Laporan Praktek Rumput Laut docx

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Peningkatan produksi akuakultur telah memberikan kontribusi sebesar 40.10 %
dari total produksi perikanan dunia pada tahun 2011 (FAO 2013). Peningkatan produksi
tersebut sejalan dengan meningkatnya pula pertumbuhan sektor budidaya laut yang
semakin lama semakin pesat, yang secara tidak langsung menyebabkan akumulasi
limbah dari kegiatan akuakultur di laut semakin tidak teratasi. Namun dalam
perkembangan kegiatan budidaya laut di beberapa kawasan mengakibatkan kerusakan
habitat ataupun ekosistem laut jika tidak dikelola dengan arif dan bijaksana. Kerusakan
ini terjadi akibat dari limbah yang tidak termanfaatkan sehingga menyebabkan racun bagi
organisme di sekitar budidaya. Hal ini terjadi karena kegiatan budidaya laut dilakukan
secara parsial. Oleh karena itu, pengembangan budidaya laut harus dikelola secara
berkelanjutan dengan menerapkan sistem integrasi (Setyowati, 2013).
Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekonomi penting yang menjadi
unggulan Indonesia. Menurut statistik FAO tahun 2010, produksi rumput laut Indonesia
menempati peringkat kedua setelah Cina, dengan total produksi sebesar 3,90 juta ton

atau 20,60% dari total produksi rumput laut dunia (FAO, 2013). Spesies rumput laut yang
banyak dibudidayakan di perairan Indonesia adalah jenis Kappaphycus alvarezii dan
Eucheuma spinosum (Atmadja et al., 2012). Hal ini disebabkan oleh teknik budidaya
yang mudah dan permintaan pasar yang cukup tinggi. Sentra pengembangan budidaya
rumput laut di Indonesia tersebar di beberapa provinsi di antaranya : Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa
Tenggara Barat. Metode budidaya rumput laut yang telah berkembang saat ini dan
dikenal secara umum oleh masyarakat meliputi metode lepas dasar, metode rakit apung,
dan metode rawai (Parenrengi et al., 2011)
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor
oseanografi (fisika, kimia, dan dinamika air laut), serta jenis substratnya. Rumput laut
banyak dijumpai pada daerah perairan yang dangkal (intertidal dan sublitorral) dengan
kondisi perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya. Menurut (Wong &
Cheung, 2000),
Secara umum, budidaya rumput laut Indonesia masih dilakukan dengan cara
tradisional, bersifat sederhana, dan belum banyak mendapat input teknologi dari luar
(Anonim, 2007; Sudjiharno et al., 2001). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam

2
budidaya rumput laut, adalah: (1) pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan bagi jenis

rumput laut yang akan dibudidayakan. Hal ini perlu karena ada perlakukan yang berbeda
untuk tiap jenis rumput laut, (2) pemilihan atau seleksi bibit, penyediaan bibit, dan cara
pembibitan yang tepat, (3) metode budidaya yang tepat, (4) pemeliharaan selama musim
tanam, dan (5) metode panen dan perlakuan pascapanen yang benar.
Berdasarkan beberapa urairan diatas kita dapat mengetahui bahwa rumput laut
merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia dan sangat bagus untuk
di kembangkan. Maka itu perlu dilakukan kajian tentang peran rumput laut agar dapat
berkelanjutan.

1.2 Tujuan
Praktek budidaya rumput laut ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengetahui jenis-jenis rumput yang berada di Kawasan perairan teluk Banten
terutama di Pulau Lima dan Pulau Pisang
2. Mengetahui metode budidaya dan tingkat kenaikan pertumbuhan rumput laut di
Kawasan perairan teluk Banten
Sebagai syarat untuk dapat mengikuti ujian akhir semester pada mata kuliah Teknik
Budidaya Laut II

3


II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eucheuma cottonii
Menurut Atmadja dkk (1996), rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan
salah satu rumput laut dari jenis alga merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki
thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh
melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram.
Salah satu spesies dari divisi Rhodophyta, yaitu Eucheuma cottonii. Menurut
Doty (1985),

Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah

(Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan
yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi
disebut

Kappaphycus alvarezii. Nama daerah cottonii


umumnya lebih dikenal dan

biasadipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.
2.1.1. Klasifikasi Eucheuma cottonii
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales


Famili

: Solieracea

Genus

: Eucheuma

Species

: Eucheuma alvarezii

Gambar 1. Eucheuma cottonii

4

2.1.2. Morfologi dan Karakteristik Eucheuma cottonii
Dari segi morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara
akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang

mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk- bentuk tersebut sebenarnya hanyalah
thallus rumput laut ada bermacam- macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih,
gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Thalli ini ada yang
tersusun uniselluler (satu sel) atau multiselluler (banyak sel). Percabangan thallus ada
yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada
suatu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua- dua pada sepanjang thallus utama
secara berselang seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu
utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang. Sifat substansi thalli juga
beraneka ragam, ada yang lunak seperti gellatin (gellatinous), keras diliputi atau
mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous) ,
berserabut (spongious) dan sebagainya.
Struktur anatomi thallus untuk tiap jenis rumput laut berbeda- beda, misalnya
pada family yang sama antara Eucheuma spinosum dengan Eucheuma cottonii,
potongan thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda . Perbedaaanperbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam
mengidentifikasi jenis, genus ataupun family.
Pigmen yang terdapat dalam thallus rumput laut dapat digunakan dalam
membedakan berbagai kelas. Pigmen ini dapat menentukan warna thallus sesuai dengan
pigmen yang ada pada kelas Chlorophyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan
Cyanophyceae. Perbedaan warna thalli menimbulkan adanya ciri algae yang berbeda
seperti Algae hijau, algae coklat, algae merah dan algae biru. Namun dalam

kenyataannya kadang-kadang kita sulit menentukan salah satu kelas hanya berdasarkan
pada warna thallus yang kita ketahui, karena algae merah kadang-kadang berwarna
hijau kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklata-coklatan.
Menurut Aslan (1991), keadaan warna tidak selalu tetap, kadangkadang berwarna
hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan.
Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara
proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan.
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin,
cartilogeneus (menyerupai tulang rawan/muda) serta berwarna hijau terang, hijau olive
dan cokelat kemerahan. Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi

5
nodulus (tonjolan-tonjolan), mempunyai duri yang lunak tumpul untuk melindungi
gametangia. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teraatur, serta dapat
bersifat dichotamus (percabangan dua-dua) dan trichotamus (percabangan tiga-tiga).
Tumbuh melekat kesubtrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang cabang pertama
dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan cirri khusus mngarah
kearah datangnya sinar matahari. Cabang cabang tersebut ada yang memanjang atau
melengkung seperti tanduk.


2.1.3. Habitat Eucheuma cottonii
Menurut Wenno (2009), habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yaitu
perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman perairan
7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,57,0 dan kecepatan arus 2248 cm/detik. Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan
baik di daerah pantai terumbu (reef).
Menurut Kadi (2004), Eucheuma cottoni tersebar hampir di seluruh perairan di
Indonesia. Rumput laut ini biasa hidup di habitat dengan daerah rataan terumbu karang,
daerah dalam tubir, dengan substrat tempatnya hidup biasanya pada karang mati,
pecahan karang, pasir dengan dasar berupa karang mati.
2.1.4. Manfaat Eucheuma cottonii
Menurut Ghufran (2010), sejak berabat-abad yang lalu, rumput laut atau alga
telah dimanfaatkan penduduk pesisir Indonesia sebagai bahan pangan dan obat-obatan.
Saat ini, pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang pesat. Selain
digunakan untuk pengobatan langsung, olahan rumput laut kini juga dapat dijadikan agaragar, algin, karaginan, dan furselaran yang merupakan bahan baku penting dalam
industri makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain.
Pada industri makan, olahan rumput laut digunakan untuk pembuatan roti, sup, es
krim, serbat, keju, puding, selai, susu, dan lain-lain. Pada industri farmasi, olahan rumput
laut digunakan sebagai obat peluntur, pembungkus kapsul obat biotik, vitamin, dan lainlain.
Pada industri kosmetik, olahan rumput laut digunakan dalam produksi salep, krim,

lotion, lipstik, dan sabun. Disamping itu lahan rumput laut juga digunakan oleh industri

6
tekstil, industri kulit dan industri lainnya untuk pembuatan plat film, semir sepatu, kertas,
serta bantalan pengalengan ikan dan daging.
Menurut Sadhori (1990), Eucheuma cottonii adalah merupakan rumput laut yang
memiliki kemampuan untuk menyerap Pb dalam thallusnya. Hal ini dikarenakan pada
Eucheuma cottonii terdapat karaginan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi
memiliki fungsi hampir sama dengan alginat yaitu dapat mengikat ion logam berat.
Menurut Winarno (1990), Eucheuma cottonii merupakan sumber penghasil
karaginan untuk daerah tropis. Keraginan memiliki perana penting sebagi stabilisator
(pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi,
dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan,
kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi, dan industri lainnya.
Menurut Sheehan (1998), Pada bidang farmasi, Eucheuma dimanfaatkan dalam
pembuatan obat-obatan, seperti adanya kandungan zat anti HIV dan anti herpes. Dapat
diproses menjadi menjadi minyak nabati, yang selanjutnya diproses menjadi biodiesel.
Setelah diambil minyaknya, sisa ekstraksinya yang berupa karbohidrat dapat
difermentasikan menjadi alkohol, baik dalam bentuk methanol maupun ethanol.
2.2. Eucheuma spinosom

Rumput laut Eucheuma spinosum merupakan termasuk kelompok penghasil
karaginan (berupa garam sodium, kalsium dan potasium dari senyawa polisakarida sulfat
asam karaginat) yang disebut karaginofit. Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768
oleh Burman dengan nama Fucus denticulatus Burma, selanjutnya pada tahun 1847 J.
Agardh memperkenalkannya dengan nama Eucheuma J. Agardh. Dalam beberapa
pustaka ditemukan bahwa Eucheuma spinosum dan Eucheuma muricatum adalah nama
untuk satu spesies gangang. Dalam dunia perdagangan Eucheuma spinosum lebih
dikenal dari pada Eucheuma muricatum.
Euchema spinosum banyak dibudidayakan diwilayah Bantaeng dan Takalar. Akan
tetapi species ini masih belum banyak diteliti bagaimana cara ekstrasi untuk
menghasilkan iota keraginan maupun komposisi kimia yang dikandung iota keraginan
permanen maupun dodol bahkan banyak yang dijual kering tanpa melaui pengolahan.
2.2.1. Klasifikasi Eucheuma spinosum
Menurut Atmadja dkk (1996), klasifikasi dari Eucheuma spinosum adalah sebagai
berikut :

7
Kigdom

: Plantae


Devisi

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Sub kelas

: Florideae

Ordo

: Gigartinales

Famili

: Solieriaceae

Genus

: Eucheuma

Spesies

: Eucheuma spinosum

Gambar 2. Eucheuma spinosum
2.2.2. Morfologi dan Karakteristik Eucheuma spinosum
Umumnya ciri-ciri dari Euchema sp yaitu thallus silindris, percabangan thallus
berujung runcing atau tumpul, dan ditumbuhi tonjolan-tonjolan, berupa duri lunak yang
tersusun berputar teratur mengelilingi cabang. Bentuk dari rumput laut ini tidak
mempunyai perbedaan susunan kerangka antara akar, batang, dan daun. Keseluruhan
tanaman ini merupakan batang yang dikenal sebagai talus (thallus). Thallus ada yang
berbentuk bulat, silindris atau gepeng bercabang-cabang. Rumpun terbentuk oleh
berbagai sistem percabangan ada yang tampak sederhana berupa filamen dan ada pula
yang berupa percabangan kompleks. Jumlah setiap percabangan ada yang runcing dan
ada yang tumpul. Permukaan kulit luar agak kasar, karena mempunyai gerigi dan bintikbintik kasar.
Eucheuma spinosum memiliki permukaan licin, berwarna coklat tua, hijau coklat,
hijau kuning, atau merah ungu. Tingginya dapat mencapai 30 cm. Eucheuma spinosum

8
tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang
pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengn ciri khusus
mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang
memanjang atau melengkung seperti tanduk.

2.2.3. Habitat Eucheuma spinosum
Menurut Monus et al (2007), E. spinosum membutuhkan tempat hidup (habitat)
yang mempunyai persyaratan lingkungan perairan laut tertentu, untuk mendukung
kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Perairan laut yang baik adalah berada pada
kisaran

hidup

dan

tumbuh

yang

dikehendaki

rumput

laut,

sehingga

apabila

pertumbuhannya tinggi maka kandungan karaginannya juga akan meningkat.
Di alam, alga laut Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada karang mati di
bawah garis surut terendah. Alga ini menerima jumlah cahaya matahari yang berbedabeda untuk berfotosintesa sesuai dengan kedalamannya. Untuk mengetahui pengaruh
kedalaman terhadap laju pertumbuhan E. spinosum, telah dilakukap. percobaan
pendahuluan selama dua bulan di Goba Besar II Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu.
Percobaan dilakukan pada tiga kedalaman: 30, 60, dan 90 cm dari permukaan dengan
menggunakan rak terapung. Laju pertumbuhan diukur dengan menimbang berat
basahnya setiap pekan. Hasil menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata E.
spinosum pada kedaJaman 30 cm adalah 2,5%/hari, sedangkan pada kedalaman 60 dan
90 cm hanya sekitar 2,0%/hari. Di samping mempengaruhi laju pertumbuhan, tampaknya
kedalaman juga berpengaruh terhadap bentuk morfologis dan warna batang alga.
Pengaruh sifat-sifat kimia, fisika, dan biologi terhadap pertumbuhan E. spinosum
Eucheuma spinosum tumbuh pada tempat-tempat yang sesuai dengan
persyaratan tumbuhnya, antara lain tumbuh pada perairan yang jernih, dasar perairannya
berpasir atau berlumpur dan hidupnya menempel pada karang yang mati. Persyaratan
hidup lainnya yaitu ada arus atau terkena gerakan air. Kadar garamnya antara 28-36
ppm. Dari beberapa persyaratan, yang terpenting adalah Eucheuma spinosum
memerlukan sinar matahari untuk dapat melakukan fotosintesis.

2.2.4. Manfaat Eucheuma spinosum
Rumput laut (Eucheuma spinosum) adalah salah 1 komoditas ekspor yang
potensial untuk dikembangkan. Disamping permintaan pasar yang tinggi, Indonesia

9
mempunyai sumberdaya yang cukup besar baik yang alami maupun untuk budidaya.
Rumput laut Eucheuma spinosum dapat diolah menjadi karaginan yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Karaginan ialah senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa
polisakarida rantai panjang dan diekstraksi dari rumput laut jenis karaginofit. Karaginan
banyak digunakan pada industri pangan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi
dan industri lainnya. Karaginan memiliki peranan yang sangat penting sebagai
stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel,
pengemulsi.

2.3. Sargassum sp
Menurut Guiry (2007), Sargassum sp. adalah rumput laut yang tergolong dalan
Divisi Phaeophyta (gangang coklat),dan dapat tumbuh hingga mencapai panjang 12
meter. Berwarna coklat kuning kehijauan, dengan struktur tubuh terbagi atas holdfast
yang bersfungsi sebagai struktur basal, sebuah stipe atau batang semu dan frond
berbentuk seperti daun.Warna coklat pada Sargassum muncul akibat dominansi dari
pigmen fucoxanthin, klorofil a dan c, beta-karoten dan xantofil lainnya. Karbohidrat yang
disimpan sebagian besar tersedia dalambentuk laminaran (polisakarida glukosa;
terbentuk dari proses fotosintesis),disertai dengan pati dalam jumlah tertentu tergantung
spesiesnya. Dinding selnyaterbuat dari selulosa dan asam alginat.
Menurut Anwar (2013), Sargassum sp di Indonesia yang telah teridentifikasi
diantaranya adalah Sargassum duplicatum, S.polycystum, S.binder, S.crassifolium,
S.echinocarpum, S.mollerii, S.gracillimum, S.sinereum, S.hystri, S.siliquosum, S.fenitan,
S.filipendula, S.polyceratium, dan S.vulgare yang dapat dibedakan dari bentuk morfologi
dengan kadar kandungan bahan utama yang berbeda seperti protein, vitamin C, tannin.
Iodine, dan phaenol.

2.3.1. Klasifikasi Sargassum sp
Menurut Anggadiredja et al. (2006), klasifikasi dari Sargassum adalah sebagi
berikut ini :

Divisio

: Thallophyta

Kelas

: Phaeophyceae

Bangsa

: Fucales

10

Suku

: Sargassaceae

Marga

: Sargassum

Jenis

: Sargassum polyfolium

Gambar 3. Sargassum

2.3.2. Morfologi dan Karakteristik Sargassum sp
Menurut maharani dan Widyayanti (2010), Rumput laut jenis Sargassum
umumnya merupakan tanaman perairan yang mempunyai warna coklat, berukuran relatif
besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman
menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian
sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum
dimanfaatkan secara baik..
Rumput laut coklat memiliki pigmen yang memberikan warna coklat dan dapat
menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa, fikoidin dan manitol yang
komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangan dan tempat
tumbuhnya.

2.3.3. Habitat Sargassum sp
Menurut DirJen Perikanan Budidaya DKP RI (2009) Sargassum sp. ada sekitar
400 spesies di dunia, sedangkan di Indonesia dikenal ada 12 jenis, yaitu: Sargassum
duplicatum, S. hitrix, S. echinocarpum, S. gracilinum, S. obtuspfolium, S. binderi, S.
polyceystum, S. microphylum, S. crassifolium, S. aquafolium, S. vulgare, dan S.
polyceratium. Hormophysa di Indonesia dijumpai satu jenis yaitu Hormophysa tricuetra

11
dan Turbinaria spp. ada 4 jenis yaitu Turbinaria conoides, T. conoides, T. ornata, T.
murrayana dan T. deccurens. Sargassum spp. bersifat kosmopolitan, tersebar hampir
diseluruh perairan Indonesia. Penyebaran Sargassum spp. di alam sangat luas terutama
di daerah rataan terumbu karang di semua wilayah perairan pantai.
Sargassum tumbuh dari daerah intertidal, subtidal sampai daerah tubir dengan
ombak besar dan arus deras. Karakteristik daerah untuk pertumbuhan yaitu kedalamam
0,5–10 m, suhu perairan 27,25 – 29,30 oC dan salinitas 32–33,5 ‰. Kebutuhan
intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga alga merah.
Menurut Boney (1965) pertumbuhan Sargassum membutuhkan intensitas cahaya
matahari berkisar 6500–7500 lux. Sargassum tumbuh berumpun dengan untaian cabangcabang. Panjang thalli utama mencapai 1–3 m dan tiap-tiap percabangan terdapat
gelembung udara berbentuk bulat yang disebut “Bladder,” berfungsi untuk menopang
cabang-cabang thalli terapung ke arah permukaan air dalam mendapatkan intensitas
cahaya matahari.
Menurut Tetsuro Ajisaka (2006), Spesifikasi khusus dari Sargassum cristaefolium
C. Agardh yaitu mempunyai thalli bulat pada batang utama dan agak gepeng pada
percabangan, permukaan halus atau licin. Percabangan dichotomous dengan daun bulat
lonjong, pinggir bergerigi, tebal dan duplikasi (double edged). Vesicle melekat pada
batang daun, bulat telur atau elip, bentuk bladder bulat lonjong.

2.3.4. Manfaat Sargassum
Menurut Kadi (2008), Alga Sargassum sp. atau alga cokelat merupakan salah
satu genus Sargassumsp.yang termasuk dalam kelas Phaeophyceae.Sargassum sp.
mengandung bahan alginat dan iodin yang bermanfaat bagi industri makanan, farmasi,
kosmetik dan tekstil.
Menurut Maharani dan Widyayanti (2010) beberapa manfaat Sargassum sp yaitu
:
1. Sargassum sp merupakan salah satu sumber penghasil alginat yang digunakan
sebagai bahan pembuat cangkang kapsul, emulsifier dan stabilizer (Izzati, 2007).
2. Sebagai bahan baku untuk industri antara lain industri makanan, minuman,
farmasi maupun industri lainnya seperti cat tekstil, film, makanan ternak, keramik,
kertas, dan fotografi.

12
3. Berguna untuk kosmetik, kandungan koloid alginatnya di gunakan sebagai bahan
pembuat sabun, shampo dan cat rambut. (Izzati, 2007)
4. Dalam perikanan budidaya, keberadaan Sargassum sp membantu meningkatkan
produksi udang windu, sehingga rumput laut jenis Sargassum sp ini di gunakan
sebagai model budidaya ganda dengan udang windu. Adanya rumput laut
jenis Sargassum sp di sekitar tambak udang windu dapat mengurangi jumlah
bakteri patogen sehingga mampu menurunkan kemungkinan berkembangnya
penyakit yang menyerang udang windu (Izzati, 2007).
5. S. Polycystum diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Vibrio
harveyi dan Micrococcus luteus (Riyanto et al., 2013).
2.4. Pemilihan dan Penanganan Bibit Rumput Laut Yang Baik
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, bibit rumput laut yang digunakan
harus berkualitas. Menurut SNI 7672:2011 bibit rumput laut yang baik ditinjau dari dua
aspek adalah sebagai berikut :
a. Persyaratan Kuantitatif :
1. Umur 25 – 30 hari
2. Thallus minimal bercabang 3
3. Diameter thallus utama minimal 0,5 cm dan seragam
4. Berat per rumpun 50 gram – 100 gram
b. Persyaratan kualitatif :
1. Thallus tampak cerah dan segar
2. Bersih dari kotoran, organisme penempel dan lumut
3. Bebas dari penyakit
4. Thallus tidak luka dan patah
5. Bertunas runcing
6. Bentuk proporsional
Menurut SNI 7672:2011 untuk mendapatkan rumput laut yang berkualitas
dilakukan langkah sebagi berikut :
a. Bibt diambil dari cabang ujung thallus yan muda
b. Pemotongan bibit dilakukan dengan benda tajam
c. Minimal terdapat dua percabangan thallus untuk memudahkan

13
d. Bibit dapat digabung maksimal 3 rumpun dalam satu ikatan
e. Bibit diambil dari bagian thallus rumput laut yang besar
Adapun cara penanganan rumput laut yang benar menurut SNI 7672 : 2011 adalah
sebagai berikut :
a. Bibit tidak terkena air tawar atau hujan
b. Tidak terkena minyak
c. Tidak tetkena paparan sinar matahari secara lengsung bibit dijauhk a dar
d. Bibit bisa diganti minimal
e. Diambil dari bagian thallus rumpus laut yang besar

2.5. Pemilihan Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut
2.5.1. Faktor Teknis
a. Kelayakan Lokasi Buddidaya
Lokasi budidaya rumput laut yang baik adalah lokasi yang memiliki pergerakan air
yang cukup yaitu 20cm-30cm/detik, tidak memiliki gelombang yang kuat, bebas dari
pengaruh angin topan, bagian dasar perairan terdiri dari pasir dan bebatuan serta bebas
dari lumpur, saat surut air masih memiliki kedalaman sekitar 30cm-60cm, memiliki
kejernihan air sekitar 5 cm, air memiliki suhu sekitar 20°C-28°C dengan fluktuasi harian
maksimal 4°C, memiliki slinitas sekitar 28 hingga 34. air memiliki pH sekitar 7 hingga 9,
air terbebas dari bahan kimia, lokasi budidaya bebas dari ikan ataupun hewan air
herbivora lainnya, lokasi mudah dijangkau, terdapat sumber tenaga yang cukup, serta
bahan pendukung seperti benih, bambu dan lainnya mudah diperoleh.
b. Temperatur dan Sanitasi
Sebaiknya air laut memiliki temperatur sekitar 27°C – 30°C. Apabila terjadi
kenaikan temperatur maka akan terjadi adanya uliment dan meliputi epiphyt, sehingga
tanaman akan rontok. Sedangkan sanitasi air sangat bergantung pada faktor penguapan,
serta ada tidaknya sumber air tawar. Untuk menghindari sanitasi yang buruk sebaiknya
lokasi budidaya rumput laut jauh dari muara sungai untuk menghindari endapan lumpur.
Dari semua faktor yang disebutkan, perlu pula memperhitungkan ada tidaknya

14
pencemaran air laut seperti : limbah pabrik, genangan minyak, dan bahan peledak atau
bahan kimia untuk penangkapan ikan.

c. Gerakan Air
Gerakan air merupakan sarana untuk mengangkut zat makanan yangdiperlukan
oleh rumput laut selin itu gerakan air juga merupakan alat untuk membersihkan sedimen
dan juga epiphyt pada tanaman rumput laut. Gerakan air atau kecepatan arus yang baik
untuk budidaya rumput laut adalah sekitar 20-40 cm/detik.

2.5.2. Faktor Non Teknis
Di dalam melakukan budidaya rumput laut faktor non teknis juga sangat
menunjang keberhasilan seperti halnya, sosial ekonomi masyarakat setempat, sarana
dan prasarana transportasi dan komunikasi. Lokasi di mana terdapat petani nelayan yang
hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi ini sangat mendukung pembudidayaan rumput
laut karena dapat memberikan lapangan kerja dengan tidak mengurangi persyaratan
teknis budidaya rumput laut.
2.6. Metode Budidaya
A.

Metode Lepas Dasar
Penanaman dengan metode ini, bibit diikatkan dengan batu-batu karang

kemudian batuan karang tersebut disebarkan di dasar perairan. Metode ini cocok
dilakukan pada perairan yang memiliki dasar rata dan tidak ditumbuhi karang dan juga
tidak berpasir. Metode ini mudah dan hanya memerlukan peralatan yang sederhana,
namun metode ini jarang dilakukan karena keberhasilannya belum diyakini dan
mengingat pula persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu lahan yang terbuka serta terdapat
potongan-potongan batu karang yang kedudukannya sebagai substrat yang kokoh dan
tidak terbawa arus. Selain sulitnya mendapatkan lahan budidaya seperti itu, kelemahan
lain metode ini adalah nantinya akan ada banyak bibit yang hilang terbawa ombak, tidak
dapat dilakukan di perairan yang berpasir, banyak mendapat gangguan dari bulubabi,

15
dan memiliki produksi yang rendah. Metode ini digunakan pada dasar perairan berpasir
atau berlumpur pasir, sehingga memudahkan menancapkan patok / tiang pancang.
B.

Metode Rakit Apung
Penanaman dengan metode ini, rakit apung yang digunakan terbuat dari bambu

berukuran antara sekitar 2,5 x 2,5 meter persegi hingga 7 x 7 meter persegi bergantung
pada ketersediaan bambu. agar rakit apung tidak terbawa arus maka gunakan jangkar
sebagai penahanan atau juga bisa rakit diikatkan pada patok kayu yang telah
ditancapkan di dasar laut .
Dalam memasang tali dan juga patok harus memperhitungkan faktor ombak, arus
dan pasang surut air. Metode rakit apung ini cocok dilakukan pada lokasi budidaya yang
memiliki kedalaman sekitar 60 cm. Bahan-bahan yang diperlukan untuk budidaya dengan
metode ini adalah bibit, potongan bambu yang memiliki diameter sekitar 10 cm, potongan
kayu penyiku yang memiliki diameter sekitar 5 cm, tali rafia, tali ris dengan diameter
sekitar 4 mm dan 12 cm, serta jangkar besi, bongkah batu ataupun adukan semen pasir.
Berikut adalah tahapan penanaman dengan metode ini :
a. Potongan kayu dan bambu dirangkai, kemudian ikatkan jangkar pemberat dengan
tali 12 mm.
b. Thallus dengan berat sekitar 100 gram diikatkan pada tali ris dengan
menggunakan tali rafia lalu diberi jarak sekitar 20 cm – 25 cm
c. Jarak antar tali ris yaitu sekitar 50 cm sedangkan panjang tali ris disesuaikan
dengan panjang rait apung yang digunakan.
d. Tali ris yang telah berisi tanaman diikatkan pada rakit. Untuk titik tanam juga
disesuaikan dengan ukuran rakit apung. Untuk rakit apung yang memiliki ukuran 7
Meter x 7 meter maka ditanami sekitar 500 titik tanam rumput laut.
C.

Metode Lepas Dasar atau Tali Gantung
Penanaman rumput laut dengan metode lepas dasar atau tali gantung, tali ris

yang sudah berisi ikatan tanaman direntangkan pada tali ris utama. Pengikatan tali ris
pada tali ris utama dilakukan dengan benar agar nantinya mudah dibuka kembali. Tali ris
utama yang terbuat dari bahan polyetilendengan diameter sekitar 8 mm dibentangkan

16
pada patok. Jarak tiap tali ris dengan tali ris utama sekitar 20 cm. Patok terbuat dari kayu
dengan diameter sekitar 5 cm adan panjang sekitar 2 m. Jarak patok untuk
membentangkan tali ris utama adalah sekitar 2,5 m.
2.7. Pemeliharaan Rumput Laut
Apabila terjadi kerusakan pada sarana budidaya maka harus segera diperbaiki,
cek dan bersihkan kotoran yang menempel pada tanaman secara rutin. Perlu pula
dilakukan pemupukan apabila budidaya dilakukan di tambak (biasanya rumput laut jenis
gracilaria sp) dengan menggunkan pupuk urea, TSP dan ZA, selain itu bila budidaya
dilakukan di tambak maka perlu juga dilakukan pergantian air setiap 15 hari sekali saat
bulan baru dan bulan purnama.
2.8. Pemanenan Rumput Laut
Rumput laut dapat mulai dipanen setelah berumur sekitar 6 minggu- 2 bulan
setelah tanam atau telah memiliki berat per ikatan sekitar 800 gram. Cara memanen
rumput laut pada saat air pasang adalah dengan cara mengangkat seluruh rumput laut
ke darat kemudian tali rafia pengikat dipotong. Sedangkan pada saat air surut
pemanenan dapat dilakukan secara langsung di lokasi budidaya . setelah dipanen
sebaiknya rumput laut segera didistribusikan ke lokasi yang memang dituju sebagai
pasar agar kualitas rumput laut tidak mengalami penurunan.

17

III. METODOLOGI
III.1.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek
Praktek penanaman rumput laut ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Maret sampai

tanggal 15 April 2018 dengan lokasi penanaman di Keramba Jaring Apung BPAPPL
Serang yang tepatnya di antara Pulau Lima dan Pulau Pisang.
3.2.

Alat dan Bahan

3.2.1. Alat
1. Jaring waring ukuran 30 cm x 40 cm sebanyak 15 buah
2. Kantong waring wadah tampungan rumput laut volume 1 meter x 1 meter x 1
meter
3. Gunting 1 buah
4. Jarum jahit berukuran besar 4 buah
5. Benang nilon pilin berukuran besar 1 gulung
6. Tali tambang plastik 6 meter
7. Pemberat 3 buah
8. Timbangan digital 1 buah
9. Secchidisk 1 buah
10. Current meter 1 buah

18
11. Termometer 1 buah
12. pH meter 1 buah
13. Penggaris 1 buah
14. Alat tulis dan buku catatan
15. Air tawar atau aquades

3.2.2. Bahan
1. Rumput Laut Eucheuma cottoni
2. Rumput Laut Eucheuma spinosum
3. Rumput Laut Sargassum

3.3.

Prosedur Kerja

A. Tahap Persiapan
a. Persiapan bibit
1. Menyiapkan wadah untuk mengambil rumput laut di pulau Pisang dan Pulau
Lima dan ditampung di kantong tampungan
2. Menyiapkan rumput laut yang akan dijadikan bibit yang diambil dari pulau
Pisang dan Pulau Lima yaitu rumput laut Eucheuma cottonii, E. Spinosum dan
Sargassum
3. Menyiapkan bibit rumput laut masing – masing tiap kantong 150 gram untuk
jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum dan Sargassum

b. Persiapan tali ris, kantong, dan tali pengikat kantong
1. Menyiapkan tali tambang plastik sebagai tali ris untuk penanaman rumput laut
dengan panjang 2 meter sebanyak 3 buah

19
2. Menyiapkan tali pengikat kantong rumput laut ke tali ris sepanjang 20 cm
sebanyak 15 buah
3. Menyiapkan kantong sebagai wadah untuk rumput laut dengan ukuran 30 cm
x 40 cm sebanyak 15 buah berbentuk seperti sarung bantal

c. Persiapan pengukuran kualitas air
1. Menyiapkan alat ukur kualitas air berupa Secchidisk dan Current meter

B. Pengumpul Data
1. Mengamati kondisi sampel rumput laut per minggu
2. Mengamati pertumbuhan sampel rumput laut per minggu
3. Mengamati hama dan penyakit pada sampel rumput laut
4. Mengamati dan mengukur kualitas air perairan penanaman sampel rumput laut

3.4.

Metode Kerja Penananman

3.4.1. Pembuatan Tali ris, tali ikan dan kantong penanaman
1. Menyiapkan tali ris sebanyak 3 buah dengan masing masing panjangnya 2 meter
2. Menyiapkan tali pengikat kantong ke tali ris sebanyak 15 buah dengan panjang
setiap talinya kurang lebih 15 cm
3. Menyiapkan lembaran waring kemudian dipotong berukuran 80 cm x 60 cm untuk
dibentu menjadi kantong seperti sarung bantal dengan ukuran 40 cm x 30 cm
sebanyak 15 buah
4. Menjahit waring yang sudah di siapkan sesuai ukuran menngunakan tali dan
jarum jahit berukuran besar

3.4.2. Penanaman Rumput laut

20
1. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan untuh proses penanaman
2. Menimbang rumut laut masing masing Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum
dan Sargassum yang masing – masing jenis sebanyak 5 buah dengan berat per
buah 150 gram
3. Membersihkan rumput laut yang telah ditimbang dari kotoran, lumpur maupun
hama yang menempel
4. Memasukkan rumput laut yang telah ditimbang ke dalam kantong waring yang
telah disiapkan
5. Mengikat bagian kantong yang terbuka tidak kemasukan hama seperti ikan kecil
dan kepiting atau rajungan
6. Mengikat kantong ke tali ris yang telah disiapkan dengan diatur jarak per kantong
yaitu 20 cm, dan jarak kantong paling atas ke permukaan 0,5 meter.
7. Mengikatkan pemberat pada masing - masing tali ris
8. Mengikat tali ris yang sudah di rangkai bersama kantong ke keramba jaring apung
dengan jarak antar tali ris sepanjang 1 meter

A

B

21

D

G

E

C

F
H
Gambar 4. Rangkaian Penanaman Rumput laut
Keterangan

:

A

= jarak antar tali ris 1 meter

B

= keramba jaring apung

C

= panjang tali ris 2 meter

D

= jarak ikatan kantong pertama ke permukaan 0,5 meter

E

= jarak antar kantong 20 cm

F

= kantong rumput laut

G

= tali ris 2 meter

H

= pemberat

22
3.5.

Metode Kerja Pengukuran Kualitas Air

3.5.1. Pengukuran kecerahan dengan Secchidisk
1. Menyiapkan alat berupa Secchidisk
2. Memasukan Secchidisk ke dalam air sampai tidak terlihat
3. Mengangkat Secchidisk kemudian menghitung panjang tali sampai ke tempat
yang tidak terlihat
4. Memasukkan Secchidisk ke dalam air sampai sedikit terlihat
5. Mengangkat Secchidisk kemudian menghitung panjangn tali sampai ke tempat
yang terlihat
6. Mencatat hasil pengukuran kecerahan dan melakukan perhitungan dengan rumus
3.5.2. Pengukuran Arah dan Kecepatan Arus
1. Menyiapkan alat berupa Current meter dan stopwatch
2. Memasukkan Current meter kedalam laut
3. Menunggu sampai alat mengarah ke arah arus
4. Memegang tali dari alat hingga tali terasa kencang
5. Menghitung lamanya waktu dengan menggunakan stopwatch hingga tali berada
pada keadaan kencang mengarah ke arah arus
6. Mencatat hasil penghitungan waktu
7. Mencatat arah arus laut
8. Mencatat panjang tali hingga pada keadaan kencang
9. Melakukan perhitungan dengan menggunakan rumus

3.5.3. Pengukuran Suhu
1. Menyiapkan alat pengukur suhu berupa termometer
2. Memasukkan termometer ke dalam air
3. Menunngu beberapa menit sampai angka pada alat menunjukkan hasil
pengukurannya
4. Mencatat hasil pengukuran
3.5.4. Pengukuran pH
1. Menyiapkan alat berupa pH meter

23
2. Mengkalibrasi alat terlebih dahulu sebelum digunakan menggunakan air tawar
atau aquades
3. Memasukkan alat kedalam air laut
4. Menunngu beberapa saat sampai alat menunjukkan hasil pengukuran
5. Mencatat hasil pengukuran pH pada air laut
6. Mengkalibrasi kembali alat dengan air tawar atau aquades
3.6.

Parameter Pengukuran

1. Specific Growth Rate (SGR)
Menurut Verdegem. M dan Eding. E, (2010) untuk menghitung besarnya SGR
menggunakan rumus sebagai berikut ini :
SGR =
Keterangan

lnWt −ln Wo
x 100
T

:

SGR

=Specific Growth Rate (Laju pertumbuhan spesifik, %/hari)

Wt

= Final Body Weight (Rata-rata bobot ikan uji akhir penelitian, g)

Wo

= Initial Body Weight (Rata-rata bobot ikan uji awal penelitian, g)

t

= Time (Lama pemeliharaan, hari)

2. Pengukuran Kecerahan
Untuk mengukur kecerahan perairan menggunakan Secchidisk dengan
perhitungan rumus sebagai berikut :
N = d1 + d2
2
Keterangan :
N = Kecerahan (meter)

24
d1 = Kedalaman secchi disk saat tiddak terlihat (meter)
d2 = Kedalaman secchi disk saat mulai tampak kembali (meter)
3. Pengukuran Arah dan Kecepatan Arus Laut
Untuk mengukur arah dan kecepatan arus laut menggunakan Current meter dengan
perhitungn rumus sebagai berikut :

V

=

S
t

Keterangan :
V

= kecepatan (m/s)

S

= Panjang tali (m)

t

= waktu (s)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pemilihan Lokasi
Faktor utama penunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah pemilihan

lokasi yang tepat (BBAP Situbondo, 2007; Said, 2011). Areal pembesaran rumput laut
berada dalam keramba jaring apung BAPPL-STP SERANG. Berdasarkan pemilihan
lokasi yang dilakukan, bahwa lokasi yang digunakan untuk budidaya rumput laut di

25
keramba jaring apung memenuhi syarat, karena penyediaan bibit mudah, terlindung dari
ombak, didepan keramba terdapat gugusan pulau-pulau dan memilki kedalaman 8 – 15
m serta terhindar dari sumber pencemaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiratmaja
et al (2011), bahwa lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut yaitu: terlindung dari
hempasan ombak, adanya gugusan pulau didepan areal budidaya dan kedalam perairan
7,65 – 9,72 m, serta menurut Prihanigrum et al., (2001) menyatakan bahwa hindari lokasi
yang berdekatan dengan sumber pencemaran dan SNI 8003: 2014 bahwa persyaratan
lokasi budidaya salah satunya yaitu tersedia sumber air dengan kualitas dan kuantitas
yang cukup untuk proses produksi.
Sedangkan menurut Sade (2006), bahwa parameter utama dalam penentuan
lokasi yaitu keterlindungan dari angin dan gelombang besar. Dahuri (2003) dan Ditjenkan
Budidaya (2005), bahwa parameter utama yang merupakan syarat tumbuh bagi rumput
laut adalah (1) intensitas cahaya, (2) musim dan suhu, (3) salinitas, (4) pergerakan air,
dan (5) zat hara. Lokasi budidaya rumput laut dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Budidaya Rumput Laut
4.2

Persiapan Media

4.2.1

Pembuatan Kantong
Budidaya rumput laut dilakukan di perairan BAPPL-STP dengan menggunakan

kontruksi keramba jaring apung dengan metode kantong, kantong yang digunakan
terbuat dari waring yang dibentuk persegi panjang dengan ukuran 30x40 cm, waring

26
dibentuk dengan menggunakan benang dan paku. Pembuatan kantong rumput laut dapat
dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Pembuatan Knatong Rumput Laut
4.2.2

Pemilihan Bibit
Penyediaan bibit rumput laut dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan

baik secara vegetatif maupun generatif (Parenrengi et al., 2007). Bibit yang digunakan
dalam praktikum rumput laut berasal dari alam yang didapat di Pulau Lima dan Pulau
Pisang. Bibit yang digunakan merupakan bibit yang unggul dengan kriteria warnanya
cerah, memiliki cabang yang banyak, rimbun dan berat bibit awal sekitar 100 gr untuk
jenis rumput laut Eucheuma cottoni, dan 150 gr untuk rumput laut jenis Eucheuma
spinosum dan Sargassum.
Hal ini sesuai pendapat Sulistijo (2002) dan Sudjiharno (2001) bahwa rumpun
yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak
putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas, ditambahkan oleh pendapat Rasdjid et al.,
(2001) bahwa

bibit yang baik berasal dari tanaman yang subur dan bersih, serta

dibutuhkan berat bibit setiap rumpun (ikat) 100-150 gr (Afrianto dan Liviawati, 1993).
Pemilihan bibit rumput laut dapat dilihat pada Gambar 7.

27

Gambar 7. Pemilihan Bibit Rumput Laut

4.2.3

Penanaman
Pembesaran rumput laut pada praktikum kali ini menggunakan metode kantong.

Metode kantong yaitu metode budidaya rumput laut dengan menggunakan kantong jaring
sebagai alat produksi. Kantong jaring tersebut diikatkan pada tali (long line) atau pada
rakit. Metode ini digunakan untuk mengatasi serangan ikan dan penyu.
Penanaman rumput laut dilakukan pada pagi hari dengan terlebih dulu
menimbang bibit sebanyak 100-150 gr, kemudian bibit dibersihkan menggunakan air laut
dan di masukkan ke wadah pemeliharaan, wadah kemudian di jahit kembali dibagian
tengah agar rumput laut tidak keluar saat pemeliharaan. Wadah terdiri dari 3 kantong
dalam satu tali, panjang tali utama yaitu 2m dan jarak antar kantong 50 cm, tali 1 di
tanam rumput laut jenis eucheuma cottoni, tali ke 2 yaitu rumput laut jenis eucheuma
spinosum, dan tali ke 3 yaitu jenis sargassum. Jarak antar tali utama 1 ke tali utama ke 2
dan 3 yaitu 1m.
Menurut Loka Budidaya Laut Lombok (2003), penanaman rumput laut sebaiknya
dilakukan pada pagi hari atau sore hari agar bibit rumput laut yang ditanam tidak rusak
karena perubahan suhu yang cukup tinggi. Neish (2005) menjelaskan bahwa umumnya
semakin besar bibit semakin banyak hasil panen. Penanaman rumput laut dilakukan
didalam keramba yang kosong, dengan cara mengikatkan tali pada dinding keramba,
pada tali ujung diberi pemberat berupa batu yang dibungkus dengan plastik, hal ini

28
bertujuan agar tali tetap membentang kebawah. Penanaman rumput laut dapat dilihat
pada Gambar 8.

Gambar 8. Penanaman Rumput Laut

4.3

Pemeliharaan Rumput Laut

4.3.1

Monitoring Pertumbuhan
Pertumbuhan rumput laut dilakukan dengan pada masing-masing kantong

dengan cara rumput laut diambil kemudian ditiriskan, setelah itu timbang. Penimbangan
dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pertumbuhan rumput laut dapat dilihat pada Grafik.1

Pertumbuhan
200
180
160
140
120
gr 100
80
60
40
20
0
EC tali 1

Bobo
t

EC tali 2

EC tali 3

ES tali 1

ES tali 2

ES tali 3

S tali 1

Grafik 1. Pertumbuhan Rumput Laut

S tali 2

S tali 3

29

Berdasarkan grafik diatas rumput laut

EC (Eucheuma cottoni) 1 mengalami

kenaikan 121 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,28% sedangkan EC (Eucheuma
cottoni) 2 mengalami kenaikan 120 gr dan laju pertumbuhan harianya 0,25% dan EC
(Eucheuma cottoni) 3 mengalami kenaikan 114 gr dan laju pertumbuhan hariannya
0,18%. Rumput laut ES (Eucheuma spinosum) 1 mengalami kenaikan 175 gr dan laju
pertumbuhan hariannya 0,22% sedangkan EC (Eucheuma spinosum) 2 mengalami
kenaikan 172 gr dan laju pertumbuhan harianya 0,19% dan EC (Eucheuma spinosum) 3
mengalami kenaikan 165 gr dan laju pertumbuhan hariannya 0,13%. Rumput laut S
(Sargassum) 1 mengalami kenaikan 133 gr dan laju pertumbuhan hariannya -0,22%
sedangkan S (Sargassum) 2 mengalami kenaikan 86 gr dan laju pertumbuhan harianya
-0,19% dan S (Sargassum) 3 mengalami kenaikan 83 gr dan laju pertumbuhan hariannya
-0,13%. Pertumbuhan rumput laut yang dipelihara memiliki laju pertumbuhan yang
rendah karena menurut Anggadireja et al. (2006), bahwa suatu kegiatan budidaya rumput
laut dikategorikan baik jika laju pertumbuhan hariannya rata-rata minimal 3%.
Rumput laut pada tali 1 memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik daripada tali ke
2 dan ke 3, hal ini dikarenakan posisi rumput laut yang mendapat sinar cahaya yang
cukup untuk pertumbuhannya. Supratno (2007) dan Mamang, (2008), rumput laut hanya
dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana sinar matahari dapat
sampai ke dasar perairan. Agustina ( 2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan rumput
laut sangat dipengaruhi oleh salinitas atau kadar garam dan juga pembiasan cahaya
yang masuk sehingga mempengaruhi suhu air laut. Semakin sesuai kondisi lingkungan
perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya
dan juga hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005). Sedangkan rumput laut jenis sargassum
tidak bisa tumbuh dengan baik karena jenis tersebut harus mempunyai substrat untuk
pertumbuhannya. Perhitungan laju pertumbuhan rumput laut dapat dilihat di Lampiran.3
4.3.2

Monitoring Kualitas Air

A. Suhu
Suhu juga berpengaruh langsung terhadap rumput laut khususnya terkait
fotosintesis, proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Rani et al., 2009). Suhu
pemeliharaan dapat dilihat pada Grafik.2

30

SUHU

°C

30.5
30
29.5
29
28.5
28
27.5
27

Grafik 2. Pengukuran Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer dan dilakukan
pada pukul 11.00 WIB. Berdasarkan grafik pengukuran suhu selama pembesaran rumput
laut, kisaran suhu sudah ideal yaitu berkisar 28-30 0C.
Hal ini sesuai dengan pendapat Anggadireja et al., (2006), bahwa suhu yang
optimal adalah 26– 300C. Kemudian di perjelas oleh pendapat Prajapati (2007);
Parenrengi (2007) yang mengatakan bahwa rumput laut tumbuh baik pada kisaran suhu
27–300C. Apabila suhu kurang dari 200C akan menyebabkan kematian (Bulboa and
Paula, 2005), Thirumaran and Anantharaman, 2009), dan pada suhu sekitar 350C rumput
laut akan menguning dan mengalami kematian (Amiluddin, 2007).
B. Kecepatan Arus
Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan current drag.
Kisaran kecepatan arus yang terdapat di keramba jaring apung yaitu: 1,6 – 8,1 cm/detik,
kecepatan arus di areal pemeliharaan rumput laut sangat tenang, hal ini merupakan
pertimbangan untuk budidaya rumput laut karena menurut Ambas (2006) dan
Prihaningrum (2001), kecepatan arus yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20 –

31
40 cm/detik. Manfaat arus adalah menyuplai nutrien, melarutkan oksigen, menyebarkan
plankton, dan menghilangkan lumpur, detritus dan produk eksresi biota laut (Prud’homme
van Reine and Trono, 2001). Kuat maupun lemahnya arus berpengaruh dalam kegiatan
budidaya rumput laut (Dahuri, 2003). Hasil pengukuran kecepatan arus di KJA dapat
dilihat pada grafik.3 dibawah ini.

Kecepatan Arus

cm/s

8.5
7.5
6.5
5.5
4.5
3.5
2.5
1.5

Grafik 3. Hasil Pengukuran Kecepatan Arus di KJA.

Dari grafik diatas, kecepatan arus tertinggi terjadi pada tanggal 8 April dengan
kecepatan arusnya 8,1 cm/detik, hal ini dikarenakan saat pengukuran terjadi tingginya
gelombang dan angin, sedangkan kecepatan arus terendah terjadi pada tanggal 15 April,
hal ini dikarenakan tidak terdapat angin dan gelombang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sunaryat (2004), menyatakan bahwa arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut
maupun karena angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik biasanya
ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu
arah.
C. Kecerahan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan sechi disk dengan satuan meter atau
persentase, kisaran kecerahaan di areal pemeliharaan rumput laut yaitu 2,5 – 4,7 m,
kisaran kecerahan ini dapat digunakan untuk budidaya rumput laut. Hal ini sesuai
dengan Kepmenneg-KLH15, bahwa

kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan

32
sebaiknya lebih dari 3 m, sedangkan. Menurut Soleh (2007), kondisi air yang jernih
dengan tingkat transparansi lebih dari 1,5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput
laut. Hasil pengukuran kecerahan dapat dilihat pada grafik 4.

Kecerahan

m

5.05
4.55
4.05
3.55
3.05
2.55
2.05
1.55
1.05

Grafik 4. Hasil Pengukuran Kecerahan di KJA.
Dari grafik 4, bahwa kecerahan tertinggi terjadi pagi hari pada tanggal 15 April
dengan nilai kecerahan 4,7 m, hal ini dikeranakan saat pengukuran cuaca sangat cerah

33
dan kecerahan terendah terjadi pada tanggal 18 Maret dengan nilai kecerahan 2,5 m, hal
ini dikarenakan saat pengukuran kecerahan cuaca sangat mendung
D. pH (Derajat Keasaman)

Ph
8
7
6
5
4

Derajat

keasaman

(pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga
dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu peairan masih
tergantung pada faktor-faktor lain. pH dapat dilihat pada Grafik.5 dibawah ini.

Grafik.5 Pengukuran pH
Kisaran pH yang terdapat di areal pemeliharaan rumput laut yaitu 7-8. Nilai ini
masih dikatakan layak untuk pertumbuhan rumput laut, sesuai dengan pendapat Wibowo
(2012) derajat keasaman (pH) yang baik untuk pertumbuhan rumput laut, optimal adalah
7 -9 dengan kisaran optimum 7,3 -8,2. Suatu organisme hidup mempunyai toleransi

34
tertentu terhadap derajat keasaman (pH), karena pH juga merupakan faktor penting
dalam suatu budidaya.
4.3.3

Hama dan penyakit

A. Hama
Pada saat pratikum hama yang menyerang budidaya rumput laut yaitu ikan-ikan
kecil yang selalu berkeliaran di sekeliling kantong rumput laut dan kepiting rajungan kecil
yang masuk di kantong. Menurut Ditjen Perikanan (2004), bahwa hama yang sering
dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan baron ang (siganus sp), bintang laut
(protoreaster nodosus), bulu babi (diatemasetosum sp), bulu babi duri pendek
(tripneustes sp), penyu hijau (chelonia mydas), dan ikan kerapu (epinephellus sp).
Pencegahan hama belum dilakukan tetapi penanggulangan nya dengan cara mengambil
kepiting yang masuk kedalam kantong ketika dilakukan pengukuran pertumbuhan. Hama
rumput laut dapat dilihat pada Gambar.9

Gambar 9. Hama kepiting
B. Penyakit
Penyakit yang menyerang budidaya rumput laut di keramba jaring apung yaitu
ice-ice. Gejala penyakit ini adalah ditandai dengan perubahan warna yang memutih,
berlendir kemudian putih pucat dan tiba-tiba rontok. Penyakit ice-ice timbul akibat
fluktuasi lingkungan, pengobatan dilakukan dengan cara memotong thallus yang sudah
terjangkit ice-ice dengan gunting. Menurut Aditya dan Ruslan (2003), bahwa penyakit iceice ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang
lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih dan

35
akhirnya menjadi hancur atau rontok. Penyerangan penyakit ice-ice terjadi dalam jangka
waktu yang lama (Runtuboy, 2004). Pemicu timbulnya penyakit ice-ice adalah adanya
perubahan lingkungan seperti: arus, temperatur, salinitas dan kecerahan (Hurtado and
Agbayani, 2000).
Menurut Yuan (1990), bahwa bakteri yang dapat diisolasi dari rumput laut dengan
gejala ice-ice antara lain adalah Pseudomonas spp., Pseudoalteromonas gracilis, dan
Vibrio spp. Rumput laut yang terserang penyakit ice-ice dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Rumput laut yang terserang ice-ice

4.3.4

Panen Dan Pasca Panen

A. Panen
Pada saat praktikum belum dilakukan pemanenan tetapi pemanenan rumput laut
biasanya pada usia 25 – 30 hari untuk benih dan 45 hari untuk industri dan pangan
(Runtuboy, 2014). Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan
total. Pemanenan rumput laut secara persial dilakukan dengan cara memisahkan
cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk
penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan total dengan cara mengangkat semua
rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanamn yang muda (thallus bagian
ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian pangkalnya dikeringkan.
Menurut aslan (1998), masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen
berkisar 1,5 – 2,0 bulan dan bahwa pemanenan dilakukan bila rumput laut telah
mencapai sekitar 4 kali berat awal (kalong et al, 1996),.

36
B. Pasca Panen
Setelah dilakukan pemanenan, rumput laut dikeringkan. Pengeringan yang
langsung dari matahari menunjukkan hasil yang lebih baik, dalam hal mutu hasil
pengeringan dan penampakan hasil (Suratmo, dan Supriyanto, 1991). Proses
pengeringan dilakukan sampai kandungan airnya kurang dari 20 pe