

  VI Trans 1,0 N/A N/A

  8.3 Pelaksanaan T

  CL

U;;MS;

U;;MA;

S;;MA;

  II.7 Kabel prategang

  II.7.1 Daerah aman kabel

  Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan yang melebihi tegangan izinnya. Untuk mendapatkan daerah aman kabel lakukan langkah-langkah perhitungan berikut:

  • Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb) Wa = dan Wb = Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas yb = jarak pusat berat ke serat bawah
  • Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ( ka dan kb) Ka =

  − dan Kb = Dimana : Ac = Luas penampang

  • Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)

  Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan) K’a = max dari nilai k a = kb + 1 atau k′a = ka + 1

  27 Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan =

  K’b = min dari nilai k b = kb + 1 atau k′b = ka + 1 Dimana

  σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel =

  • Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut E oa = k’a + M max /P E ob = k’b + M DL /P i

  Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar berikut

Gambar 2.15 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel [Binamarga 2011]

  28

  (a) Desain normal; (b) desain optimum (hanya ada satu solusi P dan eo); (c) Penampang tidak kuat (preliminary)

Gambar 2.16 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]

  II.7.2 Kehilangan gaya prategang yang bergantung waktu (long term).

  II.7.2.1 Short term

a. Kehilangan akibat gesekan

  Bila kabel lurus atau agak melengkung ditarik, maka gesekan terhadap dinding saluran atau kisi-kisi penyekat akan mengakibatkan kehilangan tegangan yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak ( Raju, N Krishna 1988).

  Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

  (µα+KL) 0 = x

  F f e Dimana : f = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating

  x

  F = tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon E= nilai dasar logaritmik natural naverian

  29

  µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari titik jacking K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking

  Nilai-nilai koefisien µ 0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran 0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton 0,25 untuk baja yang bergerak pada timah 0,18-0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak di dalam selongsong baja persegi panjang yang tegar 0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur jarak ke arah lateral Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyon dan Cooley Nilai-nilai koefisien K 0,15 per 100 m untuk kondisi normal 1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getaran-getaran hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya (Raju, N Krishna 1988)

  30

b. Kehilangan akibat slip pengangkuran

  Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada kabel.

  Menurut Bina Marga (2011), besarnya slip angkur tergantung pada sistem prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.

  Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut: 2. d. x

  ∆fa =

  E. #∆L%.L x = ! d

  Dimana ∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur

  L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilanga n diketahui ∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm

  31

Gambar 2.17 Slip angkur [Binamarga 2011]

c. Kehilangan akibat pemendekan elastis

  Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke balok tersebut.

  Kehilangan pemendekan beton pasca-tarik akibat pemendekan elastis tidak ada jika kabel ditarik secara bersamaan. Namun jika penarikan dilakukan secara tidak bersamaan, kehilangan gaya pratekan sebesar ½ kali nilai pra-tarik. Tegangan di level prategang:

  • #()&% -.&.()&

  Fcsj = '1 + , −

  • & #+&% &

  Dimana: Pi: Gaya pratekan saat initial Acj: Luas beton saat jacking exj: eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking

  32 rj: jari-jari girasi saat jacking Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking Icj :Inersia beton saat jacking

  Kehilangan tegangan pada beton pra tarik n=Eps/Eci Dimana: Eps: modulus elastisitas kabel

  Eci: modulus elastisitas beton saat transfer

  ES_ pre = n. fcs

  ∆f Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak bersamaan per 1 tendon diperoleh:

  123

  jumlah penarikan /0 =

  124 9: 678

  ∑ 6;8 9:78

  ES

  = ∆f

  . ∆fES_pre

14 II.7.2.2 Long term

a. Kehilangan akibat penyusutan

  Beton yang tidak terendam air secara terus menerus (kelembaban 100%) akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.

  Menurut bina marga 021/BM/2011 besarnya susut yang terjadi pada beton dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:

  • Proporsi campuran
  • Jenis agregat
  • Rasio w/c
  • Jenis semen

  33

  • Jenis dan waktu curing
  • Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan (V/S)
  • Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan

  3

  Menurut bina marga 021/BM/2011 regangan pada beton umumnya disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu (time-dependent), sedangkan regangan akibat beban disebut regangan seketika.

  Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat, peristiwa ini disebut rangkak.

  curing dan pengerjaan stressing

  60 Ksh 0.92 0.85 0.8 0.77 0.73 0.64 0.58 0.45 Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir

  30

  20

  10

  7

  5

  1

  34

Tabel 2.7 Tabel K sh untuk pasca-tarik t (hari)

  = Kelembaban relative (%) V/S = volume/luas permukaan (inci)

  h

  Eps = Modulus elastisitas baja prategang (MPa) R

  #100 − Nℎ% Dimana: K sh = konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk post- tension nilainya diberikan pada tabel di bawah

  x Ksh x Eps x H1 − 0.006 J KLM

  EF

  ∆fsh = 8.2 x 10

  Concrete Institute) yaitu:

  Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI (Prestressed

b. Kehilangan akibat rangkak

  • – 7

  = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat gaya pratekan diaplikasikan

  rumus AASHTO (CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004) berikut: ∆f

  cr

  = 12 f

  cs

  ∆f

  cdp

  ≥ 0 Catt: f

  cs

  = tegangan beton di level pusat prategang ∆f

  cdp

c. Kehilangan akibat relaksasi baja

  Relaksasi diartikan sebagai penurunan tegangan secara perlahan terhadap regangan yang konstan. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi tidak hanya bergantung lamanya waktu diaplikasikan gaya prategang, tetapi juga bergantung terhadap rasio fpi/fpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh baja.

  ST #2U%EST #2V% ]W

  = Kehilangan akibat relaksasi (MPa)

  r

  ∆f

  − 0.55 untuk baja low-relaxation Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval (jam) f pi = tegangan awal baja prategang (MPa)

  XY[

  XYZ

  .

  = PQR

  Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung menggunakan rumus ∆f

  r

  − 0.55 untuk baja stress-relieved ∆f

  XY[

  XYZ

  VW .

  ST #2U%EST #2V%

  35 Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan

  r

  = PQR

II.8 Tegangan dan lendutan

  Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:

  1. Tegangan pada saat kondisi awal Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat sendiri balok pada saat transfer

  2. Tegangan pada saat kondisi layan Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok.

  Diagram tegangan pada kedua kondisi di atas dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.18 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang

  36 Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah sebagai berikut: Kondisi awal:

  `Z `Z.cW.[2 efZ1.[2

  − + ^_ = − ≤ ^hR ……….(1.7.3.1)

  ab d d `Z `Z.cW.[j efZ1.[2

  • ^i = − − ≤ ^kR ……….(1.7.3.2)

  ab d d

  Kondisi Layan:

  `Z `Z.cW.[2 eflm.[2

  ^_ = − + − ≤ ^kn……….(1.7.3.3)

  ab d d `Z `Z.cW.[2 eflm.[2

  • ^i = − − ≤ ^hn ……….(1.7.3.4)

  ab d d

  Dimana: (tegangan izin tarik kondisi awal)

  ^hn = 0.5oPk pQ_ (tegangan izin tekan kondisi awal)

  ^kn = −0.45. Pk (tegangan izin tarik kondisi layan)

  ^hn = 0.25oPk pQ_ (tegangan izin tekan kondisi layan)

  ^kn = −0.6. Pk Mmin= Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen akibat berat sendiri balok pada saat transfer Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan

  37 Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol. Lendutan yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada 021/BM/2011 sebagai berikut

Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang)

  Jenis Elemen Defleksi yang Defleksi maksimum yang diizinkan ditinjau Beban kendaraan Beban kendaraan

  • pejalan kaki Bentang Defleksi akibat l/800 l/1000 sederhana atau beban hidup layan menerus dan beban impak Kantilever l/400 l/375

  (Sumber: Bridge Management System)

II.9 Desain Dapped End

  Menurut PCI design handbook, model-model keruntuhan pada perletakan yang non prismatic dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan lentur, A f , dan perkuatan tarik aksial, A n .

  2. Geser pada pertemuan balok dengan tinggi yang berbeda. Diperluka n

  vf h

  perkuatan gesekan geser yang terdiri dari A dan A , ditambah perkuatan

  n aksial tarik, A .

  3. Tarik diagonal yang berasal dari sudut antar balok. Diperlukan perkuatan

  sh geser, A .

  4. Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang. Diperlukan perkuatan geser

  h v yang terdiri dari A dan A . s

  5. Tarik diagonal pada balok yang penuh. Ditahan dengan menyediakan A melewati daerah kemungkinan retak Masing-masing model kerutuhan dapat dilihat pada gambar berikut.

  38

II.9.1 Lentur dan aksial tarik pada ujung yang diperpanjang

  • ts

  39 Gambar 2.19 Model keruntuhan pada dapped end [ PCI handbook design]

  Perkuatan horizontal ditentukan mirip dengan cara perencanaan korbel kolom As = Af + An

  =

  V ∅X[

  'Js

  l

  3

  u

  3

  , Dimana: Φ = 0.75 sampai 0.9 (lentur) a= panjang geser, diukur dari pusat perletakan ke tengah Ash h= ketinggian balok yang diperpanjang d= jarak dari atas ke pusat As fy= tegangan leleh baja Nu= 0.2 x Vu jika tidak diberikan nilai yang pasti.

  40 II.9.2 Geser langsung

  2

  2

  f

  c

  ’A

  cr

  ≤800λ

  2 A cr

  4. Concrete to steel 0.7λ 2.4 0.20λ

  f

  2 A cr

  c

  ’A

  cr

  ≤800λ

  2 A cr

  (Sumber: PCI Design Handbook/ sixth edition)

  Retak diagonal pada sudut dapat dihitung dengan menggunakan rumus Ash =

  Vu ∅fy

  Dimana: ϕ = 0.75 Vu= beban ultimate

  3. Concrete to concrete 0.6λ 2.2 0.20λ

  ≤1000λ

  Retak vertical ditahan oleh As dan Ah seperti yang terlihat pada gambar 2.15. Perkuatan ini dapat dihitung dengan rumus berikut.

  µ Maximum µe Maximum Vu=ϕVn

  As =

  2Vu 3∅fyμe + An

  An = Nu

  ∅fy Ah = 0.5 #As − An%

  Dimana: ϕ = 0.75 fy= tegangan leleh baja µe=

  VWWW~ju• €•

  ≤ nilai pada tabel 2.8

Tabel 2.9 Koefisien shear-friction yang disyaratkan

  Crack interface condition Recommended

  1. Concrete to concrete, cast monolithically 1.4λ 3.4 0.30λ

  cr

  2

  f c ’A cr ≤1000λ

  2 A cr

  2. Concrete to hardened concrete, with roughened surface

  1.0λ 2.9 0.25λ

  2

  f

  c

  ’A

II.9.3 Tarik diagonal sudut

  sh

  A = Luas perlu tulangan vertical fy= tegangan leleh baja

  II.9.4 Tarik diagonal pada ujung yang diperpanjang

  Perkuatan tambahan untuk retak jenis 4 dapat dihitung dengan rumus ∅J/ = ∅ ‚ƒP„ + ‚ℎP„ + 2i…†oP′k Luasan tulangan perlu sebagai berikut

  V €•

  Min Av = − 2i…†oP′k

  UX[ ∅

  II.10 Kontrol tegangan pada angkur

  Keruntuhan local dapat terjadi pada beton yang di tekan saat pembebanan baru dilakukan. Untuk menghindari kondisi ini, beton harus cukup kuat untuk memikul gaya tekan yang disalurkan kepadanya. Perhitungan tegangan yang dapat dipikul beton pada pengangkuran adalah sebagai berikut:

  aU

  ˆi = ∅M0.85P′ ‰ #≤ ∅M1.7P %

  bZ bZ aV

  (Sumber: ACI 318-83,AS 3600-1988, CAN3 1984) Dimana: F’ci = tegangan beton saat kondisi inisial

  A1 = area plat-area sheat A2 = luasan terbesar beton yang menyokong permukaan yang mana secara geometri sama terhadap A1 dan konsentris terhadap A1

  Nilai ϕ dapat dilihat pada tabel berikut:

  41

  42 Tabel 2.10 Faktor reduksi kekuatan ϕ

  0.7

  bZ

  !‚2 ‚1 #≤ ∅M1.7P

  bZ

  ˆi = 1.5M∅M0.85P′

  ACI 318–83 and AS 3600–1988) Untuk zona pengangkuran post-tension yang menggunakan perkuatan transvers persamaan kekuatan tekan beton dapat ditingkatkan 50% sehingga menjadi

  0.6 (Sumber:

  0.7

  0.6

  0.6

  0.8

  0.85

  Jenis aksi ACI 318-83 AS 3600-1988

  0.7

  0.75

  0.9

  Dukungan pada beton

  (d)

  Geser dan Torsi

  (c)

  Untuk aksial tekan yang kecil, nilai ϕ meningkat secara linear dari nilai yang diberikan di (b) ke nilai yang diberikan di (a) seiring dengan aksial tekan menjadi nol

  (i) perkuatan Spiral (ii) perkuatan ikat

  (a) Lentur (dengan atau tanpa aksial tarik) dan aksial tarik (b) Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur

  %

Dokumen yang terkait

BAB II STUDI LITERATUR - Perancangan Rumah Susun di Kawasan Transit Oriented Development (TOD) Belawan

0 1 32

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Citra Digital - Implementasi Dan Perbandingan Metode Geometric Mean Filter Dan Alpha-Trimmed Mean Filter Untuk Mereduksi Exponential Noise Pada Citra Digital

0 1 10

BAB II PENGELOLAAN KASUS - Asuhan Keperawatan pada Tn.B dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Personal Hygiene di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 1 44

BAB 2 PENGOLAHAN KASUS 2.1 Konsep Dasar Nyeri - Asuhan Keperawatan pada An. A dengan Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan 2.1.1. Pengertian perencanaan - Analisis Perencanaan Obat di Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 4 26

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Bauran Pemasaran (Marketing Mix) - Analisis Marketing Mix Dalam Meningkatkan Penjualan Pada Produk Mirai Ocha

1 4 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Marketing Mix Dalam Meningkatkan Penjualan Pada Produk Mirai Ocha

0 0 9

Analisis Kelarutan Kalsium Oksalat dan Kalsium Karbonat Pada Infus Daun Tempuyung Segar (Sonchus arvensis L.) dan Sediaan Kapsul Ekstrak Daun Tempuyung secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 48

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Analisis Kelarutan Kalsium Oksalat dan Kalsium Karbonat Pada Infus Daun Tempuyung Segar (Sonchus arvensis L.) dan Sediaan Kapsul Ekstrak Daun Tempuyung secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 12

Analisis Kelarutan Kalsium Oksalat dan Kalsium Karbonat Pada Infus Daun Tempuyung Segar (Sonchus arvensis L.) dan Sediaan Kapsul Ekstrak Daun Tempuyung secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 15