BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi - Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi

  “Resilience is popularly understood as the degree of elasticity in a system, its

  ability to rebound or bou nce back after experiencing some stress or shock” ( Pelling, 2011)

  Pelling (2011) menyatakan bahwa resiliensi secara umum dimengerti sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul) atau bounce back (melambung kembali) setelah merasakan stress atau goncangan. Kata resiliensi sendiri berasal dari kata “resilience” yang artinya daya pegas, daya kenyal. Gotberg (1999) melihat resiliensi sebagai kapasitas indvidu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri dan tetap melaksanakan perubahan dalam ujian kehidupan Kapastitas itulah yang membuat seseorang bisa bertahan dan mampu beradaptasi dalam masa kesukaran.

  Hal ini juga sejalan dengan definisi definisi dari Reivich dan Shatte (2002) tentang resiliensi, yaitu kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Kondisi

  

adversity akan membuat seseorang untuk keluar dari kondisi tersebut.

  Walsh(2006) menyatakan resiliensi adalah lebih dari berjuang, melewati tantangan atau menghindar dari cobaan yang berat. Dia menyatakan bahwa orang yang berjuang bisa tidak resilien beberapa bisa terjebak sebagai korban, merawat luka mereka dan terhambat dari perkembangan karena kemarahan dan rasa bersalah. Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa orang yang resilien itu akan mengalami pencapaian-pencapaian dalam hidup.

  Walsh (2006) menyatakan setiap individu memiliki stress kehidupan dalam dirinya, beberapa memiliki trauma, yang lain memiliki luka-luka, ada juga yang mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Walsh (2006) menambahkan bahwa resiliensi berbicara mengenai kemampuan untuk menangani kesukaran: apakah trauma bisa tidak terselesaikan atau tidak atau apakah pengalaman kesukaran akan menghancurkan diri seseorang atau tidak. Hal serupa dinyatakan oleh Cougle, dkk (2008) resiliensi membuat seseorang bisa bertahan dan bebas mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah konstruk psikologis yang didefinisikan dalam hal kehadiran faktor protektif (personal, sosial, keluarga dan jaringan institusi) yang membuat individu bertahan dalam stress kehidupan.

  Berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu yang memampukan individu beradaptasi dan mengatasi masa kesukaran atau trauma kehidupan, kemampuan ini bahkan membuat individu mengalami pencapaian-pencapaian kehidupan.

2. Faktor-faktor Resiliensi

  Ada tujuh faktor yang membentuk kemampuan resiliensi. Ketujuh faktor ini bisa diukur, dipelajari dan ditingkatkan (Reivich dan Shatte, 2002):

  a.

   Regulation Emotion Regulation emotion merupakan kemampuan untuk tetap tenang bila

  mengalami tekanan. Orang-orang resilien menggunakan seperangkat ketrampilan yang sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya. Misalnya ketika kita kecewa atau marah maka emosi kita tersebut dapat mempengaruhi bagaimana kita beraktivitas maka kita harus tenang dan berpikir jernih. Kita bukan membuang emosi negatif tersebut tetapi mengekspresikannya dengan cara yang tepat. Regulasi diri penting untuk membentuk hubungan yang intim, sukses dalam bekerja dan menjaga kesehatan fisik.

  b.

   Impulse Control

  Orang yang mampu mengontrol dorongannya, menunda kepuasan mampu mengontrol dorongan berarti memiliki “id” yang lebih besar dan “superego” yang kurang. Seperti ketika seseorang sedang marah mungkin orang tersebut akan berteriak atau beradu argumen, impulse control membuat orang tersebut memutuskan untuk berperilaku yang tidak memperburuk keadaan mungkin ia akan diam dan meredakan amarahnya. Pola khasnya adakah merasa bergairah ketika mendapatkan pekerjaan baru, melibatkan diri sepenuhnya, namun tiba-tiba kehilangan minat dan meninggalkan pekerjaannya. Regulation emotion dan impulse control merupakan hal yang berhubungan. Jika impulse control tinggi maka kecenderungan regulation emotion juga tinggi. Ketika impulse

  

control kita rendah maka kita akan berperilaku menggunakan dorongan atau

  impuls yang pertama kita yakin benar contohnya jika saat orang marah yang pertama kali diinginkan ialah berteriak maka ia akan melakukan hal tersebut.

  c.

   Optimism

  Orang yang memiliki resiliensi adalah orang yang optimis. Mereka yakin bahwa kondisi dapat berubah menjadi lebih baik. mereka memilii harapan ke masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian kehidupan mereka. Orang yang optimis memiliki kesehatan yang baik. memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan dan berprestasi dalam berbagai bidang. Optimis tentu saja melihat masa depan sebagai sesuatu yang relatif cerdas atau cemerlang.

  

Optimism menunjukkan bahwa kita yakin memiliki kemampuan untuk mengatasi

  segala kesusahan yang akan terjadi di masa depan. Optimism bukan hanya melihat hal yang dapat dilakukan dengan cara yang terbaik, kemampuan untuk mempertahankan pandangan positif tanpa menyangkal suatu kenyataan.

  d.

   Causal Analysis Causal analysis menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan

  untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasikan penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus.

  e.

   Emphaty Emphaty menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-

  sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka, melalui isyarat nonverbal, untuk kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Juga sering dideskripsikan sebagai kemampuan kita mengerti apa yang dirasakan dan dibutuhkan orang lain. Membaca ekspresi wajah seseorang, nada bicaranya, bahasa tubuhnya dapat menentukan apa yang sedang orang tersebut pikir dan rasakan.

  f.

   Self Efficacy Self Efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentang seberapa

  efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal itu menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Orang yang memiliki self-efficacy percaya bahwa mereka memiliki apa yang diperlukan untuk mengatasi sebagian besar dari masalah yang mereka hadapi dan bangkit kembali dari situasi yang sulit tersebut. mempertahankan pandangan yang realistis dan optimis dengan masa depan g.

   Reaching out

  Resiliensi bukan hanya tetang mengatasi, melewati dan keluar dari masalah, resiliensi juga meningkatkan aspek kehidupan kita. Resiliensi adalah kemampuan untuk keluar (reach out) dari zona nyaman dan mengejutkan sejumlah orang yang tidak bisa melakukannya. Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas-rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal- hal baru dalam lingkungan kehidupan mereka. Bagian terpenting dari reaching

  

out ialah menjadi akurat dan realistik tentang bagaimana kita dapat mengatasi

  sesuatu hal dan meminta pertolongan jika kita butuh. Kita mencari dukungan dari teman, rekan kerja, komunitas dan para profesional.

  Ketujuh faktor ini yaitu regulasi emosi, causal analysis, impulse control,

  

self efficacy, emphaty, optimism dan reaching out membentuk resliensi menjadi

satu kesatuan.

3. Faktor Protektif Resiliensi

  Faktor protektif memerankan peran penting dalam mengurangi efek negatif dari kesulitan hidup dan menguatkan resiliensi. Beberapa individu berhasil mengatasi rintangan dan menghancurkan lingkaran setan. Penelitaian sebelumnya meunjukkan bahwa tiga variabel yang berperan sebagai faktor protektif yang menghalangi dampak dari pengalamana yang menyulitkan. Faktor-faktor ini adalah(Schoon dalam Schoon, 2006):

  Atribut-atribut individu Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu seperti menunjukkan performa yang baik saat tes akademik di sekolah, lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku, memiliki banyak hobi, jarang menjadi orang yang mudah diserang oleh teman sebaya, menunjukkan keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri, individu menunjukkan perencanaan yang baik dengan rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif pada hidup.

  b.

  Karakteristik keluarga Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama masa kanak-kanak dan remaja termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan mendukung hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan anak dan perencanaan karir.

  c.

  Aspek konteks sosial yang lebih luas Aspek konteks sosial yang lebih luas termasuk orang-orang diluar orang tua yang memberikan dukungan seperti guru yang mampu menyadari kemampuan murid serta mendorong dan mendukung perjuangan pendidikan dan pekerjaan murid. Lingkungan sekolah juga berperan penting dalam membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.

  4. Fungsi Resiliensi

  Penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki empat penggunaan resiliensi dalam kehidupan yaitu (Reivich dan Shatte, 2002) Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil

  Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk mengatasi dampak-dampak kejadian buruk yang terjadi pada masa kecil kita dan bertanggung jawab untuk menciptakan masa dewasa yang kita inginkan. Seseorang tidak bisa mengubah masa lalunya tetapi seseorang bisa tetap bebas dari kesulitan masa lalunya dan bekerja keras untuk keluar dari kesulitan tersebut. Ini membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan membuat perbedaan antara bagian mana yang bisa dikontrol dan bagian mana yang tidak bisa.

  2. Melewati tantangan-tantangan dalam kehidupan keseharian Kita setiap hari membutuhkan resiliensi karena setiap orang berhadapan dengan masalah, tekanan dan pertengkaran. Orang yang resilien menggunakan kemampuan yang ada dalam dirinya untuk mengatasi pekerjaan berat yang terus menerus dialaminya. Hidup penuh dengan tekanan dan pertengkaran, jika kita resilien kita tidak akan membiarkan kesukaran tiap hari mengganggu produktivitas dan kesejahteraan kita.

  3. Bangkit kembali dari kehidupan yang traumatis

  Dalam kehidupan dewasa, adakalanya kita hidup dengan melawan kesulitan besar, sebuah kejadian besar yang mengubah kehidupan kita seoerti kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian dan lain-lain. Kondisi adalah krisis mau ta mau yang membutuhkan resiliensi. Dr. Judith Herman, penulis Trama and Recovery menjelaskan bahwa resilien meningkatan resistensi kepada tekanan dan kesempatan untuk PTSD berkembang. Mereka menunjukkan gaya coping task

  oriented

  • – incremental Bergantung kepada resiliensi kita, kita akan merasa tidak 4.

  Mencapai prestasi terbaik Kita juga akan mengembangkan kegunaan keempat dari resiliensi yang lebih penting dari keinginan untuk melindungi dan menjaga diri kita. Orang yang ingin mencapai tujuan dan menemukan makna baru dan tujuan hidup dan terbuka kepada pengalaman juga tantangan dapat menggunakan resiliensi untuk reach out sehingga bisa mencapai apa yang kita mampu kerjakan.

  B.Social Support 1.

   Definisi Social Support

  Cobb dalam Winnubst & Schabraq (1996) mendefinisikan bahwa social

  

support mendefinisikan sejumlah informasi yang meyakinkan seseorang bahwa

  orang lain peduli kepada mereka (care support) menghormati dan menghargai

  

(affirmative support) dan bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas yang

  saling mendukung (network support). Social support sering didefinisikan dengan jumlah teman yang ada bagi individu tersebut. Akan tetapi, sudah dikembangkan bahwa social support bukan hanya menyangkut jumlah teman tetapi kepuasan dangan dukungan yang diberikan(Sarason dalam Ogden, 2000).

  Odgen menyatakan (2000), istilah dukungan sosial secara umum mengacu kepada kenyamanan, kepedulian dan penghargaan individu yang dirasakan dari orang lain (Ogden, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Will (dalam Sarafino 2008) yang menyatakan social support mengacu pada kenyamanan yang diterima, perhatian, menghargai, atau membantu penerimaan diri seseorang dari orang lain kekasih, keluarga, teman, rekan sekerja, dokter, atau organisasi komunitasMenurut Sidney Cobb(dalam Sarafino, 2008), orang dengan social

  

support yang tinggi percaya mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dinilai

  berarti dan bagian dari sebuah grup seperti keluarga atau organisasi yang bisa saling menyediakan kebutuhan, melayani dan menjaga ketika dibutuhkan atau dalam bahaya (Sarafino, 2008).

  Social support juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu

  seseorang menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan

  

coping. Thoits mengkonseptualisasikan social support sebagai sumber bantuan

  untuk coping , seperti „dana sosial‟dari orang-orang saat menangani tekanan. Baron & Byrne (1997) mengemukakan social support sebagai rasa nyaman baik secara fisik dan psikologis, yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga kepada orang yang menghadapi stress, sehingga dengan dukungan sosial tersebut orang cenderung untuk berada dalam keadaan kesehatan fisik yang lebih baik dan dapat mengatasi stres yang dialaminya. Dan hal ini ditegaskan oleh Broman dalam Taylor dkk (2000) bahwa social support secara efektif menurunkan tekanan psikologis dalam masa-masa yang sulit.

  Berdasarkan defenisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa social

  

support adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan

  informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan dan didukung sehingga mampu mengatasi masalah yang dia hadapi.

2. Bentuk-bentuk Social Support

  Dukungan sosial (social support) memberi empat fungsi penting (Cutrona, Russell&Uchino dalam Sarafino, 2006), yaitu: a.

   Emotional or esteem support

  Menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian, berpandangan positif, dan memberikan dorongan atau semangat terhadap seseorang. Dukungan ini memebrikan kenyamanan dan jaminan dengan rasa saling memiliki dan dicintai pada masa sulit.

  b.

   Tangible or instrumental support

  Melibatkan bantuan langsung, misalnya memberi atau meminjamkan uang kepada seseorang. Dukungan ini adalah jenis dukungan berupa dukungan material. Instrumental support efektif untuk mencegah munculnya sebuah masalah dan mengurangi efek sebuah masalah.

  c.

   Informational support

  Memberikan informasi yang bisa digunakan penerima untuk mengatasi masalah. Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau

  feedback mengenai apa yang sedang dilakukan seseorang.

  d.

   Companionship support

  Mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di Sarafino (2008) mengatakan tipe support yang dibutuhkan atau diperoleh seseorang tergantung pada individu itu sendiri. Tidak semua orang memperoleh dukungan sosial yang mereka butuhkan. Antonucci (dalam Sarafino, 2008) menyatakan Banyak faktor yang menentukan apakah seseorang menerima dukungan. Beberapa faktor berhubungan dengan kemampuan penerima dukungan. Seseorang akan sedikit menerima dukungan jika mereka tidak suka bergaul, tidak membantu orang lain, dan tidak membiarkan orang lain tahu bahwa mereka membutuhkan bantuan. Faktor lain yang berhubungan adalah kemampuan pemberi dukungan. Misalnya, mereka tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan, atau mungkin mereka sedang dalam keadaan stres dan butuh untuk menolong diri mereka sendiri, atau mungkin saja tidak sensitif mengenai kebutuhan orang lain. Apakah seseorang mendapatkan dukungan sosial juga tergantung pada ukuran, komposisi, tingkat keintiman, dan frekuensi kontak individu dengan jaringan sosialnya (Schaefer, dalam Sarafino, 2006).

  3. Cakupan Social Support

  Menurut Saranson (1983), dukungan sosial itu selalu mencakup 2 hal yaitu;

  1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia Merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).

  Tingkat kepuasan akan dukungan sosial yang diterima Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).

b. Ibu Tunggal 1. Definisi Ibu Tunggal

  Schacht & Knox (2010) mendefinisikan bahwa keluarga orangtua tunggal adalah dimana salah satu orangtua sudah tidak ada lagi dikarenakan kematian, donasi sperma, atau keluarga tidak memiliki kontak dengan keluarga yang lain. Keluarga single-parent, keluarga yang menjalankan pengasuhan sendirian. Degenova membagi bentuk keluarga tunggal ini dengan dua pola yaitu single

  

fatherhood dan single motherhood. Single fatherhood adalah pengasuhan yang

  dilakukan oleh ayah tunggal dan single motherhood adalah pengasuhan yang dilakukan oleh ibu tunggal.

  Menurut Wan Halim dalam Hassan dkk (2006), Ibu tunggal adalah seorang ibu yang memikul tanggung jawab mendidik, membimbing, menjaga, membiayai, dan mebesarkan anak tanpa penglibatkan aktif suami (yang hilang upaya atau meninggalkan keluarga). Beliau menegaskan bahwa seorang wanita dikatakan sebagai Ibu Tunggal sekiranya : a.

  Wanita yang kematian suami dan sedia meneruskan tugas membesarkan anak- anak.

  b.

  Wanita yang telah bercerai dengan suami dan diberi hak penjagaan ke atas anak-anaknya.

  Wanita yang tidak diberi nafkah oleh suami untuk hidupnya dan anak- anaknya.

  d.

  Wanita yang berada di dalam proses penceraian (yang mungkin akan mengambil masa yang panjang).

  e.

  Wanita yang membesarkan anak tanpa pertolongan suami misalnya suami kerja diluar kota.

  Sehingga, bisa disimpulkan bahwa ibu tunggal adalah wanita yang membesarkan bantuan anak tanpa bantuan dari pasangannya.

2. Peran Pengasuhan oleh Ibu Tunggal

  Hastuti (2008) menyatakan pengasuhan dilakukan untuk memenuhi aspek fisik dan non-fisik pada anak agar anak bisa hidup dengan mandiri di masa yang akan datang. Pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial emosi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pengasuhan umumnya dilakukan oleh Ayah dan Ibu sesuai dengan perannya masing-masing. Ibu tunggal melakukan kedua peran itu, adapun deskripsi kedua peran tersebut adalah sebagai berikut: a.

  Peran sebagai Ayah Peran ayah sebagai kepala rumah tangga sering terfokus hanya pada usaha memenuhi kebutuhan keluarga terutama masalah keuangan. Peran ayah yang lain adalah sebagai pelindung, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

  b.

  Peran sebagai ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

  Kedua peran itu dilakukan sendirian oleh ibu tunggal dan berusaha diseimbangkan. Tetapi adakalanya ibu kesulitan mengelola diri untuk melakukan kedua peran tersebut.

3. Tantangan yang Dihadapi Ibu Tunggal

  Peran sebagai ibu tunggal adalah peran yang sulit. Ibu tunggal akan mengalami banyak tantangan dalam hidupnya. Adapun beberapa tantangan yang umumnya dialami oleh ibu tunggal adalah sebagai berikut: a.

  Masalah finansial Banyak keluarga ibu tunggal menyatakan bahwa mereka selalu mengalami masalah keuangan (Knox & Schact, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa bahkan dengan pengontrolan efek pendidikan, Ayah tunggal lebih baik secara ekonomi dibandingkan ibu tunggal (Zhan & Pandey, 2004 dalam Degenova, 2008). Kesulitan keuangan pada ibu tunggal mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini akan berakibat pada efek ketidakadaan ibu yang berakibat pada anak.

  b.

  Mengatasi tuntutan hidup dalam berbagai keterbatasan Ada banyak tuntutan yang dialami oleh Ibu Tunggal. Salah satu tuntutan terbesar yang di alami oleh ibu tunggal adalah menjaga kebutuhan fisik, emosi dan kedisiplinan anak-anaknya sendirian (Knox & Schact, 2012 ). Berbagai hidup, sekolah dan kebutuhan mendesak lainnya. Ibu harus mengisi peran ayah yaitu pengarah, pelindung dan kepala bagi anak. Dan tetap menjadi ibu sebagai pengasuh, pemberi kehangatan dan pendengar bagi anak. Ibu bisa mengalami role

  

strain karena banyaknya peran yaitu: ibu bekerja, membersihkan rumah,

  menyiapkan makanan, mencuci baju, membayar tagihan-tagihan setiap bulan, dan memperhatikan kebutuhan emosional anak (DeGenova, 2008). Banyak keluarga pengasuhan tunggal menyelesaikan masalah dengan mendapatkan bantuan dari orangtua, teman, keluarga besar atau mencari pembantu rumah tangga.

  c.

  Kurangnya kebutuhan emosional Ada kebutuhan emosional ibu tunggal yang tidak bisa dipuaskan dengan anak mereka. Ibu tunggal membutuhkan tempat untuk berbagi tentang hidupnya

  (Knox & Schacht, 2010). Ibu tunggal mengalami tantangan yang berat dalam pengasuhan, ibu bisa mengalami kemarahan, kegagalan, self esteem yang rendah dan kesepian (DeGenova, 2008). Ibu tunggal membutuhkan tempat untuk berbagi cerita tentang hidupnya. Jika ibu tidak menemukan tempat untuk berbagi emosi, beban ibu akan semakin berat sebagai ibu tunggal. Beberapa ibu tunggal menyelesaikan masalah ini dengan koneksi kepada teman-temannya (Knox & Schact, 2010) d.

  Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan seksual Beberapa ibu tunggal yang memiliki pacar, memandang peran pengasuhan menganggu hubungan seksual. Hal ini akan menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhan seksual mereka karena ketiadaan pasangan. Di pemenuhan kebutuhan seksual, mereka takut anak mereka akan mengetahuinya dan merasa frustasi jika harus berkencan meninggalkan anak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya (Knox & Schact, 2010).

  e.

  Ketiadaan peran Ayah Konsekuensi lain dari anak-anak dengan ibu tunggal adalah mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan hubungan emosional yang suportif dengan ayah mereka (Knox & Schact, 2010). Ketiadaan ayah ini membuat ibu harus menggantikan peran ayah bagi anak-anak.

4. Karakteristik Ibu Tunggal yang Sukses

  Berdasarkan wawancara dengan ibu tunggal yang sukses ditemukan beberapa tema dalam hidup mereka(Olsen & Haynes, 1993 dalam ): a.

  Penerimaan dari tanggung jawab dan tantangan sebagai ibu tunggal Ibu tunggal yang sukses melihat diri mereka menjadi orang yang paling bertanggung jawab kepada keluarga. Mereka menetapkan diri untuk melakukan yang terbaik yang mereka bisa lakukan b.

  Pengasuhan menjadi prioritas utama Dalam menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, pengasuhan menjadi hal yang terutama. Hubungan yang romantic diseimbangkan dengan keutuhan c.

  Konsisten dalam disiplin Ibu tunggal yang sukses yang menyadari perkembangan anak membutuhkan disiplin. Mereka mengadopsi gaya otoritatif dalam disiplin dan menolong mereka dalam mengembangkan kemandirian.

  d.

  Menekankan pada komunikasi terbuka Mereka menghargai dan mendukung anak-anak untuk mengeluarkan perasaan dan ide-ide. Orangtua juga menunjukkan perasaan mereka kepada anak e.

  Mendukung individualitas dalam keluarga Anak-anak didukung untuk mengembangkan tujuan dan minat mereka, perbedaan diharga di keluarga tersebut f.

  Menghargai kebutuhan merawat diri Ibu tunggal meyadari bahwa mereka membutuhkan untuk diri mereka.

  Mereka menjaga kebebasan diri yang mereka capai melalui aktivitas lain seperti music, menaro, membaca dan lain-lain. g.

  Dedikasi kepada ritual dan tradisi Ibu tunggal sukses menjaga dan mengembangkan ritual-ritual dalam keluatga seperti membacakan cerita pada anak, doa keluarga atau meditasi, duduk bersama selama makan malam minimal semunggu sekali, piknik pada hari minggu, mengunjungi nenek atau menonton televisi bersama.

  D.

  

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

  Hastuti (2008) menyatakan pengasuhan dilakukan untuk memenuhi yang akan datang. Pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial emosi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pengasuhan umumnya dilakukan oleh ayah dan ibu sesuai dengan perannya masing-masing. Akan tetapi beberapa kejadian seperti perceraian dan kematian suami bisa membuat Ibu melakukan pengasuhan tunggal. Pada saat itu, Ibu yang menjalani pengasuhan tunggal bukan hanya menangani masalah rumah tangga tetapi juga coping terhadap perpisahan.

  Degenova (2008) mengungkapkan kondisi pengasuhan tunggal kerap membuat ibu tunggal mengalami tekanan yang besar, sebagian besar ibu tunggal akan mengalami kemarahan, kehilangan, kegagalan, self esteem yang rendah, kurang percaya diri, dan kesepian. James Lynch dalam Sarafino (2006) menyatakan sendirian atau patah hati adalah faktor resiko untuk penyakit jantung karena orang yang ditinggal kematian, perceraian dan tidak pernah menikah memiliki angka kematian yang tinggi dibanding pasangan menikah. Penelitian lain tentang Gambaran kesepian pada ibu tunggal yang dilakukan oleh Sinaga

  (2007) menunjukkan bahwa Ibu tunggal bercerai mengalami kesepian yang lebih dalam dibanding ibu tunggal akibat kematian pasangan. Hal ini disebabkan oleh pandangan masayarat dan stigma masyarakat akibat perceraiannya sehingga ibu mengalami isolasi sosial (Sinaga, 2007).

  Pengasuhan tunggal akan menambah beberapa tantangan dalam kehidupan ibu tunggal yaitu masalah finansial, tuntutan rumah tangga dan keterbatasan diri, kebutuhan emosional, seksual dan ketiadaan peran Ayah (Knox sebuah penelitian banyak ibu tunggal menyatakan finansial adalah masalah terbesar dalam hidup mereka (Zhan & Pandey dalam De Genova, 2008). Masalah ekonomi ini bisa berdampak negatif bagi anak seperti masalah figur Ayah dan pendidikan, contohnya menurut hasil penelitian, dibandingkan dengan keluarga lengkap, keluarga tunggal memiliki anak dengan nilai rendah pada konsep diri, pencapaian akademik dan kompetensi diri dan nilai tinggi pada masalah perilaku (De Genova, 2008).

  Walsh (2006) mengungkapkan Ibu yang gagal melakukan coping terhadap situasi ini akan merasa bersalah atas kondisi anaknya. Ibu yang menghadapi masalah terjebak dalam rasa bersalah dan kemarahan. Kondisi lain yang bisa muncul adalah depresi dan tidak bahagia. Ibu tidak dapat kembali seperti proses awal dan semula. Tetapi bagi individu yang berhasil melakukan coping dengan baik akan merasa bermakna. Seperti yang dinyatakan oleh Weinraub (2002) menjalankan pengasuhan sendirian adalah hal yang sulit, apalagi ketika yang di asuh adalah anak berkebutuhan khusus tetapi untuk beberapa ibu tunggal masalah-masalah tersebut bisa diatasi dan menjadi ibu tunggal yang sukses.

  Proses untuk kembali beradaptasi seperti semula disebut resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung dari kesukaran hidup. Walsh (2006) mengungkapkan ini adalah proses aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon tantangan. Hal ini menolong ibu tetap kuat dan bertahan meskipun ada banyak kesulitan dalam mengasuh anak sendirian. Ibu yang positif. Sesuai dengan pernyataan Walsh (2006) bahwa individu yang resilien percaya bahwa akan membuang waktu jika hanya menyesak dan mengobati luka, akan lebih baik jika melihat kembali apa yang sudah terjadi dan mencoba mengambil pelajaran.

  Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang- orang di sekitarnya. Nasution (2011) mengungkapkan dukungan sosial yang diterima ibu dari keluarga besar, kerabat dan lainnya dapat menjadi hal terpenting yang menolong mereka bertahan dalam menghadapi tekanan besar. Sementara individu yang kurang resilien merasa sulit berbagi mengenai pengalamannya dengan orang lain. Reiveich & Shatte (2002) menyatakan kurangnya dukungan orang lain lain akan menghambat penyembuhan. Dukungan sosial juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu seseorang ketahanan menghadapi stress.

  Lazarus dan Folkman mendefinisikannya dukungan sosial sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping.

  Ada banyak penelitian yang mendukung hubungan dukungan sosial dan resiliensi. Walsh (2006) menyatakan bahwa hasil banyak studi menunjukkan bahwa individu yang resilien akan lebih sering mencari dukungan sosial dibandingkan individu yang tidak resilien. Adanya hubungan postif dukungan sosial dan resiliensi memang sudah terbukti. Akan tetapi tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pasa stressful event.

  Berkman dalam Sarafino (2006) menyatakan dukungan sosial tidak menganggapnya sebagai dukungan. Penelitian yang telah dilakukan Lestari (2007) kepada penyintas pasca gempa di Desa Canan, Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten tentang bentuk dukungan sosial dan resiliensi menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial dengan tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan. Sedangkan, dukungan instrumental tidak memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi penyintas gempa sehingga semakin tinggi dukungan instrumental bukan berarti tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan akan semakin tinggi pula.

  Sarafino (2006) mengungkapkan hal ini bisa terjadi karena pertolongan tidak cukup atau kita tidak menginginkan bantuan atau karena terlalu putus asa untuk menyadarinya, saat kita tidak menganggap itu mendukung, itu tidak akan mengurangi stress kita. Alasan lain kenapa dukungan sosial tidak selalu menolong adalah karena tipe dukungan yang kita terima tidak cocok dengan tekanan yang kita terima (Sarafino, 2006).

  Carolyn Uctrona dan Dabiel Russel (dalam Sarafino 2008) menyatakan bentuk matching support yang disesuaikan dengan kebutuhuan. Dukungan instrumental adalah beberapa hal yang bernilai untuk stressful event yang bisa dikontrol, kita bisa mencapai tujuan atau menghindari situasi sebelum menjadi lebih sulit. Dukungan emosional adalah untuk masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan orang yang dikasihi, tetapi tipe dukungan bisa dibutuhkan, contohnya jika masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan pekerjaan,

  Pada ibu tunggal dukungan sosial (social support) memberi empat fungsi penting (Cutrona & Russell dalam Sarafino, 2006), yaitu (1) Emotional or esteem

  

support, menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian, berpandangan positif,

  dan memberikan dorongan atau semangat terhadap seseorang. Bagi seorang ibu tunggal dukungan seseorang yang menggantikan peran suami sebagai partner berbagi sangat penting, dengan dukungan emosional ibu tunggal bisa mengusir kesepian yang dialaminya sehingga ibu mengalami kepercayaan diri dan keberhargaan diri. (2) Tangible or instrumental support, melibatkan bantuan langsung, misalnya memberi atau meminjamkan uang kepada seseorang. Bantuan langsung berupa material dapat membantu ibu tunggal untuk mengatasi persoalan finansial yang dialaminya atau penawaran penjagaan anak (3)Informational

  

support, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau feedback mengenai

  apa yang sedang dilakukan seseorang. Banyak ibu tunggal yang mengalami kesulitan dalam beberapa masalah terutama pengasuhan anak dan pendisiplinan, adanya bantuan dalam bentuk informational tentang pengasuhan akan membantu ibu dalam perawatan anak. Bantuan informasional juga dibutuhkan oleh ibu tunggal yang tidak memiliki kapasitas dalam bekerja (4) Companionship support,

  

mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu

  bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan aktivitas sosial (Sarafino, 2006).

  E.Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas hipotesis pada penelitian ini adalah ada

  

companionship support, informational support dan instrumental support terhadap

resiliensi ibu tunggal.

Dokumen yang terkait

II.1 Sistem Informasi - Pengaruh Sistem Informasi Pelayanan Santunan Kecelakaan Terhadap Kepuasan Klaimen (Studi Pada Kantor PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara)

0 0 18

Pengaruh Sistem Informasi Pelayanan Santunan Kecelakaan Terhadap Kepuasan Klaimen (Studi Pada Kantor PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara)

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Strategi - Strategi Buruh Dalam Mempertahankan Hidup (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Strategi Buruh Dalam Mempertahankan Hidup (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasir silika - Pengaruh Kosentrasi Perekat Terhadap Permeabilitas dan Kuat Geser (Shear Strength) Pasir Cetak Dalam Industri Pengecoran Logam

0 0 31

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Perencanaan Kebutuhan Kapasitas Produksi di PT. Pusaka Prima Mandiri

0 0 28

BAB II GAMBARAN UMUM - Perananan Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Ujung Terhadap Masyarakat di Kecamatan Sidikalang (1994 – 2004)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN - Perananan Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Ujung Terhadap Masyarakat di Kecamatan Sidikalang (1994 – 2004)

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Eksperimental Kuat Lentur Pada Balok Beton Bertulang Dengan Perkuatan Baja Ringan Profil U Di Daerah Tarik

0 1 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perbankan Indonesia - Analisis Penawaran dan Permintaan Kredit Investasi di Indonesia

0 3 24