DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER.

(1)

(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)

TESIS

Oleh

Erus Rusmana

NIM 1303082

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015


(2)

PEMBENTUKAN KARAKTER

(STUDI KASUS TERHADAP PESERTA DIDIK SMA/MA DI

JAMPANGTENGAH KABUPATEN SUKABUMI)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing

Dr. ELLY MALIHAH, M. Si

NIP. 19660425 199203 2 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi

Dra. Hj. SITI KOMARIAH, M. Si, Ph. D

NIP. 19680403 199103 2 002


(3)

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

(Studi Kasus terhadap Peserta Didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi)

Oleh: Erus Rusmana ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada fenomena yang menunjukkan bahwa kondisi karakter manusia dewasa ini, dilingkup internasional sampai personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan. Krisis karakter kemanusiaan terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga. Banyak keluarga mengalami disorientasi dan disorganisasi, sehingga berujung pada disintegrasi keluarga, bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional bangsa Indonesia. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam perspektif dekonstruksi dengan konsep keluarga yang bersifat konvensional menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki persepsi baru yang bersifat dekonstruktif. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis keadaan, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Fenomena krisis karakter kemanusiaan yang dialami beberapa peserta didik yang peneliti amati dan temukan telah terjadi pergeseran nilai yang ditunjukan adanya peserta didik beragam perilaku dan dekadensi moral, sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui keadaan karakter, peranan dan corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengan Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif verifikatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilakukan di SMA/MA Jampangtangah kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan secara empiris telah terjadi perubahan, pergeseran dan hilangnya peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Bersamaan dengan perubahan tersebut, telah mendorong pola baru tentang peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik. Pola baru tersebut dipandang sebagai alternatif makna lama yang konvensional. Ketika pola baru itu berfungsi secara sepadan atau lebih tinggi nilai peranannya, maka akan membentuk karakter baik. Akan tetapi, ketika pola baru itu berfungsi secara tidak sepadan atau lebih rendah nilai peranannya, maka akan membentuk karakter buruk.


(4)

THE SOCIAL DECONSTRUCTION OF ROLE OF THE FAMILY IN THE CHARACTER BUILDING

(Case Study on Students at SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi) By: Erus Rusmana

ABSTRACT

This study is based on a phenomenon that indicates that the character of the human condition today, at the level of individual international until the personal character of the humanitarian crisis. Characters humanitarian crisis related to the increasing lack of harmony in the family. Many families experience the disorientation and disorganization, so that led to the disintegration of the family, not just because of the economic crisis, but also because of the invasion of the globalization of values and lifestyles that are not always compatible with the values and norms of religious, socio-cultural Indonesian national. The general objective of this study is to analyze the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi in perspective deconstruction of the concept of family which is conventional to the restructuring concept of the family that has a new perception that is deconstructive. The specific objective of this study is to analyze the situation, role and patterns of social deconstruction of the role of the family in shaping the character of high school students SMA/MA in Jampangtengah Sukabumi. This study used a qualitative descriptive approach to verification with the case study method. This research was conducted in SMA / MA Jampangtangah Sukabumi. The results showed empirically has been a change, shift and loss of family role in shaping the character of students. Along with these changes, has prompted a new pattern about the role of the family in shaping the character of students. The new pattern is seen as an alternative to the old conventional meaning. When a new pattern that function equivalent or higher value role, it will form a good character. How ever, when the new pattern of functioning disproportionate or lower the value of its role, it will form a bad character.

Keywords: Character Education, Role of Family, and Deconstruction.


(5)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ………..i

PERNYATAAN DAN KEASLIAN TESIS ……….ii

ABSTRAK ………iii

KATA PENGANTAR ………..iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….v

DAFTAR ISI ……….vi

DAFTAR GAMBAR ……… ..vii

DAFTAR TABEL ………..viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………..1

1.2Rumusan Masalah ………...19

1.3Tujuan Penelitian ………20

1.4Manfaat Penelitian ………..20

1.5Struktur Organisasi Tesis ………21

BABII LANDASAN TEORITIS 2.1Teori Dekonstruksisosial ……….23

2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan ………...37

2.3Konsep Dasar Pendidikan Karakter ………....42

2.4Pendidikan Karakter dalam Keluargadan Masyarakat …………...63

2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah ………....72

2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan Karakter ………..76


(6)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian ……….83

3.2Metode Penelitian ………...85

3.3Subjek Penelitian ………86

3.4Jenis Data ………...87

3.5Alat Pengumpul Data ……….87

3.6Teknik Pengumpulan Data ……….88

3.7Teknik Analisis Data ………..91

3.8Waktu danTempat Penelitian ………...93

3.9Paradigma Penelitian ………..94

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….98

4.2Keadaan Karakter Peserta Didik ……….104

4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter ………136

4.4Dekonstruksi Sosial Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter………149

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1Kesimpulan ………...161

5.2Implikasi ………...163

5.3Rekomendasi ………164

DAFTAR PUSTAKA ………165

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………171


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Salah satu tema yang muncul begitu kuat ke permukaan dewasa ini dalam diskursus tentang sosial-budaya adalah pendidikan karakter, baik di tingkat global maupun di tingkat nasional. Banyak orang ramai membicarakan pendidikan karakter, mulai dari para ilmuwan, budayawan, seniman, media masa, hingga para pejabat dan politisi ikut ramai membicarakan tentang pendidikan karakter dalam forum-forum ilmiah, seperti seminar, simposium dan sebagainya. Hal ini menunjukkan munculnya kesadaran bahwa pendidikan karakter merupakan keniscayaan.

Dalam konteks global, pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Menurut Tilaar (2002, hlm. 74) mengemukakan di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai diterlantarkan.

Majid dan Andayani, (2011, hlm. 2) Sejak tahun 1990-an terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya The Return of Character Education sebuah buku yang menyadarkan dunia secara khusus di tempat Lickona hidup (Amerika Serikat), dan seluruh dunia pendidikan secara umum menyadari bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keniscayaan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter.

Sesungguhnya tujuan utama dan mendasar dari proses pendidikan adalah pembentukan karakter manusia. Sejalan dengan Majid dan Andayani, (2011, hlm. 2). sejak 2.500 tahun yang lalu Socrates telah mengatakan bahwa tujuan paling mendasar pendidikan atau filosofi dasar pendidikan adalah menjadikan seseorang

good and smart. Good dalam aspek karakter dan smart dalam aspek intelektual.

Senada dengan filosofi dasar pendidikan tersebut, Lickona (2013, hlm. 7) mengemukakan bahwa pendidikan moral bukanlah sebuah topik baru dalam


(8)

pendidikan. Pada kenyataannya, pendidikan moral ternyata sudah seumur pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku berbudi.

Perspektif sejarah pendidikan Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Nabi Muhammad saw. juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak dan mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character) atau keluhuran budi. Hal ini disabdakan dalam sebuah hadis Nabi saw. “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak (karakter).” (Madjid, 1995, hlm. 93).Ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap berada pada wilayah serupa, yakni pembentukan karakter manusia yang baik.

Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Nabi Muhammad Saw. bahwa moral, akhlak atau karakter merupakan tujuan mendasar dari dunia pendidikan. Demikian juga Marthin Luther King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “intelligence plus character, that is the true aim of education.” Kecerdasan plus karakter, itulah

tujuan yang benar dari pendidikan (Majid dan Andayani, 2011, hlm. 2).

Dalam konteks nasional, ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa (the founding father) menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat; kedua, adalah membangun bangsa; dan ketiga, membangun karakter. Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya untuk membangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan terus menerus, tidak boleh putus di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Presiden pertama Republik Indonesia, sekaligus sebagai salah seorang bapak pendiri bangsa ini, Soekarno


(9)

bahkan menegaskan bahwa bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena pembangunan karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta bermartabat.

Samani dan Hariyanto (2011, hlm. 2) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di Indonesia saat ini mendesak untuk dilaksanakan, mengingat makin meningkatnya tawuran antar-pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena supporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Informasi dari Badan Narkotika Nasional menyatakan ada 3,6 juta pecandu narkoba di Indonesia. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui Kantin Kejujuran di sejumlah sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha Kantin Kejujuran yang bangkrut karena belum bangkitnya sikap jujur pada anak-anak.

Tilaar (2002, hlm. 74-75) menjelaskan bahwa dalam masyarakat kita dewasa ini munculnya kembali masalah perlunya pendidikan karakter disebabkan tiga hal: Pertama, melemahnya ikatan keluarga. Secara tradisional keluarga merupakan guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Dengan demikian, terjadi kekosongan (vacuum) moral di dalam perkembangan hidup anak. Terjadinya disintegrasi keluarga antara lain berupa perceraian yang bermuara pada kehancuran keluarga menyebabkan hidup anak-anak menjadi terlantar. Hal tersebut akan sangat memukul kehidupan emosional anak serta menjadi perangsang bagi kelainan-kelainan kelakuan seperti berbagai jenis kenakalan dan tawuran. Kedua, kecenderungan negatif di dalam kehidupan pemuda. Dewasa ini kita melihat khususnya di kota-kota besar terjadi perkelahian pelajar bahkan sampai perkelahian mahasiswa dan telah merembet menjadi tawuran antar-kampung. Hal ini merupakan akibat dari disintegrasi keluarga seperti poor-parenting. Kecenderunagn penyalahgunaan obat-obatan terlarang, penyelewengan seksual para pemuda menunjukkan kecenderungan yang sangat mengkhawatirkan. Ketiga, suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai etik. Dewasa ini telah timbul suatu kecenderungan masyarakat yang mulai


(10)

menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam kelangsungan hidup masyarakat. Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Hasan, dkk., 2010, hlm.3). Karenanya, karakter erat kaitannya dengan penerapan nilai-nilai dalam tindakan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter terbentuk dari hasil internalisasi nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran penting dan strategis dalam menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik agar mereka berkarakter, bermoral dan beradab.

Durkheim (dalam Martono, 2010, hlm. 21) mengemukakan bahwa fungsi utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, tanpa adanya unsur kesamaan, kerja sama, solidaritas dan kehidupan sosial tidaklah mungkin ada. Langgulung (2003, hlm. 1) mengemukakan bahwa pendidikan dapat dipandang dari segi pandangan individu dan dari segi pandangan sosial. Segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri manusia. Sedangkan dari segi pandangan sosial bahwa pendidikan berarti pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki masyarakat dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara dan berkelanjutan.

Di Indonesia, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan nasional dapat dilihat dari segi yuridis-konstitusional sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.


(11)

Berdasarkan undang-undang tersebut bahwa pendidikan merupakan suatu upaya sistematis dan terencana dalam mewujudkan suasana kondusif agar peserta didik dapat mengembangkan segenap potensi dirinya secara integral, sehingga mereka memiliki watak dan peradaban yang bermartabat. Hal tersebut secara lebih jelas dan tegas dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam undang-undang tersebut perkataan “watak” dimaknai sebagai karakter, kepribadian dan akhlak mulia atau budi pekerti. Hal ini sebagaimana dimaknai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, hlm. 623 ) bahwa karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak mulia atau budi pekerti.

Profil karakter-karakter sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang di atas, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan dapat dilakukan secara formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal terjadi dalam aturan dan sistem yang sudah dirancang secara baku, seperti yang tertera dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan non formal terjadi dalam hidup di mana individu mengamati apa yang dialaminya sehingga mendapatkan asumsi untuk memecahkan persoalan hidup. Pendidikan informal berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua dan orang dewasa dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Secara sosiologis, manusia sebagai individu hidup dalam suatu dunia yang bukan dirinya sendiri, tetapi membutuhkan adanya kehadiran orang lain dalam hidupnya untuk berinteraksi. Karenanya, manusia selain sebagai makhluk individual, juga sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan dunia luar untuk tumbuh dan berkembang dalam mencapai kesempurnaannya baik jasmani maupun rohaninya. Dalam kehidupannya manusia tidak akan terlepas dari berbagai bentuk interaksi. Tilaar (2004, hlm. 55) mengemukakan bahwa:


(12)

didalam interaksi manusia bukan hanya hasil interaksi dengan alamnya dan dengan sesamanya, tetapi dia juga adalah pelaku aktif di dalam interaksi tersebut. Seorang individu tidak akan terlepas dari interaksi dengan keluarganya, karena itu peran keluarga sangat menentukan dalam membentuk kepribadian seseorang. Keluarga berkewajiban untuk memberikan pendidikan, perlindungan serta pembentukan kepribadian dan pembinaan sumber daya manusia (human resources).

Kata interaksi terkandung makna adanya hubungan timbal balik antar pendidik dengan peserta didik dalam proses pendidikan sebagai proses pembentukan karakter sekaligus sebagai proses sosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini pula senada dengan pendapat Shipman (dalam Azra, 2006 hlm. 32) bahwa “salah satu fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat adalah sosialisasi (socialization), yaitu pendidikan sebagai wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan”.

Merujuk pemaparan di atas, secara konseptual peneliti dapat mendeskripsikan bahwa pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia secara integral, baik aspek fisik-biologis, maupun aspek ruhiyah-psikologis, baik sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan umum tentang manusia bahwa manusia selain sebagai makhluk individu, juga sekaligus sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan karakter peserta didik. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial mengimplikasikan kepada peran dan fungsi pendidikan sebagai proses sosialisasi peserta didik yang dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial-kultural maupun lingkungan alam. Akan tetapi, dalam proses terbentuknya karakter sebagai aspek kepribadian seseorang terjadi secara simultan dan integratif yang mencerminkan perwujudan dari organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu.

Pendidikan karakter pada ranah persekolahan telah menjadi polemik di berbagai negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang menjadi perhatian. Lickona mengemukakan (dalam Zubaedi, 2011, hlm.14) bahwa:


(13)

minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan telah menyebabkan berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya, pencapaian akademis dan pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter.

Terjadinya polemik, pandangan pro-kontra, dan semakin memudarnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, sehingga pada gilirannya muncul berbagai krisis moral yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan munculnya berbagai krisis karakter kemanusiaan, mulai dari lingkup internasional sampai lingkup individual personal sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya hal tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berkaitan dengan krisis nilai yang dialami oleh manusia dewasa ini. Proses terbentuknya karakter seseorang sebagaimana telah dijelaskan di atas, terkait dengan nilai-nilai (values) yang ingin diwujudkan pada diri seseorang itu. Ketika nilai-nilai dipandang bukan sebagai hal yang penting dalam kehidupan manusia, maka secara otomatis pendidikan karakter mengalami degradasi bahkan dimarginalkan atau disingkirkan dari kehidupan manusia.

Fenomena tersebut terjadi, jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam sampai ke akar masalahnya, merupakan konsekuensi dari berkembangnya dua golongan besar gerakan filsafat yang menyebabkan tersingkirnya nilai-nilai dari kehidupan dan memudarnya pelaksanaan pendidikan karakter, yaitu filsafat modernisme dan filsafat posmodernisme yang berkembang melalui arus globalisasi. Paham atau isme yang diajarkan dalam filsafat-filsafat tersebut tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Zarkasy (dalam Kamaluddin, 2010, hlm. 124) menjelaskan bahwa “pandangan hidup atau pemikiran modernisme lebih menekankan kepada sains dan teknologi, ketimbang agama, maka pandangan hidup Barat waktu itu disebut dengan scientific

worldview”.

Perlu menyadari bahwa setiap pemikiran tentu ada konsekuensi-konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Konsekuensi negatif modernitaslah yang menggelisahkan manusia, khususnya para pemikir di paro pertama abad ke-20. Dua perang dunia cukup kiranya membuat manusia harus merenung ulang,


(14)

kalau tidak menyesali, dampak negatif itu masih terasa. Sejalan yang dikemukakan Muzir dalam Norris, (2009, hlm.7). Krisis ekologi, karut- marut ekonomi-politik global, imperialisme budaya, dan yang lainnya.

Dari sudut pandang teologis, bahwa pandangan modernitas dalam mengakui keabsahan (validitas) ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada kriteria paradigma ilmiah (scientific paradigm) semata, yaitu rasional, empiris, dan positif telah mengarahkan manusia pada sikap atheistik. Kartanegara (2007, hlm. 16) mengemukakan bahwa pembatasan bidang ilmu kepada objek-objek indrawi dan metodenya hanya pada observasi oleh ilmuwan Barat, terbukti telah menimbulkan berbagai masalah teologis yang serius, yang berakhir dengan penolakan beberapa ilmuwan modern terhadap eksistensi Tuhan dan wahyu Ilahi.

Kemajuan yang dicapai saat ini, tidak bisa menutup mata terhadap dampak positif modernitas, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasannya. Senada yang diungkapkan Muzir dalam Norris, (2009, hlm. 8). Kemajuan melahirkan kesejahteraan; rasio melahirkan sains dan teknologi; dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi “cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif yaitu eksploitasi, saintisme, serta imperialisme politik dan budaya.

Abad ke 19 adalah era di mana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat dipahami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap salah satu disiplin pengetahuan filsafat yang terpenting, yaitu metafisika objektif. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan pada waktu itu, merupakan produk akal posmodern. Nietzsche sebagai pemikir awal posmodern dikenal dengan program penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas merupakan karakteristik pandangan hidup posmodern. Makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat direduksi. (Zarkasy dalam Kamaluddin, 2010, hlm. 126-128). Doktrin penghapusan nilai yang terkenal dan didengungkan pertama kali oleh Nietzsche adalah doktrin nihilism.


(15)

Konsekuensi dari berkembangnya pemikiran modernisme dan posmodernisme adalah terhapusnya nilai-nilai dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Lickona (2013, hlm. 9-11) bahwa hal-hal yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan pendidikan karakter adalah:

(1) Darwinisme yang mengintroduksi metafora baru, evolusi, yang memandu orang untuk melihat segala-galanya hanya sebagai materi, sehingga moralitas semacam ini di masyarakat berubah secara berkelanjutan; (2) Relativisme Einstein meskipun lebih ditunjukkan untuk menjelaskan konsep fisika, ternyata juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan moral. Ketika suatu masalah muncul dengan jawaban benar atau salah, banyak orang kemudian berpikir, “Semua itu relatif, tergantung bagaimana Anda memandang masalah tersebut; (3) Filsafat positivisme logis (logical positivism) diajarkan di unversitas-universitas yang ada di Amerika Serikat dan Eropa, yang secara radikal membedakan antara fakta (yang dapat dibuktikan secara ilmiah) dengan nilai (yang oleh positivisme dipandang semata-mata sebagai ekspresi perasaan yang tidak merupakan kebenaran objektif). Sebagai dampak dari positivisme, moralitas menjadi relatif dan terprivatisasi semata-mata dan dianggap sebagai pertimbangan personal bukan subjek bagi perdebatan umum dan tidak perlu ditransmisikan melalui sekolah.

Sementara itu Tatman, Edmonson, dan Slate (Volume 4, Number 1, January-March, 2009) di samping mengafirmasi Lickona juga menambahkan bahwa “penyebab memudarnya implementasi pendidikan karakter di Amerika Serikat pada tahun 1960-an adalah hadirnya tiga daya yang amat kuat, yaitu personalisme, pluralisme dan sekularisme”. Mengutip Lickona (1993) Tatman, Edmonson, dan Slate mengemukakan bahwa “personalisme menekankan pada pentingnya hak-hak individu dan kebebasan dari pertanggungjawaban, sehingga mendelegitimasi otoritas moral, menghapus kepercayaan terhadap norma-norma moral yang objektif, memalingkan pandangan orang-orang ke arah pemenuhan kebutuhan diri, dan memperlemah komitmen sosial.” Sedangkan pluralisme mengedepankan pertanyaan nilai-nilai siapa (warga negara Amerika Serikat keturunan bangsa apa, dari negara mana) yang harus diajarkan di sekolah-sekolah umum, sedangkan sekularisasi mengobarkan debat apakah pendidikan moral hanya merupakan tanggung jawab gereja atau tanggungjawab gereja bersama negara.

Menurut Tilaar (2002, hlm. 21) bahwa pendidikan sekular yang lahir di Eropa bertepatan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga pendidikan


(16)

secara berangsur-angsur menjadi pendidikan sekular. Pendidikan agama tinggal menjadi mata pelajaran sedangkan yang diprioritaskan adalah mata pelajaran-mata pelajaran sekular. Memang hasil dari pendidikan sekular telah membuahkan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah merombak kehidupan dan mungkin telah meningkatkan kemakmuran manusia modern. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan yang sekular tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral. Jangan-jangan pendidikan sekular telah ikut memicu berbagai peperangan serta kemunduran moral manusia dewasa ini.

Demikianlah faktor-faktor yang menyebabkan memudarnya pelaksanaan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, khususnya di ranah persekolahan, baik faktor-faktor yang bersifat filosofis dan ideologis, maupun faktor-faktor yang bersifat praksis.

Pendidikan sebagai proses pembentukan karakter dapat dilakukan dalam semua lingkungan kehidupan peserta didik, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, karena memang secara faktual kehidupan peserta didik berada pada semua lingkungan tersebut. Lickona (2012, hlm. 4) mengemukakan bahwa pendidikan karakter bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, berawal dari keluarga, sekolah dan meluas hingga organisasi keagamaan, organisasi pemuda, bisnis, pemerintahan, dan bahkan media. Tilaar (2004, hlm. 40) mengemukakan bahwa “pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi seseorang dalam kehidupan keluarga, masyarakat, yang berbudaya kini dan masa depan.” Hal senada dengan pendapat Lickona dan Tilaar, Azra (2006, hlm. 173) juga mengemukakan bahwa “pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat).”

Secara sosiologis, keluarga dimaknai sebagai unit sosial terkecil dalam struktur sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan Soelaeman (2006, hlm. 115) bahwa “keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi.” Secara umum fungsi keluarga dikemukakan Goode (2007, hlm. 9) meliputi “pengaturan seksual, reproduksi, sosialisasi, pemeliharaan, penempatan anak


(17)

dalam masyarakat, pemuas kebutuhan perseorangan, dan kontrol sosial. Menurut Soekanto (2009, hlm. 2) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai berlaku.”

Berdasarkan uraian tentang konsep keluarga yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat memahami peran dan fungsi keluarga dalam struktur sosial. Para pakar sepakat bahwa di antara fungsi keluarga itu antara lain adalah sebagai wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku.

Namun, secara faktual empiris dalam keluarga seringkali mengalami problem yang dalam sosiologi disebut dengan disorganisasi keluarga. Soekanto (2009, hlm. 324) menjelaskan bahwa “disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya.” Disorganisasi keluarga mungkin terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah tersebut disebabkan karena kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan.

Senada dengan pendapat Soekanto di atas, dalam konteks pendidikan karakter, Azra (2006, hlm. 172) mengemukakan bahwa “meski terkesan sedikit simplistis dan menyederhanakan masalah, krisis dalam karakter bangsa, agaknya juga terkait dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga.” Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai TV di Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga. Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak yang keluar dari keluarga dan rumah tangga


(18)

hampir tidak memiliki karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality). Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah, sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.

SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu institusi pendidikan formal yang berada dalam struktur sosial secara imperatif menjalankan dua misi integral sekaligus, yaitu menjadikan sekolah sebagai tempat bagi transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya pencapaian kecerdasan intelektual-akademik dan sebagai tempat internalisasi nilai-nilai dan norma-norma agama, dan sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia dalam upaya pembentukan karakter peserta didik.

Konteks pendidikan karakter, SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi mengembangkan nilai-nilai karakter dan budaya sebagai berikut: religius, semangat belajar, kreatif, inovatif, dan berbudaya lingkungan. Hal tersebut terlihat dari visi sekolah tersebut, yaitu terwujudnya sekolah yang unggul, berprestasi dan berbudaya lingkungan dilandasi iman dan takwa. Sedangkan misinya adalah: (1) mendidik siswa agar beriman, bertakwa dan berakhlak mulia; (2) menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama; (3) melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi semua guru dan siswa; (4) menumbuhkan semangat keunggulan warga sekolah dalam berkarya; (5) mengadakan inovasi pendidikan sesuai dengan perkembangan IPTEK; (6) menjadikan sekolah sebagai pusat belajar yang berbudaya lingkungan. Selain itu, juga terlihat dari tata tertib sekolah yang harus dipatuhi dan ditaati oleh seluruh warga sekolah.


(19)

Namun dalam tataran implementasinya, berdasarkan hasil pengamatan sementara peneliti pada objek penelitian bahwa akhir-akhir ini (periode 2012-2014) sekolah tersebut menghadapi tantangan dan problem yang tidak ringan, antara lain: sering terjadi pelanggaran disiplin sekolah, pelanggaran tata tertib sekolah, kebiasaan menyontek, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, kematangan seksual terlalu dini dan penyimpangannya, serta pelanggaran lainnya. Keadaan ini sungguh bertentangan dengan visi dan misi sekolah yang telah dirumuskan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kondisi ini tentunya berpengaruh negatif terhadap proses pendidikan dan menghambat pembentukan karakter dan penciptaan budaya sekolah yang kondusif. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan menjadi penghambat dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.

Fenomena tersebut di atas menunjukkan adanya ketidaksesuaian atau kesenjangan antara teori, nilai, norma, visi dan misi pendidikan dengan realitas fakta empiris yang terjadi dalam praksis pendidikan. Bertolak dari masalah inilah penelitian ini dilakukan, untuk menganalisis masalah yang ada dalam ruang lingkup kajian sosiologi pendidikan, yaitu hubungan pendidikan dengan pranata sosial antar manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, yakni peranan sekolah, keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan ahli sosiologi pendidikan, Idi (2011, hlm. 168) bahwa “pendidikan merupakan salah satu fungsi yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara terpadu untuk mengembangkan fungsi pendidikan.”

Terjadinya krisis karakter yang dialami oleh peserta didik di sekolah tersebut tentunya tidak muncul secara berdiri sendiri, hal tersebut terkait dengan latar belakang kondisi keluarga mereka dan teman-temannya di mana mereka bergaul dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Keluarga secara konvensional melakukan peranan dan fungsi sebagai wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku. Namun, belakangan ini terjadi perubahan, pergeseran, dan penurunan, bahkan hilangnya peranan dan


(20)

fungsi keluarga dalam pendidikan. Peranan dan fungsi tersebut digantikan oleh nilai-nilai, norma-norma, dan sistem lain yang dipandang lebih relevan dengan kondisi kehidupan dewasa ini. Di antara nilai-nilai, norma-norma dan sistem tersebut tentunya mungkin ada yang kompatibel dan mungkin juga ada yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya bangsa Indonesia.

Fakta empiris menunjukkan bahwa belakangan ini beberapa keluarga peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi mengalami disorientasi, disorganisasi dan disintegrasi dalam keluarga, antara lain orang tua peserta didik tidak berfungsi atas pola -pola yang dianggap sudah mapan, hal tersebut dimungkinkan bukan saja keberadaan faktor ekonomi yang tidak mendukung untuk ketersediaan kebutuhan pokok keluarga tetapi adanya sikap orangtua memiliki gaya hidup yang cenderung hedonistik, materialistik, permisif dan over protektif.

Pola keluarga yang terjadi pada peserta didik di SMA/MA Jampngtengah Kabupaten Sukabumi melahirkan corak baru sebagai alternatif yang dianggap pemaknaan fungsi dan peran keluarga bukan satu-satunya yang menjadikan peserta didik berkarakter baik dari keluarga yang utuh, tetapi ternyata dari keluarga yang tidak mapan ( broken home ) menjadikan peserta didik bersikap dan berkarakter baik.

Berdasarkan pemaparan di atas tampak jelas bahwa hal yang menjadi problematika pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita, selain disebabkan oleh faktor-faktor internal yang bersifat praktis dalam sistem pendidikan itu sendiri, juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang bersifat filosofis dan ideologis yang mengandung nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama dan sosial-budaya Indonesia, yang secara terus menerus mengalir deras masuk ke dalam dunia pendidikan kita, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat melalui arus gelombang globalisasi, yang ditandai dengan adanya perkembangan pesat di bidang teknologi, terutama teknologi informasi. Meski demikian, sesungguhnya dalam perkembangan tersebut, selain mempunyai implikasi positif bagi manusia, tetapi juga mempunyai dampak negatif yang sangat kuat seperti munculnya


(21)

pribadi-pribadi yang miskin spiritual, materialistik, individualistik, konsumeristik, hedonistik, dan mengalami frustasi eksistensial.

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut tidak boleh kita abaikan. Karena jika diabaikan, maka akan menjadi ancaman dan hambatan bagi pencapaian cita-cita pembangunan bangsa, terutama pembangunan karakter, budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.

Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka salah satu cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah perlu adanya perubahan besar dan mendasar, yaitu perubahan paradigma baru (new paradigm) dalam pendidikan untuk melakukan “restrukturalisasi” peranan institusi pendidikan secara sinergis antara keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan karakter peserta didik. “Restrukturalisasi” dimaknai sebagai upaya melakukan penyusunan kembali unsur-unsur yang telah terurai dalam sebuah sistem atau konsep.

Upaya restrukturalisasi sebuah sistem atau konsep dapat dilakukan melalui strategi “dekonstruksi” yang merupakan salah satu konsep yang lahir pada era posmodernisme yang diperkenalkan oleh Derrida. Al-Fayyadl (2009, hlm. 8) mengemukakan bahwa dekonstruksi merupakan strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu kita mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dekonstruksi bersifat anti teori atau bahkan anti metode, karena yang menjadi anasir di dalamnya adalah permainan (play) dan parodi. Menurut Johnsons (dalam al-Fayyadl, 2009, hlm. 8) bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian

etimologis kata “destruksi”. Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks ketimbang operasi yang merusak teks itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkai oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang berbeda.


(22)

Merujuk pada konsep dekonstruksi di atas, peneliti akan mencoba menggunakan pola dekonstruksi sebagai strategi membaca realitas kehidupan keluarga, khususnya hal yang berhubungan dengan peranan dan fungsi keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Fenomena tersebutlah yang menjadi kegelisahan akademik peneliti, sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah di SMA/MA Jampangtengah Kabupaten Sukabumi dalam bentuk tesis, sekaligus mencari solusi alternatif untuk mengatasi krisis karakter peserta didik yang dihadapi oleh sekolah tersebut. Hal ini pula yang mendorong rasa ingin tahu (curiosity) peneliti tentang peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik pada lembaga pendidikan tersebut melalui pendekatan strategi dekonstruksi. Atas dasar itulah, judul tesis ini dirumuskan: Dekonstruksi Sosial Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter (Studi Kasus terhadap Peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi).

Sejumlah penelitian terdahulu peneliti sajikan agar tidak terjadi pengulangan, duplikasi dan plagiasi dalam penelitian ini, berikut ini akan dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini, baik aspek peranan keluarga dalam pendidikan dan aspek pendidikan karakter, maupun aspek konsep dekonstruksi sosial. Dengan demikian, akan tampak distingsi dan signifikansi penelitian ini.

Rusmana (2008) melakukan penelitian dengan judul tesis “Tugas-Tugas Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Pendidikan Islami (Penelitian di Desa Bantarsari Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor pendukung keberhasilan pendidikan Islami dalam keluarga antara lain adalah keharmonisan suami istri. Keluarga mempunyai peranan penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebab dari keluarga yang rukun dan sehat akan lahir anak-anak yang selalu rukun dan sehat pula, baik jasmani maupun rohaninya. Dan dari anak-anak dan anggota keluarga yang sehat akan terjadilah suatu bangsa yang sehat, kuat dan perkasa.

Syahroni (2005) melakukan penelitian dengan judul tesis “Hak dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Anak dalam Pendidikan Islami”. Hasil


(23)

penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: (1) orang tua memiliki hak dan tanggung jawab terhadap anak-anaknya secara penuh, yang tidak bisa digantikan perannya sebagai pendidik pertama dan utama oleh institusi dan lembaga apapun; (2) tidak terpenuhinya hak dan tanggung jawab disebabkan: pertama, orang tua lebih banyak waktu di luar rumah; kedua, menitipkan anak ke panti-panti asuhan;

ketiga, tidak harmonis dalam keluarga.

Sri N. R (2014) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pergeseran Peran dan Fungsi Keluarga pada Perilaku Menyimpang Remaja di SMP Negri 1 Piyungan Bantul (dalam Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, No. 1). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pergaulan bebas dapat terjadi pada dasarnya karena adanya sosialisasi yang tidak sempurna pada diri remaja. Remaja cenderung berusaha mencari jati dirinya pada teman sebayanya dan lingkungannya. Sehingga apabila salah dalam mencari teman dan bersosialisasi pada lingkungan yang salah, mereka akan terjebak pada perilaku yang menyimpang. Karena itu peran dan fungsi orang tua sangat menentukan terhadap perilaku remaja pada saat ini.

Rustar (2010) melakukan penelitian tesis dengan judul “Pendidikan Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara”. Dalam tesisnya bahwa karakter menurut

Ki Hadjar Dewantara adalah budi pekerti atau watak yang merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Karakter terjadi karena perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar. Yang dinamakan dasar adalah bekal hidup atau bakat anak yang berasal dari alam sebelum mereka lahir, serta sudah menjadi satu dengan kodrat kehidupan anak. Sedang kata ajar diartikan segala sifat pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil baligh, yang dapat mewujudkan intellegible, yakni tabiat yang dipengaruhi oleh kematangan berpikir.

Purwaningsih (2010) melakukan penelitian dengan judul “ Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral” (dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, vol. 1 no. 1 ). Penelitian ini menyimpulkan bahwa keluarga merupakan lembaga masyarakat pertama dan utama yang menjadi wadah tumbuhkembangnya kepribadian dan karakter setiap


(24)

individu, keluarga mempunyai peranan amat penting dan strategis dalam penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai moral social dan budaya. Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua dengan anak yang demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam pembinaan nilai moral anak.

Idrus (2012) dengan penelitian berjudul “ Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa “ ( dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 2). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fenomena saat ini secara eksplisit menunjukan terjadinya penurunan etika, moral, dan karakter bangsa, situasi tersebut mengahruskan reformulasi pada proses pendidikan karakter agar setiap individu memiliki karakter yang baik. Proses pendidikannya dilakukan oleh tripusat pendidikan, yaitu sekolah, masyarakat dan keluarga. Dalam kontek masyarakat Jawa, model dan pembentukan karakter tercermin dari model pengasuhan yang dilakukan orang tua, berbagai model pengasuhan Jawa yang sudah dilakukan ketika anak masih bayi.

Dari penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Rusmana, Syahroni dan Sri NR adalah sama-sama meneliti tentang peranan dan fungsi orang tua dalam mendidik anak-anak. Dari aspek peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan, penelitian-penelitian tersebut juga ada persamaan dengan penelitian ini. Namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut. Adapun penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu tersebut, kajiannya terfokus pada rumusan konsep peranan dan fungsi orang tua dalam pendidikan anak-anak berdasarkan paradigma konvensional. Sedangkan penelitian ini, kajiannya difokuskan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik berdasarkan paradigma dekonstruksi.

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini ternyata belum ada peneliti lain yang melakukan penelitian secara spesifik dan mendalam terhadap masalah ini. Atas dasar itulah, penelitian ini penting dilakukan untuk mengisi kekosongan, khususnya dalam ruang lingkup kajian sosiologi pendidikan, terutama terkait


(25)

dengan topik peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui analisis strategi dekonstruksi.

1.2Rumusan Masalah Penelitian

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penelitian ini sebagai berikut: (1) Kondisi karakter manusia dewasa ini, sejak dari lingkup internasional sampai kepada lingkup personal individual mengalami krisis karakter kemanusiaan; (2) Terjadi marginalisasi nilai-nilai agama, moral dan budaya pada berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, yang pada gilirannya memunculkan berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Hal ini sebagai konsekuensi dari berkembangnya pemikiran gerakan filsafat modernisme dan posmodernisme; (3) Belakangan ini banyak keluarga mengalami disorientasi dan disorganisasi yang bermuara pada terjadinya disintegrasi keluarga yang menyebabkan terjadinya dekonstruksi peranan keluarga dalam pendidikan. Hal ini disebabkan oleh tiadanya harmoni dalam keluarga dan kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan.

Berdasarkan pada latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas, maka secara umum masalah penelitian ini adalah bagaimanakah peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif dekonstruksi?. Secara khusus masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi ?

2. Bagaimanakah peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi?

3. Bagaimanakah corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi?


(26)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik dalam perspektif dekonstruksi dengan cara mengungkai, mengurai dan membongkar konsep keluarga yang bersifat konvensioanl menuju restrukturalisasi konsep keluarga yang memiliki makna baru yang bersifat dekonstruktif.

Adapun secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis keadaan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

2. Menganalisis peranan keluarga dalam membentuk karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

3. Menganalisis corak dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik segi teoritis maupun segi praktis:

1. Segi teoritis dapat dijadikan sebagai masukan atau sumbangan keilmuan bagi penambahan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam sosiologi pendidikan, terutama mengenai dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.

2. Segi praktis dapat dijadikan pedoman bagi guru dan orangtua mengenai peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik.

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan mengenai permasalahan tentang karakter peserta didik yang berkaitan dengan peranan keluarga.

4. Manfaat untuk pemerintah, dapat dijadikan sebagai masukan dalam menyusun kebijakan agar menjadi pedoman bagi penyelenggara pendidikan dalam membentuk kepribadian anak dan peserta didik.


(27)

1.5 Struktur Organisasi Tesis BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang 1.2Rumusan Masalah 1.3Tujuan Penelitian 1.4Manfaat Penelitian

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.1Teori Dekonstruksi sosial

2.2Dekonstruksi dalam Kontek Pendidikan 2.3Konsep dasar Pendidikan Karakter

2.4Pendidikan Karakter dalam Keluarga dan Masyarakat 2.5Pendidikan Karakter Melalui Sekolah

2.6Kurikulum dan Pembelajaran Sosiologi dalam Pembentukan Karakter

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian 3.2Metode Penelitian 3.3Subjek Penelitian 3.4Jenis Data

3.5Alat Pengumpul Data 3.6Teknik Pengumpulan Data 3.7Teknik Analisis Data

3.8Waktu dan Tempat Penelitian 3.9Paradigma Penelitian

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.2Keadaan Karakter Peserta Didik

4.3Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter


(28)

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1Kesimpulan 5.2Implikasi 5.3Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(29)

83 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis suatu bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui suatu kajian dan pemahaman terhadap fenomena pendidikan SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research), karena pendekatan kualitatif sebagaimana pendapat Sukmadinata (2006, hlm. 94) “ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan.” Partisipan adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Menurut Sukmadinata (2006, hlm. 60) bahwa “penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok.” Menurut Moleong (2006, hlm. 6) penelitian kualitatif adalah

“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”

Menurut Nasution (2003, hlm. 5) bahwa penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah “mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik.” Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif bukan kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik, karena situasi lapangan natural atau wajar, sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi diatur dengan eksperimen atau tes. Penelitian naturalistik bersifat sekunder, sehingga tidak dipastikan kapan berakhir. Penelitian dapat berlangsung terus untuk memperoleh pemahaman yang senantiasa lebih mendalam. Namun


(30)

pada suatu saat penelitian dihentikan karena pertimbangan waktu, biaya dan tenaga.

Dalam penelitian ini, peneliti mengungkap fenomena tentang proses pendidikan karakter SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Peneliti yang bertindak sebagai instrumen penelitian, mengumpulkan, mendeskripsikan, dan menganalisis data yang diperoleh mengenai peranan keluarga dalam pembentukan karakter sesuai dengan langkah-langkah penelitian kualitatif.Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006, hlm. 4) bahwa “pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”

Merujuk pada prinsip-prinsip penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini tidak bermaksud menguji hipotesis, melainkan hendak mengkonstruksi suatu konsep dari data-data yang diperoleh di lapangan, yaitu tentang fenomena pendidikan karakter di SMA/MA Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan menganalisis dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter, sehingga ditemukan suatu gambaran sistem dan konsep yang dapat menjadi sumber dalam membuat konstruk bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, penelitian ini lebih menekankan pada observasi dan deskripsi suasana alamiah (natural

setting) sebagaimana adanya.

Proses menemukan bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter melalui penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada hasil interpretasi terhadap data-data yang berhasil dideskripsikan. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini lebih berorientasi pada penelitian interpretatif. Dengan pendekatan kualitatif verifikatif ini, peneliti berusaha memotret situasi pendidikan yang terjadi SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi, terutama yang menyangkut proses penanaman nilai-nilai dalam rangka pembentukan karakter, kemudian menafsirkan fenomena pendidikan tersebut dari sudut ilmu pendidikan untuk menggali makna di balik fenomena proses pendidikan yang tampak. Dari hasil pemaknaan tersebut kemudian dirumuskan implikasi teoritis dan implikasi praktisnya, untuk selanjutnya dibangun suatu


(31)

konstruk bentuk dekonstruksi sosial peranan keluarga dalam pembentukan karakter. Sukmadinata (2006, hlm. 94) mengemukakan bahwa “beberapa penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekadar memahami fenomena, tetapi juga mengembangkan teori (atau konsep).“

3.2Metode Penelitian

Ditinjau dari segi tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk kategori jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Sukmadinata (2006, hlm. 99) mengemukakan bahwa:

Penelitian kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainnya. Satu fenomena tersebut bisa berupa seorang pimpinan sekolah atau pimpinan pendidikan, sekelompok siswa, suatu program, suatu proses, suatu penerapan kebijakan, atau satu konsep.

Babbie (1998, hlm. 282) mengemukakan bahwa “studi kasus merupakan pengamatan ideografis dari individu, kelompok, atau masyarakat.” Tujuan utamanya adalah deskripsi dan usaha untuk menjelaskan. Contohnya meliputi sebuah gambaran antropologis suatu suku tertentu yang belum melek huruf, sebuah analisis sosiologis struktur organisasi kerjasama yang modern, dan penelitian seorang ilmuwan politik dari gerakan politik tertentu. Menurut Robert Yin (2014, hlm. 18), studi kasus adalah “suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan.” Selanjutnya Aziz (dalam Bungin, 2008, hlm. 20)menyatakan bahwa “metode studi kasus dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian.” Basrowi dan Sukidin (2002, hlm. 30) mengemukakan bahwa “penelitian studi kasus didasarkan pada filsafat fenomenologi.” Sebagai aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode analisis berpikir, fenomenologi diperkenalkan oleh Husserl, yang beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang tampak apa adanya. Suatu fenomena yang tampak sebenarnya refleksi realitas yang tidak berdiri sendiri, karena yang tampak itu adalah objek yang penuh


(32)

dengan makna yang transendental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.

Menurut Bungin (2011, hlm. 67) bahwa “berdasarkan pengalaman dalam melakukan berbagai penelitian kualitatif, maka format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikatif dan format

grounded theory.” Sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan format desain kualitatif verifikatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Bungin (2011, hlm. 70) bahwa “desain kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan dilakukan karena itu format desain penelitiannya secara total berbeda dengan format deskriptif kualitatif.” Format ini lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan strategi memperoleh data di lapangan, sehingga format penelitiannya menganut model induktif. Namun dalam hal memperlakukan teori, format kualitatif verifikatif lebih longgar dalam arti tetap terbuka pada teori, pengetahuan tentang data dan tidak mengharuskan peneliti menggunakan

“kacamata” kuda.

Bungin (2011, hlm. 71) menegaskan bahwa “keunggulan penelitian kualitatif salah satunya ada pada metode ini, karena ia berupaya mengungkapkan makna yang ada dibalik data yang tampak.” Hal-hal yang tak tampak itulah yang menjadi sasaran metode kualitatif verifikatif dan menjadikannya sebagai kritik tajam terhadap pendangan positivisme yang melahirkan pandangan kuantitatif.

3.3Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori.

Sesuai dengan hakekat kualitatif, subjek dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, artinya subjek penelitian sebagai sumber data dipilih dengan pertimbangan tertentu. Menurut Faisal (dalam Sugiyono, 2006, hlm. 303) dengan mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa situasi sosial untuk sampel awal sangat disarankan suatu situasi sosial yang didalamnya menjadi semacam


(33)

muara dari banyak domain lainnya. Menurutnya bahwa, sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Informan yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya;

b) Informan yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti;

c) Informan yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi;

d) Informan yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil

“kemasannya” sendiri;

e) Informan yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara sumber.

Berdasarkan kriteria di atas maka peneliti menentukan lokasi dalam melakukan penelitian ini yaitu SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Sedangkan subjek dari penelitian ini terdiri dari peserta didik yang berperilaku menyimpang, Guru BK, Wali Kelas, Kepala Sekolah, dan orang tua peserta didik mengalami penyimpangan SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

3.4Jenis Data

Dengan merujuk pada rumusan masalah penelitian ini, maka jenis data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu: (1) data-data mengenai keadaan karakter peserta didik; (2) data-data mengenai peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik; dan (3) data-data mengenai dekonstruksi sosial peranan keluarga, terutama terkait dengan peran dalam pembentukan karakter peserta didik.

3.5Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan pedoman observasi, dengan langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut :


(34)

a) Tahap Persiapan

Merumuskan masalah penelitian dengan aspek-aspek yang akan diteliti disertai indikator-indikator dan sub indikatornya, kemudian mempersiapkan pedoman wawancara yang akan ditanyakan kepada responden dan pedoman observasi berdasarkan pada aspek-aspek yang akan diteliti agar proses wawancara dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

b) Tahap Pelaksanaan

Tahap persiapan merupakan tahap penggalian data yang lebih spesifik dengan melakukan wawancara, mengadakan observasi pada proses kegiatan sekolah tentang kepribadian peserta didik. Kegiatan-kegiatan tersebut diatas dimaksudkan untuk memudahkan dalam tahap pelaksanaannya, disamping agar data yang dibutuhkan dapat terungkap sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh peneliti.

3.6Teknik Pengumpulan Data

Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode yang tepat diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpulan data ini sangat berpengaruh pada objektifitas hasil penelitian. Tahap pengumpulan data dan teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Menurut Bungin (2011, hlm. 140) mengungkapkan bahwa:

Pada tahap ini peneliti selalu mempertimbangkan hal-hal seperti penciptaan rapor, pemilihan sampel, pengumpulan data dengan wawancara, pengumpulan data dengan observasi, pengumpulan data dari sumber-sumber nonmanusia, dan pencatatan data atau informasi hasil pengumpulan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Sarana pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam pengumpulan data ini adalah buku catatan, balpoin dan kamera foto untuk mendokumentasikan berlangsungnya kegiatan pada peranan keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.


(35)

Teknik pengumpulandata yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan observasi partisipan, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan studi literatur atau studi kepustakaan.

a) Observasi Partisipan

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan pancaindra dan sarana lainnya sebagai pendukung. Menurut Bungin (2011, hlm. 118) mengungkapkan bahwa “observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya.” Dalam penelitian naturalistik sangat mementingkan observasi sebagai alat pengumpul data, yakni dengan melihat dan mendengarkan. Observasi ini dilakukan penulis dengan mengamati secara langsung peserta didik atau siswa dalam aktifitas belajar disekolah tentang kepribadian peserta didik, keadaan lingkungan, sarana, prasarana serta tahap objek lain yang mendukung dalam aktifitas tersebut. Untuk mempermudah penulis dalam melakukan observasi, penulis menggunakan instrumen atau alat pengumpulan data berupa pedoman observasi.

Observasi pada penelitian ini yaitu pengumpulan data di mana peneliti mengamati dan mencatat informasi mengenai peran keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik melalui aktifitas belajar peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi. Observasi ini dilakukan dengan mengamati aktifitas-aktifitas di sekolah yang dilaksanakan selama kurun waktu 1-3 bulan. Observasi yang dilakukan yaitu dengan cara langsung mengamati dalam aktifitas yang dilakukan peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi serta datang langsung ke rumah keluarga untuk mengamati aktivitas responden dan kebiasaan sehari-harinya di dalam keluarga. Adapun alat yang digunakan pada saat observasi penelitian adalah pedoman observasi dan kamera foto.


(36)

b) Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Selain dengan melakukan pengamatan atau observasi, yang memang merupakan teknik pengumpulan data terkuat dalam jenis penelitian ini, dapat memperkaya atau memperteguh datanya dengan melakukan wawancara.

Bungin (2011, hlm. 111) mengemukakan bahwa:

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Peneliti menggunakan teknik wawancara sebagai alat pengumpulan data yang tidak biasa diketahui hanya melalui observasi saja. Untuk mempermudah penulis dalam melakukan wawancara, penulis menggunakan instrumen/alat pengumpul data berupa pedoman wawancara. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SMA/MA Jampangtengah Kabupaten Sukabumi, guru BK SMA/MA Jampangtengah dan orang tua peserta didik, peserta didik dengan tujuan untuk mengumpulkan data tentang peran keluarga dalam pembentukan karakter peserta didik SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

c) Studi Dokumentasi

Data dalam penelitian kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber manusia atau human resources, melalui observasi dan wawancara. Akan tetapi ada pula sumber bukan manusia, non human resouces, di antaranya dokumen, foto dan bahan statistik. Dokumen terdiri atas tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat dan dokumen resmi. Dokumen, surat-surat, foto dan lain-lain dapat dipandang sebagai nara sumber yang dapat diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya berbentuk verbal dan visual, tidak berhubungan langsung dengan angka, selain itu interpretasi dan analisis data kualitatif tidak menggunakan rumus-rumus mutlak, tapi berupa pedoman untuk menginterpretasikan analisis data, penghayatan dan pengkayaan


(37)

teori serta interpretasi data, penulis mengadakan pengurutan dan penganalisaan setelah data terkumpul.

Karena yang dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif melalui studi verifikatif permasalahan secara umum dan bila memang mungkin akan diadakan studi kaji tindak terhadap permasalahan yang telah diketahui tersebut dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang menjadi fokus utama penelitian ini.

d) Triangulasi Data

Dalam teknik pengumpulan data triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Triangulasi bertujuan untuk mengumpulkan data sekaligus menguji kreadibilitas data, yaitu mengecek kreadibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data berbagai sumber data.

Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Sedangkan triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan hasil wawancara mendalam dari setiap informan yaitu, Kepala Sekolah, Guru BK/BP, peserta didik dan orangtua peserta didik di SMA/MA di Jampangtengah Kabupaten Sukabumi.

3.7Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan peneliti tentang permasalahan yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Data tersebut dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan sesuai kenyataan realita yang ada di lapangan. Proses analisis data yang peneliti gunakan yaitu analisis kualitatif dan menggunakan metode deskriptif verifikatif.

Dalam hal ini penarikan kesimpulan berdasarkan suatu standar atau kriteria yang telah dibuat peneliti dari data tentang peran keluarga terhadap


(1)

165 Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Fayyadl, Muhammad, (2009). Derrida. Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang. An-Nahlawi, Abdurrahman, (1995). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan

Masyarakat. Jakarta: Gema Insani.

Aprilia, Silvi Ayu. 2013. Membangun Karakter Siswa Melalui Penerapan Mata Pelajaran Sosiologi yang Berbasis pada Pendidikan Karakter.

http://silviayuuu.blogspot.com/2013/11/sosiologi-dan-pendidikan-karakter.html

Arikunto, Suharsimi, (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.

Azra, Azyumardi, (2006). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas.

Babbie, Earl, (1998). The Practice of Social Research. New York:Wadsworth Publishing Company.

Basrowi dan Sukidin, (2002). Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro (Surabaya: Insan Cendikia.

Burhanuddin. 2013. IPS dan Pendidikan Karakter. http://petanipengetahuan.blog-spot.com/2013/04/pendidikan-karakter-dalam-ips.html

Bungin, Burhan, (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Bungin, Burhan, (2008). Analisis data Penelitian Kualitatif: Pemahaman

Filosofis dan Metodologis ke Arah penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Burgess, E.W & Locke, H.J. (1960). The Family from Instituation to Companionship 2 Ndedition. New York : American Book Company

Christopher, (2003). Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Ar-Ruzz: Yogyakarta.

Daradjat, Zakiah, (1995). Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.

Darmadi, Hamid. 2012. Manfaat Sosiologi.

http://hamiddarmadi.blogspot.com/2012/04/manfaat-sosiologi.html

Dictionary, (2011). Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: Oxford University Press.

Duvall, E & Miller, B., (1985). Marriage and family development. New York: Harper And Crow Publisher.

Echols, John M. dan Hasan Shadily, (2000). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.


(2)

Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Elly MS dan Usman K, (2013). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Fadjar, A. Malik, (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta:Rajagrafindo Persada.

Fattah, Nanang, (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Gerungan W.A., (2010). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Goode, William J., 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Haryanto, (2012). Mengapa Perlu Adanya Pendidikan Karakter. http://belajarpsikolo-gi.com/mengapa-perlu-adanya-pendidikan-karakter Hasan, Said Hamid, dkk., (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, (1984). Sociology, edisi keenam. Terjemahan. Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga. Idi, Abdullah, (2011). Sosiologi Pendidikan, Individu, Masyarakat, dan

Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Jalal, Fasli, (2010). Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa: Tiga Stream Pendekatan. Jakarta: Kemendiknas.

Kamaluddin, Laode M. (editor), (2010). On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam.Semarang: UNISULA Press.

Kartanegara, Muyadhi, (2007). Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas. Jakarta: Erlangga.

Kayam, Umar. Prisma No.3 Th XVI 1987. Keselarasan dan Kebersamaan : Suatu Penjelajahan Awal. Jakarta : LP3ES.

Kesuma, Dharma, dkk. (2011). Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Kristeva, J., (1980). Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and ArtTranslated by T. Gora, A. Jadine, and L. S. Roudiez. New York: Columbia University Press.

Koentjaraningrat, (2009). Pengantar Ilmu Antropologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Koesoema A, Doni (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.Jakarta: Grasindo.

Langgulung, Hasan, (2003). Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Lickona, Thomas. “The Return of Character Education,“ Character Education, November 1993, Volume 81, Number 3.


(3)

Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Lickona, Thomas, (2012). Character Matter (Persoalan Karakter): Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting lainnya. Jakarta: Bumi Aksara.

Lickona, Thomas, (2013). Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.

Linton. Ralph, (1984) Antropologi: Suatu Penyelidikan tentang Manusia. Bandung: Jemars.

Majid, Abdul dan Andayani, Dina, (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Madjid, Nurcholish, (1995). Islam Agama Masa Depan Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Paramadina.

Madjid, Nurcholish, (2000). Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina.

Madjid, Nurcholish, (2004). Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia pustaka Utama. Markum, M. Enoch, (1983). Anak, Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta: Sinar

Harapan.

Martono, Nanang, (2010). Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problemtika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava Media.

Mead, George Herbert, (1934). Mind, Self and Society. Chicago: University of Chicago Press.

Moleong, Lexy J., (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng, (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi IV). Yogjakarta: Rake Sarasin.

Muhidin, Syarif, (1980). Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: Penerbit STKS.

Muslich, Mansur, (2011). Pendidikan Karrakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasir, Sahilun A., (1991). Tinjauan Akhlak. Surabaya: Al-Ikhlas.

Nasution, S (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung:Tarsito. Newcomb, Theodore M. et.al. (1978). Psikologi Sosial. Bandung: CV.

Diponegoro.

Norris, Christoper, (2009). Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogyakarta: Arruz Media.

O‘Neill. William F, (2002). Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Philips, Simon (2008). Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antroplogi Indonesia.


(4)

Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Prawironegoro, Darsono, (2010). Filsafat Ilmu: Kajian tentang Pengetahuan yang Disusun Secara Sistemik dalam Membangun Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Nusantara Consulting.

Rusmana, Uus, (2008). Tesis. Tugas-tugas Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Pendidikan Islam. Bandung: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati.

Ratna, Nyoman Kutha, (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roucek, S.J dan Warren, L.R, (1984). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina Aksara. Rustar, Muhammad, (2010). “Pendidikan Karakter menurut Ki Hadjar

Dewantara.” Tesis S2 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta: tidak dipublikasikan.

Samani, Muchlas dan Hariyanto, (2011). Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Setiadi, (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Shihab, M. Quraish, (1994). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraish, (2006). Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhû‘i atas Pelbagai Persoalan Umat Bandung:Mizan.

Soekanto, Soerjono (1987). J.S. Roucek : Pengendalian Sosial. Jakarta : CV. Rajawali.

Soekanto, Soerjono, (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono, (2009). Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga,

Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta.

Soelaeman, M. Munandar, (2006). Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Soetandyo Wignjosoebroto, (2006). Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya). Jakarta: ELSAM dan HUMA.

Spivak, Gayatri Chakravorty, (2003). Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono, (2006). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suhandi (1972). Proses Enkulturasi (Sebuah Pengantar pada Antropologi Kepribadian). Diktat Kuliah. Bandung : Fakultas Sastra UNPAD.


(5)

Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sukmadinata, Nana Syaodih, (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suyadi (2013). Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syahroni, (2005).Tesis Hak dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Anak dalam Pendidikan Islam. Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Djati.

Tilaar, H.A.R, (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tilaar, H.A.R, (2004). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Redaksi (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Settiady, (2006). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Usman, Ujer, (2006). Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Akasara.

UU Nomor: 20 (2003) SISDIKNAS. Jakarta: CV. Rajawali.

Yin, Robert K, (2014). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zahruddin AR dan Hasanauddin Sinaga, (2004). Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali.

Zubaedi, (2011). Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Jurnal

Almusanna, (2010). “Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter melalui Evaluasi Responsif “ dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional, Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010.

Anisah, Ani S, (2011). “Pola Asuh Orang tua dan Implikasinya Terhadap

Pembentukan Karakter Anak”, dalam Jurnal Pendidikan Universitas

Garut: Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut, Volume 05. Nomor 01, 2011.

Hyoscyamina, Darosy E, (2011) “Peran Keluarga dalam Membangun Karakter Anak”, dalam Jurnal Psikologi UNDIP, Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang, Volume 10, Nomor 2, Oktober 2011. Idrus, Muhammad, (2012). “Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa” Jurnal

Pendidikan Karakter, Yogyakarta: FAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Tahun II, Nomor 2, Juni 2012


(6)

Erus Rusmana, 2015

DEKONSTRUKSI SOSIAL PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Purwaningsih, Endang, (2010). “Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral” Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora: Pendidikan IPS, FKIP Universitas Tanjungpura, Volume 1, Nomor 1, April 2010

Sri N. R (2014). “Dampak Pergeseran Peran dan Fungsi Keluarga pada Perilaku Menyimpang Remaja di SMP Negri 1 Piyungan Bantul” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, No. 1.

Tatman, Edmonson, dan Slate, (2009). “Character Education: An Historical Overview” dalam International Journal of Educational Leadership. Volume 4, Number 1, January-March.

Tangkudung, JPM, (2014). “Peranan Komunikasi Keluarga dalam Mencegah Kenakalan Remaja di Kelurahan Malalayang 1 Kecamatan Malalayang”, dalam Journal Volume III, Nomor 1, Tahun 2014.

Ungkang, Marcelus, (2013). “Dekonstruksi Jaques Derrida sebagai Strategi

Pembacaan Teks Sastra”. Jurnal Pendidikan Humaniora, Malang:

Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Volume 1, Nomor 1, Maret 2013.

Wening, Sri, (2012). “Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai”, dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun II, Nomor 1, Februari 2012.