Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Analisa pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

(1)

IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH UMUR

TERHADAP HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN

(Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Fatimatuz Zahro’ NIM:105044101366

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH UMUR

TERHADAP HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN

(Analisa Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Fatimatuz Zahro’ NIM: 105044101366

Di bawah bimbingan:

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, tiada kata dan bahasa yang layak penulis ucapkan selain untaian kalimat syukur kehadirat ilahi robb, Tuhan semesta alam. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang berlimpah, serta yang senantiasa memberikan nikmat sehat dan iman serta nikmat-nikmat lain yang tak mungkin terlukiskan lewat kata-kata. sehingga sampai detik ini penulis dapat menyusun menyelesaikan skripsi ini, sempurna atau tidak sempurna namun inilah hasil karya sendiri. Sebuah usaha pemindahan teori dari ruang kelas menuju alam luas dan dunia nyata untuk selanjutnya dikembalikan ke dalam jagad penulisan yang hanya mengenal huruf-huruf. Tentunya tidak mudah bagi penulis menerapkan teori kemudian mengejawantahkannya dalam realita lalu merubahnya dalam bentuk tulisan. Pastilah dalam proses itu banyak sekali hal-hal yang tercecer dan tak terangkut.

Shalawat bertangkai salam tak lupa penulis haturkan ke junjungan Nabi besar Muhammad Saw yang yang cahaya risalahnya tak pernah redup menerangi umatnya sampai akhir zaman.

Dalam perjalanan ini penulis tidak sendirian, penulis selalu ditemani oleh makhluk-makhluk yang penuh semangat dan dedikasi. Karena itu penulis mengucapkan beribu rasa terima kasih atas bimbingan dan pengasuhan yang diberikan kepada penulis selama ini,

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.


(4)

2. Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah, Drs. H.A. Basiq Djalil, SH. MA Orang tua kami yang baik, sekaligus menjadi Pembimbing skripsi penulis, terima kasih atas pengarahan, bimbingannya serta pengertiannya sehingga dapat mempermudah penulisan skripsi ini. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Kamarusdiana, S.Ag, MH. 3. Kepada Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA, dan Dr. Hj. Azizah selaku tim

penguji. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas arahan, kritikan, dan saran-saran yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Sehingga menjadi sempurnalah hal yang tidak pernah sempurna ini.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mencurahkan segala kemampuan untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada kami, terutama

Ummina Dra. Hj. Halimah Ismail, Dr. H. A.Djuaini Syukri, Lc, MA., dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu di sini.

5. Segenap staf Perpustakaan beserta para stafnya, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

6. Bapak Rw kampung Bojong, Kemang, Bogor yang telah mempermudah penulis dalam melakukan penelitian.

7. Para narasumber yang sangat berjasa dalam merealisasikan penelitian skripsi. 8. Jauh di sana ada sebuah energi yang selalu mengalirkan ruh semangat kepada

penulis, kepada Abah Muqarrabin (alm), semoga mendapatkan ketenangan di alam sana, meskipun tak sempat melihat putri kecilnya menjadi dewasa, dan


(5)

ibundaku tersayang yang selalu setia menemani hari-hari penulis dengan ketabahan dan ketulusan kasih seorang ibu, do’a penulis semoga ibunda senantiasa dalam lindungan Allah Swt.

9. Kepada kakak-kakakku yang baik dan penuh perhatian, terutama buat mas Zulfa dan mas Farah Furqon sekeluarga, terima kasih atas kontribusinya selama ini sehingga penulis dapat mencicipi nikmatnya bersekolah sampai hari ini.

10.Kepada kawan-kawan seatap seperjuangan di Peradilan Agama dan di UIN tercinta ini, Lilis darojah, Umu Salamah, yang rela berbagi waktu dan tenaganya untuk bersama-sama belajar dan berbagi cerita di kala suka maupun duka.

11. Keluarga besar Pa’e Abdullah, terima kasih atas perhatiannya selama ini. 12. Teruntuk yang tercinta, terima kasih atas segala sesuatu yang terbahasakan

selama ini, suamiku mas Ulil Abshar, M.hum yang dengan segenap jiwa raganya telah banyak berbagi dan berbuat untuk penulis. Tak lupa buat calon “dede” yang tak pernah rewel dan setia menemani bundanya menyusun skripsi.

12. Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung dan tidak langsung, sehingga terselesainya skripsi ini. Semoga segala bantuan tersebut dicatat sebagai amal baik oleh Allah Swt. Amin.

Sebagai penutup penulis berpesan bahwa “tak ada gading yang tak retak”, penulis yakin skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak kekurangan di sana sini. Oleh


(6)

karenanya kesempurnaan hanya milik Allah Swt dan kekurangan adalah milik hambanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 03 Desember

2009


(7)

KATA

PENGANTAR...i

DAFTAR ISI

...iv

BAB I:

PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang

Masalah...1 B. Batasan Dan Rumusan

Masalah...6 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

...7 D. Kerangka

Teori...8 E. Review Kepustakaan

Terdahulu...10 F. Metode

Penelitian...13 G. Sistematika

Penulisan...16


(8)

UMUR...17 A. Pengertian Dan Dasar Hukum

Perkawinan...17

B. Syarat Dan Rukun Perkawinan... ...24

C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan... 26

D. Dasar Hukum Perkawinan Di Bawah Umur ...31

E. Penyebab Perkawinan Di Bawah

Umur...44

BAB III: PENGARUH USIA PERKAWINAN TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI... ..48

A. Usia Ideal Dalam

Perkawinan...48 B. Tujuan Pembatasan Usia

Perkawinan...51 C. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut


(9)

D. Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Kesehatan...60

E. Pengaruh Usia Perkawinan Terhadap Kesehatan Reproduksi...64

BAB IV: ANALISA NIKAH DI BAWAH UMUR DAN IMPLIKASINYA...69

B. Sejarah Singkat Lahirnya Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan...69 C. Analisa Nikah Di Bawah

Umur...71 D. Implikasi Nikah Di Bawah

Umur...75 E. Analisa

Penulis...82

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan... ..90

B.


(10)

DAFTAR

PUSTAKA...93

Lampiran-Lampiran...98 A. Wawancara Dengan Ibu

Za...98 B. Wawancara Dengan Ibu

Mi...100 C. Wawancara Dengan Ibu

Siti...102 D. Wawancara Dengan Ibu

Nyai...104 E. Wawancara Dengan Ibu

Meri...106 F. Surat Keterangan Penelitian


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan kontrak keperdataan biasa. Perkawinan menurut hukum Islam seperti tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau sebuah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizhan) yang mengandung nilai-nilai transedental (ilahiyyah) sarat dengan dimensi ibadah1.

Perkawinan adalah fase yang sangat menentukan dalam membentuk masyarakat kecil dan membangun generasi yang baik dan maju. Dalam hal perkawinan menggariskan dua hal: pertama; perkawinan sebagai penyaluran libido seks laki-laki dan perempuan dengan cara yang halal sesuai ajaran agama. Kedua; perkawinan bermakna ibadah. Kedua hal inilah menjadi bagian dari siklus kehidupan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.2

Oleh karenanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu cara bereproduksi secara sehat. Karena pada dasarnya perkawinan yang dianjurkan oleh Islam merupakan wahana mewujudkan cinta kasih antara laki-laki

1

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. ke-2, h. 187

2

Asep S. Jahar, “Rabi’ul Awal: Maulid Nabi dan Siklus Kehidupan”, dalam Tim Penulis “Perempuan Dalam Hari-Hari Besar Islam”, (Jakarta: PPIM UIN, 2008 ), h. 35


(12)

dan perempuan.3 Melalui perkawinan, pasangan suami isteri akan meletakkan pondasi baru dalam mewujudkan keluarga yang tenang dan damai (sakinah) dan penuh kasih sayang (mawaddah).4

Guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang diharapkan yaitu sakinah dan

mawadah, maka kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangat diperlukan. Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik.5

Walaupun Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia nikah adalah 19 (sembilas belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk perempuan, hal itu tidak menjamin terciptanya harmonisasi dalam rumah tangga. Pernikahan yang dilaksanakan pada usia tersebut terkadang memicu munculnya perselisihan dalam rumah tangga, meskipun faktor usia dini tidak dapat dijadikan penyebab runtuhnya sebuah biduk tali perkawinan.

Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pembatasan usia perkawinan yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seolah-olah kurang mempertimbangkan potret sosial masyarakat. Padahal di antara tujuan pembentukan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini adalah

3

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: Lkis, April 2001), cet. ke-1, h. 97

4

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa…, h. 187 5

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadya, September 2006), cet. ke-3, h. 11


(13)

memenuhi kebutuhan masyarakat akan hukum dan memberikan solusi terhadap problematika yang muncul daripada masalah perkawinan.

Jika demikian, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang dimaksudkan sebagai upaya memelihara kelangsungan kehidupan manusia (hifz al-nasl) yang sehat dan mendirikan kehidupan rumah tangga untuk kemaslahatan6 yang didasarkan kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih perlu dikaji ulang.

Apabila ditinjau dari sisi kesehatan, usia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan merupakan usia rentan dalam hal menjaga hak-hak reproduksinya, baik secara biologis maupun sosial. Padahal untuk mencapai maksud perkawinan, upaya menjaga kesehatan reproduksi perempuan merupakan bagian terpenting yang sepatutnya mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan dalam rumah tangga.7

Hak reproduksi secara umum dikaitkan dengan otonomi perempuan untuk menjalankan fungsi reproduksi biologisnya secara tepat dan aman; baik jasmani, mental maupun sosial.8 Sehingga secara detail dapat dijelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, dan sosial yang baik serta peluang akses

6

Husein Muhammad. Fiqh Perempuan..., h. 75 7

Ibid., h. 76 8

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 170


(14)

pelayanan menyeluruh yang tidak diskriminatif berkaitan dengan sistem reproduksi perempuan, fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya.9

Pada kenyataannya, kebanyakan masyarakat Indonesia masih berpandangan bahwa tanggung jawab dan beban terbesar tentang proses reproduksi lebih bertumpu dan dibebankan kepada perempuan. Seolah perempuan ditempatkan sebagai objek terutama mengenai elemen-elemen reproduksi, bahkan lebih ironis lagi, apabila terjadi kesalahan, maka kesalahan dibebankan kepada perempuan.

Begitu beratnya beban perempuan sebagai penanggung fungsi reproduksi umat manusia yang utamanya adalah mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Secara tegas beban reproduksi tersebut dalam Al-Qur’an dilukiskan dengan menggunakan istilah yang bernada ta’kid (penguatan) wahnan ’ala wahnin (beban yang berlipat yang membuatnya menjadi payah di atas payah).10

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya seorang ibu sebagai pengemban fungsi reproduksi memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh sang ayah (suami). Hak-hak tersebut meliputi jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahteraan (nafkah), dan hak dalam pengambilan keputusan menyangkut kepentingan yang berkaitan dengan proses-proses reproduksinya.11

9

Maria Ulfah Ansor, Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan ,

(Jakarta: Penerbit Kompas, September 2006), h. 3 10

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan

(Bandung: Mizan, 1997), h. 72 11


(15)

Kendati demikian untuk mewujudkan harapan tersebut bukanlah suatu persoalan yang mudah, mengingat perlunya kesadaran dan perhatian serius dari semua pihak, baik di lingkungan keluarga maupun instansi pemerintah. Tercatat bahwa lebih dari separo (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia adalah perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan.12

Rendahnya kualitas hidup perempuan tersebut berdampak langsung pada kualitas kesehatan perempuan, khususnya kesehatan Ibu. Hingga saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang tertinggi tingkat angka kematian ibunya (AKI) di kawasan Asia Tenggara, yakni kematian yang terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan 42 hari pascapersalinan.13 Hal ini antara lain disebabkan oleh nikah di bawah umur, hamil muda, terlalu sering hamil, serta terbatasnya sarana prasarana dan kualitas pertolongan persalinan.14

Berangkat dari masalah tersebut, maka perlu adanya usaha peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia, salah satunya adalah melalui lembaga perkawinan yang erat kaitannya dengan masalah usia calon pengantin. Kualitas hidup perempuan ini

12

Erni Agustini, “Upaya Penanggulangan Angka Kematian Ibu: Agenda Mendesak bagi Pemerintah Daerah dan Pusat”, dalam Edriana Noerdin dkk, Potret Kemiskinan Perempuan, (Jakarta: Women Research Institute, 2006), h. 89

13

Ibid., h. 89 14

DEPAG RI, Keadilan Dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), (Jakarta:Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama DEPAG RI, Desember 2001), cet.ke-1, h. 108


(16)

dimungkinkan akan tercapai apabila kedua pihak yang akan berakad benar-benar siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga baik secara fisik, mental, maupun material. Oleh karena itu, aturan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan 16 (enam belas) tahun sebagai usia minimal bagi perempuan dan usia 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki untuk menikah perlu ditinjau ulang baik dari sisi kesehatan, psikologis, maupun sosial. Melihat latar belakang yang seperti ini, penulis merasa perlu membahas dan menyusun skripsi dengan judul “Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)“.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian menjadi jelas dan dapat memberi arah yang tepat. Oleh karenanya penelitian ini hanya akan membahas tentang “Implikasi Nikah Di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Analisa Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah: Dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16


(17)

(enam belas) tahun, namun pada kenyataannya di lapangan banyak pernikahan dilakukan di luar ketentuan tersebut. Hal inilah yang ingin penulis telusuri di dalam penelitian ini.

Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum nikah di bawah umur menurut fikih dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Bagaimanakah implikasi nikah di bawah umur terhadap hak-hak reproduksi perempuan.

3. Bagaimanakah hubungan hak-hak reproduksi perempuan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (ayat 1) mengenai batas usia nikah.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hukum nikah di bawah umur menurut fikih dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Untuk mengetahui implikasi nikah di bawah umur terhadap hak-hak reproduksi perempuan.

3. Untuk mengetahui hubungan hak-hak reproduksi perempuan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1) mengenai batas usia nikah.


(18)

Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah:

1. Mengetahui kondisi perempuan Indonesia dari berbagai aspek, terutama aspek kesehatan, psikologis, dan sosial berkaitan dengan hak-haknya dalam perkawinan.

2. Melatih peneliti untuk dapat membuat karya tulis ilmiah sesuai dengan obyek penelitian.

3. Menjadikan penelitian ini sebagai bahan renungan dan masukan bagi pemerintah, masyarakat sebagai pelaku hukum, dan civitas akademika dalam dunia intelektual Indonesia.

D. Kerangka Teori

Apa yang hendak dilakukan oleh penulis sebenarnya adalah meneliti persoalan nikah di bawah umur yang telah dianggap oleh masyarakat sebagai budaya yang telah turun temurun. Persoalan nikah di bawah umur berkaitan erat dengan masalah hak-hak reproduksi perempuan. Di sisi lain, hak-hak-hak-hak reproduksi perempuan memiliki hubungan dengan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (ayat 1) mengenai batas usia nikah.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori-teori baik itu yang bersumber dari fikih, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun dari segi kesehatan.


(19)

Nikah di bawah umur sebagaimana obyek penelitian ini sebenarnya telah banyak disinggung oleh kitab-kitab fikih klasik dengan istilah al-nikah al-shaghir,

namun ulama kontemporer menyebut nikah di bawah umur dengan istilah al-zawaj al-mubakkir. Perbedaan ini hanya sebatas penyebutan saja adapun subtansi dan konsepnya tidak berbeda. 15

Abu Hanifah menyatakan bahwa nikah di bawah umur adalah perkawinan laki-laki atau perempuan sebelum masa baligh, kira-kira 15 (lima belas) tahun menurut mayoritas ahli fiqih dan di bawah 17 (tujuh belas) atau 18 (delapan belas) tahun menurut Abu Hanifah.16 Adapun Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menetapkan batas usia nikah adalah 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk perempuan. Pernikahan yang dilakukan salah satu pihak yang usianya lebih rendah daripada batas minimal ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan sebagai nikah di bawah umur.

2. Teori Kesehatan

15

Husen Muhammad, Fiqh Perempuan..., h. 6 16

Al-Kasani, Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud, Badai’ al-Shanai’, (Kairo: Dar-al-Hadis, 1426 H/2005 M), Juz III, h. 358-359, Asy-Syirbini, Syaikh Syamsuddin bin Muhammad bin Khotib, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar-al-Fikr),juz.III, h. 191-192


(20)

Kesehatan reproduksi perempuan adalah kesehatan yang berhubungan dengan organ-organ tubuh perempuan yang berperan dalam kehamilan dan kelahiran anak.17

Definisi Wordl Health Organisation yang disingkat dengan WHO (1992) merumuskan:“kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta proses-prosesnya”. Sedangkan proses yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap metode-metode Keluarga Berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima bagi perempuan maupun laki-laki, dan informasi mengenai metode-metode pengaturan kelahiran yang menjadi pilihan mereka, serta hak-hak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memungkinkan perempuan menjalani kehamilan dan persalinan dengan selamat.18

E. Review Kepustakaan Terdahulu

Peneliti telah menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu dengan tema serupa, akan tetapi masing-masing memiliki konsentrasi yang berbeda, diantaranya; 1. “Tinjauan Hk.Islam Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang

Usia Perkawinan (Studi Kasus Di KUA Kec. Sawangan Depok)”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun

17

Agust Burn dkk. Bila Perempuan Tidak ada Dokter. (Tanpa tempat, 1999: INSIS, JKPIT, Ford Foundation) h. 3

18

WHO, Landasan Aksi Dan Deklarasi Beijing, (Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat Untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), h. 65


(21)

oleh: Saepudin. Skripsi ini menjelaskan tentang pandangan hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap usia perkawinan serta pengaruhnya sebelum dan sesudah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku, pada praktik perkawinan di KUA Kec. Sawangan Depok. Sayangnya, skripsi ini tidak menyinggung hubungan perkawinan di bawah umur dengan hak-hak reproduksi perempuan.19

2. “Perkawinan Di Bawah Umur Akibat Zina Menurut Hukum Islam Dan Undang Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun oleh: Heri Kusmiadi. Skripsi ini menjelaskan tentang pergaulan bebas di kalangan remaja dan dampaknya terhadap meningkatnya prosentase perkawinan di bawah umur. Subtansi dalam skripsi ini adalah mengenai standarisasi nikah di bawah umur menurut fikih dan hukum positif. Sayangnya, skripsi ini cenderung terhadap studi perbandingan mazhab fikih, bukan menilik terhadap realitas sosial.20

3. “Eksistensi Hak-hak Reproduksi Perempuan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, disusun oleh: Yulianti Mutmainnah. Skripsi ini memaparkan secara detail tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan menurut hukum Islam dan

19

Saepudin, “Tinjauan Hk.Islam Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Usia Perkawinan (Studi Kasus Di KUA Kec. Sawangan Depok)”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005)

20

Heri Kusmiadi, “Perkawinan Di Bawah Umur Akibat Zina Menurut Hk.Islam Dan UU No.1 tahun 1974”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005)


(22)

hukum positif. Namun skripsi ini tidak membahas masalah hukum nikah di bawah umur baik menurut fikih maupun Undang-Undang Perkawinan.21

4. ”Manipulasi Usia Perkawinan (Analisa Kritis Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)”. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, disusun oleh: Debi Zulkarnain. Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang mengungkapkan praktik manipulasi usia perkawinan calon pengantin yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sehingga berakibat pada nikah di bawah umur. Dalam hal usia perkawinan, penulisnya cenderung terhadap Instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 yang mendukung program KB dalam rangka menekan laju kependudukan, namun skripsi ini tidak menjelaskan hubungan nikah di bawah umur dan implikasinya terhadap hak-hak reproduksi perempuan secara detail.22

Dari hasil review beberapa penelitian yang telah lalu tersebut, penulis menemukan letak perbedaan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu penulis hendak menganalisa permasalahan nikah di bawah umur baik dari sisi legal formal (fikih) maupun Undang-Undang Perkawinan secara detail, serta dihubungkan dengan masalah hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Oleh karena itu keberadaan

21

Yulianti Mutmainnah, “Eksistensi Hak-hak Reproduksi Perempuan Antara Hukum Islam Dan Hukum Positif”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005)

22

Debi Zulkarnain, “Manipulasi Usia Perkawinan (Analisa Kritis Pasal 7 Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)”, ( Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)


(23)

penelitian yang telah lalu menjadi sangat penting bagi penelitian ini sebagai sumber pendukung dan bahan perbandingan.

F. Metode Penelitian

Dalam upaya mendapat data yang akurat, lengkap, dan objektif untuk penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian melalui:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder yang dikemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap bahan primer di lapangan atau terhadap masyarakat.23

2. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden nikah di bawah umur secara tertulis atau lisan, dan perilaku yang nyata, yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh24. Dengan kata lain, penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengungkapkan suatu kebenaran dan memahami kebenaran tersebut.

23

Lihat Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), cet ke-3, h. 52

24


(24)

3. Sumber Data

Data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah data-data yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, jenis-jenis sumber data tersebut adalah:

a. Data Primer: yaitu bahan-bahan yang mengikat.25 yakni; data diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data ini meliputi hasil interview dengan pelaku nikah di bawah umur, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

b. Data Sekunder: yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer26 seperti buku-buku, majalah-majalah, artikel-artikel, internet, dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulkan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan: a. Studi dokumentasi naskah (studi pustaka) yang meliputi studi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. b. Studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara, yaitu situasi peran

antar pribadi bertatap-muka, ketika seseorang – yakni pewawancara

25

Soerjono Soekamto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13 26


(25)

(peneliti) – mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian dalam skripsi ini kepada para pelaku nikah di bawah umur.27

5. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian sosiologis ini adalah analisa kualitatif. Yakni menganalisa data-data yang dikumpulkan, yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus28, yaitu menganalisa hasil penelitian di lapangan dengan cara mengurai dan menggambarkan kasus-kasus nikah di bawah umur dan implikasinya terhadap hak-hak reproduksi perempuan.

6. Penulisan

Metode penulisan dalam penelitian ini berpedoman pada aturan dan contoh-contoh dalam buku Pedoman Penulisan Karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) Tahun 2007 yang sengaja diterbitkan untuk penulisan penelitian, khususnya di kalangan civitas akademika Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

27

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 ), h. 32

28


(26)

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, penulis membuat sistematika sesuai dengan masing-masing bab yang terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penyusunannya adalah sebagai berikut:

Bab Pertama mengenai Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Review Kepustakaan Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua mengenai Tinjauan Umum tentang Perkawinan Di Bawah Umur, yang meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur Menurut Fikih dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penyebab Nikah di Bawah Umur.

Bab Ketiga mengenai Pengaruh Usia Perkawinan Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan, yang meliputi: Usia Ideal Dalam Perkawinan, Tujuan Pembatasan Usia Perkawinan, Hak Dan Kesehatan Reproduksi Menurut Islam dan Kesehatan, Pengaruh Usia Perkawinan terhadap Kesehatan Reproduksi.

Bab Keempat mengenai Analisa Nikah di Bawah Umur dan Implikasinya, yang meliputi: Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Analisa Nikah di Bawah Umur, Implikasi Nikah di Bawah Umur, Analisa Penulis.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM

TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Definisi Nikah

Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan pernikahan, nikah secara bahasa berasal dari kata nakaha, yang artinya adalah mengawini seorang perempuan.29

Selain kata nakaha juga digunakan kata zawwaja dari kata zauj yang berarti “pasangan” untuk memaknai perkawinan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Dan kata-kata tersebut memiliki implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab qabul (serah terima) pernikahan. Pernikahan atau tepatnya “Keberpasangan” merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Qur’an, antara lain dengan firman-Nya: 30

!"#

$% '()

*"

Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya

kamu mengingat kebesaran Allah. Adz-Dzariyat (51) : 49,

,

"-.0

1

2(3

4

$5

6

78

96

4

:;

<=

>?@

!

AB-C96

4

D

29

Tim Penulis Wizaroh al-Auqaf wa al- Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’at Al-Fiqhiyyah,

(Kuwait: Wizaroh al-Auqof wa al-Syu’un al-Islamiyah, 2002), Juz ke-41, h. 205 30

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, November 1996 ), cet.ke-4, h. 191-192


(28)

E?:FG HI J

<=

KL

$%M=

D!$N

Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Yasin (36) : 36.

Arti kata “nikah” menurut bahasa adalah berkumpul, adapun menurut ahli ushul terdapat tiga pendapat. Golongan pertama dari ahli ushul hanafi mengartikan kata nikah secara bahasa adalah “bersetubuh”, sedangkan secara majazi nikah adalah “akad”, yang dapat menjadikan halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita. Sedangkan golongan kedua dari ahli ushul Syafi’iyah mengartikan sebaliknya, yakni nikah memiliki arti asal “akad” sedang arti majazinya adalah “bersetubuh”. Adapun golongan ketiga adalah pendapat Ibnu Hazm dan sebagian ahli ushul Abu Hanifah, mengartikan kata ”nikah” adalah musytarak (gabungan) antara akad dan bersetubuh.31 Namun jika dilakukan penelitian secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara ulama fikih mengenai definisi nikah. Perbedaan di antara mereka hanya terdapat pada redaksi. Jadi para ulama fikih sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.32

31

A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, (Penerbit Qalbun Salim, Juni 2006), h. 33-34

32

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), jilid I, cet. ke-1, h. 116


(29)

Masih dalam kaitan dengan definisi perkawinan kita pun dapat melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian:

”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.33

Definisi ini tampak lebih jauh representatif dan lebih jelas serta tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.34

Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan di atas dicermati dengan seksama, terdapat garis perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan tersebut menurut hemat penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, dalam Undang-Undang Perkawinan seperti tersurat dalam anak kalimat ”Ikatan Lahir Batin”, hal ini menyiratkan keharusan adanya ijab qabul di

33

Lebih jelas lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 34


(30)

dalamnya, sedangkan KHI meskipun menyebutkan ”akad yang sangat kuat”, namun lebih mengisyaratkan kata-kata Mitsaqan Ghalidzan yang terdapat sesudahnya yang tidak menggambarkan pengertian pernikahan, akan tetapi lebih menunjukkan julukan lain dari sebutan akad nikah.

Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan ”antara seorang pria dengan seorang wanita”, menafikan kemungkinan perkawinan antara sesama jenis di negara Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara lain beberapa terakhir tahun ini, diantaranya ialah Belanda, Belgia, dan sebagian negara Kanada. Sedangkan KHI tidak menyebutkan dua pihak yang berakad ini meskipun pun sebenarnya KHI sangat mendukung peniadaan kemungkinan menikah antara sesama jenis yang dilarang Undang-Undang Perkawinan.

Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yaitu” Membentuk keluarga (rumah tangga) kekal dan bahagia, sementara KHI–yang memuat tujuan perkawinan secara terpisah dalam pasal 3–lebih menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti dalam kalimat ”Untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam perkawinan jauh lebih menonjol daripada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang terkandung nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.35

35

M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 45-46


(31)

Namun lepas dari perbedaan definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dan KHI, menurut hemat penulis kedua definisi tersebut menyiratkan satu titik kesamaan yang merupakan hakikat dalam perkawinan itu sendiri, yaitu perkawinan merupakan wahana bagi umat manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam bingkai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

2. Dasar Hukum Nikah

Nikah dalam Islam adalah sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni

kemaslahatan dalam kehidupan.36

Oleh karenanya dalam perspektif fikih nikah disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’. Ayat yang menunjukkan disyari’atkannya nikah adalah firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’ (4): 3 berikut:

O4M"F I

"P

$

"

R

"#

S

3

TG

S #

4

U

VW$

X,

!E

Y,$

ZC

Artinya: “…..Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (al-Nisa’: 3)

Selanjutnya disebutkan dalam surah al-Nur (24):32

OO4M"F I J

UC

=,$N96

4

E

[

$

F"? ,\]#

4

D

-

)

^

$.

-R .`3

$ ?

36

A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), h. 86


(32)

Artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan” (al-Nur :32).

Adapun hadis Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah hadis riwayat Bukhari Muslim:

”Wahai pemuda, barang siapa yang mampu untuk kawin, maka kawinlah, karena kawin itu dapat menundukkan pandangan dan lebih memelihara faraj (kehormatan dan kemaluan) dan barang siapa tidak sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan dari segi ijma’37, para ulama sepakat mengatakan nikah itu disyari’atkan.38 Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum pernikahan. Golongan jumhur fuqaha, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Namun golongan Zhahiri berpendapat lain, mereka mengatakan bahwa nikah itu wajib. Sedangkan para ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, dan sunah untuk sebagian lainnya. Akar silang pendapat ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menafsirkan shighat amr–

bentuk kalimat perintah–dalam beberapa dalil yang tersebut di atas.

37

Jumhur ulama, sebagaimana dikutip Wahabah al-Zuhaili, merumuskan ijma’: “ kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw.pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’.”Lihat: KH. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 93 Dalam unsur pendefinisian terakhir, Al-Subuki memutlakan obyek ijma’ pada segala persoalan, tidak membatasinya dengan persoalan-persoalan berkaitan dengan hukum syara’.

38

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah (Ibnu Qudamah), al-Mughni, (Kairo: Hijr,1992), jilid.9, h. 340


(33)

Selain hukum asal pernikahan tersebut, para ulama juga memperinci hukum nikahditinjau dari kondisi seseorang. Sehingga hukum asal pernikahan yang awalnya mubah bisa beralih menjadi sunah, wajib, makruh, dan haram.

Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

a. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi seorang yang mampu untuk menikah dan kuatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga diri agar terhindar dari perbuatan haram.

b. Haram hukumnya bagi seorang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudlarat kepada isterinya karena ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin.

c. Sunnah hukumya menurut jumhur ulama bagi seorang yang tidak menikah, namum dirinya sanggup untuk tidak melakukan perbuatan haram, dan apabila menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada isterinya.

d. Makruh hukumnya menurut jumhur ulama bagi yang menikah, namun belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak-anaknya. Apabila ia melaksanakannya, maka tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. Sedangkan apabila ia tidak menikah dengan pertimbangan tersebut, maka ia akan mendapat pahala.39

39

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, h. 60


(34)

B. Syarat Dan Rukun Perkawinan

Pada dasarnya perdebatan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah yang serius di kalangan para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutnya rukun dan sebagian lain menyebutnya syarat.40

Menurut penelitian Khoiruddin Nasution, berkesimpulan bahwa tidak seorang pun fuqaha konvensional yang secara tegas memberikan definisi syarat dan rukun perkawinan. Ada memang beberapa fuqaha yang menyebutkan unsur mana yang menjadi syarat dan unsur mana yang menjadi rukun perkawinan. Namun jumlahnya ulama yang menyebut sangat sedikit (tidak mewakili).41

Seperti halnya Abdur Rahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Arba’ah menyebutkan yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul di mana tidak ada nikah tanpa keduanya.42 Senada dengan Sayyid Sabiq dalam Fiqh

40

Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang Undang No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), cet.ke-ke-3, h. 60

41

Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri: (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta: Academia dan Tafazza, 2004), Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara Muslim, h. 27

42

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Arba’ah, (Dar- al-Fikr, t.th), jilid IV, h. 12


(35)

Sunnah menyimpulkan pendapat fuqaha, rukun nikah terdiri dari ijab qabul. Sedangkan ketentuan yang lain termasuk dalam syarat.

Namun terlepas dari istilah yang digunakan oleh ahli hukum Islam di atas, penulis dalam hal ini menggunakan istilah dan rukun syarat perkawinan yang diterima oleh sebagian besar ulama. Meskipun pada penempatannya berbeda-beda. Karena pada dasarnya perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah agar tujuan disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai.

Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu tersebut, diantaranya yaitu;43

1. Adanya calon suami atau calon mempelai laki-laki.

2. Adanya calon isteri, atau calon mempelai perempuan. 3. Adanya Wali.

4. Ijab qabul. 5. Saksi Nikah.

Adapun Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut44:

1. Terdapat persetujuan kedua mempelai.

43

Zainuddin bin ‘Abd al-Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in bin Syarh al-Qalyubi, (Semarang: Thoha Putra, t.th), h. 99

44


(36)

2. Terdapat izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.

3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.

4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang dilarang kawin. 5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain.

6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau isteri yang sama, yang hendak dikawini.

7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum masa tunggu berakhir.45

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun dan syarat perkawinan dalam Pasal 14 yaitu dalam satu perkawinan harus ada:

a. Calon suami, b. Calon isteri, c. Wali Nikah, d. Dua orang saksi, e. Ijab dan Kabul. 46

45

Lihat Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.142-143 46


(37)

C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan

a. 1. Tujuan Perkawinan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya dijelaskan bahwa suami isteri itu perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Dan juga dijelaskan pada Pasal 3 KHI dengan bunyi:

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”.

Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan pondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu berlangsung seumur hidup dan tidak boleh mudah diputuskan. Putusnya tali perkawinan karena sebab-sebab lain dari kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.


(38)

Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin tentang faidah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima,47 yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan yang sah.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan rasa kasih sayang.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, dan kesungguhan untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas

cinta dan kasih sayang.

Dalam karangannya Wawasan al-Qur’an, Quraish Shihab mengatakan bahwa pada umumnya yang menjadi tujuan utama dari perkawinan adalah “pemenuhan kebutuhan seksual, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi”. Dan pendapat tersebut cenderung dinisbatkan kepada muda-mudi. Kendati demikian, sesunnguhnya dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Hal ini secara tersirat Allah memerintahkannya melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat

< !a

b

$.

#

-R

(#

-R9I J

b

$.

#

< :(#

R? $d

3

4

-R .;I J

Ee

)

fgMI

$9 N

-R .TG

HI J

$e"P

-R

*

$d

47


(39)

H$

-R

$

O

,$

#

"P

< !a hFi,$

O4M

$9-

4

$

T $9K

3

4

-R

"#

U

Artinya;”....mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” Al-Baqarah (2): 187

Dalam ayat lain Allah Swt. memaparkan tentang pencipataan makhluknya yang berpasang-pasangan dan ini menarik untuk direnungkan dalam konteks perkawinan dan fungsinya, yakni reproduksi.

'

"P

R8

M,

=GG#

4

jB-C96

4

U

K

!

V

"#

D

S

-R

FG

HI J

kV8

J

lE,

!I96

4

kV8

J

O

-R ) $ C*$N

n^

P

U

op ^"#

q

n? W

=

)

r st

O

M!a

Y^

=GG#

4

h'F]$@ #

4

Artinya: (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.(al-Syura 42: 11).

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat di atas.48

48


(40)

2. Hikmah Perkawinan

Jika berpegang pada sumber hukum Islam, maka hikmah perkawinan dapat diklasifikasikan menjadi tiga;49

Pertama, menurut al-Qur’an yaitu tujuan perkawinan adalah terciptanya keluarga sakinah, mawadah, warahmah seperti yang tercantum dalam Surat al-Ruum:21

D

Hq

n

e,$N4

% J

$5

6

"#

D

S

-R

FG HI J

2k 8

J

O4uM[

G$9

v#

: ^"#?

K

!

V

R .

[w$

[ b^ Mb

8x

=Dn C

U

b%?

y?

@

#8"z

{>,$N|

}~-M"

v#

$% '(

H$e$N

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Surat al-Rum (23): 21

Sakinah artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan manusia agar dapat merasakan ketenang dan ketenteraman. Mawaddah adalah membina rasa cinta, sedang rahmah adalah rasa sayang. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, karena mawadah adalah rasa cinta yang bergejolak yang syarat dengan kecemburuan. Namun seiring perjalanan hidup manusia, maka rahmah akan semakin

49


(41)

bertambah dan mawaddah akan berkurang sehingga tujuan sakinah akan dapat tercapai.50

Kedua, menurut hadis perkawinan mempunyai dua tujuan diantaranya adalah untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itu sebabnya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur tetapi belum memiliki kemampuan materiil yang memadai. Dan tujuan yang terpenting yaitu sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat nanti. Karena dalam jumlah umat yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Tentunya kuantitas umat tersebut disertai dengan kualitas yang bagus

Ketiga, menurut akal sehat yang sederhana, tujuan suatu pernikahan adalah untuk melestarikan dan memakmurkan kehidupan di bumi ini yang sebenarnya diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karenanya, untuk dapat meningkatkan jumlah manusia untuk merawat bumi dan seisinya ini tentunya harus dengan perkawinan. Hikmah perkawinan juga dimaknai sebagai sarana ketertiban kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan persoalan nasab. Sebab apabila seorang anak dilahirkan melalui perkawinan yang sah, maka akan menjadi jelas nasabnya dan tidak menimbulkan kekacauan yang berakibat pada bencana. Hikmah yang terakhir adalah untuk tujuan ketertiban dalam hal warisan. Melalui prosedur perkawinan yang tertib, maka permasalahan ahli waris dapat diselesaikan dengan tertib pula.

50


(42)

Dengan demikian, pernikahan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia.51

D. Dasar Hukum Perkawinan Di Bawah Umur

1. Menurut Fikih

Perkawinan di bawah umur dalam perspektif fikih adalah perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka perkawinan di bawah umur adalah perkawinan di bawah usia 15 (lima belas) tahun menurut mayoritas ahli fikih, dan dibawah usia 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.52

Adapun hukum melakukan perkawinan di bawah umur, menurut mayoritas besar ulama fikih–Ibnu Mundzir menganggapnya sebagai ijma’ (konsensus) ulama fikih adalah mengesahkan perkawinan di bawah umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya. Beberapa argumen yang dikemukakan antara lain adalah sebagai berikut:53

a. Al-Qur’an, surah al-Thalaq (65) ayat 4:

51

Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa..., h. 41 52

Al- Kasani, Bada’i al-Shana’i, h. 359 53


(43)

C

;,(#

4

Gi$N

j•^F"

= #

4

-

`3

TG?x€

%?

E9-{"-C

4

< ‚!<„

!"P

!x"W,

E

#':D( J

C

;,(#

4

E"#

D…

$"t

U

Artinya: “Bagi mereka perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan

begitu (pula) perempuan-perempuan belum haid.” al-Thalaq (65): 4

Ayat ini berbicara mengenai masa iddah (masa menunggu) bagi perempuan-perempuan yang sudah menopause dan bagi perempuan-perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa dilaksanakan pada perempuan pada usia belia atau remaja, karena iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah kawin dan bercerai.54

Ayat lain adalah dalam surah al-Nur (24):32 berikut:

O4M"F I J

UC

=,$N96

4

E

[

Artinya : “Dan nikahkanlah mereka yang belum bersuami.” al-Nur (24):32 Kata al-ayama meliputi perempuan dewasa dan perempuan belia atau usia anak-anak. Ayat ini secara eksplisit memperkenankan atau bahkan menganjurkan kepada wali untuk mengawinkan mereka.

b. Perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Sayyidah Aisyah yang masih belia. Aisyah r.a. mengatakan:“Nabi Mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun

54


(44)

dan hidup bersamaku pada usiaku 9 tahun.” Riwayat Al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, dan al-Nasa’i.55

Nabi Saw juga mengawinkan anak perempuan pamannya dengan anak laki-laki Abu Salamah. Keduanya ketika itu masih berusia muda (belia).

c. Di antara para sahabat Nabi Saw, ada yang mengawinkan putera-puteri atau keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum dengan Umar bin Khattab. Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.56 Urwah bin Zubair juga mengawinkan anak perempuan saudaranya dengan anak laki-laki saudaranya yang lain. Kedua keponakan itu sama-sama masih di bawah umur.57

Adapun syarat dan rukun perkawinan di bawah umur tidak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, yaitu seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Namun demikian, menurut penulis perlu dikemukakan bahwa dalam madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali dikenal istilah hak ijbar bagi wali mujbir.

Adapun Wali mujbir ialah orang tua perempuan yang dalam madzhab Syafi’i adalah ayah, atau–kalau tidak ada ayah–kakek. Hak ijbar adalah ialah hak ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya baik yang sudah dewasa maupun

55

Mansur ’ala Nasif, al-Taj al-Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar- al-Kutub al- ’Arabiyah), jilid II, h. 259

56

Ibnu Qudamah, Abu Muhammmad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughni, (Beirut: Dar- al-Fikr, 1405 H), juz. VI, h. 487

57


(45)

masih berupa belia/kanak-kanak, tanpa harus mendapat persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan tersebut, asal dia bukan berstatus janda58.

Dalam hal ini, hendaklah kita menempatkan pendapat-pendapat para mujtahidin dalam kerangka historis, karena seorang mujtahid adalah putra lingkungan dan zamannya, dan tidak dapat dilupakan unsur mujtahid itu sendiri.59

Imam Syafi’i hidup pada zaman yang jarang sekali kaum wanita mengenal orang yang mengajukan lamaran kepadanya, melainkan hanya keluarganya yang mengenalnya. Oleh sebab itu, seorang ayah diberi wewenang khusus untuk mengawinkan puterinya meskipun tanpa seizinnya. Hal ini didasarkan pada tingginya kasih sayang orang tua (ayah) kepada puterinya, matangnya pertimbangan, dan bagusnya alasan dalam memilih calon suami yang cocok dan serasi untuk anaknya.60

Siapa tahu, seandainya Imam Syafi’i hidup pada zaman sekarang dan mengetahui peradaban serta tingkat ilmu pengetahuan yang dicapai kaum wanita– yang telah mampu membedakan keadaan para lelaki yang mengajukan lamaran kepadanya, dan bila ia dinikahkan tanpa kerelaan—kehidupan rumah tangganya menjadi neraka baginya dan bagi suaminya—barangkali beliau akan merubah pendapatnya, sebagaimana yang beliau lakukan pada masalah-masalah lain.61

58

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan..., h. 70 59

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, Feb 2002), jilid 2, cet.ke-2, h. 468

60

Ibid., h. 468 61


(46)

Berbeda dengan pendapat ini adalah pandangan mazhab Hanafi. Menurut pandangan ini, hak ijbar ini hanya diberlakukan terhadap perempuan di bawah umur

dan tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa (balighah/’aqilah). Tegasnya berdasarkan ketentuan ini, para wali memiliki hak untuk mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur baligh, meski tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Kaitannya dengan peran wali dan persetujuan wanita (calon isteri) Abu Hanifah berpendapat, adalah bahwa persetujuan wanita gadis (balighah) atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya jika mereka menolak, maka akad nikah tidak boleh dilaksanakan, meskipun oleh bapak.62

Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendaknya saja. Madzhab Syafi’iyah (para pengikut imam Syafi’i) mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain:

a. Tidak adanya permusuhan yang nyata antara dia (perempuan) dengan walinya, yaitu, ayah atau kakek.

b. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon suaminya.

c. Calon suami harus kufu (sesuai atau setara).

d. Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas.

62

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 171


(47)

e. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang menjadikannya menderita dalam pergaulannya, seperti dengan laki-laki tuna netra, tua renta, dan sebagainya63.

Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas adalah pendapat Ibnu Syubrumah, Abu Bakar al-Asham, dan Utsman al-Batti. Pandangan ini menyatakan bahwa laki-laki atau perempuan di bawah umur atau belia tidak sah dinikahkan. Mereka hanya boleh dinikahkan setelah baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit.64 Alasan yang mereka gunakan adalah ayat Al-Qur’an surah al-Nisa’(4): 6:

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara

harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”al-Nisa’(4) 6:

Menurut mereka, jika anak-anak belia tersebut boleh dinikahkan sebelum baligh, maka apa jadinya ayat ini. Selain itu, mereka sebenarnya belum membutuhkan nikah. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Mahmud Yunus yang mengutarakan bahwa:

”Menurut pendapat Ibnu Hazm (dari ahli zahir) dan Ibnu Syubrumah mengatakan: ”Ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil, kecuali apabila telah baligh dan serta mendapat izinnya. Adapun perkawinan antara ’Aisyah dengan Nabi Muhammad adalah terjadi di tanah Mekah sebelum Nabi hijrah, atau dengan

63

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 469 64


(48)

kata lain sebelum datangnya perintah untuk meminta izin kepada seorang gadis. Hal tersebut merupakan kekhususan bagi nabi, sebagaimana Nabi dibolehkan beristri lebih dari empat orang. Namun umatnya tidak boleh mengikuti jejak Nabi mengenai khususiyat tersebut. ”65

Pendapat sebagian ahli fikih tersebut tampaknya menjadi pilihan Undang-Undang Perkawinan Indonesia No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 7 menetapkan: “Batas minimal usia perkawinan adalah 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki.” Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan ketentuan ini adalah prinsip istislah atau kemaslahatan, realitas sosial, dan memperhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan.66

Seperti yang telah dijelaskan bahwa kasus pernikahan ’Aisyah adalah sebuah kekhususan yang tidak dapat diberlakukan bagi umat Nabi, hal ini disebabkan karena sekalipun ’Aisyah r.a. usianya masih sangat muda, tetapi pertumbuhan badannya demikian cepat sebagimana yang lazim dialami oleh kaum wanita bangsa Arab. Hal ini terjadi karena kondisi sosial-geografis yang melingkupi bangsa arab saat itu. Itulah yang menyebabkan mereka kelihatan tua setelah berusia 20 tahun.67

Selain itu, kasus ’Aisyah r.a. tak dapat dipisahkan dari sisi historis yang melingkupinya pada saat itu. Pada masa itu, yakni lebih dari 14 abad silam, ’Aisyah r.a. bukanlah remaja putri satu-satunya yang menikah dengan pria seumur ayahnya.

65

Peunoh Daily, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), cet.ke-2, h. 130-131

66

Husen Muhammad, Fiqh Perempuan...., h. 72 67

Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah: Rumah Tangga Nabi Saw, (Jakarta: Pustaka Hidayah, Maret 1994), cet.ke-2I, h. 102


(49)

Hal itu sudah menjadi suatu hal yang lazim terjadi dalam masyarakat Arab pra Islam. ‘Abdul Muthallib seorang kakek menikah dengan Halah, anak perempuan paman Aminah binti Wahab. Bahkan pernikahannya itu bersama anak bungsu, yaitu Abdullah yang menikah dengan Aminah binti Wahab. Kasus lain adalah ’Umar ibn Khattab r.a. yang menikah dengan anak perempuan Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. padahal usia ’Umar sebaya dengan usia imam ‘Ali, bahkan lebih tua. ‘Umar sendiri meminta kepada Abu Bakar r.a. supaya bersedia menikah dengan puterinya yang menjadi janda muda. Padahal perbedaan usia antara Abu Bakar r.a dan puteri ‘Umar itu (Hafsah) sama dengan perbedaan usia antara Rasulullah saw dengan ’Aisyah r.a. dan masih banyak lagi kenyataan-kenyataan serupa di kalangan masyarakat pada zaman itu. 68

Berangkat dari kisah perkawinan ’Aisyah r.a dan sebayanya pada saat itu, sesungguhnya Islam sendiri tidak menciptakan tradisi nikah di bawah umur. Pernikahan anak-anak dipraktekkan dalam Islam karena pengaruh zaman saat itu dan bukan karena Al-Qur’an atau Sunah membolehkannya. Oleh sebab itu, dalam mazhab Syafi’i perkawinan di bawah umur disyaratkan wali dalam pelaksanaannya Hal ini semata-mata demi menjaga hak-hak perempuan yang belum baligh.

Dari uraian diatas, menurut hemat penulis sebaiknya perkawinan di bawah umur tidak dilakukan pada konteks problematika kekinian karena sesungguhnya kondisi zaman telah berubah.

68


(50)

2.Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Demikian juga negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang prinsip dalam kehidupan masyarakat, dan sangat dihormati aturan pelaksanaannya sehingga pelaksanaan perkawinan itu sesuai dengan norma dan prinsip yang telah disepakati bersama.

Demikian pula dengan negara Indonesia, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang serius dalam masalah perkawinan ini, yakni dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan ini, di antaranya adalah lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta beberapa peraturan lainnya yang intinya mengatur tentang perkawinan agar dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut.69

Selanjutnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setidaknya ada 6 (enam) asas yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Asas Sukarela,

b. Asas Partisipasi Keluarga,

69


(51)

c. Asas Perceraian Dipersulit,

d. Asas Poligami Dibatasi Dengan Ketat, e. Asas Kematangan Calon mempelai, f. Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita, g. Asas Legalitas,

h. Asas (prinsip) Selektivitas.70

Dan apabila disederhanakan, asas perkawinan itu mengandung pengertian bahwa: a. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan

kepercayaan masing-masing. c. Asas Monogami.

d. Calon suami dan isteri harus dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit terjadinya perceraian

f. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

Dalam hal ini, masalah usia perkawinan berkaitan erat dengan asas pada point 4 (empat) yakni “Calon suami dan isteri harus dewasa jiwa dan raganya”. Penjelasannya adalah bahwa apabila suami isteri dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling mengenal. Perkenalan yang dimaksud adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan

70


(52)

dapat membimbing dan mengarahkan anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka segala bentuk kawin paksa yang pada umumnya berdampak pada praktek nikah di bawah umur sangat dilarang Undang-Undang Perkawinan ini.

Prinsip kematangan calon mempelai yang mengandung pengertian bahwa calon suami isteri harus matang jiwa dan raganya adalah untuk dapat melangsungkan perkawinan demi mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.71 Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berpikir dan bertindak.

Prinsip tersebut pun erat kaitannya dengan masalah kependudukan. Karena dengan adanya pembatasan umur pernikahan bagi wanita maka diharapkan laju kelahiran dapat ditekan semaksimal mungkin. Ternyata bahwa batas usia yang rendah bagi wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Dengan demikian program Keluarga Berencana dapat berjalan seiring dengan undang-undang perkawinan ini.72

Sehubungan dengan kedua hal tersebut, maka perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Adapun nikah di bawah umur sesuai dengan instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 tentang Usia Perkawinan Dalam

71

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fikih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, Agustus 2007), cet ke-2, h. 26

72

DEPAG, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (DEPAG: Dirjen BIMAS Islam & Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001), h. 3


(53)

Rangka Mendukung program Kependudukan dan Keluarga Berencana, menjelaskan definisi tentang:

Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah usia 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun bagi pria.

Penyimpangan dari batas umur minimal perkawinan ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua wali dari calon mempelai dari calon mempelai yang belum batas minimal sebagaimana tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya73.

Dalam hal ini, pihak-pihak berkepentingan tidak dibenarkan membantu melaksanakan perkawinan di bawah umur. Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudakan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan. umur perkawinan. Kematangan dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan

73


(54)

tersebut dapat terlaksana dengan baik. Sesuai dengan hakikat perkawinan itu sendiri. Karena bagi umat Islam, perkawinan bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriyah antara seorang pria dan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi merupakan sunah Rasulullah saw dan merupakan perbuatan luhur demi mencapai ketenangan (sakinah) dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, suatu perkawinan harus dilaksanakan menurut petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya74. Serta tunduk terhadap aturan-aturan yang telah dibukukan menjadi Undang-Undang Perkawinan Indonesia

E. Penyebab Nikah Di Bawah Umur

Perkawinan di bawah umur masih tetap saja terjadi terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau pinggiran kota. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya:

1. Adat Istiadat

Dalam kehidupan masyarakat Betawi misalnya, mengawinkan seorang anak merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Para orang tua akan merasa malu bila anaknya tak kunjung mendapatkan jodoh. Karena ada anggapan bahwa seorang anak perempuan akan menjadi ”Perawan Tua” bila setelah meningkat remaja belum juga dikawinkan, begitu pula dengan anak laki-lakinya akan menjadi ”Perjaka Tua”. Meskipun usia anak-anak mereka masih di bawah batas usia yang diizinkan dalam Undang-Undang Perkawinan.

2. Agama

74

Hamdan Rasyid, (ed), FIqh Indonesia, HImpunan Fatwa-fatwa Aktual , (t.tp: Al-Mawardi Prima, t.th), h. 171


(55)

Adanya penafsiran yang salah dalam menjalankan ajaran agama, ini terutama terjadi di kalangan masyarakat yang mempunyai fanatisme yang tinggi terhadap ajaran suatu agama, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

”Wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu memilkul beban keluarga hendaknya kawin, sebab dngan demikian ia akan lebih menundukkan pandangannya dan akan menjaga kehormatannya. Barang siapa yang benar-benar belum mampu, hendaknya berpuasa. Sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi benteng dari perbuatan zina dan tercela”.

Biasanya yang menjadi salah tafsir dalam hadis tersebut di atas, yaitu kata

mampu, dimana masih ada di antara mereka yang mengartikan kata mampu hanya dalam segi seksualitas saja, sehingga mereka sudah merasa mampu untuk kawin jika sudah merasakan adanya rangsangan seksualitas. Sebenarnya yang dimaksud mampu dalam kejiwaan adalah mampu dalam akal pikiran (dewasa), mampu dalam ekonomi, materiil, dan mampu menegakkan ajaran agama dalam kehidupan berumah tangga antara suami isteri, anak-anak, keluarga, dan masyarakat.

3. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi suatu masyarakat dapat menjadi pendorong terjadinya perkawinan usia muda. Masyarakat yang kemampuan ekonominya sangat lemah mendorong terjadinya perkawinan usia muda. Misalnya, seorang anak wanita yang berasal dari keluarga ekonomi lemah ingin cepat-cepat kawin agar dapat segera keluar dari penderitaannya dengan harapan suaminya dapat menanggung keluarga dari pihak isteri. Gambarannya adalah sebagai berikut:


(56)

a. Seorang wanita di bawah umur yang kawin dengan atau dikawinkan dengan seorang kaya yang sudah cukup umur.

b. Seorang anak wanita di bawah umur dipaksa kawin oleh orang tuanya karena orang tua dari anak tersebut terlibat hutang atau merasa berhutang budi.

Masyarakat yang tingkat ekonominya baik, juga dapat menjadi pendorong perkawinan usia muda. Misalnya, keluarga kaya karena ingin cepat menggendong cucu dapat saja memberi modal kepada anaknya dan mengawinkan mereka.

Keberhasilan mencapai kehidupan material secara layak memerlukan kesiapan ekonomi yang memadai sebelum meamasuki kehidupan perkawinan, di samping adanya bekal pendidikan yang memadai. Sedangkan keberhasilan membina anggota keluarga (anak-anak) agar menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, nusa, dan bangsa, serta keberhasilan membina anak-anak menjadi Shalih dan Akrom75, tidak hanya memerlukan suasana ketenteraman dalam rumah tangga, melainkan latar belakang pendidikan orang tua pun sangat dominan.76

Namun demikian, alasan-alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi seseorang atau orang tua serta pihak-pihak yang berkepentingan demi memaksakan keinginannya untuk menikahkan anak yang masih di bawah umur.

75

Shalih : Mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, menyeimbangkan, dan melestarikan), Akrom: Lebih bertakwa kepada Allah swt, Lihat: Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial,

(Yogyakarta: LKIS, Oktober 2003), cet. ke-2,h. 371 76

Sumaya, ”Peranan BP4 dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Dini”, (Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 48-49


(57)

Dalam hal ini Islam dengan tegas melarang memperlakukan perempuan seperti benda yang dikendalikan oleh orang tuanya atau keluarganya yang laki-laki. Ia harus dimintai pendapat ketika hendak dinikahkan. Ketentuan ini berlaku untuk semua perempuan baik gadis maupun janda. Hal ini dikuatkan dalam sejumlah riwayat77 yang menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai hak perempuan untuk memilih jodoh yang ia sukai. Sebagai ayah, beliau selalu meminta pendapat putrinya ketika hendak dilamar seseorang. Perempuan sahabat juga merasakan kebebasan pasangan. Diantaranya adalah al-Khansa’ binti Khidam. Kasus al-Khansa’ adalah dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui Nabi. Nabi mereka keberatan mereka dan membatalkan pernikahan mereka. Ditambahkan lagi dengan keterangan al-Khansa’ bahwa Nabi saat itu tidak menanyakan status tentang dirinya, apakah gadis atau janda.78

Dengan demikian dalam pandangan Nabi, perempuan adalah manusia yang mempunyai hak pilih sebagaimana laki-laki.79 Apabila Nabi saja sebagai seorang Rasul dan panutan bagi umat Islam menjunjung tinggi persamaan hak dan prinsip keadilan sesama manusia, menurut penulis sudah sepatutnyalah kita sebagai umatnya mencontoh suri tauladan Rasul tersebut.

77

Dalam Musnad Ahmad ibn Hambal disebutkan: Rasulullah berkata kepada putrinya,“Sesungguhnya si fulan menyebut-nyebut namamu.”Kemudian beliau melihat reaksi mereka. Jika mereka diam, itu pertanda mereka setuju dan pernikahan bias segera dilangsungkan. Namun jika mereka menutup tirai kamarnya, itu pertanda mereka tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya.

78

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 170 79


(1)

J: Tidak pernah, belum pernah ada kegiatan seperti itu di kampung.. 20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut?

J: –

21. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Adat/tradisi di kampong ini

22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Rela

23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA

24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Ya ada ditambah menjadi dua puluh satu tahun

25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: Sepertinya tidak ada, lancar-lancar saja

26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Sudah berpisah kira-kira dua tahun lalu

27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Tegar, saya mempunyai warung kecil-kecilan untuk biaya hidup

Lampiran 4: Wawancara dengan Nyai, pada tanggal 01 November 2009

1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Februari, 15-06-1984

2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SD

3. T: Apa pendidikan terakhir orangtua anda? J: SD

4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Tani


(2)

J: ke enam

6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Lima

7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah?

J: Bogor, Sept 1999/usia 15 tahun (Buku Nikah Ditunjukkan) 8. T: Sudahkah anda memiliki anak?

J: Sudah

9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Satui

10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Delapan tahun/laki-laki

11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: Kelas 2 SD

12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: SD

13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Dagang

14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tidak tahu…

15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut?

J: –

16. T: Pernahkah anda mendengar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi perempuan?

J: Tidak pernah

17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu?


(3)

18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa?

J: Ya, penting

19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak pernah ada di kampung

20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J: –

21. T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda? J: Adat

22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Rela

23. T: Bagaimanakah anda menikah? J: di KUA

24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Ada ditambah menjadi dua puluh tahun

25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: Tidak ada, hanya nembak Rt/Rw

26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Baik-baik saja, repo mengurus anak

27. T: Bagaimana anda menyikapi keadaan Rumah Tangga anda sekarang? J: Ya gini-gini aja

Lampiran 5: Wawancara dengan Ibu Meri, pada 07 November 2009

1. T: Kapan dan dimana anda dilahirkan? J: Jakarta 45 tahun lalu

2. T: Apa pendidikan terakhir anda? J: SMP


(4)

J: Orang tua angkat/SMA

4. T: Apa pekerjaan orang tua anda? J: Pertamina

5. T: Anak keberapakah anda? J: Ke-Sepuluh

6. T: Berapa jumlah saudara anda? J: Sembilan (saudara angkat)

7. T: Kapan dan dimanakah anda menikah? J: Tahun 1978/Usia 14 tahun, di Jakarta Kota 8. T: Sudahkah anda memiliki anak?

J: Sudah, sudah ada yang menikah

9. T: Jika sudah, berapakah jumlah anak anda? J: Tiga orang

10. T: Berapa usia anak sulung (pertama) anda? J: Tiga puluh tahun

11. T: Apa pendidikan terakhir anak anda? J: S2

12. T: Apakah pendidikan terakhir suami anda? J: S3

13. T: Apakah pekerjaan suami anda? J: Pelayaran

14. T: Tahukah anda tentang UU Perkawinan? J: Tahu sedikit

15. T: Jika tahu, dapatkah anda menyebutkan salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut?

J: Soal aturan umur nikah

16. T: Pernahkah anda mendengar tentang kesehatan reproduksi perempuan?


(5)

J: Pernah, meskipun nikah muda tapi saya orangnya gaul dan rasa ingin tahu saya besar. Saya juga orangnya sangat sadar dengan kesehatan.

17. T: Jika iya, dapatkah anda menjelaskan tentang apakah kesehatan reproduksi itu?

J: Soal kehamilan, kelahiran dan sebaginya

18. T: Menurut anda pentingkah kesehatan reproduksi dipelajari oleh remaja, khususnya kaum perempuan dan Mengapa?

J: Penting sekali, supaya aman dari penyakit dll..1

19. T: Pernakah anda mengikuti penyuluhan tentang rumah tangga J: Tidak Pernah

20. T: Jika pernah dimana dan siapa yang memberikan penyuluhan tersebut? J: –

21 . T: Mengapa anda menikah di usia dini/muda?

J: Keyakinan agama orang tua angkat (Islam) saya/kekhawatiran orang tua akan pergaulan bebas.

22. T: Anda menikah atas dasar kerelaan atau keinginan ortu/pihak tertentu? J: Dijodohin, awalnya terpaksa. Waktu itu mental saya belum siap dan saya langsung hamil. Saya tidak tau apa-apa soal hamil, melahirkan dan lain-lain. 23. T: Bagaimanakah anda menikah?

J: di KUA

24. T: Apakah ada penambahan usia dalam perkawinan anda? J: Tidak ada

25. T: Apakah ada biaya dalam penambahan usia tersebut? J: –

26. T: Bagaimana keadaan Rumah Tangga anda sekarang?

J: Alhamdulillah sangat harmonis dan bahagia. Awal-awal saya mengalami schok tapi setelah melahirkan anak pertama saya amat bahagia.


(6)

J: Bahagia sekali, suami saya orangnya amat sayang dan pengertian dan berpendidikan meskipun saya harus sering berpisah karena tugas.


Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

3 111 109

Perlindungan Terhadap Hak-hak Istri pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1 57 112

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

PENGESAHAN ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Pengesahan Anak Di Luar Nikah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Pengadilan Negeri Jepara.

0 1 10

KEDUDUKAN PASAL 2 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP KONSEP HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

0 0 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35

PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 10

HAK ASUH ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (ANALISIS PENDEKATAN KOMPARATIF)

0 0 95

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR BAGI PENGANUT ASAS KEWARGANEGARAAN GANDA (Analisis Normatif Pasal 6 Undang-Undang No.12 tahnn 2006 dan Pasiil 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974) -

0 0 76