Kualitas Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper) Dengan Pengaruh Berbagai Ukuran Sortimen Dan Buku Bambu

TINJAUAN PUSTAKA Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

  Bambu betung (Dendrocalamus asper), memiliki nama-nama daerah diantaranya bambu betung coklat (Bengkulu), betung hijau (Lampung), buluh batung (Sumatera Utara) dan betung hitam (Banyuwangi). Berikut ini adalah klasifikasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper) : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotiledonae Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Dendrocalamus Spesies : Dendrocalamus asper (Kemenhut, 2012).

  Jenis bambu ini mempunyai rumpun yang agak sedikit rapat. Warna batang hijau kekuning-kuningan. Ukurannya lebih besar dan lebih tinggi dari jenis bambu yang lain. Tinggi batang mencapai 20 m dengan diameter batang sampai 20 cm. Ruas bambu betung cukup panjang dan tebal, dan panjangnya antara 40-60 cm. Jenis bambu ini dapat ditemui di dataran rendah sampai ketinggian 2.000 mdpl. Bambu ini akan tumbuh baik bilatanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering. Bambu betung sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya besar-besar serta ruasnya panjang. Dapat dimanfaatkan untuk saluran air, penampung air aren yang disadap, dinding rumah yang dianyam (gedek atau bilik) dan berbagai jenis barang kerajinan. Rebung bambu betung terkenal paling enak untuk disayur di antara jenis-jenis bambu lainnya (Kemenhut, 2012).

  Gambar 1. Bambu Betung (Dendrocalamus asper) Sumber : bambubos.com

  Dransfield dan Widjaja (1995) dalam Widnyana (2005) menyatakan bahwa bambu betung memiliki sifat yang keras dan baik untuk bahan bangunan.

  Perbanyakan bambu betung dilakukan dengan potongan batang atau cabangnya. Bambu betung adalah bambu yang kuat dan banyak digunakan untuk bahan bangunan rumah maupun jembatan. Bambu betung bisa dipanen pada umur 3-4 tahun dengan produksi sekitar 8 ton/ha. Kerapatan serat bambu betung adalah 0,8

  3

  g/cm

Bambu betung memiliki serabut kira-kira panjangnya 3,78 mm, diameter 19 μm, tebal lumen 7 μm, tebal dinding 6 μm. Sedangkan kadar air rata-rata 15%

  (76 di bagian bawah 36% dibagian atas), berat jenisnya 0,7. Pada waktu kering penyusutan arah radial sebesar 5-7% sedang penyusutan arah tangensial 3,5-5% (Dransfield dan Widjaya, 1995). Beliau juga menambahkan bahwa kandungan kimia bambu betung kira-kira holoselulosa 53%, pentosan 19%, lignin 25%, abu

  3%, kelarutan dalam air dingin 4,5%, kelarutan dalam air panas 6% dalam alcohol- benzene1% dan dalam 1% NaOH 22%.

  Widjaja (2001), menyatakan bahwa bambu betung sangat rentan pertama kali terhadap bubuk kayu kering serta rayap tanah, sementara itu daya tahannya tergantung dari kondisi cuaca dan lingkungan. Bila berada di udara terbuka dan diletakkan diatas tanah, bambu yang tidak terawatt dapat bertahan kurang dari 1-3 tahun, sedangkan dalam keadaan terlindung dapat bertahan 4-7 tahun, bahkan ada yang tahan hingga 10-15 tahun.

  Sekitar 75 genus dan 1.250 spesies bambu ditemui di seluruh dunia, sedangkan di Asia terdapat 14 genus dan 120 species (Mohamed, 1992). Bambu betungsebagai salah satu jenis dari genus Dendrocalamus, merupakan jenis bambu yang banyak dikenal karena berdiameter cukup besar bila dibandingkan dengan jenis bambu lain, sekitar 10

  • –18 cm, berdinding tebal, 11–18 mm (Othman, 1995) sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku tusuk gigi, sumpit, bahan kerajinan tangan, konstruksi bangunan seperti usuk, reng, bahan baku kertas dan bubur kertas, lantai dan dinding komposit. Rebung betung berukuran besar dan rasanya manis, berat rata-rata 0,8 kg per batang, nilai kalorinya lebih rendah dari cendawan dan asparagus (Mohamed, 1992).

  Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung

  Janssen (1980) telah meneliti bahwa berat jenis bambu betung bertambah besar dengan meningkatnya posisi ketinggian ruas pada batang. Pada ruas yang sama, kekuatan lentur (MOE dan MOR) bambu betung pada bagian tanpa buku lebih tinggi dibandingkan dengan buku. Pada ruas yang sama, nilai MOR pada posisi pengujian telentang (bagian kulit bambu di bawah) lebih kecil dibandingkan posisi telungkup (bagian kulit bambu di atas). Nilai MOE bertambah besar dengan semakin tinggi posisi ruas pada batang, sedangkan nilai MOR mengalami sedikit penurunan pada ujung batang.

  Menurut Yap (1967), bambu yang belum dewasa kehilangan air lebih cepat daripada bambu yang dewasa tapi membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengering lengkap karena kadar air pemuaiannya lebih tinggi. Buku

  • – buku mengandung ± 10% lebih sedikit air dari pada ruas-ruasnya.

  Berdasarkan hasil penelitian Cara Penentuan Kelas Kuat Acuan Bambu yang dilakukan oleh Oka (2005) bambu betung memiliki sifat fisis dan

  Betung

  mekanis sebagai berikut : Tabel 1. Kadar Air Bambu Betung

  

No. Kode Ukuran Penampang Volume Berat Kadar

3 Benda (cm ) Air uji Lebar Tinggi Panjang Awal Akhir (cm) (cm) (cm) (gram) (gram) (%)

  

1. FBP-1 2,027 0,871 2,325 4,1048 2,88 2,54 13,39

  

2. FBP-2 1,971 0,903 2,263 4,0277 2,87 2,56 12,11

  

3. FBP-3 1,927 1,091 2,290 4,8144 3,81 3,39 12,40

Rerata 12,63

  Tabel 2. Kerapatan Bambu Betung

  

No. Kode Ukuran Penampang Volume Berat Kerapatan

3 3 Benda (cm ) (gr/cm ) Lebar Tinggi Panjang Awal Akhir Uji (cm) (cm) (cm) (gram) (gram)

  1. FBP-1 1,827 0,771 2,125 2,993 2,96 2,42 0,808

  2. FBP-2 1,571 0,803 2,063 2,603 2,64 2,28 0,876

  3. FBP-3 1,627 0,901 2,090 3,064 3,12 2,36 0,770

  Rerata 0,818 Tabel 3. Hasil Pengujian Sifat Mekanis Bambu Betung

  No. Sifat Mekanika Benda Uji Tekan // Tekan Tarik // Geser // Lentur Elasrisitas ┴

  (F c ) (F c ) (F t ) (F v ) (F b ) (E w ) ┴

  (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) 1.

  50,11 45,11 421,44 8,06 110,79 15099,406 2. 41,80 46,74 409,51 6,98 98,38 11394,589 3. 58,06 61,33 375,58 7,83 177,23 14744,994 50,29 51,06 402,18 7,62 128,80 13746,330

  Janssen (1980) mengatakan bahwa keteguhan tekan batang bambu dipengaruhi oleh persentase sel-sel skelrenkim dan kadar air dalam batang.

  Sedangkan keteguhan lenturnya dipengaruhi oleh dalamnya batang dan ada tidaknya buku. Seperti yang dikemukakan oleh Limaye (1952) bahwa buku terhadap sifat kekuatan mekanis tertentu ada pengaruhnya. Nampak dari hasil percobaannya terhadap jenis bambu betung (Dendrocalamus asper) menunjukkan bahwa penempatan titik tengah pada buku menghasilkan keteguhan lentur statis yang lebih tinggi tetapi kekenyalannya lebih rendah jika dibandingkan dengan penempatan titik tengah beban tidak pada buku.

  Sifat Anatomi Bambu Betung

  Buluh bambu betung terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat, 10% sel penghubung (pembuluh dan sievetubes) (Dransfield dan Widjaja, 1995 dalam PPHH, 2000). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar, sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkinnya berkurang. Penyusutan radial lebih besar daripada penyusutan tangensial dengan perbandingan antara penyusutan radial dan tangensial adalah 7% berbanding 6%, penyusutan longitudinal tidak lebih dari 0,5%.

  Batang bambu terdiri atas bagian buku (node) dan bagian ruas (internode). Pada bagian ruas, orientasi sel semuanya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisam sklerenkim (Liese, 1980).

  Haygreen and Bowyer (1982) mengemukakan bahwa kekuatan lentur kayu utuh dan produk dasar kayu biasanya dinyatakan dalam modulus patah MOR : (Modulus of Rupture). Modulus patah merupakan hasil dari beban yang dihitung berdasarkan beban maksimum (beban pada saat patah) dalam uji keteguhan lentur.

  Seperti halnya kayu, bambu juga memiliki sifat kekakuan (Stiffness) yaitu sifat yang memungkinkan untuk tahan terhadap perubahan bentuk. Sifat ini dinyatakan dalam MOE (Modulus of Elasticity) yang merupakan rasio dari unit tegangan dibagi unit perubahan bentuk (Parker and Ambrose, 1986).

  Sedangkan menurut Yap (1967), bambu mempunyai kekuatan tarik sejajar

  2

  2

  serat 1.000 , keteguhan lentur 250 dan kelenturannya

  • –4.000 kg/cm –1.000 kg/cm

  2

  100.000 . Kelenturan batang bagian luar lebih besar daripada

  • –300.000 kg/cm bagian dalam demikian juga dengan bagian ruas lebih besar daripada bagian buku.

  Kandungan Kimia Bambu Betung

  Menurut Manuhuwa dan Loiwatu (2007) kandungan holoselulosa (73,63%), lignin (27,37%) dan tebal dinding sel serat (0,90 mikron) bambu betung lebih banyak dari bambu sero (71,96%; 26,18%; 0,80 mikron) dan bambu tui (72,77%; 26,05%; 0,77 mikron). Sementara Gusmailina dan Sumadiwangsa

  (1988) dalam Widnyana (2001) menambahkan kadar lignin bambu berkisar antara 19,8%-26,6%.

  Buku Bambu (node)

  Liese (1980) dalam Adha (2004) menyatakan bahwa batang bambu terdiri atas bagian buku (node) dan bagian ruas (internode). Pada bagian ruas, orientasi sel semuanya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisan sklerenkim.

  Subyakto dan Sudjono (1994) dalam Nuryadi (1995) menyatakan bahwa berat jenis bambu betung bertambah besar dengan meningkatnya posisi ketinggian ruas pada batang. Pada ruas yang sama, kekuatan lentur (MOE dan MOR) bambu betung pada bagian tanpa buku lebih tinggi dibandingkan dengan buku. Pada ruas yang sama, nilai MOR pada posisi pengujian telentang (bagian kulit bambu dibawah) lebih kecil dibandingkan posisi telungkup (bagian kulit bambu di atas).

  Nilai MOE bertambah besar dengan semakin tinggi posisi ruas pada batang, Sedangkan nilai MOR mengalami sedikit penurunan pada ujung batang.

  Perekat PVAc (Polivinil asetat)

  Perekat polivinil asetat diperoleh dari polimerisasi vinil acetate dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan dalam proses produksi adalah polimeriasai emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalis ionik, sedang untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metode katalis, termasuk katalis redox, atau aktifasi dengan cahaya. Secara garis besar reaksinya ada tiga tahap, yaitu permulaan, pertumbuhan polimer dan terminasi (Ruhendi dan Hadi, 1997).

  Pembuatan balok laminasi mutlak memerlukan perekat sebagai bahanpengikatbagiankayu lamina yang satu dengan yang lainnya. Menurut Manik (1997), perekat digunakan untuk merekatkan lapisan antar papan dengan papan sehingga terjadi pertemuan antara serat kayu dengan perekat yang membentuk satu ke satuan konstruksi yang lebih kaku dan kuat..

  Kelebihan polivinil asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya Tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu serta tekanan kempanya rendah. Kekurangan polivinil asetat yaitu sangat sensitif terhadap air sehingga penggunaannya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta visco elastisitasnya tidak baik (Ruhendi, dkk, 2007).

  Teknologi Laminasi

  Teknologi laminasi adalah teknik penggabungan bahan dengan bantuan perekat, bahan bangunan berukuran kecil dapat direkatkan membentuk komponen bahan sesuai keperluan. Teknik laminasi juga merupakan cara penggabungan bahan baku yang tidak seragam atau dari berbagai kualitas (Prayitno, 1996).

  Sebagai contoh kayu yang berkualitas rendah digabungkan dengan kayu berkualitas tinggi disesuaikan dengan distribusi gaya beban yang akan diterima oleh produk tersebut. Dengan demikian teknik laminasi merupakan teknik penggabungan bahan yang sangat efisien untuk menghasilkan produk bahan bangunan yang efektif. Akhirnya teknik laminasi mampu menggunakan semua bahan baku yang ada untuk tujuan penggunaan yang lebih besar sehingga mampu mendukung program pemerintah untuk memberi waktu kepada hutan untuk bernafas kembali dan berubah menjadi hutan yang ideal kembali. Dengan kata lain teknik laminasi mampu mendukung konservasi hutan atau kelestarian hutan yang diinginkan masyarakat Indonesia maupun internasional.

  Gunawan (2007) menyatakan bahwa produk laminasi pada umumnya menghasilkan produk bahan bangunan dengan sifat-sifat sebagai berikut: a)

  Bentuk seragam pada bidang tertentu sesuai dengan tujuan pembuatannya dan mempunyai kekuatan tinggi .Hal ini lebih baik dibandingkan kayu utuh atau bambu utuh yang selalu dipengaruhi oleh posisi aksial dan radial batang.

  b) Deformasi akan lebih sedikit karena setiap komponen laminasi akan menerima beban sesuai dengan kemampuannya. Defleksi produk dapat diatur dalam desain struktur bangunan.

  c) Mutu produk laminasi dapat diatur dengan mutu lapisan lamina yang digunakan sehingga mampu menghasilkan laminasi yang sesuai dengan tuntutan dan efisien.

  d) Cacat bahan pada laminasi dapat dihilangkan karena titik lemah tersebut diatur kembali sehingga tidak menampakkan pengaruh yang signifikan.

  e)

Bentuk laminasi dapat dibuat sesuai selera pengguna seperti balok laminasi lurus, melengkung atau kubah, trapezium dan bentuk lain

  Dalam penelitiannya, Gunawan (2007) juga menjelaskan bahwa disebabkan ukuran bahan baku laminasi jauh lebih kecil daripada dimensi bahan bangunan yang dikehendaki maka banyak faktor yang harus diteliti dalam pembuatan laminasi yaitu sebagai berikut : a) Jenis perekat yang digunakan dalam laminasi.

  b) Banyaknya perekat yang digunakan untuk penggabungan.

  c) Jenis bambu yang digunakan dalam laminasi

  d) Ukuran bilah bambu berupa galar atau bilah yang digunakan dalam laminasi.

  e) Jenis dan posisi sambungan yang dipakai dalam penyambungan laminasi.

  f) Ukuran bahan bangunan dengan titik lemah (kegagalan) lentur atau geser merupakan kelemahan balok laminasi (Gunawan, 2007).

  Laminasi Bambu

  Balok laminasi adalah balok yang dibuat dari lapis-lapis papan yang diberi perekat secara bersama-sama pada arah serat yang sama. Balok laminasi memiliki ketebalan maksimum yang diizinkan sebesar 50 mm. Dengan mengikuti konsep tersebut di atas, laminasi diperoleh dari pengolahan batang yang dimulai dari pemotongan, perekatan dan pengempaan sampai diperoleh bentuk lamina dengan ketebalan yang diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak berbeda jauh dengan sifat batang kayu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya ruas yang ada pada satu batang tersebut dan banyaknya perekat yang digunakan (Widjaja, 1995).

  Breyer (1988), memaparkan ketebalan maksimum laminasi kayu satu lapis adalah 50 mm (2 in) dan tebal nominal kayu laminasi yang biasa dibuat adalah 25- 50 mm (1-2 in). Sedangkan Budi (2007) menyatakan bahwa proses laminasi dan penyambungan sangat terkait dengan proses perekatan. Dalam proses perekatan bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil perekatan, yaitu aspek bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan aspek teknologi perekatan. Aspek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan anatomi bambu (susunan sel, arah serat) dan sifat fisika (kerapatan, kadar air, kembang susut dan porositas). Aspek perekatan meliputi jenis, sifat dan kegunaan perekat.

  Aspek teknologi perekatan meliputikomposisi perekat, berat laburan, pengempaan dan kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan).

  Menurut Manik (1997) bahwa untuk menghasilkan suatu balok kayu laminasi yang memenuhi standar struktur pada proses perancangan juga harus memperhatikan proses pengempaan. Proses pengempaan ini ditujukan untuk menghasilkan garis perekat setipis mungkin, bahkan mendekati ketebalan molekul bahan perekat karena kekuatan meningkat seiring berkurangnya tebal garis rekatan. Dan Anshari (1996) menyatakan bahwa pengempaan yang terlalu rendah menyebabkan cacat perekatan, seperti melepuh, perekat tebal dan pecah muka.

  Pengempaan terlampau tinggi juga menyebabkan terjadi cacat perekatan seperti kurang perekat atau tembus akibat penetrasi berlebih. Pemberian tekanan pengempaan yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan perekatan yang berupa proses keluarnya perekat yang berlebihan (starved glue

  

line ) dan rusaknya lapisan permukaan vinir secara mekanis sehingga menurunkan

kekuatan perekatan yang dihasilkan (Widjaja, 1995).