BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) 1. Pengertian Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) - SEPTI ARI SUBEKTI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) 1. Pengertian Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) Menurut Daradjat (1976) dalam bukunya Muhaimin (2004:

  292), bahwa perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) umur 0-12 tahun.

  Penanaman pendidikan agama yang diberikan kepada anak- anak harus menumbuhkan pengaruh yang kuat pada diri anak.

  Karakteristik anak-anak masih meniru tingkah laku orang-orang dewasa dan pendidikan yang diberikannya. Tempat sosialisasi yang baik sangat tepat untuk kehidupan anak-anak. TPQ menjadi salah satu tempat yang baik dalam upaya mengembangkan daya pikir anak terhadap adanya Tuhan.

  Menurut As’ad Humam, Taman Pendidikan Al-Qur;an (TPQ) adalah lembaga pendidikan dan pengajaran al- Qur’an untuk anak usia

  SD ( 7-12 tahun). ( Humam , 1995). Namun dalam kenyataan yang ada saat ini umur di bawah 7 tahun ada yang mengikuti TPQ. Kepedulian orang tua yang tinggi dalam proses mendidik anak untuk menjadi

  8 manusia yang mempunyai tujuan hidup yang jelas dengan mengenal Tuhannya sejak dini.

  TPQ merupakan salah satu lembaga non formal yang keberadaannya masih tetap dibutuhkan oleh orang tua dan anak-anak.

  TPQ mengajarkan bagaimana cara mengenal Tuhannya dengan mempelajari al- Qur’an sebagai kitab-Nya?.

  Potensi TPQ banyak terdapat di wilayah nusantara. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah unit TPQ yang ada di Indonesia.

  Tabel 1.1 Jumlah TPQ di Indonesia

  NO. NAMA UNIT JUMLAH

  1. TKQ 15756

  2. TPQ 111685

  TOTAL 127441 (info dari Dr. Undang Sumantri, Direktorat PD Pontren Dep.

  Agama RI, 9-01-07) Penyebarannya merata hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat TKQ maupun TPQ. Kedua unit tersebut sama jenis pengajarannya hanya beda penamaannya saja. Pengajaran utamanya dalam TKQ maupun TPQ adalah mencintai al-

  Qur’an. Taman Pendidikan al-

  Qur’an (TPQ) adalah pendidikan untuk baca dan menulis al- Qur’an di kalangan anak-anak. (Mansur, 2009:

  

134). Anak-anak diajak untuk mengenal Tuhan dengan cara

  mempelajari al- Qur’an. Pengertian-pengertian tentang TPQ yang telah dikemukakan di atas mengandung pemahaman makna yang sama. Peneliti menyimpulkan bahwa Taman Pendidikan al-

  Qur’an (TPQ) adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan kepada anak-anak untuk menjadi manusia yang mencintai al-

  Qur’an dan berperilaku sesuai dengan ajaran al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tujuan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ)

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP Nomor 55 tahun 2007) tentang Pendidikan agama dan pendidikan Keagamaan dalam pasal 24 ayat 1, disebutkan bahwa : “Pendidikan al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan al- Qur’an.

  TPQ merupakan salah satu lembaga yang menekankan pada aspek keagamaan. Al- Qur’an menjadi pedoman untuk mengenal

  Tuhannya sehingga anak-anak harus mampu membaca dan menulis al- Qur’an. Pengamalan kandungan al-Qur’an dilaksanakan setelah mampu membaca dan menulis al-

  Qur’an. Tujuan yang disebutkan pada Peraturan Pemerintah sangat tepat karena tahapan-tahapan dalam mempelajari al-

  Qur’an sesuai dengan pola pikir anak-anak. Berawal dari cara membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan al- Qur’an. Tujuan TPQ yang sederhana itu mampu membawa dampak yang besar terhadap masa depannya. Pembentukan generasi yang baik harus disiapkan sejak anak-anak. Orang tua maupun pendidik harus mampu menyiapkan pendidikan agama yang baik sehingga hasilnya bisa dilihat di masa depan anak tersebut.

  Di dalam buku Petunjuk Teknis dan Pedoman Pembinaan TK/ TPQ (Kanwil Depag Jatim, 1993) dinyatakan bahwa tujuan pendidikan di TK/ TPQ adalah “Menyiapkan anak didiknya agar menjadi generasi muslim yang q ur’ani yaitu generasi yang mencintai al-Qur’an, menjadikan al-

  Qur’an sebagai bacaan dan sekaligus pandangan hidupnya sehari-hari.

  Selain itu tujuan Taman Pendidikan al- Qur’an adalah memberantas buta huruf al-

  Qur’an di kalangan masyarakat. Anak-anak menjadi dekat dengan al- Qur’an sehingga menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup sehari-hari begitu juga kepribadiannya berpedoman pada al-

  Qur’an. Anak-anak yang berkepribadian seperti apa yang ada di dalam al- Qur’an itulah yang dinamakan kepribadian muslim.

  Tujuan pengajaran merupakan salah satu aspek dalam pendidikan yang harus diperhatikan, karena pendidikan akan dikatakan berhasil apabila tujuan tersebut dapat tercapai atau paling tidak mendekati target yang ditentukan. (Mansur, 2009: 134).

  Ada tujuan yang hendak dicapai maka diperlukan adanya target operasional sehingga dalam pelaksanaannya tetap berpegang pada tujuan TPQ. Target operasionalnya meliputi:

  a. Target jangka pendek (1-2 tahun), yaitu anak dapat membaca al- Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid; anak dapat melakukan shalat dengan baik; dan anak hafal beberapa surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa sehari- hari.

  b. Target jangka panjang (3-4 tahun), yaitu anak dapat mengkhatamkan al- Qur’an 30 juz; anak mampu mempraktekkan lagu-lagu dasar Qiro’ati; dan anak mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi teman segenerasi.

  (Muhaimin, 2004: 300) Target dan tujuan harus berjalan seimbang. Kemampuan membaca al-

  Qur’an dengan baik dan benar merupakan target dan sekaligus merupakan tujuan pokok dan perdana yang harus dicapai dan sekaligus dimiliki oleh setiap santri. ( Mansur, 2009: 135)

  Ada beberapa tujuan TPQ yang disebutkan di atas menjadi acuan untuk melaksanakan target-target dalam upaya mencapai tujuan TPQ tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa tujuan dari adanya Taman Pendidikan al-

  Qur’an (TPQ) adalah mengajarkan pendidikan al- Qur’an kepada anak-anak yang diharapkan anak mampu membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan al- Qur’an sehingga terbentuk generasi qur’ani (generasi yang cinta al-Qur’an).

3. Strategi pembelajaran atau penanaman nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak di TPQ

  Adanya tujuan-tujuan TPQ serta target-target yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, nampak bahwa pendidikan anak di TKA/TPQ lebih banyak berorientasi pada pembinaan dan pengembangan kognitif (hafalan surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa sehari-hari) dan psikomotorik (cara/keterampilan melaksanakan ajaran agama secara formal, keterampilan membaca al- Qur’an, mempraktekkan lagu-lagu islami). Sedangkan pembinaan dan pengembangan afektif atau sikap, jiwa, dan cita rasa beragama belum banyak ditonjolkan. Memang dalam target jangka panjang disebutkan bahwa anak mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi teman segenerasi. Tetapi pengertian teladan di situ mungkin lebih menonjolkan pada keteladanan dalam konteks aspek kognitif dan psikomotoriknya.

  Idealnya pembinaan keagamaan pada anak-anak di TKA/ TPQ menonjolkan kedua-duanya secara terpadu, yaitu pembinaan aspek kognitif-psikomotorik dan aspek afektifnya.

  Bagaimana strategi pembelajaran atau pendidikan nilai-nilai (sikap, jiwa, dan cita rasa beragama Islam dalam pendidikan anak di TKA/TPQ? Menurut Muhadjir (1989) dan Muhaimin, dkk (1996) membagi strategi pembentukan nilai ke dalam empat macam, yaitu: a. Strategi indoktrinasi/ memberitahukan kepada anak nilai mana yang baik dan mana yang buruk b. Strategi bebas, yakni anak dibiarkan untuk memilih sendiri mana nilai yang akan dianut/ diyakini c. Strategi klarifikasi, yakni pendidik membantu anak untuk memilih nilai-nilai etik-religius yang diyakininya sebagai baik, bukan memberitahukan nilai mana yang baik

  d. Strategi transinternalisasi, dimana anak diajak mengenal nilai etik- religius yang digunakan dari zaman ke zaman oleh umat manusia, anak dibawa untuk menghayatinya, selanjutnya menjadikan nilai itu miliknya melalui proses transinternalisasi. (Muhaimin, 2004: 302)

  Berdasarkan pola pikir anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan belum memiliki banyak pengalaman, sebaiknya strategi pembelajaran atau pendidikan nilai-nilai (sikap, jiwa, dan cita rasa) keagamaan dalam pendidikan anak di TKA/ TPQ menggunakan strategi keteladanan dan transinternalisasi.

  Ajaran agama yang diberikan pada anak bukan pengajaran dan pemberian pengertian yang muluk-muluk, karena kemampuan/ kesanggupan anak dalam perbendaharaan bahasa atau kata-kata, di samping itu anak-anak masih belum bisa berpikir abstrak. Sesuai dengan karakteristiknya, maka pendidikan keagamaan pada anak lebih bersifat teladan atau peragaan hidup secara riil. Karena anak belajar dengan cara melihat, mendengar, meniru-niru, menyesuaikan dan mengintegrasi diri dalam suatu suasana. Karena itu keteladanan pendidik yang diikuti dengan latihan-latihan keagamaan dan pembiasaannya oleh anak-anak akan lebih meresap dalam jiwanya. (Muhaimin, 2004: 302)

  Peneliti melihat perkembangan TPQ saat ini terus mengalami peningkatan. Pengajaran yang diberikan di TPQ tidak hanya sekedar belajar ilmu pengetahuan di kelas. Namun permainan yang positif dan mampu menumbuhkembangkan daya kreatifitas santri dan mengakrabkan hubungan dengan sesama telah menjadi bagian pengajaran yang harus diperhatikan.

  Pada zaman modern, kekreatifan pendidik dituntut untuk memunculkan kegiatan-kegiatan TPQ yang menarik bagi anak-anak.

  Kegiatan TPQ bisa dikemas dalam bentuk yang menarik seperti permainan yang postif tanpa meninggalkan nilai etik religius. Anak- anak diharapkan mampu mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keteladanan. Peneliti setuju dengan strategi pembentukan nilai menggunakan keteladanan dan integrasi.

4. Faktor yang mempengaruhi anak mengikuti Taman Pendidikan Al- Qur’an (TPQ)

  Keikutsertaan mengikuti TPQ ada beberapa faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. (Mansur, 2011: 136-137)

  • Faktor intern adalah kepribadian dan faktor pembawaan.

  Secara psikologis pada dasarnya setiap anak telah mempunyai fitrah (bawaan) keimanan atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah itulah yang mempengaruhi anak- anak untuk mengikuti TPQ sebagai salah satu cara ingin tahu anak tentang Tuhannya yaitu Tuhan Yang Mah Esa.

  • Faktor ektern terdiri atas faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.

  Fitrah (bawaan) keimanan yang ada pada diri setiap anak

  tidak akan bisa berkembang sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang ada dalam al- Qur’an dan sunah Rasul ( Muhammad saw.) tanpa peran dari kedua orang tua/ pendidikan yang memberikan pedoman dan petunjuk kepada anak.

  Faktor intern dan faktor ekstern yang telah diuraikan di atas merupakan faktor yang ada pada diri anak sehingga anak mengikuti TPQ. Karakteristik anak masih alami sehingga seorang anak menjadi baik ataupun buruk tergantung pendidikan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat.

  Hal ini sesuai dengan pendapat John Locke, yang terkenal dengan teori tab ularasa “bahwa anak itu bagaikan sehelai kertas putih” ini bisa berarti apapun isi dan tulisan pada kertas tersebut tergantung orang yang menggoreskan pena pada kertas tersebut.

  Artinya perkembangan anak dalam pendidikan tergantung bagaimana orang tua/ lingkungan/ pendidikan yang memberikan kepadanya. (Sutrisna Sumadi dan Rafi’udin, 2007: 58)

  Teori mengenai fitrah manusia telah ada pada hadits Rasulullah saw. Beliau bersabda:

  َ"َ: َ: َ لَّ إٍَدو ل و مَ ن م ا مَ َ ه للاَ لو س رَ لا ق َ لا قَ، ه ن عَ ه للاَ ي ض رَ ة ر ي ر هَا ب أَ ن أ َ ه نا سِّج م يَ و أَ، ه نا رِّص ن يَ و أَ ه نا دِّو ه يَ ها و ب أ فَ، ة ر ط ف لاَى ل عَ د لو ي

“Dari Abu Hurairah ra. berkata, bersabda Nabi saw : Tidak ada

seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka

kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anaknya Yahudi,

Nasrani, atau Majusi (HR. Muttafaqun ‘alaih)

  Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan anak-anak di TPQ maka peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan di TPQ didorong oleh faktor intern yang berupa kepribadian dan pembawaan yang memang telah ada sejak anak lahir untuk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, ada pula faktor ektern yang datang dari orang tua, lingkungan , masyarakat yang menginginkan dan peduli terhadap anak-anak agar menjadi generasi yang soleh dan solehah mempunyai kepribadian muslim.

5. Peran Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ)

  Istiah Peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) berarti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.

  8 Agustus 2016 pukul 05.27 WIB)

  Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam kehidupannya. Seorang siswa berperan sebagai anak didik di sekolah, seorang anak berperan sebagai anak dalam keluarga, dan lain sebagainya. Selama orang tersebut berinteraksi dengan orang lain pasti mempunyai peran satu sama lain.

  Pengertian peran kini bisa diaplikasikan dalam suatu lembaga. Peran suatu lembaga memiliki arti perangkat tingkah atau tindakan yang diharapkan dimiliki oleh lembaga yang ada dalam masyarakat.

  Setiap lembaga pasti mempunyai peran dalam masyarakat sebagai upaya mencapai tujuan lembaga tersebut. Adanya lembaga juga menjadi tempat masyarakat dalam menyelesaikan problema yang dihadapi. Begitupun adanya TPQ, dalam pelaksanaannya memiliki peran dalam membantu masyarakat khususnya anak-anak belajar mulai membaca sampai mengamalkan al-

  Qur’an. Lembaga Pembinaan TPQ memiliki peranan sebagai berikut :

a. Memfasilitasi dalam pembelajaran al- Qur’an.

  b. Mengontrol dan memonitoring secara periodik perkembangan pendidikan al- Qur’an.

  c. Melakukan pembinaan secara menyeluruh dan berkelanjutan kepada unit-unit tertentu.

  d. Melakukan koordinasi secara intensif dengan instansi-instansi terkait baik instansi horizontal maupun vertikal. (Depag RI, 2009: 8)

  Berdasarkan uraian di atas, peran TPQ mampu membantu membimbing anak-anak belajar tentang al- Qur’an dan cara mengamalkannya.

B. Perkembangan kepribadian

  Menurut Sjarkawi (2006: 22) perkembangan pribadi itu berlangsung melalui tiga fase sebagai berikut:

  1. Mulai perkembangan itu sampai dengan sekitar usia lima tahunan, merupakan fase yang banyak berkaitan dengan kewibawaan dan kekuasaan. Pada fase ini inti dari penghargaan diri dan sikap mengenai aturan yang diterjemahkan dalam bentuk gambaran diri adalah diarahkan kepada apa yang diharapkan oleh tokoh-tokoh terdekat yang menguasainya.

  2. Masa anak-anak dan masa remaja, merupakan masa yang sebagian besar diarahkan pada persoalan hubungan dengan teman sebayanya.

  Pada masa ini mereka mengembangkan penghargaannya terhadap orang lain serta menaruh perhatian terhadap perilaku jujur, keadilan, dan sikap bersedia membalas jasa orang lain. Jika pada fase pertama anak pada dasarnya lebih peduli terhadap gambaran dirinya sendiri sebagaimana diarahkan oleh ortunya, maka pada fase kedua anak harus menyesuaikan gmbaran dirinya dengan rekan sebayanya.

  3. Fase orang mulai memasuki dunia kerja dan mulai berkeluarga.

  Persoalan-persoalan pada masa lalu (belajar bergaul dengan rekan sebaya dan dengan mereka yang berkuasa) berpadu dengan persoalan identitas diri. Pada masa ini seseorang menentukan corak kepribadian yang diharapkan dengan cara mengembangkan suatu “Pola Umum Gambaran Dirinya”, mereka mulai merintis tujuan hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuhnya dalam mengajar tujuan hidup yang dipilihnya.

  Kepribadian muslim pada anak seharusnya dimulai dari fase yang pertama. Penanaman nilai-nilai akhlak sangat membekas pada diri anak di usia sampai 5 tahun. Orang tua harus memperhatikan dan menekankan keteladanan agama pada anak. Anak yang telah terbiasa dengan keteladanan yang diberikan orang tua menjadikan anak tidak kaget dengan ajaran agama yang diajarkan di sekolah.

  Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perkembangan kepribadian secara umum maka peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian seseorang itu bermacam-macam tingkatannya. Kepribadian yang utuh dapat dibentuk dengan tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan tingkat usia seseorang. Pada masa anak-anak, kepribadian yang ada pada diri mereka lebih mengarah pada hubungannya dengan teman sebaya. Sehingga adanya TPQ menjadi salah satu wadah untuk bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan anak-anak akan hubungannya dengan teman sebaya. Mereka dipertemukan satu sama lain dan diarahkan untuk membentuk manusia yang mengenal agama, mematuhi aturan-aturan Illahi yang tercantum dalam al- Qur’an.

C. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Kepribadian dalam bahasa Inggris disebut dengan personality.

  Akar kata personality berasal dari bahasa Latin persona yang berarti “ Topeng” yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara.

  (Hartati dkk, 2005: 117) Arti kata kepribadian tersebut masih sederhana dan hanya diartikan sebagai topeng. Para ahli menjelaskan lebih rincinya lagi mengenai makna dari kepribadian itu sendiri. Kemajuan zaman memunculkan banyak ahli-ahli psikologi sehingga pendapat mengenai kepribadian pun banyak didefinisikan. Kepribadian berhubungan dengan sifat dan tingkah laku manusia. Pandangan mengenai makna dari kepribadian bersifat subjektif namun ada beberapa unsure yang sama mengenai definisi kepribadian menurut beberapa ahli. Kita bisa melihat pendapat-pendapat tersebut dalam banyak literature.

  Istilah “kepribadian” sering dijumpai dalam beberapa literature dengan berbagai ragam makna dan pendekatan. Sebagian Psikolog ada yang menyebutnya: (1) personality (kepribadian) sendiri, sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan The Psycology of Personality atau Theory of

  Personality;

  (2) character (watak atau perangai, sedang ilmu yang membicarakannya disebut dengan The Psychology of Character, atau Characterology;

  (3) type (tipe), sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan

  Typologi. Ketiga istilah tersebut yang dipakai adalah istilah

  kepribadian. Selain ruang lingkupnya jelas, istilah kepribadian juga mencerminkan konsep keunikan diri seseorang. (Hartati dkk, 2005: 118) Para ahli masih menggunakan beberapa istilah yang berbeda dalam menyebutkan kepribadian. Hal tersebut terjadi karena masing-masing ahli melihat kepribadian seseorang yang berbeda-beda. Ada yang melihat hanya dari ucapan atau tingkah laku. Namun ada juga yang melihat dari kedua aspek tersebut yaitu ucapan dan tingkah laku.

  Peneliti menganalisis pendapat para ahli mengenai istilah kepribadian yang sesuai makna dengan sifat-sifat yang ada pada diri anak. Adapun beberapa definisi istilah kepribadian menurut para ahli adalah sebagai berikut :

  Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.

  Kepribadian adalah integrasi antara id, ego, dan super ego. Id sebagai komponen kepribadian biologis; ego sebagai komponen kepribadian psikologis; dan super ego sebagai komponen kepribadian sosiologis. (Hartati dkk, 2005:121)

  Pada diri manusia sejak dilahirkan terdapat unsur-unsur yang menjadikan dirinya sebagai manusia. Sejak anak dilahirkan sudah mulai memiliki kepribadian. Bayi yang baru lahir akan menangis jika merasa lapar, haus, dan tidak nyaman. Hal tersebut menunjukkan bahwa bayi itu sudah mempunyai kepribadian biologis. Bayi akan berhenti menangisnya jika sudah dipeluk oleh ibunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bayi itu sudah mempunyai kepribadian psikologis. Bayi akan merasa tenang jika ada orang-orang disekitarnya. Jiwa sosialnya sudah muncul pada bayi bahwa ia butuh orang lain namun belum mampu berbicara hanya ditunjukkan dengan ekpresi menangis.

  Semakin bertambah usianya, unsur-unsur kepribadian yang terdiri dari Id, ego, super ego semakin berkembang. Tidak sesederhana saat bayi baru lahir. Apalagi anak yang sudah mengenal lingkungan masyarakat maka akan terlihat dengan jelas kepribadiannya tersebut.

  Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Raymond Bernard Kettel.

  Kepribadian adalah sesuatu yang memungkinkan prediksi tentang apa yang akan dikerjakan seseorang dalam situasi tertentu. Kepribadian mencakup semua tingkah laku individu baik yang terbuka (lahiriah) maupun yang tersembunyi (batiniah). (Hartati dkk, 2005: 122) Pada definisi kepribadian menurut Raymond Bernard Kettel, peneliti menganalisis bahwa pengamat kepribadian orang lain hanya mampu memprediksi terhadap sifat yang akan dimunculkan oleh seseorang atau tingkah laku yang akan dilakukan oleh seseorang.

  Pengamatan tersebut tidak semuanya mampu dilihat karena kita tidak bisa mengendalikan dan mengatur kepribadian orang lain. Kita hanya mampu memprediksikan kepribadian yang terlihat saja.

  Selain itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain. Pukul 05.27 WIB). Kepribadian tiap orang pasti berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan pengalaman yang didapat setiap orang tidaklah sama. Namun kepribadian tersebut bisa diubah jika ada keinginan yang kuat pada seseorang. Jika dalam diri telah ada kepribadian yang baik maka menjaganya itu lebih baik. Sedangkan, kepribadian buruk yang terdapat pada seseorang harus diubah dengan belajar dari orang-orang yang berkepribadian baik.

2. Faktor-Faktor yang Membentuk Kepribadian

  Hakikat manusia menjadi dasar studi dalam menentukan faktor- faktor yang membentuk kepribadian. Ada tiga aliran yang masing- masing menentukan kepribadian manusia di antaranya : a.

   Aliran Empirisme

  Aliran ini menyatakan bahwa faktor utama pembentukan kepribadian adalah lingkungan. Lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor aliran ini yaitu John Locke ( 1632- 1704) yang merupakan salah satu filosof berkebangsaan Inggris.

  (Hartati, 2005: 171) John Locke berpendapat bahwa manusia yang baru lahir bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki. Bayi yang lahir memiliki kecenderungan yang sama dengan bayi yang lain. Semua bayi yang lahir selalu dalam keadaan alami yang ditandai dengan menangis apabila merasa lapar, haus, dan sakit. Perbedaan kepribadian yang tampak disebabkan oleh pengaruh lingkungan dalam proses kehidupannya.

  b.

   Aliran Nativisme

  Aliran ini menyatakan bahwa faktor utama pembentukan kepribadian adalah sifat bawaan, keturunan sebagai penentu tingkah laku seseorang.

  Aliran Nativisme memandang hereditas ( heredity ) sebagai penentu kepribadian. Hereditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawa atau dipindahkan dari orang tua ke anak keturunannya. Aliran ini dipelopori oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860) seorang psikolog berkebangsaan Jerman. (Hartati, 2005: 174-177) c.

   Aliran Konvergensi

  Aliran konvergensi adalah aliran yang menggabungkan dua aliran di atas. Kepribadian manusia ditentukan oleh sifat bawaan dan lingkungan. Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871- 1938) dan Adler.

  Menurut aliran ini, penentuan kepribadian seseorang ditentukan oleh kerja yang integral antara faktor internal (potensi bawaan) maupun potensi eksternal (lingkungan). (Hartati, 2005: 178) D.

   Kepribadian Muslim 1. Pengertian Kepribadian Muslim

  Istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal dengan term al-syakhshiyah. Syakhsiyah berasal dari kata

  syakhsh

  yang berarti “pribadi”. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (

  masdar shina’iy) syakhshiyah yang berarti “kepribadian”.

  Pada khazanah klasik abad pertengahan, kata syakhshiyah kurang begitu dikenal dalam literature keislaman. Ada beberapa alasan term syakhshiyah kurang dikenal: (1) dalam al-

  Qur’an maupun al- Sunnah tidak ditemukan term syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhsy yang berarti pribadi (person), bukan kepribadian (personality); (2) dalam khazanah Islam klasik, para filsuf maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat al-

  Qur’an dan hadits Rasul; (3) term syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai fundamental Islam untuk mengungkap suatu fenomena atau perilaku batinah manusia. Term syakhshiyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih pada deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlaq lebih menekankan pada aspek penilainnya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyah merupakan akhlak yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlak merupakan syakhshiyah yang dievaluasi.

  Term telah banyak digunakan untuk

  syakhshiyah

  menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan

syakhshiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam.

  Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan padanan dari personality.

  Yusuf Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian.

  Pertama, istilah al-syakhshiyah al-iniyah atau al-syakhshiyah al-

zatiyah untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari

  perspektif diri sendiri; Kedua, istilah al-syakhshiyah al-

  mudhu’iyah atau al-syakhshiyah al-khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang lain, sebab kepribadian individu menjadi objek (

  maudhu’) penggambaran. (Hartati, 2005: 124-125)

  Peneliti menyimpulkan bahwa kata “kepribadian” lebih umum maknanya dibanding akhlak. Jika akhlak telah jelas nilai baik buruknya dan Islam menggunakan kata akhlak dalam menggambarkan kepribadian seseorang. Namun mayoritas masyarakat mengartikan kepribadian dalam bahasa Indonesia dan akhlak dalam bahasa Arab. Hal tersebut sependapat dengan Muhammad ‘Imad Al-Din Ismail, beliau berpendapat bahwa terminology akhlak dan syakhshiyah dalam literature klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu.

  Pada literature modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna. Akhlak merupakan usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada perilaku pribadi dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia

  • –rendah. Sementara syakhshiyah tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab didalamnya tidak ada unsure-unsur evaluasi. (Hartati, 2005: 128)

  Akhlak lebih khusus daripada kepribadian. Perbedaan pendapat yang begitu beragam tersebut, pada intinya akhlak dan kepribadian memiliki akar makna yang sama. Sifat dan sikap seseorang yang berbeda-beda sehingga menjadi ciri khas orang tersebut.

  Jalaluddin (2003: 196) menyatakan bahwa Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkah laku, serta kemampuan intelektual yang dimilikinya. Islam memandang setiap manusia memiliki potensi yang berbeda, hingga kepada setiap orang dituntut untuk menunaikan perintah agamanya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing yaitu yang terdapat dalam Qs. Al- An’am (6): 152.

  Islam telah mengatur kepribadian yang semestinya dimiliki oleh manusia. Manusia diberi pengajaran tentang kepribadian yang baik. Adapun kepribadian yang buruk harus ditinggalkan, jangan sampai dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai kemampuannya. Hal tersebut sama kaitannya dengan beribadah. Kebebasan yang dilakukan manusia ada batasannya. Jika manusia melampaui batas maka akan berakibat buruk terjadi pada dirinya. Manusia harus mampu menempatkan dirinya di lingkungan masyarakat sebagai sosok yang memiliki kepribadian seorang muslim.

  Kepribadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang memiliki akhlak mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tin gkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan “Orang mukmin yang paling sempurna imannya, adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya (Hadits). Pencapaian tingkat akhlak yang mulia merupakan tujuan pembentukan kepribadian muslim. (Jalaluddin, 2003: 198)

  Penjelasan dalam bukunya Jalaluddin tersebut sepaham dengan

  

aliran nativisme. Aliran yang mengatakan bahwa lingkunganlah yang

  membentuk kepribadian seseorang. Jika lingkungannya baik maka kepribadian seseorang pun akan baik namun manusia yang berada pada lingkungan yang tidak baik akan terpengaruh oleh lingkungannya tersebut.

  Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian seseorang meliputi ciri khas seseorang dalam bersikap, pengalaman individu yang berbeda-beda, sehingga membentuk kepribadian yang muslim bisa dibentuk melalui pendidikan islam yang diajarkan sejak masa anak-anak melalui orang tua, TPQ, dan lingkungan masyarakat pastinya harus memberi teladan yang baik bagi anak-anak. Karena sifat anak itu meniru orang-orang yang dilihatnya. Anak-anak belum mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga harus diarahkan melalui pendidikan Islam.

2. Proses Membentuk Kepribadian Muslim

  Berbicara mengenai proses membentuk kepribadian muslim, kita harus memahami kepribadian muslim yang sesuai dengan perintah Allah SWT. Ada aspek-aspek yang memang harus diperhatikan dalam upaya membentuk kepribadian muslim.

  Pada dasarnya muslim harus meneladani sifat-sifat yang ada pada diri Rasulullah saw itulah kepribadian muslim. Hal tersebut telah disebutkan dalam firman Allah QS. Al-Ahzab (33) : 21

  

َ م و ي لا وَ ه للاَو ج ر يَ نا كَ ن م لٌَة ن س حٌَة و س أَ ه للاَ لو س رَي فَ م ك لَ نا كَ د ق ل

( ) َ ۲۱ اًري ث كَ ه للاَ ر ك ذ وَ ر خلآا

  Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri

  teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.21

  Pembentukan kepribadian muslim tidak secara langsung dapat dilihat saat itu juga, namun perlu adanya tahapan-tahapan dalam upaya menuju kepribadian muslim. Pemahaman dan pengembangan pribadi merupakan proses dari pembentukan kepribadian muslim. Kita harus memahami diri sendiri. Jika masih kecil maka paling tidak kita tahu nama, orang tua, dan tempat tinggal. Setelah mengetahui identitas diri walaupun hanya sebatas nama saja, tahapan selanjutnya yaitu mengembangkan pribadi. Maksudnya potensi-potensi yang ada dalam diri kita kembangkan melalui sosialisasi di lingkungan masyarakat.

  Tempat sosialisasi pun perlu diperhatikan terhadap nilai-nilai yang diajarkan pada tempat tersebut. Bagi seorang anak, tempat sosialisasi yang baik dan sesuai dengan kondisi anak di antaranya sekolah, pesantren, TK, TPQ. Orang tua perlu mengikutsertakan anak pada tempat sosialisasi yang baik.

  Peneliti memahami bahwa pembentukan kepribadian muslim melalui suatu proses. Metode pemahaman dan pengembangan pribadi bisa dijadikan salah satu proses membentuk kepribadian muslim. Dalam bukunya Hanna Djumhana Bastaman( 2011: 126-127), Ada macam- macam metode pemahaman dan pengembangan pribadi , antara lain adalah : a. Pembiasaan: melakukan suatu perbuatan atau keterampilan tertentu terus-menerus secara konsisten untuk waktu yang cukup lama, sehingga perbuatan dan keterampilan itu benar-benar dikuasai dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Dalam psikologi proses pembiasaan disebut

  conditioning. Proses ini akan menjelmakan kebiasaan (habit) dan kebisaan (ability), akhirnya akan menjadi sifat-sifat pribadi

  (personality traits) yang terperangai dalam perilaku sehari-hari.

  b. Peneladanan: mencontoh pemikiran, sikap, sifat-sifat, dan perilaku dari orang-orang yang dkagumi untuk kemudian mengambilalihnya sebagai sikap, sifat, dan perilaku pribadi. Ada dua ragam bentuk penteladanan yaitu peniruan (imitation) dan identifikasi diri (self-

  identification ). Peniruan adalah usaha untuk menampilkan diri dan

  berlaku seperti penampilan dan perilaku orang yang dikagumi (idola), sedangkan identifikasi diri adalah mengambil alih nilai- nilai (values) dari tokoh-tokoh yang dikagumi untuk kemudian dijadikan nilai-nilai pribadi (personal values ) yang berfungsi sebagai pedoman dan arah pengembangan diri.

  c. Pemahaman, penghayatan, dan penerapan: secara sadar berusaha untuk mempelajari dan memahami benar hal-hal (nilai-nilai, asas- asas, dan perilaku) yang dianggap baik dan bermakna, kemudian berusaha untuk mendalami dan menjiwainya, lalu mencoba menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

  d. Ibadah: ibadah khusus seperti: shalat, puasa, dzikir, dan ibadah dalam artian umum, yakni berbuat kebajikan dengan niat semata- mata karena Allah, secara sadar ataupun tidak disadari akan mengembangkan kualitas-kualitas terpuji pada mereka yang melaksanakannya. Sebagai contoh adalah ibadah salat dan dzikir.

  Keempat metode tersebut masing-masing dapat dilaksanakan sendiri maupun kelompok, itulah yang dinamakan “Menuju Kepribadian Muslim”. Maknanya pun sama dengan “membentuk Kepribadian Muslim”. Sehingga ruang lingkup yang diajarkan kepada anak dalam pembelajaran di Taman Pendidikan al-

  Qur’an bisa mengacu pada keempat metode di atas. Sebagai aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam membentuk kepribadian muslim. Hal itu tentu harus dimulai sejak masa anak-anak karena pola pikir anak masih sangat dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya.

  Selain itu, dalam bukunya Jamaluddin Mahfudz ( 2007: 113) mengatakan bahwa inti seseorang mempunyai kepribadian muslim yaitu

a. Menyerahkan Diri kepada Allah

  Islam sendiri berasal dari bahasa arab yaitu salama-yaslimu- tasliman yang artinya berserah diri.

  Implikasi dari pengakuan diri sebagai seorang muslim adalah dengan menyerahkan diri sepenuhnya terhadap perintah Allah SWT. Cara mengaplikasikan bentuk penyerahan diri terhadap Allah dengan beriman kepada keesaan Allah dan tercermin dalam kepribadian sehari-hari dalam kehidupan seorang muslim. Semua kepribadiannya harus dilandasi oleh perintah dari Allah yang tercantum dalam kitab Al-

  Qur’an dan terdapat pada kehidupan Rasulullah saw yang dijadikan sebagai uswatun hasanah (contoh yang baik).

  Kehidupan yang dijalani oleh Rasulullah saw adalah bentuk nyata bahwa kehidupan yang beliau jalani hanya semata karena perintah dari Allah SWT. Segala yang beliau lakukan di dunia ini dalam rangka beribadah kepada Allah. Hal itu bisa kita lihat dalam firman Allah SWT, Qs. Al- An’am (6) :162-163

  َلَّ ) ۱۶۲ ( َ ني م لا ع لاَِّب رَ ه ل لَي تا م م وَ يا ي ح م وَي ك س ن وَي تلا صَ ن إَ ل ق )َ ۱۶۱ ( َ ني م ل س م لاَ ل و أَا ن أ وَ ت ر م أَ ك ل ذ ب وَ ه لَ كي ر ش

  Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

  (162). Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (163) .

b. Mampu menjaga kesimbangan dalam kepribadian

  Islam menganjurkan penyatuan antara kebutuhan jasmani dan rohani secara adil, sehingga tercipta keseimbangan antar kebutuhan jasmani dan rohani dalam diri manusia. ( Muhammad Utsman Najati, 2008: 285)

  Manusia memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani manusia antara lain makan, minum, tidur, olahraga, membutuhkan pakaian dan lain-lain. Kebutuhan rohani manusia antara lain berupa rasa ketenangan, kebebasan, keamanan, keyakinan dalam hidup. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani manusia haruslah seimbang.

  Menjaga kesehatan badan merupakan salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani manusia yang adil.

  Pribadi muslim harus menjaga kesehatan badan dalam upaya untuk mendukung terlaksananya ibadah kepada Allah SWT. Misal jika orang yang sakit pasti tidak tenang dalam melaksanakan ibadah salat.

  Kesehatan badan yang harus dijaga antara lain: 1) Kesucian dan kebersihan

  Allah telah memerintahkan kita agar selalu menjaga kebersihan dan kesucian sebagaiman yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah :

  6

  

َ م ك هو ج وَاو ل س غا فَ ةلا صلاَى ل إَ م ت م قَا ذ إَاو ن مآَ ني ذ لاَا هُّ ي أَا ي

َى ل إَ م ك ل ج ر أ وَ م ك سو ء ر بَ او ح س ما وَ ق فا ر م لاَ ى ل إَ م ك ي د ي أ و

ٍَر ف سَى ل عَ و أَى ض ر مَ م ت ن كَ ن إ وَاو ر ه طا فَاًب ن جَ م ت ن كَ ن إ وَ ن ي ب ع ك لا

َاو د ج تَ م ل فَ ءا سِّنلاَ م ت س ملََّ و أَ ط ئا غ لاَ ن مَ م ك ن مٌَد ح أَ ءا جَ و أ

  َ َا مَ ه ن م َ م كي د ي أ وَ م ك هو ج و بَاو ح س ما فَاًبِّي طَاًدي ع صَاو م م ي ت فًَءا م

َ م ت ي ل وَ م ك رِّه ط ي لَ دي ر يَ ن ك ل وَ ٍج ر حَ ن مَ م ك ي ل عَ ل ع ج ي لَ ه للاَ دي ر ي

( )

  ۶ َ نو ر ك ش تَ م ك ل ع لَ م ك ي ل عَ ه ت م ع ن

  Artinya:

  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

  

  Rasulullah saw juga bersabda tentang bersuci :

  نايمإلا نم ةفاظنلا Kebersihan adalah sebagian dari iman (HR. Muslim) Kebersihan diajarkan sejak dari masa anak-anak sehingga semakin dewasa sudah terlatih dan terbiasa untuk hidup bersih. Kebersihan yang diajarkan sejak kecil bisa berawal dari membersihkan diri sendiri selanjutnya membersihkan tempat tinggalnya dan dilanjutkan dengan membersihkan lingkungannya yang dikerjakan secara bersama-sama dengan masyarakat. 2) Menjaga diri dari penyakit

  Dalam bukunya M. Jamaluddin Mahfuzh (2001: 113), Mencegah lebih baik daripada mengobati. Hal itu dilakukan agar tidak menjalar ke lingkungan yang lebih luas. Rasulullah saw bersabda,

  “Waspadalah terhadap tiga orang yang terkutuk; orang

  yang buang air besar di sumber-sumber air, di tengah jalan,

dan di bawah naungan.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

  Al- Qur’an menjelaskan pentingnya keseimbangan dalam kepribadian sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Qashash (28):

  77

  َ را دلاَ ه للاَ كا تآَا مي فَ غ ت با و َا ي نُّدلاَ ن مَ ك بي ص نَ س ن تَلَّ وَ ة ر خلآا َلََّ ه للاَ ن إَ ض رلأاَي فَ دا س ف لاَ غ ب تَلَّ وَ ك ي ل إَ ه للاَ ن س ح أَا م كَ ن س ح أ و ( ) ۷۷ َ ني د س ف م لاَُّب ح ي

  Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah

  kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah

  kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs.

  Al-Qashash (28): 77) Ayat di atas menjelaskan bahwa kita harus menjadikan dunia ini sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan di akherat. Manusia tidak boleh egois hanya memenitingkan kehidupan akherat saja tetapi melupakan kehidupan di dunia.

  Hidup di dunia hanya beribadah mahdah ( khusus).

  Dalam ayat lain, al- Qur’an menggambarkan ketiga bentuk kepribadian manusia yaitu :

  1) Mukmin (terdapat pada Qs. Al-Baqarah (2): 2-5);

  ( ) َ ۲

َ نو ن م ؤ يَ ني ذ لا َ ني ق ت م ل لَ ىًد هَ هي فَ ب ي رَ لََّ با ت ك لاَ ك ل ذ

( )

  َ ۱ َ نو ق ف ن يَ م ها ن ق ز رَ ا م م وَ ةلا صلاَ نو مي ق ي وَ ب ي غ لا ب َ ني ذ لا و

َ م هَ ة ر خلآا ب وَ ك ل ب قَ ن مَ ل ز ن أَ ا م وَ ك ي ل إَ ل ز ن أَ ا م بَ نو ن م ؤ ي

( )

  َ ۴ َ نو ن قو ي َ م هَ ك ئ لو أ وَ م هِّب رَ ن مَ ىًد هَ ى ل عَ ك ئ لو أ ( ) ۵ َ نو ح ل ف م لا

  Artinya: Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya;

  petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (2). (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (3). Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (4).

  2) Kafir (terdapat pada Qs. al-Baqarah (2): 6-7),

  3) Munafik (terdapat pada Qs. al-Baqarah (2): 8-20). Masing- masing dijadikan nama surat dalam Al- Qur’an, yaitu Al-

  Mukminun, Al-Kafirun, dan Al-Munafiqun. (Muhammad )

  Ustman Najati, 2008: 289 Ciri-ciri orang mukmin yang digambarkan Al-

  Qur’an tercermin dalam keteladanan. Keteladanan itu mencakup kehidupan pribadi, rumah tangga, sosial, dan pekerjaannya. Mereka berpegang teguh pada akhlak mulia. Rasulullah sendiri telah mendidik dan berhasil mencetak generasi awal orang mukmin. Hal itu terbukti dengan adanya para sahabat Nabi saw yang menyerahkan harta dan jiwa demi terwujudnya keselamatan orang- orang mukmin.