BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai - Dwi Retno Ningsih BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perairan Sungai

  Sungai adalah suatu perairan yang airnya mengalir secara terus- menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut. Air tanah sebagai sumber air sungai muncul kepermukaan sebagai mata air pada bagian hulu sungai. Air sungai tersebut kemudian mengalir ke muara karena adanya perbedaan tinggi. Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Ilyas, 1990 dalam Setijanto, 2005).

  Sungai merupakan bentuk ekosistem perairan mengalir yang dibedakan dari perairan menggenang berdasarkan 3 hal pokok, yaitu: a) arus, merupakan faktor pembatas dan pengendali utama di lingkungan sungai, b) proses pertukaran tanah dan air. Proses ini pada perairan sungai lebih terbuka dan metabolisme komunitasnya bersifat heterotrofik, c) oksigen, kandungan oksigen pada umumnya menyeluruh di dalam sungai, namun sedikit atau tidak terdapat stratifikasi sungai (Odum, 1996).

  Sungai mempunyai karakteristik yang khas yaitu mempunyai kecepatan arus yang relatif berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Perbedaan ini dapat ditentukan oleh perbedaan lebar sungai, kedalaman dan juga ketinggian dari sungai tersebut. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap tipe substrat sungai, bentuk anatomis, distribusi,

  7 pergerakan dan juga adaptasi tingkah laku organisme yang hidup di dalamnya. (Soemarwoto, 1980 dalam Setijanto, 2005) membagi sungai ke dalam tiga daerah berdasarkan letak dan kondisi lingkungannya, yaitu: 1.

  Hulu sungai: letaknya didataran tinggi, air mengalir melalui bagian yang curam, berbatu dan arus yang sangat kuat, mengandung oksigen terlarut yang sangat tinggi dan warna airnya sangat jernih.

  2. Hilir sungai: terletak didataran rendah dengan arus air tidak begitu kuat, kecepatan fotosintesisnya lebih tinggi dan banyak bertumpuk bahan organik.

  3. Muara sungai: berada hampir mencapai laut, arus airnya sangat lambat, banyak mengandung bahan terlarut dan lumpur dari hilir hingga membentuk delta yang airnya sangat keruh sehingga sinar matahari hanya sedikit yang menembus daerah ini.

  Hulu sungai sampai hilir terdapat perbedaan kecepatan gerakan air, volume total air, kekeruhan dan jenis endapan serta tipe makanan yang tersedia. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dicerminkan oleh distribusi jenis ikan. Pada umumnya semakin besar ukuran sungai semakin besar pula jumlah dan jenis keragaman ikannya. Dalam suatu penelitian di Serawak ditemukan bahwa jumlah jenis yang hidup didasar sungai meningkat mendekati muara sungai dan terdapat penurunan yang jelas terhadap luas niche setiap jenis, rata-rata kisaran umur dan ukuran individu ikan dewasa (Kottelat et al., 1993).

  Menurut Mulyanto (2007), sungai sejak jaman purba menjadi suatu unsur alam yang sangat berperan di dalam membentuk corak kebudayaan suatu bangsa. Ketersediaan airnya, lembahnya yang subur, dan lain-lain potensinya menarik manusia untuk bermukim disekitarnya. Kehidupan sehari-hari mereka tidak akan lepas dari memanfaatkan sungai dengan konsekuensi manusia akan melakukan rekayasa terhadap sungai tersebut.

  Sebuah sungai mempunyai potensi sumber daya yang dapat diambil manfaat-manfaat bagi kepentingan hidup manusia, dari unsur-unsur sebagai berikut: a.

  Debitnya yaitu berupa air bagi berbagai keperluan kehidupan manusia dan lingkungannya.

  b.

  Enerji hydrostatic dan hydrodinamik alirannya dapat membangkitkan tenaga hidrolistrik maupun tenaga mekanik.

  c.

  Alur sungainya bermanfaat bagi sarana transportasi, sebagai jalan aliran drainase dan dapat pula berfungsi bagi penyimpanan air (channel dan

  long strorage ) serta penghantaran air (conveyance) ke lokasi pemanfaatan.

  d. yang sangat sesuai bagi manusia untuk Lembah dan delta sungainya bermukim dan melakukan usaha-usaha bagi kehidupannya, ditunjang pula oleh kemudahan akses yang diberikan oleh adanya transportasi dan akses ke luar/ke laut melewati muaranya. e.

  Produksi sedimen yang dihasilkan akan sangat bermanfaat bagi keperluan bahan bangunan, penyubur serta bahan penimbun untuk menambah tinggi dan luas lahan dan sebagainya.

  f.

  Kehidupan akuatik yang ada di dalamnya sangat bermanfaat bagi penyediaan protein hewani.

  g.

  Sungai dapat pula berperan sebagai unsur pertahanan strategis, bagi keamanan suatu wilayah.

  h.

  Dalam proses pengalirannya, sungai dapat berperan sebagai pengangkut dan pencuci polutan/pencemar dari bantarannya, walaupun hal ini harus difungsikan secara hati-hati dan tidak berlebihan.

2.2. Jenis-jenis Ikan di Sungai

  Ikan termasuk makhluk yang hidup didalam air dan mempunyai darah dingin, artinya panas badannya mengikuti panasnya air dimana ia berada.

  Ikan bernafas terutama dengan menghirup oksigen dari air dengan menggunakan insangnya, yang terdapat di kanan-kiri bagian kepala.

  Sewaktu-waktu secara darurat ikan mengambil oksigen dari permukaan air, kalau didalam air terdapat kurang hawa (Achyar, 1986).

  Menurut Achyar (1986), ikan yang terdapat di daerah-daerah perikanan darat banyak sekali macamnya, tidak kurang dari 500 macam. Ikan sebanyak itu dapat kita bagi dalam 3 golongan besar, yaitu: a.

  Ikan peliharaan, terdiri dari ikan-ikan yang dengan mudah menurut aturan-aturannya dapat dipelihara dan diperbanyak dan dapat pula memberi keuntungan kepada para pengusahanya, sehingga ikan golongan ini disebut pula “ikan ekonomis”. Contoh-contoh ikan golongan ini ialah: Ikan Mas (Cyprinus carpio), Ikan Nilem (Osteochilus

  

hasselti ), Ikan Tawes (Puntius javanicus), Ikan Gurami (Osphronemus

goramy ) dan lain-lain.

  b.

  Ikan buas, terdiri dari ikan-ikan yang mempunyai sifat jahat terhadap ikan lainnya, mengganggu dan kadang-kadang membunuh ikan-ikan lainnya. Contohnya: Ikan Lele (Clarias batrachus), Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus) Ikan Kancera (Labeobarbus douronensis) dan lain-lain.

  c.

  Ikan liar, terdiri dari ikan-ikan yang tidak buas, tetapi tidak pula dapat dipelihara dengan memberi keuntungan bahkan harus dianggap pengganggu terhadap ikan peliharaan, karena mereka merupakan saingan ikan-ikan lain dalam soal makanan. Contohnya: Ikan Beunteur (Puntius

  

binotatus ), Jeler (Nemachilus fasciatus), Paray (Rasbora argytaenia) dan

lain-lain.

  Alam (2005), mencatat jenis ikan di Sungai Klawing Kabupaten Purbalingga diperoleh 24 spesies dari 11 famili yaitu Famili Cyprinidae, Famili Poecilidae, Loricariidae, Cichlidae, Channidae, Balitoridae,

Bangridae , Mastacembelidae, Pristolepididae, Sisoridae dan Tri conthidae.

  Sungai Serayu wilayah Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas menurut Pramono (2007) mencatat sebanyak 83 spesies dan setelah dilakukan identifikasi termasuk kedalam 4 ordo, 6 famili dari 8 spesies yaitu Teleostei yaitu Osteochilus intermedius, Puntius javanicus, Puntius orphoides,

  Clarias batracus , Macrones gulio, Tilapia mossambica, Glossogobius giuris , dan Ophiochepalus striatus.

2.3. Identifikasi Ikan Untuk bisa mengatahui jenis seekor ikan harus dilakukan identifikasi.

  Identifikasi merupakan usaha pengenalan dan deskripsi yang teliti dan tepat terhadap spesies dan memberikan nama ilmiahnya. Jenis ikan beraneka ragam didunia ini oleh para ahli sistematika dibagi kedalam kelompok yang lebih mudah dikenal, ditetapkan ciri-ciri penting dan dicari perbedaan yang mantap dengan kelompok lainnya. Selanjutnya kelompok tersebut dicari nama ilmiahnya, sehingga dapat diakui oleh para ahli di seluruh dunia.

  Pekerjaan identifikasi yang tepat penting sekali artinya, karena banyak sekali genera yang secara morfologis tidak berbeda, tetapi berbeda secara fisiologisnya. Pemberian nama harus berdasarkan ketentuan-ketentuan taksonomi yang dimufakati secara internasional (Pramono, 2007).

  Menurut Saanin (1968), sifat ikan yang penting untuk diidentifikasi adalah: a.

  Rumus sirip, yaitu suatu rumus yang menggambarkan bentuk dan jumlah jari-jari sirip, dan bentuk sirip.

  b.

  Perbandingan antara panjang, lebar, dan tinggi bagian-bagian tertentu.

  c.

  Bentuk garis lurus dan jumlah sisik yang membentuk garis rusuk.

  d.

  Jumlah sisik pada garis pertengahan sisik atau garis sisi. e.

  Bentuk sisik dan gigi beserta susunan dan tempatnya.

  f.

  Tulang-tulang insang.

  Menurut Kottelat et al., (1993), skema ikan untuk menunjukkan ciri- ciri morfologi utama dan ukuran yang digunakan dalam identifikasi (A) sirip punggung, (B) sirip ekor, (C) gurat sisi, (D) lubang hidung, (E) sungut, (F) sirip dada, (G) sirip perut, (H) sirip dubur, (a) panjang total, (b) panjang standar, (c) panjang kepala, (d) panjang batang ekor, (e) panjang moncong, (f) tinggi sirip, (g) panjang pangkal sirip punggung, (h) diameter mata, (i) tinggi batang ekor, (j) tinggi badan, (k) panjang sirip dada, (l) panjang sirip perut.

  Menurut Soeseno (1977), identifikasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.

  Penggunaan kunci identifikasi pendahuluan untuk mencari ordo dan familias.

  b.

  Penggunaan kunci untuk genus dan spesies, apabila dapat memperoleh monografi atau buku fauna yang mutakhir.

  c.

  Pencocokan dengan katalog ikan dan biografi lain yang diterbitkan paling mutakhir.

  d.

  Pencocokan dengan deskripsi yang asli.

  e.

  Analisa bahan dan sintesa hasilnya.

2.4. Faktor Kondisi, Fekunditas, dan Seks Rasio Ikan

2.4.1. Faktor Kondisi

  Salah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Perhitungan faktor kondisi ini didasarkan pada panjang dan berat ikan (Effendie, 2002). Lagler et al., (1962) menambahkan faktor kondisi ikan pada hakekatnya adalah pertambahan daging atau protein dan tulang ikan. Faktor kondisi juga dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan ikan di perairan (Effendie, 2002).

  Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, dapat berupa panjang atau berat dalam waktu tertentu (Effendie, 2002). Sifat pertumbuhan ikan menunjukkan kapasitas fisik ikan untuk bereproduksi dan melangsungkan kehidupannya (Jannah, 2001).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam pada umumnya merupakan faktor yang sulit dikontrol, antara lain: keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor keturunan dalam suatu kultur kemungkinan dapat dikontrol yaitu dengan mengadakan seleksi pencarian ikan yang baik pertumbuhannya, tetapi di alam faktor keturunan tidak dapat dikontrol. Ikan jantan dan betina ada juga yang berbeda pertumbuhannya dimana ada spesies ikan yang betinanya lebih cepat tumbuh daripada jantannya begitu juga sebaliknya, dan juga ada spesies ikan yang tidak mempunyai perbedaan pertumbuhan antara jantan dan betina. Tercapainya kematangan gonad untuk pertamakalinya juga mempengaruhi pertumbuhan dimana kecepatan pertumbuhan menjadi lebih lambat karena sebagian makanan yang dimakan tertuju untuk perkembangan gonad. Penyakit dan parasit juga mempengaruhi pertumbuhan apabila yang diserang adalah alat pencernaan makanan atau organ lain yang vital. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan temperatur perairan (Effendie, 2002). Menurut Subroto (2000) dalam Rinawati (2006), pertumbuhan hanya terjadi bila energi makanan yang dimakan ikan lebih banyak daripada yang diperlukan untuk pemeliharaan tubuh dan untuk mengganti sel-sel yang rusak.

  Pertumbuhan mempunyai bentuk yang berbeda dari satu spesies ke spesies lain, pada umumnya pertumbuhan ikan lebih bervariasi dan fleksibel dibandingkan dengan hewan lain karena pertumbuhan ikan berhenti setelah mencapai tingkat kematangan seksual ( Lagler et al., 1962).

  Tipe pertumbuhan ikan b<3 dan b>3, maka pola pertumbuhannya disebut allometrik, artinya pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan beratnya, apabila tipe pertambahan ikan b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan berat, sedangkan apabila tipe pertumbuhan ikan b>3 menunjukkan kegemukan ikan, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.

  Faktor kondisi dapat digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan tempat hidup ikan. Jika nilai K berkisar antara 2 - 4 menggambarkan bentuk badan ikan yang pipih, sedangkan nilai K berkisar 1 - 3 menggambarkan bentuk badannya kurang pipih. Ikan dengan bentuk badan pipih dapat lebih aktif bergerak (Lagler et al., 1962).

2.4.2. Fekunditas

  Menurut Effendie (2002), fekunditas merupakan jumlah telur matang sebelum dikeluarkan pada waktu memijah. Fekunditas dapat dibagi menjadi tiga yaitu fekunditas individu atau fekunditas mutlak, fekunditas nisbi dan fekunditas total. Fekunditas mutlak yaitu jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas nisbi yaitu jumlah telur persatuan bobot atau panjang ikan. Fekunditas total yaitu jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidupnya.

  Mempelajari fekunditas ikan bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamika populasi, sifat-sifat rasial, produksi dan persoalan stok-rekruitmen. Dalam hubungan tersebut ada faktor lain yang memegang peranan penting dan sangat erat hubungannya dengan strategi dalam rangka mempertahankan kehadiran spesies itu di alam, terutama penyesuaian diri terhadap bermacam-macam kondisi lingkungan dan respon terhadap makanan Bagenal (1978)

  dalam Effendie (2002).

  Lagler et al., (1962) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi fekunditas ikan yaitu umur, panjang, bobot ikan, spesies dan kondisi lingkungan seperti ketersediaan pakan, temperatur air dan kuantitas pakan. Sumantadinata (1981) menyatakan bahwa semakin berat atau panjang ikan maka fekunditas semakin tinggi. Ikan-ikan yang mempunyai kebiasaan tidak menjaga telurnya setelah memijah biasanya mempunyai fekunditas tinggi. Terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran butir telur akan semakin tinggi fekunditasnya. Fekunditas juga akan relatif berbeda antara individu-individu meskipun masih tergolong dalam satu spesies.

  Ukuran telur atau diameter telur sangat mempengaruhi nilai fekunditas. Ikan dengan diameter telur yang besar akan memiliki fekunditas yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki telur dengan diameter yang lebih kecil. Diameter telur membesar sebagai hasil pengendapan kuning telur, hidrasi dan pembentukan butir-butir minyak (Effendie, 2002).

2.4.3. Seks Rasio

  Jenis kelamin ikan dapat diketahui dengan dua cara, yaitu dengan membelah perut dengan memeriksa gonadnya dan dengan mengamati ciri-ciri morfologi (Effendie, 2002). Kelangsungan daur reproduksi ikan tergantung dengan adanya ikan jantan dan ikan betina. Menurut Nikolsky (1963) pengetahuan tentang jenis kelamin dapat menduga keseimbangan populasi dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dan betina yang ideal dalam suatu populasi adalah 1:1. Rasio kelamin ikan merupakan frekuensi relatif antara ikan jantan dan betina yang sudah menetas atau sudah dapat ditentukan jenis kelaminnya, biasanya 1:1 tetapi dapat juga tidak seimbang karena disebabkan oleh gaya hidup yang berbeda antara jantan dan betina (Purdom, 1993). Rasio kelamin sangat berguna untuk menentukan berbagai aktivitas reproduksi karena perubahan besar dalam rasio kelamin terjadi pada saat pemijahan.

  Jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh sifat seksualnya. Sifat seksual ada 2 macam yaitu sifat seksual primer dan sifat seksual sekunder. Sifat seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi, yaitu ovarium dengan pembuluhnya pada ikan betina, dan testis dengan pembuluhnya pada ikan jantan. Sifat seksual sekunder merupakan tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk membedakan jantan dan betina, apabila suatu spesies ikan mempunyai sifat morfologi yang dapat dipakai untuk membedakan jantan dan betina, maka spesies tersebut mempunyai sifat seksual dimorfisme (Effendie, 2002).