SANKSI ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL.
SANKSI ADAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM
NASIONAL
1. Pendahuluan
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia penjelmakan perasaan
hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya sendiri, hukum adat terus
menerus dalam kedaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. (Supomo,
1963 : 6). Dari pandangan supomo tersebut diatas jelas bahwa hukum adat sebagai
suatu pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia adalah salah satu perwujudan dar cara
berpikir, mentalitas bangsa Indonesia dalam wujudnya hukum adat.
Desa pekraman atau desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
ada di Propinsi Bali mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun berada dalam ikatan Kahyangan Tiga
(Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa pekraman (Desa Adat) diikat
oleh oleh aturan adat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembangan dalam
lingkungan masyarakat setempat, yang lebih dikenal adalah dalam bentuk awing-awig
yang merupakan pedoman dasar dari desa pekraman dalam pemerintahannya.
Awig-awig desa pekraman ini berisi aturan yang bersifat mengatur dan
memaksa masyarakat untuk tercipta keserasian dan keselaran setiap hubungan hukum
dalam masyarakat. Awig-awig tersebut dibuat dan ditetapkan oleh karma desa
berdasarkan kesepakatan bersama dan ditaati oleh karma desa ietu sendiri dan yang
terpenting adalah awig-awig itu merupakan pengikat persatuan dan kesatuan karma
(2)
bersama, mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera demi
kedamaian desa.
Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dan peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Setiap terjadi pelanggaran terhadap peraturan hukum yang ada akan dikenakan sanksi
sebagai reaksi oleh masyarakat atau pengurus adat terhadap orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum.
Secara garis besarnya dapat dikatakan awig-awig berfungsi sebagai kontrol
social dalam masyarakat adat. Sebagai kontrol sosial berfungsi mempertahankan
kaidah-kaidah/nilai-nilai pola-pola hubungan yang ada. Hal ini dapat dilakukan secara
preventif, misalnya melakukan sosialisasi, penyuluhan dan sebagainya. Secara
represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu dengan
menjatuhkan sanksi negatif terhadap warga yang melanggar atau menyimpang dari
nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang berlaku.
Setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan kosmis yang merupakan
pelanggaran hukum adat dan prajuru adat wajib mengambil tindakan yang perlu guna
memulihkan kembali perimbangan hukum. Tindakan –tindakan yang diambil oleh prajuru adat oleh Ter Haar disebut dengan adatreactie (reaksi adat) yang dalam
masyakat di Bali lebih dikenal dengan istilah sanksi adat. Sanksi adat ini kemudian
diformulasikan kedalam bentuk Pamidanda (hukuman), yang berupa Sangaskara
Danda (hukuman dalam bentuk melaksanakan upacara agama dan Jiwa danda
(Hukum pisik dan Psikis).
Berbicara mengenai sanksi maka persoalan pada umumnya mengarah pada
hukum pidana, meskipun diketahui bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan
(3)
atau Publik). Hukum pidana adalah bagian dari keseluhan atauran hokum yang
berlaku yang mengatur perbuatan yang dilarang yang disertai sangsi yang berupa
pidana. Dapat dikatakan hukum pidana adalah hukum sanksi (Pidana).
Untuk memahami sanksi dalam delik adat menurut konsep hukum adat, tidak
dapat mengkajinya dengan menggunakan konsep hukum barat. Hukum adat tidak
mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem
pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu seperti hal nya Pasal 1 ayat 1
KHUP ( Supomo. 1963 : 93}, meskipun diketahui bahwa hukum adat tidak mengenal
perbedaan antara pelanggaran yang bersifat perdata dan pelanggaran yang bersifat
pidana (Privat atau Publik).
Sanksi adat merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan keseimbangan
magis. Dengan kata lain sanksi adat tersebut merupakan usaha untuk menetralisir
kegoncangan yang terjadi sebagai akibat perlanggaran adat. Jadi sanksi adat berfungsi
sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia
gaib. Dan wujudnya dari sanksi adat bermacam-macam tergantung pada nilai-nilai
dan perasaan keadilan masyarakat bersangkutan.
Dewasa ini sebagaimana kita ketahui bahwa khususnya di Bali sering muncul
konflik-konflik adat atau konflik yang berkaitan dengan adat, atau konflik-konflik
sosial lainnya sering menimbulkan suatu kondisi terganggunya ketentraman ketertiban
dan kesadaran hukum di dalam masyarakat. Konflik yang terjadi dalam masyarakat
memang harus diakui sebagai suatu kenyataan. Hal ini harus diterima tetapi harus
diarahkan pada saluran-saluran agar tidak terjadi “ledakan-ledakan“ yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial secara keseluruhan. Untuk itu konflik perlu
(4)
Dalam prakteknya, konflik yang terkait dengan pelanggaran-pelanggaran adat
yang dilakukan oleh warga masyarakat adat, diselesaikan oleh prajuru atau penguasa
adat melalui paruman adat atau banjar dengan menjatuhkan sanksi adat yang diatur
dalam awig-awignya, misalnya berupa sanksi kasepekang, perampagan atau sanksi
adat lainnya.
Kadang-kadang sanksi adat yang diterapkan/dijatuhkan kepada warga yang
melanggar hukum adat /awig-awig tidak diterima atau ditaati oleh si terhukum.
Penolakan pentaatan terhadap sanksi tersebut menimbulkan reaksi masyarakat adat
yang bersangkutan, misalnya aksi masa pembakaran, perusakan sarana ibadah bahkan
sampai pertentangan pisik.
Reaksi/tindakan masyarakat tersebut tentunya tidak sesuai dengan tujuan
yang diharapkan oleh sanksi adat yaitu mengembalikan keseimbangan hubungan
kosmis yang terganggu, tetapi justru muncul gangguan terhadap ketentraman ,
ketertiban masyarakat, dan keadilan bahkan kadang-kadang lebih parah lagi, muncul
pelanggaran yang mengarah ke pelanggaran hukum nasional
Berbagai kasus-kasus adat yang demikian ini perlu dipahami bersama, baik
oleh masyarakat, prajuru adat sebagai pengambil keputusan, tentang keberadaan
sanksi adat khususnya dalam penerapan sanksi adat tersebut, sehingga tidak sampai
timbul arogansi dalam penjatuhan sanksi adat dan bertentangan dengan hukum
(pidana) nasional apalagi mengarah kepada pelanggaran HAM
II. TINJAUAN PUSTAKA.
Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman
atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan
perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga
(5)
Sanksi adat menurut Lesquillier di dalam disertasinya “Het Adat
Delectenrecht in de magische wereldbeschouwing” mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis
yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan
oleh suatu pelanggaran adat. (SoerojoWignjodipoero, 1992 :229).
Sanksi adat mempunyai fungsi sebagai stabilisator untuk mengembalikan
keseimbangan antara dunia gaib dan dunia lahir. Di Bali sanksi adat mempunyai
peranan yang sangat penting untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Tujuan Saksi (pidana) menurut konsep adat adalah untuk mengembalikan
keseimbangan kosmis, keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, untuk
mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat. Disamping itu
pemidanaannya harus bersifat adil artinya pemidanaannya harus dirasakan adil baik
oleh siterhukum maupun korban ataupun oleh masyarakat sehingga ketidak
seimbangan menjadi sirna.
Desa Adat/Pekraman di Bali sebagai kesatuan masyarakat adat memilik
berbagai jenis sanksi adat, seperti dapat klasifikasikan menjadi tiga, yang dikenal
dengan tri danda (tiga sanksi) yang terdiri dari : arta danda, jiwa danda dan
sangaskara danda.
1. Arta danda (sanksi berupa harta benda atau benda-benda materiil). Contohnya :
a. Danda artha, seperti : dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel
urunan. (denda berupa uang beserta denda-denda yang lainnya).
b. Kataban. (diambil dan dimiliki).
c. Kedaut karang ayahan desanya. (diambil-alih tempat kediamannya yang
berupa karang ayahan desa).
(6)
e. Ganti rugi berupa benda-benda materiil.
f. Ngingu banjar/desa (menjamu seluruh anggota banjar/desa).
2. Sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan
ajaran agama Hindu). Contohnya : Pelaksanaan upacara pemarisuda, prayascita,
dll (upacara pembersihan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan
magis).
3. Jiwa danda (sanksi berupa penderitaan jasmani dan rohani/jiwa). Contohnya :
a. Kapademang (dibunuh).
b. Katugel limane (dipotong tangannya).
c. Sangaskara, pemarisuda, prayascita, dll (dpacara pembersihan).
d. Mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka. (minta maaf).
e. Matirta gemana atau matirta yatra (melakukan perjalanan suci, untuk
golongan pendeta).
f. Kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya ke luar Bali).
g. Mapulang ke pasih. (ditenggelamkan ke laut).
h. Kablagbag (dipasung).
i. Katundung, kairid. (diusir).
j. Kasepekang, kanoroyang (tidak diajak ngomong/dikucilkan).
k. Ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan).
l. Kawusang mabanjar/madesa adat (diberhentikan sebagai warga desa/banjar).
m. Tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapuikin. (untuk sementara dianggap
bukan warga, yang ditandai dengan tidak mendapatkan pemberitahuan sesuatu
atau sama dengan dikucilkan).
n. Kalatengan. (disiksa menggunakan daun lateng).
(7)
p. Kapelungguh, kapesajen, karepotang (diberi peringatan lisan).
q. Ganti rugi immateriil (mengawini gadis).
r. Kaginggsiran (ditempatkan sementara dekat kuburan atau di luar tegak desa).
(Windia dan Sudantra. 2006 :
Berdasarkan hasil penelitian oleh Purwati, dkk sanksi-sanksi adat yang masih
berlaku dan masih hidup serta terdapat dalam awig-awing desa adalah
1. denda;
2. membuat upacara agama/pembersih (meprayascita)
3. Diberhentikan sebagai wargadesa (krama desa/banjar)
4. dirampas (kerampag)
5. Nyanguin Banjar (menjamu banjar)
6. Mengawinkan. (Widnyana, 1993 : 21).
Dari laporan penelitian tersebut terlihat bahwa ada beberapa sanksi adat yang
telah lam berlaku dan dikenal dan adasanksi yang baru yaitu sanksi adat
mengawinkan , hal yang demikian dapat dimaklumi karena dimasukannya jenis
pelanggaran yang baru, misalnya kumpul kebo.
Sanksi adat selalu berpedoman pada nilai-nilai dasar keagamaan (satyam)
serta mengusahakan kesucian desa (Siwam) untuk mencapai ketentram (sundaram),
dengan demikian pelaksanaan saksi adat selalu berorientasi kepada pengembalian
kesucian desa dan keamanan desa (ngewalian kesudharman desa lan
kesukertannyane). (Parwata dan Suardana, 2006).
Penerapan sanksi adat di Bali khususnya pada desa pekraman sekarang
mengalami tantangan dalam pentaatannya. Keadaan ini perlu dicermati adanya,
mungkin karena kurangnya pemahaman terhadap makna dari sanksi adat atau secara
(8)
III. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan memahami sanksi adat yang masih berlaku dan masih
hidup didalam masyarakat
2. Dengan adanya sanksi adat yang masih memiliki kekuatan mengikat
keberlakuannya didalam masyarakat dan bagaimana relepansinya dalam
pembaharuan hukum pidana nasional.
IV. METODA PENELITIAN
Metoda penelitian ini menggunakan model penelitian normatif adalah meneliti
terhadap bahan-bahan penelitian hukum dalam sifatnya yang normati. Bahan hukum
yang dimaksud adalah baik berupa norma-norma hukum adat yang masih hidup dalam
masyarakat berupa awig-awig, KUHP dan RKUHP maupun norma hukum lainnya
yang memberikan dasar berlakunya hukum adat dan bahan kepustakaan yang
menunjang penelitian ini, kemudian dikaji dan dianilisis secara diskriptif.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN.
1. Sanksi Adat Dalam Hukum Pidana Nasional
Di dalam penjelasan Undang Dasar 1945 dikemukakan,
Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagai hukum dasar yang tertulis, sedang
disamping Udang-Udang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak terulis, ialah
aturan-tauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara meskipun tidak tertulis.
Kemudian dalam perubahan UUD 1945 yang keempat dalam Pasal 18 B ayat
2 menyatakan adalah : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
(9)
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur undang-undang.
Dari ketentuan tersebut diatas menunjukan adanya pengakuan terhadap
berlakunya hukum adat sebagai hukum yang tidak terlulis yang hidup dan masih
berlaku dalam masyarakat hukum adat disamping hukum yang tertulis, sepanjang
masih mengandung prinsip negara kesatuan dan diatur dalam udang-undang. Jadi
hukum adat diakui keberadaannya dan dilindungi oleh Hukum Dasar Negara
(Konstitusi suatu negara) sepanjang sesui dan tidak bertentangan dengan hukum
nasional,
Demikian pula halnya Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomer 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam
hal ini Hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara diwajibkan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat
Pasal tersebut menghendaki agar Hakim dalam memutus suatu perkara dapat
memperhatikan hukum yang ada dalam masyarakat, bukan berarti hakim dengan
demikian harus menerapkan hukum apapun yang hidup dalam masyarakat, tetapi
harus menilai hukum tersebut. Menurut Loeby Loeqman, hukum yang hidup dalam
masyarakat ada dua yaitu hukum yang hudup dalam masyarakat, ada yang bersifat
adil dan ada pula yang bersifat kurang atau tdak adil (Just/UnjustLiving Law) (Loeby
Loeqman, 1994 :8)
Hukum Adat Bali yang dilandasi oleh agama Hindu, yang tertuang dalam
awig-awignya selalu mengusahakan keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia
dan alam yang dikonsepkan ke dalam ajaran Tri Hita Karana, sehingga pelanggaran
(10)
Didalam prakteknya tentu saja ada orang atau warga masyarakat melakukan
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, perbuatan yang demikian
sering disebut dengan istilah delik adat atau tindak pidana adat. Menurut hukum adat
segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum merupakan perbuatan
illegal sehingga hukum adat memiliki ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaik hukum
(Rechtshertel) jika hukum dilanggar. (Soepomo, 1983 :110)
Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang kumpulan
perseorangan, mengancam atau mengganggu persekutuan bersifat material atau
immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan.
Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat
(Bushar Muhammad, 1983 : 67).
Dari beberapa pandangan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa tindak pidana
adat (delik adat) adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan
kerukunan, ketertiban, keamanan rasa keadilan dan kesadaran masyarakat yang
bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat
itu sendiri. Perbuatan yang demikian dipandang dapat menimbulkan kegoncangan
karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat
berupa sanksi adat. (Widnyana, 1993 : 6)
Eksistensi dari delik adat kalau kita kaitkan dengan hukum pidana positif yang
berlaku di negara kita pada mulanya dapat dikatakan tidak mendapat tempat didalam
lapangan hukum pidana nasional. Hal ini dapat kita lihat sebagai mana diatur didalam
UU No . 1 tahun 1946 yo UU 73 tahun 1958 tentang diberlakukannyan WVS voor
Nederlands Indie sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sampai
(11)
perbuatan yang dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan. Dalam hal ini hukum pidana menganut secara tegas asas
Legalitas (Principle of legality) yaitu : tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Yang dalam bahasa laitinya dikenal nullum delictum nulla poena sine praevia lega (
tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu (Moeljatno,1978 : 31).
Dari ketentuan tersebut secara tegas asas legalitas yang dianut dalam hukum
pidana nasional mengakui hanya pada adanya hukum yang tertulis (undang-undang)
saja sebagai perbuatan yang dapat dipidana dan tidak mengakui delik adat (hukum
yang tidak tertulis).
Dalam perkembangannya selanjutnya dengan diundangkannya UU No.
1/Drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Penyelenggara Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan – Pengadilan Sipil yang mulai berlaku tanggal 13 Januari 1951, telah menentukan tempat hukum adat di dalam sistem
hukum pidana nasional, yang dengan sendirinya terjadi perubahan terhadap asas
legalitas formal menjadi asas legalitas meterial yaitu mengakui adanya delik adat
sepanjang tidak ada bandingannya dalam hukum pidana nasional, dengan mengutip
UU /Drt/ Nomer : 1 tahun 1951 dalam pasal 5 ayat 3 b menyatakan sebagai berikut :
1. Bahwa perbuatan suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan oidana, akan tetapi tiada bandingannya dengan KUHP,
maka dianggap diancam dengan pidana yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai pidana pengganti
bilamana pidana adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang
terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
(12)
2. Bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud
diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya
pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukum adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman,
senantiasa mesti diganti seperti tesebut diatas; dan
3. bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP, maka
dianggap diancam dengan hukum yang sama dengan hukuman yang
bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu. (Tresna,
1959 :34)
UU/Drt Nomer 1 Tahun1951 kemudian mengalami perubahan yaitu dengan
diundangkannya UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dimana UU tersebut
mencabut berlakunya HIR dan UU/Drt/Nomer 1 Tahun1951. Akan tetapi ayat
berikutnya dari dictum tersebut mengatakan “…. sepanjang hal itu menyangkut
tentang hukum acara pidana”. Jadi sejauh bukan hukum acara pidana masih dapat
berlaku (Loebby Loqman, 1994 : 8). Ini berarti tindak pidana adat atau delik adat
yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat adat keberadaannya masih diakui
oleh hukum nasional sepanjang tidak menyangkut hukum acaranya.
Dari ketentuan pasal 5 ayat 3 b dari UU/Drt 1951 tersebut diatas dapat
dikatakan bahwa : delik adat yang hidup di dalam masyarakat yang tidak ada
bandingannya atau tidak diatur didalam KUHP, tetap diakui keberadaannya, diancam
dengan ancaman pidana 3 bulan penjara dan/ atau denda Rp.500,- sebagai hukuman
pengganti apabila yang bersalah tidak mentaati sanksi adat yang dijatuhkan padanya.
(13)
dalam KUHP dan menurut faham hakim, sanksi adat yang tidak selaras lagi dengan
zaman senantiasa mesti diganti dengan sanksi yang ada dalam KUHP yaitu
sebagaimana diatur dalam pasal 10.
Ketentuan Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 ini menunjukkan bahwa
sanksi adat yang ada dan sepanjang ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan
masih diakui keberadaannya dalam hukum nasional. Dengan kata lain, sanksi adat
yang masih berlaku dalam masyarakat mempunyai kekuatan memaksa atau kekuatan
hukum sepanjang ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan dan sanksi adat
tersebut dipandang masih sesuai dengan perasaan keadilan masyarakatnya dan tidak
bertentangan dengan hukum (pidana)nasional.
Apabila ada sanksi adat yang sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat pada zamanya, serta tidak ditaati oleh masyarakatnya maka sanksi adat tersebut hendaknya jangan dipaksakan diterapkan segera hendaknya dirubah supaya tidak bertentangan dengan hukum nasional.
2. Eksistensi Sanksi Adat Dalam Rancangan KUHP.
Menurut KUHP kita dewasa ini ketentuan mengenai sanksi adat tidak diatur.
Keadaan yang demikian tersebut tentu dirasakan kurang memberikan rasa keadilan
pada masyarakat, karena ancaman yang dapat dikenakan pagi pelanggar adat sangat
ringan sebagaimana diatur dalam Udang-undang No. 1/Drt/1951. Pada hal perbuatan
tersebut oleh masyarakat merupakan perbuatan yang tercela dan tidak dibenarkan oleh
adat dan agama.
Dilihat dari pihak pengadilan hampir tidak pernah (sangat jarang)
(14)
adat tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu didalam penyusunan Rancangan
KUHP Nasional dapat dijadikan pidana tambahan.
Panitia Penyusunan Rancangan KUHP secara tepat telah menangkap
isyarat-isyarat atau keinginan masyarakat tersebut. Adapun hal-hal yang diperhatikan oleh
Panitia penyususnan Rancangan KUHP adalah sebagai berikut. Pertama, dalam
rancangan KUHP yang baru telah terdapat perubahan asas legalitas. Dalam Pasal 1
ayat (3 ) RUU KUHP tahun 2006 telah dirumuskan ’Ketententuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundangan-undangan”. Dari ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam politik hukum khususnya dalam rangka pembentukan hukum pidana
nasianal telah adanya pengakuat terhadap hukum yang hidup dalam dalam
masyarakat.
Pasal 1 ayat (4) ” berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Ketentuan ini menunjukan dalam menentukan hukum yang hidup dalam masyarakat
hendaknya harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip hukum pada
umumnya. Selanjutnya dalam Pasal 54 ayat (1) c RUU KUHP dirumuskan tujuan
pemidanaan adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam maysarakat. Dalam
Pasal 67 ayat (3) nya merumuskan Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban
adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau
(15)
dalam perumusan tindak pidana. Dari hal tersebut diatas menunjukkan bahwa telah
ada usaha memfungsionalisasi hukum adat politik hukum nasional.
VI. PENUTUP Kesimpulan .
Keberadaan hukum adat khususnya sanksi adat dalam hukum nasional sudah
pendapat perhatian dan telah dirumuskan dalam Pasal 18 B ayat (2) Pasal 28 ayat (1)
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 5 ayat (3)
sub b UU No 1 /Drt /tahun 1951, menunjukan disamping memberikan dasar hukum
terhadap berlakunya sanksi adat dan secara tidak langsung juga memberi dasar
(16)
Daftar Pustaka
Ananta Wijaya, Dkk. , 2002, Momok Adat Bernama Kasepekang Sarad “. No 26. Mei
2002.
Hilman Hadikusuma, 1989, Hukum Adat Pidana, Alumni, Bandung.
Hermiin, Hadiati Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam, Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moleyatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Sianturi, SR, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Ahaem-Petehaem, Jakarta,.
Widnyana I Made, 1993, Kapita Selekta Pidana Adat, Eresco Bandung.
(1)
perbuatan yang dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Dalam hal ini hukum pidana menganut secara tegas asas Legalitas (Principle of legality) yaitu : tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Yang dalam bahasa laitinya dikenal nullum delictum nulla poena sine praevia lega ( tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu (Moeljatno,1978 : 31).
Dari ketentuan tersebut secara tegas asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana nasional mengakui hanya pada adanya hukum yang tertulis (undang-undang) saja sebagai perbuatan yang dapat dipidana dan tidak mengakui delik adat (hukum yang tidak tertulis).
Dalam perkembangannya selanjutnya dengan diundangkannya UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Penyelenggara Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan – Pengadilan Sipil yang mulai berlaku tanggal 13 Januari 1951, telah menentukan tempat hukum adat di dalam sistem hukum pidana nasional, yang dengan sendirinya terjadi perubahan terhadap asas legalitas formal menjadi asas legalitas meterial yaitu mengakui adanya delik adat sepanjang tidak ada bandingannya dalam hukum pidana nasional, dengan mengutip UU /Drt/ Nomer : 1 tahun 1951 dalam pasal 5 ayat 3 b menyatakan sebagai berikut :
1. Bahwa perbuatan suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan oidana, akan tetapi tiada bandingannya dengan KUHP, maka dianggap diancam dengan pidana yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai pidana pengganti bilamana pidana adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum.
(2)
2. Bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman, senantiasa mesti diganti seperti tesebut diatas; dan
3. bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP, maka dianggap diancam dengan hukum yang sama dengan hukuman yang bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu. (Tresna, 1959 :34)
UU/Drt Nomer 1 Tahun1951 kemudian mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dimana UU tersebut mencabut berlakunya HIR dan UU/Drt/Nomer 1 Tahun1951. Akan tetapi ayat berikutnya dari dictum tersebut mengatakan “…. sepanjang hal itu menyangkut tentang hukum acara pidana”. Jadi sejauh bukan hukum acara pidana masih dapat berlaku (Loebby Loqman, 1994 : 8). Ini berarti tindak pidana adat atau delik adat yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat adat keberadaannya masih diakui oleh hukum nasional sepanjang tidak menyangkut hukum acaranya.
Dari ketentuan pasal 5 ayat 3 b dari UU/Drt 1951 tersebut diatas dapat dikatakan bahwa : delik adat yang hidup di dalam masyarakat yang tidak ada bandingannya atau tidak diatur didalam KUHP, tetap diakui keberadaannya, diancam dengan ancaman pidana 3 bulan penjara dan/ atau denda Rp.500,- sebagai hukuman pengganti apabila yang bersalah tidak mentaati sanksi adat yang dijatuhkan padanya. Apabila ada bandingannya dalam KUHP maka akan digunakan ketentuan yang ada
(3)
dalam KUHP dan menurut faham hakim, sanksi adat yang tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti dengan sanksi yang ada dalam KUHP yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 10.
Ketentuan Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 ini menunjukkan bahwa sanksi adat yang ada dan sepanjang ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan masih diakui keberadaannya dalam hukum nasional. Dengan kata lain, sanksi adat yang masih berlaku dalam masyarakat mempunyai kekuatan memaksa atau kekuatan hukum sepanjang ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan dan sanksi adat tersebut dipandang masih sesuai dengan perasaan keadilan masyarakatnya dan tidak bertentangan dengan hukum (pidana)nasional.
Apabila ada sanksi adat yang sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat pada zamanya, serta tidak ditaati oleh masyarakatnya maka sanksi adat tersebut hendaknya jangan dipaksakan diterapkan segera hendaknya dirubah supaya tidak bertentangan dengan hukum nasional.
2. Eksistensi Sanksi Adat Dalam Rancangan KUHP.
Menurut KUHP kita dewasa ini ketentuan mengenai sanksi adat tidak diatur. Keadaan yang demikian tersebut tentu dirasakan kurang memberikan rasa keadilan pada masyarakat, karena ancaman yang dapat dikenakan pagi pelanggar adat sangat ringan sebagaimana diatur dalam Udang-undang No. 1/Drt/1951. Pada hal perbuatan tersebut oleh masyarakat merupakan perbuatan yang tercela dan tidak dibenarkan oleh adat dan agama.
Dilihat dari pihak pengadilan hampir tidak pernah (sangat jarang) menjatuhkan sanksi adat di dalam putusan-putusannya, hal ini dikarenakan sanksi
(4)
adat tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu didalam penyusunan Rancangan KUHP Nasional dapat dijadikan pidana tambahan.
Panitia Penyusunan Rancangan KUHP secara tepat telah menangkap isyarat-isyarat atau keinginan masyarakat tersebut. Adapun hal-hal yang diperhatikan oleh Panitia penyususnan Rancangan KUHP adalah sebagai berikut. Pertama, dalam rancangan KUHP yang baru telah terdapat perubahan asas legalitas. Dalam Pasal 1 ayat (3 ) RUU KUHP tahun 2006 telah dirumuskan ’Ketententuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangan-undangan”. Dari ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam politik hukum khususnya dalam rangka pembentukan hukum pidana nasianal telah adanya pengakuat terhadap hukum yang hidup dalam dalam masyarakat.
Pasal 1 ayat (4) ” berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Ketentuan ini menunjukan dalam menentukan hukum yang hidup dalam masyarakat hendaknya harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip hukum pada umumnya. Selanjutnya dalam Pasal 54 ayat (1) c RUU KUHP dirumuskan tujuan pemidanaan adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam maysarakat. Dalam Pasal 67 ayat (3) nya merumuskan Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum
(5)
dalam perumusan tindak pidana. Dari hal tersebut diatas menunjukkan bahwa telah ada usaha memfungsionalisasi hukum adat politik hukum nasional.
VI. PENUTUP Kesimpulan .
Keberadaan hukum adat khususnya sanksi adat dalam hukum nasional sudah pendapat perhatian dan telah dirumuskan dalam Pasal 18 B ayat (2) Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 5 ayat (3) sub b UU No 1 /Drt /tahun 1951, menunjukan disamping memberikan dasar hukum terhadap berlakunya sanksi adat dan secara tidak langsung juga memberi dasar yuridis berlakunya sanksi adat dalam hukum nasional.
(6)
Daftar Pustaka
Ananta Wijaya, Dkk. , 2002, Momok Adat Bernama Kasepekang Sarad “. No 26. Mei 2002.
Hilman Hadikusuma, 1989, Hukum Adat Pidana, Alumni, Bandung.
Hermiin, Hadiati Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam, Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moleyatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Sianturi, SR, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Ahaem-Petehaem, Jakarta,.
Widnyana I Made, 1993, Kapita Selekta Pidana Adat, Eresco Bandung.