BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan,

   karena itu penerapan asas legalitas secara kaku sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

  Selain itu, perlakuan diskriminasi terhadap pencari keadilan, juga semakin kasat mata dengan berbagai pertimbangan latar belakang sosial dan politik serta kedudukan seseorang dalam strata sosialnya. Konsekuensinya, pedang keadilan hanya tajam ke

  

  bawah, akan tetapi tumpul ke atas. Oleh karena itu, asas legalitas perlu segera

1 Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of

  

legality ”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Di

Indonesia ketentuan asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari

kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” P.A.F. Lamintang dan C.

Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat

dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah

diadakan lebih dulu”. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia,

Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada

suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-

undangan pidana yang mendahuluinya”. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta,

2005, hal. 41 dan Andi Hamzah, Naskah Akademik RUU-KUHAP, Makalah Diskusi Panel 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hal. 12. 2 Utrecht sejak dahulu juga sudah sangat berkeberatan dengan dianutnya asas legalitas di

Indonesia. Alasannya antara lain ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana tidak

dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya Hukum

Pidana Adat yang masih hidup dan akan hidup di Indonesia. Lebih lanjut Utrecht mengatakan,

bahwa: “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan antara lain,

bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif

(collectieve belangen). Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang

melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum ditentukan secara tegas sebagai suatu pelanggaran

ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang

pada hakikatnya merupakan suatu kejahatan, akan tetapi tidak diatur oleh hukum sebagai suatu

pelanggaran ketertiban umum, maka ia tidak dapat dihukum. Lihat Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I , Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1958, hal. 195-198. mendapat perluasan pengertian, artinya undang-undang bukan satu-satunya pedoman Hakim dalam menjatuhkan putusan.

  Hal tersebut sesuai pula dengan konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2011 (untuk selanjutnya disingkat dengan RUU-KUHP), pada Pasal 1 angka (3) dirumuskan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan, bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

  

  peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya pada Pasal 1 angka (4) dijelaskan, bahwa: ”berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakatsebagaimana dimaksud pada angka (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip

   hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) sampai angka (4) RUU KUHP tersebut, maka secara ringkas dapat dikatakan, bahwa Hukum Pidana Indonesia adalah berdasarkan asas legalitas yang dipertegas dengan larangan menggunakan penafsiran analogi. Walaupun demikian, asas legalitas tersebut dapat dikesampingkan dengan memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka (4) ini, jika tidak hati-hati dalam penerapannya, maka Hakim

  

  

  bisa terjebak pada analogi. Sedangkan analogi dalam Rancangan Pasal 1 angka (2) 3 4 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2011. 5 Ibid .

  Analogi adalah memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi

kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu

peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan peraturan

tersebut (lihat Syafruddin Kalo, Teori & Penemuan Hukum, 2004, Diktat Untuk Mata Kuliah

Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal. 69. RUU KUHP tersebut dilarang dipergunakan. Tegasnya ketentuan Pasal 1 tersebut antara satu dengan yang lainnya terjadi kontradiksi, dengan kata lain pembuat undang-undang kurang konsisten.

  Terlepas dari hal tersebut, setidak-tidak RUU KUHP Nasional tersebut, jika nanti disahkan dan diberlakukan, maka telah secara nyata membuka peluang penerobosan terhadap asas legalitas. Hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tidak terabaikan keberadaannya, malahan UUD 1945 hasil amandemen kedua dalam Pasal 18B ayat (2) telah menentukan secara limitatif, bahwa: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, asas legalitas dewasa ini memang mulai melemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa: ”asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar ”kepastian hukum”.

  Namun, dalam realitasnya asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan dan menghadapi berbagai

  

  tantangan, antara lain sebagai berikut: 1.

  Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 angka (2) KUHP; 6 Dalam hukum pidana analogi tidak diperbolehkan, berhubung dengan asas legalitas

  yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana,

terkecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelum peristiwa

pidana dilakukan. 7 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 11-12.

  2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel;

3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang- Undang

  Dasar Sementara Tahun 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai ”nullum delictum sine lege”, akan tetapi juga sebagai ”nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, akan tetapi juga sebagai asas legalitas materiel, yaitu dengan mengakui Hukum Pidana Adat, yaitu suatu hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat atau hukum tidak tertulis yang berfungsi sebagai salah satu sumber hukum. Walaupun demikian, kenyataan yang nampak hingga saat ini adalah kebijakan pembangunan hukum nasional masih kental dengan hegemoni hukum modern yang sarat dengan model penalaran positivistiknya. Kenyataan tersebut nampak dari beberapa indikasi, yakni: ”a. Pembangunan hukum nasional yang terfokus pada kebijakan legislasi berupa peraturan perundang-undangan; b. Penegakan hukum yang lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, aspek prosedural dan seringkali bersifat legalistik-formalistik”.

   Selain itu, tatanan hukum Indonesia saat ini, yang disebut-sebut sebagai

  ”Hukum Nasional”, tidak dibangun dari jati diri bangsa Indonesia, namun dipaksakan 8 Al. Wisnubroto, Qua Vadis Tatanan Hukum Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010, hal. 52. dari konsep bangsa asing (not developed from within but imposed from out side). Perjalanan sejarah hukum Indonesia yang terinvensi melalui usaha transplantasi, transformasi, penetrasi atau upaya apapun namanya yang mengarah pada pemasukan sistem hukum asing (sistem hukum modern/Eropa) ke dalam suatu sistem hukum asli (sistem hukum pribumi/tradisional/adat) yang sudah mapan, sehingga akan mengalami kesulitan dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Dengan demikian, nyatalah bahwa sumber permasalahan memakai tradisi negara hukum model Barat (constitutional

  

state ) pada negara berkembang adalah tidak terjadinya receptio in complexu secara

  sempurna, ”melainkan hanya penerimaan konsep negara dan hukum ketatanegaraan Barat secara terpenggal (konstruksi dan norma positifnya dimengerti dan diterima),

   akan tetapi ide dan maksud dasarnya terlepas dan tidak tertangkap”.

  Di negara-negara berkembang, kebanyakan mewarisi perundang-undangan kolonial seperti Indonesia, karena itu pula pembinaan hukum melalui perundang- perundangan baru memegang peranan yang sangat penting, tetapi di samping itu harus dipahami pula tidak semua persoalan atau sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dibawa ke pengadilan untuk penyelesaiannya. Namun demikian, seperti apa yang dikatakan oleh S.Tasrif, bahwa ia menyetujui hukum adalah ”suatu alat yang ampuh

  

  untuk mencapai pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering)”, suatu teori yang telah dikembangkan oleh Roscoe Pound yang pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Harvard bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, 9 Ibid ., mengutip pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002, hal. 406. 10 S.Tasrif, Tanggap Atas Prasaran Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, dalam:

  

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 2006, hal. 35. peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin, bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya. Apa yang dikatakan oleh S.Tasrif tersebut, bahwa perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya sangat berperan membantu peranan hukum dalam pembangunan, sehingga sangat diperlukan suatu penelitian tentang hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum dalam putusan pengadilan.

  Selain itu, masyarakat lebih cepat melihat hukum itu ada di ruang pengadilan, yaitu melalui perangkat-perangkat penegak hukumnya, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim. Putusan pengadilan yang adil, putusan yang tidak memihak adalah harapan semua pencari keadilan, apakah ia terdakwa maupun korban serta juga para penegak hukumnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, harapan tersebut selalu kandas dilindas asas legalitas yang berkuasa dalam pertimbangan putusan pengadilan. Peranan Hakim atau pengadilan dalam hal penerapan dan pengembangan hukum adalah sangat penting untuk dipelajari, dipahami ataupun diteliti. Seperti apa yang

  

  dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, bahwa: ”dalam hal penerapan dan pengembangan hukum ini, sangat menarik dan penting untuk dipelajari kedudukan Pengadilan atau Hakim”. Berlainan dengan pendapat kuno yang antara lain ditulis oleh Montesquieu dalam bukunya ”L’Esprit de Lois” yang menyatakan, bahwa ”Hakim itu hanya corong dari undang-undang (La bouche qui prononce les poroles de 11 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu

  

Pengenal Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, cet. ke-2, Bandung:

Alumni, 2009, hal. 97-98.

  

la loi )”. Oleh karena itu, pada umumnya orang sekarang mengetahui, bahwa selain

  menerapkan undang-undang, Pengadilan atau Hakim itu juga menemukan atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini disebabkan, karena di dalam sistem hukum Indonesia dikenal asas yang menyatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu tidak boleh menolak untuk memeriksa satu perkara dengan alasan, bahwa hukum mengenai perkara itu tidak ada atau tidak jelas”. Asas atau prinsip ini dinamakan asas non-liquet. Asas ini termuat di dalam Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang berlaku di masa Kolonial Hindia Belanda.

  Ketentuan Pasal 22 AB tersebut, pada saat ini diadopsi oleh Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa: ”Pengadilan dilarang, menolak untuk memeriksa, mengadili, memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Pada ayat (2) ditentukan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.” Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Pengadilan atau Hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah Hakim yang pasif yang merupakan corong belaka dari badan perundang-undangan seperti yang digambarkan oleh Mostesquieu, 12 Adanya ajaran, bahwa Hakim hanyalah corong undang-undang (La bouche qui

  

prononce les poroles de la loi ) dan dilarang menciptakan hukum, pada umumnya dianut oleh

negara-negara yang menganut tradisi Civil Law System pada abad ke 19. Lihat M.D.A.

  

Freeman, Llyod’s, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet & Maxwell, 2001, hal. 1384-

1386. Lihat pula Neil Mac Cormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of Legal Reasoning, Oxford University Press, hal. 256. akan tetapi Hakim harus aktif dan berperan di dalam menemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang cukup penting, tidak saja di dalam menemukan

   hukum, akan tetapi juga di dalam mengembangkan hukum”.

14 Paul Scholten mengatakan: ”Het recht is er, doch moet gevonden worden”

  (hukum telah ada, tetapi harus diketemukan). Selanjutnya Paul Scholten mengatakan adalah ”sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan, bahwa undang-undang itu telah

   mengatur segala-galanya secara tuntas”.

  Apa yang dikatakan oleh Scholten tersebut memberikan makna, bahwa selengkap apapun undang-undang itu tetap menyiratkan kekuranglengkapan. Apa lagi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial itu masih diberlakukan di Indonesia, sudah barang tentu banyak yang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan teori yang pernah dikemukakan oleh Cicero, ”Ubi societas, ibi ius” (”where there is a society, there is law”) di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Sehubungan dengan itu, Von Savigny, menyatakan, bahwa: ”hukum itu akan 13 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Ibid., hal. 98 mengutip, Soedikno

  

Martokoesoemo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia, disertasi

Universitas Gajah Mada, 1970, Penyalur (Penerbit) PT. Gunung Agung. Lihat juga buku: Bab

Prof. Dr. Soedikno Mertokoesoemo dan Prof. Mr. A. Pitlo, Citra

  Tentang Penemuan Hukum Aditya Bakti, Bandung, 1983. 14 E. Utrecht dalam Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Djakarta: PT Penerbit Dan

Balai Buku ”Ichtiar”, tjetakan kelima, 1959, hal. 224, mengutip pendapat Paul Scholten dalam

bukunya, Alg Deel, hal. 19. 15 Anthon Freddy Susanto dalam Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju

  

Progresivitas Makna, cet. Pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hal. 11 mengutip

pendapat Scholten. Bandingkan juga Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, cet. 1, Jakarta: Erlangga, 2009, hal. 55. berkembang sebagaimana berkembangnya pemikiran masyarakatnya”. Artinya, jika pemikiran masyarakatnya berkembang dengan baik, maka hukumnya juga akan berkembang pula dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika pemikiran masyarakatnya tidak berkembang dengan baik, maka hukumnya juga tidak akan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, peranan hukum tidak tertulis untuk melengkapi hukum yang tertulis, khususnya dalam pertimbangan putusan hakim sangatlah dibutuhkan. Dengan kata lain, penerapan hukum tertulis (asas legalitas) semata-mata akan banyak menciderai rasa keadillan masyarakat, terutama masyarakat kecil dan miskin.

  Selain itu, dari perspektif sistem peradilan pidana, aspek pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan terbukti atau tidak terbuktinya pelaku perbuatan pidana, sehingga ia bisa dipidana atau dibebaskan dari segala dakwaan. Oleh karena itu, berdasarkan penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh hakim, terdapat beberapa ajaran/teori yang berhubungan dengan sistem pembukt ian tersebut, yakni: Pertama, Conviction-in Time, yaitu suatu teori yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian ”keyakinan” hakim.

  Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.

  Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

  Sehingga dengan demikian, ”keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran

   sejati dalam sistem pembukt ian ini”.

  

Kedua, Conviction-Raisonee , dalam sistem ini pun dapat dikatakan, bahwa

  ”keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”.

  Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dengan demikian, ”keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian

   alasan yang masuk akal”.

  Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif, merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

  

conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, ”keyakinan

  hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukt i yang ditentukan undang- undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa 16 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,

  

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar

Grafika, 2006, Edisi Kedua, hal. 277. 17 Ibid., hal. 277-278.

  tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.

  Keempat , pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk

Stelsel), sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori

  antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Selain itu, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu, antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

  Dengan demikian, maka untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata- mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat- alat bukti yang ditentukan undang-undang. ”Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu

   ”dibarengi” dengan keyakinan hakim”.

   Sehubungan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem

  pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan. Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah Hakim terpaksa memidana seseorang, sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah, jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Sehingga sistem pembuktian berdasar undang- undang secara negatif (negatief wettelijk) ini dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia. Sistem tersebut tercantum dalam Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dijelaskan pula, bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Penjelasan Pasal tersebut juga menegaskan, bahwa yang diprioritaskan pertama untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang itu adalah untuk 18 19 Ibid., hal. 278-279.

  Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 235. tegaknya kebenaran, kemudian keadilan dan yang terakhir adalah kepastian hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum yang selalu menjadi label asas legalitas, ternyata dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP, kepastian hukum diposisikan paling belakang, yaitu di belakang kebenaran dan keadilan.

  Selain itu, Penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tersebut merupakan pintu masuk penerapan melawan hukum materiel, baik fungsi negatif maupun positif. Hal mana disebabkan dalam memutus suatu perkara, Hakim tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan yang ada, setidak-tidaknya Hakim lebih leluasa untuk menemukan hukum atau menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan yang ada padanya yang termasuk juga di dalamnya adalah keyakinan Hakim, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun tidak memenuhi unsur-unsur perundangan-undangan. Akan tetapi, dia meyakini perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela, tidak patut menurut hukum yang hidup masyarakat atau yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Di lain pihak ia berkeyakinan walaupun perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan, tetapi ia berkeyakinan, bahwa perbuatan tersebut tidak tercela dalam pandangan masyarakat.

  Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat yang sekaligus penegakan hukum, peranan Hakim sangatlah dominan. Mengenai peranan Hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa: ”pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari

  

  kebenaran dan keadilan”. Oleh karena itu, dalam Hukum Pidana dimungkinkan adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum dan alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu pemaafan perbuatan seseorang sekalipun telah melakukan tindak pidana atau melawan hukum. Alasan pembenar ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 31, 32, 33, 34, 35. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana orang yang melakukan tindak pidana, karena melaksanakan peraturan perundang-undangan, melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, keadaan darurat serta pembelaan diri.

  Sedangkan alasan pemaaf ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana, orang yang tidak mengetahui, bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana karena adanya paksaan, tekanan dan ancaman yang tidak bisa dihindari”.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, setidak-tidaknya ada lima alasan yang menjadi latar belakang penelitian ini perlu untuk dilakukan, yakni:

  Pertama, adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

  2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. 20 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hal.

  275.

  Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

  Dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, ”Hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang

   dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya”.

  Ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas membuka peluang untuk menerapkan hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam masyarakat (living

  

law ), yang sekaligus menegatifkan asas legalitas. Selain itu, juga membuka peluang bagi

  Hakim untuk melakukan penemuan hukum atau penafsiran-penafsiran, sepanjang tidak bernuansakan penafsiran analogi, akan tetapi penafsiran yang dibenarkan yaitu penafsiran ekstensif. Dibenarkannya melakukan penafsiran berarti walaupun asas legalitas bersifat

  

rigid tetap dimungkinkan dilakukan pengecualian sepanjang batas-batas tertentu, meski

  dalam realitasnya penganut legal positivis menolak hal tersebut. Dalam ajaran positivis larangan penafsiran analogi bukan hanya sekedar doktrin, melainkan telah 21 Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. diformulasikan secara tegas dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) KUHP.

  Dalam sejarah peradilan Indonesia penafsiran analogi pernah diterapkan oleh Bismar Siregar ketika menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan yaitu dalam kasus seorang lelaki yang menyetubuhi seorang perempuan dengan janji akan menikahinya, akan tetapi kemudian ia mengingkari janjinya tersebut. Menurut Hakim Bismar, memang benar dari segi hukum perdata perikatan hukum yang demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga walaupun ada cedera janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh terdakwa, hal tersebut tidak dapat digugat ganti rugi oleh saksi korban, tetapi Bismar berpendapat di bidang pidana, perbuatan cedera janji dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Bismar menganalogikan sesuatu yang melekat bersatu dalam diri seseorang seperti ”alat kelamin” sebagai ”barang” dengan menafsirkan istilah ”barang” dalam bahasa daerah terdakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal sebagai ”bonda” yang dapat diartikan sebagai ”alat kelamin”. Saksi korban menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa karena bujuk-rayu hendak dinikahi sama dengan menyerahkan bonda (barang) karena tipu muslihat. Hakim Bismar kemudian memutus menghukum laki-laki tersebut berdasarkan Pasal 378 KUHP (Penipuan). Akan tetapi, ”putusan tersebut kemudian

   dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena dianggap melakukan analogi”.

  Kedua, adanya ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

  Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Pengadilan 22 Widodo Dwi Putri, mengutip Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

  

144/PID/1983/PT Mdn dalam disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum, Jakarta, Juli 2011. dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

  Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini mirip dengan ketentuan Pasal 22 A.B. yang menentukan: ”bilamana seorang Hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka Hakim itu dapat dituntut karena penolakan mengadili. Oleh karena itu, maka Hakim terpaksa turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak menyebut suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal undang-undang diam saja. Rasio ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 A.B. ini: masyarakat tidak tertolong apabila ditinggalkan dengan perselisihan-perselisihan yang tidak selesai. Sehingga, tugas Hakim ialah menyelesaikan semua perkara. Selain itu, Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, adanya pendapat, bahwa: ”Hakim tidak lain dari pada corong undang-undang atau

   ”Labouche qui prononce les paroles de la loi” telah tidak berlaku lagi”.

  Menurut van Apeldoorn, Hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang- undang dengan hal-hal konkrit yang terjadi di masyarakat dan selanjutnya dibawa kemukanya, Hakim harus menambah (aanvullen) apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, karena undang-undang 23 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet ke-lima, Djakarta: P.T Penerbit Dan Balai Buku “Ichtiar”, 1959, hal. 223-224. tidak dapat meliputi segala kejadian yang timbul di masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit tersebut, yaitu: ”menyesuaikan undang-undang dengan

  

hal-hal konkrit, diserahkan kepada Hakim”.

  Ketentuan tersebut di atas dapat dimaknai, bahwa Hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan masyarakat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Lembaga penemuan hukum ini akan dibawa kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan perundang- undangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interprestasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala Hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendiri melalui kontruksi penafsiran, rechtsverfijning 24 Ibid., hal. 224.

  (menghaluskan hukum, membentuk pengecualian-pengecualian atas aturan-aturan hukum yang bersifat umum).

  Paham yang menyatakan, bahwa Hakim tidak lain adalah corong undang-undang belaka (La bouche qui prononce les poroles de la loi) harus ditinggalkan karena masyarakat bergerak/berkembang begitu cepat, sehingga tidak jarang zaman meninggalkan hukum jauh di belakang.

  

Ketiga, adanya ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

  2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

  Ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut di atas, memberi sinyal penegasan, bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara dibenarkan mendasarkan pertimbangannya pada sumber hukum tak tertulis. Pasal tersebut merupakan reformasi terhadap ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP, di mana dalam pasal tersebut sama sekali tidak mencantumkan sumber hukum tidak tertulis sebagai dasar alternatif pemidanaan, tetapi hanya menegaskan peraturan perundang-undanganlah yang menjadi dasar pemidanaan atau yang menjadi dasar hukum dari putusan. Pasal tersebut sekaligus menegatifkan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 angka (1) KUHP, di mana ”tiada seorangpun yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

  Dalam tradisi hukum Civil Law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis. Sementara Hakim hanyalah corong undang-undang dan dilarang untuk menciptakan hukum. Para Hakim dari tradisi Eropa Kontinental, pada dasarnya berada pada arus besar (mainstream) pemikiran, bahwa ”law as it is written in the book”. Artinya, Hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dahulu melihat kepada undang-undang dari pada sumber hukum lainnya. Tempat pengadilan dalam sistem hukum yang lebih cenderung ke tradisi kontinental serta dominasi paradigma Positivisme Hukum, tidak memberi ruang yang cukup pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang mampu menggali, mengikuti dan

   memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

  

Keempat, Perbuatan Melawan Hukum Materil Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006.

  Sifat melawan hukum (wederrechtelijkeheid) dalam ilmu hukum dikenal dua macam, yaitu sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkehid) dan sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijkehid). Sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkeheid) merupakan sifat melawan hukum yang luas yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Jadi walaupun undang-undang tidak menyebutkannya, maka melawan hukum adalah tetap merupakan unsur dari setiap tindak pidana. Sedangkan sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid) adalah ”merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru 25 Widodo Dwi Putro, Disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 6-7. merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan

   tindak pidana”.

  Sifat melawan hukum materiel terdiri dari sifat melawan hukum materiel fungsi negatif dan sifat melawan huku m materiel fungsi positif. Ajaran melawan hukum materiel fungsi negatif mengatakan, bahwa jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, tidak tercela, maka terdakwa tidak dipidana walaupun unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan ajaran melawan hukum materiel fungsi positif mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak diatur di dalam hukum positif atau hukum tertulis, tetapi perbuatan tersebut melanggar norma-norma tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat dan perbuatan itu dianggap tercela, maka terdakwa masih dapat dipidana. Praktek peradilan pidana di Indonesia menganut sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Tetapi diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan

  

social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa

tidak dikenakan pidana. Putusan bisa berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum. 26 M. Sudrajad Basar dalam Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari

2007, Jakarta: IKAHI, 2007, hal. 25.

  Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya dan merupakan alasan pembenar.

  Sifat melawan hukum materiel yang negatif tersebut dalam praktek tidak secara tegas dipraktekkan dalam peradilan pidana di Indonesia, karena Mahkamah Agung RI ternyata mempraktekkan pula sifat melawan hukum materiel dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya Nomor 275K/Pid/1982 dalam perkara Korupsi Bank Bumi Daya, Mahkamah Agung secara tegas dan jelas mengartikan sifat melawan hukum materiel, yaitu menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut Mahkamah Agung ”merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat

   banyak”.

  Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiel ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa ”perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku

   yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut”. 27 Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, Jakarta: IKAHI, 2007,

hal. 25. 28 Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif Dan Praktek Dari Mahkamah Agung Republik

  

Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246,

Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2006, hal. 22.

  Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat, bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiel telah mempunyai fungsi positif. Fungsi ini, menurut ajaran umum hukum pidana, ”tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas

  

  legalitas”. Dengan demikian, pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di samping mempunyai daya efek jera bagi para pelaku korupsi yang semakin menggurita.

  Hanya saja, yurisprudensi yang memiliki daya tangkal yang kuat untuk menekan angka kenaikan tindak pidana korupsi tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan, bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  Walaupun demikian, Mahkamah Agung sebagai garda terakhir penegakan hukum ternyata tidak memperdulikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan kata lain Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materiel sebagaimana terdapat dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani 29 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 83.

  Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH, seluruh putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

  

Kelima, ketentuan Undang-Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951

  Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil pada Pasal 5 ayat (3) huruf (b) menentukan, bahwa:

  Hukum materiil sipil untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian: a. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana

  Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan yang terhukum; b. bahwa bilamana Hukuman Adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara. Dengan pengertian, bahwa Hukuman Adat yang menurut faham Hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

  Legalitas dari ketentuan UUDRT tersebut di atas, telah diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua