SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM
PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

SKIUI|S1
Diajukan Sebagai Pcrsyaratan Untuk Memperoleh
Gclar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitaa Muhmnmadiyah Palembang

OLEH:
ABU BAKAA SIDIK
5B2BUM5

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2015

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
Judul Skripsi


SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN ADMINISTRATIF
DALAM PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
NaflM
NlK

: Abu Bakar Sidik
:50 2011 005
: Vmu Hukum
pTftgrara KckbnsBsaii : Hokum Pidana
Pembimbing^
LuUMaknun, SlLJVfH
Palembang, April 2015

PERSETUJUAN OLEH TIM PENGUJI:
I

Ketua

'I


: Dr. Hj. Sri Sulastri SH^ M.Hum
I

I'

AnggoU : 1. Hj. Siti Mardiyati, SH^VIH
2. Burhanuddin, SH.
DISAHKANOLEH
D£KAN FAKULTAS HUKUM
UNIVEBSfiSsSafeaAMMADIYAH PALEMBANG

, SH, M.Hum
BM/NIDN: 791348/0006046009

'SesungguRnya UtdR Rih SeSempa peraturan (^QaR) seSeRm fymu,
mafy ReijalanlaR Rgmu tu muRfi Sumi dan perRatifynlaR, Bagamana
aRjSat orang-orangyang mendustaRgn agama'
!
(Q,S:ARrImTan:137)


KppersemSaRRgn Rfpada:
AyctRandd dan iSunda yang tercifita
*** KgRfi^^g^fyyangtersiP^ng
*t* Sauomng yang RfCaR^aR^n menddmpingiRp
SaRaSat-saRaRat yang seldiu menduRyngRy
• ARnamateryang RySanggaRyn

iii

Jndul Skripsi :

SANKSI
PIDANA
DAN
TINDAKAN
ADMINISTRATIF DALAM PENEGAKAN
HUKUM KETENAGAKERJAAN

Penulis


Pembimbing

Abu Bakar Sidik

Loil Maknun^SILMH

I
ABSTRAK
Yang menjadi permasalahan adaJah sebagai beiikut :
L Sanksi pidana apakah yang dapat diberiakukan dalam penegakan Hnkum
Ketenagakerjaan ?
2. Bagmmana dengan sanksi adnahhstratif datam penegakan Hukum
Ket^iagakeijaan ?
Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk menelusuri prinsip-prinsip
hukum, terutama yang tersangkut paut dengan Sanksi pidana yang dapat
diberlakukan dalam penegakan Hukum Ketenagakerjaan dan sanksi administratif
dalam penegakan Hukum Ketenagakerjaan, niaka jenis penelitiannya tergolong
penelitian hukum nomiatif yang bersifat deskriptif, sehingga tidak bermaksud
menguji hipotesis. Teknik pengolahan data dilakukan dengan menerapkan cara
content analisys terhadap data tekstual untuk selanjutnya dikontniksi daJam suatu

kesimpulan
Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, terutama yang bersangkut paut
dengan permasalahan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sanksi pidana yang dapat diberlakukan dalam penegakan hukum
ketenagakerjaan apabila terjadi sengketa maka ketentuan pidananya
yaitu t "Barang siapa yang mclanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 ayat (l),Pasal 22 ayat (l),dan ayat 3, Pasal 47 ayat (1)
dan ayat(3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat(3), dikenakan
sanksi: pidana kurungan paling singkat I (satu) bulan dan paling lama
6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp I0.000,000,00(sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)".
2. Sanksi administratif dalam penegakan hukum ketenagakerjaan adalah
berupa : Hukuman Disipi'in, Teguran Tertuiis, Pencabutan Sementara
dan Pencabutan Tetap.

KATA PENGANTAR
Dengan raengucapkan puji dan syukur kehadiral Allah SWT, Sbalawat dan
Salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para sahabat,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berjudul : "SANKSI PIDANA DAN

TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM PENEGAKAN HUKUM
KETENAGAKERJAAN" yang msrupakan salaii salu syarat untuk
memperoleh geiar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas
MuhammadiyBh Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis menyaanpaikan licapan terimakasih yang
sebesar-besaraya kepada:
1. Bapak HM. Idris,SE.,M.Si, Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang
2. Ibu DR.Sri Suatiruati^H.Xd-Hum, seiaku Dekan pada Fakultas Kukum
Univeisitas Muhammadiyah Palembang
3. ibu Hj. Sri Suiastri,SH,M.Hum seiaku Pembantu Dekan 1 pada Fakultas
Hukum Uiiiversitas Muhammadiyah Palembang
4. ibu Alriza Gusti, SRMH sclaku Pembantu Dekan 11 pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang
5.

B^5ak

NUT


Husni Cmilson, SH,CNJdH seiaku Pembantu Dekan HI pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang

6- Yba Am Aryat^ SAC seiaku Pembantn D^an IV pada Fakuttas Haknm
Universitas Muhammadiyah Palemb^g
7. n>u Lull MkanuiUSfLMH seiaku doseu pembimhiug dan Ketua Bagian
Hukum I^dana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang
8. Ibu Nursimah,.S£,SHdiiH seiaku Pembimbing Akademik pada Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang
9. Seluruh slaf pengajar Pakuhas Hokum Universitas Muhammadiyah
Palembang
to. Semua pihak yai^ telah turut membenkan bantuan moril dan naaterit
Akhimya besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanlaat bagi kila
semua. Amin.
Palembang,
Penulis,

Abu Bakar Sidik


2014

DAFTARISI
HALAiMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
-™
KATA PENGANTAR
DAFTARJSI
BABI
PENDAHULUAN
\
A. X-alar Bdakang
B. Permasalahan ,
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
D. Metode Peuelhias,

EL Sislematika Pemiiisan

I
I
BAB tt TINJAUAN FUSTAKA
Pengertian PeiKgakaa Hukum
B. SanksiPidana J7
i
C. Tindakan Administratif
D l Peog^ytiaa-peqgertiaa J>3 Bidaag
Ketenagakenaan.™
E. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan
F. ^nhmtgsnKcsjadsmBiihimganJndi^tnai
G. Pengawasan Ketenagakeijaan

Halaman
i
ii
iii
tv
vi
viii

I
&
8
9
10

IX
25
26
28
3T
40

BABIH

PEIilBAHASAN
A. Sank^ P u k ^ Yang Dsqi^ Dibeiiakidtan Dalam
Penegakan Hukum Ketenagakerjaan
42
B. Sanksi Administratif Dalasn Penegakan Hukiim

57
Ketenagakerjaan

BAB IV

PENLTUP
A Kesimpulan-™
B. Saran

DAFTARPUSTAKA
LAMPIRAN

,

— - — 60
61

BABl
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk social (goon politicon\ yakni makhluk
yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu
sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat
jasmani maupun rohani. Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain
sudah pasti terjadi persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam kepentingan,
pandangan, dan perbedaan ini dapat melahirkan perseiisihan, pertentangan
ataukonflik.
Demikian pula yang terjadi di dalam suatu hubungan
ketePxagakerjaan atau perburuhan. Di mana dalam hubungan tersebut tidak
Input dari pertentangan atau perseiisihan.
Perseiisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris
disebut dengan conflict atau dispute merupakan suatu akibat yang terjadi
dari hubungan antar manusia.'
Apabila kita menyimak dinamika perbumhan beberapa tahun
terakhir ini, maka kita akan menemukan perubahan yang sangat mencolok
Situasi kehidupan perburuhan berubah dari sesuatu yang sangat terpola.

' Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal. 122.

1

2
diawasi dan dikontrol secara ketat pada masa Orde Baru, menjadi gerakan
yang saagat dmamis dan penuh gejolak pasca Orde Bam.
Di tengah dinamika perubahan tersebut, setidaknya ada dua
persoalan yang sekaligus merupakan dilema bagi pemerintah saat ini, yakni,
yang pertama, adanya tuntutan untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak buruh secara lebih berkeadilan dan kedua, tingginya tuntutan untuk
menciptakan jutaan lapangan kerja bara untuk mengurangi jumlah
pengangguraa.
Persoalan pertama menuntut pemerintah untuk menciptakan
peraturan ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan terhadap hakhak pekerja sesuai dengan siandar kehidupan yang layak. Dalam hal ini
pemerintah dituntut untuk keluar dan tidak terpaku pada standar upah
minimum.
Pemenuhan persoalan pertama, secara serta merta telah pula bersifat
kontraproduktif terhadap persoalan kedua. Perbaikan hak-hak buruh secara
global akan berdampak pada membengkaknya biaya operasicnal yang harus
ditanggtmg oleh pengusaha.
Di Negara Republik Indonesia dalam hal ketenagakerjaan banyak
kendala dan masalah yang harus dihadapi dan memerlukan pemecahan.
Maslah-masalah tersebut antara lain disebabkan oleh banyaknya pekerja
yang berpendidikan rendah. Kondisi ketenagakerjaan yang demikian yang
perlu adanya suatu perangkat bagi sarana perlindungan dan kepastian

J
hukum terhadap tenaga kerja tersebut melalui perjanjian kerja, karena
dengan

adanya perjanjian

kerja

diharapkan

pengusaha

tidak

memperlakukan pekerja dengan sewenang-wenang. Untuk terjaliiinya
komunikasi antara pekerja dan pengusaha biasanya dimulai dengan
petjanjian keija. Peqanjian kerja adalah "suatu perjanjian antara orang
perorangan pada satu pihak dengan pihak lain sebagai majikan imtuk
melsQcsanakan suatu pekegaan dengan mendapat upah".'
Berdasarkan defmisi tersebut di atas, "peqanjian keija itu terjadi
karena adanya kata sepakat antara buruh dan majikan imtuk melaksanakan
suatu pekeijaan dan pihak majikan menyanggupi untuk membayar upah" .
Jika perjanjian keija itu telah diadakan antara buruh dai\ majikan, maka
akan terjadi hubungan kerja antara mereka. Hubungan kerja ini berisikan
hak dan kewajiban para pihak yang kedudukannya adalah sederajat. Dengan
demikian antara buruh dan majikan adalali saling membutuhkan satu
dengan yang lain. Hal ini memberi petunjuk bahwa harus diupayakan
adanya keharmonisan hubungan, sehingga tujuan yang hendak dicapai oleh
perusahaan dapat dipenuhi atau dialisir seperti yang telah direncanakau.
Dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tersebut,
timbuUah perikatan antara pihak pekerja dan pihak pengusaha, hubungan
kerja tersebut dalam hal melakukan pekerjaan, Bentuk perjanjian semacam
ini secara hukum dapat dibenarkan karena sesuai dengan "Azas kebebasan
^ Wiwoho Soejono, Hukum Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta,1990, hal. 9.
^ Ibid, hal. 10.

4
berkontrak"/ Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa "semua
petjanjian yang dibuat secara sab berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya, dengan demikian setiap orang berhak membuat
perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang".^
Hubimgan kerja antara pekeija dengan pengusaha tersebut
didasarkan pada suatu peijanjian kerja baik dalam bentuk tulisan ataupun
lisan. Perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1610a KUHPerdata, yaitu suatu
petjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk bekerja pada
pihak lain selama waktu tertentu dengan menerima upah.
Di dalam perjanjian kerja diletakkan segala hak dan kewajiban
secara timbal balik antara pengusaha dan pekerja,
Dengan demikian "kedua belah pihak dalam melaksanakan
hubungan kerja teiah terikat pada apa yang mereka sepakati dalam
perjanjian kerja maupun peraturan perUndaiig-Undangan yang berlaku,
antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja pada pinsipnya mempunyai
kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang".*
Dengan semakiit minimnya margin ksuntungan yang diperoleb,
ditambah situasi sosiai poUtik dan keamanan yang tidak stabil, telah
membuat investor baru enggan berinvestasi, pada saat yang bersamaan
investor lama ji^a mulai mempertimbangkan untuk memindahkan
investasinya ke Negara lain yang lebih meuguntungkan.
* Salim, Huhim Kontrak, Sinar Grafila, J^tara, 2003, hal. 11.
^ Yurespudensi Mahkamah Agung Tanggal 2 Juni 1971 No. 117 K/SIP/1971.
^ Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hat 45.

5
Di tengah peliknya tarik-menarik antara kedua persoalan tersebut,
pemerintah pasca Orde Baru telah mulai melengkapi dan menyempumakan
beberapa peraturan di bidang ketenagakerjaan. Hal ini dimulai dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Perkerja/Serikat Bumh, Dengan Undang-Undang ini para pekerja/buruh
memperoleh haknya untuk bebas berserikat.
Selanjutnya pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keluamya Undang-Undang ini mengakibatkan hapusnya beberapa
Undang-Undang sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomcr 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikai Buruh dan Mqiikan, dan
Iain-lain. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini hai-hal yang
menyangkut pengaturan hubungan industrial telah dirangkumkan, namun
sekalipun malerinya telah diatur secara lengkap, prosedui penyelesaiannya
masih dengan cara-cara yang lama, yakni melalui Pegawai Perantara, P4P,
P4D dan setemsnya.

'

Namun, keluamya kedua Undang-Undang tersebut di atas ieriyata
belum mampu merauaskan keinginan dan kebutuhan semua pihak. Setiap
penggodokan dan pengesahan Undang-Undang tersebut, selalu timbul
keberatan-keberatan, baik dari pengusaha maupun buruh.

6
Kedua Undang*Undang di atas memang belum sempuma, sehingga
masih perlu direvisi dalam beberapa hal, misalnya mengenai syarat
keanggotaan organisasi buruh, pekerja kontrak, sistem pengupahan dan
sebagainya.
Salah satu perkembangan yang positif dari semua itu adalah lahimya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2C04 tentang Penyelesaian Perseiisihan
Hubungan industrial. Undang-Undang ini merupakan upaya pemerintah
untuk menuntaskan reformasi hukum perburuhan.
Undang-Undang ini dapat disebut sebagai Hukum Acara Perburuhan
karena di dalamnya diatur cara-cara yang harus ditempuh untuk
menyelesaikan. sengketa atau perseiisihan hubungan industrial. Perbedaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 dimana Undaag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan
Undang-Undang yang memuat aturan-aturan yang haras diterapkan ketika
terjadi peianggaran, sedangkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004
mengatur cara-cara uuluk menerapkan aturan-aturan tersebut.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 teiah meng\itwdi secara total
proses penyelesaian perseiisihan perburuhaii. Jika dengan Undang-Undang
sebelumnya penyelesaian suatu perseiisihan perburuhan bisa meraakan
waktu sampai bertahun-tahun, maka dengan Undang-Undang yang baru ini
suatu perseiisihan perburuhan harus diselesaikan dalam kurun waktu 140
hari. Demikian juga mengenai lembaga yang berperan daiam penyelesaian

7
perseiisihan. Menurut Undang-Undang yang baru, penyelesaian dilakukan
melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeci.
Karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 merupakan
tonggak penting dalam penyelesaian perseiisihan perburuhan. Namun
demikian Undang-Undai^ ini bukan tanpa kelemahan. Kelemahan tersebut
adalah, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 belum mengatur secara
tuntas hukum acara apa yang dipakai dalam Pengadilan Hubungan
Industrial, sehin^a sebagian besar hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri tetap saja digunakan. Penyelesaian perseiisihan
hubungan industrial mau tidak mau harus memadukan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 dengan Kitab Up-dang-Undang Hukum Acara Perdata
atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kendati demikian,
banyak hal-hal baru dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang
tidak terdapat daiam Undang-Undang sebelumnya. Hal-lial baru tersebut
meliputi proses penyelesaian perseiisihan melalui lembaga konsiliasi,
mediasi dan arbitrase.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dikatakan bahwa
apabila upaya penyelesaian perseiisihan melalui lembaga konsiliasi,
mediasi dan arbitrasi gagal, maka proses selanjutnya dapat ditempuh
melalui gugatan dan jawab-menjawab di Pegadilan. Sedangkan upaya
hukum terhadap putusan Pegadilan Negeri adalah langsung Kasasi. ^

^ Laiu Husni., toe. CU.

8
Dtnas Tenaga Kerja sebagai Inslansi yang menaungi para
pekerja/buruh, dalam hal ini diharapkan agar dapat melitidungi dan
membela para peke^ja^uruh apabila hak-haknya dirugikan oleh pihak
pengusaha dimana akan ada sanksi pidana dan tindakan administratif bila
teijadi perseiisihan dalam masalah ketenagakerjaan yang ditujukan dalam
rangka penegakan hukum ketenagakerjaan. Masalahnya, bagaimanakah
realisasi yang telah diupayakan untuk penegakan hukum ketenagakerjaan
tersebut.
Bertitik tolak pada uraian di atas maka skripsi ini penulis beri judul:
"SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM
PENEGAKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN".
B. Permasalahan
Yang menjadi pemiasalahan adalah:
1. Sanksi pidana apakah yang dapat diberlakukan dalam penegakan
Hukum Ketenagakerjaan ?
2. Bagaimana dengan sanksi administratif dalam penegakan Hukum
Ketenagakerjaan ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Ruang lingkup penelitian terutama dititik beratkan pada sanksi
pidana yang dapai diberlakukan dalam penegakan Hukum Ketenagakerjaan
serta mengenai sanksi administratif dalam penegakan

Hukum

9
KeteiiagakieFjaan, tanpa menutup kemungidnan menyinggung hai-hal lain
yang ada kaitamvya. Dimana hasil dari penelitian ini dapat diharapkan
bermanfaat sebagai tambahan informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya
di bidang Hukum Perburuhan atau Hukum Ketenagakerjaan sekaligus
merupakan sumbangan pemikiran yang dipersembahkan sebagai
pengabdian kepada Almamater.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui Sanksi pidana yang dapat diberlalodcan dalam
penegakan Kukum Ketenagakerjaan
2. Untuk mengetahui sanksi administratif dalam penegakan Hukum
Ketenagakerjaan
D. Metode Penelidan
Selaras dengan ruang lingkup dan tujuan serta permasalahan yang
ingin menelusuri prinsip-prinsip hukum tertentu yang bersangkut-paut
dengan sariksi pidana dan tindakan administratif dalam penegakan Hukirm
Ketenagakerjaan, maka jenis penelitiannya tergolong penelitian Hukum
normatif yang bersifat deskriptif analitis yang tidak perlu melakukan
pembuktian hipotesa,
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Penelitian
Kepustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan data sekunder dalam
penulisan skripsi ini penulis

mempelajari iateratur-iiterahir seperti;

10
Hukum Acara Perburuhan, Pengantar Hidaim Perbmuhan, Undang-Undang
KetensLgE^eijoan, Undang-Undang Penyelesaian Perseiisihan Hubungan
Industrial, serta literatur lain yang ada hubungannya dengan penulisan
skripsi ini.
Teknik pengolahan data dilakukan dengan mener£q)kan cara analisis
isi terhadap data kepustakaan dan cara kualitatif terhadap data yang
diperoleh dari lapangan, untidr selanjutnya dikonstraksikan dalam suatu
kesimpulan dan diajukan saran-saran.

Sistematika Penulisan
Dalam sub bab ini diberikan gambaran yang jelas dan terarah
mengenai penyusunan laporan skirpsi, berikut sistematika dan alur
pembahasan yang terbagi daiam :
BAB I

Pendahuluan

yang

meliputi

latar

belsdcang,

permasalahan, ruang lingkup dan tujuan, metodelogi
dan sistematika penulisan
BAB II

Tinjauan Pustaka yang meliputi tentang pengertian
penegakan

hukum,

sanksi

pidana,

tindakan

admimstrative, pengertian di bidang ketenagakeijaan,
sejarah

perkembangan

hidcum

ketenagakerjaan,

hubungan kerja dan hubungan industrial, pengawasan
ketenagakerjaan.

11
BAB in

Hasii Pern^Utian dm PcitdKiltaSiUL yuiig mcinbaiias
mengenai Sanksi pidana yang dapat diberlakukan
dalam penegakan Hukum Ketenagakerjaan dan sanksi
administratif

dalam

penegakan

Hukum

Ketenagak^aan
BAB IV

Penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh
pembahasan yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian

saran

sumbangan pikiran

sebagai

upaya

memberikan

BABH
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukuni
Dalam negara hukum yang dijadikan "panglima" adalah hukum itu
sendiri yang mengayomi anggota masyarakat, khusus para pihak yang terkait
untuk berbuat atau bertindak sesuai hukum sebagai hukum positif. Logemann
mengatakan hukum positif adalah hukum yang berlaku "sini dan kini" atau
"disana dan dewasa ini".
Hukum yang berlaku disini dan saat ini atau disana dan dewasa ini tidak
boleh dilanggar sebab kalau terjadi peianggaran hukum, hukum yang
terlanggar wajib ditegakkan. Penegakan hukum merupakan suatu hal yang
mutlak harus dilakukan karena dengan penegakan hukum dapat diwujudkan
tujuan hukum, berupa:
1) keadilan;
2) kemanfaatan;
3) Kepastian hukum.
Tanpa penegakan hukum, hukum hanya sekedar tulisan diatas kertas
dalani bentuk norma hukum yang tidak memiliki arti dan makna. Sebagaimana
Logemann,J.H.A, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Diterjemahkan
Makkatutu, Cetakan Pertama, Jakarta, 1975, hai. 31.

12

13

dikatakan oleh Mertokusumc dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang
harus diperhatikan yaitu : I) unsur keadilan; 2) unsur kemanfaatan; 3) unsur
kepastian hukum.^
Pumadi Purbacaraka mengatakan bahwa penegakan hukum adalah
kegiatan menyelarasakan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidahkaidah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan (sebagai social engeneering\ memelihara dan mempertahankaii
sebagai social control kedamaian pergaulan manusia.'^
Hukum positif berbeda dengan hukum nasional sebagaimana dikatakan
oleh Hartono bahwa "

pengertian hukum nasional tidaklah sama dengan

pengertian hukum positif, karena hukum nasional dipakai dalam arti ^Hus
constituendum sedangkan hukum positif tidak lain dari pada merupakan "/ ws
constitutum ".
Perkataan lain, hukum positif adalah hukum yang kini sudah ada dan
berlaku di Indonesia. Sementara itu, hukum nasional merupakan hukum yang
belum (selnruhnya) ada di Indonesia sehingga itu masih harus dipikirkan
^ Mertokusumo, S. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia, Kilat Maju,
Bandung, 1999, hal. 134.
Pumadi Purbacaraka, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 23.
" Hartono, S. Landasan, Kerangka Struktur dan Materi Sistem Hukum NasionalKita, Pra
Seminar Hukum Nasional V, Jakarta, 1986, hal. 3.

X4

bagaimana bentuknya, dan apa, serta bagaimana kerangka landasannya (serta
filasafat materinya). Hukum tidak dapat menegakkan dirinya sendiri tanpa
usaha yang konkret dari negara. Oleh karena itu, melalui penegakan hukum,
hukum menjadi kenyataan dalam negara hukum Indonesia. Sebagaimana
dikemukakan oleh Soetjipto Rahardjo, proses mewujudkan dari keinginan
(ide-ide) dalam hukum merupakan hakikat dari pengertian penegakan hukum'^.
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan. Terkait dengan penegakan hukum,
Syahran Basah juga mengatakan bahwa penegakan hukum secara konkret
adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut
ditaati'^.
Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti
memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dengan menemukan in
concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil
dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
Tepatiah yang telah dikemukakan oleh Laica Marzuki tanpa penegakan hukum
("formeel recht")'^. Maka kaidah-kaidah hukum materiil (materieel recht)
Rahardjo, S. Permasalahan Hukum di Indonesia, Aiumni, Bandung, 1983, hal.15.
Basah, S, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992, h^d. 14.
Marzuki, L. Selcyang Pandang Perbandingan Antara Ketiga Lingkungan Peradilan,
Peradilan Umum, Peradilan Agama dan peradilan Tata Usaha Negara, Makaiah, Ujung Pandang,
1992, hal. 94-95.

15

niscaya menjadi tnmpukan kertas (een papieren muur) saja. Negara hukum
yang didambakan bakal menjadi impian belaka. Tidak itu saja, tidak
ditegakkannya hukum materiil mengakibatkan peianggaran atau pembiaran
terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat guna mengatur tatanan kehidupan
bermasyarakat dimaksud.
Penegakan hukum dapat diartikan sebagai usaha untuk melaksanakan
hukum, termasuk memulihkan hukum yang terlanggar agar ditegakkan
kembali. Penegakan hukum dalam negara hukum Indonesia tidak semudah
membalikkan telapak tangan dari mereka yang diberikan wewenang imtuk
menegakkan hukum karena banyak faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi
dapat pula menjadi peianggaran hukum. Hukum yang terlanggar wajib
ditegakkan oleh pejabat dan hakim Pengadilan karena memiliki otoritas untuk
menegakkan hukum. Otoritas menurut Logemaim adalah pengakuan atas
kewenangan untuk bertindak secara hukum dalam lingkungan kenyataan.'^
Penegakan .hukum dilakukan dalain bentuk penjatulian sanksi terhadap
pelanggar hukum untuk melindungi kepentingan negara untuk memperoleh
pembiayaan dari sektor pajak mengingat hukum tidak hanya melindungi
kepentingan seseorang. Oleh karena itu menurut Baharuddin Lopa, untuk
^^Ibid, hal. 42.

16

tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat ada tiga pcrsyaratan yang harus
dipenuhi. Ketiga pcrsyaratan tersebut adalah : 1) adanya peraturan hukum yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat; 2) adanya aparat penegak hukum yang
profesional dan bermental jujur atau memeiliki integritas moral terpiyi; dan 3)
adanya kesadaran hukum masyarakat yang memimgkinkan dilaksanakannya
penegakkan hukum'^.
Penegakkan hukum sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik yang
bersifat internal maupim yang bersifat ekstemal. Faktor-faktor itu dapat berupa
sebagai sarana pendorong atau sarana penghambat terhadap bekerjanya sistem
hukum sebagai suatu proses yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman
terdiri dari: 1) substansi hukum; 2) struktur hukum; 3) budaya hukum .
Hal ini juga dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa ada lima
faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kelima faktor tersebut
adalah'*: 1) faktor hukumnya sendiri (dibatasi pada undang-undang saja); 2)
Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum; 3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4)
faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
Lopa, B. Permasalahn Pemhinaan dan penegakan Hukum di Indonesia. Bulan Bintang,
Jakarta, 1987, hal. 3-4.
Friedmann, L.M. Hukum Amerika Suatu Pengantar, Diterjemahkan Wishnu Dasuki, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 7-8.
Soekanto. s. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung,
2004, hal. 8.

17

diterapkan; 5) faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
B. Sanksi Pidana
Disamping itu dalam ilmu Hukum Pidana dikenal beberapa jenis tindak
pidana, diantaranya adalah:
1. Tindak Pidana Formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusanya
dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Jika tindak pidana
tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang
sebagaimana yang dicantum dan dirurouskan dalam peraturan
perundang-undangan (pidana). Contoh pasal 362 KUHP perbuatan
yang dilarang tersebut adalah mengambil milik orang lain.
2. Tindak Pidana Materil
Tindak pidana materil adalah tindak pidana yans perumusannya
dititikberatkan kepada akibat ycng dilarang (dalam suatu Undangundang). Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang
dilarang (dari suatu perbuatan) itu telah terjadi. Contoh Pasal 358
KUHP, akibat yang dilarang tersebut adalah hilangya nyawa orang
lain.

18

3. Tindak Pidana Comisionis
Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa
peianggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan cleh Undangundang.
4. Tindak Pidana Omisionis
Tindak pidana omosionis adalah tindak pidana yang berupa
peianggaran terhadap pemerintah yang telah ditetapkan oleh undangundang. Contoh Pasal 522 KUHP, tidak menghadap sebagai saksi di
muka pengadilan.
5. Dolus dan Culpa
Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan rengaja sedangkan
Culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau
karena kealpaan.
6. Tindak Pidana Aduan (klachtdelict)
Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan ita baru dapat dilakukan
penuntutan, apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan,
maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut. Misalnya pasal 248
KUHP, tindak pidana perzinahan, dengan demikian delik aduan ini
dapat diketahui langsung dari bunyi rumusan pasal.

19

Unsur-unsur yang harus ada dalam suatu tindak pidana adalah sangat
penting agar dapat membedakan bahwa suatu perbuatan termasuk tindak
pidana atau bukan. sebagaimana persoalan mengenai istilah dari pengertian
tindak pidana maka mengenai unsur-unsur dari para ahli hukum juga tidak ada
kesatuan pendapat. namun pada dasamya suatu tindak pidana mengandung
beberapa unsur sebagai berikut:
1. Unsur perbuatan/tindakan
Suatu perbuatan atau tindakan adalah merupakan titik hubungan untuk
terjadinya tindak pidana. Perkataan ini meliputi pebuatan berbuat atau pun
tidak berbuat sesuatu. contoh mengenai hal ini adalah Pasal 340 dan Pasal 304
KUHP yang lengkapnya berbunyi:
Pasal 340 : Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara
semnur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
Pasal 304 : Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena pcrsetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,

20

diancam dengan pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau
dendan paling banyak tiga ratus rupiah.
Pasal 340 tersebut di atas merupakan contoh pengertian berbuat sesuatu
dari unsur perbuatan/tindakan. jadi untuk melakukan perbuatan pembunuhan
diperlukan suatu perbuatan/tindakan aktif, yaitu merampas nyawa orang lain.
Adapun Pasal 304 merupakan contoh pengertian tidak berbuat sesuatu
dari unsur perbuatan/'tindakan, lebih jelas dengan ada kata membiarkan, suatu
misal seseorang tidak mau atau membiarkan bayinya dengan jaian tidak mau
menyusuinya padahal secara hukum dia jelas mempunyai kewajiban
memberikan kehidupan, perawatan clan pemeliharaan. di sini terdapat
perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan sikap pasif, membiarkan/
tidak menyusui bayinya.
2> Unsur bersifat melawan hukum
Pada dasamya dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah
perbuatan yang melawan hukum saja, sebab perbuatan inilah yang
sesungguhnya dilarang dan diancam dengan pidana. adapun sifat melawaii
hukum ini masih diartikan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang tidak
sesuai dan bertentangan dengan hukum.
Unsur kedua dari tindak pidana ini mempakan suatu penilaian yang
obyektif terhadap perbuatannya bukan terhadap si pembuat pidananya.

21

mengenai unsur melawan hukum ini terdapat dua ajarar; yaitu ajaran melawan
hukum formil (yang disebut melawan hukum adalah yang bertentangan dengan
hukum tertuiis saja) dan ajaran melawan hukum matedil (disebut melawan
hukum karena bertentangan dengan hukum tertuiis dan bertentangan dengan
hukum tidak tertuiis).
3. Unsur kesalahan
Di pidananya seseorang adalah tidak cukup apabila ia sekedar
melakukan tindak pidana, tetapi unsur kesalahan pada orang tersebut juga
harus ada. inilah inti dari ajaian hukuni pidana kita bahwa tiada pidana tanpa
kesalahan. kesalahan menurut Jonkers, pengertiannya meliputi tiga bagiaii,
yaitu:
a) Kesengajaan dan kealpaan
b) Meliputijuga sifat melawan hukum
c) Kemampuan bertanggung jawab. '^
Jadi menurut Jonkers untuk dapat dikatakan ada suatu kesalahan dalam
perbuatan pidana, jika ketiga unsur tersebui di atas meliputinya. sehingga
orang dapat dipidana.
4. Uflsur kemampuan bertanggungjawab

Samidja, Hukum Acara Pidana, Aiumni, Bandung, 1985, hal. 100.

22

Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab pengertiannya
tidak dinimuskan secara jelas dan terang-terangan, tetapi ada satu pasal yang
berhubungan dengan masalah ini, yaitu Pasal 44 ayat 1 KUHP yang
menyatakan bahwa:
"Barang

siapa

yang

melakukan

perbuatan

yang

lidak

dapat

dipertanggungjawabkan, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya
{grebekkigeontwikkeling) atau terganggu karena penyakit {ziekelijke storing),
tidak dipidana".
Dalam pasal yang berhubungan dengan masalah bertanggungjawab ini,
sebenamya secara tidak langsung telah metnuat apa yang dimaksud dengan
kemampuan bertanggung jawab. Di pasal ini dimuat ulasan yang terdapat pada
diri si pembuat, yang menjadi alasan sehingga perbuatan yang dilakukannya itu
tidak dapat
dipertanggun^awabkan kepadanya.
5. Unsur memenuhi rumusan Undang-undang
Unsur yang tidak kalah pentingnya apabila dibanding dengan unsurunsur yang lain adalah unsiu-unsur memenuhi rumusan undang-imdang, yang
dengan kata lain dapatlah dipahami bahwa untuk dapat dikatakan ada tindak
pidana. jika Undang-Undang sendiri telah mengatur sebelum perbuatan itu
sendiri dilakukan.

23

Hal ini akan jelas.iika kita menengok kembali Pasal 1 ayat (1) yaitu :
"Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-udangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan
Dengan penjelasan pasal di atas, sudah jelas mengenai maksud dan
bagaimana seharusnya pemakaian dalain praktek. tetapi ilmu hukum adalah
ilmu sosiai yang selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
temyata suatu perbuatan / tindak pidana itu terkadang lebih cepat ada dan
berkembang dibanding dengan undang-undang pidana lainnya. selanjutnya
kejahatan jenis baru apakah harus dibiarkan hanya karena tidak ada dasar
kekuatan hukumnya untuk menindak. dalam hal ini tergantung kebijaksanaan
hakim dan hakim memiliki fungsi juga untuk membuat hukuni
Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana adalah si pembuat, meskipiui tidak selamanya demikian. Masalahnya
tergantung juga pada cara atau system perumusan pertanggungjawaban yang
ditcnmkan oleh pembuat Undang-undang.
Dalam membahas pertanggimgjawaban pidana ini perlu dikemukakan
terlebih dahulu pandangan dari Moelyatno, yang memisahkan secara tegas
unsur-unsur perbuatan pidana dari unsur-imsur pertanggungjawaban pidana
Unsur perbuatan pidana termasuk di dalam unsur subyektif. Unsur subyektif

24

adalah unsur yang melekat pada diri petindak atau pelaku. Oleh karena itu,
Moelyatno menyatakan "kemampuan bertanggungjawab harus dipandang
sebagai unsur kejahatan (bukan unsur perbuatan pidana)".
Apabila diperhatikan dari pendapat Moelyatno tadi, yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah siapa yang dianggap
sebagai

subyek

dari

delik

(si pembuat).

Sehubungan

dengan

pertanggungjawaban Badan Hukum, maka ada tiga golongan yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila suatu badan hukum melakukan tindak pidana
yaitu:
1. Orang sebagai pengurus badan hukum;
2. Orang sebagai pribadi yang melakukan;
3. Badan hukum itu sendiri.
Dalam membicarakan tentang masalah pertaiiggungjawaban pidana
Badan Hukum, maka yang perlu diperhatikan adalah pada sistem perumusan
yang

menyatakan

baluva

badan

hukum

itu

sendiri

dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Motivasi dari adanya
pertanggimgjawaban badan hukum ini terutama di bidang lingkungan hidup
adalah bahwa dengan ditetapkannya pengurus sebagai subyek yang dapat
dipidana tidaklah cukup, karena dalam tindak pidana lingkungan hidup,
^'^ Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 170.

25

kerugian yang dialami oleh masyarakat atau Negara akibat tindak pidana
tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pidana denda yang dijatuhkan
kepada pengurus badan hukiun yang melakukan tindak pidana.
C. Tindakan Administratif
Tindakan administratif dalam hukum ketenagakeijaan merupakan
tindakan berupa hukuman disiplin dan teguran tertuiis yang biasanya
merupakan atau biasa disebut dengan peringatan pertama dan peringatan
kedua. Karena keduanya merupakan pegawai negeri sipil maka sanksi
dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tindakan administiatif yang kedua adalah teguran teriulis,
Dapat dikenakan kepada misalnya konsiliator dan arbiter dengan alasao
biasanya karena ktidak menyampaikan anjuran tertuiis paling lama 14 (empat
belas) hari kerja atau tidak membantu para pihak membuat perjanjian kerja
beraama paling lambat 3(tiga) hari kerja dan juga Arbiter tidak dapat
menyelesaikan perseiisihan hubungan industrial daiam waktu paling lama 30
(tiga) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan yaitu paling lama 14
(empat belas) hari kerja atau tidak membuat berita acara kegiatan
pemeriksaan. ^'
^' Lalu Husni, Op. Cit.. hal. 55.

26

Yang ketiga adalah pencabutan sementara, dalam hal telah dikenakan
sanksi teguran tertuiis sebanyak 3(tiga )kali kepada yang bersangkutan. Dan
yang keempat adalah pencabutan tetap dimana dapat dikenakan berupa
pencabutan jabatan dalam hal telah dikenakan sanksi pencabutan sementara
sebanyak 3 (tiga), kali terbukti telah melakukan penyalahgunaaan jabatan.
D. Pengertian-pengertian Di Bidang Ketenagakerjaan
Dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah "setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat".^''
Pengertian tenaga kerja dalam Undang-midang Nomor 13 Tahun 2003
tersebut menyempumakan pengertian tenaga kerja dalam Undang-imdang
Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan yang
memberikan pengertian tenaga kerja adalah "setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyaiakat".

Ibid. hal. 56.
^^Ibid. hal. 15.
Ibid, hal. 16.

27

Dari pengertian tersebut tampak perbedaan yakni daiam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tidak lagi memuat kata-kata baik di dalam
maupun di luar hubungan keija dan adanya penambahan kata sendiri pada
kalimat memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat. Penguraiigan kata di
dalam maupun di luar hubungan keija pada pengertian tenaga kerja tersebut
sangat beralasan karena dapat mengacaukan makna tenaga kerja itj sendiri
seakan-akan ada yang di dalam dan ada pula di luar hubungan keija serta tidak
sesuai dengan konsep tenaga kerja dalam pengertian yang umum. Demikian
halnya dengan penambalian kata sendiri pada kalimat memenuhi kebutuhan
sendiri dan masyarakat karena barang atau jasa yang dihasilkan oleh tenaga
kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri sendiri, dengan
demikian sekaligus menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja
hanya bekerja untuk orang Iain dan melupakan dirinya sendiri.
Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Taiiun 1969
tersebut dipergunakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosiai Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Oleh karena itu perlu
penyesuaian demi keseragaman pengertian dengan menngacu pada UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagai induknya.
Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan di atas sejalan dengan pengertian tenaga kerja

28

menurut konsep ketenagakeijaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh
Payaman J. Simanjuntak, bahwa pengertian tenaga kerja atau manpower adalah
mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari
kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah
tangga. Secara umum tenaga kerja adalah setiap laki-Iaki atau perempuan yang
sedang dalam atau akan melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar
hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.

Pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang bekerja

didalam hubungan kerja pada pengusaha atau majikan dengan menerima upah.
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau
tidak, yang memperkerjakan pekerja dengan tujuan mencari keimtungan atau
tidak, milik perseorangan, persekutuan atau badan hukum baik milik swasta
atau milik negara. Sedangkan Pengusaha adalah :
• Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjaiankan
perusahaan milik sendiri.
• Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukumyang secara berdiri
sendiri meqjalankan perusahaan bukan milik sendiri.
• Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia
£. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan
Asal mula adanya Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari
beberapa fase jika kita lihat pada abad 120SM. Ketika bangsa Indonesia ini
Ibid,ha[. 17.
Ibid,hai. 18.

29

mulai ada sudah dikenal adanya sistem gotong royong, antara anggota
masyarakat dimana gotong royong merupakan suatu system pengerahan
tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk
mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak mengenai suatu
balas jasa dalam bentuk materi. Sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur
dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan , kebijakan,
dan hikmah bagi semua orang gotong royong ini nantinya menjadi sumber
terbentuknya hokum ketanaga kerjaan adat. Dimana walaupun peraturannya
tidak secara tertuiis, namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan
identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan
merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad ke abad.
Setelah memasuki abad masehi. ketika sudali mul.ai berdiri suatu
kerajaan di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan, seperi saat
jaman kerajaan hindia belanda pada zaman ini terdapat suatu sistem
pengkastaan. antara lain : brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria . dimana
kasta sudra merupakan kasta paling rendah golongan sudra &
pariaadedidikirawan ini menjadi budak dari kasta brahmana. ksatria dan

Gunawi Kartasapoetra, Hukum Perburuhan Pancasila dalam Pelaksanaan Hubungan
Kerja, Armico, Bandung, 1983, hal. 9.

30

waisya mereka hanya menjaiankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai
oleh para majikan.
Sama halnya dengan islam walaupun tidak secara tegas adanya system
pengangkatan namun sebenamya sama saja. Pada masa ini kaum bangsawan
(raden ) memiliki hak penuh atas para tukang nya. Nilai-nilai keislaman tidak
dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding budaya bangsa
yang sudah berlaku 6 abad-abad sebelumnya.
Pada saat masa pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus
perbudakan semakin meningkat perlakuan terhadap budak sangat keji & tidak
berprikemanusiaan. satu-satunya penyelsaiannya adalah mendudukau para
budak pada kedudukan manusia merdeka.adedidikirawan Baik sosiologis
maupun yuridis dan ekonomis.
Tindakan belanda dalam mengatasi kasus perbudakan ini dengan
mengeluarkan Staatblad 1817 Nomor 42 yang berisikan larangan untuk
memasukan budak-budak ke pulau jawa, Kemudian tahun 1818 ditetapkan
pada suatu UUD HB (regeling reglemant) 1818 berdasarkan pasal 115 RR
menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1-06-1960 perbudakan
dihapuskan.

Ibid, hai. 10.
Ibid, hal. 10.

31

Selain kasus hindia belanda mengenai perbudakan yang keji dikenal
juga istilah rodi yang pada dasamya sama saja . rodi adalah kerja paksa mulamula merupakan gotong royong oleh semua penduduk suatu desa-desa suku
tertentu. Namun hal tersebut di manfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja
paksa untuk kepentingan pemerintah hindia belanda dan pembesarpembesamya.
F. Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial
Pelaksanaan hubungan keija di Indonesia dijelaskan pada Pasal 1 angka
15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa:
Hubungan kerja adaiah hubungan antara pengusaha dengan pekeija atau buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur-unsur pekerjaan, upah dan
perintah.
Hubimgan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang
timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu
yang tidak tertentu.
Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi ^'perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya."

32

Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa "perjanjian adalah subjek
hokum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum".
Definisi pejanjian klasik, " perjanjian adalah perbuatan hukum bukan
hubungan hukum (sesuai dengan pasal 1313 perjanjian adalah perbuatan)." ^'
Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perseiisihan Hubungan Industrial, peranan dan fungsi lembaga
tersebut digantikan oleh pengadilan hubungan industrial, yang majelis
hakimnya terdiri atas hakim karier dan hakini ad hoc yang berasal atas unsur
pengusaha dan pekerja/buruh. Diharapkan dengan beralihnya penanganan
penyelesaian perseiisihan hubungan industrial kepada Pengadilan Hubungan
Industrial, putusannya akan dapat lebih adi! dan dalam mengambil putusan
terhindar dari interfensi dari pihak manapun.
Hubungan industrial Pancasila adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang
didasarkan atas nilai-niiai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-

Ibid., hal. 12.
^'file:///C:/Documeins%20and%20Settings/windows%20Xp/I^ktop/Hiikiim
riaan%2HHukum.html. diakses pada tanggal 18 September 2013.

33

sila dari Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang diatas
kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.
Hubungan industrial pada dasamya adalah proses terbinanya
komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh
kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam
pemsahaan.
Bangsa Indonesia memiliki falsafah pancasila sebagai jiwa, kepribadian,
pandangan hldup dan dasar negara. Pancsila mengajarkan bahwa hidup
manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan,
keserasian dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi,
hubungan manusia dengan masyarakatnya, hubungan manusia dengan
alamnya, hubimgan manusia dengan tuhannya, maupun dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.
Pancasila sebagai falsafah negara, secara resmi sudah diterima sejak 18
Agustus 1945, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai UUD Negara
Republik Indonesia. Sedangkan hukuni dasar yang tertinggi, Pancasila
seharusnya dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan
bemegara, yang menjadi pembimbing kita dalam mewujudkan kesatuan dan
persatuan bangsa. Apabila melaksanakannya dengan balk dan benar akan dapat
Adrian Sutedi, Op Cit, hal. 3.

35

Dalam pelaksanaan ked^ia asas tersebut dikembangkan pemahaman
bahwa pekerja/buruh dan pengusaha adalah teman sepeijuangan dalam proses
produksi, yang berarti baik pekerja/buruh maupun pengusaha wajib bekerja
sama serta membantu dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan
kesejahteraan dan menaikkan produksi. Pekerja/buruh dan permgusaha adalah
teman sepeijuangan dalam pemerataan menikmati hasi perusahaan yang berarti
hasil usaha yang diterima perusahaan dinikmati bersama dengan bagian yang
layak dan serasi sesuai dengan persentasi kerja. Pekerja/buruh dan pengusaha
adalah teman sepeijuangan yang bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bangsa dan negara, masyarakat sekelilingnya, pekerja/buruh serta
keluarganya dan perusahaan dimana mereka bekerja.
Konscpsi inilah yang membedakan hubungan industrial kita dengan
hubungan industrial lainnya. Hubungan industrial pancasila memiliki ciri-ciri
khusus, berikut. (a) Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan hanya
bertujuan untuk sekedar mencari nafkah, tetapi sebagai pengabdian manusia
kepada Tuhan, kepada sesama manusia. kepada masyarakat, bangsa dan
negara. (b) Menganggap pekerja/buruh bukan hanya sekedar faktor produksi
belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabat. (c)
melihat antara pekelja^uruh dan pengusaha bukanlah mempunyai kepentingan
yang bertentangan, tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan

36

perusahaan. (d) Memamdang setiap perbedaan pendapat antara pekerja/buruh
dan pengusaha harus diselesaikan dengan jaian dilakukan secara kekeluargaan.
(e) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang
dicapai bukan didasarkan atas perimbangan kekuatan (balance of power),
tetapi atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.
Disamping itu, hasil-hasil perusahaan yang telah dicapai berdaasarkan
kerja sama antara pekerja/buruh dan pengusaha, dapat dinikmati secara adil
dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-masing.
Untuk dapat mewujudkan hubungan yang dicita-citakan itu, diperlukan
satu sikap sosiai yang mencerminkan persatuan nasional dan kesatuan, serta
sifat kegotongroyongan, toleransi, tenggang rasa, terbuka, bantu membantu
dan mampu mengendalikan diri. Dikap mental para pelaku proses produksi
antara satu dengan lainnya adalah sebagai teman seperjuangaii yang saling
hormat menghormati, saling mengerti kedudukan serta perannya, saling
memahami hak dan kewajibannya dalam keseluruhan proses produksi.
Bagi pekerjalmnib sikap mental itu berupa :
1.

Merasa ikut memiliki (rumongso melu handarbeni).

2.

Ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangmngkepi).

37

3.

Terns menerus mawas diri (mulat sariro hangroso wani). Adapun sikap
mental yang diinginkan dari pengusaha adalah sikap "memanusiakan
manusia", melalui kesadaran bahwa :
a) Pekeria/buruh adalah manusia yang mempunyai martabat, harkat dan
harga diri.
b) Meningkatkan harkat, derajat ddan harga diri dan kesejahteraan
pekerja/buruh merupakan kewajiban dan tugas kemanusiaan.
c) Kesediaan memberikan sahamnya secara konstuktif terhadap
peningkatan kesejaliteraan pekerja/buruh serta membina asas-asas
manajemen yang baik dalam rangka memajukan usaha dan
kesejahteraan bersama.
Hak dan kewajiban yang melekat pada individu kemudian berkembang

menjadi hak dan kewajiban secara kolektif. Umumnya pekeija/buruh dalam
posisi tawar iebih lemah dibandingkan dengan pmeberi kerja atau pengusaha.
Oleh karena itu, sifat kolektivitas ini kemudian digunakan sebagai sarana untuk
memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh agar mendapatkan perlakukan
yang baik dan memperoleh hak-haknya secara wajar.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, jenis
Perseiisihan Hubungan Industrial meliputi:
Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, dalam majaiah
Masalah-masalah Hukum, Tak. Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 12.

38

a) perseiisihan hak;
b) perseiisihan kepentingan;
c) perseiisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d) perseiisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perseiisihan hak adaiah perseiisihan yang timbul akibat adanya
perbedaan penafsiran/keinginan buruh dan pengusaha terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam peraturan perburuhan, peraturan perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama. Perseiisihan hak seringjuga disebut sebagai perseiisihan yang
bersifat normatif, yaitu perseiisihan terhadap hal-hal yang telah ada pengaturan
atau dasar hukumnya.
Sekalipun telah ada atura