PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP DALAM PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK TUNALARAS.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Paradigma baru dalam dunia Pendidikan Luar Biasa ( special education) telah mulai bergeser pada Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (special needs education), yang cakupannya lebih luas, menjangkau seluruh jenis anak yang memiliki kesulitan belajar. Pendidikan Luar Biasa ( special education) umumnya hanya menargetkan pada anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa, dan anak tunalaras itupun tidak selalu memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Cakupan dari Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (special needs education) meliputi seluruh anak yang memiliki kesulitan belajar, termasuk anak yang mempunyai kesulitan dalam berbahasa, membaca, menulis, dan /atau matematika, anak yang dianggap nakal dan dikucilkan akibat keadaan sosial, emosional, ekonomi, atau politik dapat dilayani melalui pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus (children with special educational needs) dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanent). Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor


(2)

eksternal. Misalnya anak yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperkosa, anak yang mengalami kemiskinan, anak jalanan sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementara, tetapi bila anak tidak memperoleh intervensi yang tepat bisa menjadi permanent. Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan iteraksi-komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.

Salah satu dari sekian banyak anak berkebutuhan khusus (children with special educational needs) adalah anak tunalaras (anak nakal), yang termasuk kelompok anak berkebutuhan khusus bersifat temporer atau permanent. Anak tunalaras umumnya diasosiasikan dengan anak remaja yang sering menimbulkan keresahan dan keonaran baik di sekolah, keluarga dan masyarakat, seperti mencuri, mabuk, pemakaian narkotika, perkelahian, perkosaan, pembunuhan dan sebagainya. Di sekolah perbuatannya seperti sering membolos, melanggar tata tertib sekolah, merokok, mabuk-mabukan dan lain-lain sehingga atas perbuatannya dapat merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 32 ayat 1 mengisyaratkan bahwa Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,


(3)

emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Anak tunalaras memiliki masalah sosial dan emosi, sehingga mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajarnya dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dalam kondisi seperti itu mereka perlu diberikan suatu pelayanan bimbingan rehabilitasi sosial yang mengarah pada pemberdayaan kemampuannya melalui pelatihan life skills education (pendidikan kecakapan hidup) yang ditekankan pada keterampilan vokasional dan diharapkan mereka dapat diterima di masyarakat dan mampu mandiri setelah diberikan pelayanan bimbingan rehabilitasi sosial.

Banyak para ahli mengemukakan berbagai definisi anak tunalaras, namun semuanya mengarah pada penyimpangan prilaku pada usia anak atau remaja. Menurut Suparno et al (2005:3.14) bahwa:

Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan prilaku, yang ditujukan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada prilaku sosialnya.

Untuk memberikan label tunalaras minimal harus memenuhi beberapa kriteria yang menggambarkan adanya :

1. Penyimpangan prilaku (Disorder). 2. Problema belajar (Achievement).

3. Menyimpang dari norma yang diberlakukan dimana anak itu berada. 4. Membutuhkan pendidikan khusus.

5. Frequensi dari prilaku negatif yang cukup tinggi. 6. Intensitas atau berat ringannya prilaku menyimpang.


(4)

7. Usia (anak, remaja, atau dewasa).

8. Jenis kelamin, prilaku yang dilakukan oleh pria dikatakan biasa tapi bila dilakukan oleh wanita bisa dikatakan menyimpang.

9. Adanya prilaku psikopat.

10. Kecacatan / kelainan lain seperti fisik / psikis yang menyertai.

Walaupun sudah ada indikator untuk memberikan label tunalaras, namun kita tetap masih memiliki kendala untuk menentukan prilaku menyimpang, hal ini disebabkan oleh :

1. Belum adanya norma / standar yang bersifat universal, walaupun ada bersifat agama / medis / psikologis.

2. Waktu, dulu dan sekarang, mungkin dapat berubah-ubah.

3. Prilaku ekstrim, baik yang bagaimana, buruk yang bagaimana (relatif).

4. Kriteria penyimpangan prilaku bisa berbeda karena tempat, budaya atau dibudayakan.

5. Adanya kekaburan pengertian dalam masyarakat tentang tingkah laku biasa atau tingkah laku terganggu.

6. Definisi tingkah laku menyimpang tidak dapat bebas dari pengaruh norma yang ada dan berlaku di masyarakat.

7. Tidak ada model ideal dari tingkah laku yang tidak menyimpang.

8. Secara psikologis yang menyimpang itu bukan individunya, tetapi prilakunya atau tingkah laku abnormal yang dilakukan oleh orang normal.

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin hari semakin bertambah dengan pesat, berdasarkan data sheet keadaan jumlah penduduk tahun


(5)

2005 diperkirakan berjumlah 221.900.000 orang. Berdasarkan data tersebut apabila jumlah anak usia sekolah berkisar 40 % dari populasi penduduk, maka diperkirakan anak usia sekolah berjumlah 88.750.000 orang. Kauffman J. M dan Hallahan D. P (1982) menyebutkan prevalensi anak tunalaras berjumlah 2 % dari anak usia sekolah, sehingga berdasarkan pendapat tersebut di Indonesia anak tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah DEPDIKNAS, Th 2006 Anak Tunalaras (Anak Nakal) yang berjumlah 1.775.000 orang ini baru tertampung 788 orang yang tersebar di 13 Sekolah Luar Biasa (SLB/E) se Indonesia jadi pada dasarnya belum seluruhnya tertampung dalam pendidikan formal apalagi nonformal, ini menandakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah untuk Anak Tunalaras masih dianggap hutan belantara, mengingat belum banyak yang membuka secara khusus tentang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi anak tuna laras, kebanyakan baru pada taraf pendidikan formal.

Beberapa hal yang menjadi alasan mengapa anak tunalaras sedikit sekali ditangani atau yang tertampung di pendidikan formal maupun di pendidikan nonformal, ini disebabkan karena :

1. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya diberi label anak tunalaras, walaupun kenyataannya anak mereka termasuk pada kategori anak tunalaras. Sehingga banyak orang tua yang memiliki anak tunalaras tidak memasukan anaknya kepada panti sosial atau sekolah khusus anak tunalaras (SLB/E), tapi dipaksakan bersatu untuk mengikuti pendidikan disekolah reguler bersama-sama dengan anak yang tidak tunalaras tanpa diberi layanan khusus.


(6)

2. Pendidikan bagi anak tunalaras sebenarnya tidak hanya diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional saja, melainkan diselenggarakan juga oleh departemen lain atau lembaga sejenis LSM yang merasa berkepentingan untuk menangani pendidikan anak tunalaras. Misalnya Departemen Sosial, Departemen Kepolisian, Departemen Kehakiman dan LSM seperti yayasan-yayasan yang menagani masalah rehabilitasi penyalahgunaan obat terlarang/narkotika.

3. Sifat dan derajat ketunalarasan itu sendiri kebanyakan tidak permanen seperti ketunaan yang lainya, misalnya tunanetra itu seumur hidup, tapi tunalaras tidak selamanya dan ada derajat yang dikatakan ringan, sedang dan berat. Tingkat ringan dan sedang, banyak para orang tua menganggap belum saatnya dimasukkan ke SLB/E atau penampungan yang menyelenggarakan pendidikan sejenis rehabilitasi pada anak tunalaras, walaupun derajat itu bersifat relatif tergantung dari sisi apa, siapa, dimana orang menilai, dalam arti adanya kesulitan menentukan batasan prilaku menyimpang.

Secara kualitas dan kuantitas saat ini para remaja yang melakukan pelanggaran hukum di negara Indonesia semakin meningkat, hal tersebut di sinyalir dalam pernyataan resmi penegak hukum. Berdasarkan pernyataan kepala lapas anak Tangerang bahwa daya tampung LP sudah melebihi kapasitas yang seharusnya, bahkan mencapai empat kali lipat. Akhir tahun 2007 kenakalan yang dilakukan remaja dalam Gang Motor menujukkan kriminalitas yang sadisme, dengan melakukan pengaiayaan dan perampokan di jalanan tanpa pandang bulu. Romli Atmasasmita (1985: 23) mengatakan :“Delinquency adalah suatu tindakan


(7)

atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela”, dalam hal ini menurut pakar hukum istilah delinquency ditujukan kepada mereka yang menyandang label tunalaras.

Berdasarkan kutipan tersebut menunjukkan adanya suatu perbuatan atas pelanggaran-pelanggaran, sehingga dikalangan masyarakat dengan adanya kenakalan masyarakat dapat menimbulkan kegelisahan yang nantinya dapat mempengaruhi kehidupan di masyarakat sekitar. Para remaja nakal banyak yang terlibat dalam pelanggaran norma hukum dan sosial yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu anak tunalaras perlu diberikan layanan rehabilitasi melalui berbagai bimbingan, seperti bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan keterampilan yang terangkum dalam pelatihan kecakapan hidup. Setelah mengikuti program pelatihan kecakapan hidup diharapkan mereka dapat meningkatkan kemandirian, sehingga mereka dapat memperoleh bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pelatihan kecakapan hidup sangat perlu diberikan kepada anak tunalaras, mengingat pandangan masyarakat terhadap anak yang telah diberi label “anak nakal / tunalaras” lebih-lebih mereka diketahui pernah berada pada lembaga pendidikan atau penampungan anak nakal masih dipandang negatif, walaupun anak tersebut sudah tidak memiliki label anak nakal / tunalaras. Diharapkan dengan bekal keterampilan hidup yang diperoleh melalui program


(8)

pelatihan kecakapan hidup, anak tersebut dapat memiliki sikap kemandirian yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran” yang diperkuat lagi oleh Undang-undang Pendidikan tentang Pendidikan dan pengajaran luar biasa, serta Deklarasi hak anak yang berbunyi :

The child that is hungry must be fed. The child that is sick must be nursed. The child that is physically and mentally handicaped must be helped. The maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be sheltered and secured.

Dengan demikian jelas bahwa para remaja yang berstatus sebagai anak tunalaras baik yang ditampung di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, di Panti Panti Sosial maupun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan anak (LP) harus diberikan pelayanan pendidikan serta bimbingan sesuai dengan deklarasi tersebut.

Masalah kenakalan remaja merupakan masalah yang sangat kompleks, yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kerangka Pembangunan Nasional, sehingga menuntut adanya upaya penanggulangan baik yang bersifat preventif, represif maupun rehabilitasi. Untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu kebijakan tertentu dalam melakukan rehabilitasi para remaja, salah satu diantaranya melalui proses pendidikan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah. Kenyataan di lapangan pendidikan yang bermuatan pelatihan pendidikan kecakapan hidup yang diberikan kepada anak tunalaras baik yang ditampung di Panti-panti Sosial, di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak, diselenggarakan secara


(9)

penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras akan lebih efektif apabila diselenggarakan dengan integrated model antara Pendidikan Luar Sekolah dengan Pendidikan Formal, artinya model ini menggabungkan kedua jalur pendidikan tersebut ke dalam suatu sistem yang terpadu. Sistem terpadu meliputi pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta komponen-komponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan terpadu diharapkan akan lebih fleksibel dan akan berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan bangsa. Mengingat beragamnya keberadaan dan latar belakang pendidikan yang telah diperoleh anak tunalaras sebelumnya, program PLS pada dasarnya dapat dilaksanakan dan diikuti oleh semua anak tunalaras.

B. Identifikasi Masalah

Masalah-masalah yang akan muncul dari fenomena warga belajar dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Kegiatan pelatihan dan bimbingan masih terfokus pada juknis program yang baku seperti belum optimalnya pemanfaatan waktu luang ke arah yang lebih positif, yang dapat memberikan peluang bagi anak nakal untuk berperilaku menyimpang.

2. Kegiatan pelatihan dan bimbingan masih belum memanfaatkan potensi lokal secara optimal sehingga menimbulkan dampak negatif di antaranya adanya ketidakberlanjutan program pelatihan dan bimbingan sebagai materi


(10)

rehabilitasi sosial sehingga anak merasa prestasi yang telah dicapai kurang dihargai.

3. Kegiatan pelatihan dan bimbingan yang selama ini dilaksanakan di PSMP Handayani Jakarta kurang produktif atau belum mampu memberikan keterampilan yang dibutuhkan oleh warga belajar (anak nakal) supaya bisa hidup mandiri. Ini terjadi karena adanya berbagai kendala internal dan ekternal warga belajar.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, perlu diupayakan suatu kreativitas yang inovatif dari pembimbing atau pelatih untuk memanfaatkan potensi lokal yang ada di dalam lingkungan dimana anak tersebut tinggal. Upaya tersebut didasari pada pemikiran bahwa kegiatan pelatihan kecakapan hidup, dalam rangka bimbingan rehabilitasi sosial anak tunalaras bertujuan untuk mengembalikan sikap sosial anak agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar, dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, serta dapat hidup mandiri di masyarakat.

C. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, ternyata belum ditemukan pelatihan kecakapan hidup yang mampu memberikan kebermaknaan dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras. Oleh karena itu yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Mengembangkan Model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Peningkatan Kemandirian Anak tunalaras di Panti Sosial agar Lebih Efektif” sehingga program pemerintah dalam


(11)

melakukan rehabilitasi sosial terhadap anak yang memiliki prilaku menyimpang (anak tunalaras) dapat dilakukan secara optimal dan hasilnya dapat diterima oleh masyarakat luas.

Mengacu pada rumusan masalah tersebut di atas, secara khusus dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah profil pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras secara empirik di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta?

2. Bagaimanakah model konseptual pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta?

3. Bagaimanakah implementasi model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang telah divalidasi dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta?

4. Bagaimanakah model pelatihan kecakapan hidup yang direkomendasikan dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah, penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk menemukan Model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Peningkatan Kemandirian Anak tunalaras yang Lebih Efektif di Panti Sosial, sehingga anak


(12)

tersebut dapat memiliki kecakapan hidup yang berguna dalam bermasyarakat. Sedangkan yang menjadi tujuan khususnya adalah untuk:

a. menggambarkan profil pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras secara empirik di panti sosial saat ini;

b. mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta;

c. mengkaji implementasi model konseptual pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta; dan

d. mendeskripsikan model pelatihan kecakapan hidup yang direkomendasikan dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1) memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan kajian pendidikan luar sekolah, khususnya pengembangan model pendidikan luar sekolah yang berperan sebagai pelengkap pendidikan sekolah (supplementary model) yang difokuskan untuk menangani warga belajar berkebutuhan khusus seperti anak tunalaras yang sampai saat ini belum banyak dikaji oleh jalur subsistem pendidikan luar sekolah.


(13)

2) memperluas kajian materi-materi PLS yang mampu menyentuh warga belajar anak berkebutuhan khusus pasca pendidikan sekolah.

3) Memberikan sumbangan model pembelajaran yang dapat dipergunakan untuk pemberdayaan warga belajar tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup.

4) memberikan sumbangan konsep pelatihan dalam pengembangan kecakapan hidup warga belajar tunalaras dengan penerapan kewirausahaan yang mendorong perkembangan nilai-nilai kehidupan sosial yang multikultural di masyarakat sehingga warga belajar tunalaras terberdayakan dan mandiri. 5) memperkaya PLS yang memerlukan kekayaan model pembelajaran yang

aplikatif agar terbentuk warga belajar yang handal dan mantap. b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut.

1) Bagi Penulis

a) Dapat menjadi sarana pengembangan potensi diri dalam mengembangkan keilmuan PLS dalam bidang pendidikan kecakapan hidup pada anak-anak tunalaras.

b) Dapat meningkatkan semangat penulis dalam belajar dan meneliti sehingga dapat memahami penanaman nilai-nilai kemandirian dan kewirausahaan kepada anak tunalaras dalam konteks pelatihan kecakapan hidup.


(14)

2) Bagi Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta

a) Dapat memberikan masukan bagi pembina pelayanan pelatihan dan bimbingan rehabilitasi sosial anak tunalaras di panti-panti sosial, di sekolah luar biasa bagi anak tunalaras, dan di lembaga pemasyarakatan anak dalam meningkatkan kemandirian anak.

b) Dapat mengintensifkan berbagai kegiatan yang aplikatif yang dilandasi oleh kebutuhan belajar yang difokuskan pada life skills praktis sehingga warga belajar dapat memiliki kemandirian, baik secara ekonomi maupun secara sosial yang diperoleh kegiatan melalui dengar pendapat, diskusi terbuka, dan analisis kebutuhan belajar.

c) Dapat mengoptimalkan penyelenggaraan pelatihan yang adaptif serta dilandasi oleh kebutuhan belajar yang difokuskan pada pencapaian kecakapan hidup praktis sehingga warga belajar dapat memiliki kemandirian, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Penyelenggaraannya harus sensitif terhadap kepribadian anak, pengelolaan yang konsisten, dan pengajaran keterampilan yang relevan atau fungsional, serta pola pemberian imbalan (reinforcement) yang tepat dengan cara memberi contoh/ model yang baik.

3) Bagi Instansi (Departemen Sosial)

a) Penelitian ini dapat menjadi landasan penyelenggaraan model dan proses pelatihan kecakapan hidup pada panti sosial saat ini.

b) Penelitian ini dapat menjadi sarana penyebarluasan penerapan model pada program-program pendidikan luar sekolah lainnya.


(15)

c) Dalam konteks Pendidikan Luar Sekolah, hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi sarana untuk merekomendasikan bahwa perluasan pendidikan luar sekolah tidak hanya diorientasikan pada kelembagaan dalam lingkup pendidikan luar sekolah, akan tetapi berupaya memperluas atau mengembangkan model pembelajaran pada konteks pendidikan sekolah di masyarakat yang bernuansa pendidikan luar sekolah.

d) Dapat memberikan masukan bagi lembaga atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras, seperti panti-panti sosial yang menangani anak tunalaras, lembaga Sekolah Luar Biasa bagi anak tunalaras atau para pembina di lembaga pemasyarakatan anak dalam meningkatkan kemandirian anak.

4) Bagi Peneliti Lanjutan

a) Bermanfaat sebagai bahan kajian dan memberikan arah bagi pihak lain yang berminat untuk meneliti permasalahan ini secara lebih lanjut.

b) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang diberikan rekomendasi dalam upaya merespon kebutuhan belajar bagi warga belajar untuk mencapai kemandirian, dengan adanya model yang relatif telah teruji yang disertai pemaparan keunggulan dan kelemahan model.

c) Penelitian ini dapat menjadi sumber pengembangan model penelitian yang sama dengan kriteria kemandirian yang berbeda sehingga tercipta model-model pendidikan kecakapan hidup yang aktual dan dapat diterapkan oleh Panti sosial, PKBM, dan masyarakat.


(16)

E. Definisi Operasional

Konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini antara lain: (1) pengembangan model pelatihan, (2) kecakapan hidup, (3) kemandirian (4) anak tunalaras.

1. Pengembangan Model Pelatihan

Dalam konteks penelitian ini, pengembangan model pelatihan diartikan sebagai upaya untuk memperluas, dan memajukan dari pola kegiatan peningkatan partisipasi individu, kelompok yang dilakukan dalam memberi kekuatan dan keberdayaan diri anak tunalaras sehingga dapat mengaktualisasikan diri secara optimal.

2. Kecakapan Hidup

Konsep kecakapan hidup diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Ditjen PLSP. Direktorat Tenaga Teknis 2003). Kecakapan hidup diartikan pula sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Yang dimaksud kecakapan hidup dalam penelitian ini adalah seperangkat kecakapan yang meliputi kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional sebagi bekal bagi anak tunalaras agar memiliki suatu


(17)

keterampilan dalam menjalani hidup bermasyarakat setelah menyelesaikan rehabilitasi sosial di panti-panti sosial yang menangani anak tunalaras. Dengan kata lain, kecakapan hidup sangat dibutuhkan oleh anak tuna laras dalam proses rehabilitasi sosial, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak. Konsep program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan praktis, terpakai, terkait, dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pendidikan Kecakapan Hidup memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Pendidikan kecakapan hidup mengacu pada berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Kecakapan hidup merupakan kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan mengembangkan kerja sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja.

3. Kemandirian

Secara Filosofis konsep mandiri berarti kekuatan mengatur sendiri; tindakan mengarahkan sendiri; tidak tergantung pada kehendak orang lain; hal untuk mengikuti kemauan sendiri. Diri yang mandiri adalah diri yang berfungsi secara integratif memilih dan mengarahkan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Tinjauan psikologis memandang kemandirian sebagai


(18)

kedewasaan, kematangan (maturity) atau pribadi yang dewasa. Dewasa memiliki dimensi yang luas, terutama yang berkenaan dengan kemampuan kognitif, moral dan sosial. Jadi dari perspektif psikologis, kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Kematangan (kemandirian) mengandung unsur kemampuan dan kemauan. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, latihan atau pengalaman. Salah satu unsur penting, bahkan merupakan faktor yang identik dengan kemandirian adalah kepercayaan diri. Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Nana Syaodih S (1993:4) mengemukakan bahwa “manusia mandiri adalah manusia yang memiliki keunggulan dalam kemampuan, berkepribadian sehat dan bermoral kuat” Menurut Stephen R. Covey dalam Suryana (2003:35) mengemukakan bahwa:

Kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik, yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berfikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri).

Merangkum pendapat sejumlah pakar, Amin, M., et al (1979) dalam Maufur, (2005: 27) mempertelakan aspek-aspek sebagai ciri orang yang memiliki kepercayaan diri sebagai berikut:

Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Individu merasa optimistic, ambisius, dan tidak berlebihan. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu mempercayai kemampuannya sendiri, sanggup bekerja keras, dan


(19)

mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif, serta bertanggung jawab atas keputusan dan pekerjaannya.

Kedua, individu merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide-idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri.

Ketiga, individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai situasi.

Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan nilai kemandirian adalah kepercayaan yang melekat untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari yang ditunjukkan oleh meningkatnya kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional anak tunalaras dalam bidang teknik otomotif, teknik pendingin, dan teknik pengelasan sebagai representasi kemampuan dan kemauan warga belajar dalam memiliki kecakapan hidup agar menjadi anak yang mandiri.

4. Anak Tunalaras

Dari sekian jenis Anak Luar Biasa, salah satu diantaranya adalah Anak Tunalaras yang dikenal secara umum anak nakal atau remaja nakal. Menurut Sunardi (1995:3) “istilah tunalaras baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB). Para psikiater dan psikolog lebih akrab dengan istilah gangguan emosi, masyarakat lebih mengenalnya sebagai anak nakal, dan istilah yang juga banyak dipakai adalah penyimpangan atau kelainan perilaku.” Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Nafsiah et al (1995:4) menggunakan istilah tunalaras dengan emosional / behavioral disorder”, Menurut Rosenberg dalam Nafsiah (1995: 4) istilah anak tunalaras disebut istilah “Mental illness


(20)

Emotional Disturbance, Emotional disorder, Emotional Handicap, Social maladjustment dan serious emotional disturbance”.

Agar tidak menimbulkan kesimpang siuran dalam menyebut istilah anak nakal, maka dalam penelitian ini digunakan istilah tunalaras. Berdasarkan pengertian konseptual, anak tunalaras dapat diartikan sebagai anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan. Prilakunya tidak diharapkan oleh lingkungannya, sering bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat dia berada. Tingkah lakunya sering membuat orang menjadi marah karena merasa terganggu atau dirugikan, dan mereka cenderung berhubungan dengan otorita, seperti polisi, pengadilan, guru atau orang tua. Anak tunalaras ini prestasinya di sekolah cenderung menurun dan dijauhi oleh teman-temannya sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak tunalaras yang ditampung di panti rehabilitasi sosial diharapkan mereka memiliki seperangkat keterampilan teknis yang harus dimiliki anak untuk melaksanakan tugas perkembangannya sebagai individu yang memiliki kualitas SDM yang bisa bersanding dan bersaing di era globalisasi dalam menghadapi pasar bebas. Dalam penelitian ini, anak tunalaras yang dimaksud adalah anak atau remaja nakal yang dinyatakan berprilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam lingkungannya, berdasarkan hasil seleksi/pemeriksaan tim ahli anak tersebut memerlukan program rehabilitasi sosial berupa serangkaian proses penyembuhan atas prilaku anak atau remaja nakal yang anti sosial menjadi seseorang yang berprilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat pada umumnya,


(21)

melalui pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandiriannya. Menurut Sunaryo (1995: 107) “rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu re yang berarti kembali, dan habilitasi yang berarti kemampuan. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan”, Secara lebih spesifik rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang ditujukan pada anak tunalaras agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di masyarakat secara lebih bermakna. Pelatihan kecakapan hidup yang dimaksud, merupakan bagian dari program rehabilitasi bagi anak tunalaras dalam menuju kemandirian sebagai individu yang memiliki kemampuan sosial yang lebih bermakna untuk hidup bermasyarakat.

F. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan beberapa pengertian sebagaimana dijelaskan di muka, maka dikembangkan kerangka pemikiran sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.1 berikut ini.


(22)

GAMBAR 1.1

KERANGKA PEMIKIRAN

Beranjak dari konteks desentralisasi pendidikan, maka dipandang perlu adanya para pengelola kelembagaan yang professional. Gambaran tersebut ditelusuri melalui kondisi objektif tentang kemampuan-kemampuan para pengelola penampungan anak tunalaras baik yang ditampung di Panti-panti Sosial maupun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak. Gambaran

Tujuan Pendidikan Nasional

Penyelengaraan Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras

Dalam konteks Rehabilitasi sosial Anak Tunalaras

Gambaran Faktual Penyelengaraan Model Pelatihan Kecakapan Hidup

dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras

Tuntutan Penyelengaraan Model Pelatihan

Kecakapan Hidup dalam Meningkatkan Kemandirian Anak

Tunalaras

Penyelengaraan Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Meningkatkan Kemandirian Anak

Tunalaras

Meliputi : Tujuan, Materi, Metode. Evaluasi dan Pola interaksi

Alternatif Pemecahan

Pengembangan Model Secara Konseptual Penyelengaraan Pelatihan Kecakapan Hidup

dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras melalui pelatihan keteranpilan mengelas, otomotif dan mesin pendingin.

Gambaran Ideal Model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras

dalam konteks rehabilitasi sosial

Profil Model Penyelengaraan

Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras


(23)

faktual itu, tidak terlepas dari boundary tuntutan dan peranan pengelola penampungan anak tunalaras dalam melayani pendidikan anak tunalaras. Karena itu, antara gambaran model faktual yang ada di lapangan dengan tuntutan dan model pembelajaran kemampuan pelatihan kecakapan hidup anak tunalaras, sangat memungkinkan muncul kesenjangan yang dalam penelitian ini diistilahkan akan memunculkan problema-problema yang dihadapi oleh para pengelola/pendidik anak tunalaras, yang perlu diupayakan pemecahannya melalui model-model alternatif. Dengan demikian, profil model pembelajaran kemampuan pelatihan kecakapan hidup anak tunalaras yang dibutuhkan dan diupayakan melalui penelitian ini, diharapkan menjadi salah satu alternatif pemecahan problema-problema tersebut dalam menuju gambaran ideal fungsi dan peranan pengelola penampungan anak tunalaras sebagai lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap lapisan masyarakat.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metodologi Penelitian

Tujuan utama penelitian ini bukan hanya sekedar untuk mendeskripsikan objek yang diteliti, akan tetapi mencakup proses pengeksplorasian fakta dan data objek di lapangan sebagaimana adanya. Pelaksanaan pelayanan PLS dalam rangka otonomi daerah pada prinsipnya bukan hanya sekedar realitas sosial yang bersifat kontekstual, maka tafsiran-tafsiran kualitatif perlu dilakukan untuk memberi keyakinan dan gambaran secara integratif. Dengan demikian, pendekatan penelitian yang dianggap relevan untuk penelitian ini ialah pendekatan penelitian kualitatif. Seperti yang dikemukakan Nasution (1988:5) bahwa “penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.

Metode penelitian yang dianggap layak digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development). Borg dan Gall (1979: 624) menjelaskan secara tegas bahwa penelitian dan pengembangan (research and development) adalah “a process used to develop and validate educational product”. Jadi, metode penelitian dan pengembangan yang dimaksud mengandung makna sebagai suatu proses untuk mengembangkan suatu hasil pendidikan dan selanjutnya memvalidasi hasil pendidikan tersebut. Konteks dari penelitian ini hasil pendidikan yang rencananya akan dikembangkan dan divalidasi adalah suatu pengembangan model pelatihan kecakapan hidup


(25)

dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras. Model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras tersebut dikembangkan dan divalidasi dalam suatu pelatihan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur.

Hasil pendidikan yang dimaksud menurut Borg dan Gall meliputi prosedur dan proses pelatihan, seperti metode mengajar/pelatihan, pengorganisasian pengajaran/pelatihan. Wujudnya dapat berupa tujuan pelatihan, metode, evaluasi. baik itu softwere maupun hardwere, maupun cara atau prosedur dari pelatihan tersebut. Tujuan akhir dari research and development pendidikan adalah munculnya model baru sebagai hasil perbaikan dari model lama untuk meningkatkan kinerja pendidikan. Dengan research and development proses pendidikan diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan.

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur. Dengan pengembangan model ini diharapkan pembelajaran pelatihan kecakapan hidup di panti sosial tersebut dapat berjalan secara optimal dengan mengoptimalisasikan kemampuan anak tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya melalui pelatihan kecakapan hidup.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan research and development menurut Borg and Gall (1979: 626) meliputi :

1. Research and information collecting (Penelitian dan pengumpulan informasi).


(26)

2. Planning (Perencanaan).

3. Develop preliminary form of product (Mengembangkan produk awal). 4. Preliminary field tesing (Pengujian lapangan awal).

5. Main product revision (Revisi pada produk utama). 6. Main field tesing (Pengujian lapangan utama).

7. Operational product revision (Revisi produk operasional). 8. Operational field tesing (Pengujian lapangan operasional). 9. Final product refision (Revisi produk akhir).

10. Dissemination and distribution (Diseminasi dan distribusi).

Melihat kepada acuan tersebut di atas, secara operasional langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Melakukan studi pendahuluan, dengan melakukan kajian perpustakaan, laporan penyelengaraan pelatihan di dalam panti sosial, mengamati penyelenggaraan pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras.

2. Mengembangkan desain penelitian disertasi berdasarkan kerangka pemikiran pada langkah awal.

3. Mengembangkan instrument penelitian

4. Mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras. Penyusunan model konseptual ini diperkirakan dapat diimplementasikan dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras, melalui langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengolah dan mendeskripsikan temuan studi pendahuluan. Data yang diperoleh dari studi pendahuluan merupakan data dasar kajian empirik,


(27)

khususnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur.

b. Menelaah berbagai laporan penyelengaraan pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur, sebagai rujukan untuk penyusunan model konseptual.

c. Mengkaji berbagai teori dan konsep yang akan dijadikan acuan dalam pengembangan model, sebagi kerangka berpikir penulis.

d. Menyususn draf model konseptual, berdasarkan kajian empirik dan konsep.

e. Melakukan diskusi terbatas dengan praktisi tentang model konseptual yang akan dikembangkan.

f. Revisi draf model konseptual pada dosen pembimbing, pakar pendidikan.

5. Melakukan validasi model konseptual kepada dosen pembimbing, para pakar bidang pendidikan.

6. Merevisi model konseptual berdasarkan masukan dari para pakar dan penyelenggara program PLS. Revisi yang dilakukan berhubungan dengan pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur.


(28)

7. Melakukan uji coba model konseptual di lapangan yang ditujukan untuk menghasilkan model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

8. Penyempurnaan model, melalui tahap pengolahan dan analisa data temuan, serta merevisi dan formulasi model. Tahap penyempurnaan model datanya diperoleh dari hasil postes, catatan lapangan, hasil diskusi, hasil wawancara, dan dokumentasi.

9. Menyusun laporan penelitian, sebagai akhir kegiatan penelitian dan pengembangan.

Kerangka acuan kegiatan penelitian dapat dilihat dalam gambar 3.1 sebagai berikut.


(29)

GAMBAR 3.1 KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENELITIAN STUDI PENDAHULUAN

(IDENTIFIKASI KAJIAN EMPIRIK DAN TEORI)

DESAIN PENELITIAN

PENGEMBANGAN INSTRUMEN

PENGEMBANGAN MODEL KONSEPTUAL

VALIDASI MODEL

UJI COBA MODEL REVISI MODEL

EVALUASI HASIL UJI

MODEL EMPIRIK PENYEMPURNAAN

MODEL KONSEP

PRAKTISI PAKAR


(30)

Dari sembilan langkah penelitian tersebut, penulis sederhanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ini menjadi empat langkah, yaitu sebagai berikut.

1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dilakukan dengan mengunjungi berbagai panti yang menangani anak tunalaras seperti di lembaga pemasyarakatan anak (LP) di Tangerang, SLB/E di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur. Data yang ingin diperoleh dalam tahapan ini di antaranya:

a. Komponen yang disusun dalam perencanaan b. Struktur organisasi penampungan anak tunalaras c. Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup

d. Pelaksanaan pembinaan e. Pelaksanaan evaluasi f. Pengembangan program g. Karakteristik tutor

h. Karakteristik warga belajar

i. Tanggapan warga belajar terhadap pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup j. Masalah yang dihadapi dalam penyelengaraan pelatihan kecakapan hidup.

Kedua lokasi penampungan anak tunalaras yang dijajaki, kemudian difokuskan pada salah satu penampungan anak tunalaras yang memungkinkan untuk dijadikan tempat penelitian dengan uji coba pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras.


(31)

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan diskusi, ternyata Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur melaksanakan pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras yang ditampungnya guna meningkatkan kemandirian daripada anak tersebut, sehingga dijadikan tempat untuk pelaksanaan penelitian.

2. Penyusunan Model Pelatihan Kecakapan Hidup bagi Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras

Pada tahapan ini, dimulai dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing untuk menyusun model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras yang didasarkan pada hasil kajian teoritik dan studi pendahuluan. Selanjutnya menginformasikan dan membahas hasil studi pendahuluan dengan pengelola panti sosial dan para tutor untuk membicarakan pelaksanaan uji coba model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

Penyusunan model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras di panti sosial ditujukan untuk:

a. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengelola dan tutor di panti sosial tentang konsep pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras yang akan diimplementasikan di panti sosial yang menampung anak tunalaras.

b. Menyempurnakan model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras untuk diimplementasikan di panti sosial yang menampung anak tunalaras.


(32)

c. Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman bagi pengelola panti sosial dan tutor akan pentingnya pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

3. Uji Coba Model Pelatihan Kecakapan Hidup bagi Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras

Uji coba model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur, dengan rencana selama satu semester. Pihak-pihak yang terlibat dalam uji coba adalah peneliti, pengelola panti sosial, tutor dalam hal ini pengasuh asrama, dan warga belajar/anak tunalaras. Uji coba dilaksanakan dua tahap, pertama peneliti bersama pengelola dan tutor mengimplementasikan model pelatihan yang sudah disusun. Saat uji coba berlangsung, peneliti melakukan observasi dan monitoring untuk mendapatkan data yang dapat dimanfaatkan untuk menyempurnakan model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras. Hal-hal yang diobservasi dan dimonitoring meliputi:

a. Kemampuan pengelola panti sosial dan tutor dalam mengimplementasikan model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

b. Aktivitas pengelola panti dan tutor selama uji coba model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

c. Tanggapan pengelola panti sosial dan tutor terhadap pelaksanaan hasil uji coba model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.


(33)

d. Kemudahan dan kesulitan yang dihadapi pengelola panti sosial dan tutor serta warga belajar pada saat uji coba model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras.

Uji coba tahap kedua, pengelola panti sosial, tutor dan warga belajar, secara penuh berperan aktif dalam pelaksanaan pelatihan, peneliti hanya berperan sebagai monitor pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup.

Setelah dilaksanakan uji coba peneliti mencoba untuk mengadakan perhitungan kembali dampak dari pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan kemandirian anak tunalaras, setelah warga belajar dapat memperlihatkan suatu perubahan perilaku di lingkungan asrama dan masyarakat.

4. Penyempurnaan Model Pelatihan Kecakapan Hidup bagi Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras

Penyempurnaan model dilakukan bersama dosen pembimbing, dengan didasarkan pada hasil uji coba yang sudah dilaksanakan. Secara operasional langkah-langkah yang ditempuh dalam uji coba model adalah:

Pertama, persiapan eksperimen. Peneliti bersama pengelola panti sosial dan tutor menyiapkan berupa:

a. Kegiatan yang akan dilaksanakan selama eksperimen.

b. Garis besar rencana terperinci beserta jadwal kegiatan eksperimen yang akan dilaksanakan.

c. Cara-cara yang akan digunakan untuk memonitor pelaksnaan eksperimen d. Menyusun instrument untuk pretest dan postest.


(34)

Kedua, pelaksanaan eksperimen yang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Pelaksanaan pretest.

b. Melaksanakan eksperimen melalui perlakuan tertentu. c. Melakukan postest.

d. Membandingkan pretest dan postest.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi yang dijadikan tempat penelitan adalah di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur, yang menampung sejumlah anak tunalaras. Panti sosial ini dijadikan tempat penelitian dengan alasan berbagai pertimbangan, di antaranya:

1. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari beberapa penampungan anak tunalaras pelatihan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur, pelatihan yang dilaksanakan pada anak tunalaras memiliki karakteristik kedinamisan.

2. Terdapatnya motivasi yang tinggi dari warga belajar yang tunalaras untuk mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan panti sosial.

3. Tersedianya sarana dan prasarana yang relatif lengkap untuk melaksanakan proses pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras.

Penentuan sampel pada penelitian ini berbeda dengan proses sampling sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Sampling dalam penelitian ini disebut subjek penelitian. Subjek penelitian merupakan orang / sumber / informan yang


(35)

dapat memberikan data / informasi kepada peneliti di lokasi penelitian. Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif dilakukan secara purposive yang dilakukan secara terus-menerus dan sifatnya tergantung tujuan penelitian setiap saat.

Selanjutnya pada bagian lain Nasution (1988: 95-96) menambahkan bahwa: "Sampling dalam penelitian naturalistik-kualitatif ialah pengambilan keputusan untuk mengadakan pilihan dari populasi manusia dan non-manusia".

Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini yaitu pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur, sumber utama sebagai subyek penelitian dalam penelitian ini adalah pengelola panti sosial dan tutor, serta warga belajar. Program pelatihan yang dijadikan fokus penelitian adalah keterampilan usaha/kerja untuk menunjang masa depannya.

C. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Aspek-aspek yang perlu diungkap dalam penelitian ini berkenaan dengan kriteria rumusan standarisasi model pemberdayaan kemampuan anak tunalaras melalui pembelajaran pendidikan kecakapan hidup / life skills, melalui jalur pendidikan luar sekolah. Aspek-aspek yang dibutuhkan tersebut meliputi (1). Program pembelajaran pendidikan kecakapan hidup, (2). Metode pembelajaran anak tunalaras melalui pembelajaran pendidikan kecakapan (3). Proses pembelajaran anak tunalaras melalui pembelajaran pendidikan kecakapan hidup / life skills (4). Faktor hambatan, peluang, tantangan dan keunggulan serta serta


(36)

upaya untuk mengeliminir hambatan dan cara menanfaatkan peluang dan tantangan termasuk cara meningkatkan keunggulan.

Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif, berkenaan dengan angka atau statistik kepegawaian, khususnya yang berkaitan dengan data-data jabatan pengelola pembelajaran anak tunalaras melalui pembelajaran pendidikan kecakapan hidup / life skills . Sedangkan data kualitatif berkenaan dengan data yang masih memerlukan pengolahan dan analisis khususnya yang berkaitan dengan informasi yang relevan dengan kepentingan tujuan penelitian.

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan para pengelola pembelajaran anak tunalaras melalui pelatihan pendidikan kecakapan hidup /life skills yang dipandang berkompeten serta mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan tugasnya. Di samping itu, data sekunder juga digunakan sebagai sumber data, yaitu data yang diagregasikan dari tingkat individual ke tingkat kelompok. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah data dari dokumen-dokumen kepegawaian dan data yang dikumpulkan dari hasil serangkaian penelitian atau survey terdahulu, dengan tujuan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pembelajaran anak tunalaras melalui pembelajaran pendidikan kecakapan hidup / life skills.

Berkenaan dengan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, erat hubungannya dengan alat-alat atau instrumen sarana untuk memperoleh data.


(37)

Instrumen yang paling utama sebenarnya adalah peneliti sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan Nasution (1988:55) adalah: "Dalam penelitian naturalistik tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama". Ini mengandung arti bahwa, instrumen yang utama dalam penelitian ini adalah penulis sendiri sebagai peneliti. Dengan demikian, alat-alat yang dipaparkan di bawah ini merupakan pelengkap. Keputusan penggunaan instrumen pelengkap ini, didasarkan pada kerangka metoda penelitian yang digunakan dan jenis dan karakteristik data yang diperlukan.

Data dikumpulkan berdasarkan atas fakta-fakta sesuai jenis data yang digunakan. Untuk mengumpulkan data primer, digunakan teknik wawancara, dan observasi lapangan. Untuk data sekunder digunakan teknik telaah dokumentasi.

1. Wawancara

Teknik wawancara langsung digunakan untuk memperoleh sejumlah informasi dari pendapat dan pengalaman orang-orang yang terlibat proses pemberdayaan kemampuan anak tunalaras melalui pelatihan pendidikan kecakapan hidup. Penggunaan teknik ini merujuk pertimbangan John W.Best (1982: 215), bahwa: “Di bidang-bidang yang berhubungan dengan motivasi manusia seperti terungkap dalam alasan bertindak mereka, perasaan dan sikap manusia dan sebagainya wawancara boleh jadi merupakan teknik yang efektif”. Pada tahap pendahuluan wawancara dilakukan pada pengelola dan tutor penyelenggara pelatihan pendidikan kecakapan hidup anak tunalaras guna memperoleh sejumlah data tentang:


(38)

a. Sejarah perkembangan Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur sebagai panti yang menampung dan mendidik anak tunalaras b. Komponen-komponen yang direncanakan

c. Struktur organisasi Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus Jakarta Timur.

d. Pelaksanaan Pembelajaran. e. Pelaksanaan Pembinaan f. Pelaksanaan Evaluasi g. Pengembangan h. Keadaan tutor

i. Keadaan warga belajar

j. Fasilitas yang tersedia dan digunakan dalam pembelajaran/pelatihan

k. Tanggapan warga belajar terhadap penyelenggaraan pelatihan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus.

Pada tahap penyempurnaan model wawancara dilakukan dengan pengelola Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus dalam rangka memperoleh data mengenai:

a. Fasilitas yang tersedia yang dapat digunakan pada uji coba dan validasi model.

b. Dukungan yang dapat diberikan pada saat uji coba dan validasi model. c. Program yang akan disajikan pada saat ujicoba model.


(39)

e. Tanggapan terhadap model pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

Pada tahap uji validasi model, wawancara ditujukan kepada pengelola pelatihan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu untuk memperoleh data tentang:

a. Tanggapan terhadap model pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

b. Kemudahan dan kesulitan yang dihadapidalam melakukan uji validasi model, c. Tanggapan terhadap prestasi yang dicapai dalam kemandirian anak tunalaras. 2. Angket

Angket disebarkan pada anak tunalaras selaku warga belajar dengan instrument berbentuk pilihan ganda. Melalui angket diharapkan dapat memperoleh data tentang pengelolaan pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus yang dijabarkan pada aspek aspek sebagai berikut.

a. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap komponen-komponen yang direncanakan.

b. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap pengorganisasian di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus.

c. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap pelaksanaan program pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.


(40)

d. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap pelaksanaan pembinaan program pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

e. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap pelaksanaan evaluasi program pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

f. Tanggapan anak tunalaras selaku warga belajar terhadap pengembangan program pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

3. Observasi

Teknik observasi partisipasi aktif digunakan untuk memperoleh sejumlah data tentang konteks nyata proses pembelajaran anak tunalaras melalui pembelajaran pelatihan kecakapan hidup / life skills yang sedang berlangsung di setiap subyek. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup perilaku manusia dalam organisasi baik perilaku tugas (task behavior) maupun hubungan kemanusiaan (humans relation) yang difokuskan pada pengelola panti, tutor dan anak tunalaras selaku warga belajar. Observasi inipun difokuskan pada situasi dan tempat terjadinya proses pembelajaran / pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

4. Dokumentasi

Teknik telaah dokumen, digunakan untuk melengkapi sejumlah data dan informasi berkenaan dengan gambaran benda-benda yang dijadikan acuan, alat atau fasilitas proses pembelajaran pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras; yang telah diperoleh melalui wawancara dan observasi. Substansi bahan kajian dari setiap dokumen, berkaitan dengan bentuk dan rumusan yang


(41)

menyangkut tugas pokok dan fungsi, wewenang, tanggung jawab, sistem dan organisasi penyelenggaraan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, serta hasil-hasil yang relevan dari proses pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras.

5. Tes

Untuk mengetahui efektifitas model yang dikembangkan, digunakan tes yang dilakukan khusus kepada anak tunalaras selaku warga belajar, yaitu untuk mengetahui kemampuan warga belajar sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan (pretes dan postes ). Aspek dan indikator yang diteliti dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut di bawah ini.

TABEL 3.1

INSTRUMEN PENELITIAN PERTANYAAN

PENELITIAN

ASPEK

YANG DITELITI INDIKATOR

Bagaimana pengelolaan pelatihan

kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus ?

1. Perencanaan a. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan rencana.

b. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan rencana c. Cara mengidentifikasi kebutuhan d. Komponen-komponen yang

direncanakan

e. Penetapan program pelatihan f. Penetapan tutor

g. Rekruitmen anak tunalaras sebagai warga belajar h. Penggalian dana pelatihan i. Penggalian sarana pelatihan


(42)

2. Pengorganisasian

3. Pelaksanaan

4. Pembinaan

5. Evaluasi

6. Pengembangan

a. Struktur keorganisasian. b. Pihak yang terlibat dalam

kepengurusan

c. Tugas dan peran pengurus a. Program yang dikembangkan b. Metoda yang digunakan dalam

pelatihan

c. Waktu pelaksanaan d. Tempat pelaksanaan e. Media yang digunakan

f. Evaluasi pelaksanaan pelatihan g. Peran tutor

h. Peran anak tunalaras sebagai warga belajar

a. Pihak yang membina/melatih b. Materi yang dibinakan/dilatihkan c. Pendekatan yang digunakan d. Waktu pembinaan/pelatihan e. Tempat pembinaan/pelatihan f. Manfaat pembinaan/pelatihan g. Kerjasama dengan pihak lain

a. Pihak yang mengevaluasi b. Komponen yang dievaluasi c. Pendekatan yang digunakan d. Frekuensi penilaian

e. Hasil evaluasi

a. Program pembelajaran yang dikembangkan Bagaimana model pengelolaan pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu

1. Perencanaan a. Cara mengidentifikasi kebutuhan b. Cara perumusan tujuan

c. Cara penyusunan program pelatihan

d. Cara penggalian sumber dana e. Cara penentuan metode

f. Cara penggunaan sarana belajar g. Cara penentuan tutor


(43)

Apus? 2. Pengorganisasian 3. Pelaksanaan 4. Pembinaan 5. Evaluasi 6. Pengembangan

i. Cara pemasaran hasil

a. Struktur organisasi

b. Tugas dan peran pengurus a. Tujuan pelatihan

b. Materi pelatihan c. Strategi dan metode d. Tutor

e. Waktu pelaksanaan f. Bahan yang digunakan g. Alat pelatihan

h. Proses pelatihan i. Evaluasi pelatihan

a. Mengembangkan kemitraan b. Pihak yang membina

a. Penilaian program pelatihan b. Pihak yang terlibat dalam

evaluasi

c. Komponen yang dievaluasi a. Mengembangkan program

pelatihan

b. Mengembangkan jenis usaha Bagaimana efektivitas pengelolaan pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus? 1. Perencanaan 2. Pengorganisasian

a. Keterlibatan dalam mengidentifikasi kebutuhan b. Keterlibatan dalam perumusan

tujuan

c. Keterlibatan dalam penyusunan program

d. Keterlibatan dalam penggalian sumber dana

e. Keterlibatan dalam penggalian sumber pelatihan

f. Keterlibatan dalam pemilihan media

g. Keterlibatan dalam penentuan waktu

a. Keterlibatan dalam penyusunan pengurus


(44)

3. Pelaksanaan

4. Kesesuaian program

5. Evaluasi

6. Hasil belajar

7. Pengembangan

b. Peran dan tugas pengurus a. Kelancaran dalam pelatihan b. Pemanfaatan potensi yang ada c. Pemanfaatan alat yang tepat d. Kesesuaian materi dan metode e. Kesesuaian materi dengan media f. Keterlibatan warga belajar dalam

pembelajaran

g. Suasana pembelajaran h. Keterlibatan dalam evaluasi a. Kesesuaian program dengan

kebutuhan pelatihan

b. Kesesuaian program dengan potensi yang tersedia

c. Kesesuaian program dengan alat yang tepat

d. Kesesuaian waktu pelatihan e. Kesesuaian penggunaan metode f. Kesesuaian penggunaan media

a. Keterlibatan dalam evaluasi

a. Kemudahan pelaksanaan pelatihan

b. Perubahan keterampilan, sikap, pengetahuan

c. Peningkatan keterampilan teknis fungsional

a. Peningkatan akses usaha produktif

b. Peningkatan produk c. Kemampuan pemasaran d. Peningkatan pendapatan

D. Prosedur Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan melalui tahap penjajagan, eksplorasi dan tahap member check. Tahap Penjajagan, dilakukan untuk mengenal


(45)

permasalahan dan menentukan fokus penelitian; Tahap eksplorasi, merupakan tahap penelitian sebenarnya, dan sudah melibatkan alat-alat pengumpul data melalui proses observasi; Tahap member check, setiap perolehan data baik melalui hasil wawancara maupun hasil pengamatan, ditriangulasi kepada sumber datanya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian dan pengembangan ini meliputi: (1) studi pendahuluan; (2) pengembangan model awal; dan (3) pengujian model. Ketiga langkah tersebut dilakukan secara sirkuler dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Kelayakan tersebut diperoleh melalui analisis kualitas model, penilaian ahli maupun melalui uji lapangan.

1. Studi Pendahuluan

Melakukan studi pendahuluan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan data-data umum yang terkait dengan tema penelitian, yaitu pelatihan keterampilan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras serta bebagai faktor yang mempengaruhinya. Studi pendahuluan dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen, melakukan observasi dan wawancara. Pertanyaan yang digunakan dalam pengumpulan data masih bersifat umum dan terbuka.

Data yang dikumpulkan dalam studi pendahuluan berhubungan dengan : a. Kondisi umum Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus,

meliputi: struktur organisasi, latar belakang berdirinya panti, tempat pelatihan, fasilitas yang tersedia.


(46)

b. Pengelola dan tutor Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, meliputi: identitas pengelola, jumlah tutor, latar belakang pendidikan pengelola dan tutor.

c. Anak tunalaras sebagai warga belajar, meliputi : jumlah, latar belakang pendidikan formal, dan status sosial ekonomi.

d. Pengelolaan pelatihan keterampilan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus meliputi: perencanaan pengorganisasian penggerakan, pembinaan, evaluasi dan pengembangan.

2. Pengembangan Model Awal

Sebagai tahap kedua dari penelitian dan pengembangan ini yaitu pengembangan model awal. Model awal merupakan produk awal yang didasarkan pada analisis kebutuhan dari hasil penelitian tahap pertama (studi pendahuluan), serta mendiskusikannya dengan pengelola Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus.

Model pelatihan kecakapan hidup bagi kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, dikembangkan berdasarkan pada hasil kajian konseptual dan kajian empirik. Hasil kajian, menunjukkan perlu adanya peningkatan pelatihan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus dalam rangka keberlanjutan suatu program yang dilaksanakan demi mencapai kemandirian anak tunalaras.


(47)

3. Pengujian Model

Pengujian model dilakukan melalui uji kelayakan dalam bentuk analisis kualitas model, penilaian ahli atau pembimbing, serta uji lapangan, sehingga dihasilkan suatu model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anaktuna laras yang lebih efektif, di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus.

Analisis kualitas model dilakukan terus menerus dari uji coba model awal sampai dihasilkannya model akhir, guna melihat keterkaitan antara berbagai komponen model dalam hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Penilaian akhir dilakukan untuk mengadakan perbaikan model yang dikembangkan, dilihat dari ketepatan isi/materi, kesederhanaan bahasa dan kemudahan untuk dilaksnakan di lapangan.

Uji lapangan dilakukan dalam bentuk penerapan /uji coba model pelatihan keterampilan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, yang dilakukan melalui: Uji coba tahap pertama, peneliti secara aktif berperan dalam pelatihan, sedang pada tahap ke dua peneliti berperan sebagai monitor.

Berdasarkan hasil pengujian dilakukan revisi model/produk pengembangan yang dilakukan secara terus menerus sampai dihasilkannya model akhir pelatihan keterampilan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus. Revisi model didasarkan pada penilaian para ahli dan praktisi, serta berdasarkan hasil uji coba lapangan.


(48)

E. Teknik Pengembangan Instrumen 1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen untuk mengukur aspek pengetahuan dan aspek sikap, masing-masing untuk pembelajaran otomotif, pengelasan dan teknik pendinginan. Analisis terhadap instrumen dilakukan secara kualitatif (qualitatif control) dan kuantitatif (quantitatif control).

Analisis kualitatif sering juga disebut validitas logis (logical validity) yaitu berupa penelaahan yang dimaksudkan untuk menganalisa instrumen ditinjau dari segi formal penulisan (konstruksi), isi (materi), dan editorial (bahasa). Sedangkan analisis kuantitatif yang menekankan pada analisis karakteristik internal tes melalui data yang diperoleh secara empirik. Karakteristik internal secara kuantitatif dimaksudkan melalui parameter validitas, realibilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda.

Berdasarkan instrumen dan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka terhadap instrumen tes dilakukan uji validasi dan reliabilitas. Untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas instrumen ini, dilakukan uji coba instrumen terhadap 10 orang anggota kelompok, yang memiliki karakteristik yang sama dengan anggota kelompok yang menjadi sampel penelitian.

Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur, Sedangkan reliabilitas bertujuan untuk menunjukkan sejauh mana tes yang diberilan ajeg dari waktu ke waktu, sehingga memberikan skor yang sama atau relatif sama. Selain itu diketahui sejauh mana


(49)

pertanyaan dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan beda interpretasi dalam pemahaman pertanyaan tersebut.

Untuk menguji validitas alat ukur digunakan rumusan Point Biserial. Point biserial dipilih dengan alasan variabel butir soal pada aspek pengetahuan bersifat dikotomi yakni bentuk soal pilihan ganda dimana soal yang benar diberi angka satu (1) dan yang salah diberi angka nol (0). Korelasi besirial ditentukan dengan menggunakan persamaan:

Rp b i s =

          q p S M

Mp t

(Sumarna Surapranata, 2005:61)

Dasar pengambilan keputusan untuk korelasi point biserial yaitu jika

koefisien validitas ≥ 0,30 maka item pertanyaan tersebut valid. Sedangkan jika

koefisien < 0,30 maka item pertanyaan tersebut tidak valid (Sumarna Surapratnata, 2005:12).

Uji reliabilitas alat ukur tes menggunakan Koefisien Reliabilitas Kuder

Richardson 20 (KR 20). Alasan penggunaan rumusan tersebut adalah bahwa KR

20 merupakanbentuk pengujian reliabilitas yang khusus dipergunakan pada

butir-butir yang dikotomi seperti soal pilihan ganda. Persamaan Kuder Richardson 20 adalah sebagai berikut:

r11 = 

     ∑ − t t V pq V k k

1 (Sumarna Surapranata, 2005:114)

2. Analisis Butir Soal

Analisis butir soal dilakukan untuk mengetahui berfungsi tidaknya sebuah alat tes. Menurut Sumarna Surapranata (2005:1-3) analisis pada umumnya


(50)

dilakukan melalui dua cara, yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif berupa penelaahan soal ditinjau dari segi materi (isi), konstruksi (teknis), dan bahasa (editorial). Sedangkan analisis kuantitatif dimaksudkan penelaahan yang meliputi parameter soal tingkat kesukaran, daya pembeda dan reliabilitasnya.

Pada penelitian ini digunakan soal yang tes yang dianalisis melalui analisis kualitatif melalui penelaahan para ahli dan analisis kuantitatif melalui pengukuran tingkat atau indeks kesukaran dan daya pembeda.

a. Indeks Kesukaran

Kesukaran soal merupakan nilai rata-rata dari kelompok peserta tes, yang digunakan dengan tujuan untuk mengukur kesukaran soal dengan kemampuan peserta tes. Tingkat kesukaran dicari dengan rumus :

P =

n X m

x S

(Sumarna Surapranata,2005:12)

Kategori tingkat kesukaran ditentukan pada tabel berikut: Tabel 3.2

Nilai dan Kategori Tingkat Kesukaran

Nilai P Kategori

p < 0,3 Sukar

0,3 < p < 0,7 Sedang

p > 0,7 Mudah

Sumber: Sumarna Surapranata, 2005:21

b. Daya Pembeda (DP)

Salah satu analisis kuantitatif soal adalah menentukan dapat tidakmya suatu soal membedakan kelompok dalam aspek yang diukur. Indeks daya


(51)

pembeda (item discrimination) digunakan dengan tujuan untuk membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah. Daya pembeda soal dicari dengan menggunakan rumus : D =

B A n

B n

A∑ ∑

(Sumarna Surapranata, 2005:31)

Klasifikasi interpretasi untuk tingkat kesukaran dan daya pembeda yang digunakan diukur sebagaimana tabel berikut:

Tabel 3.3

Ukuran Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda

Kriteria Koefisien Keputusan

0.30 s.d 0.70 Diterima Tingkat Kesukaran 0.10 s.d 0.29 atau Direvisi

0.70 s.d 0.90

<0.10 dan > 0.90 Ditolak > 0.30 Diterima Daya Pembeda 0.10 s.d 0.29 Direvisi

< 0.10 Ditolak

Sumber: Sumarna Surapranata (2005:47)

Berdasarkan Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap seluruh item instrumen, tidak terdapat butir soal (item) yang drop. Dengan demikian pertanyaan yang digunakan semuanya valid.

Hasil analisis butir soal (anabut) yang dilakukan terhadap alat tes diterangkan sebagai berikut: pertama tingkat kesukaran keempat alat tes rata-rata berada pada rentang 0,30 < p < 0,70. Dengan demikian setiap butir soal diterima.

Kedua koefisien daya pembeda (DP) rata-rata nilainya berada antara 0,30 – 0,80 atau D > 0,30 yang berarti semuanya tidak ada yang kurang dari 0.30.


(52)

Lampiran : Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal Tingkat kesukaran dicari dengan rumus :

n X

m

S x

dengan:

p : Tingkat kesukaran atau proporsi menjawab benar

∑x : Banyak peserta yang menjawab benar

Sm : Skor maksimum

n : Jumlah peserta tes Kategori tingkat kesukaran

Tabel 3.4 Tingkat Kesukaran

Nilai P Kategori

P < 0,3 Sukar

0,3 < p < 0,7 Sedang

P > 0,7 Mudah

Lampiran : Perhitungan Daya Pembeda Soal

Daya pembeda soal dicari dengan menggunakan rumus :

D =

n A n

B n

A

Dengan :

D : Indeks daya pembeda

∑A : Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok atas

∑B : Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok bawah

nA : Jumlah peserta tes kelompok atas


(53)

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan adalah (Erman Suherman, 1990 : 202) :

DP < 0,00 sangat jelek 0,00 < DP < 0,20 jelek 0,20 < DP <_ 0.40 cukup 0,40 < DP < 0,70 baik 0,70 < DP 5 1,00 sangat baik

F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup analisis kualitatif, analisis kuantitatif dan analisis deskriptif. Kombinasi metode analisis data diharapkan dapat memperoleh temuan yang lebih komprehenshif dari penelitian pengembangan model ini.

1. Analisis Kualitatif

Analisis ini akan digunakan untuk menganalisis data dari hasil pengamatan (observasi) dan wawancara, baik yang dikumpulkan pada saat studi pendahuluan, selama berlangsung uji coba dan validasi empiris model, maupun sesudah validasi. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menganalisa data kualitatif pada tahap penelitian pendahuluan ini adalah: 1) mengkategorikan dan mengkodefikasi data, 2) mereduksi data, (a) merangkum laporan lapangan, (b) mencatat semua data, (c) melakukan klasifikasi, 3) mendeskripsikan dan mengklasifikasi data dalam bentuk tabel dan grafik, 4) mendeskripsikan, memverifikasi dan menyimpulkan.


(54)

Untuk menjaga validitas, reliabilitas dan objektifitas temuan data kualitatif dilakukan melalui pengujian validitas internal (credibility), validitas eksternal (transferability), reliabilitas (dependability) dan objektifitas (confirmability). Validitas internal dilakukan dalam bentuk kredibilitas (tarap kepercayaan). Validitas eksternal dinyatakan dalam transferabilitas, dilakukan dengan maksud melihat sejuhmana hasil penelitian dapat ditransfer kepada subjek lain atau diaplikasikan dalam situasi lain. Reliabilitas penelitian ini dinyatakan dalam bentuk dependibilitas, berkaitan dengan sejauhmana kualitas proses dalam mengkonseptualisasikan penelitian, pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil, serta dilakukan audit trail. Trail diartikan jejak yang dapat dilacak ataupun diikuti, sedangkan audit diartikan pemeriksaan terhadap ketelitian yang dilakukan sehingga timbul keyakinan bahwa apa yang dilaporkan itu demikian adanya. Objektivitas penelitian dilakukan dalam bentuk confirmabilitas, yaitu untuk menjamin kepastian data, dilakukan dengan pengecekan kembali hasil temuan sementara dengan data yang baru diperoleh yang terangkum dalam catatan observasi, wawancara, dan tes.

2. Analisis Kuantitatif

Efektifitas model yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah untuk menentukan sejauhmana tingkat keberdayaan warga belajar setelah mengikuti proses pembelajaran.

Model yang digunakan dalam eksperimental semu ini adalah model “one group pretest-posttest design”. Rancangannya menggunakan satu kelompok


(55)

subjek. Langkah pertama dilakukan pengukuran yang bersifat pretes , lalu diberikan perlakuan untuk jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan pengukuran berupa posttest . Rancangan dapat digambarkan sebagai berikut.

GAMBAR 3.2

RANCANGAN PRETES DAN POSTES Keterangan:

T1 = Pretes pada kelompok subyek T2 = Postes pada kelompok subyek

X = Perlakuan pengelolaan pelatihan keterampilan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras

Dari uraian di atas, analisis perbedaan dilakukan terhadap data sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) proses pembelajaran (treatment). Jika terjadi perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest, maka perbedaan yang terjadi itu sebagai dampak atau pengaruh dari implementasi model pembelajaran yang diujicobakan. Hasil pengujian terhadap pengujian terhadap uji perbedaan ini dilakukan dengan menggunakan tabel pemeriksaan hasil pengujian sbb:

Tabel 3.5

Pemeriksaan Hasil pengujian

Variabel tj (hitung) atau Z (hitung) t_tabel atau Z (hitung) Kesimpulan

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam, diskusi dan refleksi pengalaman belajar, sedangkan data yang sifatnya kuantitatif


(1)

kecakapan hidup, terutama pengembangan dan pemberdayaan warga belajar yang berkarakteristik anak tunalaras. Bagaimana pun juga, anak tunalaras memiliki karakteristik tertentu yang harus dipahami sebagai dasar pelaksanan pelatihannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup: (Life Skills Education). Bandung: Alfabeta.

Atmasasmita, R. (1985). Problema Kenakalan Anak-anak/Remaja. Bandung: Armico.

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

Borg, W.R. & Gall, M.D, (1979) Educational Research: An Introduction. New York & London : Longman.

Brolin, D.E. (1989) Life Centered Career Education : A Competency. Based Approach Reston VA ; The Council for Exeptional Children

Brookfield, S. (1984). Adult Learner, Adult Education and the Community. New York and London, Teacher College: Columbia University.

Covey, S. R. (1989). The 7 Habits of Highly Effektive People. Powerful Lessons in Personal Change. New York: A FIRESIDE BOOK.

Creswell, J.W. (1994) Research Design Qualitative & Quantitave Approaches. Thousand Oaks London New Delhi: Internasional Educational and Professional Pubblisher.

Delors, J., et al. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: Unesco.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Pedoman Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa bagi Anak Nakal. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.

Departemen Pendidikan Nasional, (2003) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah. (2006). Program Direktorat Pembinaan Sekolah luar Biasa. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Laporan Buku, Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi. Bandung.


(3)

Departemen Sosial RI. (2003). Profil Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani Jakarta Timur. Jakarta.

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2002). Broad Based Education Life Skill dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Kecakapan Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.

Ditjen PLSP. (2003). Program Life Skils Melalui Pendekatan Broad Based Education (BBE). Jakarta : Direktorat Tenaga Teknis Depdiknas.

Gonzales & Pizono. (1997), Human Relation in Management A Behavioral Science Approach, Richard D. Irwin, Inc., Home wood, Illinois.

Hadi, P. (2005). Kemandirian Tunanetra. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Tenaga Perguruan Tinggi.

Havighurst, R. (1989). Perspektif tentang Perubahan Social, Jakarta : Bina Aksara

Ibrahim,N dan Aldi, R. (1995). Etiologi Dan Terapi Anak Tunalaras. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

Kamil, M. (2002). Model Pembelajaran Magang Bagi Peningkatan Kemandirian Warga Belajar (Studi pada Sentra Industri Kecil Rajutan dan Bordir di Daerah Priangan Timur). Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Kartasasmita, G. (1997). Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Bandung : ITB.

Kauffman, JM dan Hallahan, DP. (1982). Exeptional Children: Introduction to Special Education. Englewood Cliffs, NJ: Prentil Hall.

Kindervatter, S. (1979). Nonformal Education as An Empowering Process. Massachusetts : Center for International Educational University of Massachusetts

Maufur. (2005). Efektifitas Pola Pendidikan Kemandirian Bagi Msyarakat Golongan Ekonomi Lemah (Identifikasi Karakteristik Proses dan Hasil Pendidikan Nanny and Governess yang Dikembangkan Oleh Lembaga Pendidikan Keterampilan Citra Bunda Jakarta. Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Umum, Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.


(4)

Moleong, L.J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, S (1988). Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta : PT Bina Aksara. Natawidjaya, R. (1988). Pengolahan Data Secara Statistik. FPS IKIP Bandung. ____________. (1999). Penyusunan Instrumen Penelitian. PPS Universitas

Pendidikan Indonesian.

Poerwadarminta, W.J.S. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

PP No. 73 (1991). Tentang Pendidikan Luar sekolah. Jakarta : Sekretariat Jendral Depdikbud

Rifaid. (2000). Dampak Pelatihan Keterampilan Perubahan Sikap dan Perilaku Serta Kemandirian Bekas Wnita Tuna Susila di Nusa Tenggara Barat. Thesis Magister Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sadja’ah, E. (2002). Model Fasilitas Pembelajaran Orang Tua dalam Meningkatkan Kemampuan dan Keterampilan Berbahasa Anak Tunarungu di Lingkungan Keluarga. Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Setiawan A & Juhanaini, (1996), Pengantar Pendidikan Anak Tunalaras Ortopedagogik E-1, Yayasan Biruwangi Tigabelas :Bandung.

Setiawan A & Sunardi, (1997), Pengantar Pendidikan Anak Tunalaras Ortopedagogik E-2, Yayasan Biruwangi Tigabelas :Bandung.

Setiawan A & Sunardi, (1997), Pengantar Pendidikan Anak Tunalaras Ortopedagogik E-3, Yayasan Biruwangi Tigabelas :Bandung.

Siegel, S. (1997). Statistik Non Parametrik. Jakarta : Gramedia

Stringer, E.T. (1996) Action Research: A Handbook for Practisioner. Thousand Oak London: Sage Publication.

Subino. (1986). Konstruksi dan Analisis Sosial Tes Bentuk Pilihan Ganda. Bandung: FIP IKIP.


(5)

______. (1987). Konstruksi dan Analisis Tes: Suatu Pengantar Teori Tes dan Pengukuran. Jakarta: Dirjen DIKTI. Depdikbud.

Sudarman. D.F. (2007). Pemberdayaan Pemuda melalui Pelatihan Integratif Berbasis masyarakat (studi Inklusi dalam Kelompok Usahan Bersama di Kabupaten Ciamis). Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sudjana, (1989). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiono.(2004). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :Alfabeta

Sumahamijaya, S. Yasben, D. Agus, D D. (2003). Pendidikan Karakter Mandiri Dan Kewiraswastaan: Suatu Upaya Bagi Keberhasilan Program Pendidikan Berbasis Luas/ Broad Based Education Dab Life Skills. Bandung: Angkasa.

Sunardi. (1995). Ortopedagogik Anak Tunalaras I. Surakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

Sunaryo. (1995). Dasar-Dasar Rehabilitasi Dan Pekerja Sosial. Bandung: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Guru

Suparno, Purwanto.H, Purwanto E,(2005) Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Program Peningkatan Kualifikasi Akademik S1 PGSD Melalui Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) Berbasis ICT, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi: Jakarta.

Surapranata, S. (2005). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes. Bandung: Rosda Karya.

Suprayogi, U. (2005). Pengembangan model program pendidikan luar sekolah dalam memberdayakan kelompok masyarakat lanjut usia mencapai kemandirian (Studi di karang lansia Wargi Saluyu Desa Ranjeng Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang). Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Suryabrata, S. (1998) Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suryana (2003). Kewirausahaan; Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju


(6)

Syaodih, N. (1993). Pengembangan Kemandirian: Suatu tinjauan kurikuler Psikologis. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada IKIP Bandung, tidak diterbitkan.

Tilaar, H.A.R. (1999) Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung, Renaja Rosdakarya

Trisnamansyah, S. (2003). Filsafat, Teori dan Konsep Dasar PLS. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.