Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba

(1)

(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menganugerahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul yang dipilih penulis adalah “Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba”, yang membahas Bab I : Pendahuluan, Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab III : Metode Penelitian, Bab IV : Pembahasan, Bab V : Simpulan dan Saran.

Judul ini dipilih karena penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada dalam skripsi ini. Akhirnya, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

Medan, September 2015 Penulis

Desi Junita S. 100703016


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, serta seluruh staf dan pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staf dan jajaran pegawai yang di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum., selaku Sekretaris jurusan Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Asni Barus, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan juga meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.

5. Bapak Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga selalu mendukung dan memberikan arahan dan masukan-masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan banyak


(5)

terima kasih kepada Bapak karena telah sabar, semangat dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Yang teristimewa kepada Ayahanda Haposan Simanjuntak dan Ibunda tercinta Marisi Panjaitan, yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran. Serta telah banyak melimpahkan kasih sayang dan doa kepada penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Abang (Tigor Simanjuntak dan Robin Simanjuntak), Kakak (Martha Simanjuntak), Adik (Maruli Gani Simanjuntak) terima kasih atas support serta doa yang telah kalian berikan dan selalu memberikan saya semangat dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada Masyarakat Desa Lumban Bul-bul dan Bapak Kepala Desa yang telah memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman Mahasiswa/I seperjuangan Hariaty Manullang, Friska Tamba, Mariana Andini Sitompul, Vinny Mariana Lubis, Cherly fika, Vanny Nuraini, Elpi Saragih dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis sebutkan, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta doa yang diberikan kepada penulis.

10.Kepada teman-teman dirumah yang selalu memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha


(6)

Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga penulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, September 2015 Penulis

Desi Junita S. 100703016


(7)

ABSTRAK

Desi Junita, 2014. Judul Skripsi : Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba.

Penelitian ini menganalisis tentang berbagai jenis Deiksis eksofora pada masyarakat bahasa Batak Toba. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif ini dapat diartikan sebagai prsosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), Sementara teori yang digunakan teori-teori pragmatik mengenai deiksis dan sifat rujukan yang dikemukakan oleh Yule (1996). Yule mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, studi tentang makna kontekstual, studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Pragmatik ini menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks person, tempat, dan waktu. Dapat pula dikatakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan komunikasi bahasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis Deiksis apa saja yang terdapat dalam bahasa Batak Toba.

Kata Kunci : Deiksis person, deiksis tempat, dan deiksis waktu dalam bahasa Batak Toba.


(8)

Abstrak

DESIJUNITADUARIBUEMPATBELASDEIKSISDALAMBAHASABATAKTBPEN ELITIANINIMENGANALISISTENTANGBERBAGAIJENISDEIKSISEKSFRA PADAMASYARAKATBAHASABATAKTBAMETDEPENELITIANYANGDIGUNAKA NDALAMSKRIPSIINIADALAHMETDEDESKRIPTIFMETDEDESKRIPTIFINI DAPATDIARTIKANSEBAGAIPRSEDURPEMECAHANMASALAHYANGDISELID IKIDENGANMENGGAMBARKANMELUKISKANKEADAANBJEKATAUSUBJEKPE NELITIANSESRANGLEMBAGAMASYARAKATDANLAINLAINSEMENTARATER IYANGDIGUNAKANTERITERIPRAGMATIKMENGENAIDEIKSISDANSIFATR UJUKANYANGDIKEMUKAKANLEHYULESEMBILANBELASSEMBILANENAMYU LEMENGATAKANBAHWAPRAGMATIKADALAHSTUDITENTANGBAGAIMANAAG ARLEBIHBANYAKDISAMPAIKANDARIPADAYANGDITUTURKANDANSTUDIT ENTANGUNGKAPANDARIJARAKHUBUNGANPRAGMATIKINIMENELAAHHUBU NGANTINDAKBAHASADENGANKNTEKSPERSNTEMPATDANWAKTUDAPATPUL ADIKATAKANBAHWAPRAGMATIKMERUPAKANTELAAHMEGENAIKNDISIKND ISIUMUMPENGGUNAANKMUNIKASIBAHASATUJUANDARIPENELITIANINI ADALAHUNTUKMENDESKRIPSIKANJENISJENISDEIKSISAPASAJAYANGT ERDAPATDALAMBAHASABATAKTBA


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH... ii

ABSTRAK……….... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Anggapan Dasar……….. 7

1.6Letak Geografis Balige……… 8

1.6.1 Desa / Kelurahan……….. .. 9

1.6.2 Kepercayaan……….. ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 14

2.2 Teori Yang Digunakan ... 16

2.3 Deiksis Eksofora dan Deiksis Endofora ... 18

2.3.1 Deiksis….……… 22

2.3.2 Deiksis Persona ... 24

2.3.3 Deiksis Tempat... 28

2.3.4 Deiksis Waktu ... 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ... 32

3.2 Lokasi Penelitian ... 33

3.3 Instrumen Penelitian... 34

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 35


(10)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba... 36

4.1.1 Deiksis Person ... 38

4.1.2 Deiksis Tempat... 48

4.1.3 Deiksis Waktu ... 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 59

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Nama Informan

Lampiran 2. Surat Penelitian Dari Fakultas Ilmu Budaya


(11)

ABSTRAK

Desi Junita, 2014. Judul Skripsi : Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba.

Penelitian ini menganalisis tentang berbagai jenis Deiksis eksofora pada masyarakat bahasa Batak Toba. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif ini dapat diartikan sebagai prsosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), Sementara teori yang digunakan teori-teori pragmatik mengenai deiksis dan sifat rujukan yang dikemukakan oleh Yule (1996). Yule mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, studi tentang makna kontekstual, studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Pragmatik ini menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks person, tempat, dan waktu. Dapat pula dikatakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan komunikasi bahasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis Deiksis apa saja yang terdapat dalam bahasa Batak Toba.

Kata Kunci : Deiksis person, deiksis tempat, dan deiksis waktu dalam bahasa Batak Toba.


(12)

Abstrak

DESIJUNITADUARIBUEMPATBELASDEIKSISDALAMBAHASABATAKTBPEN ELITIANINIMENGANALISISTENTANGBERBAGAIJENISDEIKSISEKSFRA PADAMASYARAKATBAHASABATAKTBAMETDEPENELITIANYANGDIGUNAKA NDALAMSKRIPSIINIADALAHMETDEDESKRIPTIFMETDEDESKRIPTIFINI DAPATDIARTIKANSEBAGAIPRSEDURPEMECAHANMASALAHYANGDISELID IKIDENGANMENGGAMBARKANMELUKISKANKEADAANBJEKATAUSUBJEKPE NELITIANSESRANGLEMBAGAMASYARAKATDANLAINLAINSEMENTARATER IYANGDIGUNAKANTERITERIPRAGMATIKMENGENAIDEIKSISDANSIFATR UJUKANYANGDIKEMUKAKANLEHYULESEMBILANBELASSEMBILANENAMYU LEMENGATAKANBAHWAPRAGMATIKADALAHSTUDITENTANGBAGAIMANAAG ARLEBIHBANYAKDISAMPAIKANDARIPADAYANGDITUTURKANDANSTUDIT ENTANGUNGKAPANDARIJARAKHUBUNGANPRAGMATIKINIMENELAAHHUBU NGANTINDAKBAHASADENGANKNTEKSPERSNTEMPATDANWAKTUDAPATPUL ADIKATAKANBAHWAPRAGMATIKMERUPAKANTELAAHMEGENAIKNDISIKND ISIUMUMPENGGUNAANKMUNIKASIBAHASATUJUANDARIPENELITIANINI ADALAHUNTUKMENDESKRIPSIKANJENISJENISDEIKSISAPASAJAYANGT ERDAPATDALAMBAHASABATAKTBA


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam kegiatan berbahasa, sering digunakan kata-kata atau frasa-frasa yang rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, saat atau waktu tindak tutur terjadi dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kepada kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987:40) disebut deiksis. Pengertian deiksis menurut pandangan tradisional dibedakan dengan pengertian katafora dan anafora.

Pada tataran pragmatik, misalnya telah banyak sumber dengan liputan aspek yang lebih luas dan berbeda dari sebelumnya. Di antaranya malah ada yang hadir dengan liputan secara khusus, dengan pengambilan fokus pada aspek atau sub-aspek tertentu.

Yule dalam bukunya (1996:3) yang berjudul pragmatik, mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Yule juga menjelaskan bahwa tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan dan diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang


(14)

disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

Deiksis eksofora (luar tuturan) sebagai salah satu bidang kajian pragmatik menjadi topik dalam penelitian ini. Perihal deiksis eksofora yaitu deiksis persona, deiksis tempat dan deiksis waktu. Dapat dikatakan bahwa dalam lingkup yang termuat dalam buku yang dihasilkannya berkategori deiksis, seperti yang disebutkan di atas berupa kata penunjuk, kata ganti orang, kata keterangan tempat dan waktu. Namun dalam hal ini, deiksis endofora perlu juga disinggung menjadi perhatian bahwa perolehan kata berkategori deiksis bersama artinya dalam buku, belum dapat sepenuhnya memberi informasi tentang ihwal kedeiksisan suatu bahasa.

Di dalam bukunya, Moeliono (2003:42) mengemukakan pengertian deiksis, yaitu: deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiksis.

Contoh :

a. Kita harus berangkat sekarang b. Harga barang naik semua sekarang

c. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana

Pada kalimat (a) sekarang merujuk ke jam atau bahkan ke menit. Pada kalimat (b) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Sedangkan, pada kalimat (c) cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata sekarang beroperasi dengan kata


(15)

deiktis penunjuk waktu lain, seperti besok atau nanti ; acuan kata sekarang selalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan.

Contoh berikut, seperti yang dikutip dari Chaer (2004 : 57) akan menjelaskan pengertian deiksis : A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa :

A : Saya belum bayar SPP, belum punya uang. B : Sama, saya juga.

Jelas, kata saya percakapan itu pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis.

Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu, Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi, dan Batak Angkola Mandailing. Tiap-tiap subsuku itu memiliki bahasanya sendiri. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah Batak sering hanya berasosiasi dengan Batak Toba, baik untuk menyebutkan bahasa maupun sukunya. Anggapan itu sebenarnya kurang tepat karena istilah Batak merupakan milik kelima subsuku tersebut di atas.

Bahasa Batak Toba (BBT), digunakan di kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Batak Toba tidak hanya sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pendukung bahasa Nasional, sebagai pengantar bahasa di sekolah, di pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.


(16)

Beranalogi kepada keterangan di atas, perlu dipikirkan usaha pembinaan bahasa Batak Toba yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan pengembangan bahasa Batak Toba merupakan suatu keharusan di samping pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV : Pasal 36 yang berbunyi : “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Dengan penjelasan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Madura, Sunda dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dipelihara oleh negara, karena bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Bahasa Batak Toba merupakan salah satu bahasa etnis Batak di Provinsi Sumatera Utara. Seperti halnya, bahasa daerah lain, bahasa Batak Toba terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Etnik Batak Toba yang menggunakan bahasa Batak Toba berada di Kabupaten Toba Samosir dan sebagian Kabupaten Tapanuli Utara.

Kabupaten Toba Samosir berada pada 2003‟-2040‟ Lintang Utara dan 98056‟-99040‟ Bujur Timur, Kabupaten Toba Samosir memiliki luas wilayah 2.021,8 Km2.

Kabupaten Toba Samosir berada di antara lima Kabupaten yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir.

Kabupaten Toba Samosir terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan ketinggian antara 900-2.200 meter di atas permukaan laut, dengan topografi dan


(17)

kontur tanah yang beraneka ragam, yaitu datar, landai, miring, dan terjal. Struktur tanahnya labil dan berada pada wilayah gempa tektonik dan vulkanik.

Penelitian tentang deiksis eksofora dalam bahasa Batak Toba belum pernah dilakukan para pemakai bahasa, baik mahasiswa maupun ahli bahasa, namun dari penelitian lain mengenai bahasa Batak Toba ini sudah banyak dilakukan. Jadi, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk kata ganti person serta bagaimana penggunaan deiksis tempat dan waktu.

Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Purwo (1984). Penelitian itu mengemukakan bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, ruang dan waktu. Deiksis persona dibagi atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, saya ; pertama jamak seperti kami, kita ; kata ganti persona kedua tunggal seperti kau, engkau, kedua jamak seperti kalian ; kata ganti persona ketiga tunggal seperti dia ; ketiga jamak seperti mereka.

Namun, perlu disadari bahwa hasil penelitian terhadap bahasa tertentu sebagai sumber lahirnya teori dapat menyiratkan problema tentang tingkat keberterimaan teori itu sendiri untuk semua bahasa. Hal ini sekaligus memberi asumsi bahwa tidak ada teori kebahasaan, termasuk teori pragmatik, yang secara utuh bersesuaian dengan hasil kajian aspek-aspek bahasa berbagai bahasa yang ada di Indonesia, terutama bahasa Batak Toba.

Menyadari akan hal bahasa daerah yaitu Batak Toba yang terdapat di wilayah Indonesia merupakan tantangan tersendiri dalam memahami lebih jauh ihwal kebahasaan kita yang Bhinneka itu. Kepemilikan kita terhadap bahasa-bahasa daerah sudah jelas sebagai keberuntungan tersendiri dalam menjaga terpeliharanya kelangsungan kehidupan budaya daerah yang merupakan kekayaan


(18)

nasional (Halim, 1981:21-22). Berdasarkan pengamatan penulis, bahasa ini masih tergolong kepada bahasa yang masih jarang mendapat sentuhan pengaplikasian teori linguistik..

Di Indonesia penelitian mengenai bahasa daerah kurang mendapat perhatian dari ahli bahasa, khususnya terhadap bahasa Batak Toba. Mengingat hal ini penulis merasa perlu mengadakan penelitian terhadap bahasa Batak Toba demi kelestarian bahasa tersebut. Penulis memilih judul Deiksis eksofora Dalam Bahasa Batak Toba, karena penulis merasa penelitian mengenai judul tersebut belum ada, hasilnya diharapkan menjadi bagian dari sumber informasi tentang deiksis bahasa Batak Toba.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Deiksis apa sajakah yang terdapat dalam bahasa Batak Toba ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan deiksis apa saja yang terdapat di dalam bahasa Batak Toba.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut ; 1. Menambah pengetahuan masyarakat bahasa tentang deiksis dalam bahasa


(19)

2. Menjadi salah satu rujukan terhadap penelitian sejenis untuk bahasa daerah lainnya.

3. Menjadi bahan inventarisasi dalam usaha pelestarian bahasa Batak Toba. 4. Menambah referensi dalam penelitian bidang pragmatik, khususnya yang

berhubungan dengan deiksis.

5. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh mahasiswa Sastra Daerah.

6. Untuk memberi wawasan baru tentang deiksis pada masyarakat Batak Toba terutama anak sekolah, khususnya yang terletak di Desa Lumban Bul-bul.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Arikunto (1987:17)

“Mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.

Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak penyusunan sebuah skripsi.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.


(20)

1.6Letak Geografis Balige

Balige adalah sebuah Kecamatan sekaligus ibukota dari Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Untuk lebih jelasnya batas-batas wilayah Balige adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tampahan - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Laguboti


(21)

Balige sebagai ibukota Kabupaten Toba Samosir, memiliki luas wilayah 91.05 km², yaitu 4.50 % dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Secara astronomis berada di 2º 15' LS - 2º 21' Lintang Utara dan 99º 00' - 99º 11' Bujur Timur. Sesuai dengan letak astronomis, Kecamatan Balige yang terletak pada wilayah dataran tinggi dengan ketinggian antara 905 - 1200 meter, tergolong ke dalam daerah beriklim tropis basah.

1.6.1 Desa / Kelurahan

Kabupaten Toba Samosir terdiri atas 36 Desa/Kelurahan yaitu: 1. Aekbolon Jae

2. Aekbolon Julu 3. Baru Ara 4. Balige I 5. Balige II 6. Balige III 7. Bonan Dolok I 8. Bonan Dolok II 9. Bonan Dolok III 10. Hinalang Bagasan 11. Huta Bulu Mejan 12. Huta Dame 13. Huta Namora


(22)

15. Longat

16. Lumban Bul Bul

17. Lumban Dolok Haumabange 18. Lumban Gaol

19. Lumban Gorat 20. Lumban Pea 21. Lumban Pea Timur 22. Lumban Silintong 23. Matio

24. Nainggolan

25. Napitupulu Bagasan 26. Paindoan

27. Pardede Onan 28. Parsuratan 29. Sangkar Nihuta 30. Sariburaja Janji Maria 31. Sianipar Sihail Hail 32. Sibola Hotangsas 33. Siboruon

34. Sibuntuon

35. Silalahi Pagar Batu 36. Tambunan Sunge


(23)

1.6.2 Kepercayaan

Tanah batak telah dipengaruhi beberapa agama.Agama Kristen Protestan dan Islam masuk ke daerah orang Batak Toba sejak permulaan abad ke -19. Walaupun sebagian besar orang Batak sudah beragama Kristen dan Islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan Batak Toba asli adalah buku-buku kuno (pustaha). Selain daripada berisi silsilah-silsilah (tarombo) buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang Batak tentang dunia makhluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia makhluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia yang pertama yang leluhurnya bersangkut paut dengan burung.

Konsepsi tentang pencipta, Orang Batak Toba mempunyai konsepsi bahwa seluruh isinya, diciptakan oleh Debata (ompung) mulajadi na bolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon, atau Tuan Padukah ni Aji. Sebagai penguasai dunia makhluk halus ia bernama Pane na Bolon. Selain daripada pencipta Debata Mulajadi na Bolon, juga menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan, dan kehamilan. Sedangkan Pane na Bolon, mengatur setiap penjuru-mata angin. Konsepsi tentang Jiwa, Roh dan Dunia Akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep, yaitu Tondi, sahala dan begu. Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu


(24)

sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya menjadi hilang.

Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya. Seperti halnya dengan sahala , yang dapat berkurang atau bertambah, tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya, orang itu mati. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain (sombaon) yang menawannya.

Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari dilakukan begu pada malam hari. Sesuai dengan kebutuhannya, begu dipuja dengan sajian (pelean).

Di kalangan orang Batak Toba, begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu (begu dari nenek moyang). Kalau begu yang dulunya sebagai tondi menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan yang mempunyai


(25)

keturunan yang banyak, maka upacara untuk menghormatinya juga bersifat besar-besaran. Upacara seperti itu disertai dengan gondang (musik batak) dan sajian yang disebut tibal-tibal yang di tempatkan di atas pangumbari.

Beberapa golongan begu yang ditakuti orang Batak Toba adalah :

1. Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pengunungan atau di hutan rimba yang padat, gelap, dan mengerikan (parsombaonan)

2. Solobean, yaitu begu yang dianggap sebagai penguasa dari tempat –tempat tertentu dari Toba.

3. Silan, yaitu begu yang serupa dengan sombaon menempati pohon besar atau batu yang aneh bentuknya, tetapi khususnya dianggap sebagai nenek moyang pendiri kuta dan juga nenek moyang dari marga.

4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara oleh orang agar dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain yang dibenci oleh si pemelihara tadi.

Sistem religi orang Batak Toba dahulu percaya kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal panaluan dan mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti. Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang Batak Toba (pustaha), berasal dari si Raja Batak.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan Yang Relevan

Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912).

Ada beberapa buku yang dipakai dalam penelitian ini seperti buku George Yule (1996 : 3) yang berjudul Pragmatik, buku DR. T. Fatimah Djajasudarma (1999) yang berjudul Semantik dan beberapa buku kebahasaan lainnya.

Penelitian mengenai deiksis bukanlah yang baru, tetapi sudah ada peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun, yang meneliti khusus tentang deiksis dalam bahasa Batak Toba belum pernah di teliti. Penelitian yang relevan dengan ini adalah :

1. Namsyah Hot Hasibuan (2011) dengan disertasinya yang berjudul Deiksis Dalam Bahasa Mandailing, dia menyimpulkan bahwa bahasa Mandailing mengenal deiksis persona (personal deixis), deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu (temporal deixis), deiksis sosial (social deixis), dan deiksis wacana (discourse deixis).

2. Marli Wahyudi (1999) dengan judul skripsinya Deiksis Persona Dalam Bahasa Jawa, ia menyimpulkan bahwa bahasa Jawa mengenal deiksis persona


(27)

yang dibagi dalam bentuk-bentuk kata ganti persona dan perilaku pada tingkat tutur Ngoko, tingkat tutur Madya, tingkat tutur Krama yang dikenal dengan istilah unduk usuk.

Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara a dan b dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara. Tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara karma dan ngoko ; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan, meskipun kadang kesopanannya hanya sedang-sedang saja. Sedangkan tingkat tutur krama, adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan terhadap a dan b. 3. Supinah (2006) dengan judul skripsinya Deiksis Waktu Dalam Bahasa Jawa,

ia menyimpulkan bahwa deiksis waktu dalam bahasa Jawa dirangkaikan dengan kata iki, iku dan dalam bahasa Jawa iki menunjuk (secara luar tuturan) pada waktu sekarang, sedangkan yang dirangkaikan dengan kata iku menunjukkan waktu yang lampau.

Kata iki yang berarti “ ini ”, sedangkan kata iku berarti “ itu ”. jadi, iki apabila di rangkaikan dengan preposisi sa- menjadi saiki yang berarti “sekarang ” 4. Marti S Nababan (2010) dengan judul skripsinya Deiksis Persona Dalam

Bahasa Simalungun, skripsi ini ditulis untuk mengetahui bagaimana bentuk dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun.

Selain buku-buku yang digunakan dalam acuan skripsi, penulis juga menggunakan buku yang berkaitan dengan deiksis baik berupa deiksis persona, tempat, dan waktu. Terlebih dahulu penulis menguraikan beberapa definisi tentang deiksis atau kata penunjukan sebagai berikut :


(28)

Yule, (1996 : 3) mengatakan bahwa deiksis berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan” disebut ungkapan deiksis.

Purwo, (1984 : 2) mengatakan bahwa istilah deiksis dipinjam dari istilah Yunani kuno, yaitu deiktikos yang bermakna “hal penunjukan secara langsung”. Dalam istilah inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung sebagai lawan dari istilah elentic, yang merupakan istilah untuk pembuktian tidak langsung.

Lyons, (1977 : 637) mengatakan bahwa penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara.

2.2Teori Yang Digunakan

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.

2.2.1 Teori Pragmatik

Untuk memahami arti pragmatik yang dibuat oleh Yule (1996 : 3) mengemukakan hal sebagai berikut :


(29)

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.

2. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.

Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan.

Pendekatan ini juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Tipe studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan.

4. Pragmatik juga studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial, atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi


(30)

tentang seberapa dekat atau jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan.

Pragmatik menelaah hubungan unsur bahasa dengan para pemakainya atau tindak linguistik beserta konteks situasinya (Searle, dkk. 1980:viii-ix).

Pragmatik dan semantik sama-sama menggunakan makna sebagai isi komunikasi. Semantik berpusat pada pikiran (competence, langue), sedangkan pragmatik berpusat pada ujaran (performance, parole).

Pragmatik menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks tempat, waktu, keadaan pemakainya, dan hubungan makna dengan aneka situasi ujaran. Dapat pula dikatakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan komunikasi bahasa.

2.3 Deiksis Eksofora dan Deiksis Endofora

Menurut pandangan tradisonal oleh Brecht (1974:489 ss) deiksis terbagi 2 yakni : deiksis eksofora (luar tuturan) dan deiksis endofora (dalam tuturan). Deiksis eksofora terdiri atas deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Sedangkan deiksis endofora terdiri atas anafora dan katafora. Deiksis eksofora atau luar tuturan adalah deiksis yang mengacu pada sesuatu anteseden yang berada di luar wacana.Deiksis eksofora disebut juga deiksis ekstratekstual.

Yang membedakan labuhan luar-tuturan dengan labuhan dalam tuturan adalah bidang permasalahannya, meskipun bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembahasan bidang semantik leksikal ini. Deiksis luar-tuturan bersifat egosentris, dalam arti bahwa si pembicara berada pada titik nol, dan


(31)

segala sesuatunya di arahkan dari sudut pandangnya (Lyons, via Kaswanti Purwo, 1984:8).

Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nominal dan pronominal. Dalam deiksis ruang yang menjadi bahan pembahasan adalah leksem verbal dan adjectival, sedangkan dalam deiksis waktu leksem adverbial.

Givon (1979) dalam penelitiannya terhadap berbagai bahasa di dunia sampai pada kesimpulan bahwa nomina lahir lebih dulu daripada verba. Lebih lanjut dikemukakan bahwa modalitas utama dari nomina adalah deiksis ruang, sedangkan modalitas yang biasa dikaitkan dengan verba adalah deiksis waktu. Adanya hirarki kedeiktisan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa semua leksem persona adalah leksem deiktis, sedangkan leksem tempat dan waktu ada yang deiktis.

Deiksis Endofora atau luar tuturan adalah deiksis yang mengacu pada sesuatu anteseden yang berada di dalam wacana. Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks (intraktekstual) (Bayu Rusman Prayitno, 2009:2).

Pembahasan dalam bab ini akan dibagi menjadi enam bagian : pemarkah anafora dan katafora bentuk persona, pemarkah anafora dan katafora bentuk bukan persona, pemarkah anafora dan katafora yang berupa konstituen nol, verba refleksif, kata „yang‟ dalam bahasa indonesia, dan pemarkah definit rangkap.

Referensi endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) yang ada di dalam teks. Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora merujuk silang pada unsur yang di sebutkan


(32)

terdahulu ; Katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian (Fatimah Djajasudarma, 1993).

Menurut pandangan yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu pada kata yang berada dibelakang maupun yang merujuk pada kata yang berada di depan (Lyons, 1977 : 638).

Seperti yang diungkapkan oleh ahli bahasa Levinson dan Yule dalam bukunya :

“An anaphoric usage is where some term picks out as referent the same

entity (or class objects) that some prior term in the discourse picked out.” (Levinson, 1983:67). (Penggunaan sebuah anaforis adalah di mana beberapa istilah diambil sebagai rujukan entitas yang sama (atau objek kelas) yang berapa istilah sebelumnya dalam wacana yang diambil). (Levinson, 1983 : 67).

Menurut Yule dalam bukunya Pragmatics, “anaphora is a process to

introduce the real same entities that turned by antecedent.” (1996:37). (Anafora

adalah proses untuk memperkenalkan entitas yang sama yang diulang kembali oleh anteseden). (1996 : 37).

Yule juga mengatakan bahwa “anaphoric reference or anaphora is subsequent reference to already introduced referents.” (G.Yule, Pragmatics 1996). (referensi anaforis atau anafora adalah referensi selanjutnya setelah referen tersebut sudah diperkenalkan). (G.Yule, Pragmatics 1996).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, anafora adalah fenomena pengulangan suatu entitas (antecedent) oleh penutur (anaphor) yang menunjukkan kembali kepada entitas itu.


(33)

Anteseden sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah informasi atau unsur terdahulu dalam ingatan atau konteks yang ditunjukkan oleh suatu ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat.

Dalam istilah ilmu kebahasaan, ungkapan pertama sering disebut sebagai anteseden (antecedent) dan ungkapan kata kedua atau ungkapan berikutnya disebut sebagai katafora. Katafora adalah lawan kata dari anafora, yakni informasi yang tidak ditunjukkan sebelumnya dalam sebuah kalimat.

Menurut Yule (1996:38) “States that cataphora is referent, which has not

introduced before.” (Yule menjelaskan bahwa katafora merupakan sebuah referen

yang mana tidak disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Namun tetap mengacu pada referen yang akan disebutkan dalam ungkapan berikutnya).

Dalam bab tentang endofora ini yang akan di soroti adalah masalah sintaksis. Salah satu akibat dari suatu penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linear adalah kemungkinan adanya konstituen tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya disebut ulang pada penyebutan selanjutnya, entah itu dengan bentuk pronominal entah juga tidak. Kedua konstituen itu karena kesamaannya lazim dikatakan sebagai dua konstituen yang berkoreferensi.

Contoh anafora dan katafora dalam kalimat :

1. Omak ni si Butet dohot omak ni si Ucok dongan sakarejo, nasada bidang komputer dungkon i bidang arsitek.

(Ibu si butet dengan Ibu si Ucok adalah teman satu kerjaan, yang pertama dalam bidang komputer selanjutnya dalam bidang arsitek)


(34)

2. Alani hapistaranna, Ridwan mandapot piagam sian singkola. (karena kepintarannya, Ridwan mendapat piagam dari sekolah)

Kalimat pertama mengandung makna anafora yakni kata “nasada” mengacu pada ibu si Butet (anafor ke-1) sebagai orang yang pertama disebutkan dalam kalimat tersebut dan merupakan anteseden pertama, sedangkan kalimat “dungkon i” mengacu pada ibu si Ucok (anafor ke-2) sebagai anteseden kedua.

Pada kalimat kedua terdapat kata yang mengandung makna sebagai katafora yakni imbuhan “na” dalam kata “hapistaranna” merupakan referen yang mengacu kepada Ridwan sebagai katafora.

Contoh berikut ini menggambarkan bagaimana hubungan antara pengacu dan yang mengacu di dalam referensi endofora yaitu :

3. Dang dope mandapot karejo angkanghu, alana nungnga be tolu tahun ibana mandapot ijazah sian sarjanana.

(abangku belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya 3 tahun yang lalu)

4. Dungkon i ro ma ibana, pintor di haol si Tony ma anggina. (setelah dia datang, langsung Tony memeluk adiknya)

Contoh (3) merupakan bentuk Anafora, hal ini ditandai kata “ibana” beranafora dengan “angkanghu”, sedangkan di dalam contoh (4) merupakan Katafora yang ditandai dengan kata „ibana” mengacu pada konstituen yang berada disebelah kanan, yaitu Tony.


(35)

2.3.1 Deiksis

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti „penunjukan‟ melalui bahasa secara langsung. Dalam bahasa Yunani, deiksis merupakan istilah teknis untuk salah satu hal yang mendasar yang dilakukan dalam tuturan. Sedangkan istilah deiktikos yang dipergunakan oleh tata bahasa Yunani dalam pengertian sekarang kita sebut kata ganti demonstratif. Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara, dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya, contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia (saya mencintai dia), informasi dari kata ganti (saya) dan (dia) hanya dapat ditelusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis.

Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan „penunjukan‟ disebut ungkapan deiksis. Ketika anda menunjuk objek asing dan bertanya, (aha i? = apa itu?), maka anda menggunakan ungkapan deiksis (i = itu) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba. Ungkapan-ungkapan deiksis kadang kala juga disebut indeksikal. Ungkapan-ungkapan itu berada di antara bentuk-bentuk awal yang dituturkan oleh anak-anak yang masih kecil dan dapat digunakan untuk menunjuk orang dengan deiksis persona (-hu = ku), atau untuk menunjuk tempat dengan deiksis spasial (di son = di sini , di san = di sana), atau untuk menunjuk waktu dengan deiksis temporal (sonari = sekarang, nantuari = kemarin).


(36)

Dalam kegiatan berbahasa. kata-kata atau frasa-frasa yang mengacu kepada beberapa hal tersebut penunjukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata seperti saya, dia, kamu rnerupakan kata-kata yang penunjukannya berganti-ganti. Rujukan kata-kata-kata-kata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Dalam bidang linguistik istilah penunjukan semacam itu disebut deiksis (Yule, 2006:13).

2.3.2 Deiksis Persona

Istilah persona berasal dari kata Latin, persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa. Deiksis perorangan (person deixis) ; menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yang lain. Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan. Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi


(37)

kalimat tidak langsung. Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora.

Deiksis persona adalah sistem pronomina yang meliputi sistem tutur sapa (terms of addressee) dan sistem tutur acuan (terms of reference) yaitu :

Persona Tunggal Jamak

Pertama Aku, saya Kami, kita

Kedua Engkau, kamu, anda Kalian

Ketiga Dia, ia, beliau Mereka

Pronomina persona pertama dan kedua yang selalu menyatakan orang, sedangkan pronomina persona ketiga dapat menyatakan orang atau benda (termasuk binatang).

Seperti dinyatakan terdahulu, ada empat macam pronomina persona yang mengacu kepada pembicara; masing-masing berbentuk sebagai berikut (Moeliono, 1969) yaitu :

(a) Aku, yang digunakan dapat corak bahasa keakraban kalau pembicara tidak menggunakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa ini terdapat „jarak psikologis‟ antara pembicara dengan yang diajak bicara (kawan bicara). Kata aku dan saya berbeda, karena saya tak bermarkah (unmarked) sedangkan kata aku bermarkah keintiman (marked intimacy).

Penelitian dengan membandingkan pronomina persona dalam bahasa-bahasa rumpun Austronesia menunjukkan bahwa bentuk asli (proto) pronomina persona pertama adalah aku.


(38)

(b) Saya, yang dipakai dalam corak bahasa akrab ataupun yang adab, kalau pembicara menyertakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa itu di indahkan „jarak psikologis‟ di antara pembicara dengan kawan bicara. Aku sebagai bentuk pronomina persona pertama yang asli dalam bahasa Indonesia lebih fleksibel dari saya (sebab aku mempunyai bentuk terikat-ku, sedangkan saya tidak)

(c) Kami, yang tidak saja mengacu kepada orang pertama jamak, tetapi juga dapat dipakai untuk mengacu kepada orang pertama tunggal, dan yang dipakai dalam corak bahasa yang resmi, kalau pembicara sadar mengindahkan „jarak psikologis‟ yang lebih besar lagi. Dengan sikap itu ; ia seakan-akan hendak menyembunyikan kepribadiannya. Ia tidak ingin mengacu dirinya secara langsung (ia tidak mau menonjolkan dirinya).

(d) Kita, yang tidak saja mengacu kepada orang pertama jamak, tetapi juga dapat dipergunakan untuk mengacu orang pertama tunggal.

Bentuk pronomina persona kedua engkau dan kamu hanya dapat digunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang berstatus sosial lebih tinggi untuk menyapa kawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah atau di antara pihak yang berstatus sosial sama.

Bandingkanlah kalimat (1) dan (2) berikut ini :

(1) Abi berkata kepada Bini, “Saya sudah membaca buku Etika Umum” (2) Bini menyahut, “Saya belum membacanya”.

Pada kalimat (1) Abi berperan sebagai pembaca. Abi menyebut diri saya, Sedangkan pada kalimat (2) Abi sudah bukan pembicara lagi, melainkan Bini yang berperan sebagai pembicara. Bini menyebut diri saya. Dengan demikian,


(39)

acuan saya berpindah-pindah. Kata saya mengacu dan menunjuk kepada peran pembicara. Penunjukan oleh pronomina orang (persona) acuannya tidak tetap, bergantung kepada hadir tidaknya peserta dalam tuturan.

Deiksis persona adalah sistem pronomina yang meliputi sistem tutur sapa (terms of addressee) dan sistem tutur acuan (terms of reference) dalam bahasa Batak Toba yaitu :

Persona Tunggal Jamak

Pertama Ahu, iba Hami, hita

Kedua Ho Hamu

Ketiga Ibana Nasida

Contoh deiksis inti : Persona tunggal ; 1. Hatoban do ahu.

(akulah hamba)

2. Ahu do dalan hangoluan (akulah jalan kehidupan) 3. Dokter do ho.

(engkau adalah dokter) 4. Guru do ibana.

(Dia adalah guru) Persona jamak ;


(40)

1. Hami do tamu na ro

(kamilah tamu yang datang) (a) Mambuat gadong hami.

(kami mengambil ubi) (b) Gadong ibuat hami.

(diambil kami ubi) (c) Na dijouna do hita.

(kita yang dipanggilnya) (d) Mambuat sira do hita.

(kami mengambil garam) 2. Pardengke do hamu.

(kamulah pemilik ikan)

3. Hamu do mambuat hau gadong. (kamu yang mengambil kayu ubi) 4. Piso ibuat nasida.

(pisau diambil mereka) 5. Parhauma do nasida.

(mereka adalah pemilik ladang)

2.3.3 Deiksis Tempat

Deiksis yang menyangkut pronomina demonstratif ini ditunjukkan oleh satuan leksikal yang berhubungan dengan arah dan ruang, yang berupa antara lain ; ini, itu, sini, situ dan sana.


(41)

Pronomina aku dan saya berkorelasi dengan ini, yakni dekat dengan pembicara : engkau, kamu, dan anda berkorelasi dengan itu, yakni jauh dari pembicara dan dekat dengan kawan bicara ; dia, ia, beliau berkorelasi dengan anu, yakni jauh baik dari pembicaraan maupun dari kawan bicara.

Kata sini dan situ selain dipakai untuk mengacu kepada menunjuk lokasi, di pakai juga untuk mengacu kepada pembicara dan menyapa yang diajak bicara, seperti pada : “situ mau kekampus?”

Kata situ digunakan untuk menyapa yang diajak bicara . hal tersebut karena pembicara tidak mau atau tidak dapat memilih salah satu bentuk sapaan karena alasan tertentu. Demikian pula kata sini, seperti kalimat berikut : “sini mau kampus”

Kata sini mengacu kepada diri pembicara. Pembicara tidak menggunakan pronomina orang yang mengacu kepada dirinya karena ia tidak mau melakukannya, atau karena ia sengaja menyapa balik dengan istilah pronomina penunjuk yang segolongan dengan situ.

Contohnya :

1. Lehon jolo surat on tu ibana (beri dulu surat ini kepada dia) 2. Beta tu lapo an

(ayo ke kedai itu)

3. Manganma hita jo dilapo on (makanlah dulu kita di kedai ini) 4. Marpungu do nasida di jabu on


(42)

5. Di son ma jolo ho satongkin (di sini dulu kau sebentar) 6. Di san do nasida paimahon hita

(di sana mereka menunggu kita) 7. Boan ma anggimi tu sadui marmeam

(bawa adikmu kesana bermain) 8. Tarleleng do ahu di si paimahon

(agak lama aku disitu menunggu)

9. On do dohononku : burju-burju hamu marsikkola (ini kukatakan baik-baik kalian bersekolah) 10.Di son do annon hita marrapot

(di sini nanti kita mengadakan rapat)

2.3.4 Deiksis Waktu

Deiksis yang menyangkut waktu ini berhubungan dengan struktur temporal (pembahasan aspek, kala dan nomina temporal ; Djajasudarma, 1993). Leksem waktu bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan si pembicara. Kata sekarang bertitik labuh pada saat si pembicara mengucapkan kata itu (dalam kalimat), atau yang disebut saat tuturan. Kata kemarin bertitik labuh pada satu hari belum saat tuturan, dan kata besok bertitik labuh pada satu hari sesudah tuturan (Purwo, 1964).

Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang. Hari


(43)

ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relative, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan. Dalam bahasa Batak Toba mengungkapkan waktu seperti : sogot, sonari, nantuari,dll.

Contohnya :

1. Laho do ahu marsogot tu kampus. (aku pergi besok ke kampus) 2. Sonari ibana karejo

(sekarang dia kerja) 3. Nantuari hulului ho (Kemarin kucari kau)

4. Marsogot laho ibana tu Jakarta Dia pergi besok kejakarta. 5. Andigan ho mulak?


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecah masalah yang diselidiki dengan mengggambarkan/melukiskan keadaan objek/subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dll) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya (Nanawi, 1991 : 1).

Dalam metode deskriptif, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadaannya sekarang.

Penelitian deskriptif ini lebih bersifat penemuan fakta-fakta seadanya, penelitian yang tidak sekedar menunjukkan distribusinya, akan tetapi termasuk dalam usaha mengemukakan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang diselidiki.

Data utama dalam penelitian ini adalah data lisan yaitu berupa informasi tentang deiksis-deiksis yang ada pada masyarakat batak toba, sedangkan data tulisan diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan BBT. Metode yang digunakan adalah metode cakap atau percakapan langsung dengan penutur selaku narasumber. Kemudian, metode ini dikembangkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasar. Dalam teknik pancing narasumber dipancing berbicara untuk mendapatkan data. Selain itu, teknik cakap semuka peneliti mengarahkan dan mengendalikan pembicaraan sehingga peneliti dapat memperoleh data selengkapnya.


(45)

Peranan narasumber sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh peneliti. Untuk mendapat hasil yang baik, narasumber tersebut harus benar-benar mengetahui kebudayaannya. Pemilihan narasumber didasarkan pada persyaratan-persyaratan berikut:

1. Berjenis kelamin pria dan wanita 2. Lahir dan besar di daerah penelitian. 3. Berusia antara 30-70

4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya

5. Pengetua adat, yang mengetaui dengan jelas tentang seluk-beluk adat-istiadat; 6. Mempunyai ketertarikan di dalam penelitian mengenai kebudayaan; dan 7. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik)

dan rohani ( tidak gila atau pikun) (Mahsun, 1995: 25).

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah Desa Lumban Bul-Bul Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah karena mayoritas penduduknya adalah Batak Toba.

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data dari lapangan (File Research) dan kepustakaan (Library Research)

3.3Instrumen Penelitian


(46)

wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan.

Alat bantu yang digunakan yaitu : 1. Alat rekam (tape recorder)

2. Kamera digital 3. Pulpen

4. Buku tulis

5. Daftar pertanyaan

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu:

1. Metode Observasi

Metode observasi yaitu penulis langsung ke lapangan melakukan pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode Wawancara (depth interview)

Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi lebih lanjut dan terperinci mengenai Deiksis BBT kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Balige.

3. Metode Kepustakaan (library research)

Metode kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui buku-buku yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian tersebut. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar data yang di dapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan yang digariskan.


(47)

Dalam metode ini penulis mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.6Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Metode atau cara mengelola data mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah di pakai dengan metode strukural.

Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut : a. Reduksi data, yaitu melakukan identifikasi deiksis, pada tahap ini peneliti

memutar ulang hasil rekaman dan dilakukan transkip data hasil rekaman. b. Menerjemahkan data yang diperoleh dari bahasa Indonesia ke bahasa Daerah. c. Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian.

d. Menganalisis deiksis eksofora dalam deiksis person, deiksis tempat, dan deiksis waktu pada masyarakat bahasa Batak Toba.


(48)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Deiksis Eksofora Dalam Bahasa Batak Toba

Deiksis eksofora adalah deiksis yang referennya ada di luar tuturan. Untuk mengetahui pengacuan di luar tuturan itu maka harus mengetahui faktor luar bahasa, seperti siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan tuturan itu berlangsung.

Deiksis eksofora dapat berupa deiksis persona dan demonstratif (berupa aspek lokatif maupun temporal. Misalnya, bentuk sapaan omak “ ibu ” bersifat deiktis, karena bisa berpindah-pindah referensinya. Kata omak “ ibu ” dapat ditafsirkan sebagai persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Misalnya, dalam tuturan (a), (b), (c) berikut:

1.(a) Laho majo omak tu onan da. Ibu akan pergi ke pasar, ya. (b) Laho tu dia omak?

Ibu akan pergi kemana? (c) Maronan do omak.

Ibu sedang pergi ke pasar.

Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaan kata omak “ ibu ” dalam (a) sebagai persona pertama, karena tuturan seorang ibu itu mungkn disampaikan kepada anak-anaknya atau kepada suaminya, dalam (b) sebagai persona kedua, karena tuturan itu muncul dari anak-anaknya. Atau mungkin juga dari suaminya, dalam (c) sebagai persona ketiga, karena tuturan itu muncul dari anak-anak atau


(49)

suaminya yang masing-masing memberikan informasi tentang kegiatan atau keberadaan omak “ ibu ”.

2.(a) Laho majo bapa tu hauma da. Bapak akan pergi ke sawah, ya. (b) Laho tu dia bapa?

Bapa akan pergi kemana? (c) Tu hauma do bapa.

Bapak sedang pergi ke sawah.

Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaan kata bapa “ bapak ” dalam (a) sebagai persona pertama, karena tuturan seorang bapak itu mungkn disampaikan kepada anak-anaknya atau kepada istrinya, dalam (b) sebagai persona kedua, karena tuturan itu muncul dari anak-anaknya. Atau mungkin juga dari istrinya, dalam (c) sebagai persona ketiga, karena tuturan itu muncul dari anak-anak atau istrinya yang masing-masing memberikan informasi tentang kegiatan atau keberadaan bapa “ bapak ”.

3.(a) Laho do ahu marsogot tu kampus Aku pergi besok ke kampus (b) Laho tu dia ho?

Pergi kemana kau? (c) Tu kampus do ahu.

Saya pergi ke kampus.

Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaan kata ahu “ aku ” dalam (a) sebagai persona pertama, karena tuturan seorang aku itu mungkin disampaikan kepada ibunya atau kepada bapaknya, dalam (b) sebagai persona kedua, karena


(50)

tuturan itu muncul dari ibunya atau bapaknya, dalam (c) sebagai persona ketiga, karena tuturan itu muncul dari ibunya atau bapaknya yang masing-masing memberikan informasi tentang kegiatan atau keberadaan ahu “ aku ”.

4.1.1 Deiksis Person

Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984 : 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Deiksis orang memakai istilah kata ganti diri ; dinamakan demikian karena fungsinya yang menggantikan diri orang.

Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronominal persona (Purwo, 1984 : 22).

Dalam bahasa Batak Toba, hanya mengenal pembagian pronominal persona atau kata ganti persona menjadi tiga. Ada dua bentuk kata ganti persona pertama : ahu dan iba, masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata ahu dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling mengenal atau sudah akrab hubungannya. Sedangkan kata iba, dipakai dalam situasi formal dan kadangkala informal. Tetapi, dalam bahasa Batak Toba kata ahu lebih sering dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Kata ahu merupakan bentuk kata ganti persona pertama yang asli dalam bahasa Batak Toba tampak dalam kefleksibelannya yang tidak dimiliki oleh bentuk iba (ahu mempunyai bentuk klitik -hu “ ku ”, -mi “ mu ”, dan -na “ nya ”, sedangkan iba tidak).


(51)

Contoh bentuk klitik -hu : 1. bungkuhu

bukuku 2. obukhu

rambutku 3. salawarhu

celanaku 4. sipatuhu sepatuku 5. pathu

kakiku

Contoh bentuk klitik -mi : 1. bungkumi

bukumu 2. obukmi

rambutmu 3. salawarmi celanamu 4. sipatumi

sepatumu 5. patmi


(52)

Contoh bentuk klitik –na : 1. bungkuna

bukunya 2. obukna

rambutnya 3. salawarna celananya 4. sipatuna

sepatunya 5. patna

kakinya

Bentuk klitik persona, yang berada dalam konstruksi posesif, dapat pula dirangkaikan dengan kata on “ ini ”, i “ itu ” dalam bahasa Batak Toba.

Contoh bentuk klitik –hu yang dirangkaikan dengan kata on dan i : 1. bungkuhu on

bukuku ini 2. bungkuhu i bukuku itu 3. obukhu on

rambutku ini 4. obukhu i

rambutku itu 5. salawarhu on


(53)

6. salawarhu i celanaku itu 7. sipatuhu on

sepatuku ini 8. sipatukki

sepatuku itu 9. pathu on

kakiku ini 10.pathu i

kakiku itu

Contoh bentuk klitik –mi yang dirangkaikan dengan kata on dan i : 1. bungkumi on

bukumu ini 2. bungkumi i bukumu itu 3. obukmi on

rambutmu ini 4. obukmi i

rambutmu itu 5. salawarmi on celanamu ini 6. salawarmi i celanamu itu 7. sipatumon


(54)

sepatumu ini 8. sipatukki

sepatuku itu 9. patmi on kakimu ini 10.patmi

kakimu itu

Contoh bentuk klitik –na yang dirangkaikan dengan kata on dan i : 1. bungkuna on

bukunya ini 2. bungkuna i

bukunya itu 3. obukna on

rambutnya ini 4. obukna i

rambutnya itu 5. salawarna on celanamu ini 6. salawarna i

celananya itu 7. sipatuna on

sepatunya ini 8. sipatuna i


(55)

9. patna on kakinya ini 10. patna i

kakinya itu

Bentuk persona kedua ho dan hamu, hanya dapat dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah. Bentuk ho sangat bermakna kasar / tinggi. Tetapi, di dalam bahasa Batak Toba bentuk hamu merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua.

Contoh : 1. Sip ho!

Diam kau! 2. Sip hamu!

Diam kamu.

Bentuk persona ketiga ibana, nasida mengacu kepada orang ketiga dan yang dipakai dalam corak bahasa yang resmi. Dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status yang lebih tinggi lagi untuk menyapa lawan bicara.


(56)

4.1.1.1. Verbal di- dan Bentuk Persona

Verba di- dalam bahasa Indonesia dapat juga diikuti pelaku persona pertama dan kedua, seperti bahasa Batak Toba :

a. bungku i nungnga dijaha ho buku itu sudah dibaca oleh kau. b. Bungku i nungnga dijaha hamu Buku itu sudah dibaca oleh kamu c. Lamari i nungnga dituhor ahu

Lemari itu sudah dibeli oleh aku d. Lamari i nungnga dituhor hamu

Lemari itu sudah dibeli oleh kamu

Namun, dalam bahasa Batak Toba bentuk di- dapat diikuti pelaku persona kedua hamu “ kamu ” dan persona ketiga ibana “ dia ” tetapi tidak dapat disusul pelaku persona pertama ahu “ aku ”, contoh :

1. * dituhor ahu aku beli

dituhor hamu Kamu beli

dituhor ibana Dia beli dituhor nasida Mereka beli 2. * dijaha ahu


(57)

dijaha hamu Kamu baca dijaha ibana Dia baca dijaha nasida Mereka baca 3. * disurat ahu

Aku tulis disurat hamu Kamu tulis disurat ibana Dia tulis disurat nasida Mereka tulis 4. * dijou ahu

Aku panggil dijou hamu Kamu panggil dijou ibana Dia panggil dijou nasida Mereka panggil 5. * dijama ahu


(58)

dijama hamu Kamu pegang dijama ibana Dia pegang dijama nasida Mereka pegang

Alasan kejanggalan, itu menurut kuno dikarenakan oleh adanya hirarki dalam empat (empathy) paling mudah bagi si pembicara untuk mengutarakan pandangannya dengan dirinya sendiri. Si pembicara dapat pula mengutarakan pandangannya dengan lawan bicaranya, tetapi paling sukar baginya (bahkan mustahil) untuk mengungkapkan pandangannya dengan persona ketiga.

Menurut pengamatan Mess, (1950 : 113), Poerwadarminta (1979 : 72) dan Slametmuljana (1969 : 97) verba di- hanya dapat disusul dengan pelaku persona ketiga saja. Dalam rangkaian dengan bentuk di- itu persona ketiga dapat berupa bentuk pronominal atau tidak.

Jadi, didalam bahasa Batak Toba kata i “ itu ” dapat diartikan ke dalam bentuk kata i- “ di ” apabila i- “ di ” diikuti dengan persona ketiga yang dapat berupa bentuk pronominal (e) atau tidak (f) dan bentuk pronominal (g) atau tidak (h), contohnya :

e. bungku i nungnga ijaha ibana buku itu sudah dibaca dia. - Bungku i nungnga ijahana


(59)

- Bungku i nungnga ijahana marulak-ulak Buku itu sudah dibacanya beberapa kali. f. Bungku i nungnga ijaha si Ali

Buku itu sudah dibaca si Ali

- Bungku i nungnga ijaha si Ali marulak-ulak. Buku itu sudah dibaca si Ali beberapa kali. g. Sipatu i nungnga ituhor nasida

Sepatu itu sudah dibeli mereka - Sipatu i nungnga ituhorna

Sepatu itu sudah dibelinya h. Sipatu i nungnga ituhor si Andi

- Sepatu itu sudah dibeli si Andi

Di antara kata ganti persona hanya bentuk person ketiga, ibana “ dia ” yang dapat dirangkaikan dengan adjektiva (1) atau dengan nama diri (2) contoh : 1. Si birong

Si hitam Si balga Si besar Si tagelleng Si paling kecil 2. Si Ali

Si Tuti Si Andi


(60)

4.1.2 Deiksis Tempat

Deiksis tempat membahas tentang leksem. Leksem tempat dapat berupa deiktis maupun tidak. Deiksis tempat menyatakan pemberian bentuk kepada tempat, di pandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa berbahasa, leksem tempat yang meliputi (a) yang dekat dengan pembicara tu son “ ke sini ”, di son “di sini” ; (b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat dengan pendengar tu si “ ke situ ”, di si “ di situ ” ; (c) yang jauh dari pembicara dan pendengar tu san “ ke sana ”, di san “ di sana ”.

Di bawah ini masing-masing contoh deiksis tempat dalam bahasa Batak Toba : (a) Pahundulma rap dohot ahu di son.

Duduklah bersamaku di sini. (b) Godang do sipanganon di son.

Banyak makanan di sini. (c) Di son ma hita maradian.

Disinilah kita beristirahat. (d) Taruhon ma hirangi tu son.

Antarlah keranjang itu kemari. (e) Tu son ma taruhon eme i!

Kemarilah antarkan padi itu! (f) Peakhon ma tandokmu di san!

Letakkan tempat berasmu di sana! (g) Di san ma hamu karejo!


(61)

(h) Hu dapothon pe ibana di san! Aku akan menemuinya di sana! (i) Di san ma hita pajumpang!

Disanalah kita bertemu! (j) Di si do nasida modom. Disitulah mereka tidur. (k) Tinggalhon ma di si!

Tinggalkanlah di situ! (l) Tu si do ibana manungkun.

Ke situ dia bertanya.

Selanjutnya, deiksis lokatif / tempat berpusat pada penutur. Misalnya kata dan frasa tu son “ kesini ” ; di si “ di situ ” ; dan di san “ di sana ” adalah deiktis karena untuk mengetahui makna frasa-frasa itu harus mengetahui siapa, kapan, dan di mana tuturan itu dihasilkan.

Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan masing-masing frase penggunaannya dalam tuturan (1) , (2) dan (3) berikut :

(1) nungnga hea ahu laho tu san. Aku sudah pernah pergi ke sana. (2) Tabo do panghilalaonhu di san.

Di situ saya merasa senang.

(3) Dung sahat ahu di san tabo do panghilalaonhu. Setelah sampai di sana aku merasa nyaman.


(62)

Ditinjau dari pusat deiksis dengan penuturnya, maka kata tu san dalam (1) dekat dengan penutur, frasa di san agak dekat dengan penutur, dan di san jauh dengan penutur.

Kata penunjuk tempat di sini, di situ, di situ dapat menjadi atribut nomina, contoh :

1. Orang sini 2. Orang situ 3. Orang sana

Akan tetapi, dalam bahasa Batak Toba rangkaian seperti (1), (2), (3) wajib mempergunakan preposisi di- menjadi :

1. Halak di son 2. Halak di si 3. Halak di san

Dalam bahasa Batak Toba juga kita temukan Deiksis yang menyatakan tempat lain, seperti bunyi t dan d :

1. (a) Tu jabu ( ke rumah ) Tu jabu on ( ke rumah ini )

Tu jabu i ( ke rumah itu ) Tu jabu an ( ke rumah sana ) (b) Di jabu ( di rumah )

Di jabu on ( di rumah ini ) Di jabu i ( di rumah itu ) Di jabu an ( di rumah sana )


(63)

2. (a) Tu balian ( ke sawah ) Tu balian on ( ke sawah ini ) Tu balian i ( ke sawah itu ) Tu balian an ( ke sawah sana ) (b) Di balian ( di sawah )

Di balian on ( di sawah ini ) Di balian i ( di sawah itu ) Di balian an ( di sawah sana ) 3. (a) Tu bariba ( ke sebelah )

Tu bariba on ( ke sebelah sini ) Tu bariba i ( ke sebelah situ ) Tu bariba an ( ke sebelah sana ) (b) Di bariba ( di sebelah )

Di bariba on ( di sebelah sini ) Di bariba i ( di sebelah situ ) Di bariba an ( di sebelah sana ) 4. (a) Tu siamun ( ke kanan )

Tu siamun on ( ke sebelah kanan ini ) Tu siamun i ( ke sebelah kanan itu ) Tu siamun an ( ke sebelah kanan sana ) (b) Di siamun ( di kanan )

Di siamun on ( di sebelah kanan ini ) Di siamun i ( di sebelah kanan itu ) Di siamun an ( di sebelah kanan sana )


(64)

5. (a) Tu hambirang ( ke sebelah kiri )

Tu hambirang on ( ke sebelah kiri sini ) Tu hambirang i ( ke sebelah kiri situ ) Tu hambirang an ( ke sebelah kiri sana ) (b) Di hambirang ( di sebelah kiri )

Di hambirang on ( di sebelah kiri sini ) Di hambirang i ( di sebelah kiri situ ) Di hambirang an ( di sebelah kiri sana ) 6. (a) Tu binanga ( ke sungai )

Tu binanga on ( ke sungai ini ) Tu binanga i ( ke sungai itu ) Tu binanga an ( ke sungai sana ) (b) Di binanga ( di sungai )

Di binanga on ( di sungai ini ) Di binanga i ( di sungai itu ) Di binanga an ( di sungai sana ) 7. (a) Tu tao ( ke danau )

Tu tao on ( ke danau ini ) Tu tao i ( ke danau itu ) Tu tao an ( ke danau sana ) (b) Di tao ( di danau )

Di tao on ( di danau ini ) Di tao i ( di danau itu ) Di tao an ( di danau sana )


(65)

8. (a) Tu porlak ( ke ladang ) Tu porlak on ( ke ladang ini ) Tu porlak i ( ke ladang itu ) Tu porlak an ( ke ladang sana) (b) Di porlak ( di ladang )

Di porlak on ( di ladang ini ) Di porlak i ( di ladang itu ) Di porlak an ( di ladang sana ) 9. (a) Tu tombak ( ke hutan )

Tu tombak on ( ke hutan ini ) Tu tombak i ( ke hutan itu ) Tu tombak an ( ke hutan sana ) (b) Di tombak ( di hutan )

Di tombak on ( di hutan ini ) Di tombak i ( di hutan itu ) Di tombak an ( di hutan sana ) 10. (a) Tu dalan ( ke jalan )

Tu dalan on ( ke jalan ini ) Tu dalan i ( ke jalan itu ) Tu dalan an ( ke jalan sana ) (b) Di dalan ( di jalan )

Di dalan on ( di jalan ini ) Di dalan i ( di jalan itu ) Di dalan an ( di jalan sana )


(66)

11. (a) Tu singkola ( ke sekolah ) Tu singkola on ( ke sekolah ini ) Tu singkola i ( ke sekolah itu ) Tu singkola an ( ke sekolah sana ) (b) Di singkola ( di sekolah )

Di singkola on ( di sekolah ini ) Di singkola i ( di sekolah itu ) Di singkola an ( di sekolah sana )

Selanjutnya, leksem tempat seperti jolo “ depan ” dan pudi “ belakang ” tidak deiktis apabila dirangkaikan dengan nomina seperti manusia, rumah (yang memang mempunyai bagian depan dan belakang) seperti kalimat :

1. Adong sada ursa di jolo ni si Yem Ada seekor rusa di depan si Yem 2. Adong sada ursa di pudi ni jabu i

Ada seekor rusa di depan rumah itu

Pengertian kata jolo di sini ditentukan bukan oleh si pembicara, melainkan oleh si Yem atau jabu “ rumah ” itu. Kata jolo “ depan ” menjadi deiktis apabila dirangkaikan dengan nomina seperti pohon (misalnya, dalam kalimat yang diucapkan oleh seorang pemburu)

3. Adong sada ursa di jolo ni hau i Ada seekor rusa di depan pohon itu

Bagian hau “ pohon ” yang dilihat oleh si pemburu sewaktu mengucapkan kalimat (3) itulah yang dimaksud dengan kata jolo “ depan ”. Jadi, ursa “ rusa ” itu berada di antara pemburu dan pohon. Kedua perbedaan tersebut di atas


(67)

dimungkinkan karena hau “ pohon ” memiliki “orientasi tempelan” (induced orientation), sedangkan si Yem dan rumah mempunyai “orientasi bawaan” (inherent orientation) ; istilah Kimball (1974 : 2).

Deiksis tempat juga bersifat deiksis apabila preposisi itu dapat berdiri sendiri tanpa dirangkaikan dengan nominanya apabila kata benda menjadi objeknya itu sudah dimengerti atau jelas dalam konteks, seperti :

1. A : Di dia biang i ? Di mana anjing itu? B : Di ginjang.

Preposisi di ginjang “ di atas ” (1) bersifat deiktis karena untuk mengetahui tempat yang dimaksud diperlukan pengertian di mana si pembicara itu (yaitu B) berdiri.

4.1.3 Deiksis Waktu

Deiksis waktu berkaitan dengan pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi oleh pembicara ; sekarang, kemarin, lusa, dsb. Dalam bahasa Batak Toba juga kita menemukan deiksis waktu seperti ; sonari

“ sekarang ”, nantuari “ kemarin ”, na hinan , na uju i, marsogot, sogot, “

besok”, nabodari “ yang kemarin ”, nakkining , haduan najolo , botari borngin ,

arian anon , andigan “ kapan ”, dsb. Contoh deiksis waktu bahasa Batak Toba : (a) Annon botari ingkon ro do ahu tu jabum


(68)

(b) Di bulan Juli annon, godang do ementa Pada bulan Juli nanti banyak padi kita

Kata annon “ nanti ”, apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore, atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian, dengan nama bulan kata annon “ nanti ” dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.

(a) Sonari ma hamu borhat ! Sekaranglah kalian berangkat !

(b) Bulan Juni sonari dang tarula be hauma i.

Bulan Juni sekarang tidak dapat dikerjakan lagi sawah itu.

Kata sonari “ sekarang ” apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore, atau malam, tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan dengan kata sonari “ sekarang ” dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.

Selanjutnya, dalam kata andigan kapan ” dengan kata nandigan sama-sama memiliki referen yang sama-sama tetapi berbeda maknanya masing-masing, seperti percakapan (a) dan (b) :

(a) Andigan ho sahat? Kapan kau sampai?

(b) Nantuari “ kemarin

(a) Nandigan ho laho? Kapan kau pergi?


(69)

Kata andigan adalah kalimat yang sudah berlangsung. Sedangkan, kata nandigan adalah kalimat yang belum berlangsung.

4.1.3.1 Leksem ruang yang mengungkapkan pengertian waktu

Leksem ruang seperti jolo “ depan ”, pudi “ belakang ”, ganjang “ panjang”, gelleng “ pendek ” yang dipakai dalam pengertian waktu memberikan kesan seolah-olah waktu merupakan hal yang diam, sedangkan leksem tempat seperti datang, lalu, tiba, mendekat dalam pengertian waktu memberikan kesan bahwa waktulah yang bergerak melewati kita. Kata depan dipergunakan untuk menyatakan future, seperti tampak dalam utaraan-utaraan dibawah ini :

1. minggu na ro minggu depan 2. kamis na ro

kamis depan 3. bulan na ro

bulan depan 4. taon na ro

tahun depan 5. 2015 na ro

2015 yang akan datang

Seperti minggu na ro “ mingu depan ” dapat berarti tujuh hari setelah saat tuturan, dapat pula menunjuk pada hari dalam jangkauan waktu tujuh hari itu. Kamis na ro “ kamis depan ” berarti hari kamis berikutnya, atau tepat tujuh hari


(70)

sesudahnya. Begitu pula bulan na ro “ bulan depan ”, menunjuk pada hari dalam jangkauan waktu paling banyak 30 atau 31 hari setelah saat tuturan.

Untuk mengukur waktu yang sudah lampau juga dipakai rangkaian dengan kata na salpu “ yang lalu ”, seperti :

1. Dua minggu na salpu (dua minggu yang lalu) 2. Dua bulan na salpu

(dua bulan yang lalu) 3. Dua taon na salpu

(dua tahun yang lalu) 4. Dua hari na salpu

(dua hari yang lalu)

Satuan bukan kalender yang dapat dirangkaikan dengan kata lalu adalah kata masa. Untuk perangkaian ini kata yang tidak wajib disebutkan, contoh : 1. Tingki na salpu

Masa yang lalu 2. Tingki na ro

Masa yang akan datang

Bahwa waktu merupakan hal yang bergerak menuju kearah kita. Akan tetapi, kata tadi dan dulu adalah jangkauan waktu yang berbeda dalam hal jangkauannya. Kata tadi, dapat bertitik labuh misalnya pada satu menit, lima menit, satu jam, atau tujuh jam sebelum saat tuturan (asal tidak lebih dari satu hari sebelum saat tuturan), sedangkan kata dulu memiliki jangkauan lebih dari satu


(71)

tahun sebelum saat tuturan, dan dapat lebih jauh lagi kebelakang tanpa ada batasnya.


(72)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Setelah penulis menguraikan, menjabarkan dan menganalisis Deiksis Eksofora yang terkandung pada masyarakat Batak Toba, maka dapat diambil simpulan bahwa :

1. Analisis wacana merupakan sebuah analisis tentang bahasa yang digunakan dan tidak dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terikat pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk urusan tertentu. Dalam kajian teorinya, kajiana analisis wacana tidak berdiri sendiri, namun merupakan sebuah integrasi dengan kajian-kajian lainnya, seperti semantik, maupun pragmatik. Penganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatik terhadap penyelidikan bahasa.

2. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan aspek-aspek ilmu bahasa dan aspek-aspek nonbahasa. Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.

3. Berdasarkan pengertian maka dapat disimpulkan bahwa Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “penunjukkan”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis.


(1)

terbagi atas banyak lagi. Begitu juga, jenis deiksisnya misalnya deiksis wacana dan deiksis sosial.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 1987. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Negeri Yogyakarta.

Brecht. 1974. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka. Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya : Penerbit

Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. 2004. Bahasa Indonesia Dalam Masyarakat : Telaah Semantik. Jakarta : Rineka Cipta.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik (cetakan ke-2). 2006. Bandung : Penerbit PT Refika Aditama.

__________________ . 1999. Semantik. Edisi II. Bandung : Penerbit PT Refika Aditama.

Givon. 1979. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.

Halim, Amran. 1981. “Fungsi Politik Bahasa Nasional”. Dalam Politik Bahasa Nasional 1. Jakarta : Balai Pustaka.

Hasibuan, Namsyah Hot. 2011. Deiksis Dalam Bahasa Mandailing. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona BahasaLangkah ; Awal Memahami Linguistik. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Kimball. 1974. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka. Levinson. 1983. Pragmatik. Hongkong : Wyvern Typesetting.


(3)

Mess, C.A. 1950. Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia. Kuala Lumpur : University of Malaya Press.

Moeliono, 1969. Semantik 2. Bandung : Penerbit PT Refika Aditama. ________. 2003. Semantik 2. Bandung : Penerbit PT Refika Aditama. Nanawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian. Jakarta : Balai Pustaka.

Nababan. 1987. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.

Nababan, Marti. 2010. Deiksis Persona Dalam Bahasa Simalungun. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Poerwadarminta. 1979. Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia. Kuala Lumpur : University of Malaya Press.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1964. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.

_____________________. 1984. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.

Rusman Prayitno, Bayu. 2009. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.

Searle, dkk. 1980. Kepragmatisan Wacana. Bandung : CV Yrama Widya.

Sinaga, B. Anicetus. 2002. Tata Bahasa Batak Toba. Medan : Penerbit Bina Media.

Slametmuljana. 1969. Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Austronesia. Kuala Lumpur : University of Malaya Press.


(4)

Sudaryanto, Yayat. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.

Supinah. 2006. Deiksis Waktu Dalam Bahasa Jawa. Jawa : Universitas Indonesia. Wahyudi, Marli. 1999. Deiksis Persona Dalam Bahasa Jawa. Jawa : Universitas

Indonesia

Yule, George. 1996. Pragmatics. Hongkong : Wyvern Typesetting.

___________. 2006. Pragmatik. Terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab.Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.


(5)

LAMPIRAN DAFTAR INFORMAN

Nama : Rospita Tampubolon Umur : 58 Tahun

Agama : Kristen Protestan Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Lumban bul-bul

Nama : Theresia Tanggang Umur : 70 Tahun

Agama : Kristen Protestan Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Wirastasta

Alamat : Desa Lumban bul-bul

Nama : Emmelia Simanjuntak Umur : 67 Tahun

Agama : Kristen Protestan Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Lumban bul-bul


(6)

Umur : 64 Tahun

Agama : Kristen Protestan Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani