Laporan Praktikum Konservasi Sumberdaya. doc

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Hariara Pangumpolan T.

125080600111080

Resti Ariani Y.

135080600111001

Novar KurniaWardana

135080600111003

Rahmad Saleh

135080600111006


Yuliant iWidiyastuti

135080600111007

Ayu Puji Larasati

135080600111009

Supriyadi

135080600111011

TomiAris

135080600111012

Zahriza Purnadayanti

135080600111013


Anas Nurhidayah

135080600111019

Muhammad ZuhalFikri

135080600111020

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM KONSERVASI SUMBERDAYA PERIKANAN DAN
KELAUTAN

Dengan Ini Menyatakan Bahwa Telah Disetujui Laporan Akhir Praktikum
KonservasiSumberdayaPerikanan Dan KelautanKelompok 2


Malang, November 2015
Menyetujui,
Koordinator Asisten

Asisten Pendamping

Anthon Andrimida

Dinda Puspa M

125080600111019

NIM.125080601111026

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan laporan pratikum Konservasi Sumberdaya Kelautan
Perikanan.
Penulisan laporan merupakan salah satu tugas pratikum yang diberikan dalam

mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Dalam penulisan laporan pratikum ini penulis merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan laporan ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, Akhirnya penulis
berharap semoga laporan pratikum ini dapat bermanfaat bagi kita.
Malang, 9 Oktober 2015

Penyusun

i

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................v
DAFTAR TABEL.............................................................................................................vi
Species Vulnerability........................................................................................................vii
1.

PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Waktu dan Tempat................................................................................................1
1.3 Maksud dan Tujuan.............................................................................................2

2.

METODOLOGI.....................................................................................................3

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................4
3.1 Analisa Prosedur...................................................................................................4
3.2 Analisa Hasil........................................................................................................4


4. PENUTUP..................................................................................................................7
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................7
4.2 Saran....................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................8

ii

DAFTAR GAMBAR

Bagan 1. Skema Kerja Praktikum........................................................................................3

iii

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Spesies Terancam Mengalami Kepunahan Karena Ancaman Dari Penangkapan
Berlebih..............................................................................................................................4

iv

LAPORAN PRAKTIKUM


KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
MATERI
Species Vulnerability
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK

:2

PRODI

:IlmuKelautan

ASISTEN

:DindaPuspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2015

1. PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Sebagai Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati laut (marine
biodiversity) yang tinggi, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah,
khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Indonesia memiliki ekosistem lengkap yang berperan sebagai habitat bagi ikan dan
organisme lainnya mencari makan (feeding ground), bertelur (nesting ground) dan
berpijah (Spawning ground).Lebih dari 2000 jenis ikan dan 500 jenis terumbu karang
menjadikan Negara Indonesia terkenal sebagai kawasan pusat segitiga terumbu karang
(The Coral Triangle Center ). Ekosistem terumbu karang selain memiliki fungsi bagi
biota laut, juga memiliki fungsi sebagai penyerap karbon, pemecah gelombang laut,
penghasil ikan yang sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil secara khusus dan bagi seluruh rakyat Indonesia secara umum (KKP, 2015)
Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya akan
mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Secara ekologis, sosial dan nilai
ekonomi terumbu karang mendasari betapa pentingnya konservasi terumbu karang secara
internasional. Keberhasilan kawasan konservasi laut dalam mengembalikan populasi ikan
juga merupakan dampak secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam upaya

mengurangi ancaman overfishing, yang selama ini disebabkan oleh rusaknya terumbu
karang. Meskipun demikian, secara umum tingkat efektivitas keberadaan kawasan
konservasi laut dalam meningkatkan penutupan terumbu karang juga harus masih dikaji
lebih lanjut pada tiap daerah.
Pola pemanfaatan potensi alam yang kurang bijaksana dan lemahnya daya
dukung kebijakan pemerintah serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian
ekosistem pesisir menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Permasalahan
dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi laut yang terjadi akan berdampak
secara signifikan dan mampu menyebabkan degradasi sumberdaya alam, yang harus
ditangani dengan baik secara lintas sektor melalui kebijakan pengelolaan yang mampu
memberikan dampak keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan. Peran
pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini sangat strategis dalam pengelolaan
kawasan konservasi laut daerah yang mampu menjadikan perairan laut sebagai sumber
penghidupan bagi masyarakat yang berkelanjutan.
1.2 WaktudanTempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi
Species Vulnerabilitydilaksanakan di Gedung D, lantai 3 pada tanggal 3 Oktober 2015,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

1


1.3

Maksud danTujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah
mahasiswa mengetahui sebab dan akibat dari overfishing, mengetahui spesies apa saja
yang terancam (speciesvulnerability), dan mampu memprioritaskan spesies secara
sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih berdasarkan
pengembangan atribut.
Tujuan dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ini adalah :
Mahasiswa mampu mengembangkan atribut dan menentukan urutan spesies secara
sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih karena penggunaan jenisjenis alat tangkap yang menimbulkan kerusakan (terumbu karang) dan juga mampu
menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari
operasi alat tangkap.
Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dasar dan teknik tumpang susun
(overlaytechnique) dalam proses rancangan zonasi Kawasan Konservasi Laut. Serta dapat
mengetahui pelibatan para pihak pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengelolaan
bersama suatu Kawasan Konservasi Laut..

2


2. METODOLOGI
2.1 SkemaKerjaPraktikum
Datang 15 menitsebelumpraktikumdimulai

Belajaruntuk Pre-Test

Praktikumdimulaidengan Pre-Test

Asistenmenyampaikanmateri

Diadakandiskusikelompok 2 kali, masing-masing 10 menit

Praktikanmengisi form yang berisispesiesdana tribute selama 20 menit

Perwakilan 3 praktikan mempresentasikan hasil pengisian

Praktikum di akhiri dengan Post-Test
Bagan 1. Skema Kerja Praktikum

3

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 AnalisaProsedur
Menentukan atribut/faktor pemicu status sumberdaya mengalami kepunahan.
Faktor yang dapat memicu status sumberdaya mengalami kepunahan ditentukan
berdasarkan fakta bahwa faktor-faktor tersebut memang dapat menyebabkan punahnya
suatu spesies atau ekosistem. Setelah faktor pemicu dituliskan dan di masukan dalam
bentuk tabel, tentukan pula spesies yang berpotensi mengalami kepunahan akibat
penangkapan berlebih. Faktor dan spesies tersebut di masukan pada kolom dan baris
untuk dilakukan penilaian. Fakto-faktor pemicu/atribut pada baris dan spesies-spesies
pada kolom seperti contoh di bawah ini :
Tabel 1. Spesies Terancam Mengalami Kepunahan Karena Ancaman Dari Penangkapan Berlebih

SPESIES/
ATRIBUT

IKAN
TUNA

IKAN HIU

PENYU
HIJAU

Reproduksi
lama

0

1

1

Daya jual
tinggi

0

1

1

Ditangkap
pada
semua
ukuran

0

0

1

0

2

3

........

........

TOTAL

........
TOTAL

Setelah itu, dilakukan penilaian atribut terhadap spesies dengan memberi
nilai angka 1 (satu) jika atribut tersebut dapat menyebabkan spesies terkait
punah/habis dan memberi angka 0 (nol) jika atribut tersebut tidak mengancam
punahnya spesies terkait. Setelah semua kolom terisi jumlah kan berdasarkan
masing-masing atribut dan spesies. Kemudian, interpretasikan hasil dan bandingkan
bersama data faktual.

4

3.2 AnalisaHasil
Dari hail praktukum yangdidapatkan, spesies yang memiliki tingkat kepunahan
paling tinggi adalah mulai dari ikan hiu, lumba-lumba dan ikan napoleon. Dan atribut
tertinggi yang mendukung akan cepatnya tingkat kepunahan suatu spesies adalah harga
yang mahal, sulit di budidaya dan ditangkap pada semua ukuran. Yang pertama adalah
ikan hiu, ikan hiu merupakan salah satu hewan yang mempunyai tingkat kepunahan yang
tertinggi saat ini karena ikan hiu mempunyai harga yang mahal. Harga mahal yag dimiliki
dari ikan hiu adalah bagian dari sirip ikan hiu tersebut. Dan karrna harga dari ikan hiu
sangat mahal, makan semua ukuran ikanhiu pun ditangkap oleh nelayan. Pada sebagian
masyarakat Indonesia, sirip ikan hiu dipercaya dapat meningkatkan vitalitas bagi para
pria dan didaerah bagian timur, sirip ikan hiu merupakan makan prestise bagi daerah
tersebut, sehingga banyak nelayan yang menangkap ikan hiu. Selain ikan hiu memiliki
harga yang mahal, ikan hiu pun sulit sekali untuk dibudidaya dikarenakan selain ukuran
tubuh yang besar, ikan hiu ini sangat sulit untuk dijinakkan dan perkembangan atau
reproduksi ikan hiu pun terjitung sangat lambat. Yang kedua adalah ikan lumba-lumba.
Menurut haisil praktikum kami, lumba-lumba memiliki tingkat kepunahan tertinggi kedua
stelah ika hiu. Karena dimulai dengan adanya kesenjangan social, ikan hiu pun terhitung
mempunyai harga yang sangat tinggi sehingga banyak orang yang memburunya. Lalu
selain memiliki harga yang mahal, lumba-lumba pun ditangkap pada semua ukuran. Dan
ikan lumba-lumba pun tergoling sulit spesies yang sulit dibudidayakan, dikarenakan
ukuran yang sangat besar dan bvelum ada teknologi yang dapat membudidayakan ikan
lumba-lumba tersebut. Dan juga lumba-lumba ini tergolong spesies yang memiliki tingkat
reproduksi yang lama. Dan urutan yang ketiga yang memiliki tingkat kepunahan ke tiga
menurut praktikum kami adalah ikan napoleon. Ikan napoleon sangat mahal dijual
dipasaran, sehingga banyak nelayan yang mencari ikan tersebut untuk diperjualbelikan.
Dan ikan napoleon ini juga sulit untuk dibudidaya, karena teknologi yang belum
memumpuni. Karena ikan napoleon banyak untuk sebagai ikan hias, ikan napoleon ini
ditangkap oleh nelayan pada semua ukuran.
Menurut KP3K (2013), ada beberapa biota laut yang hamper terancam punah
yaitu mulai dari ikan hiu. Upaya penangkapan ikan hiu sudah berlangsung sejak tahun
1980an. Spesies ikan ini merupakan salah satu hasil tangkapan sampingan (bycatch) dari
perikanan rawai tuna dan jaring insang tuna. Umumnya ukuran ikan yang tertangkap dan
didaratkan nelayan adalah ikan-ikan yang belum dewasa sehingga merupakan ancaman
terhadap populasi spesies ikan ini di masa mendatang karena peluang dalam proses
berkembangbiakannya menjadi lebih kecil. Di lain pihak, adanya kemungkinan praktek
finning, yaitu nelayan hanya diambil siripnya sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang ke
laut. Yang kedua adalah kerang-kerangan yang sampai saat ini jarang kita temui dilautan,
ancamannya adalah banyak di buru dari alam oleh masyarakat lokal untuk dikonsumsi
dagingnya karena rasa yang lezat dan gizi yang tinggi. Dan yang ketiga adalah lobster,
dimana anaman yang akan didapatkan adalah Merupakan salah satu marga dari Crustacea
laut yang mempunyai potensi ekonomi penting, di Indonesia mulai berkembang dan
dibeberapa daerah juga sangat berpotensi untuk di eksport. Sangat diburu terutama

5

restoran-restoran sea food, perlu dilindungi keberadaan di alam yang semakin dicari baik
untuk eksport maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan untuk pelestarian
spesiesnya.
Menurut
KSDA
(2011),
Kimajugatermasukspesies
yang
sangattinggitingkatkepunahannya.
JenisKimapadaumumnyadipungutdisepanjangrataanterumbuyaknikimapasirataufika-fika.
Tidakheran,
jikasaatinikimasangatdigandrungioleh
orang
karenabernilaiekonomipentingkarenadgingnyasangatenakdikonsumsi. Bahkanpenduduk
di
pesisirdanpulau-pulautelahmengkonsumsikimasejakdulu.
Ancamankepunahandarikimasendirijugaadalahkarenamemilikiharga yang tinggi. Di
Australia memilikihargasampai US$44/kg dan US$5.04/ekor. Nilaiekonomi yang
tinggimenebabkaneksploitasiterusberlangsung, sekalipnkimamerupakan fauna yang
dilindungisecarainternasionaldannasional.
Nilaiekonomisebagai
factor
pendukungutamaeksploitasikima
di
alam.
Pengambilankimaseacarabesarbesaranterjadipadatahun 1980-an yang menyebabkan overfishing hingasaatini.

6

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum pertama Konservasi Sumberdaya
Kelautan dan perikanan dengan materi Species Vulnerability adalah sebagai
berikut:
1. Latar belakang punahnya spesies tertentu disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu; Overfishing, Meluasnya wilayah penangkapan di wilayah laut,
Penambahan alat tangkap dan juga Regulasi yang kurang tegas.
2. Terjadinya overfishing ini disebabkan karena adanya; Open acces fishing, Illegal
fishing, Kurangnya kawasan perlindungan, poor fisheries Mangement, dan
adanya subsidi. Subsidi yang dimaksud adalah keringanan yang diberikan oleh
Mafia atau pihak-pihak lainya yang menyediakan semua keperluan yang
dibutuhkan nelayan dengan syarat nelayan harus memenuhi permintaan mereka.
3. Beberapa faktor penyebab punahnya spesies tertentu dibandingkan dengan
spesies lainya adalah Jumlah anakan/telur yang sedikit, Komersil dengan harga
mahal, Waktu reproduksi yang lama, terbatasnya penyebaran spesies, mudah
untuk ditangkap, memerlukan habitat yang spesifik, ditangkap disemua ukuran.
Pertumbuhan
yang
lambat,
sulit
dibudidayakan,
serta
adanya
Prestasi/Gengsi/Tradisi.
4. Contoh spesies yang mudah punah karena faktor-faktor yang telah disebutkan
meliputi; ikan Hiu, Lumba-lumba, penyu hijau, ikan napoleon, lobster, gurita,
kuda laut, ikan lemuru, ikan tuna dan lainya.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah
bukan praktikum. Jadwal praktikum hendaknya dapat dipadatkan sehingga tidak terlalu
banyak membutuhkan waktu yang cukup lama.

7

DAFTAR PUSTAKA

http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/informasi-konservasi. Diakses pada 5 Oktober 2015.
KSDA SULSEL. http://www.ksdasulsel.org. Diakses pada 5 Oktober 2015.
Selig, Elizabeth R and Bruno, John F. 2010. A Global Analysis of the Effectiveness of
Marine Protected Areas in Preventing Coral Loss, Jurnal Plos One, February 2010
Volume 5 Issue 2. www.plosone.org. Diakses 5 Oktober 2015.

8

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
MATERI
Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK

:2

PRODI

: Ilmu Kelautan

ASISTEN

: Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di Sektor Perikanan dan
Kelautan bagi Masyarakatnya. Tidak hanya memberikan pendapatan di bidang ekonomi bagi Negara
saja, akan teytapi sebagian besar hidup Nelayan bergantung pada sektor perikanan dan kelautan.
Pendapatan yng didapatkan nelayan hanya saja sekarang tidak lagi banyak, hampir setiap tahun
jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan
penurunan jumlah tangkapan ini adalah penggunaan alat tangkap yang merusak, yang memicu
rusaknya ekosistem, kematian ikan yang tinggi, ataupun punahnya spesies tertentu. Hal ini yang
dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab, namun dampaknya dirasakan semua nelayan
bahkan semua orang, kondisi ini mengharuskan kita belajar tentang penangkapan alat tangkap yang
ramah lingkungan.
Menurut Ditjen KP3K (2006) secara umum Penangkapan ikan dengan cara yang merusak
dipicu oleh tingginya permintaan konsumen untuk pasar perdagangan ikan, terutama ikan yang
ditangkap hidup-hidup. Selain itu juga kondisi masyarakat nelayan yang miskin dan kurang sejahtera,
mendorong mereka untuk mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang
singkat dan mudah. Serta Kurangnya pemahaman mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang
mendukungnya dan kurangnya penegakan hukum bagi penangkapan. Alat tangkp yang tidak ramah
lingkungan atau yang merusak Berdasarkan Dirjen KP3K meliputi; Cara penangkapan ikan yang
merusak, Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, Menggunakan Racun Sianida,
Bubu, Pukat Harimau , dan Pukat Dasar.
Berkaitan antara alat tangkap dan hasil tangkapannya heduanya sangat berpengaruh. Seperti hasil
tangkapan ikan yang menggunakan Jaring insang, jaring dasar, rawai, pancing dan bubu, alat tangkap
yang dapat menangkap hasil tangkapan lebih banyak adalah Bubu dan Jaring dasar.

Gambar 1 Grafik jumlah penggunaan alat tangkap

Hal ini apabila mengacu pada Kriteria utama penilaian terhadap keramahan lingkungan,
berdasarkan ketentuan FAO yakni: Mempunyai selektifitas yang tinggi, Tidak merusak habitat ,
Menghasilkan ikan berkualitas tinggi, Tidak membahayakan nelayan , Produksi tidak membahayakan
1

konsumen , By-catch rendah (hasil tangkap sampingan rendah) , Dampak ke biodiversity, Tidak
membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, dan dapat diterima secara social, maka alat-alat yang dapat
menangkap lebih banyak tangkapan dari kelima alat tangkap tersebut adalah alat tangkap yang
merusak (Sima, 2014).
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa
mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh operasi alat tangkap yang dapat merusak
lingkungan. Dimana dampak dari operasi alat tangkap tersebut dapat dibedakan didasarkan scope
( luasnya dampak kerusakan ), severity ( keparahan dari dampak yang diberikan) dan irreversibility
( ketidakberbalikan dari suatu dampak ).
Tujuan praktikum dengan materi “Dampak Alat Tangkap Bagi Lingkungan Laut” adalah
mahasiswa dapat mengenal jenis jenis alat tangkap yang mnimbulkan kerusakan ekosistem terumbu
karang dan mampu menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan
akibat dari operasi alat tangkap.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi “Dampak Alat
Tangkap Bagi Lingkungan Laut” dilaksanakan di Gedung D, lantai 2 pada tanggal 10 Oktober 2015,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

2

2. METODOLOGI
2.1 Skema Kerja Praktikum
Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Praktikan belajar untuk pre-test

Praktikum dimulai dengan pre-test

Asisten memberikan materi praktikum ke-2

Diadakan diskusi kelompok selama 5 menit

Praktikan mempresentasikan hasil diskusi

Praktikan mengisi form “pengukuran dampak kerusakan lingkungan
oleh operasi alat tangkap ikan”

Perwakilan praktikan menjelaskan hasil pengisian form

Praktikan belajar untuk post-test

Praktikum diakhiri dengan post-test

3

3. HASIL PEMBAHASAN
3.1 Analisa Prosedur
Dampak dari alat tangkap dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan cara mengukur
dampak kerusakan yang terjadi akibat dari penggunaan alat tangkap ikan sebagai upaya konservasi
yang akan dilaksanakan. Pengukuran dapat diawali dengan menentukan alat tangkap apa saja yang
biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan misalnya bubu, gill net dasar, gill net permukaan,
rawai, dogol, dan sebagainya. Lalu, cantumkan pula mekanisme kerusakan alatnya yaitu : kerusakan
kolateral, by-catch/hasil samping, rakitan spesies, dan alat non spesies. Macam-macam alat tangkap
beserta mekanisme tersebut di masukan dalam format tabel 3.1. Setelah itu, lakukan analisa dengan
pemberian nilai pada setiap alat tangkap yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung terhadap ekosistem terumbu seperti contoh nilai berwarna merah pada tabel 3.1.
Tabel 2 Skor Kerusakan Alat

NO.

ALAT
TANGKAP

1.

MEKANISME
BESARAN DAMPAK
KERUSAKAN ALAT SCOPE SEVERITY IRREVERSIBLE
Kerusakan kolateral
2
2
2
By-catch/hasil
2
1
1
samping
Rakitan spesies
1
2
1
Alat non-selektif
1
2
1
Prakiraan DA alat bubu dan perangkap terhadap terumbu karang

IMPACT
RATING
2,00
1,33
1,33
1,33
1,58

Aturannya pemberiannya adalah :
1. Beri nilai 4 (empat), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
sangat parah terhadap mekanisme kerusakan.
2. Beri nilai 3 (tiga), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan parah
terhadap mekanisme kerusakan.
3. Beri nilai 2 (dua), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sedang
terhadap mekanisme kerusakan.
4. Beri nilai 1 (satu), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan rendah
terhadap mekanisme kerusakan.
Setelah itu, dilakukan penjumlahan besaran dampak kemudian dirata-ratakan pada kolom
“IMPACT RATING”. Kolom Prakiraan DA merupakan rata-rata pada impact rating 4 mekanisme
kerusakan pada satu alat tangkap. Setelah semua kolom terisi nilai, lalu interpretasikan hasil dan
bandingkan bersama data faktual.
3.2 Analisa Hasil
3.2.1 Alat Tangkap
Dalam praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, dapat diketahui bahwa alat
tangkap merupakan salah satu sarana pokok dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
ikan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam penggunaannya alat tangkap memiliki dampak secara
4

langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem perairan. Indikator mekanisme kerusakan alat
yaitu kerusakan kolateral, by catch/hasil samping, rakitan spesies dan alat non selektif . Sedangkan,
besaraan dari dampak penggunaan alat tangkap yaitu scope, severity dan irreversibility. Berdasarkan
hasil perhitungan dampak kumulatif, alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan tertinggi
yaitu dogol, bom dan kompresor sianida serta pukat pantai.
A. Bubu
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bubu ini dapat dikategorikan
alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat
dengan cara peletakan bubu atau perangkap yang diletakkan di dasar perairan atau pada karangkarang. Secara tidak langsung bubu yang diletakkan pada karang tersebut akan merusak dan
mematikan karang. Bubu juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target
tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya.

Gambar 2 Bubu

Bubu merupakan sebuah alat tangkap yang ditempatkan di atas atau sela-sela karang. Untuk
mengelabuhi ikan, bubu ditindaih atau ditutup dengan karang. Melalui cara ini, si pemasang bubu
secara tidak langsung telah merusak karang, baik dengan mematahkannya, mencongkel maupun
menginjak-injak karang. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang menyebabkan kerusakan pada
ekosistem terumbu karang (Kordi, 2010).
B. Rawai Dasar
Alat tangkap rawai dasar sebenarnya sama dengan rawai permukaan. Kesamaan tersebut baik
dari bentuk dan cara pengoperasian. Yang membedakan disini antara keduanya yakni lokasi
pemasangan dari kedua alat tersebut. Rawai dasar dipasang pada dasar perairan yang bertujuan untuk
menangkap ikan demersal. Sama halnya dengan rawai permukaan, rawai dasar merupakan alat
tangkap yang cukup ramah lingkungan karena juga bersifat pasif dan hanya menunggu ikan
menyambar umpan.

5

Gambar 3 Rawai Dasar

Rawai juga bisa dioperasikan pada dasar perairan, disebut Rawai Dasar atau Rawai
Cucut. Tujuan utama penangkapan ialah ikan cucut, pari atau kakap merah yang berada di laut dalam.
Konstruksi alat sama dengan Rawai Permukaan. Pada operasi, ujung tali utama ditambahkan
pemberat sehingga semua pancing bisa mencapai dasar perairan. Rawai dasar banyak diperasikan oleh
nelayan skala tradisional. Selain pancing, nelayan juga membawa alat lain seperti bubu. Ketika kedua
alat ini dioperasikan secara bersama, jenis alat sering disebut Long-Line Pot (Rawai bersama Bubu)
(Wiadnya, 2012).
C. Rawai Permukaan
Alat tangkap Rawai permukaan merupakan alat tangkap serupa pancingan yang bersifat pasif.
Rawai permukaan dipasang pada perairan dimana dipasang pada dekat permukaan atau pada kolom
air. Saat pemasangan alat ini biasanya ditinggal atau dibiarka selama beberapa jam untuk nantinya di
angkat untuk melihat ikan yang berhasil ditangkap. Rawai permukaan yang memiliki sifat pasif inilah
yang membuat alat tangkap ini tidak memiliki efek buruk bagi ekosistem dimana alat tangkap ketika
digunakan. Ikan yang akan ditangkappun bisa diatur ikan apa yang ingin ditangkap, hal ini dapat
dilakukan dengan cara memilih ukuran kail yang akan digunakan sesuai dengan target ikan yang ingin
didapatkan. Alat tangkap rawai permukaan biasanya digunakan untuk mendapatkan hasil ikan yang
hidupnya di kolom perairan dan yang biasa untuk mencari ikan tuna.

Gambar 4. Rawai Permukaan

Rawai ialah salah satu jenis alat pancing yang umum dikenal oleh nelayan di Indonesia.
Rawai terdiri dari tali utama, pada jarak tertentu dari tali utama dipasang tali cabang, setiap tali
cabang dipasang mata pancing dan mata pancing selalu dipasangi dengan umpan asli (ikan). Setiap
ujung tali utama selalu dilengkapi dengan pelampung utama yang terapung di atas permukaan air.
Rawai Tuna ialah salah satu jenis Rawai Hanyut, dioperasikan dekat permukaan dan ditujukan untuk
menangkap ikan Tuna (Wiadnya,2012).
6

D. Pukat Pantai
Pukat pantai atau beach seine adalah salah satu jenis alat tangkap yang masih tergolong
kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Dalam arti sempit pukat pantai yang dimaksudkan tidak lain
adalah suatu alat tangkap yang bentuknya seperti payang, yaitu berkantong dan bersayap atau kaki
yang dalam operasi penangkapanya yaitu setelah jaring dilingkarkan pada sasaran kemudian dengan
tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir penangkapan hasilnya
didaratkan ke pantai. Pukat pantai juga sering disebut dengan krakat. Pukat pantai ini sendiri jika
dilihat dampak penggunaannya maka akan tergolong memiliki dampak yang rendah,karena alat
tangkap ini memiliki tingkat scope yang rendah dan tingkat collateral damage juga rendah akan tetapi
alat tangkap ini menghasilkan hasil sampingan atau by-catch yang berupa anakan ikan hal ini tentu
lama kelamaan akan merubah tatanan rakitan spesies karena menghasilkan hasil sampingan maka alat
tangkap jenis pukat pantai merupakan alat tangkap non selektif.

Gambar 5. Pukat Pantai

Metode pengoperasian alat tangkap pukat pantai jenis krakat adalah dengan melingkari area
penangkapan dimana bagian saya alat tangkap ini di tinggalkan di pantai dengan tali selembar yang di
pegang oleh salah seorang nelayan dan badan serta sayap jaring lainnya di bawa melingkari area
penangkapan sampai membentuk 180o , atau sampai dipantai berikutnya. Setelah semua tali sayap
berada di pantai kemudian dilakukan penarikan bersama-sama dengan kecepatan yang sama agar alat
tangkap tersebut tetap dalam kondisi normal sampai seluruh badan jaring mendarat di pantai. Alat
tangkap pukat pantai jenis krakat di operasikan wilayah atau daerah perairan pantai yang memiliki
karkater berlumpur dan berpasir, dan dihindari dioperasikan di perairan yang berbatu-batu atau
terumbu karang. Dengan aspek ini, maka dapat dikatakan bahwa pengoperasian alat tangkap ini tidak
merusak lingkungan perairan. Dari hasil analisis secara dekriptif menunjukkan bahwa alat tangkap
pukat pantai jenis krakat ramah terhadap lingkungan dengan target tangkapannya adalah jenis teri dan
udang kecil (bahasa lokal lamale). Namun perlu di perhatikan bahwa setiap kali dioperasikan selalu
tertangkap jenis-jenis ikan yang bukan target atau tangkapan sampingan (bycatch) (Mardjudo,2011).
E. Pukat Cincin
Prinsip menangkap ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan
dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan-ikan terkumpul di
bagian kantong. Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan. Ikan-ikan tidak
dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding
penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan. Dampak dari penggunaan pukat cincin ini adalah
berkurangnya sumberdaya ikan secara signifikan jika digunakan secara terus menerus dan berlebihan.
Alat tangkap ini merupakan alat tangkap non selektif karena semua jenis dan ukuran ikan dapat
tertangkap sehingga menghasilkan hasil sampingan atau by-catch. Alat tangkap ini dioperasikan
7

dibagian permukaan perairan sehingga tidak membahayakan ekosistem didasar perairan, akan tetapi
penggunaan alat tangkap ini dikawatirkan akan merubah rakitan spesies di ekosistem. Pukat cincin
masuk dalam kategori dampak yang dihasilkan sedang.

Gambar 6. Pukat Cincin

Purse Seine disebut juga “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin
untuk mana “tali cincin” atau “tali kerut” di lalukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut / tali
kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut
jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.Pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang paling dominan dan memberikan sumbangsih paling besar bagi
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat adalah pukat cincin, sekalipun demikian pukat cincin
dapat menjadi ancaman bagi sumberdaya. Pukat cincin memberikan konstribusi produksi yang cukup
besar terhadap produksi perikanan pelagis kecil. Daya tangkap kapal pukat cincin dipengaruhi secara
signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan.
Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya juga cenderung meningkat (Hufiadi dan
Nurdin,2013).
F. Pancing
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap pancing ini dapat
dikategorikan alat tangkap yang memiliki tidak begitu memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan cara penangkapan ikan yang mata pancingya hanya mencakup kolom
perairan saja, sehingga ekosistem dasar perairan tidak akan terganggu oleh adanya alat tangkap ini.
Selain itu, alat tangkap ini tergolong dalam alat tangkap yang sangat selektif dan kemungkinan untuk
terdapatnya by catch sangat kecil.

Gambar 7. Pancing

Pancing termasuk ke dalam jenis alat tangkap yang tergolong selektif. Pada umumnya,
pancing dapat memilih jenis dan ukuran ikan yang akan menjadi target penangkapan. Operasi pancing
8

secara langsung tidak menjadi sebab kerusakan kolateral (collateral damage). Pancing juga tidak
menimbulkan dampah hasil samping/by-catch. Kelebihan yang dimiliki oleh pancing ini secara
langsung juga menjadi kelemahan dari pancing, sebab pancing bukan termasuk alat tangkap yang
efektif karena pancing hanya dapat menangkap satu ikan saja setiap satu kali angkat (Wiadnya, 2012).
G. Gill Net Non Dasar
Gill net yang satu ini hampir sama dengan gill net dasar, hanya saja pengoperasiannya berada
di kolom perairan dan lebih dekat dengan permukaan. Dari mekanisme kerusakan alat dengan besaran
dampaknya, alat tangkap ini berada pada kategori rendah. Rendah disini berarti alat tangkap ini masih
aman untuk digunakan.

Gambar 8. Gill Net Non Dasar

Seperti dijelaskan dalam Huzaeni (2012) gill net atau jaring insang bersifat selektif terhadap
ikan-ikan berukuran besar (tidak menangkap ikan yang berukuran terlalu kecil atau terlalu besar). Gill
net memiliki ukuran mata jaring yang sama atau seragam. Ada beberapa cara dimana ikan tertangkap
oleh gill net. Misalnya ikan terjerat tepat di belakang mata, terjerat di belakang tutup insang, terjerat
pada bagian di dekat sirip punggung serta terbelit atau terpuntal.
Menurut Zulbainarni (2014), prinsip utama dari alat tangkap ini adalah menjerat hasil
tangkapan secara terpuntal. Sebab pada kenyataannya bahwa ikanikan yang tertangkap dengan
dinding jaring satu lapis (gillnet), dua lapis maupun tiga lapis tidak saja terjerat akan tetapi juga
mereka tertangkap karena terpuntal-puntal atau terbelit (entangled) terutama untuk jenis ikan yang
berukuran besar, jenis kepiting dan udang.
H. Gill Net Dasar
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap gill net dasar ini dapat
dikategorikan alat tangkap yang kemungkinan dampak buruk terhadap lingkungannya kecil. Karena
gill net dasar termasuk jenis alat tangkap selektif. Sebab, gill net dasar telah memiliki mesh size yang
sudah ditentukan untuk target tangkapannya.

Gambar 9. Gill Net Dasar

9

Dalam Huzaeni (2012) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa suatu mesh size
mempunyai sifat untuk menjerat ikan hanya pada ikan-ikan yang besarnya tertentu batas-batasnya.
Dengan perkataan lain, gill net akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari catch yang diperoleh.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah
mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing
ground tersebut. Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 607/KPB/UM/9/1976 butir 3, menyatakan
bahwa mata jaring di bawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan.
I. Dogol
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap dogol ini dapat dikategorikan
alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Karena berdasarkan
dampak akumulatif yang telah diakibatkan oleh alat tangkap ini, dogol termasuk kategori sangat
tinggi artinya dogol ini jelas membahayakan lingkungan. Karena dilihat dari indikator mekanisme
kerusakan alat dan indikator dampak kerusakannya alat ini memiliki kapasitas yang besar namun tidak
selektif dalam memilih target tangkapan. Sehingga akan banyak terdapat by-catch dari hasil
tangkapannya.

Gambar 10. Dogol

Menurut Deviana et al. (2010) menyebutkan bahwa dogol sama dengan bottom trawl
merupakan alat tangkap yang berupa jaring ikan berbentuk kerucut dengan jangkauan yang luas dan
lebar. Bottom trawl dipasang di sepanjang dasar laut ( bottom ) sampai kedalaman tertentu dan
dioperasikan dengan cara ditarik oleh kapal. Bottom trawl digunakan untuk menangkap ikan demersal
yaitu ikan – ikan yang mencari makan di dasar perairan maupun ditengah perairan. Ikan yang
ditangkap dengan cara bottom trawl bisa beraneka macam karena penggunaannya di dasar perairan
yang merupakan jalur ikan mencari makan. Bottom trawl menangkap hampir semua jenis ikan di
daerah dasar perairan seperti ikan cod, cumi, udang dan berbagai ikan yang hidup di karang – karang.
Ikan besar dan kecil serta berbagai macam molusca biasanya ikut terbawa oleh jaring pukat ini. Tidak
jarang juga anak-anak ikan ikut tertangkap oleh bottom trawl ini.
J. Bom dan Kompresor Sianida
Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bom dan kompresor sianida
ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dengan cara peledakan bom yang merusak ekosistem terumbu karang pada dasar
perairan dan mematikan seluruh biota yang berada pada sekitar area pengeboman. Akibat dari
pengeboman ini, ekosistem terumbu karang akan mengalami kerusakan yang sangat parah dan sulit
untuk dipulihkan kembali dan jikalaupun dapat dipulihkan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Bom dan kompresor sianida juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target
10

tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya karena bom mematikan
seluruh biota yang berada disekitar area pengeboman.

Gambar 11. Bomdan Kompresor Sianida

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan merupakan suatu cara penangkapan yang sangat
merusak dan termasuk illegal di seluruh Indonesia. Bom ini dikemas menggunakan bubuk dalam
wadah tertentu kemudian dipasang sebuah sumbu untuk menyalakannya dan kemudian dilemparkan
ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan yang dapat
membunuh hamper semua biota laut yang ada di sekitarnya. Selain merusak terumbu karang yang
berada di sekitar lokasi ledakan, bom juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan
merupakan sasaran penangkapan. Nelayan disini hanya mengumpulkan ikan konsumsi saja, tetapi
banyak ikan dan biota laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang
mungkin tidak dapat pulih kembali (Onthoni, 2010).
Hasil dari praktikum konservasi sumberdaya perikanan dan kelautan, bahw alat tangkap yang
memiliki tingkat tertinggi yang dapat merusak ekosistem terumbu karang adalah yang pertama bom
dan potassium, karena bom dan potasium dapat merusak seluruh ekosistem terumbu karang dan susah
untuk dipulihkan. Tidak hanya terihat kerusakan dari ekosistem saja, penggunaan bom dan potassium
juga dapat membunuh semua ikan-ikan yang ada di lautan mulai darik yang masih anakan hingga
yang sudah dewasa. Dan pegunaan bom dan potassium juga cakupan wilayah yang rusak juga sangat
luas. Yang ke dua adalah dogol, karena dari cara pengoperasian dogol sudah tidak baik. Dimana dogol
dioperasikan dengan menyentuh substrat bawah laut dan di sana terdapat terumbu karan, rumput laut
serta hewan-hewan laut yang berada disana. Kerika dogol dioperasikan, dogol dapat merusak
ekosistem terumbu karang yang sangat parah dan keparahan tersebut sangat tinggi. Yang ketiga adalah
pukat cinin, dimana pengoperasian pukat cincin adalah dengan membuat lingkaran besar dengan
menggunakan jarring dimana djika menggunakan pukat cincin ini aka nada banyak ikan-ikan yang
tertangkap dan tidak sesuai dengan sasaran yang di tuju. Dimana ikan-ikan yang masih anakan pun
tertangkap serta ikan-ikan yang tidak seharusnya ditangkap. Pukat cinin juga dapat merusak ekosistem
terumbu karang karena pemgoperasian yang menyntuh daerah terumbu karang.
Menurut Sumardi dkk (2014), Nelayan gill net 12,3% dan nelayan Trammel Net 45,5%
menyatakan bahwa pada sat pengoperasian alat tangkap pure seins dapat menyebabkan kerusakan
pada sebagian habitat pada sebagian habitat pada wilayah yang luas, nelayan 3,8% nelayan pure seins,
nelyan gill net 1,9% dan nelayan trammel net 15,2% yang menyatakan bahwa pada saat alat tangkap
yang dioperasikan dapat menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit. Disisi lain, tidak
terdapat seorang nelayan pun yang menyatakan bahwa alat tangkap pure seins dapat menyebabkan
kerusakan habitat pada wilayah lain (bukan tempat operasi penangkapan sedangkan untuk gill net
1,9% dan Trammel Net 3,0%
11

Mnurut Nasir (2008), Nelayan Purse Seine (53,8%), Nelayan Gill Net (3,5%)., dan nelayan
Trammel Net (21,2%) menyatakan bahwa alat tangkap dapat menangkap lebih dari tiga spesies
dengan ukuran yang berbeda jauh dalam sekali hauling. Alat tangkap Purse Seine (21,2%), Gill Net
(82,5%) dan Trammel Net (40,9%) menyatakan bahwa alat tangkap menangkap kurang dari tiga
spesies dengan ukuran yang kurang lebih sama dalam sekali hauling. Tidak terdapat seorang nelayan
pun yang menyatakan alat tangkap Purse Seine menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang
kurang lebih sama dalam sekali hauling, Gill Net (1,8%) dan Trammel Net (21,2%). Sebanyak 25,0%
nelayan Purse Seine ,nelayan gill net 12,3%, dan 40,9% nelayan Trammel Net 40,9% menyatakan alat
tangkap ini dapat menangkap paling banyak tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh dalam
sekali hauling. Nelayan Purse Seine 48,1%, Gill Net 50,9% dan Trammel Net 22,7% menyatakan
bahwa alat tangkap aman bagi nelayan pada saat proses pengoperasian, 46,2%, Nelayan Purse Seine,
Gill Net 49,1%) dan Trammel Net 50,0% menyatakan bahwa alat tangkap dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan yang sifatnya sementara pada nelayan, dan 5,8% nelayan Purse Seine,dan
Trammel Net 24,2% menyatakan bahwa Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat
menetap pada nelayan, dari ketiga alat tangkap tersebut tidak ada seorang nelayan pun yang
menyatakan bahwa alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan.

12

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kedua Konservasi Sumberdaya Kelautan dan
perikanan dengan materi Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community adalah sebagai
berikut:
1. Parameter yang digunakan untuk mengindikasikan alat tangkap merusak yaitu, kerusakan
kolateral, by catch (hasil sampingan), rakitan spesies, dan alat non selektif.
2. Tiga alat tangkap yang paling merusak lingkungan, yaitu dogol, bom atau potassium, dan
pukat pantai.
3. Alat Tangkap paling merusak Pertama, Dogol merupakan alat tangkap berupa jaring yang
ditarik oleh kapal dan beroperasi di dasar perairan. Alat tangkap ini dapat merusak apa saja
yang dilewatinya. Kedua, Bom atau potassium, penggunaan bom atau potassium dalam
penangkapan ikan sudah dilarang, namun masih saja ada oknum nelayan yang memakai bom
atau potassium dalam menangkap ikan. Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan bom
yaitu dapat merusak ekosistem terumbu karang dan membunuh semua ikan yang ada disana,
sedangkan penggunaan potassium akan mengakibatkan ikan mati, baik itu ikan kecil maupun
ikan non target. Ketiga, pukat pantai merupakan alat tangkap jaring panjang yang
dioperasikan dari pantai membentang luas ke laut. Alat tangkap ini dapat merusak terumbu
karang yang dilewatinya dan menangkap semua ikan atau organisme yang bukan targetnya.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah bukan praktikum.
Kami berharap pada praktikum generasi praktikan selanjutnya dapat melihat langsung macam –
macam alat tangkap yang dapat merusak terhadap lingkungan dan tidak baik untuk digunakan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Deviana, M. Winda dkk. 2010. Pengenalan Alat Tangkap Bottom Trawl. Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Google Image. 2015. Google Image. http://google.com. Diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 21.00
WIB
Hufiadi dan Nurdin Erfind. 2013. Fishing Efficiency Of Purse Seine In Several Fishing Grounds At
Watampone. Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta
Huzaeni, Arfiani. 2012. Metode Penangkapan Ikan “Gillnet”.
Kordi, M. Ghufran H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta
Dirjen KP3K. 2006. Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan vol-1. Jakarta: Bina
Marina Nusantara
Mardjudo Ahsan. 2011. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan (By-Catch) Dalam Perikanan Pukat
Pantai Jenis Krakat Di Teluk Kota Palu Sulawesi Tengah. Palu: Universitas Alkhairaat
Nasir, Muhammad. 2008. Keramahan Gillnet Terhadap lingkungn dan Bahaya terhdap Alat Tangkp.
IPB : BOGOR
Onthoni, Juril Charly. 2010. Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao
Utara Kabupaten Halmahera Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Sima, Aznia marlina,dkk.(2014). Identifikasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Di Desa Bagan
Asahan Kecamatan Tanjung Balai. Medan: USU.
Sumardi, zainal. 214. Alat Penangkapan Yang Ramah Lingkungaan Berbasis Code of Conduct For
fisheries di Kota Banda Aceh. Vol 1
Wiadnya, Dewa Gede Raka. 2012. Karakteristik Perikanan Laut Indonesia: Alat Tangkap. Malang:
Universitas Brawijaya
Zulbainarni, Nimmi. 2014. Gillnet (Jaring Insang). Bogor: Institut Pertanian Bogor

14

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
MATERI
MPA Zoning and Design

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : 2
PRODI:Ilmu Kelautan
ASISTEN

:Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang juga memiliki sumberdaya Laut

yang melimpah, akan tetapi melimpahnya sumberdaya Laut di Indonesia ini tidak
berbanding lurus dengan Kesejahteraan hidup penduduknya, Bahkan penduduk
Indonesia, terutama para nelayan, sangat bergantung pada kekayaan perairan dan hanya
mengandalkan pendapatan ekonomi dari hasil melaut. Sampai saat ini dapat dilihat
kesejahteraan hidup mereka memang masih tergolong rendah. Ketergantungan
masyarakat pada kekayaan perairan ini dapat berdampak buruk bagi sumber daya alam
yang ada. Dikhawatirkan pengeksploitasian yang tidak dibarengi dengan perawatan atau
konservasi akan merusak dan membuat sumber daya alam yang ada akan semakin
menipis bahkan habis. Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan adanya penetapan
kawasan konservasi laut. Yang diharapkan dapat mengimbangi pengeksploitasian besarbesaran yang telah dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir dalam hal ini adalah
nelayan, yang hidupnya memang bergantung pada kekayaan sumber daya alam perairan
dan kelautan. Penetapan Daerah Perlindungan Laut / Marine Protected Area (MPA) ini
tujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan
kualitas sumber daya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses
ekologi.
Marine Protected Area (MPA) atau kawasan konservasi laut didisain langsung pada
pengendalian sumber daya alam merupakan instrumen pengelolaan sumber daya pesisir
dan laut. Instrumen ini dilakukan dengan membangun suatu kawasan tertentu di kawasan
pesisir dan laut Penetapan kawasan konservasi laut ini masih menjadi bahan perdebatan
pro dan kontra, pandangan pesimistik dan optimistic Kawasan ini memberikan manfaat
bagi kelangsungan hidup baik manusia maupun ekosistem lainnya. Manfaat tersebut di
atas sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian
lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara
moneter. disimpulkan bahwa kawasan konservasi laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi
yang tidak hanya bersifat tangible (terukur) namun juga manfaat ekonomi yang tidak
terukur (intangible) (KLH, 2007).

Menurut Sundjaya (2008) Salah satu alasan dibuatnya Kawasan Perlindungan
Laut / Marine Protected Area (MPA) ini karena makin seringnya kegiatan mencari ikan
dan hasil laut lainnya yang menggunakan cara yang merusak Lingkungan, seperti
menggunakan bahan peledak (babom) dan racun sianida (babius). Selain keduanya,
beberapa nelayan dyang tidak bertanggung jawab juga menggunakan bubuk potas untuk
menangkap ikan dan masih banyak lagi alasan lainnya, Daerah Perlindungan Laut ini
merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya laut yang dapat dilakukan oleh masyarakat
yang ada di sekitaranya karena biasanya wilayah yang dijadikan DPL ini tidak terlalu luas
dan letaknya berdekatan dengan pemukiman penduduk.
1.2.

Waktu dan Tempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi “MPA

Zoning and Design” dilaksanakan di Gedung D.3.2, lantai 3 pada tanggal 18 Oktober
2015, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
1.3.

Maksud danTujuan
Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah

mahasiswa mampu mengenal dan menentukan wilayah mana saja yang menjadi prioritas
konservasi. Selain itu juga mahasiswa mampu memberikan alasan alasan yang jelas
mengapa suatu lokasi lbh diprioritaskan untuk konservasi jika dibandingkan yang
lainnya.
Tujuan praktikum dengan materi “ MPA Zoning and Design ” adalah mahasiswa
mampu Memahami prinsip dasar dalam proses rancangan zonasi kawasan konservasi
perairan (KKP). Selain itu dengan praktikum ini diharapkan mahasiswa mendalami
teknik tumpang susun (overlay technique) dalam pemilihan wilayah prioritas untuk
konservasi (wilayah larang-ambil atau no-take zone).

2. METODOLOGI
2.1 Skema Kerja Praktikum
Datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Belajar untuk Pre-Test

Praktikum dimulai dengan Pre-Test

Asisten menyampaikan materi

Diadakan diskusi kelas untuk menentukan nilai feature

Masing-masing kelompok mengisi form MPA planning zone selama 30 menit

Diambil kesimpulan berdasarkan presentase masing-masing kelompok

Praktikum di akhiri dengan Post-Test

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1

Analisa Prosedur

Untuk membuat perencanaan MPA hal pertama yang harus ditentukan adalah
lokasi daerah yang akan dijasikan taerget. Dari lokasi tersebut, dibuat peta tematik yang
berbeda-beda tetapi masih dalam daerah yang sama, skala yang sama, dan proyeksi yang
sama (peta dasar, peta dengan kedalaman laut sampai 200 m dari pantai, peta planning
unit (grid)). peta tematik tersebut masing-masing dengan tema sebaran terumbu karang,
sebaran bakau, sebaran padang lamun, lokasi penangkapan ikan, dan lokasi penyelaman
wisata. Setelah itu, tentukan dan pahami m