Revolusi Twitter Dari Gerakan Wacana ke

REVOLUSI TWITTER: DARI GERAKAN WACANA KE AKSI NYATA
1.

Pendahuluan
Apa yang terjadi di dunia belakangan ini boleh dikatakan tidak terlepas dari

peran media. Sejak akhir abad ke-17 di mana Revolusi Industri meletus di Inggris,
media—terutama cetak—mulai memiliki tempat di masyarakat. Lahirnya mesin uap
yang kemudian memicu lahirnya mesin-mesin industri lain, media mulai bisa
memproduksi dirinya untuk menyampaikan informasi ke masyarakat.
Media bisa dikatakan sebagai penggerak masyarakat, di mana sebelumnya ia
berperan sebagai pembentuk opini masyarakat. Sebagai contoh, peran radio saat
kemerdekaan Indonesia sangat besar untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa
Indonesia telah merebut kemerdekaan dari Jepang. Radio membentuk opini publik
untuk menerima bahwa Indonesia telah merdeka, mengubah pandangan publik dari
stigma penjajahan ke kemerdekaan. Saat agresi militer dilancarkan oleh Belanda, para
pejuang pun menggunakan radio untuk menyebarkan semangat perjuangan dan
menggerakkan rakyat untuk turun ke medan perang.
Perkembangan media yang sangat pesat ini membuat muara media sampai ke
ranah media sosial atau dunia maya. Sekitar tahun 2011, masyarakat dunia digoncang
oleh revolusi Iran yang dikatakan sebagai hasil dari revolusi twitter. Twitter dianggap

mampu menggerakkan orang untuk turun ke jalan dan menyampaikan suara mereka ke
pemerintah. Twitter—atau lebih luasnya media sosial—dianggap sebagai katalis
revolusi di mana keberadaannya sangat penting untuk mengumpulkan massa.

Namun Malcolm Gladwell (2010) mengatakan bahwa revolusi tersebut bukan
disebabkan oleh peran twitter. Ia menyatakan bahwa sosial media tidak menyediakan
apa yang dibutuhkan untuk perubahan sosial. Sosial media seperti twitter dianggap tidak
memadai untuk menimbulkan apa yang disebut dengan perubahan sosial. Revolusi yang
terjadi di Iran pun sesungguhnya bukan disebabkan oleh twitter, mengingat hanya
0.027% masyarakat Iran yang menggunakan Twitter (Somaiya, 2009). Meskipun tidak
bisa dipungkiri bahwa 20% orang Amerika memperhatikan berita tentang Iran lebih dari
yang lain.
Keberadaan Twitter dan sosial media lainnya sebagai bahan bakar dari
perubahan sosial pun menjadi keberadaan yang semu. Selain diakui sebagai katalis
penggerak masyarakat untuk bergerak, pergerakan masyarakat pun cenderung menjadi
pasif dan tidak mendalam. Begitu kuatnya peran media sosial di masyarakat, membuat
masyarakat merasa sudah banyak ‘membantu’ dengan sekedar mengklik tombol ‘like’
atau sekedar me-retweet apa yang diunggah oleh orang lain.
Turunnya masyarakat ke jalan dengan difasilitasi oleh media sosial pun masih
disangsikan penyebabnya. Apakah karena media sosial ataukah karena kegelisahan

bersama? Melihat lemahnya ikatan yang ada di media sosial—di mana orang tidak perlu
untuk bertatap muka dan memperdalam hubungan dengan orang lain—maka sangat sulit
untuk percaya bahwa twitter-lah yang menyatukan orang-orang. Namun akan timbul
juga pertanyaan, ‘Lalu apa yang mengikat mereka?’.
Dialektika yang terjadi tentang peran twitter ini menjadi bahan kajian yang
menarik, mengingat dunia saat ini sudah mulai terjun ke ranah digital. Dengan gadget

mumpuni dan fasilitas internet yang menjangkau siapa saja, maka setiap orang saat ini
berhak untuk bersuara melalui akun media sosial yang mereka miliki. Apakah suara
independen mereka ini berpengaruh terhadap perubahan sosial, bahkan revolusi, ini
adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh banyak pihak secara mendetail.
2.

Menelaah Kembali Makna Revolusi
“If you wish to understand what Revolution is, call it Progress; and if you wish
to understand what Progress is, call it Tomorrow.” –Victor Hugo.
Jalaludin Rakhmat mengartikan revolusi sebagai bentuk dari perubahan
sosial yang paling spektakuler yang membentuk seluruh aspek kehidupan
berbangsa. Revolusi ini terjadi ketika seluruh elemen masyarakat merasa jenuh
dengan sistem yang memerintah. Sistem yang tidak memihak rakyat, korup, dan

tidak mampu membawa perubahan akan ditentang oleh masyarakat. Jika sistem
yang ada sudah sangat tidak relevan, maka revolusi adalah hal yang mutlak
diperlukan.
Namun sesungguhnya yang penting dari revolusi adalah bukan siapa
yang digantikan, tapi dengan apa menggantikannya. Revolusi belum dikatakan
sebagai revolusi jika hanya menggantikan pemimpin negara yang sebelumnya
dianggap tidak becus memimpin negara. Revolusi yang terjadi di Mesir tahun
2011 belum bisa dikatakan sebagai revolusi karena hanya menjatuhkan Husni
Mubarak. Masyarakat belum bisa membawa sistem baru yang bisa digunakan
untuk mengganti rezim otoriternya Husni Mubarak. Jikalau ada, sistem tersebut
belum keseluruhan matang sehingga belum bisa menggantikan sistem yang

lama. Presiden Mursi naik, namun orang-orang di belakangnya masihlah orangorang yang dekat dengan Husni Mubarak, sehingga legitimasi Mursi di hadapan
orang-orang yang bekerja sama dengannya kecil.
Revolusi yang terjadi tahun 1998 di Indonesia pun boleh dibilang masih
diragukan untuk disebut sebagai revolusi. Rakyat Indonesia memang berhasil
menumbangkan Soeharto dan sistem otoriter yang ia jalankan, terbukti dengan
reformasi demokrasi yang mulai berlaku di Indonesia saat itu. Namun, saat itu
rakyat tidak menyiapkan pemimpin yang bisa menggantikan Soeharto dan bisa
melaksanakan sistem demokrasi yang telah disiapkan. Akibatnya, pasca

reformasi, Indonesia masih berjalan dengan satu kaki. Borok yang diakibatkan
rezim otoriter masih harus terus disembuhkan hingga saat ini.
Revolusi Twitter sendiri masih harus ditelaah kembali pengertiannya.
Apakah twitter bisa menyebabkan revolusi, seperti yang saat ini dianggap telah
terjadi di Iran, Mesir, Libya, dan negara Timur Tengah lainnya, ataukah revolusi
itu sendiri yang sedang terjadi di dalam tubuh Twitter? Di mana twitter beralih
fungsi dan jejaring sosial biasa tempat orang mencurahkan perasaannya dalam
140 karakter, menjadi jejaring besar yang mampu membentuk opini masyarakat.
3.

Kronologi Revolusi Twitter
Revolusi twitter mulai ramai dibicarakan orang sejak Revolusi Iran
meletus pada tahun 2009. Saat itu, ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil
pemilu menimbulkan banyak konflik dan perpecahan yang mengakibatkan
pemerintah memblokir media, kecuali media sosial seperti facebook dan twitter.

Kekecewaan masyarakat pun akhirnya tumpah di media sosial ini, media di
mana mereka bisa meluapkan kekecewaan mereka dan terus menyerang
pemerintah. Kekuatan media sosial ini juga dibantu oleh para pengguna
facebook dan twitter di seluruh dunia dengan perantara bahasa Inggris.

Pada tanggal 13 Juni 2009, Andrew Sullivan, seorang blogger, menulis di
Atlantic, “You cannot stop people any longer. You cannot control them any
longer. They can bypass your established media; they can broadcast to one
another, they can organize as never before.” Sullivan menggambarkan kekuatan
media sosial yang besar yang bahkan tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.
Pemerintah pun tak berdaya dengan media yang telah mereka kuasai. Orangorang masih bisa berkomunikasi dan menggerakkan massa hanya dengan
kekuatan media sosial.
Pada tahun 2011, dunia kembali digoncangkan dengan Revolusi Mesir
yang disebut-sebut digerakkan oleh kekuatan facebook. Ketidakpuasan
masyarakat Mesir akan pemerintahan Husni Mubarak yang telah berlangsung
selama 30 tahun lebih membuat masyarakat bergerak untuk melancarkan kudeta.
Pemerintah Mesir sempat memblokir internet pada tanggal 26 Januari 2011,
namun letupan kekecewaan kembali terjadi saat saluran internet kembali dibuka
pada tanggal 2 Februari 2011.
Kekuatan media sosial yang besar ini berdampak cukup besar pada
kondisi perpolitikan negara-negara Timur Tengah. Syiria, Libya, Lebanon yang
sebelumnya mengalami konflik internal juga turut memblokir internet selama

beberapa waktu untuk meredam gejolak perlawanan. Namun, seperti yang bisa
dibayangkan, masyarakat hanya akan diam sementara, lalu kembali bergejolak

saat saluran internet kembali dibuka.
4.

Penyebab Terjadinya Revolusi Twitter
Revolusi Twitter—jikalau ia bisa dikatakan sebagai revolusi—tidak terjadi di

semua tempat. Negara-negara Timur Tengah boleh dikatakan sebagai wilayah yang
paling banyak mengalami revolusi, dan sebagian besar didukung oleh revolusi twitter
ini. Kekuatan satelit televisi dan internet yang tidak bisa dikontrol penuh oleh
pemerintah menjadi salah satu penyebab kenapa revolusi lahir dari tangan teknologi.
Pemerintah di daerah Timur Tengah yang cenderung otoriter mengontrol seluruh
media, terutama media cetak. Saat gelombang satelit televisi dan internet masuk, masih
sedikit masyarakat Arab yang menggunakannya. Hanya sekitar 10~15% masyarakat
Arab yang memiliki akses tetap untuk saluran televisi satelit, dan persentase yang lebih
kecil lagi untuk akses ke media Arab internasional, juga sambungan ke internet
(Alterman, 1998). Masyarakat memang bisa terhubung dengan media, namun mediamedia tersebut masih merupakan media yang dikontrol oleh pemerintah sehingga opini
masyarakat pun hanya berasal dari apa yang pemerintah ‘instruksikan’.
Morozov mengatakan bahwa revolusi twitter hanya akan terjadi jika rezim yang
berkuasa mengabaikan dan tidak menganggap internet sebagai kekuatan besar. Ini juga
yang mungkin bisa menjelaskan kenapa di China tidak mengalami revolusi twitter.

Pemerintah China menyadari kekuatan besar dari internet—dengan koneksinya yang tak
terbatas ke dunia luar—sehingga mereka memblokir situs-situs seperti Google, Twitter,

dan Facebook, dan menggantinya dengan situs China yang serupa. Dengan ini, koneksi
masyarakat China ke luar menjadi terbatas dan letupan-letupan untuk mendukung
terjadinya revolusi pun kecil. Revolusi twitter pertama yang terjadi di Iran pun terjadi
karena pemerintah memblokir saluran televisi dan semua website, kecuali twitter.
Masyarakat pun beralih ke twitter, dan dengan dukungan dari luar negeri, maka isu ini
pun berkembang luas.
Twitter juga bisa dikatakan melebihi peran negara untuk mendengarkan aspirasi
masyarakat secara langsung. Masyarakat bisa mengungkapkan masalah mereka ke
publik, meskipun publik belum tentu memberikan feedback yang mereka inginkan.
Namun, mulai terlihat pergeseran animo masyarakat terhadap negara. Jika dulu orang
harus pergi ke kantor polisi untuk melaporkan barangnya yang hilang, kini orang tinggal
menulis di twitter bahwa ia kehilangan barang dan secara otomatis meminta seluruh
temannya untuk membantu mencari barangnya. Tidak jarang orang bisa menemukan
kembali barangnya yang hilang dengan hanya menulis di twitter, dan tak perlu repotrepot ke kantor polisi. Lambat laun orang mulai melupakan peran serta negara dan
hanya fokus ke twitter. Meskipun negara pun menyadari hal ini, lalu membuat berbagai
akun official yang bisa dijangkau oleh masyarakat.
Ketika negara tidak mampu menjalankan fungsi sesungguhnya untuk

mengakomodasi kepentingan masyarakat, maka masyarakat pun akan membentuk
negara ‘semu’ lewat twitter ini. Batas-batas negara secara geografis pun menjadi kabur
mengingat siapa saja di dunia ini bisa mengakses twitter tanpa peduli kewarganegaraan
mereka. Konsep ini mirip dengan neoliberalisme di mana peran negara menjadi tidak

begitu penting. Masyarakat hanya meminta negara menyediakan fasilitas untuk kegiatan
mereka dan tidak menghalang-halangi kegiatan masyarakat.
5.

Revolusi Twitter = Revolusi Semu?
Revolusi Twitter mengundang pro dan kontra di antara banyak kalangan.

Andrew Sullivan pertama kali mengungkapkan tentang Revolusi Twitter ini dalam
artikelnya yang berjudul The Revolution Will Be Tweeted di situs Atlantic. Ia
mengungkapkan bahwa diamnya media melukiskan masyarakat saat itu. Peran twitter
sangat penting untuk menggerakkan massa ke jalan, memprotes pemerintah dan
mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan.
Artikel Sullivan ini mendapat tanggapan dari Malcolm Gladwell, yang kemudian
menulis ‘The Revolution Will Not Be Tweeted’ yang dipublikasikan di NewYorker.
Gladwell mengungkapkan bahwa perubahan sosial tidak ditentukan oleh media sosial.

Ia menganalogikan demonstrasi yang dilaksanakan oleh mahasiswa di North Carolina
A. & T. Tahun 1960 bisa mengumpulkan massa banyak tanpa melalui jejaring sosial.
Meskipun terlihat seperti massa terkumpul melalui jejaring sosial (lewat fan page
ataupun petisi online), namun sesungguhnya yang menyatukan massa untuk turun ke
jalan bukanlah media sosial, tapi rasa kecewa terhadap pemerintah yang dirasakan oleh
seluruh kalangan masyarakat.
Guru besar sosiologi Zeynep Tufekci yang juga mengamati revolusi di Tunisia,
berpendapat bahwa media sosial berperan penting dalam revolusi, namun hanyalah nice
to have, bukan syarat mutlak. Media sosial diibaratkan sebagai perantara untuk
mengumpulkan massa, bukan penyebab massa berkumpul. Sama seperti radio yang

digunakan dahulu untuk membakar semangat masyarakat untuk berperang, media sosial
juga digunakan sebagai perantara untuk membakar semangat massa.
Mengabaikan sama sekali peran twitter memang tidak bisa dilakukan. Pendiri
twitter, Biz Stone menyangkal bahwa twitter sama sekali tidak berperan dalam
perubahan sosial. Twitter telah berperan banyak dalam berbagai aktivisme penting.
Banyak gerakan kemudian lahir dari twitter. Di Indonesia saja, tidak bisa dinafikan
gerakan seperti #IndonesiaTanpaJIL, #IndonesiaUnite, lahir dan besar di twitter.
Namun di sini yang harus dicermati adalah perubahan bentuk kontribusi massa
terhadap perubahan. Sebelum tahun 2000-an, kontribusi diartikan sebagai semangat

untuk turun ke jalan dan langsung mengubah dengan tangan. Namun setelah hegemoni
twitter meluas, kontribusi diartikan sebagai retweet ataupun mengklik tombol like di
facebook. Dengan sekedar menekan tombol retweet, orang menganggap dirinya sudah
berkontribusi besar untuk suatu perubahan.
Dengan mudahnya anggapan berkontribusi—dengan sekali klik—membuat
orang hanya bergerak di depan gadget-nya. Orang menganggap dirinya sudah banyak
berbuat dengan sekedar menyebarkan informasi lewat twitter. Tingkat popularitas pun
mulai diukur dengan berapa banyak follower maupun berapa jumlah like-nya. Selain
memiliki sisi positif di mana informasi bisa tersebar luas dengan cepat dan twitter bisa
membuat orang merasakan simpati yang sama dalam waktu singkat, twitter bisa menjadi
bumerang tersendiri bagi perkembangan suatu bangsa.
Ketika perjuangan dimaknai sebatas aktivitas seseorang di twitter, maka nadinadi kehidupan bangsa itu bisa lumpuh. Orang akan lebih memilih untuk

mempublikasikan karya orang lain yang berguna bagi bangsa dan dunia ketimbang
membuat karya itu sendiri. Orang lebih memilih untuk duduk di depan komputer dan
menyuarakan kepada orang lain untuk peduli terhadap bangsa ini, ketimbang melakukan
sesuatu yang nyata untuk memperbaiki bangsa ini.
Revolusi twitter bisa dikatakan sebagai revolusi ketika twitter itu benar-benar
bisa menggerakkan orang untuk berbuat di dunia nyata, bukan untuk berbuat di twitter
itu sendiri. Sama dengan media lainnya seperti media cetak maupun elektronik, twitter

berfungsi untuk membentuk opini publik. Opini inilah yang kemudian akan
menggerakkan banyak orang untuk berbuat.
6.

Twitter : Dari Gerakan Wacana ke Aksi Nyata
Sebagaimana diungkapkan di atas tentang pro dan kontra dari revolusi twitter,

twitter bisa dianggap sebagai peluang untuk melakukan perubahan sosial. Kendati
Gladwell menganggap media sosial tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan untuk
perubahan sosial. Memang twitter bisa mendekatkan orang dengan berbagai macam
kebudayaan, di mana akulturasi kebudayaan sangat mungkin untuk bisa terjadi. Namun
ikatan personal di twitter sangat lemah, orang hanya menganggap teman twitternya
sebagai teman sambil lalu yang tidak memiliki deep contact. Pada akhirnya, perubahan
sosial tidak akan terjadi karena hanya akan menyentuh lapisan terluar dari sistem
kebudayaan yang sudah mapan.
Twitter bisa diibaratkan sebagai katalis perubahan, di mana ia mendukung
perubahan sosial namun ia tidak ikut bereaksi dalam perubahan itu sendiri. Peran twitter
sebagai perantara maya banyak kalangan bisa dimanfaatkan untuk perubahan sosial.

Perubahan sosial ini tentu saja tetap akan dibintangi oleh manusia, manusia dan
sistemnya-lah yang akan berubah. Twitter sebagai sebuah jembatan perubahan itu
sendiri tidak mengalami perubahan.
Higgs (dalam Kellner, 2003: 84) mengungkapkan bahwa teknologi bersifat
netral. Ketika media-media lain seperti media cetak maupun media elektronik
ditanyakan indepensinya, twitter dan media sosial lainnya berdiri sebagai media yang
mengusung independensi. Setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya di media
sosial semacam twitter, facebook, maupun blog tanpa takut mendapat kecaman dari
pemerintah. Setiap orang bisa memberikan informasi kepada orang lain tanpa takut
dengan kepentingan yang akan menghimpitnya. Independensi twitter ini bisa menjadi
modal untuk perubahan sosial di masa depan.
Ketika jarak geografis tidak lagi menjadi penting, manusia akan semakin
meneguhkan independensi yang ia miliki. Setiap manusia akan cenderung menjadi
individualis, namun ia akan tetap pada kodratnya sebagai makhluk sosial. Ruang
interaksi setiap orang mungkin akan semakin beragam dengan tidak mesti bertatap
muka. Ketika seseorang mampu bertahan di sini, maka independensi menjadi sesuatu
hal yang tidak usah dipertanyakan lagi.
Kernell (2003: 84) mengatakan bahwa tahapan baru tekno kapitalisme ditandai
dengan penyebarluasan informasi baru dan teknologi dan industri hiburan, dan dengan
demikian keduanya merupakan perluasan kebudayaan, media, internet, dan sintesisnya
di masa mendatang. Kernell menganggap bahwa internet—ditambah dengan fitur media
sosialnya—merupakan potensi yang tidak bisa diabaikan untuk perubahan sosial. Saat

setiap orang sudah terpaku dan hidup dalam kungkungan teknologi, maka dengan
sendirinya perubahan sosial akan terjadi melalui perantara teknologi tersebut.
Di masa di mana ideologi konservatif sudah tidak lagi diperhatikan oleh orang,
maka saat ini gerak perubahan mulai memasuki tahap ide. Di sinilah twitter bisa
berperan untuk pengembangan ide. Dengan mudahnya setiap orang untuk melemparkan
wacana ke publik, maka ide akan mengalir dengan sendirinya. Gerakan-gerakan seperti
#IndonesiaTanpaJIL atau #IndonesiaUnite juga mungkin diawali dengan pelemparan isu
oleh sekelompok orang lalu akhirnya bergulir menjadi ide bagaimana untuk membentuk
Indonesia tanpa Jaringan Islam Liberal (JIL), atau bagaimana cara menyatukan
Indonesia.
Namun, seperti yang telah diungkapkan di atas, mudahnya pelemparan wacana
ke publik ini bagaikan bumerang di mana setiap orang merasa sudah berbuat dengan
hanya beraktivitas di dunia maya. Gerakan wacana twitter pada akhirnya harus
direalisasikan ke dunia nyata jika ingin membuat suatu perubahan sosial. Di sinilah titik
lemahnya di mana kondisi masyarakat yang sudah serba digital sekarang ini, cenderung
sangat susah untuk turun ke dunia nyata. Idiom ‘dunia dalam satu genggaman’ menjadi
dalih untuk tidak berbuat apa-apa selain berpegang pada gadget.

DAFTAR PUSTAKA
Alterman, Jon B. 1998. New Media, New Politics?: From Satellite Television to The
Internet in The Arab World. Washington: Washington Institute for Near East
Policy.
Alterman, Jon B. 2011. The Revolution Will Not Be Tweeted. Washington: The
Washington Quarterly.
Kellner, Douglas Dr. 2003. Teori Sosial Radikal. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
Heacock, Rebekah. 2009. Twitter Revolution. Columbia: The Journalism School.

DAFTAR LAMAN
Gladwell, Malcolm. 2010. Small Change: Why The Revolution Not Be Tweeted.
http://www.newyorker.com/reporting/2010/10/04/101004fa_fact_gladwell.
Morozov, Evgeny. 2009. Iran: Downside to “Twitter Revolution”.
http://www.evgenymorozov.com/morozov_twitter_dissent.pdf
Somaiya, Ravi. 2009. The Revolution Will Not Be Tweeted Because Only 0.027% of
Iranians Are On Twitter. http://valleywag.gawker.com/5400268/the-revolutionwill-not-be-tweeted-because-only-0027-of-iranians-are-on-twitter.
Sullivan, Andrew. 2009. The Revolution Will Be Twittered.
http://andrewsullivan.theatlantic.com/the_daily_dish/2009/the-revolution-willbe-twittered-1.html.