BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu - ANALISIS EFEKTIVITAS SIMPANG TAK BERSINYAL JALAN GATOT SUBROTO DAN JALAN GEREJA DI PURWOKERTO UNTUK 10 TAHUN - repository perpustakaan

  Sehingga penangan skenario I, dengan mengurangi lebar bahu jalan guna melebarkan jalan minor (C) = 1,5 meter, Jalan utama (B dan D) = 2 meter dari kondisi awal. Hasil analisis DS menjadi 0,69 < 0,75 (tidak jenuh).

  dalam penelitinanya, “Analisis Kinerja Simpang Tiga Tak Bersinyal Patikraja

  • – Kaliori – Banyumas Untuk 10 Tahun”. Penelitian ini bertujuan (a) Menghitung volume kendaraan diketiga lengan pada tahun 2017, (b) Menghitung derajat kejenuhan (DS) tahun 2017, 2022 dan tahun 2027 pada simpang tiga Kaliori, (c) mendapatkan solusi penanganan pada tahun 2017, 2022 dan tahun 2027 pada simpang tiga Kaliori. Penelitian dilakukan dengan metode dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Hasil penelitian dari analisis yang telah dihitung maka dapat diambil beberapa kesimpulan : 1. Tahun 2017 simpang tak bersinyal di Kaliori, DS = 0,75 > 0,75 (jenuh).

  2. Tahun 2022 dengan kondisi kapsitas ditahun 2017 didapat DS = 0,90 > 0,75 (jenuh). Sehingga pada tahun 2022 membuat skenario II, dengan perubahan teknis simpang tak bersinyal menjadi simpang bersinyal dengan menggunakan 2 fase tipe 321 dan pelebaran jalan 1 meter tiap ruas jalan. Hasil analisis DS menjadi 0,5 < 0,75 (tidak jenuh).

  3. Tahun 2027 bersinyal kondisi kapasitas dittahun 2022 didapat DS = 1,27 > 0,75 (sangat jenuh). Sehingga pada tahun 2027 membuat skenario III, dengan pelebaran jalan 1,5 meter ruas jalan utama (B dan D) dan jalan minor (C) 1 meter . Hasil analisis DS menjadi 0,68 < 0,75 (tidak jenuh).

B. Landasan Teori Simpang Tak Bersinyal

  2

  2 Sumber : MKJI, 1997

  2

  1

  1

  1

  2 T T Y T Y

  2

  2

  Simpang tiga lengan tak bersinyal terdiri dari beberapa jenis, berikut adalah gambar dari jenis-jenis simpang tiga lengan tak bersinyal:

Gambar 2.1. Jenis Simpang Tiga Lengan Tak Bersinyal (MKJI 1997)

  344M

  324M 344

  322 324

  Simpang Jumlah Lajur Median Jumlah Jalur

  Utama Pendekatan Jalan

  Kode Tipe Pendekatan Jalan

Tabel 2.1. Definisi Simpang Tiga Lengan

  Persimpangan adalah titik pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan-lintasan kendaraan saling berpotongan.

  1 Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, perhitungan volume lalu lintas di konversikan dari kendaraan per jam menjadi Satuan Mobil Penumpang (SMP) per jam dengan menggunakan Ekivalen Kendaraan Penumpang (EMP). Berikut tabel EMP simpang tak bersinyal :

Tabel 2.2. Nilai EMP Simpang Tak Bersinyal

  Tipe Kendaraan EMP LV (Kendaraan Berat) HV (Kendaraan Ringan) MC (Sepeda Motor) UM / UV (Kendaraan Tak Bermotor)

  1,0 1,3 0,5 1,0

  Sumber : MKJI, 1997

  1. Nilai Normal Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), nilai normal diambil untuk digunakan dalam kasus guna keperluan perancangan dan perencanaan.

Tabel 2.3. Nilai Normal Faktor-K

  Lingkungan Jalan

  Faktor-K Ukuran Kota > 1 Juta <1 Juta

  Jalan pada daerah komersial dan jalan arteri 0,07

  0,08

  • – 0,08
  • – 0,10 Jalan pada daerah pemukiman 0,08
  • – 0,09 0,09 – 0,012 Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.4. Nilai Normal Komposisi Lalu Lintas

  Ukuran Komposisi Lalu Lintas Kendaraan Bermotor % Kend. Kend. Sepeda Rasio kendaraan

  Kota Ringan Berat Motor Tak bermotor Juta

  LV HV MC UM / UV Penduduk

  >3 M 60 4,5 35,5 0,01 1 55,5 3,5 41 0,05

  • – 3 M 0,5

  40 3,0 57 0,14

  • – 1 M 0,1

  63 2,5 34,5 0,05

  • – 0,5 M <0,1 M

  63 2,5 34,5 0,05 Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.5. Nilai Normal Lalu Lintas Umum

  Faktor Normal MI Rasio arus jalan simpang P 0,25 LT Rasio belok 0,15

  • – kiri P RT

  Rasio belok 0,15

  • – kanan P PCU

  Faktor 0,85

  • – pcu, F Sumber : MKJI, 1997

  2. Kapasitas Simpang Tak Bersinyal Kapasitas jalan dapat dihitung dengan rumus matematika sebagai berikut : O W M CS RSU LT RT MI

  C = C x F x F x F x F x F x F x F (smp/jam)...........(1) Dimana : C = kapasitas (smp/jam) O C = kapasitas dasar (smp/jam) W F = faktor penyesuaian lebar pendekat M F = faktor median jalan utama F CS = faktor penyesuaian ukuran kota

  F RSU = faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan simpang dan kendaraan tak bermotor

  F LT = faktor penyesuaian -% belok kiri

  F RT = faktor penyesuaian -% belok kanan

  F MI = faktor penyesuaian arus jalan minor

  a. Kapasitas Dasar Jalan (Co)

Tabel 2.6. Kapasitas Dasar Jalan

  Tipe Jalan Kapasitas Dasar (smp/jam) 322 2700 342 2900 344 / 324 3200 422 2900 424 / 444 3400

  Sumber : MKJI, 1997

  b. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (F W ) Faktor penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari grafik di bawah dengan menggunakan nilai jenis simpang. Berikut grafik faktor penyesuaian lebar pendekat :

Gambar 2.2. Grafik Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (MKJI

  1997)

  M

  c. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (F )

Tabel 2.7. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama

  Uraian Tipe M Faktor Penyesuaian Median Tidak ada median di Tidak ada 1,00 jalan utama Ada median di jalan Sempit 1,05 utama, lebar < 3m Ada median di jalan Lebar 1,20 utama, lebar > 3m Sumber : MKJI, 1997 CS

  d. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (F )

Tabel 2.8. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota Ukuran Kota (CS) Penduduk (juta) Faktor Penyelesaian Ukuran Tota

  Sangat Kecil < 0,1 0,82 Kecil 0,1 0,88

  • – 0,5 Sedang 0,5 0,94
  • – 1,0 Besar 1,0 1,00
  • – 3,0 Sangat Besar > 3,0 1,05 Sumber : MKJI, 1997

  e. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping, dan RSU Kendaraan Tak Bermotor (F )

Tabel 2.9. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan

  Samping dan Kendaraan Tak Bermotor UM Kelas Tipe Kelas Rasio Kendaraan Tak Bermotor P

  Lingkungan Hambatan Samping 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25

  Jalan (RE) 0,00

  (SF) Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70

  Komersial Sedang 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71 Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72

  Pemukiman Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

  Akses Terbatas Tinggi / Rendah / Sedang 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 Sumber : MKJI, 1997

  Tabel berdasarkan anggapan bahwa pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan ringan, yaitu EMP UM = 1,0 yang mungkin merupakan keadaan jika kendaraan tak bermotor tersebut berupa sepeda.

  F RSU (P UM sesungguhnya) = F RSU (P UM =0) x (1- P UM x EMP UM ).......(2)

  f. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (F LT )

Gambar 2.3. Grafik Faktor Penyesuaian Belok Kiri (MKJI 1997)

  g. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (F RT )

Gambar 2.4. Grafik Faktor Penyesuaian Belok Kanan (MKJI 1997)

  h. Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor (F MI )

  • 1,19 x P MI
    • 1,19 0,1
      • – 0,9 424 444

  2

  3

  2

  2

  2

  3

  4

  16,6 x P MI

  2

  2

  3

  2

  2

  2

  3

  4

  16,6 x P MI

  2

  IT F MI P MI 422 1,19 x P MI

Tabel 2.10. Faktor Penyesuaian Arus Jalan MinorGambar 2.5. Grafik Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor (MKJI 1997)

  • 33,3 x P MI
    • 25,3 x P MI

  • 8,6 x P MI
    • 1,95 0,1
      • – 0,3 1,11 x P MI

  • 1,11 x P MI
    • 1,11 0,3
      • – 0,9 322 1,19 x P MI

  • 1,19 x P MI
    • 1,19 0,1
      • – 0,5

  • 0,595 x P MI
    • 0,595 x P MI
    • 0,74 0,5
      • – 0,9 342 1,19 x P MI

  • 1,19 x P MI
    • 1,19 0,1
      • – 0,5 2,38 x P MI

  • 2,38 x P MI
    • 1,49 0,5
      • – 0,9 324 344

  • 33,3 x P MI
    • 25,3 x P MI

  • 8,6 x P MI
    • 1,95 0,1
      • – 0,3 1,11 x P MI

  • 1,11 x P MI
    • 1,11 0,3
      • – 0,5

  • 0,595 x P MI
    • 0,595 x P MI
    • 0,69 0,5
      • – 0,9 Sumber : MKJI, 1997

  i. Derajat Kejenuhan

  Derajat kejenuhan (DS) merupakan rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas (smp/jam), dapat dihitung dengan rumus matematika sebagai berikut :

  DS = Q / C....................................................(3) Keterangan : DS = derajat kejenuhan Q = volume kendaraan (smp/jam) C = kapasitas jalan (smp/jam)

  Jika nilai DS < 0.75, maka jalan tersebut masih layak, tetapi jika DS > 0.75 maka diperlukan penanganan pada jalan tersebut untuk mengurangi kepadatan atau kemacetan. Penumpukan kendaraan pada suatu ruas jalan disebabkan oleh volume lalu lintas yang melebihi kapasitas yang ada.

C. Landasan Teori Simpang Bersinyal

  1. Arus Lalu Lintas Perhitungan dilakukan per satuan jam satu arah atau lebih periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalulintas rencaana jampuncak pagi, siang dan sore.

  Arus lalulintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri Q LT , Lurus Q ST dan belok kanan Q RT ) konversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (smp/jam) dengan menggunakan equivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan.

Tabel 2.11. Equivalen Mobil Penumpang

  Emp untuk tipe pendekat Jenis kendaraan

  Terlindung Terlawan Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0 Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3 Kendaraan Motor (MC) 0,2 0,4

  Sumber : MKJI, 1997

  2. Kapasitas Simpang ( C ) Kapasitas simpang adalah kemampuan simpang untuk menampung arus lalulintas maksimum persatuan waktu dinyatakan dalam smp/jam.

  C= S x ...................................................(4) Dimana : C = Kapasitas (smp/jam).

  S = Arus jenuh, Yaitu arus yang berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau = smp per- jam hijau). g = Waktu Hijau (detik) c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara awal hijau yang berurutan pada fase yang sama).

  Pada rumus diatas arus jenuh dianggap tetap sama pada waktu hijau. Namun demikian dalam kenyataannya, arus berangkat mulai dari 0 pada awal waktu hijau dan pencapai waktu puncaknya setelah 10-15 detik dan nilai ini akan menurun sampai titik akhir waktu hijau, lihat gambar dibawah ini. Arus juga berlangsung selama waktu kuning dan merah semua hingga turun menjadi 0, yang biasanya terjadi 5-10 detik setelah awal sinyal merah.

Gambar 2.6. Arus Jenuh yang Diamati Berselang Waktu Enam Detik

  (MKJI 1997) Permulaan arus berangkat menyebabkan terjadinya apa yang di sebut sebagai “Kehilangan Awal” dari waktu hijau efektif, arus berangkat setelah akhir hijau menyebabkan suatu “Tambahan

  Akhir” dari hijau efektif lihat gambar 2.6 jadi besarnya waktu hijauefektif, yaitu lamanya waktu hijau dimana arus berangkat terjadi besaran dimana besaran tetap sebesar S, dapat dihitung

  • – kemudian sebagai Waktu hijau efektif = Tampilan waktuhijau kehilangan awal + tambahan akhir.

Gambar 2.7. Model Dasar untuk Arus Jenuh (Akcelik 1989)

  Melalui data semua simpang yang telah disurvei telah ditarik kesimpulan bahwa rata-rata besarnya kehilangan awal dan tambahan akhir keduanya mempunyai nilai akhir sekitar 4.8 detik. Sesuai dengan rumus diatas untuk kasus standart, besarnya waktu hijau efektif menjadi sama dengan waktu hijau yang ditampilkan. Kesimpulan dari analisa ini adalah bahwa tampilan waktu hijau dan besar arus jenuh puncak yang diamati dilapangan untuk masing- masing lokasi, dapat digunakan pada rumus diatas untuk menghitung kapasitas pendekat tanpa penyesuaian dengan kehilangan awal dan tambahan akhir.

  Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil dari perkalian arus jenuh dasar (S o ) yaitu arus jenuh pada keadaan standart, dengan faktor penyesuaian (f) untuk penyimpangan pada kondisi sebenarnya, pada suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya.

  (5)

  S = S

  X S

  1 X S

  

2

X S 3 ...S n ...........................

  Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (W e ) S o = 600 X W e ............................................(6)

  Penyesuaian kemudian dilakukan pada kondisi dibawah ini : Ukuran kota

  CS, jutaan penduduk Hambatan Samping SF, Kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor.

  Kelandaian

  G, % naik (+) atau turun (-) Parkir

  P, jarak garis henti sampai kendaraan parkir pertama.

  Gerakan membelok RT, % belok - kanan LT, % belok

  • – kiri Untuk pendekatan terlawan, keberangkatan dari antrian sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sopir-sopir di indonesia tida
  • – menghormati (Aturan hak jalan) dari sebelah kiri yaitu kendaraan kendaraan belok kanan memaksa menerobos lalu-lintas lurus yang berlawanan. Model-model dari negara barat tentang keberangkatan ini, yang didasarkan pada teori “Penerimaan celah” (gap-acceptance), tidak dapat diterapkan. Suatu model penjelasan yang didasarkan pada pengamatan prilaku pengemudi telah dikembangkan dan diterapkan
dalam manual ini. Apabila terdapat gerakan belok kanan dengan rasio tinggi, umumnya menghasilkan kapasitas-kapasitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model barat yang sesuai. Nilai-nilai smp yang berbeda untuk pendekat terlawan juga digunakan seperti diuraikan diatas. Arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif (W e ) dan arus lalulintas belok kanan pada pendekat yang berlawanan, karena pengaruh dari faktor-faktor tersebut tidak linear, kemudian dilakukan penyesuaian untuk kondisi sebenarnya sehubungan dengan ukuran kota, hambatan samping.

  3. Penentuan Waktu Sinyal Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali waktu tetap dilakukan berdasarkan metode Webster (1966) untuk meminimumkan tundaan total pada suatu simpang. Pertama

  • – tama ditentukan waktu siklus ( c ), selanjutnya waktu hijau (g i ) pada masing masing fase (i). Waktu Siklus :

  C = (1,5 x LTI + 5) / (1 erit )............................(7)

  • – ∑FR Dimana : C = Waktu siklus sinyal. LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik) FR = Arus dibagi dengan arus jenuh. FR erit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase.

  (FR erit ) = Rasio arus samping (jumlah FR erit dari semua fasepada siklus tersebut).

  Jika waktu siklus lebih kecil dari nilai ini maka ada resiko serius akan terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang panjang akan mengakibatkan meningkatnya tundaan rata- rata. Jika nilai (FR erit ) mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut adalah lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif.

  Waktu Hijau : gi = (c / )...............................(8)

  erit erit

  • – LTI) x FR ∑(FR Dimana :

  Gi = Tampil fase hijau pada waktu i (fase) Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumnya lebih peka terhadap kesalahan-kesalahan dalam pembagian waktu hijau dari pada terhadapterlalu panjangnya waktu siklus. Penyimpangan kecilpun dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dari rumus 7 dan 8 diatas menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada simpang tersebut.

  4. Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus volume (Q) terhadap kapasitas (C), digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan DS menggunakan rumus matematika 3, yaitu : DS =

  Dimana : Q = Rasio Volume C = Kapasitas

  Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas dinyatakan dalam smp/jam. DS digunakan untuk analisa perilaku lalu-lintas pada suatu ruas jalan karena nilai DS dapat menunjukan bahwa kapasitas suatu ruas jalan masih mampu menampung volme lalu lintas yang ada atau tidak.