BAB II ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA - DOCRPIJM 1505188933BAB 2 ARAHAN PERENCANAAN

    2.1. AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA 

  approach)

  Peran   pemerintah  akan  lebih  difokuskan  pada  perumusan  kebijakan  pembangunan  sarana  dan

    terpenuhinya  kebutuhan  hunian  yang  dilengkapi  dengan  prasarana  dan  sarana  pendukungnya  bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. 

   masyarakat miskin.  c. Salah  satu  sasaran  dalam  mewujudkan  pembangunan  yang  lebih  merata  dan  berkeadilan  adalah

   penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4)  penyediaan   sumber‐sumber  pembiayaan  murah  dalam  pelayanan  air  minum  dan  sanitasi  bagi

   (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat,  (3)

    dasar  masyarakat  yang  berupa  air  minum  dan  sanitasi  diarahkan  pada  (1)  peningkatan  kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan  sanitasi,

   dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup,  sumber  daya air, serta kesehatan.  b. Dalam  mewujudkan  pembangunan  yang  lebih  merata  dan  berkeadilan  maka  Pemenuhan  kebutuhan

    dan  jasa  sebagai  upaya  mendorong  pertumbuhan  ekonomi.  Pemenuhan  kebutuhan   tersebut  dilakukan  melalui  pendekatan  tanggap  kebutuhan  (demand  responsive 

  Infrastruktur   permukiman  memiliki  fungsi  strategis  dalam  pembangunan  nasional  karena  turut

   dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat  serta   kebutuhan  sektor‐sektor  terkait  lainnya,  seperti  industri,  perdagangan,  transportasi,  pariwisata,

    Maju,  Adil  dan  Makmur”.  Dalam  penjabarannya  RPJPN  mengamanatkan  beberapa  hal  sebagai  berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:  a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air  minum

    tersebut,  ditetapkan  bahwa  Visi  Indonesia  pada  tahun  2025  adalah  “Indonesia  yang  Mandiri,

    pembangunan  jangka  panjang  sebagai  arah  dan  prioritas  pembangunan  secara  menyeluruh   yang  akan  dilakukan  secara  bertahap  dalam  jangka  waktu  2005‐2025.  Dalam  dokumen

  RPJPN   2005‐2025  yang  ditetapkan  melalui  UU  No.  17  Tahun  2007,  merupakan  dokumen  perencanaan

   Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005‐2025 

   implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.  2.1.1.

    berperan  serta  dalam  mendorong  pertumbuhan  ekonomi,  mengurangi  angka  kemiskinan,  maupun   menjaga  kelestarian  lingkungan.  Oleh  sebab  itu,  Ditjen  Cipta  Karya  berperan  penting  dalam

   prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin  ditingkatkan  terutama untuk proyek‐proyek yang bersifat komersial.   d.

  Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh  dilakukan pada  setiap tahapan RPJMN,  yaitu:  

   pembangunan   infrastruktur  dengan  lebih  meningkatkan  kerjasama  antara  pemerintah  dan

  RPJMN  ke  2  (2010‐2014):  Daya  saing  perekonomian  ditingkatkan  melalui  percepatan 

   dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman.  RPJMN ke 3 (2015‐2019): Pemenuhan kebutuhan hunian  bagi seluruh masyarakat terus 

   meningkat   karena  didukung  oleh  sistem  pembiayaan  perumahan  jangka  panjang  dan  berkelanjutan,

   efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota  tanpa  permukiman kumuh.  

   prasarana  dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh. 

  RPJMN  ke  4  (2020‐2024):  terpenuhinya  kebutuhan  hunian  yang  dilengkapi  dengan 

    2.1.2.

   Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010‐2014 

  RPJMN   2010‐2014  yang  ditetapkan  melalui  Peraturan  Presiden  No.  5  Tahun  2010  menyebutkan

   bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk  mendorong   pertumbuhan  ekonomi  dan  sosial  yang  berkeadilan  dengan  mendorong  partisipasi  masyarakat  Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak  sesuai

    dengan  UUD  1945  Pasal  28H,  pemerintah  memfasilitasi  penyediaan  perumahan  bagi  masyarakat   berpendapatan  rendah  serta  memberikan  dukungan  penyediaan  prasarana  dan  sarana

   dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.   Dokumen

   RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada  periode  2010‐2014, yaitu:  a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan perincian  akses

   air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non‐perpipaan terlindungi 38 %.  b. Terwujudnya  kondisi  Stop  Buang  Air  Besar  Sembarangan  (BABS)  hingga  akhir  tahun  2014,  yang

   ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat (off‐ site)  bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota  sebesar

   5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta  penyediaan  akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on‐site)  yang

   layak bagi 90 % total penduduk.  c. Tersedianya  akses  terhadap  pengelolaan  sampah  bagi  80  %  rumah  tangga  di  daerah  perkotaan.

    d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan. 

  Untuk   mencapai  sasaran  tersebut  maka  kebijakan  pembangunan  diarahkan  untuk  meningkatkan

   aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai,  melalui:   a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,  b. memastikan ketersediaan air baku air minum,  c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,  d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan  pengelolaan

   persampahan,  e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,  f. meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,  g.

  Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat  (PHBS),

    h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,  i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,  j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan. 

    2.1.3.

   Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 

  Dalam  rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7‐

  9  persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun  2011.

    Dalam  dokumen  tersebut  pembangunan  setiap  koridor  ekonomi  dilakukan  sesuai  tema  pembangunan   masing‐masing  dengan  prioritas  pada  kawasan  perhatian  investasi  (KPI  MP3EI). 

  Ditjen  Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI 

  Prioritas   untuk menunjang kegiatan ekonomi  di  kawasan  tersebut.  Kawasan  Perhatian  Investasi  atau

   KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang  terikat  atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI  dilakukan

    untuk  mempermudah  identifikasi,  pemantauan,  dan  evaluasi  atas  kegiatan  ekonomi  atau  sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama. 

    2.1.4.

   Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia 

  Sesuai  dengan agenda RPJMN 2010‐2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan  upaya

    pembangunan  yang  inklusif  dan  berkeadilan.  Untuk  itu,  telah  ditetapkan  MP3KI  dimana  semua  upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka  kemiskinan

    dan  memperluas  jangkauan  penurunan  tingkat  kemiskinan  di  semua  daerah  dan  di  semua   kelompok  masyarakat.  Dalam  mencapai  misi  penanggulangan  kemiskinan  pada  tahun 

  2025,  MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:  a.

  Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu  melindungi  masyarakat dari kerentanan dan goncangan,  b. Meningkatkan  pelayanan  dasar  bagi  penduduk  miskin  dan  rentan  sehingga  dapat  terpenuhinya

   kebutuhan‐kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia  di  masa mendatang,   c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan  rentan

    melalui  berbagai  kebijakan  dan  dukungan  di  tingkat  lokal  dan  regional  dengan  memperhatikan  aspek. 

  Kementerian   Pekerjaan  Umum,  khususnya  Ditjen  Cipta  Karya,  berperan  penting  dalam  pelaksanaan

    MP3KI,  terutama  terkait  dengan  pelaksanaan  program  pemberdayaan  masyarakat  (PNPMPerkotaan/P2KP,

   PPIP, Pamsimas, Sanimas dan sebagainya) serta Program Pro Rakyat.    2.1.5.

   Kawasan Ekonomi Khusus 

  UU   No.  39  Tahun  2009  menjelaskan  bahwa  Kawasan  Ekonomi  Khusus  adalah  kawasan  dengan

    batas  tertentu  dalam  wilayah  hukum  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yang  ditetapkan  untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK  dikembangkan

    melalui  penyiapan  kawasan  yang  memiliki  keunggulan  geoekonomi  dan  geostrategi   dan  berfungsi  untuk  menampung  kegiatan  industri,  ekspor,  impor,  dan  kegiatan  ekonomi   lain  yang  memiliki  nilai  ekonomi  tinggi  dan  daya  saing  internasional.  Di  samping  zona  ekonomi,

   KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta  Karya

    dalam  hal  ini  diharapkan  dapat  mendukung  infrastruktur  permukiman  pada  kawasan  tersebut  sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK. 

    2.1.6.

   Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan 

  Dalam  Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, 

  Walikota/Bupati,  untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program  pro

   rakyat, Keadilan untuk semua,  dan Program Pencapaian  MDGs. Ditjen Cipta Karya  memiliki  peranan   penting  dalam  pelaksanaan  Program  Pro  Rakyat  terutama  program  air  bersih  untuk  rakyat

   dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian  MDGs,

   Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan  akses pelayanan  air minum dan sanitasi  yang  layak serta pengurangan permukiman kumuh. 

    2.2.

   AMANAT PERATURAN PERUNDANGAN PEMBANGUNAN TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA 

  Ditjen   Cipta  Karya  dalam  melakukan  tugas  dan  fungsinya  selalu  dilandasi  peraturan  perundangan

   yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang  Perumahan

   dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 

  7   tahun  2004  tentang  Sumber  Daya  Air,  dan  UU  No.  18  Tahun  2008  tentang  Pengelolaan 

  Persampahan,  UU no. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.  2.2.1.

   UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 

  UU   Perumahan  dan  Kawasan  Permukiman  membagi  tugas  dan  kewenangan  Pemerintah 

  Pusat,  Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam  penyelenggaraan

   permukiman mempunyai tugas :  a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang  perumahan

    dan  kawasan  permukiman  dengan  berpedoman  pada  kebijakan  dan  strategi  nasional  dan provinsi.  b. Menyusun  dan  rencana  pembangunan  dan  pengembangan  perumahan  dan  kawasan  permukiman

   pada tingkat kabupaten/kota.  c. Menyelenggarakan  fungsi  operasionalisasi  dan  koordinasi  terhadap  pelaksanaan  kebijakan  kabupaten/kota

   dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan  kawasan  permukiman.  d. Melaksanakan pengawasan dan  pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang‐ undangan,

    kebijakan,  strategi,  serta  program  di  bidang  perumahan  dan  kawasan  permukiman  pada tingkat kabupaten/kota.  e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.  f. Melaksanakan  melaksanakan  peraturan  perundang‐undangan  serta  kebijakan  dan  strategi  penyelenggaraan

   perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.  g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.  h. Melaksanakan  kebijakan  dan  strategi  provinsi  dalam  penyelenggaraan  perumahan  dan  kawasan

   permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.  i. Melaksanakan  pengelolaan  prasarana,  sarana,  dan  utilitas  umum  perumahan  dan  kawasan  permukiman.

    j.

  Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan  dan  kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.  k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba. 

  Adapun  wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:  a.

  Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat  kabupaten/kota.

    b. Menyusun  dan  menyempurnakan  peraturan  perundang‐undangan  bidang  perumahan  dan  kawasan

   permukiman pada tingkat kabupaten/kota.  c. Memberdayakan  pemangku  kepentingan  dalam  bidang  perumahan  dan  kawasan  permukiman

   pada tingkat kabupaten/kota.  d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan serta kebijakan dan  strategi

    penyelenggaraan  perumahan  dan  kawasan  permukiman  pada  tingkat  kabupaten/kota.

    e. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman  bagi

   MBR.  f. Menyediakan  prasarana  dan  sarana  pembangunan  perumahan  bagi  MBR  pada  tingkat  kabupaten/kota.

    g. Memfasilitasi  kerja  sama  pada  tingkat  kabupaten/kota  antara  pemerintah  kabupaten/kota  dan

   badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.  h. Menetapkan  lokasi  perumahan  dan  permukiman  sebagai  perumahan  kumuh  dan  permukiman

   kumuh pada tingkat kabupaten/kota.  i. Memfasilitasi  peningkatan  kualitas  terhadap  perumahan  kumuh  dan  permukiman  kumuh  pada

   tingkat kabupaten/kota.  Di

    samping  mengatur  tugas  dan  wewenang,  UU  ini  juga  mengatur  penyelenggaraan  perumahan   dan  kawasan  permukiman,  pemeliharaan  dan  perbaikan,  pencegahan  dan  peningkatan

    kualitas  terhadap  perumahan  kumuh  dan  permukiman  kumuh,  penyediaan  tanah  pendanaan   dan  pembiayaan,  hak  kewajiban  dan  peran  masyarakat.  UU  ini  mendefinisikan  permukiman

    kumuh  sebagai  permukiman  yang  tidak  layak  huni  karena  ketidakteraturan  bangunan,   tingkat  kepadatan  bangunan  yang  tinggi,  dan  kualitas  bangunan  serta  sarana  dan  prasarana

   yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari  pengawasan,   pengendalian,  dan  pemberdayaan  masyarakat,  serta  upaya  peningkatan  kualitas  permukiman,

   yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.    2.2.2.

   UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 

  Undang ‐Undang  Bangunan  Gedung  menjelaskan  bahwa  penyelenggaraan  bangunan  gedung

   adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan  konstruksi,   serta  kegiatan  pemanfaatan,  pelestarian,  dan  pembongkaran.  Setiap  bangunan  gedung

   harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi  bangunan   gedung.  Persyaratan  administratif  meliputi  persyaratan  status  hak  atas  tanah,  status  kepemilikan

    bangunan  gedung,  dan  izin  mendirikan  bangunan.  Sedangkan  persyaratan  teknis  meliputi   persyaratan  tata  bangunan  dan  persyaratan  keandalan  bangunan  gedung.  Persyaratan  tata

    bangunan  meliputi  persyaratan  peruntukan  dan  intensitas  bangunan  gedung,  arsitektur  bangunan   gedung,  dan  persyaratan  pengendalian  dampak  lingkungan,  yang  ditetapkan  melalui  Rencana  Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur  beberapa

   hal sebagai berikut:  a. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus  mempertimbangkan

    terciptanya  ruang  luar  bangunan  gedung,  ruang  terbuka  hijau  yang  seimbang,   serasi,  dan  selaras  dengan  lingkungannya.  Di  samping  itu,  sistem  penghawaan,  pencahayaan,

    dan  pengkondisian  udara  dilakukan  dengan  mempertimbangkan  prinsip‐ prinsip  penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).  b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan  peraturan

    perundang‐undangan  harus  dilindungi  dan  dilestarikan.  Pelaksanaan  perbaikan,  pemugaran,   perlindungan,  serta  pemeliharaan  atas  bangunan  gedung  dan  lingkungannya  hanya

   dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang  dikandungnya.

    c. Penyediaan  fasilitas  dan  aksesibilitas  bagi  penyandang  cacat  dan  lanjut  usia  merupakan  keharusan

   bagi semua bangunan gedung.    2.2.3.

   UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 

  UU   Sumber  Daya  Air  pada  dasarnya  mengatur  pengelolaan  sumber  daya  air,  termasuk  didalamnya

    pemanfaatan  untuk  air  minum.  Dalam  hal  ini,  negara  menjamin  hak  setiap  orang  untuk  mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari‐hari guna memenuhi kehidupannya  yang

   sehat, bersih, dan produktif. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga  dilakukan  dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara  dan/atau

   badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga tersebut  merupakan  air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan  dinyatakan

   sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi. Selain itu, diamanatkan pengembangan  sistem  penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana  dan

   sarana sanitasi. 

    2.2.4. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 

  UU   No.  18  Tahun  2008  menyebutkan  bahwa  pengelolaan  sampah  bertujuan  untuk  meningkatkan

   kesehatan  masyarakat dan  kualitas  lingkungan serta menjadikan  sampah  sebagai  sumber   daya.  Pengelolaan  sampah  rumah  tangga  dan  sampah  sejenis  sampah  rumah  tangga  dilakukan

   dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah  dilakukan   dengan  pembatasan  timbulan  sampah,  pendauran  ulang  sampah,  dan  pemanfaatan  kembali

   sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:  a. pemilahan  dalam  bentuk  pengelompokan  dan  pemisahan  sampah  sesuai  dengan  jenis,  jumlah,

   dan/atau sifat sampah,  b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke  tempat

   penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu,  c. pengangkutan  dalam  bentuk  membawa  sampah  dari  sumber  dan/atau  dari  tempat  penampungan

   sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke  tempat  pemrosesan akhir,  d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,  e. pemrosesan  akhir  sampah  dalam  bentuk  pengembalian  sampah  dan/atau  residu  hasil  pengolahan

   sebelumnya ke media lingkungan secara aman.  Undang

  ‐undang  tersebut  juga  melarang  pembuangan  sampah  secara  terbuka  di  tempat  pemrosesan  akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir  sampah

    yang  menggunakan  sistem  pembuangan  terbuka  dan  mengembangkan  TPA  dengan  sistem  controlled landfill ataupun sanitary landfill.    2.2.5.

   UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun 

  Dalam   memenuhi  kebutuhan  hunian  yang  layak,  Ditjen  Cipta  Karya  turut  serta  dalam  pembangunan

    Rusunawa  yang  dilakukan  berdasarkan  UU  No.  20  Tahun  2011.  Dalam  undang‐ undang  tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun  dalam

   suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian‐bagian yang distrukturkan secara fungsional,  baik  dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan‐satuan yang masing‐masing  dapat

    dimiliki  dan  digunakan  secara  terpisah,  terutama  untuk  tempat  hunian  yang  dilengkapi  dengan  bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal  pembinaan,

   perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,  peningkatan   kualitas,  pengendalian,  kelembagaan,  tugas  dan  wewenang,  hak  dan  kewajiban,  pendanaan

   dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.    2.3.

   AMANAT INTERNASIONAL BIDANG CIPTA KARYA 

  Pemerintah   Indonesia  secara  aktif  terlibat  dalam  dialog  internasional  dan  perumusan  kesepakatan

    bersama  di  bidang  permukiman.  Beberapa  amanat  internasional  yang  perlu  diperhatikan   dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya  meliputi Agenda 

  Habitat,   Konferensi  Rio+20,  Millenium  Development  Goals,  serta  Agenda  Pembangunan  Pasca  2015.

     2.3.1.

   Agenda Habitat 

  Pada   tahun  1996,  di  Kota  Istanbul  Turki  diselenggarakan  Konferensi  Habitat  II  sebagai  kelanjutan

   dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut menghasilkan  Agenda

    Habitat,  yaitu  dokumen  kesepakatan  prinsip  dan  sasaran  pembangunan  permukiman  yang  menjadi panduan bagi negara‐negara dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan  berkelanjutan.

    Salah

    satu  pesan  inti  yang  menjadi  komitmen  negara‐negara  dunia,  termasuk  Indonesia,  adalah   penyediaan  tempat  hunian  yang  layak  bagi  seluruh  masyarakat  tanpa  terkecuali,  serta  meningkatkan

    akses  air  minum,  sanitasi,  dan  pelayanan  dasar  terutama  bagi  masyarakat  berpenghasilan  rendah dan kelompok rentan. 

    2.3.2.

   Konferensi Rio+20 

  Pada   Juni  2012,  di  Kota  Rio  de  Janeiro,  Brazil,  diselenggarakan  KTT  Pembangunan 

  Berkelanjutan  atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut menyepakati dokumen 

  The   Future  We  Want  yang  menjadi  arahan  bagi  pelaksanaan  pembangunan  berkelanjutan  di  tingkat

    global,  regional,  dan  nasional.  Dokumen  memuat  kesepahaman  pandangan  terhadap  masa   depan  yang  diharapkan  oleh  dunia  (common  vision)  dan  penguatan  komitmen  untuk  menuju  pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan 

  Johannesburg  Plan of Implementation 2002. 

  Dalam   dokumen  The  Future  We  Want,  terdapat  3  (tiga)  isu  utama  bagi  pelaksanaan  pembangunan

   berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan  dan   pengentasan  kemiskinan,  (ii)  pengembangan  kerangka  kelembagaan  pembangunan  berkelanjutan

   tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrument pelaksanaan pembangunan  berkelanjutan.

    Kerangka  aksi  tersebut  termasuk  penyusunan  Sustainable  Development  Goals  (SDGs)

    post‐  2015  yang  mencakup  3  pilar  pembangunan  berkelanjutan  secara  inklusif,  yang  terinspirasi  dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini  akan

    menjadi  rujukan  dalam  pelaksanaan  rencana  pembangunan  nasional  secara  konkrit,  termasuk   dalam  Rencana  Pembangunan  Jangka  Menengah  Nasional  2014‐2019,  dan  Rencana 

  Pembangunan  Jangka Panjang Nasional (2005‐2025). 

    2.3.3. Millenium Development Goals (MDGs) 

  Pada   tahun  2000,  Indonesia  bersama  189  negara  lain  menyepakati  Deklarasi  Millenium  sebagai

    bagian  dari  komitmen  untuk  memenuhi  tujuan  dan  sasaran  pembangunan  millennium  (Millenium

    Development  Goals).  Konsisten  dengan  itu,  Pemerintah  Indonesia  telah  mengarusutamakan  MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya  sebagaimana

    dinyatakan  dalam  Rencana  Pembangunan  Jangka  Panjang  2005‐2025,  Rencana  Pembangunan

    Jangka  Menengah  Nasional  2010‐2014  serta  Rencana  Kerja  Tahunan  berikut  dokumen  penganggarannya.  

  Sesuai   tugas  dan  fungsinya,  Ditjen  Cipta  Karya  memiliki  kepentingan  dalam  pemenuhan  target

    7C  yaitu  menurunkan  hingga  setengahnya  proporsi  rumah  tangga  tanpa  akses  berkelanjutan   terhadap  sumber  air  minum  layak  dan  fasilitas  sanitasi  dasar  layak  hingga  tahun  2015.  Di bidang air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan  target

    cakupan  pelayanan  adalah  68,87%  yang  perlu  dicapai  pada  tahun  2015.  Di  samping  itu,  akses  sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang dibandingkan target 2015  yaitu

   62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D  yaitu   mencapai  peningkatan  yang  signifikan  dalam  kehidupan  penduduk  miskin  di  permukiman  kumuh

   (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman  kumuh   6%,  padahal  data  terakhir  (2009)  proporsi  penduduk  kumuh  mencapai  12,57%.  Untuk  memenuhi

    target  MDGs  di  bidang  permukiman,  diperlukan  perhatian  khusus  dari  seluruh  pemangku   kepentingan,  baik  di  tingkat  pusat  maupun  daerah.  Oleh  karena  itu,  pemerintah  kabupaten/kota

    perlu  melakukan  optimalisasi  kegiatan  penyediaan  infrastruktur  permukiman  dalam  rangka percepatan pencapaian target MDGs.  

    2.3.4.

   Agenda Pembangunan Pasca 2015  

  Pada   Juli  2012,  Sekjen  PBB  membentuk  sebuah  Panel  Tingkat  Tinggi  untuk  memberi  masukan

   kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh  Presiden

   Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia,  dan   Perdana  Menteri  David  Cameron  dari  Inggris,  dan  beranggotakan  24  orang  dari  berbagai  negara.

   Pada Mei 2013, panel tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal  PBB

    berjudul  “A  New  Global  Partnership:  Eradicate  Poverty  and  Transform  Economies  Through 

  Sustainable   Development”.  Isinya  adalah  rekomendasi  arahan  kebijakan  pembangunan  global 

  pasca ‐2015  yang  dirumuskan  berdasarkan  tantangan  pembangunan  baru,  sekaligus  pelajaran  yang

   diambil dari implementasi MDGs. Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif  pembangunan  global pasca 2015, sebagai berikut:  a. Mengakhiri kemiskinan  b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender  c. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup   d.

  Menjamin kehidupan yang sehat   e. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik   f. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi   g.

  Menjamin energi yang berkelanjutan   h. Menciptakan  lapangan  kerja,  mata  pencaharian  berkelanjutan,  dan  pertumbuhan  berkeadilan

     i. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan   j. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif   k.

  Memastikan masyarakat yang stabil dan damai   l. Menciptakan  sebuah  lingkungan  pemungkin  global  dan  mendorong  m.  pembiayaan  jangka  panjang

     Dari

    sasaran  indikatif  tersebut,  Ditjen  Cipta  karya  berkepentingan  dalam  pencapaian  sasaran  6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan  dalam

   pencapaian sasaran tersebut adalah:  a. Menyediakan  akses  universal  terhadap  air  minum  yang  aman  di  rumah,  dan  di  sekolah,  puskesmas,

   dan kamp pengungsi,   b. Mengakhiri  buang  air  besar  sembarangan  dan  memastikan  akses  universal  ke  sanitasi  di  sekolah

   dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga sebanyak x%,  c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air minum, serta  meningkatkan

   efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri sebanyak y% dan daerah‐ daerah  perkotaan sebanyak z%,  d. Mendaur  ulang  atau  mengolah  semua  limbah  cair  dari  daerah  perkotaan  dan  dari  industri  sebelum

   dilepaskan.   Selain

    memperhatikan  sasaran  dan  target  indikatif,  dokumen  laporan  tersebut  juga  menekankan  pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar pemangku kepentingan  pembangunan.

   Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana  seluruh   pihak  duduk  bersama‐sama  untuk  bekerja  bukan  tentang  bantuan  saja,  melainkan  juga  mendiskusikan

   kerangka kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.