Hendrik Wibiyantoro Pamungkas BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Konsumen Perilaku konsumen bukanlah sekedar mengenai pembelian barang.

  Perilaku konsumen adalah suatu hal yang dinamis, yang mencakup suatu hubungan interaktif antara perilaku dan lingkungan. Perilaku konsumen juga melibatkan pertukaran antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing pihak memberi dan menerima sesuatu yang berharga (simamora, 2003).

  Menurut Engel et al (2006), perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam pemerolehan, pengonsumsian, dan penghabisan produk/jasa, termasuk proses yang mendahului dan menyusul tindakan ini. Menurut Mowen (2002), perilaku konsumen adalah studi unit-unit dan proses pembuatan keputusan yang terlibat dalam penerimaan, penggunaan dan pembelian, penentuan barang, jasa, dan ide. (Sciffman, 2000) mendifinisikan perilaku konsumen sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harap akan memuaskan kebutuhan mereka.

  Perilaku konsumen didefinisikan sebagai studi unit pembelian dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumi dan pembuatan barang, jasa, pengalaman, serta ide (Kotler, 2005). Perilaku konsumen sebagai suatu studi tentang unit pembelian bisa perseorangan, kelompok atau organisasi. Masing-masing unit tersebut akan membentuk pasar sehingga

  8 muncul pasar individu atau pasar konsumen, unit pembelian kelompok, dan pasar bisnis yang dibentuk organisasi.

  Menurut Griffin (2005), perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologi yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi.

  Menurut Etta dan Sopiah (2013), perilaku konsumen diartikan sebagai berikut :

  1. Disiplin ilmu yang mempelajari perilaku individu, kelompok, atau organisasi dan proses-proses yang digunakan konsumen unuk menyeleksi, menggunakan produk, pelayanan, pengalaman, (ide) untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, dan dampak dari proses-proses tersebut pada konsumen dan masyarakat.

  2. Tindakan yang dilakukan oleh konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhanya baik dalam penggunaan barang dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan yang menyusul.

  3. Tindakan atau perilaku yang dilakukan konsumen yang dimulai dengan merasakan adanya kebutuhan dan keinginan, kemudian berusaha mendapatkan produk yang diinginkan dan berakhir dengan tindakan- tindakan pasca pembelian, yaitu puas atau tidak puas.

2.1.1 Pengertian Keputusan Pembelian Konsumen.

  Menurut (Sciffman, 2000) mendifinisikan keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua pilihan alternatif atau lebih. Seorang konsumen yang hendak memilih harus memiliki pilihan alternatif.

  (Sciffman, 2000) mengemukakan empat macam perspektif model manusia (model of man). Model manusia yang dimaksud adalah suatu model tingkah laku keputusan dari seorang individu berdasarkan empat perspektif, yaitu manusia ekonomi (economic man), manusia pasif (passive man), manusia kognitif (cognitive man), dan manusia emosional (emotional man). Model manusia ini menggambarkan bagaiamana dan mengapa seorang individu berperilaku seperti apa yang mereka lakukan.

  1. Manusia Ekonomi Manusia dipandang sebagai seorang individu yang memutuskan secara rasional. Agar dapat berfikir secara rasional, seorang individu harus menyadari berbagai alternatif produk yang tersedia.

  2. Manusia Pasif Model ini menggambarkan manusia sebagai individu yang mempentingkan diri sendiri dan menerima berbagai macam promosi yang ditawarkan pemasar. Konsumen digambarkan sebagai pembeli yang irasional dan komplusif, yang siap menyerah pada usaha dan tujuan pemasar.

  3. Manusia Kognitif Model manusia kognitif menggambarkan konsumen sebagai individu yang berifikir untuk memcahkan masalah (a thinking

  problem solver ). Konsumen sering kali bisa pasif untuk menerima

  produk dan jasa apa adanya, tetapi sering kali juga sangat aktif untuk mencari alternatif produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasanya. Model berofokus pada proses konsumen untuk mencari dan mengevaluasi informasi dalam pemilihan merek dan toko eceran.

  4. Manusia Emosional Model manusia ini menggambarkan konsumen sebagai individu yang memiliki perasaan mendalam dan emosi yang mempengaruhi pembelian atau kepemilikan barang-barang tertentu. Perasaan seperti rasa senang, takut, cinta, khawatir fantasi, atau kenangan sangat mempengaruhi konsumen. Pembelian produk yang mempenuhi kebutuhan emosional adalah keputusan konsumen yang rasional. Emosi adalah suatu respons terhadap lingkungan tertentu, sedangkan suasana lebih pada suatu kondisi yang tidak berfokus, yang telah muncul sebelumnya ketika konsumen melihat iklan, lingkungan eceran, merek, atau produk.

2.1.2 Langkah-Langkah Keputusan Konsumen

  Menurut Etta dan Sopiah (2013) Keputusan pembelian atau mengkonsumsi suatu produk dengan merek tertentu akan diawali dengan langkah-langkah berikut:

  1. Pengenalan kebutuhhan Pengenalan kebutuhan muncul ketika konsumen menghadapi suatu masalah, yaiutu suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya terjadi.

  2. Waktu Konsumen yang terbiasa makan pagi pukul 06.00 secara otomatis akan merasa lapar lagi pada siang hari. Berlalunya waktu akan menyebabkan teraktifnya kebutuhan fisilogis seseorang. Waktu juga mendorong pengenalan kebutuhan lain yang diinginkan oleh konsumen. Usia lebih tua akan menyebabkan konsumen memiliki aspirasi dan nilai beda. Konsumen yang lebih tua mungkin akan lebih memperhatikan kesehatanya sehingga membutuhkan makanan- makanan yang sangat selektif agar terhindar dari berbagai penyakit.

  3. Kepemilikan Produk Kepemilikan Produk sebuah produk sering kali memicu kebutuhan yang lain. Seorang konsumen yang membeli mobil baru akan menyadari perlunya produk lain. Kebutuhan akan sampo mobil, lap kanebo, peralatan untuk membersihkan mobil, bahkan orang lain yang bisa membantunya mencuci dan membersihkan mobil.

  4. Konsumsi Produk Persediaan buah-buahan di kulkas sudah habis, konsumen akan terpicu untuk membeli lagi buah-buahan untuk kebutuhan konsumsinya. Habisnya persediaan kebutuhan mendorong konsumen untuk membeli lagi agar bisa tersedia untuk konsumsi berikutnya.

  5. Perbedaan Individu Konsumen membeli mobil baru karena mobil lamanya sering mogok. Kebutuhan mobil baru timbul karena konsumen merasakan keadaan yang sesunggunya, yaitu bahwa mobil lamanya tidak berfungsi dengan baik. Kebutuhan mobil baru muncul bukan karena mobil lama tidak berfungsi dengan baik, namun karena konsumen ingin selalu trendi, ingin memiliki mobil model terbaru, walaupun mobil lamanya baru seusia satu tahun dan masih berfungsi dengan baik.

  6. Pengaruh Pemasaran Produk baru muncul hampir setiap hari dan diiklankan atau dikomunikasikan melalui berbagai media oleh perusahaan pembuatnya. Program pemasaran tersebut akan mempengaruhi konsumen untuk menyadari kebutuhanya.

  7. Pencarian Informasi Pencarian informasi mulai dilakukan ketika konsumen memandang bahwa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dengan membeli dan mengkonsumsi suatu produk. Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan didalam ingatanya (pencarian internal) dan mencari informasi dari luar (pencarian eksternal). Konsumen akan mencari informasi tentang berbagai jenis barang yang dibutuhkan, banyaknya merek yang ada, harga, tempat pembelian, dan cara pembayaran yang sesuai.

  8. Pencarian Internal Langka pertama yang dilakukan konsumen adalah mengingat kembali semua informasi yang ada di dalam ingatan (memori).

  Informasi yang dicari meliputi berbagai produk dan merek yang dianggap bisa memecahkan berbagai produk dan merek yang dianggap bisa memecahkan masala atau memenuhi kebutuhanya.

2.1.3 Emotional Marketing

  Menurut Robinette (2001) dalam Susilo (2015) mengungkapkan definisi emotional marketing adalah teknik yang digunakan perusahaan dalam membangun hubungan berkelanjutan yang membuat pelanggan merasa dihargai. Emotional marketing mengarah ke strategi berbeda bahkan jarang ditiru dan memberikan keunggulan kompetitif yang kuat. Menurut Robinette (2001) dalam Susilo (2015) Emotional marketing dapat diukur menggunakan 5 aspek antara lain adalah:

  1. Money: Produk/jasa memiliki harga terjangkau dan ditawarkan dengan harga yang kompetitif. Produk memiliki promosi yang menarik.

  2. Product: Produk atau jasa menjawab kebutuhan masyarakat, produk memiliki fitur sesuai dan efektif menyelesaikan pekerjaan.

  3. Equity: Ekuitas adalah mengenai kepercayaan. Ketika sebuah merek memperoleh kepercayaan dari konsumennya, hal tersebut menjadi fondasi dimana hubungan dengan konsumen semakin berkembang hingga ke loyalitas. Identitas merek dan citra merek membantu membangun ekuitas.

  4. Experience: Berkaitan dengan interaksi pelanggan dengan merek.

  Sikap pelanggan dipengaruhi oleh kunjungan ke toko atau situs web, kontak karyawan, komunikasi, program loyalitas dan, penggunaan produk atau jasa itu sendiri. Hal ini menjadi kesempatan terbaik bagi merek untuk membuat kesan pada pelanggan setelah penjualan.

  5. Energy: Produk yang dibutuhkan dapat dengan mudah diakses, memudahkan masyarakat, memiliki harga tinggi, menawarkan kenyamanan dan keefektifan bagi pelanggan.

  Menurut Kertajaya (2003) emosi tidak bisa dipisahkan dari Perasaan atau feeling merupakan suatu yang sangat mendasar feeling. dalam banyak hal mempengruhi segala perilaku, hal ini disebabkan perasaan terkait dengan emosi. Emosi sangat mempengaruhi pemikiran seseorang, emosi membentuk perilaku dan mempengaruhi penilaian. Perusahaan harus memperhatikan emosi pelanggan dan berusaha mempengaruhi pelanggan sehingga mereka memiliki emosi yang positif. Emosi memiliki kekuatan dan sangat menentukan semua keputusan manusia, termasuk dalam memilih merek atau perusahaan dalam pengambilan keputusan pembelian.

  2.1.4 Store Environment

  Pada dasarnya, sebuah retailer mempunyai dua hal yang dapat ditawarkan kepada konsumen, yaitu produk dan cara menampilkan produk tersebut sehingga terlihat menarik. Cara menampilkan produk yang ditawarkan oleh toko itulah yang kemudian disebut sebagai Store

  Environment. Menurut Simamora (2003) Store environment yang baik

  adalah lingkungan toko yang dapat menghadirkan kenyamanan bagi para pengunjungnya serta mampu merangsang mereka untuk menghabiskan waktu dan berbelanja di toko tersebut. Store environment dapat dibagi menjadi dua elemen penting yaitu store theatrics dan store

  atmosphere.

  2.1.5 Store Theatrics Store theatric s merupakan suatu pameran atau pagelaran produk

  yang memicu konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Ritel bukan hanya sekadar menjual produk tetapi lebih merupakan suatu pameran atau pagelaran produk yang memicu konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Store theatric dapat menjadi senjata yang ampuh bagi kebanyakan peritel untuk mendapatkan competitive

  advantage yang mampu membedakan antara satu ritel dengan yang

  lainnya, (Simamora, 2003). Dengan melakukan sebuah pergelaran, maka akan menambah informasi untuk konsumen dan dapat memunculkan minat beli dari konsumen.

  Menurut Simamora (2003), store theatrics dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Decor themes (Tema dekorasi) Kebanyakan retailer menemukan fakta bahwa penggunaan satu atau beberapa tema dapat memberikan fokus mendesain dekor toko. Tema belanja adalah suatu alat yang berguna dalam menciptakan dekor toko secara eksternal dan internal sehingga dapat menarik perhatian kelima indra konsumen. Sebuah retailer tidaklah harus menggunakan satu tema yang sama untuk keseluruhan ruang toko, retailer dapat mengkombinasikan beberapa tema yang dianggap sesuai dengan target pasar yang dituju. Tema dekor dapat menjadikan sebuah toko menjadi lebih menarik dan lebih menghibur konsumen dalam berbelanja. Tema juga membantu retailer untuk mendapatkan perhatian pertama konsumen dan mempertahankan perhatian tersebut selama mereka berbelanja di dalam toko.

  2. Store events (Acara toko)

  Store events adalah peristiwa spesial, seperti display produk,

  acara hiburan, demonstrasi produk, program promosi, program kemanusian, atau perayaan. Peristiwa-peristiwa spesial ini diadakan oleh pihak manajemen toko untuk menarik pembeli potensial ke dalam toko dengan harapan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:

  a. Menciptakan awarness terhadap toko

  b. Menyediakan informasi kepada konsumen

  c. Membangun store image yang menguntungkan pihak retailer

  d. Meningkatkan frekuensi berkunjung konsumen

2.1.6 Store Atmosphere

  Untuk menciptakan atmosfer toko yang merangsang pembelian, sebuah retailer harus mampu membangkitkan niat atau keinginan untuk berbelanja dalam benak konsumen. Seorang yang punya prinsip hemat pun akan lebih menyukai atmosfer toko yang dapat merangsangnya untuk berbelanja. Menurut Simamora (2003) atmosfer toko adalah keseluruhan efek emosional yang diciptakan oleh atribut fisik toko.

  Pada umumnya, setiap orang akan lebih tertarik pada toko yang dapat menawarkan lingkungan berbelanja yang aman dan nyaman.

  Atmosfer toko adalah elemen lain dalam melengkapi toko. Setiap toko mempunyai penampilan dan tata letak fisik yang bisa mempersulit atau mempermudah orang bergerak, Kotler (2009).

  Sebuah retailer pasti akan berusaha mempengaruhi perasaan konsumen dengan menciptakan suatu atmosfer toko yang mendorong minat beli.

  “People are looking for somthing that will make it easier, more pleasant, more postife, an that’s what a mood has to evoke”. Atmosfer berbelanja yang menyenangkan adalah atmosfer dengan atribut yang dapat menarik kelima indra manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa, Simamora (2003).

  1. Sight Appeal Indra penglihatan adalah indra manusia yang paling dapat memberikan informasi lebih banyak dibandingkan dengan indra- indra lainya, maka sebuah retailer mempertimbangkan indra ini sebagai bagian terpenting dalam menarik perhatian konsumen. Sigh appeal dapat dilihat sebagai suatu proses menyebarkan stimuli yang dapat menimbulkan hubungan visual dengan yang dilihat. Ukuran, bentuk, dan warna adalah tiga stimuli visual utama, yang dapat digunakan retailer untuk menarik perhatian konsumen atau sebaliknya. Untuk menciptakan atmosfer yang merangsang pembelian.

  2. Sound Appeal Suara dapat menjadikan atmosfer suatu toko menjadi lebih meriah, retailer dapat mempergunakan sound appeal dengan berbagai cara. Suara dapat dijadikan sebagai pencipta suasana, penarik perhatian, ataupun sebagai pemberi informasi. Musik dapat membuat konsumen merasa nyaman, membangun minat berbelanja, membangun suasana toko yang diinginkan oleh retailer, atau mengingatkan konsumen akan acara spesial yang sedang berlangsung di dalam toko. Musik yang diputar harus seiring dengan citra yang ingin ditampilkan dengan target yang dituju.

  3. Scent Appeal Tujuan dari scent appeal adalah untuk menghindari bau yang tidak sedap dan menciptakan bau yang menyenangkan konsumen sehingga mereka merasa nyaman dalam berbelanja. Ruangan yang harum merupakan kunci dalam merasang konsumen untuk berbelanja dan menghabiskan waktunya di dalam toko. Toko harus mempunyai aroma yang sesuai dengan produk yang ditawarkanya, cara lain untuk menciptakan aroma yang menyenangkan adalah dengan memakai pewangi ruangan seperti aromatherapy.

  4. Touch Appeal

  Touch appeal adalah bagaimana konsumen melakukan

  inspeksi pada produk yang dilihatnya seperti memegang, meremas, ataupun memeluknya. Pada umunya prasyarat konsumen melakukan pembelian adalah mereka harus melihat produk yang akan mereka beli walaupun produk tersebut tidak dapat dikeluarkan dari kemasannya. Oleh karena itu, tata ruang toko, pengaturan lampu, pengaturan rak maupun display harus memungkinkan konsumen untuk dapat melakukan inspeksi pribadi pada produk yang dituju. Kemungkinan konsumen untuk membeli produk akan meningkat secara dramatik setelah mereka melakukan inspeksi ini karena mereka merasa tertarik pada produk dan tidak dapat melupakan pengalamanya dengan produk tersebut.

2.1.7 Purchase Intention

  Menurut Kotler (2009) minat membeli merupakan sebuah pengambilan keputusan untuk membeli suatu merek diantara berbagai merek lainnya. Adapun minat membeli itu muncul melalui berbagai rangkaian proses, antara lain: pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi informasi, dan akhirnya akan timbul sebuah minat beli yang ada pada diri konsumen.

  Sumarwan (2003) dalam Anggraini (2014), behavioral intentions akan bersama-sama membentuk suatu kepercayaan dan sikap dalam kondisi hubungan yang tinggi terhadap sebuah produk tertentu melalui evaluasi alternatif. Saat melakukan evaluasi tersebut, akan terjadi sebuah proses pemilihan produk dan merek sesuai keinginan konsumen. Dalam proses tersebut, konsumen akan membandingkan antara satu produk dengan produk lainnya. Sumarwan (2003) dalam Anggraini (2014), menambahkan bahwa evaluasi alternatif akan muncul dengan latar belakang pilihan merek, jenis, ukuran, dan lain-lain yang banyak di pasaran. Dari beberapa definisi tersebut, minat beli memiliki definisi yang hampir sama dengan keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan minat beli merupakan sebuah sikap yang melandasi tentang perilaku keputusan pembelian seorang konsumen.

  Faktor yang dapat mempengaruhi minat beli menurut Agung (2004) dalam Anggraini (2014) adalah promosi. Hal ini dikarenakan promosi merupakan kegiatan jangka pendek yang dilakukan perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan awareness, trial, dan penjualan. Ada beberapa cara untuk membuat promosi menjadi lebih unik dan menarik, antara lain: pemberian hadiah secara langsung, pemberian diskon, pemotongan harga dengan pembelian jumlah tertentu, dan lain sebagainya. Intinya adalah dengan adanya promosi, mampu merangsang pelanggan untuk dapat berpaling dengan cepat hingga akhirnya memilih produk yang sedang dipasarkan. Namun ketika kegiatan promosi tetap dilakukan dan minat beli konsumen tidak ada, maka dapat dikatakan promosi yang dilakukan kurang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa promosi dapat mempengaruhi minat beli seorang konsumen.

  Menurut Kotler & Keller (2007) ”the consumer may also form an

  intention to buy the most preffered brand

  ” yang berarti bahwa konsumen mempunyai keinginan untuk membeli suatu produk berdasarkan pada sebuah merek. Intensi pembelian didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Intensi pembelian terbentuk dari sikap konsumen terhadap kualitas produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan menyebabkan menurunnya intensi beli konsumen.

  Kotler dan Kell er (2007) menambahkan “customer buying

  decision

  • – all their experience in learning, choosing, using, even disposing of a product

  ”. Minat beli konsumen adalah sebuah perilaku konsumen dimana konsumen mempunyai keinginan dalam membeli atau memilih suatu produk, berdasarkan pengalaman dalam memilih, menggunakan dan mengkonsumsi atau bahkan menginginkan suatu produk.

  Menurut Simamora (2002) dalam Newman (2014) minat adalah sesuatu yang pribadi dan berhubungan dengan sikap, individu yang berminat terhadap suatu obyek akan mempunyai kekuatan atau dorongan (motivasi) untuk melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek tersebut. Hal yang mendukung konsumen dalam melakukan pembelian didasarkan pada kepuasan konsumen atas suatu produk yang mampu memenuhi harapan dari yang diinginkan konsumen. Semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen maka tingkat intensi pembelian juga semakin tinggi.

  Dari pengertian minat beli di atas dapat disimpulkan bahwa minat beli merupakan bagian dari komponen perilaku konsumen, proses pengambilan keputusan yang melalui suatu rangkaian pilihan mengenai produk yang hendak dibeli atas dasar merek maupun minat.

2.2 Kerangka Pemikiran

  Menurut Uma (dalam Nurhandika, 2013) kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran yang terbaik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen).

  Menurut (Robinette, 2001) mengungkapkan definisi emotional

  marketing adalah teknik yang digunakan perusahaan dalam membangun hubungan berkelanjutan yang membuat pelanggan merasa dihargai.

  Emotional marketing mengarah ke strategi berbeda bahkan jarang ditiru dan memberikan keunggulan kompetitif yang kuat.

  Definisi yang lebih luas dijelaskan oleh Olson (1999) dalam Resti (2010) yang menjelaskan bahwa store atmosphere meliputi hal-hal yang bersifat luas seperti halnya tersedianya pengaturan udara (AC), tata ruang toko, penggunaan warna cat, penggunaan jenis karpet, warna karpet, bahan- bahan rak penyimpan barang, bentuk rak dan lain-lain. Atmosfer toko adalah elemen lain dalam melengkapi toko. Setiap toko mempunyai penampilan dan tata letak fisik yang bisa mempersulit atau mempermudah orang bergerak (Kotler, 2009).

  Store theatric s merupakan suatu pameran atau pagelaran produk yang

  memicu konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Ritel bukan hanya sekadar menjual produk tetapi lebih merupakan suatu pameran atau pagelaran produk yang memicu konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Store theatric dapat menjadi senjata yang ampuh bagi kebanyakan peritel untuk mendapatkan competitive advantage yang mampu membedakan antara satu ritel dengan yang lainnya (Simamora, 2003)

  Menurut Kotler (2009) minat membeli merupakan sebuah pengambilan keputusan untuk membeli suatu merek diantara berbagai merek lainnya.

  Adapun minat membeli itu muncul melalui berbagai rangkaian proses, antara lain: pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi informasi, dan akhirnya akan timbul sebuah minat beli yang ada pada diri konsumen. Sementara menurut Sumarwan (2003) dalam Anggraini (2014), behavioral

  intentions akan bersama-sama membentuk suatu kepercayaan dan sikap

  dalam kondisi hubungan yang tinggi terhadap sebuah produk tertentu melalui evaluasi alternatif.

  Susilo (2015) meneliti tentang pengaruh emotional marketing terhadap

  purchase intention melalui brand awarnes pada produk dove personal care di

  Surabaya. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa emotional marketing berpengaruh positif signifikan terhadap purchase intention. Pada purchase

  intention diketahui bahwa terdapat motif rasional dan emosional.

  Wijaya (2013) meniliti tentang Pengaruh Store Image, Store

  Atmoshperich, dan Store Theatrics Terhadap Purchase Intention pada The Body Shop Galaxy Mall Surabaya. Penelitian tersebut menunjukan bahwa

  store theatrics dan store atmospherics berpengaruh positif terhadap purchase intention.

  EMOTIONAL MARKETING H1 STORE H2 PURCHASE THEATRICS

  INTENTION H3 STORE ATMOSPHERICS H4

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis

  Berdasarkan kerangka pemikiran maka di rumuskan hipotesis pada penelitian ini:

  1. Emotional marketing secara parsial berpengaruh terhadap purchase intention.

2. Store theatrics secara parsial berpengaruh terhadap purchase intention.

  3. Store atmospherics secara parsial berpengaruh terhadap purchase intention.

  4. Emotional marketing, store theatrics, dan store atmospherics secara simultan berpengaruh terhadap purchase intention.