EDUCATION SOCIAL CAMP SEBAGAI SOLUSI DAL
EDUCATION SOCIAL CAMP
SEBAGAI SOLUSI DALAM PENANGANAN
MASALAH SOSIAL TERHADAP BUDAYA PENGEMIS
DI KOTA MAKASSAR
Oleh
Eko Aryono1, Abdul Masli2
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, berdampak pada semakin
merebaknya kemiskinan di Indonesia, salah satu dampak yang paling dirasakan
oleh masyarakat akibat dari krisis tersebut adalah kenaikan standar hidup yang
diakibatkan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok maupun kebutuhan-kebutuhan
yang lain, yang tentunya hal tersebut amat berimplikasi bagi mereka yang hidup
dalam kondisi keuangan pas-pasan. Belum lagi dalam masa-masa krisis tersebut
perekonomian Negara diguncang, dengan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terutama dari sektor perbankan dan manufaktur. Besarnya PHK yang
terjadi menyebabkan pengangguran di mana-mana sehingga berdampak pada
semakin besarnya angka kemiskinan, Bila dilihat dari ukuran keberhasilan
pembangunan tentu gejala ini bukanlah suatu hal yang mengembirakan karena
fenomena tersebut merupakan sebuah bukti bahwa negara ini masih bermasalah
dalam
proses
penanganan
kemiskinan.
Kemiskinan
yang
telah
terjadi
menyebabkan mencuatnya beberapa fenomena sosial, salah satunya ruwetnya tata
kota karena bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal, seperti pengemis.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Kadang-kadang mereka memakai
baju sobek, compang camping, tangan atau kaki diperban, jalan tersoak-soak,
suara memelas dan sebagainya, yang disengaja diciptakan untuk menarik dan
“menjatuhkan hati” dermawan untuk memberikan sedekah. Tidak jarang juga
1
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Makassar.
2
Mahasiswa Ilmu Antropologi Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin Makassar.
mereka memanfaatkan keterbatasan fisik yang sesungguhnya (misalnya karena
tuna netra) untuk mendukung penampilan dalam menjalankan “profesi” mereka.
Akan tetapi bukan tidak mungkin bahwa diantara mereka terdapat
pengemis-pengemis yang menampilkan front stage untuk menciptakan kesan
seperti yang mereka harapkan, akan tetapi kebanyakan dari mereka harus
mengalami konflik batin dengan penampilan mereka di belakang itu (back stage).
Sebab diantara pengemis ada yang juga pelajar, ibu rumah tangga atau bekerja di
sawah ladang yang terpaksa mengemis. Akibatnya tindakan mengemis yang mulamula dilakukan atas dasar mendapatkan penghasilan, mengharapkan belas
kasihan, kini berubah menjadi suatu kebiasaan untuk selalu meminta-minta dan
terkadang hasil minta-mintaan tersebut digunakan dengan hal-hal yang tidak
penting, seperti membeli rokok, bermain playstation, mengkonsumsi narkoba,
minuman beralkohol dan lain-lain yang kemudian berujung pada tradisi yang
membudaya tuk dilakukan. Padahal seharusnya mereka yang melakukan tindakan
mengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan mendesak karena
tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu keahlian yang
memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian (pekerjaan)
lainnya. Mirisnya lagi mengemis saat ini sudah menjadi pekerjaan di setiap umur,
mulai dari anak-anak, hingga mereka yang tua renta menjalani profesi yang sama,
tidak menutup kemungkinan pula disetiap sudut perkotaan, sering dijumpai
gerombolan-gerombolan pengemis, baik dari anak-anak ataupun ibu-ibu yang
mengemis sambil menggendong anak berusia balita (Dimas, 2013)
Banyaknya jumlah pengemis yang semakin meningkat menandakan bahwa
masih terdapat kemiskinan di berbagai daerah. Selain itu juga kebutuhan hidup
manusia yang semakin kompleks yang telah membutakan manusia untuk mencari
penghasilan dengan segala cara tanpa usaha yang keras, termasuk dengan tindakan
mengemis. Karena mengemis merupakan suatu kegiatan yang mudah untuk
dilakukan dan dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat, serta tidak
membutuhkan modal yang banyak dan dapat dilakukan kapanpun dan di
manapun.
Akibat semakin merebaknya kalangan pengemis yang bermunculan
didaerah
perkotaan,
ternyata
dipandang
sebagai
Penyandang
Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan memunculkan persoalan sosial yang baru, hal
ini disebabkan karena persoalan tersebut menyangkut kepentingan hajat hidup
orang banyak yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari
telah diusik dengan keberadaan pengemis tersebut. Keberadaan mereka bisa saja
mengakibatkan masalah kejahatan (kriminal). Dari masalah-masalah inilah yang
nantinya keberadaan mereka benar-benar tidak di harapkan oleh masyarakat luas.
Sebagai contoh ketika anak-anak kecil yang mengemis di lampu- lampu merah,
seringkali mereka memaksa meminta sesuatu (uang) dan ketika si pengendara
mobil tidak memberikan, seketika itu anak-anak tersebut kemudian menggoreskan
suatu benda seperti paku, maupun benda tajam lainnya sehingga body mobil bisa
tergores. Hal ini terkadang tidak disadari oleh pengendara mobil, dan mereka
mengetahuinya ketika setelah turun dari mobil tersebut3
Dampak lain yang dapat ditimbulkan dengan adanya kalangan pengemis
ialah keadaan lingkungan yang kotor. Pada umumnya gelandangan tinggal atau
tidur di teras-teras toko, bawah jembatan bahkan bawah pohon yang beralaskan
kardus atau koran-koran bekas. Ketika mereka berpindah tempat, acapkali
meninggalkan alas tempat tidur mereka sehingga meninggalkan sampah yang
berujung pada masalah kebersihan. Selain itu adanya gelandangan dan pengemis
ini juga menyebabkan rasa ketidaknyamanan masyarakat luas. Contohnya saja
ketika mereka beroperasi di jembatan-jembatan penyebrangan ataupun di teras
toko yang memungkinkan banyak orang yang melewatinya sehingga cukup
menganggu pengguna jalan lainnya.
Kalangan pengemis saat ini sangat mudah dijumpai di berbagai kota-kota
besar, salah satunya Kota Makassar, keberadaan kalangan pengemis dapat terlihat
di tempat-tempat umum seperti di persimpangan jalan tol reformasi, Jl. A.
Pangerang Petta Rani dan Jl. Sultan Awaluddin, persimpangan jalan mesjid raya
dan Jl. G. Latimojong, persimpangan Jl. S. Saddang dan Jl. Veteran,
persimpangan Jl. Monginsidi dan Jl. Veteran, persimpangan Jl. Landak baru dan
Jl. Veteran. Di terminal, tempat pembuangan sampah dan berkeliaran di kantor
kantor pemerintah dan swasta. Sebagian besar pengemis di Kota Makassar
merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain
3
Isma Riskawati. 2012. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis. Jurnal
Sosiologi. Volume 1 No. 1:43-52. 2012 : Universitas Lampung
Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep, Gowa dan Takalar bahkan ada yang dari
luar Sulawesi yakni dari Jawa, Lombok dan Kalimantan, kebanyakan dari mereka
(pengemis) adalah anak-anak atau orang dewasa dari para pendatang yang
mencoba mencari penghidupan lebih baik di Kota Makassar. Data terakhir dari
Dinas Sosial Kota Makassar tahun 2016 terdapat sekitar 42.986 orang yang
sehari-harinya mengais rejeki menjadi seorang pengemis.
Menurut kepala Dinas Sosial (Dinsos) Makassar Mukhtar Tahir, bahwa
Makassar ibarat gula bagi para pengemis karena banyak kegiatan ekonomi yang
berputar, seperti maraknya pusat perbelanjaan dan hampir kebanyakan aktivitas
bisnis dilakukan didaerah perkotaan Makassar yang berhimbas pada daya tarik
bagi kalangan pengemis untuk menghais rejeki di tempat-tempat tersebut.
Keberadaan mereka apabila ditinjau dari segi sosial, memang kerap kali
menimbulkan berbagai permasalahan, misalnya lalu lintas, ketertiban dan
keamanan perkotaan. Saat ini Kota Makassar berkembang pesat, bangunan fisik,
tempat rekreasi, terjadi penggusuran pemukiman liar dan pasar tradisional.
Urbanisasi pencari kerja sektor informal, buruh dan tukang becak dari kabupaten
lain makin meningkat. Kondisi ini memberi indikasi makin meningkatnya
keluarga miskin dan anak yang turun ke jalanan untuk mencari nafkah.
Taraf Kemiskinan di kota Makassar masih merupakan masalah besar,
kurang lebih 71,624 kk/368.124 jiwa atau 28,1% penduduk kota tersebut menjadi
sumber penyebab utama dari permasalahan pengemis, disamping itu mentalitas
karakter masyarakat untuk memanfaatkan charity (belas kasihan) yang
menciptakan perilaku bagi kalangan pengemis. Kebiasaan perilaku masyarakat
pengguna jalan yang memiliki solidaritas tinggi terhadap permasalahan
kemiskinan menjadi peluang penghasilan bagi kalangan pengemis dan keluarga/
orang tuanya4. Oleh karenanya jumlah pengemis didaerah Makassar, akan sangat
sulit untuk dihilangkan dan menjadi sebuah masalah serius terutama di ibu kota
provinsi, apalagi sebelum mereka menjadi seorang pengemis, tentu saja
disebabkan oleh berbagai faktor yang membuat mereka terjun ke profesi tersebut,
sehingga ini yang menjadi dampak negatif kapada mereka, kenapa harus terus
menggeluti pekerjaan tersebut dan kian membudaya dalam pikiran mereka.
4
Ronawaty Anasiru. 2011. Implementasi Model-model Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan
Di Kota Makassar. Sosiokonsepsia. Vol. 16 No. 02. Tahun 2011 : Makassar
Faktor Penyebab adanya Kalangan Pengemis
Begitu banyaknya kalangan pengemis yang bermunculan di sekitar kita khususnya
di daerah perkotaan Makassar, tentunya timbul karena adanya berbagai macam
faktor, baik itu faktor internal (dari dalam) maupun faktor eksternal (dari luar)
A. Faktor Internal
Faktor internal berasal dari dalam keadaan individu yang mendorong
mereka untuk mengemis. Faktor internal ini meliputi, Masalah kemiskinan,
kurangnya keahlian adanya sifat malas, mempunyai kelamahan fisik atau
penyakit
1. Masalah Kemiskinan
Merupakan faktor utama mengapa mereka cenderung untuk selalu
mengemis, hal ini didasarkan pada ketidakmampuan seseorang dalam
mencukupi kebutuhan yang dari tahun ke tahun semakin mahal, belum lagi
semakin meningkatnya pengeluaran pemenuhan kebutuhan hidup,
sementara pendapatan mereka hanya pas-pasan atau ada yang berada
dibawah garis kemiskinan, sehingga akan mendorong seseorang untuk
melakukan hal apapun asalkan ia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya
maupun keluarganya. Mirisnya lagi mereka tidak malu untuk mengemis,
dengan mempertaruhkan harga diri mereka ketimbang demi mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya (Effendi, 1993)
2. Kurangnya Keahlian
Para pendatang baik dari desa maupun dari daerah lain yang datang ke
daerah perkotaan untuk mengadu nasib, dengan bekal modal nekat, akan
tetapi tidak memiliki bekal keahlian dan kemampuan untuk bertahan hidup
di kota, akan kalah bersaing dengan mereka yang memiliki keahlian.
Sehingga untuk mencari pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka akan terasa sulit, akibatnya mereka menjadi miskin di perkotaan
dan cenderung bekerja di sektor informal, seperti bekerja sebagai
pedagang asongan, tukang parkir, pemulung, penjaja koran dan yang lebih
mirisnya menjadi Pengemis. Kurangnya keahlian dan keterampilan mereka
ternyata berbanding lurus dengan persoalan rendahnya pendidikan yang
digeluti sebelumnya. Kebanyakan dari mereka hanya tamatan SD sampai
SMA, bahkan ada yang belum sekolah dan ini yang membuat mereka sulit
bersaing untuk hidup di daerah yang biaya hidupnya lumayan mahal
3. Adanya sifat malas
Artinya adanya sifat yang tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sifat malas pasti pernah hinggap di setiap individu, akan tetapi malas
disini adalah malas yang berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa
berfikir secara produktif dan bergantung pada orang lain, yang berakibat
pada pemikiran untuk tidak berusaha mencari pekerjaan, karena dengan
mengemis mereka tanpa perlu dasar pendidikan yang tinggi dan tanpa
mengeluarkan banyak pikiran mereka mendapatkan penghasilan yang
cukup.
4. Mempunyai kelemahan fisik atau penyakit.
Artinya adalah seseorang yang mempunyai cacat fisik atau penyakitan
cenderung merasa dirinya lemah, kurang percaya diri dan akhirnya akan
merasa terasinggkan, kebanyakan dari mereka mengalami diskriminasi
dari orang-orang disekelilingnya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya
pelamar pekerjaan yang ditolak karena mereka mempunyai penyakit atau
cacat fisik. Faktanya yang normal saja susah untuk bekerja, apalagi yang
cacat. Terlebih lagi, tiap perusahaan atau instansi pemerintah dalam
menjalankan urusan pekerjaannya, tidak hanya mengandalkan rohani
tetapi juga jasmani. Sehingga karena sulitnya menemukan pekerjaan
dengan keterbatasan fisik, maka mereka lebih cenderung untuk mengemis
demi menyambung kelangsungan hidup mereka (Ahmadi, 2003)
B. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal berasal dari luar keadaan individu yang mendorong
mereka untuk mengemis. Faktor eksternal ini meliputi, urbanisasi, lingkungan
pergaulan dan kebijakan dari pemerintah.
1. Urbanisasi
Salah satu faktor munculnya pengemis adalah karena banyaknya
perpindahan masyarakat dari desa ke kota untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan yang layak, mengingat di desa jumlah pekerjaan yang layak
sangat kurang, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk berpindah
ke daerah perkotaan, akan tetapi perlu diketahui dari tahun-ketahun laju
pertumbuhan penduduk indonesia berbanding terbalik dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang ada, yang berarti bahwa meningkatnya jumlah
penduduk tidak diimbangi dengan bertambanya lapangan pekerjaan. Jadi
dengan adanya keterbatasan lapangan pekerjaan ini, menyebabkan banyak
pengemis di daerah perkotaan.
2. Lingkungan Pergaulan
Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah-satu yang mempengaruhi mengapa
orang cenderung untuk mengemis, karena faktor lingkungan pergaulan,
seperti ajakan dan bujukan seorang teman. Hal ini didasari, karena bujukan
teman sepergaulan dipandang sangat ampuh dalam mempengaruhi
pendirian seseorang, apalagi kalau pihak yang membujuk telah mengalami
kesuksesan dalam mengemis, memperoleh penghasilan yang cukup
pantastis, sehingga mereka akan mudah terpengaruh dan mengikuti apa
yang mereka lakukan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa banyak sekali
orang memilih untuk menjadi pengemis karena memang bujukan teman
dan juga iming-iming besar untuk memperoleh penghasilan yang banyak
tanpa harus bekerja keras.
3. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan bertambahnya jumlah
kalangan pengemis, seperti kebijakan naiknya bahan bakar minyak
(BBM), naiknya harga kebutuhan pokok, baik sandang maupun pangan
yang
tentunya
menambah
penderitaan
bagi
masyarakat,
yang
berpenghasilan rendah, karena untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
mereka, tentunya harus memiliki cukup banyak penghasilan.
Dari permasalahan dan penyebab sampai adanya kalangan pengemis, yang
kemudian menjamur menjadi sebuah budaya diperkotaan, pengentasan terhadap
permasalahan pengemis tersebut hingga kini belum mampu menyentuh hingga ke
akar-akarnya dikarenakan konstruksi perspektif pada pengemis yang berkembang
selama ini selalu menyudutkan pada persoalan persoalan ekonomi, sosial dan
budaya, apalagi lagi penanggulangan masalah terhadap gelandangan dan
pengemis menjadi tanggung jawab negara. Pasal 34 ayat 1 UUD 1945
mengamanatkan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Sementara itu pasal 34 ayat 2 menegaskan Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Berdasarkan pasal 34
ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun1980 tentang Penanggulangan kalangan Pengemis pada bagian
pertimbangan menyatakan :
a) Bahwa kalangan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena
itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
b) Bahwa usaha penanggulangan tersebut,
di
samping usaha-usaha
pencegahan timbulnya kalangan pengemis, bertujuan pula untuk
memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan pengemis agar mampu
mencapai taraf hidup kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai
Warga Negara Republik Indonesia.
Penanggulangan Pengemis
Pada penulisan ini, akan dipaparkan salah - satu solusi yang dapat meretas makin
merebaknya kalangan pengemis di perkotaan, terkhusus di kawasan perkotaan
Makassar, yakni Program Education Social Camp yang merupakan suatu program
yang bergerak dibidang sosial, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada kalangan pengemis, dengan Metode Refresif, Persuasif, Preventif, dan
Rehabilitatif,
melalui
Pemberian
Bantuan
Dana,
pelatihan,
pendidikan,
pemberdayaan, pemahaman akan peluang untuk berkembang dan maju, sehingga
mereka tidak hanya dibina saja akan tetapi dibantu untuk berusaha mandiri dengan
membuka lapangan pekerjaan sendiri serta dipandu oleh tenaga ahli selama
mereka menjalani binahan di perkampungan pendidikan pengemis dan dalam
program ini, ditumbuhkan akan harga diri dari mereka, kehormatan diri,
kemuliaan diri, jati diri dan kebanggan sebagai manusia mulia disisi Tuhan dan
manusia lainnya. Dimana kegiatan mengemis itu bukanlah sesuatu yang mulia,
tangan diataslah yang lebih mulia. Serta pendekatan agama dan sosial sangat
ditekankan dalam pembinaan Program ini. Adapun tahap-tahap dan penjelasan
lebih rincinya mengenai education social camp, antara lain :
1. Usaha Represif
Usaha refresif, merupakan tindakan yang dilakukan dengan sifat menekan,
memaksa, misalnya Razia Pengemis Dadakan. Razia pengemis secara dadakan,
dilakukan atas dasar melalui instruksi Dinas Sosial kota Makassar dalam
rangka untuk mendapatkan para pengemis yang berkeliaran di sepanjang sudut
perkotaan Makassar dibantu juga dengan bantuan tenaga dari satpol pamong
praja (PP), dalam rangka pembinaan nantinya di tempat perkampungan
pengemis.
2. Usaha Persuasif
Usaha persuasif merupakan usaha yang dilakukan dengan cara membujuk,
mengajak, atau merayu, untuk mempengaruhi tindakan atau penilaian
pengemis, bahwa program education social camp/ pendidikan perkampungan
sosial adalah program yang sangat baik, sangat berguna untuk mereka,
sehingga mereka (pengemis) tidak akan merasa bahwa mereka ikut, atas dasar
paksaan, akan tetapi ikhlas, siap menerima binahan, bimbingan, pelatihan,
pemberian materi, karena memang program ini bertujuan untuk kemandirian
dan peningkatan taraf hidup mereka.
3. Usaha Rehabilitatif
Usaha rehabilitatif merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengobati
penyakit pengemis. Penyakit yang dimaksud adalah, kemalasan, tidak adanya
semangat untuk maju, gairah untuk kembali bekerja. Sehingga melalui program
education social camp ini, para pengemis dapat mengutarakan penyebab
kemalasan dan dapat mengutarakan bakat/ keahlian apa saja yang dapat mereka
lakukan. Dari hal tersebut, nantinya pemerintah dapat memberikan bantuan,
baik berupa pendidikan dan pelatihan, pembinaan yang instensif yang memang
sesuai dengan bidang yang dikuasai oleh mereka, sehingga nantinya ketika
mereka sudah selesai dari program ini, mereka sudah siap untuk terjun di dunia
pekerjaan, baik membuka lapangan pekerjaan sendiri ataukah dapat bekerja di
instansi pemerintah/ perusahaan lainnya.
4. Usaha Preventif
Usaha preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kembali permasalahan tersebut. Permasalahan yang dimaksud adalah timbulnya
kembali kalangan pengemis. Jadi ketika mereka sudah diberi, pelatihan,
pendidikan, binahan, sudah diberdayakan dengan segala fasilitas yang
menunjang akan pemahaman skill/ keterampilan yang mereka punya dan sudah
siap untuk terjun ke lapangan dunia pekerjaan, tentu saja pembinahan belum
selesai, karena setelah itu, pemerintah dapat memberikan santunan berupa
bantuan dana kepada mereka (kalangan pengemis) guna membuka lapangan
pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka serta tetap adanya follow
up tenaga ahli dari perkampungan pendidikan pengemis, berupa pihak
pengawas yang selalu intens dalam mengawal kegiatan yang mereka lakukan,
sehingga nantinya ketika mereka mendapat kesulitan, dapat dibantu segera.
Jadi ketika program education social camp benar-benar telah diterapkan, maka
tidak menutup-kemungkinan kalangan pengemis, yang masih berkeliaran di
lorong-lorong perkotaan dapat diatasi dan tentu saja, harus ada partisipasi
masyarakat dalam mengawal program ini, seperti tidak memberikan uang kepada
pengemis yang masih berkeliaran, begitu juga harus ada partisipasi dari pihak
swasta dalam pemberian bantuan, baik itu bantuan dana ataukah bantuan sarana
dan prasarana selama program ini dilaksanakan dan jika ini semua dapat
diterapkan, maka tidak mungkin tidak, pengentasan pengemis diperkotaan atau
bahkan kemiskinan di negeri ini dapat diatasi.
Kesimpulan
Kemiskinan yang terjadi saat ini, ternyata berdampak pada mencuatnya beberapa
permasalahan sosial, salah satunya bertambahnya jumlah pekerja di sektor
informal, seperti pengemis. Pengemis merupakan orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain, umumnya mereka
beraktivitas di jalan raya, lalu lintas, dipertokoan, bahkan ada yang memintaminta dilingkungan perumahaan atau dilingkungan sekolahan/ kampus. Sebagai
contohnya yang terjadi di didaerah perkotaan Makassar, keberadaan kalangan
pengemis dapat terlihat di tempat-tempat umum seperti di persimpangan jalan tol
reformasi, Jl. A. Pangerang Petta Rani dan Jl. Sultan Awaluddin, persimpangan
jalan mesjid raya dan lain-lainnya. Sebagian besar pengemis di Kota Makassar
merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain
Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep, Gowa dan Takalar bahkan ada yang dari
luar Sulawesi yakni dari Jawa, Lombok dan Kalimantan, kebanyakan dari mereka
(pengemis) adalah anak-anak atau orang dewasa dari para pendatang yang
mencoba mencari penghidupan lebih baik di Kota Makassar. Data terakhir dari
Dinas Sosial Kota Makassar tahun 2016 terdapat sekitar 42.986 orang yang
sehari-harinya mengais rejeki menjadi seorang pengemis, adapun factor yang
menyebabkan mereka menjadi pengemis, yakni factor dari dalam, berupa masalah
ekonomi, kurangnya keahlian dalam bekerja, adanya pemikiran malas untuk
mencari pekerjaan, mempunyai kelemahan fisik atau cacat dan dari factor luar,
berupa melonjaknya urbanisasi dari desa ke daerah perkotaan, lingkungan
pergaulan dan kebijakan-kebijakn pemerintah yang semakin memberatkan mereka
dalam memenuhi taraf hidup mereka. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut,
Program Education Social Camp hadir dalam mengatasi persoalan tersebut dan
perlu diketahui bahwa program ini bergerak dibidang sosial, yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada kalangan pengemis, melalui Metode Refresif,
Persuasif, Rehabilitatif Preventif dan Pemberian Bantuan Dana.
Referensi
Abu Ahmadi, 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Rineka Cipta
Dimas, Dwi Irawan. 2013. Pengemis Undercover. Jakarta: Titik Media
Effendi. 1993. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Gelandangan dan Pengemis. Yogyakarta
SEBAGAI SOLUSI DALAM PENANGANAN
MASALAH SOSIAL TERHADAP BUDAYA PENGEMIS
DI KOTA MAKASSAR
Oleh
Eko Aryono1, Abdul Masli2
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, berdampak pada semakin
merebaknya kemiskinan di Indonesia, salah satu dampak yang paling dirasakan
oleh masyarakat akibat dari krisis tersebut adalah kenaikan standar hidup yang
diakibatkan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok maupun kebutuhan-kebutuhan
yang lain, yang tentunya hal tersebut amat berimplikasi bagi mereka yang hidup
dalam kondisi keuangan pas-pasan. Belum lagi dalam masa-masa krisis tersebut
perekonomian Negara diguncang, dengan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terutama dari sektor perbankan dan manufaktur. Besarnya PHK yang
terjadi menyebabkan pengangguran di mana-mana sehingga berdampak pada
semakin besarnya angka kemiskinan, Bila dilihat dari ukuran keberhasilan
pembangunan tentu gejala ini bukanlah suatu hal yang mengembirakan karena
fenomena tersebut merupakan sebuah bukti bahwa negara ini masih bermasalah
dalam
proses
penanganan
kemiskinan.
Kemiskinan
yang
telah
terjadi
menyebabkan mencuatnya beberapa fenomena sosial, salah satunya ruwetnya tata
kota karena bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal, seperti pengemis.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Kadang-kadang mereka memakai
baju sobek, compang camping, tangan atau kaki diperban, jalan tersoak-soak,
suara memelas dan sebagainya, yang disengaja diciptakan untuk menarik dan
“menjatuhkan hati” dermawan untuk memberikan sedekah. Tidak jarang juga
1
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Makassar.
2
Mahasiswa Ilmu Antropologi Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin Makassar.
mereka memanfaatkan keterbatasan fisik yang sesungguhnya (misalnya karena
tuna netra) untuk mendukung penampilan dalam menjalankan “profesi” mereka.
Akan tetapi bukan tidak mungkin bahwa diantara mereka terdapat
pengemis-pengemis yang menampilkan front stage untuk menciptakan kesan
seperti yang mereka harapkan, akan tetapi kebanyakan dari mereka harus
mengalami konflik batin dengan penampilan mereka di belakang itu (back stage).
Sebab diantara pengemis ada yang juga pelajar, ibu rumah tangga atau bekerja di
sawah ladang yang terpaksa mengemis. Akibatnya tindakan mengemis yang mulamula dilakukan atas dasar mendapatkan penghasilan, mengharapkan belas
kasihan, kini berubah menjadi suatu kebiasaan untuk selalu meminta-minta dan
terkadang hasil minta-mintaan tersebut digunakan dengan hal-hal yang tidak
penting, seperti membeli rokok, bermain playstation, mengkonsumsi narkoba,
minuman beralkohol dan lain-lain yang kemudian berujung pada tradisi yang
membudaya tuk dilakukan. Padahal seharusnya mereka yang melakukan tindakan
mengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan mendesak karena
tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu keahlian yang
memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian (pekerjaan)
lainnya. Mirisnya lagi mengemis saat ini sudah menjadi pekerjaan di setiap umur,
mulai dari anak-anak, hingga mereka yang tua renta menjalani profesi yang sama,
tidak menutup kemungkinan pula disetiap sudut perkotaan, sering dijumpai
gerombolan-gerombolan pengemis, baik dari anak-anak ataupun ibu-ibu yang
mengemis sambil menggendong anak berusia balita (Dimas, 2013)
Banyaknya jumlah pengemis yang semakin meningkat menandakan bahwa
masih terdapat kemiskinan di berbagai daerah. Selain itu juga kebutuhan hidup
manusia yang semakin kompleks yang telah membutakan manusia untuk mencari
penghasilan dengan segala cara tanpa usaha yang keras, termasuk dengan tindakan
mengemis. Karena mengemis merupakan suatu kegiatan yang mudah untuk
dilakukan dan dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat, serta tidak
membutuhkan modal yang banyak dan dapat dilakukan kapanpun dan di
manapun.
Akibat semakin merebaknya kalangan pengemis yang bermunculan
didaerah
perkotaan,
ternyata
dipandang
sebagai
Penyandang
Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan memunculkan persoalan sosial yang baru, hal
ini disebabkan karena persoalan tersebut menyangkut kepentingan hajat hidup
orang banyak yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari
telah diusik dengan keberadaan pengemis tersebut. Keberadaan mereka bisa saja
mengakibatkan masalah kejahatan (kriminal). Dari masalah-masalah inilah yang
nantinya keberadaan mereka benar-benar tidak di harapkan oleh masyarakat luas.
Sebagai contoh ketika anak-anak kecil yang mengemis di lampu- lampu merah,
seringkali mereka memaksa meminta sesuatu (uang) dan ketika si pengendara
mobil tidak memberikan, seketika itu anak-anak tersebut kemudian menggoreskan
suatu benda seperti paku, maupun benda tajam lainnya sehingga body mobil bisa
tergores. Hal ini terkadang tidak disadari oleh pengendara mobil, dan mereka
mengetahuinya ketika setelah turun dari mobil tersebut3
Dampak lain yang dapat ditimbulkan dengan adanya kalangan pengemis
ialah keadaan lingkungan yang kotor. Pada umumnya gelandangan tinggal atau
tidur di teras-teras toko, bawah jembatan bahkan bawah pohon yang beralaskan
kardus atau koran-koran bekas. Ketika mereka berpindah tempat, acapkali
meninggalkan alas tempat tidur mereka sehingga meninggalkan sampah yang
berujung pada masalah kebersihan. Selain itu adanya gelandangan dan pengemis
ini juga menyebabkan rasa ketidaknyamanan masyarakat luas. Contohnya saja
ketika mereka beroperasi di jembatan-jembatan penyebrangan ataupun di teras
toko yang memungkinkan banyak orang yang melewatinya sehingga cukup
menganggu pengguna jalan lainnya.
Kalangan pengemis saat ini sangat mudah dijumpai di berbagai kota-kota
besar, salah satunya Kota Makassar, keberadaan kalangan pengemis dapat terlihat
di tempat-tempat umum seperti di persimpangan jalan tol reformasi, Jl. A.
Pangerang Petta Rani dan Jl. Sultan Awaluddin, persimpangan jalan mesjid raya
dan Jl. G. Latimojong, persimpangan Jl. S. Saddang dan Jl. Veteran,
persimpangan Jl. Monginsidi dan Jl. Veteran, persimpangan Jl. Landak baru dan
Jl. Veteran. Di terminal, tempat pembuangan sampah dan berkeliaran di kantor
kantor pemerintah dan swasta. Sebagian besar pengemis di Kota Makassar
merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain
3
Isma Riskawati. 2012. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis. Jurnal
Sosiologi. Volume 1 No. 1:43-52. 2012 : Universitas Lampung
Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep, Gowa dan Takalar bahkan ada yang dari
luar Sulawesi yakni dari Jawa, Lombok dan Kalimantan, kebanyakan dari mereka
(pengemis) adalah anak-anak atau orang dewasa dari para pendatang yang
mencoba mencari penghidupan lebih baik di Kota Makassar. Data terakhir dari
Dinas Sosial Kota Makassar tahun 2016 terdapat sekitar 42.986 orang yang
sehari-harinya mengais rejeki menjadi seorang pengemis.
Menurut kepala Dinas Sosial (Dinsos) Makassar Mukhtar Tahir, bahwa
Makassar ibarat gula bagi para pengemis karena banyak kegiatan ekonomi yang
berputar, seperti maraknya pusat perbelanjaan dan hampir kebanyakan aktivitas
bisnis dilakukan didaerah perkotaan Makassar yang berhimbas pada daya tarik
bagi kalangan pengemis untuk menghais rejeki di tempat-tempat tersebut.
Keberadaan mereka apabila ditinjau dari segi sosial, memang kerap kali
menimbulkan berbagai permasalahan, misalnya lalu lintas, ketertiban dan
keamanan perkotaan. Saat ini Kota Makassar berkembang pesat, bangunan fisik,
tempat rekreasi, terjadi penggusuran pemukiman liar dan pasar tradisional.
Urbanisasi pencari kerja sektor informal, buruh dan tukang becak dari kabupaten
lain makin meningkat. Kondisi ini memberi indikasi makin meningkatnya
keluarga miskin dan anak yang turun ke jalanan untuk mencari nafkah.
Taraf Kemiskinan di kota Makassar masih merupakan masalah besar,
kurang lebih 71,624 kk/368.124 jiwa atau 28,1% penduduk kota tersebut menjadi
sumber penyebab utama dari permasalahan pengemis, disamping itu mentalitas
karakter masyarakat untuk memanfaatkan charity (belas kasihan) yang
menciptakan perilaku bagi kalangan pengemis. Kebiasaan perilaku masyarakat
pengguna jalan yang memiliki solidaritas tinggi terhadap permasalahan
kemiskinan menjadi peluang penghasilan bagi kalangan pengemis dan keluarga/
orang tuanya4. Oleh karenanya jumlah pengemis didaerah Makassar, akan sangat
sulit untuk dihilangkan dan menjadi sebuah masalah serius terutama di ibu kota
provinsi, apalagi sebelum mereka menjadi seorang pengemis, tentu saja
disebabkan oleh berbagai faktor yang membuat mereka terjun ke profesi tersebut,
sehingga ini yang menjadi dampak negatif kapada mereka, kenapa harus terus
menggeluti pekerjaan tersebut dan kian membudaya dalam pikiran mereka.
4
Ronawaty Anasiru. 2011. Implementasi Model-model Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan
Di Kota Makassar. Sosiokonsepsia. Vol. 16 No. 02. Tahun 2011 : Makassar
Faktor Penyebab adanya Kalangan Pengemis
Begitu banyaknya kalangan pengemis yang bermunculan di sekitar kita khususnya
di daerah perkotaan Makassar, tentunya timbul karena adanya berbagai macam
faktor, baik itu faktor internal (dari dalam) maupun faktor eksternal (dari luar)
A. Faktor Internal
Faktor internal berasal dari dalam keadaan individu yang mendorong
mereka untuk mengemis. Faktor internal ini meliputi, Masalah kemiskinan,
kurangnya keahlian adanya sifat malas, mempunyai kelamahan fisik atau
penyakit
1. Masalah Kemiskinan
Merupakan faktor utama mengapa mereka cenderung untuk selalu
mengemis, hal ini didasarkan pada ketidakmampuan seseorang dalam
mencukupi kebutuhan yang dari tahun ke tahun semakin mahal, belum lagi
semakin meningkatnya pengeluaran pemenuhan kebutuhan hidup,
sementara pendapatan mereka hanya pas-pasan atau ada yang berada
dibawah garis kemiskinan, sehingga akan mendorong seseorang untuk
melakukan hal apapun asalkan ia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya
maupun keluarganya. Mirisnya lagi mereka tidak malu untuk mengemis,
dengan mempertaruhkan harga diri mereka ketimbang demi mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya (Effendi, 1993)
2. Kurangnya Keahlian
Para pendatang baik dari desa maupun dari daerah lain yang datang ke
daerah perkotaan untuk mengadu nasib, dengan bekal modal nekat, akan
tetapi tidak memiliki bekal keahlian dan kemampuan untuk bertahan hidup
di kota, akan kalah bersaing dengan mereka yang memiliki keahlian.
Sehingga untuk mencari pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka akan terasa sulit, akibatnya mereka menjadi miskin di perkotaan
dan cenderung bekerja di sektor informal, seperti bekerja sebagai
pedagang asongan, tukang parkir, pemulung, penjaja koran dan yang lebih
mirisnya menjadi Pengemis. Kurangnya keahlian dan keterampilan mereka
ternyata berbanding lurus dengan persoalan rendahnya pendidikan yang
digeluti sebelumnya. Kebanyakan dari mereka hanya tamatan SD sampai
SMA, bahkan ada yang belum sekolah dan ini yang membuat mereka sulit
bersaing untuk hidup di daerah yang biaya hidupnya lumayan mahal
3. Adanya sifat malas
Artinya adanya sifat yang tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sifat malas pasti pernah hinggap di setiap individu, akan tetapi malas
disini adalah malas yang berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa
berfikir secara produktif dan bergantung pada orang lain, yang berakibat
pada pemikiran untuk tidak berusaha mencari pekerjaan, karena dengan
mengemis mereka tanpa perlu dasar pendidikan yang tinggi dan tanpa
mengeluarkan banyak pikiran mereka mendapatkan penghasilan yang
cukup.
4. Mempunyai kelemahan fisik atau penyakit.
Artinya adalah seseorang yang mempunyai cacat fisik atau penyakitan
cenderung merasa dirinya lemah, kurang percaya diri dan akhirnya akan
merasa terasinggkan, kebanyakan dari mereka mengalami diskriminasi
dari orang-orang disekelilingnya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya
pelamar pekerjaan yang ditolak karena mereka mempunyai penyakit atau
cacat fisik. Faktanya yang normal saja susah untuk bekerja, apalagi yang
cacat. Terlebih lagi, tiap perusahaan atau instansi pemerintah dalam
menjalankan urusan pekerjaannya, tidak hanya mengandalkan rohani
tetapi juga jasmani. Sehingga karena sulitnya menemukan pekerjaan
dengan keterbatasan fisik, maka mereka lebih cenderung untuk mengemis
demi menyambung kelangsungan hidup mereka (Ahmadi, 2003)
B. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal berasal dari luar keadaan individu yang mendorong
mereka untuk mengemis. Faktor eksternal ini meliputi, urbanisasi, lingkungan
pergaulan dan kebijakan dari pemerintah.
1. Urbanisasi
Salah satu faktor munculnya pengemis adalah karena banyaknya
perpindahan masyarakat dari desa ke kota untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan yang layak, mengingat di desa jumlah pekerjaan yang layak
sangat kurang, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk berpindah
ke daerah perkotaan, akan tetapi perlu diketahui dari tahun-ketahun laju
pertumbuhan penduduk indonesia berbanding terbalik dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang ada, yang berarti bahwa meningkatnya jumlah
penduduk tidak diimbangi dengan bertambanya lapangan pekerjaan. Jadi
dengan adanya keterbatasan lapangan pekerjaan ini, menyebabkan banyak
pengemis di daerah perkotaan.
2. Lingkungan Pergaulan
Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah-satu yang mempengaruhi mengapa
orang cenderung untuk mengemis, karena faktor lingkungan pergaulan,
seperti ajakan dan bujukan seorang teman. Hal ini didasari, karena bujukan
teman sepergaulan dipandang sangat ampuh dalam mempengaruhi
pendirian seseorang, apalagi kalau pihak yang membujuk telah mengalami
kesuksesan dalam mengemis, memperoleh penghasilan yang cukup
pantastis, sehingga mereka akan mudah terpengaruh dan mengikuti apa
yang mereka lakukan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa banyak sekali
orang memilih untuk menjadi pengemis karena memang bujukan teman
dan juga iming-iming besar untuk memperoleh penghasilan yang banyak
tanpa harus bekerja keras.
3. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan bertambahnya jumlah
kalangan pengemis, seperti kebijakan naiknya bahan bakar minyak
(BBM), naiknya harga kebutuhan pokok, baik sandang maupun pangan
yang
tentunya
menambah
penderitaan
bagi
masyarakat,
yang
berpenghasilan rendah, karena untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
mereka, tentunya harus memiliki cukup banyak penghasilan.
Dari permasalahan dan penyebab sampai adanya kalangan pengemis, yang
kemudian menjamur menjadi sebuah budaya diperkotaan, pengentasan terhadap
permasalahan pengemis tersebut hingga kini belum mampu menyentuh hingga ke
akar-akarnya dikarenakan konstruksi perspektif pada pengemis yang berkembang
selama ini selalu menyudutkan pada persoalan persoalan ekonomi, sosial dan
budaya, apalagi lagi penanggulangan masalah terhadap gelandangan dan
pengemis menjadi tanggung jawab negara. Pasal 34 ayat 1 UUD 1945
mengamanatkan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Sementara itu pasal 34 ayat 2 menegaskan Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Berdasarkan pasal 34
ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun1980 tentang Penanggulangan kalangan Pengemis pada bagian
pertimbangan menyatakan :
a) Bahwa kalangan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena
itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
b) Bahwa usaha penanggulangan tersebut,
di
samping usaha-usaha
pencegahan timbulnya kalangan pengemis, bertujuan pula untuk
memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan pengemis agar mampu
mencapai taraf hidup kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai
Warga Negara Republik Indonesia.
Penanggulangan Pengemis
Pada penulisan ini, akan dipaparkan salah - satu solusi yang dapat meretas makin
merebaknya kalangan pengemis di perkotaan, terkhusus di kawasan perkotaan
Makassar, yakni Program Education Social Camp yang merupakan suatu program
yang bergerak dibidang sosial, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman
kepada kalangan pengemis, dengan Metode Refresif, Persuasif, Preventif, dan
Rehabilitatif,
melalui
Pemberian
Bantuan
Dana,
pelatihan,
pendidikan,
pemberdayaan, pemahaman akan peluang untuk berkembang dan maju, sehingga
mereka tidak hanya dibina saja akan tetapi dibantu untuk berusaha mandiri dengan
membuka lapangan pekerjaan sendiri serta dipandu oleh tenaga ahli selama
mereka menjalani binahan di perkampungan pendidikan pengemis dan dalam
program ini, ditumbuhkan akan harga diri dari mereka, kehormatan diri,
kemuliaan diri, jati diri dan kebanggan sebagai manusia mulia disisi Tuhan dan
manusia lainnya. Dimana kegiatan mengemis itu bukanlah sesuatu yang mulia,
tangan diataslah yang lebih mulia. Serta pendekatan agama dan sosial sangat
ditekankan dalam pembinaan Program ini. Adapun tahap-tahap dan penjelasan
lebih rincinya mengenai education social camp, antara lain :
1. Usaha Represif
Usaha refresif, merupakan tindakan yang dilakukan dengan sifat menekan,
memaksa, misalnya Razia Pengemis Dadakan. Razia pengemis secara dadakan,
dilakukan atas dasar melalui instruksi Dinas Sosial kota Makassar dalam
rangka untuk mendapatkan para pengemis yang berkeliaran di sepanjang sudut
perkotaan Makassar dibantu juga dengan bantuan tenaga dari satpol pamong
praja (PP), dalam rangka pembinaan nantinya di tempat perkampungan
pengemis.
2. Usaha Persuasif
Usaha persuasif merupakan usaha yang dilakukan dengan cara membujuk,
mengajak, atau merayu, untuk mempengaruhi tindakan atau penilaian
pengemis, bahwa program education social camp/ pendidikan perkampungan
sosial adalah program yang sangat baik, sangat berguna untuk mereka,
sehingga mereka (pengemis) tidak akan merasa bahwa mereka ikut, atas dasar
paksaan, akan tetapi ikhlas, siap menerima binahan, bimbingan, pelatihan,
pemberian materi, karena memang program ini bertujuan untuk kemandirian
dan peningkatan taraf hidup mereka.
3. Usaha Rehabilitatif
Usaha rehabilitatif merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengobati
penyakit pengemis. Penyakit yang dimaksud adalah, kemalasan, tidak adanya
semangat untuk maju, gairah untuk kembali bekerja. Sehingga melalui program
education social camp ini, para pengemis dapat mengutarakan penyebab
kemalasan dan dapat mengutarakan bakat/ keahlian apa saja yang dapat mereka
lakukan. Dari hal tersebut, nantinya pemerintah dapat memberikan bantuan,
baik berupa pendidikan dan pelatihan, pembinaan yang instensif yang memang
sesuai dengan bidang yang dikuasai oleh mereka, sehingga nantinya ketika
mereka sudah selesai dari program ini, mereka sudah siap untuk terjun di dunia
pekerjaan, baik membuka lapangan pekerjaan sendiri ataukah dapat bekerja di
instansi pemerintah/ perusahaan lainnya.
4. Usaha Preventif
Usaha preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kembali permasalahan tersebut. Permasalahan yang dimaksud adalah timbulnya
kembali kalangan pengemis. Jadi ketika mereka sudah diberi, pelatihan,
pendidikan, binahan, sudah diberdayakan dengan segala fasilitas yang
menunjang akan pemahaman skill/ keterampilan yang mereka punya dan sudah
siap untuk terjun ke lapangan dunia pekerjaan, tentu saja pembinahan belum
selesai, karena setelah itu, pemerintah dapat memberikan santunan berupa
bantuan dana kepada mereka (kalangan pengemis) guna membuka lapangan
pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka serta tetap adanya follow
up tenaga ahli dari perkampungan pendidikan pengemis, berupa pihak
pengawas yang selalu intens dalam mengawal kegiatan yang mereka lakukan,
sehingga nantinya ketika mereka mendapat kesulitan, dapat dibantu segera.
Jadi ketika program education social camp benar-benar telah diterapkan, maka
tidak menutup-kemungkinan kalangan pengemis, yang masih berkeliaran di
lorong-lorong perkotaan dapat diatasi dan tentu saja, harus ada partisipasi
masyarakat dalam mengawal program ini, seperti tidak memberikan uang kepada
pengemis yang masih berkeliaran, begitu juga harus ada partisipasi dari pihak
swasta dalam pemberian bantuan, baik itu bantuan dana ataukah bantuan sarana
dan prasarana selama program ini dilaksanakan dan jika ini semua dapat
diterapkan, maka tidak mungkin tidak, pengentasan pengemis diperkotaan atau
bahkan kemiskinan di negeri ini dapat diatasi.
Kesimpulan
Kemiskinan yang terjadi saat ini, ternyata berdampak pada mencuatnya beberapa
permasalahan sosial, salah satunya bertambahnya jumlah pekerja di sektor
informal, seperti pengemis. Pengemis merupakan orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain, umumnya mereka
beraktivitas di jalan raya, lalu lintas, dipertokoan, bahkan ada yang memintaminta dilingkungan perumahaan atau dilingkungan sekolahan/ kampus. Sebagai
contohnya yang terjadi di didaerah perkotaan Makassar, keberadaan kalangan
pengemis dapat terlihat di tempat-tempat umum seperti di persimpangan jalan tol
reformasi, Jl. A. Pangerang Petta Rani dan Jl. Sultan Awaluddin, persimpangan
jalan mesjid raya dan lain-lainnya. Sebagian besar pengemis di Kota Makassar
merupakan pendatang dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain
Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep, Gowa dan Takalar bahkan ada yang dari
luar Sulawesi yakni dari Jawa, Lombok dan Kalimantan, kebanyakan dari mereka
(pengemis) adalah anak-anak atau orang dewasa dari para pendatang yang
mencoba mencari penghidupan lebih baik di Kota Makassar. Data terakhir dari
Dinas Sosial Kota Makassar tahun 2016 terdapat sekitar 42.986 orang yang
sehari-harinya mengais rejeki menjadi seorang pengemis, adapun factor yang
menyebabkan mereka menjadi pengemis, yakni factor dari dalam, berupa masalah
ekonomi, kurangnya keahlian dalam bekerja, adanya pemikiran malas untuk
mencari pekerjaan, mempunyai kelemahan fisik atau cacat dan dari factor luar,
berupa melonjaknya urbanisasi dari desa ke daerah perkotaan, lingkungan
pergaulan dan kebijakan-kebijakn pemerintah yang semakin memberatkan mereka
dalam memenuhi taraf hidup mereka. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut,
Program Education Social Camp hadir dalam mengatasi persoalan tersebut dan
perlu diketahui bahwa program ini bergerak dibidang sosial, yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada kalangan pengemis, melalui Metode Refresif,
Persuasif, Rehabilitatif Preventif dan Pemberian Bantuan Dana.
Referensi
Abu Ahmadi, 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Rineka Cipta
Dimas, Dwi Irawan. 2013. Pengemis Undercover. Jakarta: Titik Media
Effendi. 1993. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Gelandangan dan Pengemis. Yogyakarta