PELAJARAN DARI LAHAD DATU beru
KENA BATU DI LAHAD DATU
Oleh:Syafuan Rozi
Peneliti P2P LIPI/Komisi Advokasi AIPI/Pendiri LKI
(Artikel ini dipublikasikan di Majalah SINDO WEEKLY Edisi 20 Maret 2013 hlm.
98)
“Malaysia Dianggap Kini Menerima ‘Hukum Karma’, setelah “tak diapa-apakan”
dalam Soal Klaim Blok Ambalat dan Sipadan Ligitan dengan Pihak Indonesia.”
Insiden Lahad Datu terjadi setelah seratusan orang bersenjata tiba dengan
perahu di Kampung Tanduo, Lahad Datu, Sabah. Mereka berasal dari pulau Simunul,
Tawi-Tawi, Sulu, Filipina Selatan pada tanggal 11 Februari 2013. Kelompok ini,
menyebut diri mereka Pasukan Keamanan Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo
Utara. yang dikirim oleh Jamalul Kiram III, salah satu penuntut tahta Kesultanan
Sulu. Kiram menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menegaskan kembali
tuntutan teritorial mereka yang belum terselesaikan di timur Sabah (bekas Borneo
Utara) tersebut.
Awal Maret tahun ini, telah terjadi aksi saling tembak dengan pasukan
keamanan Malaysia yang berujung tewasnya puluhan orang dari kedua belah pihak.
Konflik melebar dari tempat awal terjadi, dari Lahad Datu menyebar ke Semporna
dan Kunak yang berdekatan dengan Tawau, perbatasan dengan Kalimantan Utara
(Kaltara), provinsi terbaru di Indonesia.
Sejatinya, akar dari konflik ini tampaknya soal klasik; frustasi atas kekuasaan
wilayah yang hilang dan berkurang dari waktu ke waktu, dalam lintasan sejarah
Borneo. Konflik antara Kesultanan Sulu dengan tentara kerajaaan Malaysia tersebut
tegang dan panas dari hari ke hari. PM Malaysia Najib lewat media menyatakan
kemarahannya kepada para “pengganas” tersebut. Pihak kerajaan belum mau
menanggapi bahwa Sabah adalah wilayah yang disewa dari Kesultanan Sulu dan
menyalahkan Sultan Sulu yang sekarang bukan pewaris yang resmi. Pasukan
malaysia akan terus menumpas tentara Sulu yang membawa senjata api. Begitu
juga sebaliknya pasukan Kesultanan Sulu menyatakan tidak akan mundur sebelum
Sabah menjadi kepemilikan mereka kembali. Kedua kelompok mengalami kondisi
menang jadi arang kalah jadi abu,
darah manusia tumpah
dalam
mempertahankan tanah airnya. Padahal mereka berjiran tinggal “Sebumi” milik
ciptaan Tuhan Ilahi.
Akar Konflik Politik
Penyebab konflik antara Malaysia dan Sulu merupakan alasan yang klasik
yaitu frustasi atas kekuasaan wilayah yang hilang dan berkurang dari waktu
kewaktu dalam lintasan sejarah Borneo. Segera setelah Perang Dunia II, Borneo
Utara diklaim sebagai jajahan kerajaan Inggris, dan Inggris memerintah wilayah
tersebut sampai tahun 1963 dengan Kinanbalu sebagai ibu kotanya. Kemudian,
Sabah (sebelumnya dikenal sebagai Borneo Utara) dan Sarawak bergabung di
bawah Federasi Malaysia melalui sebuah penggabungan resmi. Tetapi banyak orang
Filipina, Kesulltanan Sulu, termasuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), tidak
setuju.
Klaim Sulu atas Sabah, mempunyai keterkaitan dengan perundingan antara
Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF). Perundingan yang dimediasi
oleh Malaysia pada Oktober 2012 lalu, menghasilkan keputusan bahwa Mindanao
termasuk juga Sulu sebagai wilayah otonomi dan diberikan sebagian besar wilayah
untuk dikelola secara independen oleh Mindanao.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari konflik vertikal yang terjadi? Pertama,
ada pandangan bahwa pihak kerajaan dan tentara Malaysia telah mendapat
pelajaran dari lawan yang bernyali dan menerima hukum karma setelah “tak diapaapakan” dalam soal klaim Blok Ambalat dan pulau Sipadan-Ligitan dengan pihak
Indonesia. Pihak nasionalis di Indonesia banyak yang bertepuk tangan dan
mengatakan “sekarang kena batunya”.
Kedua,
ada pelajaran anomali bahwa konflik antara Malaysia dengan
Kesultanan Sulu ini, merupakan konflik yang unik dan langka di Asia. Dalam
interaksi antarnegara bangsa, tidak biasanya kesultanan atau sistem monarki kecil
berani berkonfrontasi dengan negara yang berdaulat seperti halnya dengan
Malaysia. Hal yang lazim terjadi adalah negara melawan negara yang disebut
perang atau berperkara ke pengadilan internasional atau pihak mediator untuk
sengketa wilayah yang mereka perjuangkan. Kelompok Sulu memilih jalan nondialog dan non-justice. Secara fisik melawan negara kerajaan yang disebutnya telah
kurang ajar membayar sewa tanah dengan harga yang tidak wajar. Juru bicara
Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, memperlihatkan beberapa dokumen yang
menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai
69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari
Malaysia. "Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di Filipina.
Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699 kilometer persegi,"
menurut Idjirani seperti dikutip ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013.
Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman menolak
klaim yang menyatakan pembayaran uang setiap tahun kepada pewaris Sultan Sulu
sebagai uang sewa wilayah Sabah. Uang itu dibayarkan untuk penyerahan Sabah.
Menurut Anifah, perjanjian antara Alfred Dent dan Baron von Overbeckn dari the
British North Borneo Company dengan Sultan Sulu yang dibuat pada tahun 1878
menyatakan bahwa Sultan Sulu menyerahkan wilayah Kalimantan Utara secara
permanen. Oleh Sebab itu, Malaysia tidak mengakui klaim pihak lain yang
menyatakan Sabah bukan milik Malaysia. Anifah mengaku sedih dengan klaim Sulu
yang menyatakan Sabah merupakan milik mereka.
Kesultanan Sulu yang masuk dalam negara Filipina dan mendapat otonomi
daerah tesendiri, merupakan suatu kekuatan yang dilihat dari kacamata
internasional tidak termasuk perang antar negara. Namun, Kesultanan Sulu berani
menyatakan tuntutan mereka atas pemilikan Sabah pada Malaysia dengan cara
konfrontasi senjata. Walaupun kepemilikan Sabah belum tentu didapat oleh Sulu.
Inilah yang menyebabkan konflik Sulu dan Malaysia tergolong unik, belum pernah
ada sebelumnya peristiwa seperti ini.
Ketiga, ada pihak Malaysia yang menyalahkan bahwa konflik dipicu oleh
berita di media internet dan teriakan di Social Media. Salah satu situs berita yang
paling berpengaruh di negara itu, The Malaysian Insider berpandangan bawha
internet mungkin telah memiliki andil dalam menyebabkan krisis saat ini. Sebuah
"Perang Wiki" sedang berlangsung dan apa yang disebut " bom Google" mungkin
telah menyulut emosi, membantu memicu konflik.
Beberapa hari sebelum konflik terjadi di Lahat Datu, nasionalis Malaysia dan
Filipina yang mengklaim wilayah Sabah sebagai milik mereka mencoba untuk
menggunakan Wikipedia dalam rangka mengajukan pandangan mereka. Mereka
juga berusaha untuk memanipulasi hasil pencarian di internet yang berkaitan
dengan Sabah dengan menciptakan ratusan tautan dan URL – praktik yang dijuluki
"bom Google", dinamakan seperti nama mesin pencari populer itu. Google sendiri
tidak ada hubungannya dengan kegiatan tersebut. Pada satu saat, ensiklopedia
online mengandung perkataan yang berbunyi Sabah “secara tidak sah” dianggap
sebagai salah satu dari 13 negara bagian Malaysia". Tetapi definisi ini kemudian
berubah menjadi 'Sabah adalah salah satu dari 13 negara bagian Malaysia'. Itu
terjadi berkali-kali sampai invasi Sultan Sulu. Perang CYBER ini seru di duni maya,
hingga mempengaruhi situs-situs web pemerintah Malaysia untuk aktif dalam
kiprahnya membentuk opini dunia.
Dalam konteks perbatasan, beberapa kajian menunjukan bahwa perbatasan
yang terbentuk tidak dapat dilepaskan dari praktek kolonialisme yang terjadi di
wilayah itu, persekutuan yang dibentuk antara elite penguasa baik pribumi atau
yang melibatkan kalangan asing dan kepentingan yang bersifat menjaga teritori,
yang terutama terkait dengan kepemilikan sumber daya alam dan wilayah. Dalam
kaitannya dengan masalah nasionalisme, persoalan perbatasan merupakan elemen
terpenting di dalamnya. Keterkaitan di antara keduanya juga lantaran makna
kebangsaan yang secara fundamental terkait dengan keinginan untuk bersatu atau
lepas dalam sebuah unit politik, berupa institusi dengan wilayah perbatasan Sabah
Malaysia Timur dan Otonomi Khusus Sulu, Mindanau di Filipina Selatan.
Sebelum hadirnya negara-bangsa, menurut Giddens, hanya ada apa yang
disebut sebagai frontiers, di mana batas-batas geografis yang legitimatif dan
disepakati bersama, yang kerap ditandai dengan adanya patok-patok perbatasan
yang jelas, belum muncul. Sebagai fenomena modern, nasionalisme yang
menghadirkan negara-bangsa membutuhkan perangkat yang disebut sebagai batas
negara. Tanpa batas negara, arena nasionalisme akan demikian cair dan berpotensi
untuk tergerus. Dalam hal ini, perbatasan memainkan peran timbal-balik, yakni
sebagai penentu keberlangsungan eksistensi negara-bangsa dan pada akhirnya
tegaknya ideologi sebumi dan kewargaan dunia.
Bagi sebagian negara, perbatasan menandai sebuah konsensus politik yang
bersifat primordialistik. Pada umumnya, meski kemudian kerap tetap memunculkan
konflik, wilayah sebuah negara muncul sebagai hasil dari kesepahaman dan
pengakuan atas dasar perbedaan primordial-historis di antara dua atau beberapa
negara. Hal ini akan cenderung menuai konflik dan bukan kerja sama sekawasan.
Semakin nasionalis suatu bangsa yang menolak hadirnya kewargaan dunia maki
semakin besar potensi perang dalam aneka bentuknya pecah menuai korban
manusia.
Pemerhati masalah kebangsaan memaklumi bahwa persoalan kesebumian
(earthisme, global citizenship) bukanlah sesuatu yang secara alamiah tumbuh. Perlu
sebuah
“rekayasa”
dan
pemeliharaan
yang
gigih
untuk
dapat
menumbuhkembangkan dan memeliharanya. Kesebumian muncul dalam berbagai
pengertian dan penafsiran soal kebangsaan. Salah satu yang dikembangkan oleh
filsuf Perancis Ernest Renan. Dalam bukunya “Apakah Bangsa Itu?”, Renan
menyimpulkan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa
paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang
dianggap luhur. Tampaknya orang Sulu tidak atau belum nyaman menjadi bagian
orang Melayu Raya. Hal ini perlu dialog dan konsesi yang sifatnya meneggakan
jembatan kemanusaian dan peradaban milik bersama. Ilmu pengetahuan dan
penerapannya di kawasan, merupakan salah satu kuncinya. Jika saja Sulu dibuat
maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi oleh negara sekawasan, tidak ada
alasan untuk berperang demi mempersoalkan sewa atau klaim wilayah,
sesederhana itu.
Gejala Paradoks seperti yang diramalkan oleh John Naisbitt dalam bukunya
Global Paradox seolah terbukti dan kembali muncul berulang di Asia. Ketika
beberapa negara demokratis di Eropa semangat bersatu membangun komunitas
bersama dan negara konfederasi, maka sebaliknya seolah negara yang bersistem
otokrasi di Asia cenderung berkonflik soal wilayah dan perbatasan. Ketika orang di
Eropa telah “sebumi” dengan terbentuknya Eropa Bersatu, EU (European Union).
Sepakat dengan mata uang bersama, menghapuskan hambatan tarif dan non tarif.
Sebaliknya, di Lahad Datu, Sulu dan Malaysia “berebut bumi”.
Apakah tidak lebih indah jika selisih paham tersebut didialogkan dengan
berseni dan memandang masa depan bersama. Alangkah indahnya masa depan,
jika bumi kita diisi oleh anak cucu bersama dengan “kota terapung” atau “negeri
bawah laut” Asia. Hal yang mesti dipikirkan ketika kelangkaan sumber daya dan
kepadatan manusia mulai mendorong perebutan dan klaim wilayah di bumi milik
Tuhan, yang “anak cucu Adam Hawa” (terikat keluarga besar umat-manusia),
mestinya berbagi tanah dan air bersama, dengan damai.
Paradoks di Lahad Datu
Persoalan kebangsaan dan kedaulatan wilayah di perbatasan bagi sebagian
negeri, seperti kerajaan Malaysia tampakna telah dianggap selesai. Padahal belum
bagi Kesultanan Sulu. Kesadaran itu, pada akhirnya menciptakan konflik vertikal
soal identitas nasion atau ke-Melayu Raya-an yang menjadi mimpi kebangkitan Asia.
Sulu menolak berdampingan atau
bersamaan dengan Kemalaysiaan. Sejalan
dengan itu, Guibernau dan Rex berpandangan bahwa nasionalisme merupakan
kesediaan
bersatu
secara
sukarela dalam semangat persamaan
dan
kewarganegaraan dengan dilandasi oleh semangat mengedepankan hak-hak warga
di dalamnya. Sudahkan kerajaan Malaysia berinstropeksi dan menggunakan nurani
ajaran “Hang Tuah” yang bertamadun tersebut.
Dari berbagai definisi di atas dan juga pengalaman sejarah terbentuknya
nasionalisme yang berhulu pada pengalaman empiris di Eropa pasca-Renaissance
setidaknya tiga persoalan penting yang relatif selalu ada dalam pemaknaan
nasionalisme. Pertama, nasionalisme merupakan persoalan yang terkait dengan
upaya menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya “identitas kolektif
yang mengikat dan menumbuhkan rasa persaudaraan sebangsa” atau bahwkan
sebumi jika berbeda fenotif dan genotifnya. Identitas ini dapat berupa ikatan
primordial (etnis dan agama), mitos, sejarah kebesaran masa lalu, atau nilai-nilai
ideal. Identitas inilah yang kemudian menjadi penumbuh rasa persaudaraan yang
kental, yang secara internal menyebabkan rasa nyaman dan aman, dan secara
eksternal menciptakan batasan antara “kami” dan “yang lainnya” adalah setara.
Kedua, nasionalisme kerap berarti adanya sebuah “obsesi dan cita-cita bersama
untuk membangun kebaikan dan kebanggaan kolektif Sabah dan Sulu. Malaysia dan
Fillipina yang se-Asia”. Adanya obsesi menciptakan definisi tentang apa yang
menjadi tujuan? apa yang harus dilakukan?, siapakah saja yang harus bersama
mewujudkan? dan kepada siapa upaya itu diabdikan?. Dalam bentuk konkretnya
“obsesi” ini mewujud pada kesadaran kolektif yang dibimbing oleh peradaban
bersama.
Sementara itu, dalam soal “membangun kebanggaan kolektif” hal-hal yang
lebih konkret, termasuk kebanggan atas segenap karya cipta bangsa dan
peradaban Melayu raya. Bagi perspektif A. Giddens, hal ini mungkin dipandang
sebagai terlalu konservatif atau tidak cukup kosmopolitan. Namun kebanggan
semacam itu merupakan sebuah kewajaran dan cukup menggejala di pelbagai
negara. Apalagi kemudian semangat kebanggaan ini dapat saja memberikan
manfaat bagi perdamaian kawasan atau konflik memang sengaja diadakan agar ada
keseimbangan baru dan pemenuhan rasa keadilan yang selama ini tak dipenuhi
haknya.
Namun, bagi negara-negara tertentu, penciptaan teritori dan perbatasan
kerap terkait dengan hasil tawar menawar politik, baik dalam makna damai ataupun
perang. Di sini, gerakan nasionalis, yang berupaya menghadirkan sebuah nationstate, adalah gerakan pembebasan dari segenap kungkungan, termasuk atas
penciptaan perbatasan (border creation) yang dipaksakan. Gerakan nasionalis
kemudian mempertanyakan batas wilayah yang telah ditetapkan oleh pihak
tertentu, dan kemudian diobsesikan untuk membentuk batas wilayah baru yang
dianggap lebih mewakili jatidirinya. Keberhasilan gerakan nasionalis akan
menghasilkan sebuah wilayah negara bangsa, beserta perbatasan, yang baru.
Namun berbuah petaka kemanusian jika perangnya berlarut-larut.
Sementara itu, bagi kerajaan Malaysia, perbatasan berarti sebuah
peninggalan (legacy) dari pemerintahan kolonial Inggris yangmenjadi induk di masa
lalunya. Di sini, hasil sebuah peperangan, sewa-menyewa atau pembelian yang
dilanjutan dengan adanya perjanjian negara yang dilakukan penjajah, dijadikan
patokan atas keabsahan sebuah wilayah, atau batas wilayah. Tidak jarang, masingmasing negara baru memiliki definisi dan data hukum yang berbeda. Akibatnya
saling klaim dan bahkan konflik berpotensi besar terjadi.
Perbatasan Malaysia-Filipina di Lahad Datu kini telah menjadi saksinya.
Secara umum, akankah persoalan siapa yang berhak memilikinya akan menemukan
solusinya. Tidak jarang, Malaysia memanfaatkan kebelumpastian ini sebagai
momen untuk memenangkan hati masyarakat di wilayah sengketa itu. Itu berhasil
di Sepadan-Ligitan, tapi tidak di Lahad Datu. Malaysia kena karmanya, kata kaum
nasionalis di Indonesia. Kesultanan Sulu tampil menjadi sang pembalas. Atau, mari
kita tutup buku soal itu, bangkitkan kesebumian saja, sebagai lembaran baru.
Politik Perbatasan dan Solusi Ideologi Sebumi?
Perbatasan diartikan sebagai garis imajiner yang menandai sebuah batas
wilayah yang diambil berdasarkan sebuah keputusan politik yang melibatkan dua
negara (atau lebih) yang tertuang dalam sebuah kesepakatan tertulis legal yang
diakui oleh pihak-pihak yang bersepakat di dalamnya. Dalam batasan itu,
terkandung kuat bahwa perbatasan tidak lagi sama dengan batas (frontiers) yang
kerap lebih disepakati secara personal, primordial atau mistik, tanpa mengindahkan
aspek legal-politis atau perdamaian kawasan yang menyumbang tertibnya dunia.
Keberadaan perbatasan kerap sejalan dengan wilayah persebaran etnisitas
atau kultural. Namun dalam perkembangannya, keberadaan perbatasan atau border
kerap bertabrakan dengan batas-batas primordial. Saat ini makin banyak negara
yang sifatnya lintas etnis. Di sisi lain, semakin banyak pula perbatasan yang
melintasi dan memisahkan komunitas yang secara primordial atau mitologi sama.
Dengan kata lain, batas negara hadir lebih sebagai sebuah kesepakatan legal-politis
untuk membentuk apa yang kemudian disebut komunitas baru dan imajiner yang
cenderung terbebas dari batasan-batasan kultural.
Atas dasar itulah, banyak kalangan yang meyakini bahwa pembentukan
sebuah perbatasan lebih merupakan hasil dari kerja-kerja legal-politik dan sosial
untuk membentuk apa yang disebut “kategori sosial”, ketimbang sebagai bentuk
pengejawantahan atau pengukuhan sebuah batas yang dilandasai oleh sebuah
kreatifitas budaya atau kepentingan primordial. Tingkat kemakmuran yang lebih
tinggi di Sabah dan tidak di Sulu, peluang hidup yang lebih layak di Sabah dan tidak
di Sulu, dan berbagai kemudahan dan “kepedulian” yang kerap ditunjukan oleh
Malaysia dalam kurun waktu yang lama diyakin beberapa kalangan telah cukup
menarik hati warga di sekitar perbatasan, menimbulkan geram dan keberanian
untuk memcah konflik fungsional. Agar Malaysia tidak semena-mena di kawasan,
seperti yang terjadi di Blok Ambalat beberapa tahun yang silam.
Penelitian LIPI mengenai perbatasan Indonesia-Malaysia, hampir 20 tahun
yang lalu, mengindikasikan bahwa masyarakat di perbatasan cenderung memiliki
persepsi positif teradap Malaysia, dalam makna bahwa mereka memandang negara
jiran itu jauh lebih makmur dan sejahtera. Situasi dan persepsi itu menunjukan
bahwa wilayah perbatasan Kalimantan-Malaysia memiliki potensi daya tarik keluar
(sentrifugal) yang lebih kuat dibanding dengan perbatasan darat lain seperti di NTTTimor Leste dan Papua-PNG. Selain itu, dalam dimensi sejarah, perbatasan
Indonesia dan Malaysia merupakan wilayah yang sarat ketegangan. Tak jarang
sentimen kebangsaan dan eksistensi negara yang berdaulat kerap diuji di sini,
dengan insiden Lahad Datu ini.
Sejak kelahirannya, Malaysia pernah ditantang oleh Presiden Soekarno dan
mewujud belakangan dengan adanya Operasi Dwikora di tahun 1963. Hingga kini
Malaysia bagi sebagian pihak merupakan jiran yang kerap menimbulkan persoalan
dalam soal kejatidirian bangsa Melayu-nya. Berbagai kasus terakhir, --seperti
terambilnya dua pulau karang Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, klaim sepihak
pelbagai hasil kreasi seni dan budaya anak bangsa, perlakuan tidak manusiawi
terhadap TKI, pencurian pelbagai hasil bumi dan pelanggaran patok-patok negara–
telah menempatkan negara jiran ini sebagai “kerikil dalam sepatu kebangsaan dan
kesebumian kawasan. Rentetan perilaku tidak simpatik dari negara tetangga itu,
telah menimbulkan problematika dan “kebisingan” tersendiri atas kelangsungan
dan ketenangaan kedaulatan komunitas sekawasan.
Peristiwa Lahad Datu sebenarnya mengajarkan bahwa sudah saatnya
pendekatan kesejahteraan lebih dikedepankan ketimbang pendekatan keamanan.
Dan sudah saatnya pula paradigma yang melihat perbatasan sebagai wilayah
belakang rumah (backyard) diganti dengan paradigma yang melihat wilayah
belakang sebagai beranda (veranda). Kemungkinan masa depan yang dapat dipilih
untuk meredam konflik kawasan adalah memperkuan gerakan Asia-Sebumi, Kita
semua Satu warga dunia.
Bagi kalangan instrumentalis, kehadiran kedaulatan wilayah bagi sebagian
kalangan tidak lepas dari hasil kreatif elite politik untuk menumbuhkan sebuah
identitas kolektif dengan mengaitkannya dengan berbagai hal termasuk mitologi,
harga diri, kesejarahan, hingga kepentingan material. Rekayasa inilah yang
kemudian menjadi landasan untuk mendefiniskan antara “mereka” dan “kami” yang
dari sana akan lahir sebuah identitas baru untuk membenarkan keberadaan sebuah
bangsa, namun juga kebersamaan umat manusia dan kedamaian Sebumi dalam
geliat dinamisnya.
Perbatasan Malaysia-Filipina di Lahad Datu kini jadi batu ujian bagi Malaysia.
Dalam kasus sengketa yang lain dengan pihak Indonesia soal Sipadan Ligitan,
Malaysia
berhasil
memanfaatkan
ketidakpastian
perbatasan
untuk
mememenangkan hati masyarakat di wilayah sengketa dan di Mahkamah
Internasional di Denhaag, Belanda. Kali ini mereka kena batunya. Kena hukum
karma kata para nasionalis dan spiritualis Indonesia. Kesultanan Sulu seolah tampil
menjadi sang pembalas bagi Indonesia untuk “Malingsia”, katanya. Atau, bagi yang
pasifis dan bersahabat dengan Malaysia, berharap, mati kita tutup buku saja soal
kisruh perbatasan ini, mari berdialog dan mulai membangkitkan kesebumian kita
sebagai lembaran baru bersama. ***.
Penulis: Syafuan Rozi, Peneliti P2P LIPI-Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; staf Komisi
Advokasi dan Pengmas AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia). Pendiri LKI (Lembaga Kompetensi Indonesia ) dan
dosen Politik Kebijakan Publik di FISIP UI dan IISIP Jakarta.
Oleh:Syafuan Rozi
Peneliti P2P LIPI/Komisi Advokasi AIPI/Pendiri LKI
(Artikel ini dipublikasikan di Majalah SINDO WEEKLY Edisi 20 Maret 2013 hlm.
98)
“Malaysia Dianggap Kini Menerima ‘Hukum Karma’, setelah “tak diapa-apakan”
dalam Soal Klaim Blok Ambalat dan Sipadan Ligitan dengan Pihak Indonesia.”
Insiden Lahad Datu terjadi setelah seratusan orang bersenjata tiba dengan
perahu di Kampung Tanduo, Lahad Datu, Sabah. Mereka berasal dari pulau Simunul,
Tawi-Tawi, Sulu, Filipina Selatan pada tanggal 11 Februari 2013. Kelompok ini,
menyebut diri mereka Pasukan Keamanan Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo
Utara. yang dikirim oleh Jamalul Kiram III, salah satu penuntut tahta Kesultanan
Sulu. Kiram menyatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menegaskan kembali
tuntutan teritorial mereka yang belum terselesaikan di timur Sabah (bekas Borneo
Utara) tersebut.
Awal Maret tahun ini, telah terjadi aksi saling tembak dengan pasukan
keamanan Malaysia yang berujung tewasnya puluhan orang dari kedua belah pihak.
Konflik melebar dari tempat awal terjadi, dari Lahad Datu menyebar ke Semporna
dan Kunak yang berdekatan dengan Tawau, perbatasan dengan Kalimantan Utara
(Kaltara), provinsi terbaru di Indonesia.
Sejatinya, akar dari konflik ini tampaknya soal klasik; frustasi atas kekuasaan
wilayah yang hilang dan berkurang dari waktu ke waktu, dalam lintasan sejarah
Borneo. Konflik antara Kesultanan Sulu dengan tentara kerajaaan Malaysia tersebut
tegang dan panas dari hari ke hari. PM Malaysia Najib lewat media menyatakan
kemarahannya kepada para “pengganas” tersebut. Pihak kerajaan belum mau
menanggapi bahwa Sabah adalah wilayah yang disewa dari Kesultanan Sulu dan
menyalahkan Sultan Sulu yang sekarang bukan pewaris yang resmi. Pasukan
malaysia akan terus menumpas tentara Sulu yang membawa senjata api. Begitu
juga sebaliknya pasukan Kesultanan Sulu menyatakan tidak akan mundur sebelum
Sabah menjadi kepemilikan mereka kembali. Kedua kelompok mengalami kondisi
menang jadi arang kalah jadi abu,
darah manusia tumpah
dalam
mempertahankan tanah airnya. Padahal mereka berjiran tinggal “Sebumi” milik
ciptaan Tuhan Ilahi.
Akar Konflik Politik
Penyebab konflik antara Malaysia dan Sulu merupakan alasan yang klasik
yaitu frustasi atas kekuasaan wilayah yang hilang dan berkurang dari waktu
kewaktu dalam lintasan sejarah Borneo. Segera setelah Perang Dunia II, Borneo
Utara diklaim sebagai jajahan kerajaan Inggris, dan Inggris memerintah wilayah
tersebut sampai tahun 1963 dengan Kinanbalu sebagai ibu kotanya. Kemudian,
Sabah (sebelumnya dikenal sebagai Borneo Utara) dan Sarawak bergabung di
bawah Federasi Malaysia melalui sebuah penggabungan resmi. Tetapi banyak orang
Filipina, Kesulltanan Sulu, termasuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), tidak
setuju.
Klaim Sulu atas Sabah, mempunyai keterkaitan dengan perundingan antara
Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF). Perundingan yang dimediasi
oleh Malaysia pada Oktober 2012 lalu, menghasilkan keputusan bahwa Mindanao
termasuk juga Sulu sebagai wilayah otonomi dan diberikan sebagian besar wilayah
untuk dikelola secara independen oleh Mindanao.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari konflik vertikal yang terjadi? Pertama,
ada pandangan bahwa pihak kerajaan dan tentara Malaysia telah mendapat
pelajaran dari lawan yang bernyali dan menerima hukum karma setelah “tak diapaapakan” dalam soal klaim Blok Ambalat dan pulau Sipadan-Ligitan dengan pihak
Indonesia. Pihak nasionalis di Indonesia banyak yang bertepuk tangan dan
mengatakan “sekarang kena batunya”.
Kedua,
ada pelajaran anomali bahwa konflik antara Malaysia dengan
Kesultanan Sulu ini, merupakan konflik yang unik dan langka di Asia. Dalam
interaksi antarnegara bangsa, tidak biasanya kesultanan atau sistem monarki kecil
berani berkonfrontasi dengan negara yang berdaulat seperti halnya dengan
Malaysia. Hal yang lazim terjadi adalah negara melawan negara yang disebut
perang atau berperkara ke pengadilan internasional atau pihak mediator untuk
sengketa wilayah yang mereka perjuangkan. Kelompok Sulu memilih jalan nondialog dan non-justice. Secara fisik melawan negara kerajaan yang disebutnya telah
kurang ajar membayar sewa tanah dengan harga yang tidak wajar. Juru bicara
Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, memperlihatkan beberapa dokumen yang
menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai
69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari
Malaysia. "Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di Filipina.
Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699 kilometer persegi,"
menurut Idjirani seperti dikutip ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013.
Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman menolak
klaim yang menyatakan pembayaran uang setiap tahun kepada pewaris Sultan Sulu
sebagai uang sewa wilayah Sabah. Uang itu dibayarkan untuk penyerahan Sabah.
Menurut Anifah, perjanjian antara Alfred Dent dan Baron von Overbeckn dari the
British North Borneo Company dengan Sultan Sulu yang dibuat pada tahun 1878
menyatakan bahwa Sultan Sulu menyerahkan wilayah Kalimantan Utara secara
permanen. Oleh Sebab itu, Malaysia tidak mengakui klaim pihak lain yang
menyatakan Sabah bukan milik Malaysia. Anifah mengaku sedih dengan klaim Sulu
yang menyatakan Sabah merupakan milik mereka.
Kesultanan Sulu yang masuk dalam negara Filipina dan mendapat otonomi
daerah tesendiri, merupakan suatu kekuatan yang dilihat dari kacamata
internasional tidak termasuk perang antar negara. Namun, Kesultanan Sulu berani
menyatakan tuntutan mereka atas pemilikan Sabah pada Malaysia dengan cara
konfrontasi senjata. Walaupun kepemilikan Sabah belum tentu didapat oleh Sulu.
Inilah yang menyebabkan konflik Sulu dan Malaysia tergolong unik, belum pernah
ada sebelumnya peristiwa seperti ini.
Ketiga, ada pihak Malaysia yang menyalahkan bahwa konflik dipicu oleh
berita di media internet dan teriakan di Social Media. Salah satu situs berita yang
paling berpengaruh di negara itu, The Malaysian Insider berpandangan bawha
internet mungkin telah memiliki andil dalam menyebabkan krisis saat ini. Sebuah
"Perang Wiki" sedang berlangsung dan apa yang disebut " bom Google" mungkin
telah menyulut emosi, membantu memicu konflik.
Beberapa hari sebelum konflik terjadi di Lahat Datu, nasionalis Malaysia dan
Filipina yang mengklaim wilayah Sabah sebagai milik mereka mencoba untuk
menggunakan Wikipedia dalam rangka mengajukan pandangan mereka. Mereka
juga berusaha untuk memanipulasi hasil pencarian di internet yang berkaitan
dengan Sabah dengan menciptakan ratusan tautan dan URL – praktik yang dijuluki
"bom Google", dinamakan seperti nama mesin pencari populer itu. Google sendiri
tidak ada hubungannya dengan kegiatan tersebut. Pada satu saat, ensiklopedia
online mengandung perkataan yang berbunyi Sabah “secara tidak sah” dianggap
sebagai salah satu dari 13 negara bagian Malaysia". Tetapi definisi ini kemudian
berubah menjadi 'Sabah adalah salah satu dari 13 negara bagian Malaysia'. Itu
terjadi berkali-kali sampai invasi Sultan Sulu. Perang CYBER ini seru di duni maya,
hingga mempengaruhi situs-situs web pemerintah Malaysia untuk aktif dalam
kiprahnya membentuk opini dunia.
Dalam konteks perbatasan, beberapa kajian menunjukan bahwa perbatasan
yang terbentuk tidak dapat dilepaskan dari praktek kolonialisme yang terjadi di
wilayah itu, persekutuan yang dibentuk antara elite penguasa baik pribumi atau
yang melibatkan kalangan asing dan kepentingan yang bersifat menjaga teritori,
yang terutama terkait dengan kepemilikan sumber daya alam dan wilayah. Dalam
kaitannya dengan masalah nasionalisme, persoalan perbatasan merupakan elemen
terpenting di dalamnya. Keterkaitan di antara keduanya juga lantaran makna
kebangsaan yang secara fundamental terkait dengan keinginan untuk bersatu atau
lepas dalam sebuah unit politik, berupa institusi dengan wilayah perbatasan Sabah
Malaysia Timur dan Otonomi Khusus Sulu, Mindanau di Filipina Selatan.
Sebelum hadirnya negara-bangsa, menurut Giddens, hanya ada apa yang
disebut sebagai frontiers, di mana batas-batas geografis yang legitimatif dan
disepakati bersama, yang kerap ditandai dengan adanya patok-patok perbatasan
yang jelas, belum muncul. Sebagai fenomena modern, nasionalisme yang
menghadirkan negara-bangsa membutuhkan perangkat yang disebut sebagai batas
negara. Tanpa batas negara, arena nasionalisme akan demikian cair dan berpotensi
untuk tergerus. Dalam hal ini, perbatasan memainkan peran timbal-balik, yakni
sebagai penentu keberlangsungan eksistensi negara-bangsa dan pada akhirnya
tegaknya ideologi sebumi dan kewargaan dunia.
Bagi sebagian negara, perbatasan menandai sebuah konsensus politik yang
bersifat primordialistik. Pada umumnya, meski kemudian kerap tetap memunculkan
konflik, wilayah sebuah negara muncul sebagai hasil dari kesepahaman dan
pengakuan atas dasar perbedaan primordial-historis di antara dua atau beberapa
negara. Hal ini akan cenderung menuai konflik dan bukan kerja sama sekawasan.
Semakin nasionalis suatu bangsa yang menolak hadirnya kewargaan dunia maki
semakin besar potensi perang dalam aneka bentuknya pecah menuai korban
manusia.
Pemerhati masalah kebangsaan memaklumi bahwa persoalan kesebumian
(earthisme, global citizenship) bukanlah sesuatu yang secara alamiah tumbuh. Perlu
sebuah
“rekayasa”
dan
pemeliharaan
yang
gigih
untuk
dapat
menumbuhkembangkan dan memeliharanya. Kesebumian muncul dalam berbagai
pengertian dan penafsiran soal kebangsaan. Salah satu yang dikembangkan oleh
filsuf Perancis Ernest Renan. Dalam bukunya “Apakah Bangsa Itu?”, Renan
menyimpulkan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa
paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang
dianggap luhur. Tampaknya orang Sulu tidak atau belum nyaman menjadi bagian
orang Melayu Raya. Hal ini perlu dialog dan konsesi yang sifatnya meneggakan
jembatan kemanusaian dan peradaban milik bersama. Ilmu pengetahuan dan
penerapannya di kawasan, merupakan salah satu kuncinya. Jika saja Sulu dibuat
maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi oleh negara sekawasan, tidak ada
alasan untuk berperang demi mempersoalkan sewa atau klaim wilayah,
sesederhana itu.
Gejala Paradoks seperti yang diramalkan oleh John Naisbitt dalam bukunya
Global Paradox seolah terbukti dan kembali muncul berulang di Asia. Ketika
beberapa negara demokratis di Eropa semangat bersatu membangun komunitas
bersama dan negara konfederasi, maka sebaliknya seolah negara yang bersistem
otokrasi di Asia cenderung berkonflik soal wilayah dan perbatasan. Ketika orang di
Eropa telah “sebumi” dengan terbentuknya Eropa Bersatu, EU (European Union).
Sepakat dengan mata uang bersama, menghapuskan hambatan tarif dan non tarif.
Sebaliknya, di Lahad Datu, Sulu dan Malaysia “berebut bumi”.
Apakah tidak lebih indah jika selisih paham tersebut didialogkan dengan
berseni dan memandang masa depan bersama. Alangkah indahnya masa depan,
jika bumi kita diisi oleh anak cucu bersama dengan “kota terapung” atau “negeri
bawah laut” Asia. Hal yang mesti dipikirkan ketika kelangkaan sumber daya dan
kepadatan manusia mulai mendorong perebutan dan klaim wilayah di bumi milik
Tuhan, yang “anak cucu Adam Hawa” (terikat keluarga besar umat-manusia),
mestinya berbagi tanah dan air bersama, dengan damai.
Paradoks di Lahad Datu
Persoalan kebangsaan dan kedaulatan wilayah di perbatasan bagi sebagian
negeri, seperti kerajaan Malaysia tampakna telah dianggap selesai. Padahal belum
bagi Kesultanan Sulu. Kesadaran itu, pada akhirnya menciptakan konflik vertikal
soal identitas nasion atau ke-Melayu Raya-an yang menjadi mimpi kebangkitan Asia.
Sulu menolak berdampingan atau
bersamaan dengan Kemalaysiaan. Sejalan
dengan itu, Guibernau dan Rex berpandangan bahwa nasionalisme merupakan
kesediaan
bersatu
secara
sukarela dalam semangat persamaan
dan
kewarganegaraan dengan dilandasi oleh semangat mengedepankan hak-hak warga
di dalamnya. Sudahkan kerajaan Malaysia berinstropeksi dan menggunakan nurani
ajaran “Hang Tuah” yang bertamadun tersebut.
Dari berbagai definisi di atas dan juga pengalaman sejarah terbentuknya
nasionalisme yang berhulu pada pengalaman empiris di Eropa pasca-Renaissance
setidaknya tiga persoalan penting yang relatif selalu ada dalam pemaknaan
nasionalisme. Pertama, nasionalisme merupakan persoalan yang terkait dengan
upaya menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya “identitas kolektif
yang mengikat dan menumbuhkan rasa persaudaraan sebangsa” atau bahwkan
sebumi jika berbeda fenotif dan genotifnya. Identitas ini dapat berupa ikatan
primordial (etnis dan agama), mitos, sejarah kebesaran masa lalu, atau nilai-nilai
ideal. Identitas inilah yang kemudian menjadi penumbuh rasa persaudaraan yang
kental, yang secara internal menyebabkan rasa nyaman dan aman, dan secara
eksternal menciptakan batasan antara “kami” dan “yang lainnya” adalah setara.
Kedua, nasionalisme kerap berarti adanya sebuah “obsesi dan cita-cita bersama
untuk membangun kebaikan dan kebanggaan kolektif Sabah dan Sulu. Malaysia dan
Fillipina yang se-Asia”. Adanya obsesi menciptakan definisi tentang apa yang
menjadi tujuan? apa yang harus dilakukan?, siapakah saja yang harus bersama
mewujudkan? dan kepada siapa upaya itu diabdikan?. Dalam bentuk konkretnya
“obsesi” ini mewujud pada kesadaran kolektif yang dibimbing oleh peradaban
bersama.
Sementara itu, dalam soal “membangun kebanggaan kolektif” hal-hal yang
lebih konkret, termasuk kebanggan atas segenap karya cipta bangsa dan
peradaban Melayu raya. Bagi perspektif A. Giddens, hal ini mungkin dipandang
sebagai terlalu konservatif atau tidak cukup kosmopolitan. Namun kebanggan
semacam itu merupakan sebuah kewajaran dan cukup menggejala di pelbagai
negara. Apalagi kemudian semangat kebanggaan ini dapat saja memberikan
manfaat bagi perdamaian kawasan atau konflik memang sengaja diadakan agar ada
keseimbangan baru dan pemenuhan rasa keadilan yang selama ini tak dipenuhi
haknya.
Namun, bagi negara-negara tertentu, penciptaan teritori dan perbatasan
kerap terkait dengan hasil tawar menawar politik, baik dalam makna damai ataupun
perang. Di sini, gerakan nasionalis, yang berupaya menghadirkan sebuah nationstate, adalah gerakan pembebasan dari segenap kungkungan, termasuk atas
penciptaan perbatasan (border creation) yang dipaksakan. Gerakan nasionalis
kemudian mempertanyakan batas wilayah yang telah ditetapkan oleh pihak
tertentu, dan kemudian diobsesikan untuk membentuk batas wilayah baru yang
dianggap lebih mewakili jatidirinya. Keberhasilan gerakan nasionalis akan
menghasilkan sebuah wilayah negara bangsa, beserta perbatasan, yang baru.
Namun berbuah petaka kemanusian jika perangnya berlarut-larut.
Sementara itu, bagi kerajaan Malaysia, perbatasan berarti sebuah
peninggalan (legacy) dari pemerintahan kolonial Inggris yangmenjadi induk di masa
lalunya. Di sini, hasil sebuah peperangan, sewa-menyewa atau pembelian yang
dilanjutan dengan adanya perjanjian negara yang dilakukan penjajah, dijadikan
patokan atas keabsahan sebuah wilayah, atau batas wilayah. Tidak jarang, masingmasing negara baru memiliki definisi dan data hukum yang berbeda. Akibatnya
saling klaim dan bahkan konflik berpotensi besar terjadi.
Perbatasan Malaysia-Filipina di Lahad Datu kini telah menjadi saksinya.
Secara umum, akankah persoalan siapa yang berhak memilikinya akan menemukan
solusinya. Tidak jarang, Malaysia memanfaatkan kebelumpastian ini sebagai
momen untuk memenangkan hati masyarakat di wilayah sengketa itu. Itu berhasil
di Sepadan-Ligitan, tapi tidak di Lahad Datu. Malaysia kena karmanya, kata kaum
nasionalis di Indonesia. Kesultanan Sulu tampil menjadi sang pembalas. Atau, mari
kita tutup buku soal itu, bangkitkan kesebumian saja, sebagai lembaran baru.
Politik Perbatasan dan Solusi Ideologi Sebumi?
Perbatasan diartikan sebagai garis imajiner yang menandai sebuah batas
wilayah yang diambil berdasarkan sebuah keputusan politik yang melibatkan dua
negara (atau lebih) yang tertuang dalam sebuah kesepakatan tertulis legal yang
diakui oleh pihak-pihak yang bersepakat di dalamnya. Dalam batasan itu,
terkandung kuat bahwa perbatasan tidak lagi sama dengan batas (frontiers) yang
kerap lebih disepakati secara personal, primordial atau mistik, tanpa mengindahkan
aspek legal-politis atau perdamaian kawasan yang menyumbang tertibnya dunia.
Keberadaan perbatasan kerap sejalan dengan wilayah persebaran etnisitas
atau kultural. Namun dalam perkembangannya, keberadaan perbatasan atau border
kerap bertabrakan dengan batas-batas primordial. Saat ini makin banyak negara
yang sifatnya lintas etnis. Di sisi lain, semakin banyak pula perbatasan yang
melintasi dan memisahkan komunitas yang secara primordial atau mitologi sama.
Dengan kata lain, batas negara hadir lebih sebagai sebuah kesepakatan legal-politis
untuk membentuk apa yang kemudian disebut komunitas baru dan imajiner yang
cenderung terbebas dari batasan-batasan kultural.
Atas dasar itulah, banyak kalangan yang meyakini bahwa pembentukan
sebuah perbatasan lebih merupakan hasil dari kerja-kerja legal-politik dan sosial
untuk membentuk apa yang disebut “kategori sosial”, ketimbang sebagai bentuk
pengejawantahan atau pengukuhan sebuah batas yang dilandasai oleh sebuah
kreatifitas budaya atau kepentingan primordial. Tingkat kemakmuran yang lebih
tinggi di Sabah dan tidak di Sulu, peluang hidup yang lebih layak di Sabah dan tidak
di Sulu, dan berbagai kemudahan dan “kepedulian” yang kerap ditunjukan oleh
Malaysia dalam kurun waktu yang lama diyakin beberapa kalangan telah cukup
menarik hati warga di sekitar perbatasan, menimbulkan geram dan keberanian
untuk memcah konflik fungsional. Agar Malaysia tidak semena-mena di kawasan,
seperti yang terjadi di Blok Ambalat beberapa tahun yang silam.
Penelitian LIPI mengenai perbatasan Indonesia-Malaysia, hampir 20 tahun
yang lalu, mengindikasikan bahwa masyarakat di perbatasan cenderung memiliki
persepsi positif teradap Malaysia, dalam makna bahwa mereka memandang negara
jiran itu jauh lebih makmur dan sejahtera. Situasi dan persepsi itu menunjukan
bahwa wilayah perbatasan Kalimantan-Malaysia memiliki potensi daya tarik keluar
(sentrifugal) yang lebih kuat dibanding dengan perbatasan darat lain seperti di NTTTimor Leste dan Papua-PNG. Selain itu, dalam dimensi sejarah, perbatasan
Indonesia dan Malaysia merupakan wilayah yang sarat ketegangan. Tak jarang
sentimen kebangsaan dan eksistensi negara yang berdaulat kerap diuji di sini,
dengan insiden Lahad Datu ini.
Sejak kelahirannya, Malaysia pernah ditantang oleh Presiden Soekarno dan
mewujud belakangan dengan adanya Operasi Dwikora di tahun 1963. Hingga kini
Malaysia bagi sebagian pihak merupakan jiran yang kerap menimbulkan persoalan
dalam soal kejatidirian bangsa Melayu-nya. Berbagai kasus terakhir, --seperti
terambilnya dua pulau karang Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, klaim sepihak
pelbagai hasil kreasi seni dan budaya anak bangsa, perlakuan tidak manusiawi
terhadap TKI, pencurian pelbagai hasil bumi dan pelanggaran patok-patok negara–
telah menempatkan negara jiran ini sebagai “kerikil dalam sepatu kebangsaan dan
kesebumian kawasan. Rentetan perilaku tidak simpatik dari negara tetangga itu,
telah menimbulkan problematika dan “kebisingan” tersendiri atas kelangsungan
dan ketenangaan kedaulatan komunitas sekawasan.
Peristiwa Lahad Datu sebenarnya mengajarkan bahwa sudah saatnya
pendekatan kesejahteraan lebih dikedepankan ketimbang pendekatan keamanan.
Dan sudah saatnya pula paradigma yang melihat perbatasan sebagai wilayah
belakang rumah (backyard) diganti dengan paradigma yang melihat wilayah
belakang sebagai beranda (veranda). Kemungkinan masa depan yang dapat dipilih
untuk meredam konflik kawasan adalah memperkuan gerakan Asia-Sebumi, Kita
semua Satu warga dunia.
Bagi kalangan instrumentalis, kehadiran kedaulatan wilayah bagi sebagian
kalangan tidak lepas dari hasil kreatif elite politik untuk menumbuhkan sebuah
identitas kolektif dengan mengaitkannya dengan berbagai hal termasuk mitologi,
harga diri, kesejarahan, hingga kepentingan material. Rekayasa inilah yang
kemudian menjadi landasan untuk mendefiniskan antara “mereka” dan “kami” yang
dari sana akan lahir sebuah identitas baru untuk membenarkan keberadaan sebuah
bangsa, namun juga kebersamaan umat manusia dan kedamaian Sebumi dalam
geliat dinamisnya.
Perbatasan Malaysia-Filipina di Lahad Datu kini jadi batu ujian bagi Malaysia.
Dalam kasus sengketa yang lain dengan pihak Indonesia soal Sipadan Ligitan,
Malaysia
berhasil
memanfaatkan
ketidakpastian
perbatasan
untuk
mememenangkan hati masyarakat di wilayah sengketa dan di Mahkamah
Internasional di Denhaag, Belanda. Kali ini mereka kena batunya. Kena hukum
karma kata para nasionalis dan spiritualis Indonesia. Kesultanan Sulu seolah tampil
menjadi sang pembalas bagi Indonesia untuk “Malingsia”, katanya. Atau, bagi yang
pasifis dan bersahabat dengan Malaysia, berharap, mati kita tutup buku saja soal
kisruh perbatasan ini, mari berdialog dan mulai membangkitkan kesebumian kita
sebagai lembaran baru bersama. ***.
Penulis: Syafuan Rozi, Peneliti P2P LIPI-Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; staf Komisi
Advokasi dan Pengmas AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia). Pendiri LKI (Lembaga Kompetensi Indonesia ) dan
dosen Politik Kebijakan Publik di FISIP UI dan IISIP Jakarta.