BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu

  negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang

   Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 . Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V.

  Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the

  rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.

  Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality

  

before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang

  Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukansama di hadapan hukum dan pemerintahan. Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem Pemerintahan

4 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10

  Negara, yaitu: (i) sistem Pemerintahan Presidential, (ii) sistem Pemerintahan

   Parlementer atau sistem Kabinet, dan (iii) sistem Campuran.

  Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem Presidentil. Itu berarti Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD

  

  1945) dan tidak lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam system Pemerintahan Presidentil ini terdapat hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Namun, karena kuatnya otoritas yang dimiliki Presiden, timbul persoalan sehinga kecendrungan terlalu kuatnya otoritas dan kekuasaan di tangan Presiden diusahakan untuk dibatasi.

  Pembatasan kekuasaan Presiden tersebut dilakukan dengan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dimana salah satu perubahan itu terjadi pada kekuasaan Presiden di bidang yudisial, berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi. Grasi sebenarnya bukanlah upaya hukum, namun merupakan hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang dijatuhi putusan oleh pengadilan. Pemberian Grasi oleh Presiden selaku Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) atau yudikatif, tetapi merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan.

  Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan

5 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,

  2011, hlm 323 6 Sahetapy J.E, 2007, Yang Memberi Tauladan Dan Menjaga Nurani Hukum & Politik,Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI, hlm 320

  

  dengan dinamika demokrasi . Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi.

  Ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan, Presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Setelah perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan, yaitu dalam hal memberi Grasi dan Rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal member Amnesti dan Abolisi,

  Setiap permohonan Grasi harus

  disertai dengan pertimbangan Mahkamah Agung, karena Grasi mengenai atau

   menyangkut putusan hakim.

  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat, sehingga saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dan substansinya sudah tidak sesuai lagi

   dengan perkembangan kebutuhan tata hukum Indonesia.

  Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi: “Grasi adalah

  

pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”

  7 8 Ibid, hlm.164 Abdul Ghofar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: kencana, 2009, hlm 104 9 10 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm 161 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.

  Penjelasan Undang-undang tersebut dikatakan, pemberian Grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan. Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan

   merupakan rehabilitasi terhadap pidana.

  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

  

terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden .” Ketentuan yang

  terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, menyebutkan: “Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkanoleh keputusan

  

kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi,orang yang

dihukum atau pihak lain dapat mengajukan permohonan Grasi kepadaPresiden .”

  Kedua Undang-Undang diatas yang lebih mengutamakan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan yang tetap, tidak demikian halnya yang di atur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Peraturan Pemerintah ini mengatakan bahwa permohonan Grasi yang dapat diajukan kepada Presiden adalah atas hukuman yang dijatuhkan di semua lingkungan peradilan pada waktu itu ditetapkan oleh Menteri Kehakiman.

  Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan.

  Periode tahun 2000 beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor

11 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi.

  15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.

  KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk

   semua kejahatan . Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik.

  Diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.

  Penjelasan pembentukan KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain:

  1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat;

   4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai .

  Apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.

  12 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459 13 Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978

  KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati.

  Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama.

  Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.

  Grasi, Amnesti & Abolisi merupakan ketentuan konstitusional dalam Bab kekuasaan pemerintah negara. Dalam UUD 1945 ditentukan bahwa "Presiden memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi". Lebih rinci, dalam UUDS 1950, diatur bahwa "Amnesti dan Abolisi hanya dapat diberikan dengan Undang-Undang ataupun atas kuasa Undang-Undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung". Sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada "semua orang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda". Pelaksanaan ini dituangkan dalam Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1954. Grasi, Amnesti dan Abolisi adalah upaya-upaya (non) hukum yang luar biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus oleh Pengadilan Negeri, melalui upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan hukum pasti atau tetap (in kracht van gewijsde), maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi kepada Presiden.

  Fungsi selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Hak prerogatif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Bidang hukum, kepala negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Fungsi jabatan yang ‘terbebas dari kesalahan’ maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (UUD).

  Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalambidang hukum’.

  Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara

   bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati .

  Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.

  Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau

  

  masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.

  Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) 14 Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik

  Hukuman Mati di Indonesia , Juni 2004 15 Muladi (Makalah), Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan Signifikasinya,

  7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Setelah keluar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus- kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, dimana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana

   orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan .

  Kalangan yang pro-hukuman mati berpendapat: (1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;

  (2) idana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan; (3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

  Kalangan yang tidak setuju pidana mati berpendapat: (1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena

  KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati; (2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;

  (3) mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi, martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk

   memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia .

  Dilihat dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut: (1)

  Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai 16 hak untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;

  Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari 2003, hlm.1 17 Ibid, hlm 25

  (2) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on

  Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu

  pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;

  (3) Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati.

  Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi; (4)

  Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;

  (5) The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.

   Pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia.

  Dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri.

  Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.

  Kewenangan presiden memberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi.

  Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”. 18 Tim Imparsial, Op.Cit, hlm.3

  Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan.

  Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan.

  Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang

  

  dalam kasus narkoba . Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan

  

  oleh presiden Soeharto . Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.

  Tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya.

  Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 19 20 www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 agustus 2012) apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6 Agustus 1995

  2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.

  Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima.

  Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan

  

  dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi . Kata lain, grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “EKSISTENSI GRASI DALAM

  PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.

B. Perumusan Masalah

21 Muladi (Makalah), Op.Cit, hlm.12

  Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka timbul permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

  1. Bagaimanakah aturan hukum pemberian grasi di Indonesia?

  2. Bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana?

  3. Upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:

  a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi kepada Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;

  b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim, dalam hal ini grasi; c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati, dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini.

2. Manfaat Penulisan

  Tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden

  a) Manfaat teoretis

  Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang pengetahuan ilmu pidana pada umumnya, sehingga dapat diharapkan skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal keberadaan grasi di Indonesia.

  b) Manfaat Praktis

  Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan

  Skripsi dengan judul “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” dengan permasalahan bagaimanakah aturan pemberian grasi di Indonesia,bagaimana eksistensi pemberian grasi ditinjau dari perspektif hukum pidana dan upaya yang dilakukan untuk mengeksistensikan grasi terhadap narapidana, belum pernah dibahas ataupun ditulis mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ada eberapa mahasiwa yang pernah menulis tentang grasi seperti: a.

  Hanna Stephanie Tarigan/ 060200327, “Grasi Sebagai Permohonan Pengampunan Pelaksanaan Pidana menurut Undang-undang No.22 Tahun 2002” dengan masalah bagaimana grasi sebagai dipandang sebagai permohonan pengampunan menurut undang-undang Nomor 22 Tahun 2002.

  b.

  Triana Putrie/ 080200 “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia” dengan masalah bagaimana penerapan pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia dan bagaimana perkembangan grasi di Indonesia.

  Permasalahan terhadap skripsi-skripsi tersebut berbeda, Penulis menyatakan bahwa skripsi “Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah asli tulisan penulis. Bila dikemudian hari terdapat Skripsi yang sama, maka menjadi tangung jawab penulis sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Eksistensi

   Kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi adalah adanya atau keberadaan,

  kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Penggunaan kata eksistensi dimaksud pada judul adalah adanya permohonan grasi yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yang diputuskan oleh Presiden.

22 J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka

  Sinar Harapan, 1996, hlm.375

2. Pengertian Grasi

  Grasi adalah wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia, grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman.

  Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi bukan berupa upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke Mahkamah Agung. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden. Grasi dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya. Grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Kita ketahui sebelumnya, grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Keputusan dari permohonan grasi ini, baik diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Tidak berbeda dengan penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang juga didasarkan pada teori pemidanaan. Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP, terdiri dari:

  1) Pidana pokok, terdiri atas:

  a) Pidana mati;

  b) Pidana penjara;

  c) Pidana kurungan;

  d) Pidana denda;

e) Pidana tutupan (Undang-undang No.20 Tahun 1946).

  2) Pidana tambahan, terdiri atas:

  a) Pencabutan hak-hak tertentu;

  b) Pengumuman putusan hakim;

c) Perampasan benda-benda tertentu.

  Sedangkan bentuk-bentuk atau jenis-jenis pidana menurut Rancangan KUHP Nasional diatur dalam pasal 62 ayat (1) Tahun 1964 yang terdiri dari: 1) Pidana pokok, adalah:

  Ke-1 Pidana penjara Ke-2 Pidana tutupan Ke-3 Pidana pengawasan Ke-4 Pidana denda Ke-5 Pidana kerja sosial

  2) Pidana tambahan dimuat di dalam pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah:

  Ke-1 Pencabutan hak-hak tetentu Ke-2 Perampasan barang-barang tertentu dengan tagihan Ke-3 Pengumuman putusan hakim

  Ke-4 Pembayaran ganti rugi Ke-5 Pemenuhan kewajiban adat.

  Mulanya pemberian grasi atau pengampunan di jaman kerajaan absolute Eropa, adalah berupa anugerah dari raja (vortelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Setelah tumbuhnya negara-negara modern, dimana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasaan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politika, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanaannya

  Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringatan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan Presiden (Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002). Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus parkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimna dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

  Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. Permohonan sebagaimana dimaksud dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan dari terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi hukuman, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

  Pasal 7 UU Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi,mengatakan:

  1. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

  2. Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.

  Permohonan grasi dimaksud harus diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

   Kamus Besar Bahasa Indonesia amnesti adalah suatu pernyataan terhadap

  orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.

  Secara umum amnesti adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yg diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yg telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara. Amnesti merupakan hak prerogatif Presiden dalam tataran yudikatif.

  Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik 23 Ibid, hlm 97 untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh politik, dan/atau tekanan internasional. Pemberian amnesti murni lahir dari presiden selaku kepala negara. Hak prerogatif ini sesuai dengan amanat undang- undang dasar kepada presiden selaku kepala negara. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, kewenangan pemberian amnesti, mutlak berada di tangan presiden. Amendemen pertama UUD 1945 kemudian menambahkan bahwa dalam memberikan amnesti, presiden diharapkan memerhatikan pertimbangan lembaga legislatif meski tidak memengaruhi hak mutlak presiden. Selain Undang- Undang Dasar 1945, masalah amnesti dan abolisi di Indonesia belum diatur secara khusus. Indonesia hingga sekarang, masih memakai UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Sebenarnya pada masa Menteri Yusril Ihza Mahendra, ada rencana untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Amnesti. Sampai sekarang rencana itu tidak terdengar lagi. Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tersebut mengatur presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut berlaku untuk persengketaan politik, yang kala itu antara pemerintah RI dan Kerajaan Belanda. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU darurat tersebut. Di samping kedua perundangan di atas, pengertian amnesti juga disinggung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Amnesti dalam undang-undang ini merupakan pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memerhatikan pertimbangan

  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemberian amnesti di Indonesia belakangan juga diatur hanya untuk aktivitas politik yang diancam ataupun divonis dengan pasal makar, bukan terpidana yang tersangkut kriminal.

   Kamus Besar Bahasa Indonesia abolisi berarti penghapusan atau

  pembasmian. Istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana. Artinya, Abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Tetapi merupakan sebuah upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang tersangka. Karena dianggap pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.

   Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi adalah suatu tindakan Presiden

  dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

3. Pengertian Hukum Pidana

  Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam 24 25 Ibid, hlm. 46

  Ibid , hlm.1655 bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama, dan lain sebagainya.

  Dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Diperlukan pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit)

   Memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat

  atau definisi dari para sarjana sebagai berikut .

   a.

  Sudarto

  Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu b. Roeslan saleh

  Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.

  c.

  Fizgerald.

  Punishment is the outhoritative infliction of suffering for an offence.

  d.

  R. Soesilo Hukum pidana adalah perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

  e.

  Pompe Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu. Hukum pidana itu sama halnya dengan 26 Adami Chazawi (2002). Pelajaran Pidana Bagian I Stelsel Pidana Tindak Pidana Teori- teori Pemidanaan 7 Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, hal.24. 27 Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005). Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Penerbit

  PT. Alumni: Bandung, hal 2-4

  hukum tata Negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum dan abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.

  f.

  D.Van Hamel Hukum pidana adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dan kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut g.

  C.S.T Kansil Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

  h.

  G.WLG.Lemaire Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan- keharusan dan larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. i.

C. Simons

  Hukum pidana adalah keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.

  Beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan pidana mengandung unsur- unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang); c. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang;

  Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya serta dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10 KUHP. Batas-batas berat ringannnya dalam menjatuhkan penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Negara - negara tidak dapat dengan bebas memilih jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP tersebut. Berkaitan dengan fungsi hukum pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan hukum pidana.

F. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normative mencangkup: a.

  Penelitian terhadap asas-asas hukum; b.

  Penelitian terhadap sistematik hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal; d.

  Perbandingan hukum; dan

28 Sementara Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian hukum normative juga

  e.

  Sejarah hukum.

  meliputi penelitian pada poin (1), (2), dan (3) tersebut, namun dua bentuk penelitian lainnya berbeda, yaitu penelitian untuk menemuan hukum in concrito dan penelitian inventarisi hukum positif

   a.

  Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

  2. Analisis Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh melalui :

1. Norma atau kaedah dasar 2.

  Peraturan Dasar 3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian grasi kepada terpidana oleh Presiden yakni UU No. 22 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi b. Bahan hukum sekunder berupa buu-buku dan artikel-artikel dari media elektronik yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan, kasus narkoba, atau lainnya, bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencangkup bahan yang member petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan baku primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, majalah, jurnal ilmiah serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat

28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 15.

  29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 12 digunakan untukmelengkapi data yang digunakan dalam penulisan skripsi

   ini.

  3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap literatur- literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

  4. Analisis Data

   Analisis data yang digunakan yakni dengan analisis secara kualitatif. Data

  sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).

  Sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

  30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hal 52. 31 Ibid, hal 69

  Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

  BAB II Aturan Hukum Pemberian Grasi di Indonesia Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi). Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi

  grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku permohonan grasi dikabulkan.

  BAB III Eksistensi Pemberian Grasi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Bab ini terdiri dari sub bab yaitu latar belakang grasi, syarat dan tata cara

  pengajuan permohonan grasi dan eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana, serta tahap lanjutan bilamana terpidana dijatuhi hukuman. Dan akhirnya bagaimana dengan pidana itu sendiri dengan tujuan pidana itu diterapkan, daya tekannya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

  

BAB IV Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengeksistensikan Grasi Terhadap

Narapidana Bab ini menerangkan tentang upaya - upaya apa saja yang harus dilakukan

  agar bagaimana grasi tersebut dikabulkan oleh presiden. Penulis juga mengambil dari beberapa kutipan literature yang berhubungan dari grasi beserta penjelasannya.

  BAB V Penutup : Kesimpulan dan Saran

  Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan tersebut dan kalau terjadi dimasa yang akan datang penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun dalam praktiknya.