A. Toleransi social loafing 1. Definisi - Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing
BAB II LANDASAN TEORI Penelitian ini akan membahas hubungan antara elemen faktor budaya
individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih dahulu akan membahas tentang toleransi social loafing dan faktor penyebabnya.
Kemudian peneliti lanjutkan dengan membahas tentang bagaimana individualisme kolektivisme dapat menjadi prediktor toleransi social loafing.
A. Toleransi social loafing 1. Definisi
Toleransi adalah kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya (Chong, 1994). Selanjutnya, toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Permissive adalah sikap untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku (Kamus Oxford Learner's Pocket
). Sebagaimana telah peneliti jelaskan sebelumnya, social loafing
Dictionary
adalah kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993; Baron & Byrne, 2005). Pengurangan usaha ini biasanya terjadi ketika usaha individu tidak dapat dibedakan dengan usaha orang lain dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Sejalan dengan definisi para ahli tersebut, di dalam penelitian ini, social loafing peneliti definisikan dalam kelompok, khususnya ketika usaha yang diberikan individu tersebut tidak dapat dibedakan dengan usaha yang diberikan oleh individu lain.
Mengacu pada penalaran peneliti tentang defenisi toleransi dan social
loafing diatas, peneliti mendefinisikan toleransi social loafing sebagai
kemampuan individu untuk bertahan, menderita, menerima atau mengizinkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.
Social loafing merupakan tindakan yang dapat merugikan, baik itu bagi
kelompok secara utuh maupun bagi anggota-anggota kelompok secara individual (Karau & Williams, 1993). Ketika seorang anggota kelompok menjadi pelaku
, pelaku tersebut mengurangi kesempatan untuk mengembangkan
social loafing
kemampuan dan pengetahuannya terkait dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan (Welter , Canale, Fiola, Sweeney & L‟armand,2002). Kurangnya partisipasi seorang pelaku social loafing juga dapat membuat ia mengalami penurunan kemampuan seiring dengan pengurangan usaha yang dilakukannya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Sedangkan bagi kelompok, social loafing akan merugikan kelompok dan menghasilkan penurunan kinerja dan produktivitas kelompok secara keseluruhan (Schnake, 1991).
Berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, Sarwono (2005) menjelaskan penyebab individu melakukan social loafing sebagai berikut:
1. Individu ingin menumpang pada kesuksesan orang lain tanpa berbuat apa-apa
(free riding). Sebagai anggota kelompok, seseorang seringkali berkeyakinan menjadi tidak diperlukan atau tidak penting (Kidwell & Bannet, dalam Sarwono, 2005).
2. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas dan faktor intrinsik yang rendah (e.g. tugas tidak menarik, kurang bermakna, dan lain-lain:George, dalam Sarwono, 2005).
3. Individu tidak mau rajin jika anggota kelompok yang lain malas (sucker effect).
Individu akan merasa rugi untuk memberikan kontribusi lebih terhadap kelompok. social loafing juga akan terjadi pada kondisi ini, walaupun tugas tersebut menarik. (Robbins, dalam Sarwono, 2005).
4. Pengambilalihan peran: kalau peran individu diambil alih oleh anggota kelompok lain, maka individu tersebut akan malas menjalankan perannya (Kerr & Stanfel, dalam Sarwono, 2005).
5. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis (Early, dalam Sarwono, 2005).
6. Tidak ada pembagian tanggung jawab (individu tidak diberi tanggung jawab tersendiri: Wagner, dalam Sarwono, 2005 ).
7. Tidak ada spesifikasi pekerjaan akan membuat perilaku social loafing semakin besar (Singh & Singh, dalam Sarwono 2005).
8. Tidak ada hadiah atau insentif, maka kemungkinan terjadinya social loafing akan semakin besar (Shepperd & Wright, dalam Sarwono 2005).
2. Faktor-faktor yang menentukan toleransi social loafing
Ada beberapa hal yang dapat membuat individu mentolerir social
loafing , yaitu: (1) Persahabatan, (2) spesialisasi dan operasionalisasi kerja, (3)
tingkat kesulitan tugas, (4) dan keinginan untuk berprestasi. Berikut adalah penjelasannya.
1. Persahabatan
Fehr (dalam Brehm, 2002), mendefinisikan persahabatan sebagai hubungan yang sifatnya personal dan suka rela, hubungan ini menyediakan keintiman dan bantuan (pertolongan) atas dasar satu pihak dengan yang lainnya saling menyukai. Berndt (2002) menyatakan sebuah persahabatan dengan kualitas yang tinggi ditandai dengan tingginya perilaku tolong- menolong, keakraban, perilaku positif lainnya; serta rendahnya tingkat konflik, persaingan dan perilaku negatif lainnya. Lebih jauh lagi dalam persahabatan, ketika terjadi konflik kepentingan, terdapat kecenderungan bagi pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan perngorbanan demi kebaikan hubungan persahabatan (Whitton, Stanley & Markman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Dikaitkan dengan toleransi social loafing, kelompok yang anggota-anggotanya terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan persahabatan akan saling bahu-membahu memberikan pertolongan kepada rekannya (atau rekan-rekan) yang kurang mampu melaksanakan tugas dengan baik. Ketidakmampuan mengerjakan tugas berdalih persahabatan membuat anggota-anggota kelompok lain menjadi lebih toleran terhadap pelaku social loafing. Dengan demikian, hubungan persahabatan dapat menjadi suatu faktor yang meningkatkan toleransi terhadap social loafing.
2. Spesialisasi dan operasionalisasi kerja
Sebuah kelompok terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian dan kompetensi yang saling melengkapi (De Janasz, Dowd, & Schneider, 2002). Kemampuan-kemampuan anggota kelompok yang berbeda di berbagai bidang dapat memicu seseorang mentolerir social dengan alasan yang bersifat instrumental. Dalam mengerjakan
loafing
tugas, anggota kelompok yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam bidang tertentu akan berusaha mengerjakan tugas yang menjadi bidangnya sendirian dan membiarkan anggota kelompok lain menjadi pelaku social loafing. Sebagai imbalan, individu tersebut akan menjadi pelaku social loafing ketika ada tugas lain yang bukan merupakan bidangnya.
3. Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah penyelesaian tugas, tingkat kesulitan tugas berkontribusi terhadap toleransi social loafing. Ketika terdapat tugas yang sulit dan individu merasa tidak ada anggota kelompoknya yang mampu melakukan tugas tersebut, individu tersebut dapat merasa bertanggung
2008). Hal ini akan membuat individu membiarkan anggota kelompok yang lain untuk melakukan pemalasan social.
4. Keinginan untuk berprestasi
Anggota kelompok yang ingin menunjukkan kemampuannya kepada anggota-anggota lain akan terdorong memberikan kontribusi lebih ketika bekerja di dalam kelompok. Ketika terdapat anggota kelompok yang melakukan social loafing, individu tidak akan merasa terganggu dan akan berusaha mengambil alih tanggung jawab rekan kerjanya. Dengan kata lain, tindakan social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompok justru dipandang oleh individu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di mata anggota kelompok lain. Terlebih lagi jika anggota kelompoknya merupakan orang baru dan belum pernah menyaksikan kebolehannya di masa lalu (Seta & Seta, dalam Sarwono, 2005).
B. Individualisme kolektivisme
Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam upaya memahami efek social loafing (Walsh, Gregory, Lake, & Gunawardena, 2003; Karau & Williams, 1993). Salah satu faktor budaya yang penting untuk dikaji adalah dimensi individualisme kolektivisme.
1. Individualisme
Hofstede (2005) mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. kesenangan bereksplorasi, kebutuhan akan relasi khusus. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma (Triandis, 1995).
2. Klasifikasi individualisme
Triandis (dalam Lee & Choi, 2005) menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu dengan individualisme horisontal ingin menjadi unik dan melakukan yang hal yang merupakan keinginannya sendiri, namun tidak melandaskan pada hierarki tertentu. Sedangkan orang-orang individualistis vertikal tidak hanya ingin melakukan hal yang mereka ingin ia lakukan sendiri tetapi juga berusaha untuk menjadi yang terbaik berdasarkan hierarki tertentu (e.g., rangking kelas, jabatan tinggi, gengsi, dll.). Daya saing sangat tinggi terdapat pada budaya individualistis vertikal.
a. Individualisme vertikal
Individu yang memiliki derajat vertikal individualisme tinggi merupakan individu yang independen dan otonom tetapi juga kompetitif dan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Vertikal Individualisme adalah pola budaya di mana individu-individu merasa otonom, unik dan berbeda Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu.
b. Individualisme horizontal
Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Mereka ingin menjadi unik dan berbeda dari kelompok di mana dirinya bernaung. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya.
3. Kolektivisme
Hofstede (2005) mengartikan kolektivisme sebagai tatanan sosial yang memiliki ikatan emosional antar individu yang kuat. Masyarakat kolektivisme sa ngat menekankan kesadaran „peneliti‟ dan identitas kolektif, yang ditandai oleh ketergantungan emosi, solidaritas, sharing, keputusan kelompok, kewajiban dan keharusan dan keinginan akan persahabatan yang stabil dan memuaskan. Selanjutnya Triandis (1995) mendefenisikan kolektivisme sebagai budaya yang menekankan bahwa individu saling tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, dan memprioritaskan tujuan-tujuan kelompoknya sebagai prioritas di atas tujuan-tujuan pribadi (Triandis, 1995). Dari definisi kolektivisme yang disebutkan para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan kolektivisme sebagai pola budaya di mana individu dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, tujuan ingroup menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.
4. Klasifikasi kolektivisme
Triandis dan Gelfand (1998) juga membagi kolektivisme menjadi kolektivisme horisontal maupun vertikal.
a. Kolektivisme vertikal
Individu ini melihat diri sebagai bagian dari suatu kelompok dan bersedia menerima adanya hirarki dan ketimpangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam kolektivisme vertikal, individu menekankan integritas dalam kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi mereka demi sasaran dalam kelompok, dan dukungan untuk berkompetisi antar kelompok. Kolektivisme Vertikal adalah pola budaya di mana individu melihat diri sebagai bagian penting kelompok, tetapi anggota dalam kelompok berbeda satu sama lain, beberapa memiliki status lebih tinggi dari lain.
b. Kolektivisme horisontal
Individu ini memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok akan tetapi mereka memahami bahwa semua anggota kelompok setara.
Individu horisontal kolektivisme melihat diri mereka mirip dengan dengan individu lain dan menekankan tujuan umum dengan orang lain, saling bergantung, dan bersosialisasi, namun mereka tidak mudah untuk
5. Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok
Derajat individualisme kolektivisme yang dimiliki seorang individu mempengaruhi bagaimana ia memberikan kontribusi terhadap kelompoknya.
Markus dan Kitayama (1991) mengemukakan individu di dalam masyarakat kolektif cenderung interdependent, sebagai konsekuensi, mereka memiliki ciri unik dalam bekerja di dalam kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kelompok; (2) merasa memiliki keterkaitan yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok lain, (3) menjunjung tinggi harmoni dan kerjasama di dalam kelompok, (4) mengkontekstualisasikan diri di dalam kelompok (e.g., mengetahui tugasnya di dalam kelompok), dan (5) menjungjung tinggi sistem hierarki sosial yang berjalan di dalam kelompok (Singelis, dkk; Oyserman & Coon dalam Fernandez, Paez, Gonzalez, 2005). Markus dan Kitayama (1991) juga mengemukakan bahwa individu di dalam masyarakat individualis cenderung yaitu suatu kecenderungan pribadi yang mengacu pada orientasi
independent,
diri, menekankan kemandirian dan kontrol, mengejar tujuan individu dalam kelompok, dan budaya di mana orang mendapatkan kebanggaan dari prestasi mereka sendiri. Dalam lingkungan individualistis, orang termotivasi oleh kepentingan diri sendiri dan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ragu-ragu untuk berkontribusi pada tindakan kolektif, kecuali usaha mereka sendiri diakui, dan lebih memilih untuk mendapatkan keuntungan dari usaha orang
C.
Hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social
loafing.1. Individualisme dan toleransi social loafing a. Individualisme vertikal dan toleransi social loafing
Sebagaimana telah peneliti jelaskan, individualisme vertikal adalah budaya yang menilai individu berdasarkan keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki atau status sosial yang didapatkan melalui kompetisi. Ketika bekerja dalam kelompok, individu yang tinggi dalam derajat dimensi ini menginginkan agar diri ia lebih baik daripada orang lain, keberhasilan atau kegagalan kelompok dipandang keberhasilan atau kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand, 1998). Di satu sisi, ketika ada perilaku social loafing dalam kelompoknya individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi dapat merasa terganggu, karena ia mempercayai bahwa perilaku social loafing akan menurunkan kinerja dan prestasi kelompok, yang berararti kegagalan bagi pencapaian prestasi pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi akan akan sulit mentolerir perilaku social loafing, karena kegagalan kelompok dapat ia internalisasikan sebagai kegalan pribadi. Namun, di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Ketika ada anggota kelompok yang melakukan social menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.
b. Individualisme horisontal dan toleransi social loafing
Selanjutnya, budaya dimensi budaya individualisme horisontal menekankan pada keunikan masing-masing individu, dalam ranah kesetaraan sosial. Di satu sisi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan menolak social loafing yang dilakukan oleh rekan-rekan sekelompoknya, karena tindakan social loafing tersebut tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan (equality) pengalokasian sumber daya atau usaha setiap individu anggota kelompok terhadap kinerja kelompok (Soeboer, 2003). Jadi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan memiliki toleransi yang rendah terhadap perilaku rekannya yang melakukan social loafing. Di sisi lain, individu dengan individualisme yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggota-anggota kelompoknya (Piezon & Donaldson, 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuat individu ini merasa terusik dengan pengurangan usaha yang dilakukan anggota kelompoknya. Penelitian ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.
2. Kolektivisme dan toleransi social loafing a. Kolektivisme vertikal dan toleransi social loafing
Budaya kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas. Individu dengan yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan menjunjung tinggi norma kelompok dan menempatkan kesuksesan kelompok di atas kesuksesan pribadi (Husain, 2012). Individu yang tinggi dalam dimensi budaya ini juga memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama dalam Soeboer, 2003). Pengorbanan merupakan aspek penting dalam pola ini (Triandis dalam Soeboer, 2003). Oleh karena itu, ketika anggota kelompoknya melakukan social loafing, melakukan, individu ini akan rela menggantikan anggota kelompoknya dalam proses pengerjaan tugas, karena ia percaya bahwa perilaku anggota kelompoknya akan memberikan dampak negatif bagi kesuksesan kelompok. Dengan kata lain, individu
Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa social loafing merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing, karena akan mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun (Schnake, 1991).
b. Kolektivisme horisontal dan toleransi social loafing
Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggota-anggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995). Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya (e.g. social loafing), individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut. anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan
social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya
dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal akan menolak social loafing dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004).
D. Hipotesa penelitian
Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi individualism kolektivisme yang telah peneliti paparkan, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Ada hubungan antara individualisme vertikal dengan toleransi social
loafing . Di satu sisi, hubungan yang terjadi dapat bersifat positif, yaitu
semakin tinggi derajat individualisme vertikal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individulisme
2. Ada hubungan antara individualisme horisontal dengan toleransi social
loafing . di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin
tinggi derajat individualisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individualism horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.
3. Ada hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing.
Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertical yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.
4. Ada hubungan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi terhadap
social loafing . Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu
semakin tinggi derajat kolektivisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme