Kajian Linguistik Bahasa Bajawa Ngadha

Bentuk Interferensi dan Campur Kode dalam Bahasa Bajawa
serta Pengaruhnya
terhadap Praksis Berbahasa Suku Bangsa Ngadha

Mata Kuliah: Linguistik Umum

Oleh:
Stefanus Fua Tangi
NPM: 12.75.5202

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK
LEDALERO
2015

1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah masyarakat yang inklusif, kontak bahasa merupakan satu hal yang pasti.
Kontak bahasa itu kemudian memungkinkan terjadinya bilingualisme dan multilingualisme.
Dari sana, muncul beberapa kasus pemakaian bahasa seperti interferensi, integrasi, alih kode,

dan campur kode.1 Di satu sisi, hal ini bisa menjadi kesempatan yang baik untuk saling
memperkaya antara masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Namun di sisi lain,
bermacam-macam persoalan bahasa bisa saja timbul karena masing-masing kebudayaan tidak
memiliki kesamaan persepsi untuk menentukan sejauh mana kontak bahasa tersebut dapat
berterima.
Dari antara kasus-kasus pemakaian bahasa yang timbul akibat kontak bahasa,
interferensi dan campur kode merupakan fenomena umum yang sering terjadi di kalangan
masyarakat penutur bahasa Bajawa. Hal ini disebabkan karena adanya kontak bahasa antara
bahasa Bajawa sendiri sebagai bahasa ibu masyarakat penuturnya dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua (juga dengan bahasa daerah lainnya). Tak heran jika dalam tuturan
bahasa Bajawa sehari-hari, sering dijumpai masuknya unsur-unsur bahasa Indonesia
(umumnya berupa kata) dalam wujud interferensi dan campur kode. Kenyataan ini
menyajikan paradoks yang menarik; bahasa Indonesia menemukan ragam baru setelah
dipengaruhi bahasa Bajawa, sementara bahasa Bajawa menjadi semakin menyimpang dari
originalitasnya.
Paradoks yang muncul sebagai akibat kontak bahasa antara bahasa Bajawa dengan
bahasa Indonesia tadi sering kali kurang disadari keberadaannya. Masyarakat Ngada yang
umumnya bilingual begitu saja memakai bahasa daerah mereka tanpa berpikir soal untungrugi di balik hasil kontak bahasa tersebut. Akibatnya, ketika generasi berganti, originalitas
bahasa Bajawa pun perlahan-lahan memudar. Penggunaan bahasa Bajawa yang asli akhirnya
terbatas pada ritus-ritus adat belaka, tak lagi dipahami dengan baik oleh generasi masa kini

atau bahkan yang akan datang. Lantas sikap apa yang harus diambil: membiarkan bahasa
Indonesia semakin memperkaya khazanah bahasa Bajawa atau membatasi pengaruh bahasa
Indonesia terhadap bahasa Bajawa demi menjaga originalitasnya? Sikap bijak sangat
diperlukan berhadapan dengan pilihan-pilihan semacam ini.

1

Y. Orong, “Linguistik Umum”. (ms). Maumere: STFK Ledalero, 2014. hlm. 40.

2

1.2 Rumusan Masalah
Judul Tulisan ini yakni: “Bentuk Interferensi dan Campur Kode dalam Bahasa Bajawa
serta Pengaruhnya dalam Praksis Berbahasa Suku Bangsa Ngadha”. Tulisan ini hendak
menemukan akar masalah di balik fenomena interferensi dan campur kode dalam bahasa
Bajawa. Pertanyaan-pertanyaan inti yang hendak dijawab ialah: 1) bagaimana bentuk
interferensi dan campur kode dalam bahasa Bajawa?; 2) mengapa masyarakat Ngadha pada
umumnya gemar mencampuradukkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam tuturan
sehari-hari?; 3) apakah ada faktor tertentu yang menyebabkan hal itu terjadi?; 4) dapatkah
bahasa Bajawa tetap bertahan di tengah perkembangan zaman tanpa kehilangan

originalitasnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis mencoba menggunakan
pendekatan kajian fonologis (khususnya fonetik artikulatoris dan fonemis) terhadap bahasa
Bajawa untuk menemukan kekhasannya di antara bahasa-bahasa lain. Selanjutnya, guna
menjelaskan fenomena interferensi dan campur kode dalam bahasa Bajawa, pendekatan
teoretis yang memadai pun akan disertakan.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari tulisan ini yaitu menjawab pertanyaan inti pada rumusan masalah di
atas dari sudut pandang linguistik. Selain itu, tulisan ini pun hendak menemukan solusi etis
yang bisa dipakai untuk menjamin kelestarian bahasa Bajawa sebagai kekayaan budaya kita.
Lebih jauh, tulisan ini pun merupakan usaha awal untuk suatu proyek jangka panjang yakni
membuat kajian linguistik terhadap bahasa daerah Ngada dengan segala kekhasannya secara
komprehensif.
II. BAHASA BAJAWA: BAHASA DENGAN KEKHASANNYA
2.1 Mengenal Bahasa Suku Bangsa Ngadha
Suku bangsa Ngadha adalah sebutan untuk salah satu kelompok suku besar yang
mendiami wilayah Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka hidup dalam
suatu wilayah berkebudayaan khas dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: bagian Utara
dibatasi oleh daerah So’a, bagian Selatan dibatasi oleh Laut Sawu, bagian Timur dibatasi oleh
daerah Taka, dan bagian Barat dibatasi oleh daerah Waelengga. Seluruh wilayah yang didiami


3

suku bangsa Ngadha sebagai “kultur provinz”2 memiliki luas sekitar 900

km

2

(kilometer

persegi).3
Nama “Ngadha” (dilafalkan dengan nga’- dha) berasal dari nama “Repungadha” yang
merupakan nama ibu leluhur suku bangsa Ngadha. 4 Menurut legenda, ada seorang pria
bernama Jawa Mézé datang dari Jawa One5 bersama tujuh orang putranya (Ratu Jawa, Bima,
Jati Jawa, Todo, Dara, Sama, dan Faga) dan tujuh orang putrinya (Ngadha, Naru, Wato, Lodo,
Gisi, Siga, dan Rani). Jawa Mézé kemudian kembali ke Jawa One beserta ketujuh putranya,
sementara ketujuh putrinya tinggal menetap. Ngadha sebagai putri tertua diambil namanya
menjadi nama wilayah yang mereka diami tersebut. Keturunan Ngadha kini tersebar di
kampung adat Bajawa (terletak di sisi Barat kota Bajawa saat ini) dan kampung-kampung
sekitarnya. 6

Pada masa lalu, masyarakat Ngadha hidup berkelompok dalam ulu eko (satu kesatuan
wilayah adat yang dipimpin oleh seorang Mosalaki, terdiri atas beberapa kampung), nua
(“kampung”, terdiri atas beberapa suku), dan woe (“suku”). Di sekitar daerah kota Bajawa
sekarang, terdapat tujuh kampung yang dijuluki Nua Limazua, yaitu: Bhajawa, Bongiso,
Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo, dan Wakomenge. Nua Bhajawa (dilafalkan bha’-jawa)
merupakan kampung terbesar dan cukup berpengaruh dari antara ketujuh kampung tersebut.
Ketika pemerintahan kolonial Belanda menguasai sebagian besar wilayah Ngadha,
ditunjukklah mosalaki dari kampung terbesar itu untuk menjadi raja. Raja bertugas membantu
pemerintahan kolonial untuk menjamin ketertiban dan keamanan kegiatan pemerintahan serta
mengontrol pemungutan pajak dan kerja rodi. Kata Bhajawa kemudian diganti dengan
penyebutan yang lebih sederhana yakni Bajawa untuk mempermudah orang Belanda
melafalkannya. Maka tak heran bila nama Bajawa pun menjadi nama umum untuk

2
“Kultur Provinz” yakni suatu wilayah yang didiami oleh suatu suku bangsa ditinjau dari aspek historiskultural-antropologis. H. Muda, “Kepercayaan Orang Ngada akan Kehidupan sesudah Kematian menurut P.
Paulus Arndt, SVD”. Praskripsi. Maumere: STFK Ledalero, 1972. hlm. 6-9, mengutip P. Arndt,
“Gesellschaftliche Verhaltnisse der Ngada”. Studia Instituti Anthropos, vol. 8 (1954). p. 4.
3
Zakarias Kaju, “Pesta Reba Masyarakat Ngada dalam Perspektif Iman Katolik”. Praskripsi. Maumere:
STFK Ledalero, 1980. hlm. 2.

4
Paul Arndt, Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat (Ende: Penerbit
Nusa Indah, 2009). Hlm. 5.
5
Hingga kini letak Jawa One tidak diketahui pasti. Kemungkinan para leluhur orang Ngadha sempat
singgah di Pulau Jawa sebagaimana terungkap dalam ritus su’i uwi pada perayaan Reba (Pesta Tahun Baru Adat
Ngadha). Namun, tetap tidak ada petunjuk pasti bahwa leluhur orang Ngadha berasal dari Jawa. C. Dhogo, Su’i
Uwi;Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingan dengan Perayaan Ekaristi (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 8.
6
Ibid.

4

menyebutkan nama pusat pemerintahannya, nama suku bangsanya, hingga nama bahasa yang
digunakan.7
Bahasa Bajawa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa ini
kurang lebih terdiri atas 700-800 bahasa yang tersebar di Asia Tenggara, Taiwan, Mikronesia,
Polinesia, dan Madagaskar. Kemungkinan besar dulu pernah ada orang-orang berbahasa
Austronesia yang mendiami daerah pinggiran sungai di Cina Selatan dan Vietnam Utara pada
pertengahan milenium IV sebelum masehi. Mereka ini kemudian menyebar ke daerah-daerah

lain, termasuk wilayah Nusantara, dengan membawa bahasa yang mereka gunakan. Bahasa
tersebut lalu mengalami perkembangan selama ribuan tahun dan menjadi bahasa-bahasa yang
sekarang kita gunakan.8
Berdasarkan rekonstruksi kosa kata atas bahasa Austronesia awal, tampak bahwa
pendatang Austronesia pertama di Asia Tenggara kepulauan memanen padi, ubi jalar, talas,
sukun, pisang, kelapa, dan biji-bijian. Mereka juga beternak kerbau, babi, anjing, dan ayam.
Ciri utama kebudayaan masyarakat Austronesia antara lain mengayau dan mendirikan batu
besar (megalit) untuk keperluan ritual adat. Kesamaan unsur lain dalam kebudayaan
kebendaan adalah bentuk rumah adat, perahu layar bercadik, tembikar, tenunan, berbagai
perkakas zaman batu, dan lain sebagainya. 9 Semua hal yang telah dibahas di atas hendak
menunjukkan bagaimana bahasa Bajawa, yaitu bahasa suku bangsa Ngadha, sesungguhnya
telah melalui suatu proses panjang sebelum mendapatkan bentuknya yang khas saat ini.
2.2 Kajian Linguistik Bahasa Bajawa
Pada umumnya, bahasa-bahasa daerah di Flores tidak memiliki sistem tulisan.
Kemampuan berbicara dalam beberapa kebudayaan dianggap sebagai satu-satunya
manisfestasi bahasa yang telah berlangsung selama berabad-abad.10 Bahasa Bajawa yang khas
pun berkembang dalam paradigma ini. Akan tetapi dengan pendekatan linguistik, bahasa
Bajawa yang bersifat ujaran lisan tersebut dapat dijelaskan secara rasional.
Kajian Lingustik yang sesuai untuk menemukan kekhasan bahasa Bajawa ialah kajian
fonologis. Fonologi adalah bagian dari ilmu bahasa atau linguistik yang mempelajari,

menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Objek studi fonologi menurut
7
Secara etimologis kata Bajawa merupakan perpaduan antara kata bha (berarti “piring”) dan jawa (berarti
“perdamaian”, juga berarti “Tanah Jawa”). Dengan demikian, Bajawa berarti “piring perdamaian”. Bajawa
(kota) (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Bajawa_%28kota%29, diakses 12 Desember 2015).
8
”Arsitektur”, Indonesian Heritage, Jld. VI, Jakarta: Buku Antar Bangsa (Grolier International, Inc.), 2002,
hlm. 10.
9
Ibid.
10
R. H. Robins, Linguistik Umum; Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 96.

5

hierarki dibedakan atas fonetik dan fonemik. Fonetik berurusan dengan bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi bahasa tersebut berperan sebagai pembeda makna atau tidak.
Sedangkan fonemik mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut
sebagai pembeda makna.11 Berikut ini merupakan kajian fonologis terhadap bahasa Bajawa.
2.2.1 Bahasa Bajawa menurut Pendekatan Fonetik Artikulatoris

Fonetik artikulatoris merupakan bidang fonetik yang sesuai untuk menemukan
kekhasan bahasa Bajawa. Di dalamnya, dipelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara
manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu
diklasifikasikan.12 Bahasa Bajawa layaknya bahasa Indonesia memiliki bunyi (huruf) vokal
dan konsonan. Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan yang khas antara bahasa Bajawa
dan bahasa Indonesia.
A. Bunyi (huruf) Vokal
 Keenam huruf vokal (a, i, u, e, é, dan o) memang terdapat dalam bahasa Bajawa. Namun,
keunikan pengucapannya terdapat jelas dalam kata-kata yang diawali huruf vokal. Dalam
bahasa Indonesia, pengucapan vokal selalu dilakukan dengan terlebih dahulu merapatkan
pita suara (dalam kajian fonetik dinamakan bunyi bersuara 13). Semua kata bahasa Bajawa
yang diawali bunyi (huruf) vokal selalu diucapkan tanpa merapatkan pita suara
sebelumnya. Hal ini juga terdapat dalam pengucapan kata tertentu oleh suku bangsa lain
(contoh pengucapan kata “inang” untuk orang Sikka). Berikut ini contoh kata-kata bahasa
Bajawa dibandingkan dengan kata bahasa Indonesia yang berdekatan pengucapannya di
dalam kurung.
Contoh 1:
iné (in-duk) = ibu
azi (a-zab) = adik
uta (u-tuh) = sayur

ulu (u-lat) = kepala
ena (em-bung) = pasir


isé! (i-seng) = rasakan!
uza (u-zur) = hujan
éko (e-dan) = ekor
api (a-pik) = api
uju (u-jud) = pikul

Bahasa Bajawa pun memiliki kata-kata berdiftong (bervokal rangkap) seperti aé, au, éi,

ou, oé, dan ui. Perhatikan contoh berikut ini!
Contoh 2:
Waé = air
Bau = tidak mau
Séi = siapa
11
Y. Orong, op.cit., hlm. 60.
12

Ibid.
13
“Bunyi bersuara” atau penyuaraan/ voicing adalah bunyi yang dihasilkan dengan merapatkan pita suara
sehingga udara menggetarkannya secara teratur pada kecepatan yang berbeda-beda sewaktu udara itu memaksa
melewati pita suara tersebut. R.H.Robins, op.cit., hlm. 102.

6



Bhou = kerabat
Hui = daging
Moé = seperti
Kadang kala, kata tertentu yang memuat satu huruf vokal di dalamnya diucapkan dengan
tambahan bunyi yang beraspirasi dengan bunyi /h/ atau /c/ sebagai hasil kombinasi antara
bunyi vokal dengan bunyi konsonan. Huruf vokal amat memengaruhi terciptanya bunyi
baru. Perubahan bunyi ini disebut aspirasi14 yang berlaku hanya untuk klan tertentu saja

misalnya klan Wogo dan klan Toda. Perhatikan contoh berikut!
Contoh 3:
punu (memberitahukan) ----> [ uh ¿ artinya /u/ yang beraspirasi dengan /h/
pakar ----> [ ah ¿ artinya /a/ yang beraspirasi dengan /h/
pikir ----> [ ph ¿ artinya /p/ yang beraspirasi dengan /h/
tidak ----> [ t c ¿ artinya /t/ yang beraspirasi dengan /c/

Bahasa Indonesia
yang dipengaruhi
aspirasi

Bajawa---> [ j c ¿ artinya /j/ yang beraspirasi dengan /c/
Contoh 4:
Kami pergi nonton tivi.---> [ k h ami

ph ergi nonton t c ivi]

Jangan marah, lha! ---> [ j c angan marah, lha!]


Sebagian besar kata dalam bahasa Bajawa memuat konsonan ganda seperti bh, dh, ng,dan

gabungan dari dua konsonan ganda tersebut.
Contoh 5:
bh ----> bhado (tumpah), robha (pagi), bhaga (rumah adat wanita),dan bheté (diam)
dh ----> dhoma (biasa), dhu (hingga), dhépo (ikut), adha (adat)
gh ----> Jégho (nama orang), Magho (nama orang), rogho (kering), dan ghili (teman)
gabungan dari dua konsonan:
dh dan dh ----> dhédhé (lelah)
dh dan gh ----> dhégha (bermain)
gh dan gh ----> ghogho (gonggong)
 Ada pula kata-kata yang yang berbunyi konsonan apikodental 15 /d/ yang unik
(menyerupai /t/, diucapkan seperti kata “there” dalam bahasa Inggris), yang dalam sistem
transkripsi dilambangkan dengan [ ð ¿ seperti pada contoh berikut.
Contoh 6:
Dewa [ðéwa] = Tuhan dadi [ðaði] = lesu
wado [waðo] = pulang padu [paðu] = pepaya
dere [ðéré] = tunggu
bodu [boðu] = jatuh
Penutur bahasa Bajawa yang dalam ujaran lisannya tidak memenuhi kaidah ini dapat
dipastikan bukan orang Ngadha asli.
14
“Aspirasi” atau hembusan udara yang mengikuti pelepasan hambatan suara dengan atau tanpa afrikasi,
yaitu bunyi letupan suara yang dihasilkan lewat celah sempit pada mulut (mis. pengucapan kata church). R. H.
Robins, op.cit., hlm. 115-116.
15
Bunyi “apikodental” yaitu bunyi yang dihasilkan antara lidah dan gigi atas. J.W.M. Verhaar, Asas-Asas
Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 31.

7



Kata-kata yang memuat konsonan semivokal labiodental16 /w/ biasanya diucapkan dengan

aspirasi terhadap konsonan /v/.
Contoh 7:
Wolo Sasa [ w v olo sasa] = bukit Sasa
wawasan [ w v a w v a san]
 Ada lagi cara pengucapan yang khas dengan bunyi konsonan hamzah17 di antara dua bunyi
vokal untuk kata-kata tertentu sebagaimana terungkap dalam contoh berikut.
Contoh 8:
ta’a = menyalak
wo’o = masih
lu’i = cungkil
me’a = sendirian
gha’o = gendong
ne’e = dengan
ko’e = belum

sa’o = rumah

Secara garis besar, pendekatan fonetik artikulatoris telah membuktikan bahwa bahasa
Bajawa memiliki kekhasan yang jarang terdapat pada budaya lain. Bagi penutur bahasa lain
yang hendak belajar bahasa ini, kesulitan dalam mengucapkan kata tertentu pasti menjadi
masalah utama.
2.2.2 Bahasa Bajawa menurut Pendekatan Fonemis
 Dalam bahasa Bajawa, terdapat cukup banyak kata yang berkontras minimal (berpasangan
minimal). Umumnya kata-kata tersebut dapat dibedakan lewat fonem /ә/ seperti pada kata
“tenang“ dan fonem /é/ seperti pada kata “bebek“.
Contoh 9:
Déwa (Tuhan) × dewa (tendang)
dhéké (tikus) × dheké (naik)
pésu (beli) × pesu (kentut)
béka (piring anyaman) × beka (berkat)


Ada pula fonem lain yang berperan sebagai pembeda makna seperti: j, l, p, s, t, bh, gh, dan

sebagainya.
Contoh 10:
pine (tante) × ine (ibu)
pame (paman) × ame (bapak)
bhole (putar) × ghole (putar)
bhéka (pecah, retak) × bheka (lepas, membiarkan)
16
Konsonan “semivokal” adalah jenis konsonan yang memiliki artikulasi agak marginal (terletak di
perbatasan antara konsonan dan vokal). Contoh bunyi ini misalnya pada fonem /w/ atau /y/. Fonem /w/ disebut
secara khusus sebagai bunyi “labiodental” karena dihasilkan antara bibir bawah dengan gigi atas. Bdk. Ibid.
hlm. 40. dan R.H.Robins, op.cit. hlm. 119.
17
Bunyi “hamzah” yaitu bunyi yang dihasilkan lewat mekanisme penghambatan sementara pita suara yang
diikuti oleh pengeluaran udara setelahnya. Bunyi ini khas untuk sejumlah bahasa misalnya bahasa Arab.
R.H.Robins, op.cit, hlm. 102.

8

Dari sudut pandang fonemik, bahasa Bajawa ternyata tersusun atas banyak kata yang
berpasangan minimal. Konsekuensinya, bahasa ini menjadi tampak semakin rumit bagi
orang-orang yang mau mempelajarinya.
2.2.3 Fenomena Kontak Bahasa dalam Bahasa Bajawa
Bahasa Bajawa yang khas rupanya tidak luput dari pengaruh kontak bahasa. Dalam
percakapan sehari-hari, orang Ngadha yang menggunakan tuturan bahasa Bajawa, sering
memasukkan kata-kata bahasa Indonesia ke dalam percakapan mereka. Percakapan tersebut
dapat terjadi di mana saja seperti di rumah, di kebun, di gereja, di pasar, di jalan, dan
sebagainya. Sebagai akibat, bahasa Indonesia yang dituturkan oleh orang-orang berlatar
belakang budaya Ngadha pun menemukan ragam baru, yaitu bahasa Indonesia dialek Bajawa.
Fenomena kontak bahasa tersebut menghasilkan dua kasus umum yang sering terjadi yaitu:
interferensi dan campur kode.
Interferensi
Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang
digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang
digunakan itu. Interferensi terjadi karena ketidaktahuan penutur atau pengguna bahasa.
Interferensi bisa terjadi pada semua tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis, dan
leksikon.18 Dalam bahasa Bajawa, interferensi hanya dapat terjadi pada tataran fonologi,
sintaksis, dan leksikon. Patut juga diperhatikan bahwa untuk menemukan interferensi yang
dimaksud kita harus mengandaikan bahasa Bajawa dan bahasa Indonesia dialek Bajawa
sebagai satu kesatuan. Contoh interferensi fonologi akan tampak jelas apabila penutur bahasa
Bajawa mencoba mengucapkan kata bahasa Indonesia yang dibuka dengan fonem /j/, /p/, dan
/t/ (lihat contoh 3 di atas).
Interferensi pada tataran sintaksis ditandai dengan seringnya sintaksis bahasa daerah
diterjemahkan secara lurus ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh 11:
Mari kita pergi ke atas kios mereka Om Ande (Mai kita la’a pe zeta kios hoga om Ande).
Pola semacam ini paling banyak terjadi di kalangan para penutur bahasa Indonesia dialek
Bajawa.
Sedangkan interferensi pada tataran leksikon dapat ditemukan dalam contoh berikut:
Contoh 12:
Pemerentah bha’i biasa naka go ngawu masaraka (Pemerintah tidak biasa mencuri barang
milik masyarakat).
18

Y. Orong, op. cit., hlm. 41.

9

Jika diterjemahkan secara lurus dalam bahasa daerah, kalimat tadi akan berbunyi:
Pemerentah bha’i dhoma naka go ngawu kita ata.
Kata-kata yang digaris-bawahi di atas merupakan kata-kata dari bahasa Indonesia yang
dimasukkan ke dalam tuturan bahasa Bajawa dengan sedikit perubahan yang diperlukan.
Perubahan kata “pemerintah” menjadi pemerentah atau kata “masyarakat” menjadi masaraka
merupakan hasil dari kombinasi antara bahasa Indonesia dan kebiasaan bertutur dalam bahasa
daerah Bajawa yang berlangsung secara tak disengaja.
Campur Kode
Campur kode ialah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang
digunakan. Berbeda dari interferensi, campur kode diciptakan dengan sengaja oleh pengguna
bahasa.19 Fenomena campur kode di daerah Ngadha rupanya kerap dilakukan oleh penutur
bahasa Bajawa yang berasal dari suatu tradisi tutur yang berbeda.
Contoh 13:
“Ne’e dhéké da dheké pe zeta tolo lemari” (ada tikus naik ke atas lemari).
Bagi orang Ngadha asli, kalimat tadi tidak begitu sulit untuk diucapkan dengan fasih. Akan
tetapi bagi seorang wanita asal Timor (Dawan) yang bersuamikan orang Ngadha misalnya,
kemungkinan besar kalimat tadi akan diucapkannya:
“Ne’e deke da nae pe eta tolo lemari”.
Kita simak dalam kalimat baru ini muncul unsur-unsur baru yaitu deke yang menggantikan
dhéké, nae ( “naik”) yang menggantikan dheké, dan eta yang menggantikan zeta. Wanita asal
Timor tersebut kemungkinan besar mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata yang
telah digantikannya tadi. Hal ini disebabkan karena dalam bahasa Dawan, bahasa asli wanita
bersangkutan, tidak terdapat konsonan /dh/ atau /z/. Namun, bagi penutur asli bahasa Bajawa
sendiri, kalimat si wanita masih bisa dimengerti dengan baik.
Campur kode juga bisa terjadi pada penutur bahasa Bajawa yang berasal dari suku
bangsa dengan kemiripan bahasa terdekat, misalnya suku bangsa Nage atau suku bangsa Keo.
Kedua suku bangsa ini memiliki tradisi tutur tersendiri yang bagaimanapun juga berlainan
dengan suku bangsa Ngadha. Salah satu perbedaan itu misalnya terlihat lewat akumulasi
konsonan ganda dalam bahasa masing-masing. Dapat dipastikan bahwa bahasa Bajawa
memuat lebih banyak konsonan ganda tersebut dibanding suku-suku bangsa tetangganya. Hal
ini tentu berpengaruh langsung terhadap interaksi bahasa di antara suku-suku bangsa tersebut.
Sebagai akibat, orang Nage atau Keo yang tidak memiliki kata bha’i (“tidak”) dalam bahasa
daerahnya itu akhirnya menggantikan kata tersebut dengan kata mona yang artinya sama
19

Ibid., hlm. 42.

10

karena alasan praktis memudahkan pengucapan. Kata mona tersebut kini dipakai
berdampingan dengan kata bha’i dalam bahasa Bajawa untuk menegasi sesuatu.
2.2.4 Penilaian terhadap Fenomena Kontak Bahasa dan Konsekuensinya
Pada abad XIX, Wilhelm von Humboldt amat yakin bahwa ada ketergantungan antara
pemikiran dan bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Apabila salah seorang dari anggota masyarakat
ini ingin mengubah pandangan hidupnya, ia harus mempelajari dahulu satu bahasa lain. Teori
ini didukung pula oleh hipotesis Sapir-Whorf tentang bahasa yang memengaruhi
kebudayaan.20 Sekilas pandangan ini ada benarnya juga, terlebih jika suatu bahasa seperti
bahasa Bajawa yang khas dianggap sebagai pintu masuk berkenalan dengan suku bangsanya
yang memiliki aneka kekayaan budaya. Maka demi memperluas wawasan berpikir, kesulitan
macam apa pun dalam mempelajari bahasa lain bukanlah hal yang patut dicemaskan.
Akan tetapi teori yang lebih banyak diikuti orang ialah kebalikan dari hipotesis von
Humboldt dan Sapir-Whorf di atas. Kebanyakan antropolog yakin bahwa kebudayaanlah
yang memengaruhi bahasa.21 Berdasarkan paradigma ini, kita bisa menilai bahwa fenomena
interferensi dan campur kode dalam bahasa Bajawa jelas disebabkan oleh pertemuan bahasa
Bajawa dengan kebudayaan lain (misalnya bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya).
Karena pengaruh perkembangan zaman, orang Ngadha masa kini semakin mudah terlibat
kontak dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa yang lain; entah lewat hubungan
perkawinan (baik perkawinan “ke dalam” maupun perkawinan “ke luar”), perpindahan
penduduk, media komunikasi sosial, atau pun perkembangan pariwisata lokal. Dalam
dinamika sosial yang jamak seperti ini, orang Ngadha tentunya akan selalu memiliki
kemungkinan untuk dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan lain. Demikian pula orangorang dari kebudayaan lain akan terintegrasi ke dalam lingkungan budaya Ngadha lalu
menghasilkan aneka perpaduan sebagai kekayaan baru di antara budaya-budaya tersebut.
Tanpa kebudayaan lain, bahasa Bajawa akan tetap menjadi suatu bahasa yang eksklusif bagi
suku bangsa Ngadha saja.
Apakah hal ini lantas membahayakan originalitas dan kelestarian bahasa Bajawa
sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini ada pada tangan generasi penerus kebudayaan Ngadha.
Di tengah arus globalisasi sekarang, peran bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari
perlahan-lahan bergeser. Bahasa Bajawa asli tidak lagi digunakan secara meluas, tetapi
terbatas dalam ritus-ritus adat saja atau dianggap bahasa kaum tua. Dalam percakapan sehari20
21

A. Chaer, Psikolinguistik; Kajian Teoretik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 51.
Y. Orong, op. cit.,hlm. 46.

11

hari, bahasa Bajawa tidak lagi menjadi pilihan utama generasi muda. Mereka cenderung lebih
akrab dengan bahasa-bahasa gaul atau prokem22. Model bahasa ini muncul dalam berbagai
bentuk komunikasi yang selalu berhubungan dengan dunia kaum muda seperti dalam bahasa
percakapan sehari-hari, bahasa sinetron, bahasa SMS, bahasa di media-media sosial
(facebook, twitter, BBM, dan seterusnya), hingga bahasa karya-karya sastra masa kini (seperti
novel teenlit, cerpen, atau puisi).
Solusi etis yang dapat diperjuangkan ialah paradigma kembali kepada nilai-nilai
budaya yang asli. Tanpa kembali kepada yang asli, generasi penerus bakal kehilangan
identitas mereka yang sesungguhnya. Bahasa merupakan satu dari sekian banyak kekayaan
budaya asli yang perlu didalami guna menemukan hakikat kebudayaan yang pelan-pelan
tergerus zaman.
Sehubungan dengan ini, pandangan Paul Arndt dalam kajian antropologisnya patut
diperhatikan. Ia menulis:
Suku bangsa Ngadha memiliki dalam dirinya sesuatu yang keras dan kasar, yang masif,
dibandingkan dengan suku bangsa lain di Flores. Demikian ia berbeda dalam seluruh perilaku,
dalam bahasanya dengan ungkapan-ungkapan yang keras, dalam korban persembahannya yang
besar, dan dalam pesta-pesta persembahan seperti juga dalam doa-doa persembahan yang keras,
dalam keseniannya, dalam tatanan masyarakatnya, dan hukum pidananya. 23

Istilah “keras” atau “kasar” yang digunakan Arndt sama sekali jauh dari tendensi legitimasi
terhadap praktik kekerasan dalam budaya Ngadha. Kedua istilah tersebut mewakili aspek
originalitas yang membedakan suku bangsa Ngadha dengan suku bangsa lain. Originalitas ini
pun tampak dalam banyak hal, khususnya dalam bahasa daerah. Peranan bahasa Bajawa amat
sentral terutama dalam upacara-upacara adat yang dilestarikan oleh suku bangsa ini sampai
sekarang.
Ungkapan-ungkapan kuno dalam bahasa Bajawa berupa pepatah berisi nasihat sering
digaungkan kembali oleh tokoh-tokoh adat (yang jumlahnya semakin berkurang) pada
kesempatan berbagai macam upacara adat. Pepatah-pepatah adat yang lahir dari kearifan
lokal tersebut berfungsi mengungkapkan pesan-pesan kemanusiaan masa lampau yang cukup
kontekstual hingga saat ini. Umumnya, pepatah-pepatah adat itu tersusun atas kata-kata yang
sudah tidak digunakan lagi, sehingga untuk menterjemahkannya perlu “kepekaan terhadap
kearifan lokal dan nilai-nilai kemanusiaan”.
22
Bahasa “gaul” atau “prokem” adalah ragam bahasa para remaja atau kelompok masyarakat tertentu yang
ditandai dengan penggunaan kosa kata baru dan berubah-ubah dengan maksud agar kelompok lain tidak
memahami bahasa mereka. I Wayan Wisnawa, “Hegemoni Bahasa Gaul terhadap Bahasa Bali pada Syair-Syair
Lagu Bali di Kota Denpasar”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana, 2015, mengutip A. Haryanta, Kamus
Kebahasaan dan Kesusastraan, Surakarta: Aksara Sinergi Media, 2012.
23
P. Arndt, op. cit., hlm. 720.

12

Kita ambil contoh pepatah adat berikut ini: kolo setoko, aze setebu.24 Jika
diterjemahkan secara langsung, pepatah ini tidak dapat dipahami. Akan tetapi dengan terbiasa
untuk peka terhadap kearifan lokal dan nilai-nilai kemanusiaan, pepatah ini dapat diartikan
sebagai ajakan bagi kita agar “hidup rukun dalam kebersamaan”. Tugas untuk menemukan
kekayaan tersembunyi ini tentu perlu mendapat perhatian serius generasi muda Ngadha. Jika
ingin budaya Ngadha tetap eksis, generasi muda wajib mengetahui pesan-pesan moral para
leluhurnya lewat partisipasi yang konsisten dalam setiap upacara adat. Dengan ini, kaum
muda akan tergerak untuk semakin mencintai dan menjaga kelestarian kekayaan budayanya
sendiri di tengah perkembangan zaman.
Sampai kapan pun juga, bahasa Bajawa akan senantiasa menggambarkan
masyarakatnya yang khas karena mengalir dari kekayaan budaya yang khas pula. Bagi
generasi penerus pandangan ini patut dipertimbangkan untuk menilai persoalan kontak
bahasa dalam bahasa Bajawa secara tepat. Interferensi dan campur kode memang tak dapat
dihindari sebagai akibat langsung dari perjumpaan dengan kebudayaan lain. Namun patut
diperhatikan agar di tengah dinamika kebudayaan semacam fenomena kontak bahasa, kita
tetap tidak kehilangan akar kebudayaan yang asli. Selama kebudayaan Ngada yang khas
tersebut dipelihara, antara lain dengan melestarikan upacara Reba misalnya, bahasa Bajawa
akan tetap eksis tanpa kehilangan keasliannya.
III. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari tulisan ini terungkap dalam lima
gagasan berikut
1. bentuk interferensi dan campur kode dalam bahasa Bajawa tampil dengan cara yang
sangat khas dan hanya dapat kita temukan bila diandaikan bahwa bahasa Bajawa dan
dialek Bajawa merupakan satu kesatuan;
2. kebiasaan masyarakat Ngada mencampuradukkan bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia dalam percakapan sehari-hari terjadi karena adanya kontak bahasa, berupa
interferensi dan campur kode, dengan kebudayaan lain;
3. faktor yang memengaruhi kontak bahasa tersebut antara lain pertemuan antara
kebudayaan Ngada dengan kebudayaan lain misalnya lewat hubungan perkawinan,

24
”Kolo” merupakan bilahan bambu yang digunakan sebagai ukuran untuk mendirikan rumah adat
sedangkan “aze” yang berarti tali yang kadang kala digunakan pula sebagai alat ukur. Maka secara lurus pepatah
ini sebenarnya sukar diterjemahkan. Terjemahan yang paling mendekati kurang lebih berbunyi: memiliki sebilah
bambu dan seutas tali yang sama.

13

perpindahan penduduk, media komunikasi sosial, serta perkembangan pariwisata
lokal;
4. bahasa Bajawa dapat tetap bertahan di tengah perkembangan zaman tanpa kehilangan
originalitasnya, asalkan kebudayaan Ngadha yang khas dan kaya itu tetap dilestarikan.
Ini merupakan tugas sekaligus tantangan bagi generasi muda Ngadha. Mereka perlu
berusaha menemukan pesan-pesan moral leluhurnya di balik setiap upacara adat yang
sarat makna.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Arndt, P. Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan, dan Hukum Adat.
Ende: Penerbit Nusa Indah, 2009.
Chaer, A. Psikolinguistik; Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Robins, R. H. Linguistik Umum; Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2006.
MANUSKRIP
Muda, H. Kepercayaan Orang Ngada akan Kehidupan sesudah Kematian menurut P. Paulus
Arndt, SVD. Praskripsi. Maumere: STFK Ledalero, 1972. hlm. 6-9, mengutip P. Arndt,
“Gesellschaftliche Verhaltnisse der Ngada”. Studia Instituti Anthropos, vol. 8 (1954). p. 4.
Orong, Y. Linguistik Umum. (ms). Maumere: STFK Ledalero, 2014.
Zakarias Kaju, “Pesta Reba Masyarakat Ngada dalam Perspektif Iman Katolik”. Praskripsi.
Maumere: STFK Ledalero, 1980. hlm. 2.
TESIS
Wisnawa, I Wayan, “Hegemoni Bahasa Gaul terhadap Bahasa Bali pada Syair-Syair Lagu
Bali di Kota Denpasar”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana, 2015.
14

INTERNET
Bajawa (kota) (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Bajawa_%28kota%29, diakses 12
Desember 2015).

15