Mengapa Perempuan Harus dalal Berpolitik

Mengapa Perempuan Harus Berpolitik?
MK Ridwan
Email: mkridwan13@gmail.com Hp: 0856-276-4926
Aktivis HMI Kota Salatiga
Penerima Maarif Award Fellowship 2017
Maarif Institute
Doktrin tentang larangan seorang perempuan menjadi pemimpin, semakin tidak
relevan dengan hadirnya sosok-sosok perempuan tangguh yang mampu berkiprah di dunia
publik khususnya politik. Munculnya beberapa pemimpin perempuan baru-baru ini,
menunjukan kesadaran masyarakat tentang arti kesetaraan gender. Bahkan dimungkinkan
masyarakat mulai lelah atau bahkan kecewa dengan gaya kepemimpinan kaum laki-laki yang
cenderung otoriter, represif dan korup. Masyarakat mulai rindu sosok pemimpin yang
berkarakter keibuan; mengayomi, menyayangi dan selalu memperhatikan masyarakatnya.
Tidak Ada Larangan Agama, Perempuan Berpolitik
Wacana perempuan berpolitik telah berkembang mulai dari tingkatan lokal, nasional,
bahkan internasional yang membicarakan suksesi kepemimpinan kaum perempuan.
Meskipun di sela keragu-raguan atas dogma agama yang mengharuskan perempuan untuk
selalu menjadi “makmum”. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap superioritas kaum
laki-laki atas perempuan masih menjadi doktrin utama di kalangan masyarakat Muslim.
Pendapat ini biasanya dasarkan pada Surat an-Nisa [4] 34 yang berbunyi “ar-rijalu
qawwamuna alan-nisa`i” (laki-laki adalah pelindung/pemimpin bagi perempuan). Berbekal

ayat inilah, sebagian ulama memandang bahwa laki-laki lebih layak untuk menjadi seorang
pemimpin baik domestik (rumah tangga) maupun publik (politik pemerintahan).
Tetapi, setelah ditelusuri bahwa, ayat tersebut lebih bersifat privat. Artinya, ayat
tersebut adalah suatu kasuistik dan tidak bisa digeneralisasikan. Bahkan, ayat tersebut
menggunakan kata “rijal” yang berarti mampu atau dalam istilah modern adalah
“profesional” yang lebih bermakna gender atau peran sosial, bukan seks atau jenis kelamin.
Karena al-Qur’an tidak menggunakan kata “dzakaru” yang bermakna jenis kelamin laki-laki.
Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat mendorong siapapun baik itu laki-laki maupun
perempuan, untuk berperan aktif dalam bidang politik dan kepemimpinan publik, dengan
syarat ia memiliki kemampuan dan profesionalisme.
Permasalahannya adalah, selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa
perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin. Ini adalah suatu dogma yang keliru dan
bersifat sumir dengan bumbu-bumbu politik demi memposisikan rendah kaum perempuan.
Supaya dapat dengan mudah diperalat, dikontrol dan dimanfaatkan oleh laki-laki.
Mari kita lihat bagaimana al-Qur’an menerima kepemimpinan seorang perempuan. Di
dalam Surat an-Naml [27]: 29-35 tercatat sejarah seorang ratu bernama Bilqis yang
memimpin kerajaan Saba` saat menyikapi surat yang datang dari Raja Sulaiman. Sebuah
kerajaan yang penduduknya menyembah matahari.
Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang kisah Ratu Bilqis, namun ayat tersebut
menyimpan makna implisit dan simbolik sebagai dasar justifikasi legal tentang kebolehan

seorang perempuan memimpin sebuah negeri. Secara implisit, al-Qur`an mencatat kisah ini
dengan bahasa yang lugas dan tegas serta sama sekali tidak melakukan kritik dan mencela
terhadap gaya kepemimpinannya. Al-Qur`an justru memberikan gambaran yang jelas
betapa baik dan tepatnya kepemimpinan Ratu Bilqis sebagai pemimpin negeri Saba’. Al-

Qur`an secara tersirat menunjukan bahwa seorang perempuan juga bisa memimpin suatu
negeri dengan sangat baik dan bijaksana (Syamsuddin, 2011: 55).
Jika dipahami lebih mendalam ayat-ayat di atas, terdapat beberapa pesan moral yang
hendak disampaikan kepada manusia terkait masalah kepemimpinan. Sebagai makna
terdalam yang menggambarkan karakteristik kepemimpinan Ratu Bilqis.
Pertama, pemimpin bertipe demokratis. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa saat
menerima surat dari Raja Sulaiman, Ratu Bilqis meminta pertimbangan kepada pembesar
pemerintahan dan tidak memutuskan sendiri dengan bersikap otoriter.
Kedua, pemimpin berkarakter bijaksana. Tercermin dalam keputusannya memilih untuk
melakukan jalur diplomasi dan perdamaian demi menjaga kesejahteraan dan kententraman
masyarakatnya.
Ketiga, pemimpin berintegritas tinggi. Hal ini dapat terlihat dari sifatnya yang sangat teliti
dan cerdas dalam mengambil setiap langkah yang menentukan nasib seluruh rakyatnya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Ratu Bilqis merupakan karakter pemimpin yang ideal
meskipun seorang perempuan (Syamsuddin, 2011: 57). Ratu Bilqis menjalankan

pemerintahannya dengan sangat arif dan bijaksana, serta memperhatikan kepentingan
rakyatnya. Hal ini secara tersirat diapresiasi oleh al-Qur`an dan diabadikan di dalamnya.
Dengan beberapa argumentasi di atas, telah menjadi jelas bahwasanya jenis kelamin
bukanlah pembatas bagi seseorang untuk menjadi pemimpin. Keberhasilan memimpin
tidak hanya diukur melalui jenis kelamin, melainkan dari kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam memimpin. Maka, tidak heran jika di tahun 2016 lalu banyak bermunculan
pemimpin-pemimpin perempuan yang memang diberikan kepercayaan oleh masyarakat.
Sebut saja seperti, bupati dan wakil bupati Klaten (Sri Hartini & Sri Mulyani), wakil
Walikota Semarang (Hevearita Gunaryati Rahayu), Mirna Annisa (Bupati Kendal), Sri
Sumarni (Bupati Grobogan), Idza Priyanti (Bupati Brebes), Kusnidar Untung Yuni
Sukowati (Bupati Sragen), Siti Masitha Soeparno (Walikota Tegal), serta sederetan nama
mentri yang sedang menjabat saat ini. Keberhasilan pemimpin perempuan dalam
menjalankan pemerintahan, nantinya yang akan menggempur pandangan-pandangan yang
bias gender. Serta akan melucuti dalil-dalil yang bernuansa misoginis. Sehingga, nilai-nilai
egalitairanisme (kesetaraan) akan terwujud di dalam masyarakat. Perempuan tidak lagi
sebagai ajang diskriminasi. Justru akan menjadi rival yang harus diperhitungkan dalam
pentas kepemimpinan publik.
Kuota 30% untuk Perempuan di Kursi Parlemen
30% adalah angka yang cukup besar untuk sebuah representasi. Angka ini secara khusus
diberikan kepada kaum perempuan untuk berperan aktif dalam dunia politik. Melalui UU

No. 2 dan No. 10 Tahun 2008, mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan
perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat
sebagai prasyarat mengikuti pemilu.
Menurut PBB (Peserikatan Bangsa-Bangsa), angka 30% merupakan jumlah yang
memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak positif pada kualitas
keputusan yang diambil pada suatu lembaga pemerintahan.
Namun, sangat disayangkan, bahwa sejak pemilu 2004 angka 30% belum pernah
terpenuhi. Ini mengakibatkan posisi Indonesia berada diperingkat keenam ASEAN terkait
keterwakilan perempuan dalam parlemen. Proporsi ini masih sangat rendah, apalagi jika
dibandingkan dengan negara-negara di dunia (Tirto.id).

Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta
penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau
sekitar 49,75 persen dari populasi. Sayangnya, besarnya populasi perempuan tersebut tidak
terepresentasikan dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila
dibandingkan dengan proporsi laki-laki (Tirto.id).

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen menjadikan sebuah cermin
bersama, betapa pentingnya perempuan untuk berkiprah di dunia politik. Kehadiran
perempuan akan memberikan dampak positif dan otoritas kebijakan yang pro perempuan.

Karena, seringkali anggota laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan
perempuan disebabkan perbedaan pengalaman dan kepentingan.