BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

  Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912).

  Ada beberapa buku yang dipakai dalam penelitian ini seperti buku George Yule (1996 : 3) yang berjudul Pragmatik, buku DR. T. Fatimah Djajasudarma (1999) yang berjudul Semantik dan beberapa buku kebahasaan lainnya.

  Penelitian mengenai deiksis bukanlah yang baru, tetapi sudah ada peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun, yang meneliti khusus tentang deiksis dalam bahasa Batak Toba belum pernah di teliti. Penelitian yang relevan dengan ini adalah :

  1. Namsyah Hot Hasibuan (2011) dengan disertasinya yang berjudul Deiksis

  

Dalam Bahasa Mandailing , dia menyimpulkan bahwa bahasa Mandailing

  mengenal deiksis persona (personal deixis), deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu (temporal deixis), deiksis sosial (social deixis), dan deiksis wacana (discourse deixis).

  2. Marli Wahyudi (1999) dengan judul skripsinya Deiksis Persona Dalam

  

Bahasa Jawa , ia menyimpulkan bahwa bahasa Jawa mengenal deiksis persona

  14 yang dibagi dalam bentuk-bentuk kata ganti persona dan perilaku pada tingkat tutur Ngoko, tingkat tutur Madya, tingkat tutur Krama yang dikenal dengan istilah unduk usuk. Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara a dan b dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara. Tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara karma dan ngoko ; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan, meskipun kadang kesopanannya hanya sedang-sedang saja. Sedangkan tingkat tutur krama, adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan terhadap a dan b.

  3. Supinah (2006) dengan judul skripsinya Deiksis Waktu Dalam Bahasa Jawa, ia menyimpulkan bahwa deiksis waktu dalam bahasa Jawa dirangkaikan dengan kata iki, iku dan dalam bahasa Jawa iki menunjuk (secara luar tuturan) pada waktu sekarang, sedangkan yang dirangkaikan dengan kata iku menunjukkan waktu yang lampau. Kata iki yang berarti “ ini ”, sedangkan kata iku berarti “ itu ”. jadi, iki apabila di rangkaikan dengan preposisi sa- menjadi saiki yang berarti “sekarang ”

4. Marti S Nababan (2010) dengan judul skripsinya Deiksis Persona Dalam

  , skripsi ini ditulis untuk mengetahui bagaimana bentuk

  Bahasa Simalungun dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun.

  Selain buku-buku yang digunakan dalam acuan skripsi, penulis juga menggunakan buku yang berkaitan dengan deiksis baik berupa deiksis persona, tempat, dan waktu. Terlebih dahulu penulis menguraikan beberapa definisi tentang deiksis atau kata penunjukan sebagai berikut :

  Yule, (1996 : 3) mengatakan bahwa deiksis berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan” disebut ungkapan deiksis.

  Purwo, (1984 : 2) mengatakan bahwa istilah deiksis dipinjam dari istilah Yunani kuno, yaitu deiktikos yang bermakna “hal penunjukan secara langsung”.

  Dalam istilah inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung sebagai lawan dari istilah elentic, yang merupakan istilah untuk pembuktian tidak langsung.

  Lyons, (1977 : 637) mengatakan bahwa penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara.

2.2 Teori Yang Digunakan

  Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.

2.2.1 Teori Pragmatik

  Untuk memahami arti pragmatik yang dibuat oleh Yule (1996 : 3) mengemukakan hal sebagai berikut :

1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur.

  Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.

  2. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.

  Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

  3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan.

  Pendekatan ini juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Tipe studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan.

  4. Pragmatik juga studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

  Pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial, atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi tentang seberapa dekat atau jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan.

  Pragmatik menelaah hubungan unsur bahasa dengan para pemakainya atau tindak linguistik beserta konteks situasinya (Searle, dkk. 1980:viii-ix).

  Pragmatik dan semantik sama-sama menggunakan makna sebagai isi komunikasi. Semantik berpusat pada pikiran (competence, langue), sedangkan pragmatik berpusat pada ujaran (performance, parole).

  Pragmatik menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks tempat, waktu, keadaan pemakainya, dan hubungan makna dengan aneka situasi ujaran.

  Dapat pula dikatakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai kondisi- kondisi umum penggunaan komunikasi bahasa.

2.3 Deiksis Eksofora dan Deiksis Endofora

  Menurut pandangan tradisonal oleh Brecht (1974:489 ss) deiksis terbagi 2 yakni : deiksis eksofora (luar tuturan) dan deiksis endofora (dalam tuturan).

  Deiksis eksofora terdiri atas deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Sedangkan deiksis endofora terdiri atas anafora dan katafora. Deiksis eksofora atau luar tuturan adalah deiksis yang mengacu pada sesuatu anteseden yang berada di luar wacana.Deiksis eksofora disebut juga deiksis ekstratekstual.

  Yang membedakan labuhan luar-tuturan dengan labuhan dalam tuturan adalah bidang permasalahannya, meskipun bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembahasan bidang semantik leksikal ini. Deiksis luar-tuturan bersifat egosentris, dalam arti bahwa si pembicara berada pada titik nol, dan segala sesuatunya di arahkan dari sudut pandangnya (Lyons, via Kaswanti Purwo, 1984:8).

  Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nominal dan pronominal. Dalam deiksis ruang yang menjadi bahan pembahasan adalah leksem verbal dan adjectival, sedangkan dalam deiksis waktu leksem adverbial.

  Givon (1979) dalam penelitiannya terhadap berbagai bahasa di dunia sampai pada kesimpulan bahwa nomina lahir lebih dulu daripada verba. Lebih lanjut dikemukakan bahwa modalitas utama dari nomina adalah deiksis ruang, sedangkan modalitas yang biasa dikaitkan dengan verba adalah deiksis waktu.

  Adanya hirarki kedeiktisan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa semua leksem persona adalah leksem deiktis, sedangkan leksem tempat dan waktu ada yang deiktis.

  Deiksis Endofora atau luar tuturan adalah deiksis yang mengacu pada sesuatu anteseden yang berada di dalam wacana. Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks (intraktekstual) (Bayu Rusman Prayitno, 2009:2).

  Pembahasan dalam bab ini akan dibagi menjadi enam bagian : pemarkah anafora dan katafora bentuk persona, pemarkah anafora dan katafora bentuk bukan persona, pemarkah anafora dan katafora yang berupa konstituen nol, verba refleksif, kata „yang‟ dalam bahasa indonesia, dan pemarkah definit rangkap. Referensi endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) yang ada di dalam teks. Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora merujuk silang pada unsur yang di sebutkan terdahulu ; Katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian (Fatimah Djajasudarma, 1993).

  Menurut pandangan yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu pada kata yang berada dibelakang maupun yang merujuk pada kata yang berada di depan (Lyons, 1977 : 638).

  Seperti yang diungkapkan oleh ahli bahasa Levinson dan Yule dalam bukunya :

  “An anaphoric usage is where some term picks out as referent the same entity (or class objects) that some prior term in the discourse picked out.”

  (Levinson, 1983:67). (Penggunaan sebuah anaforis adalah di mana beberapa istilah diambil sebagai rujukan entitas yang sama (atau objek kelas) yang berapa istilah sebelumnya dalam wacana yang diambil). (Levinson, 1983 : 67).

  Menurut Yule dalam bukunya Pragmatics,

  “anaphora is a process to introduce the real same entities that turned by antecedent.” (1996:37). (Anafora

  adalah proses untuk memperkenalkan entitas yang sama yang diulang kembali oleh anteseden). (1996 : 37).

  Yule juga mengatakan bahwa

  “anaphoric reference or anaphora is

subsequent reference to already introduced referents .” (G.Yule, Pragmatics

  1996). (referensi anaforis atau anafora adalah referensi selanjutnya setelah referen tersebut sudah diperkenalkan). (G.Yule, Pragmatics 1996).

  Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, anafora adalah fenomena pengulangan suatu entitas (antecedent) oleh penutur (anaphor) yang menunjukkan kembali kepada entitas itu.

  Anteseden sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah informasi atau unsur terdahulu dalam ingatan atau konteks yang ditunjukkan oleh suatu ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat.

  Dalam istilah ilmu kebahasaan, ungkapan pertama sering disebut sebagai anteseden (antecedent) dan ungkapan kata kedua atau ungkapan berikutnya disebut sebagai katafora. Katafora adalah lawan kata dari anafora, yakni informasi yang tidak ditunjukkan sebelumnya dalam sebuah kalimat.

  Menurut Yule (1996:38)

  “States that cataphora is referent, which has not introduced before.” (Yule menjelaskan bahwa katafora merupakan sebuah referen

  yang mana tidak disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Namun tetap mengacu pada referen yang akan disebutkan dalam ungkapan berikutnya).

  Dalam bab tentang endofora ini yang akan di soroti adalah masalah sintaksis. Salah satu akibat dari suatu penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linear adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya disebut ulang pada penyebutan selanjutnya, entah itu dengan bentuk pronominal entah juga tidak. Kedua konstituen itu karena kesamaannya lazim dikatakan sebagai dua konstituen yang berkoreferensi.

  Contoh anafora dan katafora dalam kalimat : 1.

   Omak ni si Butet dohot omak ni si Ucok dongan sakarejo, nasada bidang komputer dungkon i bidang arsitek.

  (Ibu si butet dengan Ibu si Ucok adalah teman satu kerjaan, yang pertama dalam bidang komputer selanjutnya dalam bidang arsitek)

2. Alani hapistaranna, Ridwan mandapot piagam sian singkola.

  (karena kepintarannya, Ridwan mendapat piagam dari sekolah) Kalimat pertama mengandung makna a nafora yakni kata “nasada” mengacu pada ibu si Butet (anafor ke-1) sebagai orang yang pertama disebutkan dalam kalimat tersebut dan merupakan anteseden pertama, sedangkan kalimat “dungkon i” mengacu pada ibu si Ucok (anafor ke-2) sebagai anteseden kedua.

  Pada kalimat kedua terdapat kata yang mengandung makna sebagai katafora yakni imbuhan “na” dalam kata “hapistaranna” merupakan referen yang mengacu kepada Ridwan sebagai katafora.

  Contoh berikut ini menggambarkan bagaimana hubungan antara pengacu dan yang mengacu di dalam referensi endofora yaitu :

  3. Dang dope mandapot karejo angkanghu, alana nungnga be tolu tahun ibana mandapot ijazah sian sarjanana .

  (abangku belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya 3 tahun yang lalu)

  4. Dungkon i ro ma ibana, pintor di haol si Tony ma anggina.

  (setelah dia datang, langsung Tony memeluk adiknya) Contoh (3) merupakan bentuk Anafora, hal ini dit andai kata “ibana” beranafora dengan “angkanghu”, sedangkan di dalam contoh (4) merupakan Katafora yang ditandai dengan kata „ibana” mengacu pada konstituen yang berada disebelah kanan, yaitu Tony.

2.3.1 Deiksis

  Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Kata deiksis berasal dari kata Yunani

  deiktikos yang

  berarti „penunjukan‟ melalui bahasa secara langsung. Dalam bahasa Yunani, deiksis merupakan istilah teknis untuk salah satu hal yang mendasar yang dilakukan dalam tuturan. Sedangkan istilah deiktikos yang dipergunakan oleh tata bahasa Yunani dalam pengertian sekarang kita sebut kata ganti demonstratif. Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara, dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya, contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia (saya mencintai dia), informasi dari kata ganti (saya) dan (dia) hanya dapat ditelusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis.

  Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan „penunjukan‟ disebut ungkapan deiksis. Ketika anda menunjuk objek asing dan bertanya, (aha i? = apa itu?), maka anda menggunakan ungkapan deiksis (i = itu) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis kadang kala juga disebut indeksikal. Ungkapan-ungkapan itu berada di antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan deiksis persona (-hu = ku), atau untuk menunjuk tempat dengan deiksis spasial (di son = di sini , di san = di sana), atau untuk menunjuk waktu dengan deiksis temporal (sonari = sekarang, nantuari = kemarin).

  Dalam kegiatan berbahasa. kata-kata atau frasa-frasa yang mengacu kepada beberapa hal tersebut penunjukannya berpindah-pindah atau berganti- ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata- kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan kata-kata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis (Yule, 2006:13).

2.3.2 Deiksis Persona

  Istilah persona berasal dari kata Latin, persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa. Deiksis perorangan (person deixis) ; menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yang lain. Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan. Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora.

  Deiksis persona adalah sistem pronomina yang meliputi sistem tutur sapa (terms of addressee) dan sistem tutur acuan (terms of reference) yaitu :

  Persona Tunggal Jamak Pertama Aku, saya Kami, kita

  Kedua Engkau, kamu, anda Kalian Ketiga Dia, ia, beliau Mereka

  Pronomina persona pertama dan kedua yang selalu menyatakan orang, sedangkan pronomina persona ketiga dapat menyatakan orang atau benda (termasuk binatang).

  Seperti dinyatakan terdahulu, ada empat macam pronomina persona yang mengacu kepada pembicara; masing-masing berbentuk sebagai berikut (Moeliono, 1969) yaitu : (a)

  Aku, yang digunakan dapat corak bahasa keakraban kalau pembicara tidak menggunakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa ini terdapat „jarak psikologis‟ antara pembicara dengan yang diajak bicara (kawan bicara). Kata aku dan saya berbeda, karena saya tak bermarkah (unmarked) sedangkan kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy). Penelitian dengan membandingkan pronomina persona dalam bahasa-bahasa rumpun Austronesia menunjukkan bahwa bentuk asli (proto) pronomina persona pertama adalah aku.

  (b) Saya, yang dipakai dalam corak bahasa akrab ataupun yang adab, kalau pembicara menyertakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa itu di indahkan „jarak psikologis‟ di antara pembicara dengan kawan bicara. Aku sebagai bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih fleksibel dari saya (sebab aku mempunyai bentuk terikat-ku, sedangkan saya tidak)

  (c) Kami, yang tidak saja mengacu kepada orang pertama jamak, tetapi juga dapat dipakai untuk mengacu kepada orang pertama tunggal, dan yang dipakai dalam corak bahasa yang resmi, kalau pembicara sadar mengindahkan „jarak psikologis‟ yang lebih besar lagi. Dengan sikap itu ; ia seakan-akan hendak menyembunyikan kepribadiannya. Ia tidak ingin mengacu dirinya secara langsung (ia tidak mau menonjolkan dirinya).

  (d) Kita, yang tidak saja mengacu kepada orang pertama jamak, tetapi juga dapat dipergunakan untuk mengacu orang pertama tunggal.

  Bentuk pronomina persona kedua engkau dan kamu hanya dapat digunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang berstatus sosial lebih tinggi untuk menyapa kawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah atau di antara pihak yang berstatus sosial sama.

  Bandingkanlah kalimat (1) dan (2) berikut ini : (1)

  Abi berkata kepada Bini, “Saya sudah membaca buku Etika Umum” (2) Bini menyahut, “Saya belum membacanya”.

  Pada kalimat (1) Abi berperan sebagai pembaca. Abi menyebut diri saya, Sedangkan pada kalimat (2) Abi sudah bukan pembicara lagi, melainkan Bini yang berperan sebagai pembicara. Bini menyebut diri saya. Dengan demikian, acuan saya berpindah-pindah. Kata saya mengacu dan menunjuk kepada peran pembicara. Penunjukan oleh pronomina orang (persona) acuannya tidak tetap, bergantung kepada hadir tidaknya peserta dalam tuturan.

  Deiksis persona adalah sistem pronomina yang meliputi sistem tutur sapa (terms

  of addressee ) dan sistem tutur acuan (terms of reference) dalam bahasa Batak

  Toba yaitu : Persona Tunggal Jamak Pertama Ahu, iba Hami, hita

  Kedua Ho Hamu Ketiga Ibana Nasida

  Contoh deiksis inti : Persona tunggal ; 1.

  Hatoban do ahu.

  (akulah hamba) 2.

   Ahu do dalan hangoluan

  (akulah jalan kehidupan) 3. Dokter do ho.

  (engkau adalah dokter) 4. Guru do ibana.

  (Dia adalah guru) Persona jamak ;

1. Hami do tamu na ro

  (kamilah tamu yang datang) (a) Mambuat gadong hami.

  (kami mengambil ubi) (b) Gadong ibuat hami.

  (diambil kami ubi) (c) Na dijouna do hita.

  (kita yang dipanggilnya) (d) Mambuat sira do hita.

  (kami mengambil garam) 2. Pardengke do hamu.

  (kamulah pemilik ikan) 3. Hamu do mambuat hau gadong.

  (kamu yang mengambil kayu ubi) 4. Piso ibuat nasida.

  (pisau diambil mereka) 5. Parhauma do nasida.

  (mereka adalah pemilik ladang)

2.3.3 Deiksis Tempat

  Deiksis yang menyangkut pronomina demonstratif ini ditunjukkan oleh satuan leksikal yang berhubungan dengan arah dan ruang, yang berupa antara lain ; ini, itu, sini, situ dan sana.

  Pronomina aku dan saya berkorelasi dengan ini, yakni dekat dengan pembicara : engkau, kamu, dan anda berkorelasi dengan itu, yakni jauh dari pembicara dan dekat dengan kawan bicara ; dia, ia, beliau berkorelasi dengan anu, yakni jauh baik dari pembicaraan maupun dari kawan bicara.

  Kata sini dan situ selain dipakai untuk mengacu kepada menunjuk lokasi, di pakai juga untuk mengacu kepada pembicara dan menyapa yang diajak bicara, seperti pada : “situ mau ke kampus?”

  Kata situ digunakan untuk menyapa yang diajak bicara . hal tersebut karena pembicara tidak mau atau tidak dapat memilih salah satu bentuk sapaan karena alasan tertentu. Demikian pula kata sini, seperti kalimat berikut : “sini mau kampus”

  Kata sini mengacu kepada diri pembicara. Pembicara tidak menggunakan pronomina orang yang mengacu kepada dirinya karena ia tidak mau melakukannya, atau karena ia sengaja menyapa balik dengan istilah pronomina penunjuk yang segolongan dengan situ.

  Contohnya : 1.

   Lehon jolo surat on tu ibana

  (beri dulu surat ini kepada dia) 2.

   Beta tu lapo an

  (ayo ke kedai itu) 3.

   Manganma hita jo dilapo on

  (makanlah dulu kita di kedai ini) 4.

   Marpungu do nasida di jabu on

  (berkumpul mereka di rumah itu)

5. Di son ma jolo ho satongkin

  (di sini dulu kau sebentar) 6.

   Di san do nasida paimahon hita

  (di sana mereka menunggu kita) 7.

   Boan ma anggimi tu sadui marmeam

  (bawa adikmu kesana bermain) 8.

   Tarleleng do ahu di si paimahon

  (agak lama aku disitu menunggu) 9.

   On do dohononku : burju-burju hamu marsikkola

  (ini kukatakan baik-baik kalian bersekolah) 10.

   Di son do annon hita marrapot

  (di sini nanti kita mengadakan rapat)

2.3.4 Deiksis Waktu

  Deiksis yang menyangkut waktu ini berhubungan dengan struktur temporal (pembahasan aspek, kala dan nomina temporal ; Djajasudarma, 1993).

  Leksem waktu bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan si pembicara. Kata sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu (dalam kalimat), atau yang disebut saat tuturan. Kata kemarin bertitik labuh pada satu hari belum saat tuturan, dan kata besok bertitik labuh pada satu hari sesudah tuturan (Purwo, 1964).

  Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relative, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan. Dalam bahasa Batak Toba mengungkapkan waktu seperti :

  sogot, sonari, nantuari, dll.

  Contohnya : 1.

   Laho do ahu marsogot tu kampus.

  (aku pergi besok ke kampus) 2.

   Sonari ibana karejo

  (sekarang dia kerja) 3.

   Nantuari hulului ho

  (Kemarin kucari kau) 4.

   Marsogot laho ibana tu Jakarta Dia pergi besok kejakarta.

5. Andigan ho mulak?

  Kapan kamu pulang?