Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing

(1)

HUBUNGAN INDIVIDUALISME KOLEKTIVISME DENGAN TOLERANSI SOCIAL LOAFING

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SANTA VINENSIA SAMOSIR

091301055

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2013/2014


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2014

Santa Vinensia Samosir NIM 091301055


(3)

Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social loafing

Santa Vinensia Samosir dan Omar Khalifa Burhan

ABSTRAK

Di dalam penelitian ini, kami meneliti hubungan antara dimensi budaya individualism kolektivisme terhadap toleransi social loafing, yaitu sejauh mana individu bertahan dengan perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kolektivisme, baik itu kolektivisme horizontal, maupun kolektivisme vertikal, yang dimiliki individu tidak berhubungan dengan toleransi individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya. Toleransi individu terhadap social loafing justru diprediksikan oleh derajat individualisme horisontal dan vertikal yang dimiliki oleh individu, semakin tinggi derajat individualisme, baik yang bersifat vertikal, maupun yang horisontal; semakin individu mentolerir perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya.

Kata kunci : individualisme vertikal, individualisme horizontal, kolektivisme vertikal, kolektivisme horisontal, dan toleransi social loafing


(4)

The Relationship Between Individualism Collectivism With Tolerance of Social Loafing

Santa Vinensia Samosir dan Omar Khalifa Burhan

ABSTRACT

In this research, we examined the relationship between cultural dimensions of individualism collectivism against tolerance of social loafing. The results showed that the degree of collectivism, either horizontal collectivism, and vertical collectivism, which is owned by individuals not associated with individual tolerance against social loafing behavior of co-workers. Individual tolerance towards social loafing precisely predicted by the degree of horizontal and vertical individualism owned by individuals, if the degree of individualism, both vertical, or horizontal of individuals was high; individual tolerance to social loafing behavior would be high.

Keywords : vertikal individualism, horizontal individualism, vertical collectivism, horizontal collectivism, and tolerance of social loafing.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala kasih karunianya sehingga akhirnya skripsi yang berjudul “Hubungan Individualisme Kolektivisme Terhadap Toleransi Social loafing” ini dapat peneliti

selesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara.

Bagi kedua orang tua yang sangat peneliti kasihi yang menjadi alasan peneliti untuk selalu bersemangat dalam mendapatkan gelar ini. Bapak M. Samosir, bapak terhebat yang peneliti miliki dan Mamak N. Gultom mama terhebat yang selalu memberikan cinta yang luar biasa. Abang dan adik peneliti John Fredy Samosir, Kristover Samosir, Anju Febryna Samosir dan Sridevita Samosir yang peneliti sangat sayangi. Terimakasih buat semangat dan dukungan yang selalu diberikan. Bagi kalian ini semua kupersembahkan. Aku sangat menyayangi kalian.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Abang Omar Khalifa Burhan, M.Sc, selaku dosen pembimbing peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan masukan-masukan yang telah abang berikan kepada peneliti, terima kasih juga buat kesabaran abang selama membimbing saya ditengah semua kesibukan abang. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan abang.


(6)

3. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing akademik peneliti. Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya selama peneliti kuliah.

4. Buat dosen penguji peneliti Ibu Rika Eliana, M.Psi., psikolog dan Kak Ridhoi Meilona Purba, M.Si. Terima kasih karena Ibu dan telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji saya dan memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan Ibu dan Kakak.

5. Seluruh dosen dan staff di Fakultas Psikologi. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu berikan buat peneliti dan kesediaannya untuk membantu saya dalam mengurus masalah administrasi yang saya perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Responden penelitian peneliti atas kerjasamanya dalam penelitian ini. Terima kasih telah rela peneliti repotkan dan mau memberikan hati dan waktu untuk mengisi skala.

7. Buat pacar terbaik gendud Akhim Jan Fritz Sitio. Terimakasih sayang buat semua dukungan dan semangatnya. Yang gak capek-capeknya nanya perkembangan skripsiku. Menjadi sahabat peneliti dalam segala hal. Aku sangat menyayangimu.

8. Sahabat-sahabat peneliti, Chika, Kurnia, Windhika, Agiska, Ayu, Dameria, Kak Lenny, Bang Bildut, kak Vita, Bang Yustian dan semua anak Lukas yang selalu menambah pengetahuan peneliti dengan berbagi informasi, bertukar pikiran dengan peneliti, mendengar keluh kesah, dalam penyelesaian


(7)

penelitian ini. Terima kasih banyak sahabat-sahabatku buat semuanya. Tetaplah jadi sahabat terbaik.

9. Paduan Suara Gloria, keluarga baruku di perantauan ini. Terimakasih buat semuanya, buat kebersamaan dalam suka duka, dan terutama buat celaan-celaannya yang kadang sampai membuat peneliti kesal, tapi menjadi motivasi peneliti untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih.

10.Teman-teman sedoping Lili, Kak Nanda, Bang Pangeran dan Rani Ketaren. Teman-teman Psikologi stambuk 2009 abang kakak senior, terutama Holy Glora, bang Hitler dan kak Susi. Terima kasih atas semuanya.

11.Dan menutup semuanya, semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan namanya satu per satu.

Akhirnya peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat menambah wawasannya terutama di bidang Psikologi Sosial. Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan segala kerendahan hati, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Terima kasih.

Medan,


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Toleransi Social loafing ... 12

1. Definisi ... 12

2. Faktor-Faktor Yang Menentukan Toleransi Social loafing ... 15

B.Individualisme Kolektivisme ... 17

1. Individualisme ... 17

2. Klasifikasi Individualisme ... 18

3. Kolektivisme ... 19

4.Klasifikasi Kolektivisme……….. ... 20

5. Individualisme Kolektivisme dan kerja sama dalam kelompok……….. ... 21


(9)

1. Individualisme dan Toleransi Social loafing... 22

2. Kolektivisme dan Toleransi Social loafing ... 24

D. Hipotesa Penelitian ... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 26

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 26

B. Definisi Operasional ... 26

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 28

1. Populasi ... 28

2. Sampel ... 28

D. Metode Pengumpulan Data ... 29

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 30

1. Uji Validitas Alat Ukur ... 30

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 31

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 32

G. Uji Normalitas dan Uji Linieritas ... 32

H. Metode Analisis Data ... 33

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Analisis Data ... 34

1. Uji Asumsi ... 34

2. Kolektivisme Vertikal, Individualisme Vertikal dan Horisontal dan Toleransi Social loafing ... 35

C. Pembahasan ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan... 41

B. Saran ... 42

1. Saran Metodologis ... 42


(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Sebelum Uji Reliabilitas.... 33

Tabel 2. Blue Print Skala Toleransi Social loafing Sebelum Uji Reliabilitas ... 34

Tabel 3. Reliabilitas alat ukur ... 35

Tabel 4. Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Setelah Uji Reliabilitas ... 36

Tabel 5. Blue Print Skala Toleransi Social loafing Setelah Uji Reliabilitas ... 36

Tabel 6. Linieritas setiap variabel dengan toleransi social loafing ... 40


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Subjek Penelitian

Lampiran 2. Skala Penelitian Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas Lampiran 4. Hasil Uji Linieritas Lampiran 5. Hasil


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Cialdini, Kenrick, dan Neuberg (2010), manusia adalah makhluk sosial yang pada umumnya hidup dengan berkelompok. Sejak dahulu, leluhur kita telah lama menemukan bahwa peluang mereka untuk bertahan hidup meningkat secara dramatis ketika mereka mengelompokkan diri dengan orang lain. Dalam kelompok, mereka lebih mampu berburu, mengumpulkan, dan mengolah makanan, mereka lebih mampu membangun tempat penampungan, membela diri mereka sendiri, dan mereka memiliki orang lain untuk merawat mereka ketika mereka jatuh sakit. Dengan kata lain, manusia membentuk kelompok agar dapat bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah untuk bertahan hidup. Pola ini masih bertahan sampai sekarang, manusia masih saja bekerja sama di dalam kelompok dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada banyak domain kehidupan, bekerja sama di dalam kelompok berpotensi lebih efektif daripada bekerja secara individual, karena dua alasan sederhana. Pertama, „banyak tangan‟ berarti bahwa beban pekerjaan dapat didistribusikan ke „tangan-tangan‟ beberapa individu daripada „dipikul‟ seorang individu. Kedua, orang-orang dalam kelompok dapat membagi tugas mereka. Dengan beberapa orang dalam sebuah pekerjaan, orang yang berbeda dapat melakukan tugas yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Sehingga dengan kelompok, lebih memungkinkan suatu tujuan dapat tercapai


(14)

dengan lebih efektif dan efisien (Cialdini, Kenrick & Neuberg, 2010).

Hidup berkelompok seharusnya menguntungkan, namun para peneliti psikologi sosial telah menyadari bagaimana bekerja di dalam kelompok juga dapat memicu social loafing, yaitu suatu kondisi di mana individu mengurangi usaha dan upaya ketika bekerja dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Perilaku

social loafing menjadikan fungsi kelompok sebagai wadah kinerja yang efektif dan efisien justru menjadi hilang. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bagaimana kelompok yang terdiri atas pelaku

social loafing cenderung menghasilkan luaran atau produk yang lebih buruk daripada kelompok yang seluruh anggotanya berperan aktif dalam penyelesaian tugas (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Social loafing melahirkan konsekuensi negatif yang mempengaruhi tidak hanya kelompok secara keseluruhan, namun juga bagi individu yang melakukannya. Misalnya, selain menurunkan kinerja kelompok, pemalasan yang dilakukan oleh pelaku social loafing membuatnya kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan dan mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennett, 2003). Sebagai konsekuensi, pelaku social loafing justru menghambat perkembangan pribadinya.

Terkait dengan bahaya social loafing, para peneliti telah menemukan berbagai faktor yang berasosiasi atau menjadi penyebab individu melakukan

social loafing. Pada level individu, yang menjadi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap social loafing adalah interdependensi tugas, visibilitas tugas, keadilan prosedural, dan keadilan distributif; dan pada level kelompok adalah ukuran


(15)

kelompok, kohesivitas kelompok, dan social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompok (lihat Liden, Wayne, Jaworski, & Bennet, 2003). Ketika ukuran kelompok meningkat, anonimitas individu juga meningkat. Peningkatan anonimitas membuat lebih sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu Sadar atau tidak sadar, individu dapat menahan usaha ketika mereka melihat bahwa usaha yang dikeluarkan tidak akan mempengaruhi luaran (output) (Karau & Williams, 1993). Sejalan dengan ini, berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana individu dalam kelompok mengurangi usaha seiring dengan peningkatan jumlah anggota kelompok (Liden, dkk, 2003).

Selain itu, kohesivitas kelompok atau kelekatan antar anggota kelompok (Mudrack dalam Liden 2003), telah lama dikenal sebagai variabel penting sehubungan dengan social loafing. Jika individu tidak menyukai anggota yang lain dan tidak merasa kelekatan yang kuat, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing. Social loafing ditemukan hanya terjadi pada kelompok-kelompok yang tidak kohesif atau berkohesivitas rendah. Dalam kelompok-kelompok yang sangat kohesif, ketika bekerja dalam kelompok anggota akan bekerja keras sama seperti yang mereka lakukan ketika bekerja secara individual (Karau & Hart dalam Liden 2003).

Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa riset-riset mengenai sebab dan akibat social loafing adalah dari sisi social loafer dan kelompok pada umumnya. Sedangkan berdasarkan eksplorasi lebih lanjut, peneliti melihat bahwa korban social loafing selain dapat menjadi korban akibat perilaku social loafer, juga dapat menjadi penyebab social loafing. Dimana bagi pelaku social loafing


(16)

hal ini akan menjadi penguat (reinforcement) untuk melakukan perilaku social loafing di berbagai kesempatan. Sullivan (dalam Erwandi, 2004) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan kolektivisme merupakan orang-orang yang menomorsatukan hubungan dengan sesama daripada kepentingan-kepentingan pribadi. Individu kolektivis cenderung akan membiarkan terjadinya

social loafing. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sebagai berikut:

…kalau memilih teman satu kelompok dalam mengerjakan tugas

seringan sama teman dekat. Kalau tugasnya mudah, gapapalah kalo aku yang ngerjain sendiri. Yah, mungkin aku repeti dulu, tapi aku kerjai juga akhirnya. Namanya juga teman.

(Komunikasi personal, 2013) …Yaaaa, kan kalau sama teman dekat bisa lebih santai. Kalau

sama teman sendiri kan lebih ditolerir. Kalau aku gak bisa buat ya bisa dia yang ngerjain. Apalagi dia lebih pintar.

(Komunikasi personal, 2013)

Wawancara di atas menggambarkan bagaimana semakin tinggi keterikatan seseorang pada hubungan, semakin besar kemungkinan ia bersedia berkorban demi orang lain (Whitton, Stanley Markman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang memiliki derajat keterhubungan dengan orang lain yang tinggi (i.e., kolektivisme tinggi) merupakan orang-orang yang akan lebih mungkin menerima perilaku social loafing daripada orang-orang yang lebih merasa dirinya terpisah dari orang lain (i.e., individualisme tinggi).

Husain (2012) menyatakan bahwa individu pada masyarakat kolektif mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu kelompok yang bercirikan ketergantungan antara anggota kelompok dan pengorbanan kepentingan pribadi


(17)

demi kepentingan kelompok. Ini berarti bahwa individu dengan kolektivisme tinggi cenderung memiliki sikap melayani dan rela berkorban untuk kepentingan kelompok. Di mana kesuksesan kelompok ditempatkan di atas kesuksesan pribadi. Oleh karena itu, ketika ada anggota kelompok yang melakukan perilaku (e.g. social loafing) yang merugikan kelompok, individu tersebut akan rela memberikan usaha yang lebih untuk menutupi kekurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Selain itu, ikatan emosional yang kuat antar anggota kelompok, akan membuat individu rela memberikan pertolongan bagi individu lain yang melakukan social loafing. Hal tersebut, dilakukannya untuk menjaga hubungannya dengan anggota kelompok lain.

Namun disisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme tidak akan membiarkan anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing

(Schnake, 1991). Individu kolektif menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan dan seperti yang kita ketahui social loafing merupakan hal yang mengancam fungsi kelompok secara utuh, yang berdampak terhadap menurunnya produktivitas kelompok (Karau & Williams, 1993). Selain itu, hubungan yang terjalin antar anggota kelompok juga akan membuat individu peduli terhadap anggota kelompoknya. Individu tidak akan membiarkan anggota kelompoknya yang merupakan pelaku social loafing kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan mengalami penurunan kemampuan terkait dengan tugas yang dikerjakan (Welter dkk., 2002; Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Kepedulian individu yang menjunjung tinggi kolektivisme terhadap berbagai


(18)

konsekuensi social loafing akan membuat individu ini untuk menolak aksi social loafing di dalam kelompok.

Penolakan terhadap aksi social loafing juga dilakukan oleh individu dengan derajat individualisme yang tinggi. Ia akan memisahkan diri secara emosi dari kelompok di mana dirinya bernaung, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok, perilakunya ditentukan oleh sikap pribadi dan pertimbangan untung-rugi, dan mampu melakukan konfrontasi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuannya (Triandis, 1994). Ketika bekerja dalam kelompok, indvidu ini menginginkan dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga keberhasilan atau kegagalan kelompok akan dipandang sebagai kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand dalam Chrisnawati, 2007). Sehingga ketika terdapat perilaku

social loafing dalam kelompok akan membuat individu terganggu karena individu percaya perilaku tersebut akan menurunkan performa kelompok, yang berarti kegagalan pencapaian prestasinya. Kemampuan melakukan konfrontasi pada individu ini akan membuatnya mengkonfrontasi anggota kelompok yang melakukan social loafing, meskipun konfrontasi tersebut beresiko merusak hubungannya dengan anggota kelompok yang lain. Bagi individu yang berorientasi pada dimensi ini, tidak penting untuk membina hubungan dengan individu lain dan cenderung menjaga jarak dengan individu lain (Chrisnawati, 2007). Oleh karena itu, berdasarkan penalaran ini, individu yang memiliki orientasi individualisme besar kemungkinan akan menerima perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan kerjanya.


(19)

Namun di sisi lain, individu-individu yang individualis adalah individu yang tidak peduli dengan anggota kelompok (Piezon & Donaldson, 2005). Individu tidak akan berusaha untuk mengomentari kontribusi yang dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Individu hanya akan fokus pada tanggung jawabnya sendiri dan kepentingan personalnya. Jadi, selama social loafing tidak berkonsekuensi terhadap pencapaian pribadinya, individu yang individualis akan membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Bahkan, social loafing dapat dipandang oleh individu sebagai sarana untuk menunjukkan kehebatannya kepada anggota kelompok yang lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Sehingga individu kemungkinan akan menerima perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Dari penalaran di atas, dapat disimpulkan bahwa baik individualisme maupun kolektivisme memiliki peran terhadap terjadinya perilaku social loafing. Di satu sisi dapat menolak terjadinya perilaku social loafing, namun disisi lain dapat menerima ataupun membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan anggota kelompok. Berdasarkan penalaran diatas terlihat bahwa hal ini disebabkan oleh ke-tolerannya terhadap social loafing itu sendiri.

Chong (1994) mengungkapkan toleransi sebagai kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya. Konsep toleransi yang diungkapkan oleh Chong tersebut merupakan konsep yang diambil dari konsep toleransi menurut Allport dalam bukunya yang berjudul The Nature of Prejudice (1958). Menurut Allport, toleransi


(20)

tidak berlaku untuk hal-hal yang tidak disukai saja tetapi tepat juga untuk berbicara tentang toleransi terhadap sesuatu yang kita sukai (dalam Chong 1994). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia istilah toleran atau toleransi adalah sikap membiarkan atau membolehkan pandangan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau bertentangan dengan pendirian individu (Prawira, 2006). Adapun dalam penelitian ini, toleran yang diberikan adalah terhadap social loafing. Menggabungkan definisi toleransi dengan social loafing, peneliti menyebutkan bahwa toleransi social loafing adalah sikap individu untuk menerima atau membolehkan perilaku social loafing yang dilakukan anggota kelompok. Toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Dalam kamus Oxford Learner's Pocket Dictionary, perilaku permissive adalah sikap untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku. Dalam literatur psikologi sikap permissive sering dikaitkan dengan pola asuh yang terjadi dalam keluarga. Baumrid menjelaskan bahwa sikap permissive dalam pola asuh sebagai pola asuh yang cenderung memiliki kontrol yang sedikit terhadap perilaku anak, dan membiarkan anak melakukan apa saja (Santrock, 2002). Jadi pada dasarnya, permissive adalah sikap untuk membiarkan ataupun menyetujui perilaku yang dilakukan oleh individu lain. Dikaitkan dengan penelitian ini, pembiaran atau pembolehan perilaku social loafing yang merupakan bagian dari toleransi dapat juga diartikan sebagai permissive terhadap perilaku socialloafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Toleransi ini penting untuk diteliti karena toleransi yang tinggi terhadap perilaku social loafing memungkinkan kesempatan yang


(21)

lebih besar bagi para pelaku social loafing untuk mempertahankan perilakunya diberbagai kesempatan.

Dalam penelitian ini dengan pendekatan korelasional, peneliti berupaya untuk melihat bagaimana peran orientasi individualisme kolektivisme terhadap toleransi social loafing. Adapun alasan utama penelahaan aspek budaya ini peneliti lakukan berdasarkan asumsi bahwa individualisme-kolektivisme merupakan dimensi budaya yang mempengaruhi bagaimana individu bekerja dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok (Hofstede & Hofstede, 2005). B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang berarti terhadap kemajuan ilmu pengetahuan terutama yang termuat dalam ruang lingkup masalah, khususnya di bidang Psikologi Sosial yang menyangkut hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.


(22)

2. Manfaat Praktis

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi mahasiswa dan pihak-pihak yang terkait tentang hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi terhadap social loafing. Diharapkan individu dapat menyesuaikan diri ketika bekerja dalam kelompok sesuai dengan derajat individualisme kolektivisme yang dimilikinya.

2. Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman kepada para akademisi lainnya bahwa masalah toleransi

social loafing adalah masalah yang penting untuk diperhatikan sehingga dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai toleransi social loafing dan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi penting untuk penelitian selanjutnya.

E.Sistematika Penelitian

Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, urgensi penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sitematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari social loafing, toleransi


(23)

social loafing, individualisme kolektivisme dan hubungan antara individualismekolektivisme dengan toleransi social loafing.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh berdasarkan teori-teori individualisme kolektivisme dan teori-teori toleransi social loafing, maupun teori lain yang mendukung. Selain itu bagian ini juga memberikan saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan interpretasi data penelitian, serta memberikan inspirasi pada peneliti-peneliti lain.


(24)

BAB II LANDASAN TEORI

Penelitian ini akan membahas hubungan antara elemen faktor budaya individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih dahulu akan membahas tentang toleransi social loafing dan faktor penyebabnya. Kemudian peneliti lanjutkan dengan membahas tentang bagaimana individualisme kolektivisme dapat menjadi prediktor toleransi social loafing.

A.Toleransi social loafing

1. Definisi

Toleransi adalah kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya (Chong, 1994). Selanjutnya, toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Permissive adalah sikap untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku (Kamus Oxford Learner's Pocket Dictionary). Sebagaimana telah peneliti jelaskan sebelumnya, social loafing

adalah kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dikeluarkan individu ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual (Karau & Williams, 1993; Baron & Byrne, 2005). Pengurangan usaha ini biasanya terjadi ketika usaha individu tidak dapat dibedakan dengan usaha orang lain dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Sejalan dengan definisi para ahli tersebut, di dalam penelitian ini, social loafing peneliti definisikan sebagai kecenderungan individu untuk mengurangi usaha ketika bekerja di


(25)

dalam kelompok, khususnya ketika usaha yang diberikan individu tersebut tidak dapat dibedakan dengan usaha yang diberikan oleh individu lain.

Mengacu pada penalaran peneliti tentang defenisi toleransi dan social loafing diatas, peneliti mendefinisikan toleransi social loafing sebagai kemampuan individu untuk bertahan, menderita, menerima atau mengizinkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Social loafing merupakan tindakan yang dapat merugikan, baik itu bagi kelompok secara utuh maupun bagi anggota-anggota kelompok secara individual (Karau & Williams, 1993). Ketika seorang anggota kelompok menjadi pelaku

social loafing, pelaku tersebut mengurangi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya terkait dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan (Welter, Canale, Fiola, Sweeney & L‟armand,2002). Kurangnya partisipasi seorang pelaku social loafing juga dapat membuat ia mengalami penurunan kemampuan seiring dengan pengurangan usaha yang dilakukannya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Sedangkan bagi kelompok, social loafing

akan merugikan kelompok dan menghasilkan penurunan kinerja dan produktivitas kelompok secara keseluruhan (Schnake, 1991).

Berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, Sarwono (2005) menjelaskan penyebab individu melakukan social loafing sebagai berikut:

1. Individu ingin menumpang pada kesuksesan orang lain tanpa berbuat apa-apa (free riding). Sebagai anggota kelompok, seseorang seringkali berkeyakinan bahwa selalu ada anggota kelompok lainnya yang bersedia berupaya untuk mencapai sasaran kelompok, sehingga menjadikan upaya dirinya sendiri


(26)

menjadi tidak diperlukan atau tidak penting (Kidwell & Bannet, dalam Sarwono, 2005).

2. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas dan faktor intrinsik yang rendah (e.g. tugas tidak menarik, kurang bermakna, dan lain-lain:George, dalam Sarwono, 2005).

3. Individu tidak mau rajin jika anggota kelompok yang lain malas (sucker effect). Individu akan merasa rugi untuk memberikan kontribusi lebih terhadap kelompok. social loafing juga akan terjadi pada kondisi ini, walaupun tugas tersebut menarik. (Robbins, dalam Sarwono, 2005).

4. Pengambilalihan peran: kalau peran individu diambil alih oleh anggota kelompok lain, maka individu tersebut akan malas menjalankan perannya (Kerr & Stanfel, dalam Sarwono, 2005).

5. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis (Early, dalam Sarwono, 2005).

6. Tidak ada pembagian tanggung jawab (individu tidak diberi tanggung jawab tersendiri: Wagner, dalam Sarwono, 2005 ).

7. Tidak ada spesifikasi pekerjaan akan membuat perilaku social loafing semakin besar (Singh & Singh, dalam Sarwono 2005).

8. Tidak ada hadiah atau insentif, maka kemungkinan terjadinya social loafing


(27)

2. Faktor-faktor yang menentukan toleransi social loafing

Ada beberapa hal yang dapat membuat individu mentolerir social loafing, yaitu: (1) Persahabatan, (2) spesialisasi dan operasionalisasi kerja, (3) tingkat kesulitan tugas, (4) dan keinginan untuk berprestasi. Berikut adalah penjelasannya.

1. Persahabatan

Fehr (dalam Brehm, 2002), mendefinisikan persahabatan sebagai hubungan yang sifatnya personal dan suka rela, hubungan ini menyediakan keintiman dan bantuan (pertolongan) atas dasar satu pihak dengan yang lainnya saling menyukai. Berndt (2002) menyatakan sebuah persahabatan dengan kualitas yang tinggi ditandai dengan tingginya perilaku tolong-menolong, keakraban, perilaku positif lainnya; serta rendahnya tingkat konflik, persaingan dan perilaku negatif lainnya. Lebih jauh lagi dalam persahabatan, ketika terjadi konflik kepentingan, terdapat kecenderungan bagi pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan perngorbanan demi kebaikan hubungan persahabatan (Whitton, Stanley & Markman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Dikaitkan dengan toleransi social loafing, kelompok yang anggota-anggotanya terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan persahabatan akan saling bahu-membahu memberikan pertolongan kepada rekannya (atau rekan-rekan) yang kurang mampu melaksanakan tugas dengan baik. Ketidakmampuan mengerjakan tugas kemudian dapat menjadi alasan bagi anggota kelompok yang kurang mampu tersebut untuk melakukan social loafing dan pertolongan dengan


(28)

berdalih persahabatan membuat anggota-anggota kelompok lain menjadi lebih toleran terhadap pelaku social loafing. Dengan demikian, hubungan persahabatan dapat menjadi suatu faktor yang meningkatkan toleransi terhadap social loafing.

2. Spesialisasi dan operasionalisasi kerja

Sebuah kelompok terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian dan kompetensi yang saling melengkapi (De Janasz, Dowd, & Schneider, 2002). Kemampuan-kemampuan anggota kelompok yang berbeda di berbagai bidang dapat memicu seseorang mentolerir social loafing dengan alasan yang bersifat instrumental. Dalam mengerjakan tugas, anggota kelompok yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam bidang tertentu akan berusaha mengerjakan tugas yang menjadi bidangnya sendirian dan membiarkan anggota kelompok lain menjadi pelaku social loafing. Sebagai imbalan, individu tersebut akan menjadi pelaku social loafing ketika ada tugas lain yang bukan merupakan bidangnya.

3. Tingkat kesulitan tugas

Dalam sebuah penyelesaian tugas, tingkat kesulitan tugas berkontribusi terhadap toleransi social loafing. Ketika terdapat tugas yang sulit dan individu merasa tidak ada anggota kelompoknya yang mampu melakukan tugas tersebut, individu tersebut dapat merasa bertanggung jawab dan akan bekerja lebih keras untuk menutupi kekurangan dari anggota kelompoknya (Hart, Bridgett & Karau dalam Tavris & Wade,


(29)

2008). Hal ini akan membuat individu membiarkan anggota kelompok yang lain untuk melakukanpemalasan social.

4. Keinginan untuk berprestasi

Anggota kelompok yang ingin menunjukkan kemampuannya kepada anggota-anggota lain akan terdorong memberikan kontribusi lebih ketika bekerja di dalam kelompok. Ketika terdapat anggota kelompok yang melakukan social loafing, individu tidak akan merasa terganggu dan akan berusaha mengambil alih tanggung jawab rekan kerjanya. Dengan kata lain, tindakan social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompok justru dipandang oleh individu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di mata anggota kelompok lain. Terlebih lagi jika anggota kelompoknya merupakan orang baru dan belum pernah menyaksikan kebolehannya di masa lalu (Seta & Seta, dalam Sarwono, 2005).

B.Individualisme kolektivisme

Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam upaya memahami efek social loafing (Walsh, Gregory, Lake, & Gunawardena, 2003; Karau & Williams, 1993). Salah satu faktor budaya yang penting untuk dikaji adalah dimensi individualisme kolektivisme.

1. Individualisme

Hofstede (2005) mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. Masyarakat individualisme sangat menekankan kesadaran „aku‟ dan kemandirian yang ditandai oleh independensi emosi, inisiatif pribadi, privasi,


(30)

kesenangan bereksplorasi, kebutuhan akan relasi khusus. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma (Triandis, 1995).

2. Klasifikasi individualisme

Triandis (dalam Lee & Choi, 2005) menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu dengan individualisme horisontal ingin menjadi unik dan melakukan yang hal yang merupakan keinginannya sendiri, namun tidak melandaskan pada hierarki tertentu. Sedangkan orang-orang individualistis vertikal tidak hanya ingin melakukan hal yang mereka ingin ia lakukan sendiri tetapi juga berusaha untuk menjadi yang terbaik berdasarkan hierarki tertentu (e.g., rangking kelas, jabatan tinggi, gengsi, dll.). Daya saing sangat tinggi terdapat pada budaya individualistis vertikal.

a. Individualisme vertikal

Individu yang memiliki derajat vertikal individualisme tinggi merupakan individu yang independen dan otonom tetapi juga kompetitif dan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Vertikal Individualisme adalah pola budaya di mana individu-individu merasa otonom, unik dan berbeda dari orang lain, dan berusaha untuk mendapatkan posisi status yang tinggi.


(31)

Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu.

b. Individualisme horizontal

Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Mereka ingin menjadi unik dan berbeda dari kelompok di mana dirinya bernaung. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya. 3. Kolektivisme

Hofstede (2005) mengartikan kolektivisme sebagai tatanan sosial yang memiliki ikatan emosional antar individu yang kuat. Masyarakat kolektivisme sangat menekankan kesadaran „peneliti‟ dan identitas kolektif, yang ditandai oleh ketergantungan emosi, solidaritas, sharing, keputusan kelompok, kewajiban dan keharusan dan keinginan akan persahabatan yang stabil dan memuaskan. Selanjutnya Triandis (1995) mendefenisikan kolektivisme sebagai budaya yang menekankan bahwa individu saling tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, dan memprioritaskan tujuan-tujuan kelompoknya sebagai prioritas di atas tujuan-tujuan pribadi (Triandis, 1995). Dari definisi kolektivisme yang disebutkan para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan kolektivisme sebagai pola budaya di mana individu memiliki ikatan emosional antar individu yang sangat kuat, saling tergantung


(32)

dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, tujuan ingroup menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.

4. Klasifikasi kolektivisme

Triandis dan Gelfand (1998) juga membagi kolektivisme menjadi kolektivisme horisontal maupun vertikal.

a. Kolektivisme vertikal

Individu ini melihat diri sebagai bagian dari suatu kelompok dan bersedia menerima adanya hirarki dan ketimpangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam kolektivisme vertikal, individu menekankan integritas dalam kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi mereka demi sasaran dalam kelompok, dan dukungan untuk berkompetisi antar kelompok. Kolektivisme Vertikal adalah pola budaya di mana individu melihat diri sebagai bagian penting kelompok, tetapi anggota dalam kelompok berbeda satu sama lain, beberapa memiliki status lebih tinggi dari lain.

b. Kolektivisme horisontal

Individu ini memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok akan tetapi mereka memahami bahwa semua anggota kelompok setara. Individu horisontal kolektivisme melihat diri mereka mirip dengan dengan individu lain dan menekankan tujuan umum dengan orang lain, saling bergantung, dan bersosialisasi, namun mereka tidak mudah untuk tunduk pada otoritas. Kesetaraan merupakan inti dari pola ini.


(33)

5. Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok

Derajat individualisme kolektivisme yang dimiliki seorang individu mempengaruhi bagaimana ia memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Markus dan Kitayama (1991) mengemukakan individu di dalam masyarakat kolektif cenderung interdependent, sebagai konsekuensi, mereka memiliki ciri unik dalam bekerja di dalam kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kelompok; (2) merasa memiliki keterkaitan yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok lain, (3) menjunjung tinggi harmoni dan kerjasama di dalam kelompok, (4) mengkontekstualisasikan diri di dalam kelompok (e.g., mengetahui tugasnya di dalam kelompok), dan (5) menjungjung tinggi sistem hierarki sosial yang berjalan di dalam kelompok (Singelis, dkk; Oyserman & Coon dalam Fernandez, Paez, Gonzalez, 2005). Markus dan Kitayama (1991) juga mengemukakan bahwa individu di dalam masyarakat individualis cenderung

independent, yaitu suatu kecenderungan pribadi yang mengacu pada orientasi diri, menekankan kemandirian dan kontrol, mengejar tujuan individu dalam kelompok, dan budaya di mana orang mendapatkan kebanggaan dari prestasi mereka sendiri. Dalam lingkungan individualistis, orang termotivasi oleh kepentingan diri sendiri dan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ragu-ragu untuk berkontribusi pada tindakan kolektif, kecuali usaha mereka sendiri diakui, dan lebih memilih untuk mendapatkan keuntungan dari usaha orang lain.


(34)

C.Hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.

1. Individualisme dan toleransi social loafing

a. Individualisme vertikal dan toleransi social loafing

Sebagaimana telah peneliti jelaskan, individualisme vertikal adalah budaya yang menilai individu berdasarkan keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki atau status sosial yang didapatkan melalui kompetisi. Ketika bekerja dalam kelompok, individu yang tinggi dalam derajat dimensi ini menginginkan agar diri ia lebih baik daripada orang lain, keberhasilan atau kegagalan kelompok dipandang keberhasilan atau kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand, 1998). Di satu sisi, ketika ada perilaku social loafing dalam kelompoknya individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi dapat merasa terganggu, karena ia mempercayai bahwa perilaku social loafing akan menurunkan kinerja dan prestasi kelompok, yang berararti kegagalan bagi pencapaian prestasi pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi akan akan sulit mentolerir perilaku social loafing, karena kegagalan kelompok dapat ia internalisasikan sebagai kegalan pribadi. Namun, di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Ketika ada anggota kelompok yang melakukan social loafing, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ia justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk


(35)

menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.

b. Individualisme horisontal dan toleransi social loafing

Selanjutnya, budaya dimensi budaya individualisme horisontal menekankan pada keunikan masing-masing individu, dalam ranah kesetaraan sosial. Di satu sisi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan menolak social loafing yang dilakukan oleh rekan-rekan sekelompoknya, karena tindakan social loafing tersebut tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan (equality) pengalokasian sumber daya atau usaha setiap individu anggota kelompok terhadap kinerja kelompok (Soeboer, 2003). Jadi, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi akan memiliki toleransi yang rendah terhadap perilaku rekannya yang melakukan social loafing. Di sisi lain, individu dengan individualisme yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggota-anggota kelompoknya (Piezon & Donaldson, 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuat individu ini merasa terusik dengan pengurangan usaha yang dilakukan anggota kelompoknya. Penelitian bahkan menyebutkan bahwa individu yang berorientasi pada dimensi ini menjaga jarak dengan anggota kelompok lain (Chrisnawati, 2007). Jarak


(36)

ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing. 2. Kolektivisme dan toleransi social loafing

a. Kolektivisme vertikal dan toleransi social loafing

Budaya kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas. Individu dengan yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan menjunjung tinggi norma kelompok dan menempatkan kesuksesan kelompok di atas kesuksesan pribadi (Husain, 2012). Individu yang tinggi dalam dimensi budaya ini juga memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama dalam Soeboer, 2003). Pengorbanan merupakan aspek penting dalam pola ini (Triandis dalam Soeboer, 2003). Oleh karena itu, ketika anggota kelompoknya melakukan social loafing, melakukan, individu ini akan rela menggantikan anggota kelompoknya dalam proses pengerjaan tugas, karena ia percaya bahwa perilaku anggota kelompoknya akan memberikan dampak negatif bagi kesuksesan kelompok. Dengan kata lain, individu yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya.


(37)

Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa social loafing merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing, karena akan mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun (Schnake, 1991).

b. Kolektivisme horisontal dan toleransi social loafing

Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggota-anggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995). Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya (e.g. social loafing), individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut.

Di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini juga kemungkinan tidak dapat menerima perilaku social loafing yang dilakukan


(38)

anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan

social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal akan menolak social loafing dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004).

D.Hipotesa penelitian

Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi individualism kolektivisme yang telah peneliti paparkan, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara individualisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi dapat bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat individualisme vertikal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individulisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing


(39)

2. Ada hubungan antara individualisme horisontal dengan toleransi social loafing. di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat individualisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individualism horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing

menurun.

3. Ada hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertical yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.

4. Ada hubungan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi terhadap

social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian kuantitatif korelasional merupakan metode penelitian non-eksperimen untuk mengidentifikasi hubungan antara beberapa variabel (Howitt & Craer, 2011).

A.Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah atribut, karakter, objek, kejadian, situasi yang nilainya berbeda pada tiap orang dan dapat berubah (Field, 2009). Variabel menurut Suryabrata (2010) merupakan segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel bebas merupakan variabel yang dianggap menjadi penyebab suatu akibat, sedangkan variabel tergantung merupakan variabel yang dianggap akibat dari variabel bebas (Field, 2009).

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah: 1. Variabel

bebas

: a. Kolektivisme horisontal b. Kolektivisme vertikal c. Individualisme horisontal d. Individualisme vertikal 2. Variabel

terikat

: Toleransi social loafing

B.Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang melekatkan arti pada suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan yang perlu dilakukan


(41)

untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 1995). Definisi-definisi operasional variable-variabel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Toleransi social loafing

Sesuai dengan definisi yang peneliti ajukan sebelumnya, toleransi

social loafing adalah kemampuan individu untuk menerima dan bertahan dalam kondisi dimana terdapat pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota ketika bekerja dalam kelompok. Hal ini dapat dioperasionalisasikan dengan melakukan pengukuran dengan menggunakan skala toleransi social loafing, yang aitem-aitemnya merupakan pertanyaan-pernyataan tentang sejauh mana individu dapat menerima dan bertahan dengan perilaku social loafing

yang dilakukan oleh anggota (atau anggota-anggota) kelompoknya. Alat ukur sebagai bentuk dari operasionalisasi variabel peneliti jelaskan selanjutnya.

2. Individualisme kolektivisme

a. Individu memiliki orientasi individualisme vertikal jika individu merasa terpisah dari orang lain, dan mengakui perbedaan antar individu.

b. Individu memiliki orientasi individualisme horisontal jika individu merasa terpisah dari orang lain dan menganggap tidak ada perbedaan antar individu.

c. Individu memiliki orientasi kolektivisme vertikal jika individu merasa memiliki hubungan emosional yang kuat antar individu, dan menekankan perbedaan antar individu.


(42)

d. Individu memiliki orientasi kolektivisme horisontal jika individu merasa memiliki hubungan emosional yang kuat antar individu dan menganggap tidak ada perbedaan antar individu.

Alat ukur individualism kolektivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala individualisme kolektivisme yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi individu Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran individualisme kolektivisme ini, maka semakin tinggi derajat individualisme kolektivisme yang ia miliki.

Hal ini dapat dioperasionalisasikan dengan menggunakan alat ukur individualisme-kolektivisme berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Triandis 1995, di mana pernyataan-pernyataan dalam alat ukur tersebut sudah mengungkapkan keempat dimensi yang disebutkan di atas.

C.Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah sekumpulan individu yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari (Field, 2009). Ridwan dan Kuncoro (dalam Erlina, 2011) juga menyebutkan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dari segi objeknya, populasi dalam penelitian ini adalah derajat individualisme vertikal, individualisme horisontal, kolektivisme vertikal dan kolektivisme horisontal dengan toleransi


(43)

social loafing yang melekat pada subjek penelitian. Sedangkan dari segi subjek, populasi di dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Medan Area.

2. Sampel

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka sering kali peneliti mengumpulkan data dari sebagian dari populasi yang dikenal dengan istilah sampel (Field, 2009). Sampel merupakan bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik populasi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa incidental sampling adalah teknik pengambilan sampel non-probability di mana tidak semua populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan sampel, hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang dijadikan sampel penelitian. Hal ini digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mendapatkan sampel penelitian.

D.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengungkap suatu fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar, 2010). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah self report

berupa kuesioner. Self-report merupakan pengumpulan data yang mengandalkan laporan dari partisipan itu sendiri mengenai symptom, perilaku, kepercayaan, sikap atau variabel lainnya (Hadi, 2000).


(44)

Bentuk kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa tipe pilihan dengan metode rating atau lebih dikenal dengan penskalaan model Likert. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua buah skala yakni, skala individualisme

-kolektivismedan skala toleransi social loafing yang masing-masing menggunakan penskalaan model likert.

1. Skala individualisme kolektivisme

Alat ukur individualisme-kolektivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala individualisme kolektivisme yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi individu di Indonesia. Skala peneliti ciptakan dengan mererata aitem untuk membentuk skala individualisme kolektivisme yang merentang antara 1 sampai 4 (1 = rendah – 4 = tinggi). Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran individualisme kolektivisme ini, maka semakin tinggi derajat individualisme kolektivisme yang ia miliki.

Alat ukur ini terdiri dari 32 item. Di mana subjek diminta untuk memilih “STS” (sangat tidak setuju), “TS” (tidak setuju), “S” (setuju), atau “SS” (sangat setuju). Setiap aitem akan diberikan skor 1 = “STS”, 2 = “TS”, hingga 4= “SS”.

Jumlah aitem pada skala ini ada 32 aitem dan terbagi menjadi 4 dimensi, di mana individualisme horisontal memiliki 10 aitem. Individualisme vertikal memiliki 5 aitem. Kolektivisme horisontal memiliki 12 aitem. Kolektivisme vertikal terdiri atas 5 aitem.


(45)

Tabel 1: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Sebelum Uji Reliabilitas

Dimensi Aitem Jumlah

Individualisme Vertikal 17, 18, 19, 20, 35, 36 6 Individualisme

Horisontal

21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 37

13

Kolektivisme Vertikal 1, 7, 8, 9, 14, 42, 43 7 Kolektivisme Horisontal 2, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 12,

13, 15, 16, 27, 29, 38, 39, 40, 41

17

TOTAL 43

2. Skala Toleransi social loafing

Toleransi social loafing pada penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan defenisi yang dikembangkan oleh Chong pada tahun 1994. Skala ini memiliki 8 pernyataan dengan 4 poin skala likert yang akan mengarahkan responden untuk menentukan tingkat toleransi yang dimilikinya terhadap individu lain yang melakukan social loafing. Skala peneliti ciptakan dengan mererata aitem untuk membentuk skala kolektivisme vertikal yang merentang antara 1 sampai 4 (1 = toleransi social loafing rendah – 4 = toleransi social loafing tinggi). Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran toleransi social loafing ini, maka individu akan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perilaku social loafing. Dengan kata lain, semakin tinggi skor individu tersebut, semakin ia semakin menerima atau membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya.


(46)

Tabel 2: Blue Print Skala Toleransi Social loafing Sebelum Uji Reliabilitas

E.Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Alat Ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti apakah sebuah instrumen benar-benar mengukur apa yang hendak diukur (Field, 2009). Menurut Azwar (2010) validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu dapat mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi adalah sejauh mana aitem-aitem dalam alat ukur mencermikan ciri atribut yang akan diukur (Azwar, 2009). Peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan melakukan analisis rasional atau profesional judgement (Azwar, 2009). Dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Konsep reliabilitas mengacu pada apakah suatu instrumen dapat diinterpretasi secara konsisten di situasi yang berbeda-beda (Field, 2009). Uji reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi

Definisi Favorable Unfavorable Jumlah

Toleransi Social loafing

1, 2, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 15

3, 5, 6, 8, 12, 14


(47)

internal (Cronbach’s alpha coeffecient) dengan menggunakan metode penyajian tunggal (single-trial administration) yaitu menggunakan satu bentuk tes yang hanya dikenakan sekali pada satu kelompok subjek, karena hal ini dinilai sangat praktis dan memiliki efisiensi yang tinggi dibanding metode yang lainnya (Azwar, 2004). Hasil uji reliabilitas pada alat ukur disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Reliabilitas alat ukur

Alat ukur Koefisien alpha

- Toleransi social loafing .69 Individualisme Kolektivisme

- Individualisme Horisontal - Individualisme Vertikal - Kolektivisme Horisontal - Kolektivisme Vertikal

.77 .70 .78 .62

Tabel 4: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Setelah Uji Reliabilitas

Dimensi Aitem Jumlah

Individualisme Vertikal 13, 14, 15, 16, 27 5 Individualisme

Horisontal

17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26

10

Kolektivisme Vertikal 4, 5,11, 31, 32 5 Kolektivisme Horisontal 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 12,

28, 29, 30

12


(48)

Tabel 5: Blue Print Skala Toleransi Social loafing Setelah Uji Reliabilitas Favorable Unfavorable Jumlah

Toleransi

Social loafing

1, 2, 4, 7, 10, 11, 13, 15

- 8

F.Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis data.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan peneliti melakukan studi literatur untuk mengkaji teori dan menemukan cara untuk mengukur variabel yang akan diteliti. Peneliti ada menemukan alat ukur yang sudah sering dipakai pada penelitian-penelitian sebelumnya tetapi ada juga yang harus dibuat sendiri oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti menyediakan 8 aitem skala toleransi social loafing, dan 32 aitem skala individualisme-kolektivisme.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan memberikan alat ukur kepada 100 mahasiswa dari 2 universitas yaitu, Universitas Sumatera Utara dan Universitas Medan Area yang memenuhi karakteristik sampel. Dalam penyebaran alat ukur, peneliti langsung menjumpai partisipan penelitian dan meminta kesediaan untuk mengisi alat ukur. Selain itu, peneliti juga meminta bantuan dosen pembimbing dalam proses penyebaran alat ukur.


(49)

3. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data meliputi pengecekan data, penomoran, input skoring, dan diolah menggunakan bantuan SPSS version 20.0 for windows. G.Uji Normalitas dan Uji Linieritas

Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji linieritas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi penyebaran data dalam penelitian pada tiap variabel terdistribusi secara normal (Field, 2009). Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian masing-masing variabel penelitian terlah terdistribusi secara normal. Hal ini perlu dilakukan karena jika populasi dari sampel yang diambil tidak normal, maka tes statistik yang bergantung pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga kesimpulannya tidak berlaku (Kerlinger, 1995). Dalam penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan melihat deskripsi data. Nilai skewness dan kurtosis yang tidak melebihi 1.0 menunjukkan bahwa sebaran data bersifat normal (Field, 2009). Uji normalitas dalam penelitian ini mengunakan one sample Kolmogorov Smirnov dengan bantuan SPSS 20.0 for windows.

2. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang linier antar variabel (Field, 2009). Uji linieritas dilakukan dengan analisis


(50)

regresi sederhana yang melibatkan setiap variabel independen satu per satu sebagai prediktor tunggal toleransi social loafing.

H.Metode Analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik korelasi Regresi Berganda dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS for windows 20.0 version, karena peneliti Ingin melihat apakah ada hubungan antara individualisme-kolektivisme dengan toleransi social loafing dan melihat dimensi yang menjadi prediktor unik yang mempengaruhi toleransi social loafing.


(51)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian, dan pembahasan yang berkaitan dengan analisa data penelitian sesuai dengan masalah yang akan dijawab maupun analisa tambahan atas data yang ada.

A.Analisis Data

1. Gambaran umum partisipan penelitian

Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dan Universitas Medan Area. Sampel penelitian berjumlah 100 mahasiswa (44 orang dari USU dan 56 orang dari UMA) yang terdiri dari 91 perempuan dan 9 laki-laki. Sebagian besar partisipan merupakan mahasiswa baru yaitu angkatan 2012 dan 2013 yang sudah pernah bekerja dalam kelompok.

2. Uji asumsi

Untuk melakukan analisis regresi berganda, beberapa asumsi perlu dipenuhi terlebih dahulu, yaitu normalitas, linearitas dan multikolinieritas. Hasil dari pengujian normalitas menunjukkan bahwa data tidak tersebar normal dengan nilai skewness dan kurtosis yang hampir mendekati 1,00 bahkan ada yang melebihi 1,00. Sehingga dalam penelitian ini pengujian normalitas, peneliti menerapkan teknik bootstrapping (Hayes & Preacher, 2008), teknik ini merupakan suatu pendekatan alternatif jika peneliti ragu dapat memenuhi asumsi pada data mereka. Pengaplikasian teknik ini membuat uji normalitas menjadi tidak perlu lagi dilakukan. Untuk linearitas, sebelum melakukan


(52)

regresi berganda, peneliti melakukan analisis regresi sederhana yang melibatkan setiap variabel independen satu per satu sebagai prediktor tunggal toleransi social loafing. Perlu dicatat di sini, untuk menghindari permasalahan multikolinieritas, setiap variabel peneliti centered (lihat Hayes & Preacher, 2008), dengan mengkonversi setiap variabel menjadi z-score. Sebagaimana tergambarkan di Tabel 2, hasil pengujian linearitas menunjukkan bahwa kolektivisme vertikal, individualisme horisontal, dan individualisme vertikal memiliki hubungan yang bersifat linear dengan toleransi social loafing.

Sedangkan kolektivisme horizontal tidak memiliki hubungan linear yang signifikan dengan toleransi social loafing.

Tabel 6. Linieritas Setiap Variabel Dengan Toleransi Social Loafing

Df F R2 P

Kolektivisme

Horizontal 1, 98 5.022 .05 .068

Kolektivisme

Vertikal 1,98 5.404 .05 .023

Individualisme

Horisontal 1,98 8.289 .08 .011

Individualisme

Vertikal 1,98 6.271 .06 .026

Dari hasil uji asumsi linearitas, didapatkan bahwa variabel bebas yang secara mandiri (dianalisis sebagai satu-satunya prediktor toleransi terhadap

social loafing) berhubungan secara linier dengan toleransi social loafing adalah variabel kolektivisme vertikal, variabel individualisme vertikal dan variabel individualisme vertikal. Sedangkan variabel kolektivisme horisontal tidak berhubungan linear dengan toleransi social loafing yang berarti hipotesis yang


(53)

peneliti ajukan (Hipotesis 4) sudah ditolak hanya dengan melakukan uji asumsi linearitas. Selanjutnya, yang peneliti uji hanyalah variabel bebas yang berhubungan linear dengan variabel tergantung, yakni variabel kolektivisme vertikal, variabel individualisme vertikal dan variabel individualisme horisontal.

3. Hasil Utama Penelitian

Peneliti berhipotesis ada hubungan antara individualisme vertikal (Hipotesis 1), individualisme horisontal (Hipotesis 2), kolektivisme vertikal (Hipotesis 3), dan kolektivisme horisontal (Hipotesis 4) dengan toleransi social loafing. Hipotesis-hipotesis penelitian peneliti ujikan melalui analisis regresi berganda (multiple regression). Perlu dicatat, ketiadaan hubungan linear yang signifikan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi social loafing

membuat Hipotesis 4 secara otomatis ditolak. Dengan demikian, peneliti melanjutkan pengujian Hipotesis 1, 2, dan 3 saja. Hipotesis-hipotesis tersebut peneliti ujikan dengan menggunakan analisis regresi majemuk (multiple regression), di mana kolektivisme vertikal, individualisme vertikal, individualisme horisontal) peneliti masukkan sebagai prediktor toleransi social loafing, dengan seting sampel bootstrap sebanyak 20000.

Tabel 7: Uji Korelasi Dengan Menggunakan Analisa Regresi Berganda Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate


(54)

Hasil menunjukkan equasi yang signifikan, F(3, 96) = 5.72 , R2 = .15, p =.001. Hal ini menunjukkan bahwa peranan individualism (vertikal & horisontal) dan kolektivisme terhadap toleransi social loafing adalah sebesar 15,2 %, sedangkan sisanya yang sebesar 84,8 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan individualisme vertikal (B = .25, p = .047) dan individualisme horisontal (B = .28, p = .052) memiliki hubungan yang unik terhadap toleransi social loafing, sedangkan kolektivisme vertikal tidak (B = .23, p = .06).Dengan demikian, sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal, semakin tinggi pula toleransi individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3, derajat kolektivisme vertikal bukanlah determinan toleransi social loafing yang unik.

B.Pembahasan

Di dalam penelitian ini peneliti memeriksa peran individualisme kolektivisme, yang dapat berupa individualisme vertikal dan horisontal maupun kolektivisme vertikal dan horisontal terhadap toleransi social loafing. Sesuai dengan Hipotesis1 dan 2, individualisme vertikal dan individualisme horisontal berhubungan searah (positif) secara unik dengan toleransi social loafing. Ini berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu tersebut terhadap social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3 dan


(55)

4, kolektivisme vertikal dan horisontal tidak berhubungan secara unik dengan toleransi social loafing. Pembahasan terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu individualisme vertikal maupun horisontal berhubungan searah dengan toleransi social loafing, yang berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin individu tersebut dapat mentolerir perilaku social loafing. Hal ini sesuai dengan penalaran yang peneliti lakukan sebelumnya, bahwa individu yang berorientasi pada dimensi individualisme vertikal menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Triandis juga menyebutkan bahwa masyarakat dari budaya individualis lebih menonjolkan prinsip „aku‟ dalam berperilaku. Ketika ada anggota kelompok yang melakukan

social loafing, ia justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Demikian halnya, dengan individualisme horisontal. Individu dengan individualisme horisontal yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggota-anggota kelompoknya (Piezon & Donaldson, 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuat individu ini merasa terusik dengan pengurangan usaha yang dilakukan anggota kelompoknya. Penelitian terdahulu, bahkan menyebutkan bahwa individu yang berorientasi pada dimensi ini menjaga jarak dengan anggota kelompok lain (Chrisnawati, 2007). Jarak ini


(56)

membuat individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab anggota kelompoknya. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi justru memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing.

Untuk kolektivisme (baik itu vertikal dan horisontal), pada awalnya, peneliti menduga bahwa kedua variabel akan memiliki hubungan dengan toleransi

social loafing. Adapun dugaan ini berdasarkan penalaran bahwa kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas dimana individu memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama dalam Soeboer, 2003). Sedangkan budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya kesetaraan pada setiap individu dan menolak otoritas di dalam kelompok. Individu akan sangat memperhatikan hubungan atau relasinya dan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995; Ali, Lee, Hsich & Krishnan, dalam Dewantoro, 2012). Dari penalaran diatas peneliti menyimpulkan bahwa individu yang memiliki derajat kolektivisme baik vertikal maupun horisontal dalam dirinya akan memiliki sikap toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Bertolak belakang dengan penalaran yang peneliti lakukan, derajat kolektivisme vertikal individu tidak berhubungan dengan toleransi social loafing. Tidak adanya hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing dapat dijelaskan dengan menggunakan teori identitas sosial. Identitas


(57)

sosial adalah pengetahuan individu tentang keanggotaannya terhadap kelompok (atau kelompok-kelompok) tertentu (Tajfel & Turner, 1979). Identitas sosial juga merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang dibentuk berdasarkan afiliasinya dengan kelompok di mana dirinya bernaung (Hogg & Abrams, 2002). Individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan berperilaku sesuai dengan harapan-harapan dalam kelompok. Individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dan menjunjung tinggi kelompok sebagai bagian penting dari dirinya (Stephan, Ybarra, & Morrison, 2009). Identifikasi terhadap kelompok yang tinggi ini berdampak pada kerelaan individu untuk menjaga dan melindungi identitas kelompok (Branscombe, Ellemers, Spears, & Doosje, 1999; Ellemers, Kortekaas, & Ouwerkerk, 1999; Stephan & Renfro, 2002). Social loafing

merupakan ancaman yang dapat merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Oleh karena itu, untuk melindungi kelompok dari ancaman identitas, individu yang memiliki derajat kolektivisme tinggi akan cenderung mengusahakan agar anggota-anggota kelompoknya tidak melakukan social loafing (Schnake, 1991).

Selanjutnya, derajat kolektivisme horisontal individu tidak berhubungan dengan toleransi social loafing. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan social loafing akan kehilangan kesempatan


(1)

Lampiran 4: Hasil Uji Linieritas

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant) -1.018E-015 .000 .095 1.000 -.184 .188

Zscore(verticalindividu

alism) .204 -.009 .111 .065 -.034 .402

Zscore(horizontalcomu

nalism) .074 .004 .123 .550 -.153 .329

Zscore(verticalcomuna

lism) .167 -.001 .109 .124 -.063 .374

Zscore(horizontalindivi

dualism) .184 .002 .101 .073 -.017 .384


(2)

Lampiran 5: Hasil (Regresi Individualisme Vertikal, Individualisme Horisontal,

Kolektivisme Vertikal dengan Toleransi Pemalasan Sosial)

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .389a .152 .125 .93535641

a. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism), Zscore(verticalcomunalism), Zscore(horizontalindividualism)

b. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism), Zscore(horizontalindividualism), Zscore(verticalcomunalism)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 15.010 3 5.003 5.719 .001b

Residual 83.990 96 .875

Total 99.000 99

a. Dependent Variable: Zscore(tolerance)

b. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism), Zscore(verticalcomunalism), Zscore(horizontalindividualism)

c. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism), Zscore(horizontalindividualism), Zscore(verticalcomunalism)

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant)

-1.140E-015 -.002 .093 1.000 -.188 .195

Zscore(verticalcomun

alism) .193 -.001 .102 .060 -.026 .396

Zscore(horizontalindivi


(3)

Zscore(verticalindividu

alism) .215 -.004 .109 .047 -.017 .421

a. Unless otherwise noted, bootstrap results are based on 20000 bootstrap samples

1.

Hasil Uji Hipotesis 1: Regresi Individualisme Vertikal dengan Toleransi

Pemalasan Sosial

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .245a .060 .051 .97439902

a. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 5.954 1 5.954 6.271 .014b

Residual 93.046 98 .949

Total 99.000 99

a. Dependent Variable: Zscore(tolerance)

b. Predictors: (Constant), Zscore(verticalindividualism)

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant)

-3.192E-016 -.003 .097 1.000 -.193 .189

Zscore(verticalindividu

alism) .245 .000 .109 .026 .032 .464


(4)

2.

Hasil Uji Hipotesis 2: Regresi Individualisme Horisontal dengan

Toleransi Pemalasan Sosial

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .279a .078 .069 .96510452

a. Predictors: (Constant), Zscore(horizontalindividualism)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 7.720 1 7.720 8.289 .005b

Residual 91.280 98 .931

Total 99.000 99

a. Dependent Variable: Zscore(tolerance)

b. Predictors: (Constant), Zscore(horizontalindividualism)

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant)

-9.958E-016 -.003 .096 1.000 -.186 .186

Zscore(horizontalindivi

dualism) .279 -.003 .106 .011 .066 .480


(5)

3.

Hasil Uji Hipotesis 3: Regresi Kolektivisme Vertikal dengan Toleransi

Pemalasan Sosial

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .229a .052 .043 .97847413

a. Predictors: (Constant), Zscore(verticalcomunalism)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 5.174 1 5.174 5.404 .022b

Residual 93.826 98 .957

Total 99.000 99

a. Dependent Variable: Zscore(tolerance)

b. Predictors: (Constant), Zscore(verticalcomunalism)

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant)

-3.962E-016 .001 .098 1.000 -.187 .195

Zscore(verticalcomun

alism) .229 .001 .102 .023 .025 .430


(6)

4.

Hasil Uji Hipotesis 4: Regresi Kolektivisme Horisontal dengan Toleransi

Pemalasan Sosial

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

1 .279a .078 .069 .96510452

a. Predictors: (Constant), Zscore(horizontalindividualism)

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 7.720 1 7.720 8.289 .005b

Residual 91.280 98 .931

Total 99.000 99

a. Dependent Variable: Zscore(tolerance)

b. Predictors: (Constant), Zscore(horizontalindividualism)

Bootstrap for Coefficients

Model B Bootstrapa

Bias Std.

Error

Sig. (2-tailed)

95% Confidence Interval

Lower Upper

1

(Constant)

-9.958E-016 -.003 .096 1.000 -.186 .186

Zscore(horizontalindivi

dualism) .279 -.003 .106 .011 .066 .480