Studi Deskriptif Mengenai Tipe Makna Hidup dan Sumber Makna Hidup pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.

(1)

Abstrak

Makna hidup dan sumber-sumber makna hidup merupakan hal yang penting bagi Imam Katolik, dimana kedua hal tersebut dapat memprediksi tingkah laku Imam Katolik kedepannya. Penelitian ini menggunakan Teori Source of Meaning and Meaning in Life (Schnell, 2009) untuk mengetahui tipe makna hidup dan sumber-sumber makna hidup pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.

Terdapat 68 Imam Katolik yang berpartisipasi di dalam penelitian ini yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Setiap partisipan melengkapi kuesioner Source of Meaning and Meaning in Life yang telah dimodifikasi (SoMe; Schnell, 2009). Kuesioner SoMe mengukur makna hidup dan sumber makna yang terdiri dari 151 item. Skor dari item makna hidup dilakukan tabulasi silang sementara skor dari sumber-sumber makna hidup dihitung rata-ratanya.

Berdasarkan pengolahan data statistik, Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta memiliki tipe makna meaningful (31%), crisis of meaning (25%), conflicting (9%), dan existentially indifferent (35%). Kemudian diperoleh juga hasil skor rata-rata dari 26 sumber makna dengan rentang skor M = 2,64 hingga M = 4,38.

Kesimpulan yang diperoleh adalah mayoritas Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta memiliki tipe makna existentially indifferent dan meaningful. Kemudian, sumber makna hidup yang paling signifikan pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta antara lain, explicit religiosity, social commitment, dan generativity. Selain itu, Selain itu, untuk lebih lanjut perlu dilakukan penelitian kontribusi antara tipe makna hidup dengan sumber-sumber makna hidupnya agar mendapatkan gambaran yang lebih rinci dan kaya.


(2)

Abstract

The meaning of life and the sources of meaning are important things for a Catholic priest, which can predict future behavior of the Catholic Priest. This study uses the theory Source of Meaning and Meaning in Life (Schnell, 2009) to determine the type of meaning of life and sources of the meaning of Catholic priest in Ecclesiastical Province of Jakarta.

There are 68 Catholic priests who participated in this study were selected based on purposive sampling technique. Each participant completed the questionnaire Source of Meaning and Meaning in Life that has been modified (SoMe; Schnell, 2009). SoMe questionnaires measure the meaning of life and a source of meaning consisting of 151 items. Cross tabulation conducted on items that measure the meaning of life while average calculation performed on the items that measure sources of the meaning.

Based on statistical data processing, a Catholic priest in ecclesiastical province of Jakarta has a type of meaningful significance (31%), crisis of meaning (25%), conflicting (9%), and existentially indifferent (35%). The results also obtained an average score of 26 sources of meaning with a score range of 2.64 to 4.38.

The conclusion is that the majority of the Catholic priest in Jakarta ecclesiastical province has the type of meaning existentially indifferent and meaningful. Then, the most significant source of meaning of life of Catholic priests in Ecclesiastical Province of Jakarta, are explicit religiosity, social commitment, and generativity. Additionally, it’s necessary to do further research of contributions between the type of meaning in life with sources of meaning in order to get more rich and clearly information.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………...………... ii

ABSTRAK………....………...………...…………. iii

ABSTRACT…...………..…………..…………..…………..…………..…… iv

KATA PENGANTAR………..………..….………..……..….. v

DAFTAR ISI………..….……….……... viii

DAFTAR SKEMA DAN TABEL...………..….……….……. xi

DAFTAR DIAGRAM DAN GRAFIK……...………...…………..……. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………..……… 1

1.2 Identifikasi Masalah…...………..…….……….. 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian……..………...….………….…. 10

1.4 Kegunaan Penelitian…..………...…………... 10

1.4.1 Kegunaan Teoretis………..………. 10

1.4.2 Kegunaan Praktis………...………….. 10

1.5 Kerangka Pemikiran…..……….……...…. 11

1.6 Asumsi Penelitian…..……….………….…... 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Makna Hidup ……..….……….………….….. 24

2.2 Pembentukkan Meaning .…..….……….…………..….. 26

2.3 Model Hirarki dari Meaning ..……….………..……….…… 27

2.3.1 Level Common Coding …...……….…..……. 28

2.3.2 Level Sumber-sumber Makna Hidup ………..………..……. 29

2.3.3 Level Makna Hidup ………...………..………..……. 33

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Makna Hidup …...………...……. 36

2.5 Imam Katolik …..………...…..………..…..……. 39


(4)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian …………..………..………... 43

3.2 Bagan Rancangan Penelitian …...…..……….……..……….. 44

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……....………….………... 44

3.3.1 Variabel Penelitian ………..………...… 44

3.3.2 Definisi Konseptual ………...………... 44

3.3.3 Definisi Operasional ………...……….... 47

3.4 Alat Ukur Penelitian ...………...……..………….…….………... 52

3.4.1 Alat Ukur The Source of Meaning dan Meaning in Life ...… 52

3.4.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur .………... 54

3.4.3 Sistem Penilaian……….. 55

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ……….………...……….. 55

3.5 Validitas dan Reliabilitas …………..…..……….………...………... 55

3.5.1 Uji Validitas Alat Ukur ...……….…………..… 55

3.5.2 Uji Reliabilitas Alat Ukur ………..…………...………...… 56

3.6 Populasi dan Teknik Sampling ….……….……..……….. 57

3.6.1 Populasi dan Sasaran …………...………...… 57

3.6.2 Teknik Sampling ……….…….……….. 57

3.7 Teknik Analisis …...…..………...………...……….. 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden………. 60

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Demografis……… 60

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Data Penunjang………. 61

4.1.3 Region Keuskupan………. 63

4.2 Hasil Penelitian………... 64

4.2.1 Tipe Makna Hidup Pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta………. 64

4.2.2 Derajat Sumber Makna Hidup Pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta………. 65 4.2.3 Derajat Sumber Makna Hidup Di Masing-Masing Tipe Makna… 66


(5)

4.2.4 Korelasi dari Meaningfulness, Crisis of Meaning, dan Sumber

Makna Hidup dengan Data Demografis………. 67

4.3 Pembahasan………. 69

4.3.1 Tipe Makna Hidup………. 69

4.3.2 Sumber-Sumber Makna Hidup………... 73

4.3.3 Rata-Rata Sumber Makna Hidup Di Masing-Masing Tipe Makna………. 76

4.3.4 Hubungan dari Dimensi Makna Hidup, Sumber Makna Hidup, dan Data Demografis……….. 79

4.4 Diskusi……… 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan.………...…..………..… .…………... 83

5.2 Saran.………...…..………..… .………...…... 84

5.2.1 Saran Teoritis.………...…..………..……. 84

5.2.2 Saran Praktis.………...…..………..……... 85

DAFTAR PUSTAKA………... 86

DAFTAR RUJUKAN……….. 88 LAMPIRAN


(6)

DAFTAR SKEMA DAN TABEL

Skema 1.1 Kerangka Pemikiran……….………...………..………….. 22

Skema 3.1 Skema Prosedur Penelitian………...………...….. 44

Tabel 3.1 Definisi Konseptual Dimensi Sumber-Sumber Makna Hidup... 45

Tabel 3.2 Definisi Operasional Dimensi Sumber-Sumber Makna Hidup……..…... 48

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Alat Ukur SoMe………..……… 53

Tabel 4.1 Usia Responden……….…… 60

Tabel 4.2 Riwayat Pendidikan Terakhir Responden……….……… 61

Tabel 4.3 Usia Tahbisan Responden……….………… 61

Tabel 4.4 Region Keuskupan Responden……….. 63

Tabel 4.5 Crosstab Dimensi Meaningfulness dan Crisis Of Meaning………. 64

Tabel 4.6 Korelasi dari Meaningfulness dan Crisis of Meaning dengan Sumber-Sumber Makna Hidup dan Data Demografis………...….. 67


(7)

DAFTAR DIAGRAM DAN GRAFIK

Diagram 4.1 Skor Rata-Rata Sumber-Sumber Makna Hidup Pada

Imam Katolik ………..……….. 65

Grafik 4.1 Skor Rata-Rata Sumber Makna Hidup Pada Masing-Masing


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Derajat Dimensi Pada Makna Hidup

Lampiran B Tabel Tabulasi Silang Data Demografis dengan Hasil Penelitian Lampiran C Kisi-Kisi Alat Ukur

Lampiran D Alat Ukur

Lampiran E Validitas Alat Ukur SoMe Lampiran F Reliabilitas Alat Ukur SoMe


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia tidak hanya memiliki suku bangsa yang beragam, namun juga memiliki agama dan kepercayaan yang beragam. Terdapat enam Agama yang diakui di Indonesia, antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Pasal 1 UU No. 1 1965). Agama sebagai sebuah lembaga tentu menuntut adanya suatu susunan hierarki atau kepengurusan yang mendampingi dan melayani jemaat dalam usahanya mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Para pengurus atau pimpinan jemaat dalam agama inilah yang kemudian disebut sebagai pemuka agama. Pemuka agama adalah orang yang karena kualitas pribadinya dipercaya dan diberi tugas khusus untuk memimpin umat beragama.

Setiap Agama memiliki sebutan yang khas untuk pemuka Agamanya, dalam Agama Katolik yang disebut pemuka Agama misalnya, Uskup, imam atau pastor atau romo, diakon, dan katekis. Pastor (imam atau “romo”) merupakan pemimpin rohani dalam Gereja Katolik yang memiliki tugas utama membantu para uskup (pemimpin resmi Gereja Katolik lokal) untuk melayani anggota gereja. Salah satu tugas yang dilakukan oleh seorang Imam Katolik adalah memimpin upacara atau ritual keagamaan (mewartakan injil) dalam gereja katolik. Selain itu terdapat tugas-tugas lain yang dijalani oleh seorang Imam Katolik dalam kehidupan sehari-hari, tergantung pada karya dimana ia terlibat. Tugas-tugas tersebut antara lain melayani sakramen, melayani doa pribadi, menjadi dosen atau ketua yayasan, serta melayani dalam bidang sosial.

Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan rohani (ilahi). Melalui karya tersebut seorang Imam


(10)

membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Hidup seorang Imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meskipun seorang Imam memiliki kesibukan dalam hari-harinya yang tidak dapat diprediksi, tetapi bagi mereka wajib senantiasa melakukan pelayanan kasih, yaitu pelayanan bagi Tuhan yang diwujud-nyatakan dalam pelayanan kepada sesama. Hal tersebut merupakan bentuk konkret dari tugas utamanya, yaitu mewartakan injil (kabar gembira).

Proses yang dilalui seseorang untuk menjadi Imam tidaklah mudah, karena mereka harus melewati berbagai tahapan pendidikan, serangkaian persiapan dan tugas-tugas pastoral (Bergita, dalam jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2013). Dalam menjalankan pelayanannya, seorang Imam Katolik juga tidak terlepas dari tiga kaul; kaul kemurnian, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan. Kaul merupakan janji kebiaraan dimana seseorang secara sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan. Semangat kemurnian diwujudkan melalui kesediaan untuk hidup selibat (tidak menikah), semangat kemiskinan diwujudkan dalam kesediaan untuk hidup sederhana dan tidak terikat pada hal-hal duniawi, semangat ketaatan diwujudkan melalui kesediaan untuk menerima dan melaksanakan tugas apapun yang diberikan oleh pimpinan atau uskup (Konferensi Wali Gereja Indonesia [KWI], 1996, hal. 375-377)

Pada umumnya mereka yang menjalani hidup sebagai Imam Katolik melandasi pemilihan pekerjaannya atas dasar rasa terpanggil untuk menjadi Imam (Journal The Church of England dalam Handoyo & Octaviana, 2013). Namun beberapa dari mereka juga dilandasi oleh perasaan terpaksa, seperti tuntutan orang tua/keluarga, kondisi perekonomian keluarga, ingin mendapatkan perlakuan istimewa dari masyarakat, atau hanya ingin mencoba-coba. Beberapa dari mereka yang menjalani pilihan tersebut dengan alasan terpaksa, dalam


(11)

perjalanan waktu mengambil keputusan untuk meninggalkan pilihannya (tidak lagi menjadi imam).

Sama seperti individu pada umumnya, ada saat-saat tertentu dimana perjalanan menjadi seorang Imam tidaklah selalu berjalan mulus. Banyak reaksi dari lingkungan sekitar yang sangat bervariasi, mulai dari mengolok-olok, menerka-nerka berapa lama mereka dapat bertahan, cukup mendukung, hingga memberikan penghargaan yang istimewa terhadap pilihan hidup tersebut. Sebagian dari reaksi-reaksi tersebut terkadang bisa membuat mereka berkecil hati atas pilihannya. Selain reaksi dari lingkungan, hambatan dari dalam diri imam sendiri pun terkadang turut memengaruhi perjalanannya menjadi seorang Imam. Hambatan dari dalam diri dapat muncul berupa perasaan bosan dengan rutinitas keseharian, tergoda oleh lawan jenis, hingga sempat memiliki keinginan untuk meninggalkan pilihannya menjadi seorang Imam.

Imam katolik yang memiliki penghayatan bosan dalam menjalankan panggilannya, serta mulai mempertanyakan kembali atau bahkan meragukan tentang pilihan hidupnya sebagai imam, apabila dilihat lebih global lagi akan mengindikasikan pada penderitaan dan hidup yang tidak bermakna. Namun, sejalan dengan konsep Frankl (dalam Koeswara, 1992) bila Imam Katolik dapat memiliki keyakinan dan penghayatan akan nilai dari keimanannya, serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan bertanggung jawab, maka mereka dapat mengubah pandangannya yang awalnya diwarnai penderitaan menjadi mampu melihat makna dari segala hambatan yang dialaminya.

Kebermaknaan hidup merupakan penghayatan individu terhadap keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan dapat memberikan arti khusus yang dapat menjadi tujuan hidup sehingga membuat individu menjadi berarti dan


(12)

berharga (Bukhori, dalam jurnal Addin, 2012). Penting bagi manusia, termasuk Imam Katolik untuk memiliki penghayatan akan makna di dalam hidupnya. Adanya makna hidup pada Imam Katolik, menggambarkan bahwa panggilan hidupnya menjadi seorang Imam dapat memberikan arti khusus, dan membuat mereka menjadi lebih berarti. Dengan adanya penghayatan kebermaknaan hidup pada Imam Katolik, memungkinkan mereka juga untuk setia menjalankan panggilan hidupnya. Sebaliknya, Imam Katolik yang tidak memiliki makna hidup akan cenderung kurang inisiatif, merasa hampa, tidak memiliki tujuan hidup, bosan dan memiliki pikiran untuk bunuh diri (Frankl dalam Koeswara, 1992).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi derajat tinggi rendahnya makna hidup pada individu, antara lain religiusitas, status marital, usia dan status pendidikan. Tinggi rendahnya religiusitas individu akan menentukan bagaimana ia memaknakan hidupnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para psikolog eksistensialis, kegiatan keagamaan yang dilakukan individu seperti hadir secara rutin di gereja, doa yang teratur dari hati dan komitmen terhadap pelayanan religius sangat berperan dalam membantu individu untuk menemukan makna hidupnya (Pham LB, dalam British Journal of Education, Society & Behavioural Science, 2014). Apabila mengacu pada penelitian tersebut Imam katolik dapat termasuk ke dalam kelompok religius. Hal tersebut didukung karena profesinya sehari-hari tidak terlepas dari kegiatan keagamaan antara lain, melaksanakan ibadah misa dan berdoa. Namun, dari hasil penelitian tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan fenomena yang ada pada Imam Katolik di daerah kota Bandung khususnya.

Melalui hasil wawancara yang dilakukan terhadap dua orang Imam Katolik di kota Bandung, diketahui bahwa menjadi seorang Imam tidak selalu membawa pada pengalaman kebermaknaan. Hal tersebut terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan mengenai “ hal-hal terberat apa sajakah yang anda alami selama menjadi imam Katolik? Serta bagaimana


(13)

cara anda mengatasi hal tersebut?”. Responden pertama menyatakan bahwa kehidupan terberat menjadi seorang Imam adalah pada saat bertugas sendiri di satu tempat, tanpa rekan imam yang lain. Hal tersebut seringkali membuat responden secara berkala sengaja pergi ke luar kota untuk bertemu dengan imam-imam yang lain untuk sekedar “mengobrol” dan makan bersama. Kadangkala muncul juga perasaan penat, bosan, serta lelah atas tugas/pekerjaan yang datang silih berganti hingga responden merasa tidak memiliki waktu secara pribadi untuk bersantai. Hal tersebut yang juga sempat membuat responden ingin mengundurkan diri dari profesi seorang Imam. Namun, dalam mengatasi kondisi tersebut ia selalu mengolah diri dengan menghayati kembali cita-cita awal yang ingin dicapai, menyemangati diri sendiri, serta mencari hal-hal yang layak disyukuri agar kembali bahagia.

Sedangkan responden kedua menyatakan bahwa pengalaman terberat menjadi seorang Imam adalah, menjalani profesi yang terikat oleh kaul, karena di dalam kesehariannya tidak sedikit godaan-godaan yang muncul seperti dikagumi oleh perempuan, ditawari mobil mewah, dan bahkan ditawari uang dengan nilai yang besar. Dalam mengatasi hambatan tersebut, ia terus memacu diri agar menjadi semakin matang secara manusiawi sekaligus secara rohani sehingga tetap dapat setia terhadap kaul dan panggilan Tuhan. Perasaan bosan juga pernah muncul pada responden selama perjalanannya menjadi seorang Imam Katolik. Kebosanan tersebut diatasi responden dengan berbagai cara, antara lain dengan kembali melihat motivasi awal, rekreasi/refreshing, berdiskusi, atau mengikuti kursus-kursus enrichment. Walaupun responden pernah mengalami pengalaman terberat serta kebosanan, namun tidak pernah terlintas baginya untuk mengundurkan diri dari profesinya.

Meskipun kedua responden menghayati adanya hambatan yang menjadi pengalaman terberat mereka menjadi seorang Imam, disisi lain mereka juga menghayati pengalaman yang membahagiakan dari profesinya. Hal tersebut terlihat dari jawaban mereka atas pertanyaan


(14)

hal-hal apa sajakah yang membuat anda bahagia dalam menjalani profesi sebagai seorang imam Katolik?”. Responden pertama menyatakan bahwa pemberian tugas yang jelas dari bapak uskup serta fasilitas yang memadai merupakan hal yang membahagiakan baginya dalam menjalani profesinya sebagai seorang Imam. Sedangkan responden kedua menyatakan bahwa ia merupakan orang yang beruntung karena dipilih oleh Tuhan untuk menjadi seorang Imam. Melalui pekerjaannya sebagai seorang Imam juga ia dapat semakin dekat dengan Tuhan dan semakin dekat pula dengan manusia.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, penghayatan seorang Imam Katolik atas pengalaman-pengalamannya menunjukkan adanya pengalaman positif dan pengalaman negatif. Pengalaman positif yang dihayati responden tergambar dari hasil wawancara mengenai hal yang membahagiakan mereka menjadi seorang Imam, sementara pengalaman negatif tergambar dari hasil wawancara mengenai hal terberat yang dihayati mereka selama menjadi seorang Imam. Menurut Schnell (2009) pengalaman positif atas kebermaknaan (meaningfulness) dan pengalaman negatif mengenai krisis makna (crisis of meaning) merupakan dua dimensi yang membentuk makna hidup yang dihayati sebagai cukup, kurang, atau tidak bermakna. Pada Imam Katolik yang menghayati panggilannya dengan penuh sukacita, mendatangkan kepuasan mendalam, serta memiliki tujuan untuk melakukan karya pelayanan dengan sebaik-baiknya menunjukkan adanya dimensi kebermaknaan (meaningfulness). Sedangkan pengalaman-pengalaman negatif, seperti perasaan bosan, keinginan untuk keluar dari pilihan hidup yang dialami oleh imam menunjukkan adanya dimensi krisis kebermaknaan (crisis of meaning). Berdasarkan konsep Schnell (2010) kedua dimensi tersebut dapat menentukan tipe dari makna hidup setiap individu, yaitu meaningful, crisis of meaning, existentially indifferent dan conflicting. Tipe makna yang dimiliki


(15)

masing-masing Imam Katolik dapat berbeda-beda, hal tersebut didasari oleh perbedaan derajat antara dimensi kebermaknaan (meaningfulness) dan dimensi krisis makna (crisis of meaning).

Pengalaman yang bermakna pada Imam Katolik dapat direalisasikan atau muncul melalui sumber-sumber makna hidupnya. Sumber-sumber makna hidup merupakan orientasi paling mendasar yang memotivasi komitmen dan arah dari tindakan manusia untuk memberi makna pada pengalamannya (Schnell, 2009). Selain itu, sumber-sumber makna hidup juga akan memengaruhi ke pemaknaan pengalaman hidup sehari-hari sebagai positif/bermakna (meaningfulness) maupun negatif/krisis kebermaknaan (crisis of meaning). Schnell (2009) mengidentifikasi bahwa terdapat 26 sumber makna hidup yang terbagi kedalam 4 dimensi sebagai penentu kebermaknaan hidup seseorang. Antara lain, dimensi Self-trascendence (vertical & horizontal), self-actualization, order, serta well-being and relatedness. Setiap individu memiliki tujuan serta sumber makna untuk dapat mencapai level makna hidupnya (Schnell, 2009).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap dua responden diatas, keduanya memiliki tujuan hidup yang hampir serupa yaitu menjadi seorang Imam agar semakin dekat dengan Tuhan dan semakin dekat pula dengan manusia. Namun, terdapat hal yang berbeda pada kedua responden tersebut dalam memotivasi tujuan hidupnya.

Responden pertama menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat membuatnya tetap bersemangat dalam menjalankan pilihan hidupnya, antara lain melalui berdoa secara rutin dan melaksanakan tugas sehari-hari dengan senang dan sepenuh hati. Selain itu dengan mencari hal-hal yang baru dan baik, meskipun baginya hal tersebut kecil dan remeh. Kegiatan-kegiatan tersebut diakuinya dapat mendatangkan suatu makna dalam hidup sehingga membuatnya semakin berkomitmen dengan panggilan Tuhan. Berdasarkan konsep Schnell


(16)

(2009) penghayatan-penghayatan responden tersebut mengimplikasikan adanya sumber makna hidup pada dimensi Vertical self-transcendence, yaitu orientasi antara hubungan pribadi dengan Tuhan (explicit religiosity) melalui kegiatan berdoa. Selain itu, terlihat juga kecenderungan orientasi pada dimensi self-actualization, seperti keinginan untuk mencari tahu hal-hal baru (challenge) serta dimensi order yang tergambar melalui orientasi untuk melaksanakan tugas sehari-hari dengan senang dan sepenuh hati (practicality).

Sementara pada responden kedua juga mengimplikasikan adanya sumber makna hidup pada dimensi Vertical self-transcendence, yang khususnya berorientasi pada hubungannya secara langsung dengan Tuhan (spirituality) yang diwujudkan melalui pekerjaannya sebagai seorang Imam. Namun berbeda untuk sumber-sumber makna hidup lainnya, antara lain pada responden kedua cenderung memiliki orientasi pada dimensi Horizontal self-transcendence, dimana hal yang membuat responden bersemangat menjadi seorang Imam karena dimotivasi oleh visi yang dimilikinya (generativity) serta keyakinan akan kemampuan atau kapasitas yang dimilikinya untuk mengerjakan suatu tugas (Self-knowledge). Selain itu, terlihat juga kecenderungan orientasi pada sumber makna Well-being and relatedness, dimana hidup yang bermakna dapat dihayatinya melalui kepeduliannya dengan sesama manusia (community).

Hasil wawancara diatas menggambarkan setiap Imam Katolik cenderung digerakkan oleh sumber-sumber makna hidup yang berbeda dalam memberi arah bagi tindakan mereka. Meskipun mereka memiliki pengalaman yang hampir mirip, yaitu sebagai seorang Imam Katolik, tetapi persepsi dari masing-masing mereka membuat pengalaman hidup tersebut dimaknakan secara unik dan subjektif. Sumber makna hidup merupakan hal yang penting bagi para Imam Katolik, terutama sumber makna yang derajatnya tinggi pada dimensi vertical self-transcendence.


(17)

Vertical self-transcendence merupakan komitmen individu terhadap hal yang bersifat immaterial, kekuatan kosmik, supranatural (Schnell, 2009). Melalui sumber makna tersebut diharapkan dapat memotivasi para Imam untuk tetap setia dalam menjalankan panggilan Tuhan. Tanpa adanya sumber makna hidup yang tinggi pada dimensi vertical self-transcendence, kemungkinan sulit bagi seseorang untuk dapat menjalani proses persiapan untuk pada akhirnya ditahbiskan sebagai Imam, apalagi pekerjaan yang nantinya dijalani bukanlah pekerjaan yang berbayar (Hernandez, dalam jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2013). Kemantapan serta komitmen yang tinggi pada iman dan spiritual berperan penting bagi Imam Katolik untuk mendapatkan makna hidup dalam menjalani panggilannya.

Melalui paparan diatas, terlihat bahwa seorang Imam Katolik memiliki latar belakang kehidupan yang unik dan berbeda dengan individu lainnya. Meskipun diantara Imam Katolik memiliki pengalaman yang hampir mirip dalam menjalankan panggilan Tuhan, namun terlihat perbedaan dalam menghayati pengalaman dan sumber-sumber makna hidupnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui sumber makna hidup yang paling berperan, serta gambaran tipe makna hidup pada Imam Katolik dengan menggunakan The Sources of Meaning and Meaning in Life Questionnaire (SoMe).

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini, peneliti ingin mengetahui gambaran dari tipe makna hidup dan sumber-sumber makna hidup yang paling berperan pada kelompok Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.


(18)

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai sumber-sumber makna hidup yang paling berperan dan gambaran tipe makna hidup yang dilihat dari dua dimensi makna hidup (meaningfulness dan crisis of meaning) pada kelompok Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap bidang kajian psikologi positif, khususnya pada teori Hierarki Meaning dari Tatjana Schnell (2009) mengenai makna hidup dan sumber makna hidup pada Imam Katolik

- Dapat memberi sumbangan informasi bagi peneliti lain yang akan meneliti menggunakan teori makna hidup yang dikembangkan oleh Tatjana Scnhell

- Dapat memberi referensi bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin melanjutkan penelitian pada Imam Katolik baik dengan mengembangkan penelitian ini, maupun menggunakan variabel yang berbeda.

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Memberikan informasi kepada kelompok Imam Katolik mengenai gambaran makna hidup beserta sumber-sumber makna hidup yang paling signifikan di profesinya, sehingga diharapkan dapat memberikan motivasi untuk dapat tetap berkarya dalam menjalankan panggilanNya.


(19)

- Memberikan informasi kepada kelompok Imam Katolik, bahwa sumber makna hidup merupakan hal yang penting untuk dapat membantu mereka menghayati hidup yang bermakna terutama dalam menjalankan profesinya sebagai Imam Katolik.

- Memberikan informasi kepada keuskupan dan Imam Katolik mengenai sumber-sumber makna hidup yang paling berpotensi untuk dimiliki oleh calon imam (frater)

- Memberikan bantuan terhadap institusi/keuskupan dalam pelaksanaan proses seleksi calon imam atau uskup baru.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan (Kartono, 1994.33). Dalam agama Katolik, Pastor (imam atau “romo”) merupakan pemimpin rohani dalam Gereja Katolik yang memiliki tugas utama membantu para uskup (pemimpin resmi Gereja Katolik lokal) untuk melayani anggota gereja. Pada umumnya mereka yang menjalani hidup sebagai Imam Katolik melandasi pemilihan pekerjaannya atas dasar rasa terpanggil untuk menjadi Imam (Journal The Church of England dalam Handoyo & Octaviana, 2013). Namun beberapa dari mereka juga dilandasi oleh perasaan terpaksa, seperti tuntutan orang tua/keluarga, kondisi perekonomian keluarga, ingin mendapatkan perlakuan istimewa dari masyarakat, atau hanya ingin mencoba-coba.

Menjadi seorang Imam bukan hal yang mudah, setiap saat mereka harus siap dengan berbagai tugas yang diberikan oleh uskup (atasan). Salah satu tugas utama yang dilakukan


(20)

oleh seorang Imam adalah memimpin upacara atau ritual keagamaan dalam gereja katolik. Selain itu seorang imam juga harus menjalani tugas pengabdian pada bidang karya tertentu. Bidang karya tersebut antara lain, pelayanan parokial, pembinaan calon imam (seminari), pelayanan pembinaan umat (rekoleksi, retret, pembekalan, pendampingan kaum muda), Guru/Dosen, pengelolaan karya sosial (panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi), pemberdayaan masyarakat, dan penggiat Hak Asasi Manusia. Dalam menjalani tugasnya, seorang Imam terikat oleh 3 janji yang diucapkan pada saat dilantik (ditahbiskan). Janji-janji yang diucapkan tersebut, yaitu: kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan (Konferensi Wali Gereja Indonesia [KWI], 1996, hal. 375-377).

Janji kemurnian direalisasikan oleh seorang Imam dengan suka rela untuk tidak menikah (hidup selibat) seumur hidupnya. Janji kemiskinan dilaksanakan dengan bersedia untuk tidak menerima gaji atau hanya diberi uang saku yang besarnya sesuai dengan standard hidup lokal. Janji kemiskinan ini juga merupakan suatu pilihan mereka untuk hidup sederhana, tanpa mengumpulkan banyak barang-barang materi agar memungkinkan mereka lebih mudah memusatkan hidup pada Yesus serta melayani umat-Nya. Sedangkan janji ketaatan dilakukan oleh seorang Imam dengan sikap kesediaan terhadap segala bentuk penugasan yang diberikan oleh atasan (uskup), seperti penugasan untuk bersekolah, penugasan untuk bersedia ditempatkan di wilayah manapun, dll.

Berbagai bentuk pengalaman, tindakan, atau peristiwa-peristiwa yang dialami Imam dalam kesehariannya akan diintegrasikan dan dilihat secara menyeluruh oleh mereka. Melalui proses pengkajian pada konteks yang lebih menyeluruh tersebut memungkinkan seorang Imam Katolik untuk memandang hidupnya selama ini sebagai bermakna, kurang, atau bahkan tidak bermakna. Pembentukan makna hidup tersebut terjadi terus-menerus, dari persepsi dasar hingga evaluasi yang abstrak dan konkrit atas hidup individu sebagai bermakna atau tidak


(21)

bermakna (Schnell, 2009). Begitu pula pada seorang Imam Katolik yang akan selalu mencari makna hidup dalam menjalankan panggilan hidupnya.

Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia dan penderitaan tergantung bagaimana masing-masing individu menghayatinya. Pembentukan makna dapat dibagi kedalam lima level hirarki Meaning yang disusun berdasarkan derajat kompleksitas dan keabstrakannya (Schnell, 2009). Dimulai dari level persepsi, tindakan, tujuan, sumber-sumber makna, hingga makna hidup. Kelima level tersebut saling berhubungan, level yang lebih tinggi merupakan kerangka integratif dari level dibawahnya. Pada setiap level akan mengalami proses pemaknaan yang melibatkan integrasi objek, tindakan, dan peristiwa sehingga menciptakan koherensi.

Level paling kompleks dari model hirarki meaning dapat digambarkan melalui prinsip common coding yang terdiri dari level persepsi (perception), level tindakan (actions), serta level tujuan (goal) (Prinz dalam Schnell, 2009). Kehadiran stimulus akan mengaktifkan munculnya persepsi, yaitu interpretasi yang dilakukan oleh sistem saraf sensori atas stimulus yang disensasi. Hal yang telah dipersepsi tersebut kemudian akan mendorong suatu tindakan, dimana untuk dapat melakukan tindakan ini perlu adanya suatu aspek tujuan dan adanya motorik untuk melaksanakannya. Dengan melakukan tindakan tersebut pada dasarnya akan mendorong individu untuk terus-menerus berupaya mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Kruglanski (dalam Schnell, 2009) tujuan adalah keadaan masa depan yang diinginkan dan berusaha dicapai individu melalui tindakan.

Dalam proses pembentukan makna hidup pada seorang Imam Katolik, stimulus yang diterima oleh para Imam dapat berupa tugas pelayanan/peran-peran yang dijalankan, maupun reaksi dari lingkungan baik yang positif maupun negatif. Tugas pelayanan dapat berupa


(22)

berbagai tugas pastoral yang diberikan oleh atasan (uskup). Sedangkan bentuk reaksi positif dari lingkungan dapat berupa dihormati/disegani oleh umat dan reaksi negatif, antara lain dikagumi oleh para wanita atau berupa sindiran dari masyarakat mengenai harapan seorang imam. Hal-hal tersebut akan diinterpretasikan oleh imam katolik dan dibangun menjadi pengalaman yang dipersepsinya. Pengalaman yang dipersepsi tersebut menjadi dasar seorang Imam dalam menghayati pilihan hidupnya. Dari penghayatan tersebut akan memotivasi mereka untuk menjalankan karya pelayanan.

Level ketiga, yaitu level Tujuan. Level tujuan merupakan level ketiga yang dapat diwujudkan secara konkret melalui kegiatan-kegiatan maupun peristiwa-peristiwa tertentu, dan juga dapat digeneralisasikan melalui makna hidup Imam itu sendiri (Schnell, 2009). Tiga level awal dalam hierarki makna akan melandasi kedua level berikutnya. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengukur tiga level dari hirarki makna (persepsi, tindakan, tujuan). Peneliti hanya berfokus untuk mengukur dua level berikutnya (sumber-sumber makna hidup dan makna hidup).

Level berikutnya adalah sumber makna hidup. Sumber makna hidup akan muncul pada saat individu menghayati tujuannya sebagai hal yang bermakna. Sumber makna hidup merupakan orientasi paling mendasar yang memotivasi komitmen dan arah dari tindakan dalam area hidup yang berbeda-beda (Schnell, 2014). Sumber makna hidup akan mendasari kognisi, perilaku, serta emosi seorang Imam dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber makna hidup ini juga akan mendorong Imam untuk berkomitmen pada panggilan-Nya, serta memotivasi arah dan tindakan apa yang akan dilakukannya dalam kesehariannya.Terdapat 26 sumber makna hidup pada seorang Imam Katolik yang terbagi kedalam 4 dimensi. Dimensi dari sumber makna hidup tersebut, yaitu Self-transcendence (vertical dan horizontal),


(23)

self-actualization, order, serta well-being dan relatedness. Setiap Imam akan memiliki derajat yang berbeda-beda terhadap masing-masing sumber makna hidup tesebut.

Dimensi Self-transcendence merupakan bentuk komitmen terhadap suatu objek yang lebih tinggi daripada kebutuhan dasarnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Individu yang lebih berkomitmen terhadap Vertical Self-transcendence akan tampak dalam bentuk tingginya derajat pada orientasi spiritualitas dan keagamaan. Agama merupakan salah satu pedoman hidup umat manusia dalam menjalankan kehidupannya, termasuk individu yang menyerahkan dirinya untuk menjadi seorang Imam Katolik. Dalam kehidupan sehari-hari sebagai Imam tentunya tidak pernah terlepas dari tugas utamanya dalam kegiatan keagamaan, seperti berdoa dan melaksanakan misa yang dilakukan secara wajib dan rutin .

Sedangkan individu yang lebih berkomitmen pada Horizontal Self-transcendence akan tampak dalam bentuk tingginya derajat pada komitmen sosial (social commitment), hubungan dengan alam (unison with nature), pengetahuan-diri (self-knowledge), kesehatan (health), serta menciptakan karya yang bernilai abadi (generativity). Horizontal Self-transcendence tampak pada keseharian seorang imam yang selalu siap menjalankan tugas-tugas berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan umat yang sedang sakit, menjelang ajal, akan menikah, pembaptisan, dll. Dalam hubungannya dengan alam, ia menghargai alam dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang eksploitatif dan merusak serta mempromosikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Ia juga memiliki pemahaman tentang dirinya secara memadai, mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, serta mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mendukung karya pelayanan yang dijalankannya. Seorang imam pun mampu membagi waktunya dengan baik, di samping menjalankan tugas pelayanan yang utama tetap meluangkan waktu untuk beristirahat dan berolahraga guna menjaga kesehatan. Dalam menjalankan tugas pelayanannya, selain


(24)

memiliki kesiapan untuk melaksanakan tugasnya setiap saat ketika diperlukan, seorang imam mempertimbangkan tujuan-tujuan yang bersifat jangka panjang sehingga ketika ia ditugaskan ke tempat lain, karya pelayanannya dapat dilanjutkan oleh imam yang menggantikannya.

Dimensi kedua adalah self-actualization yang ditunjukkan dalam bentuk memanfaatkan, meningkatkan, serta mempertahankan kapasitas dirinya sendiri. Dimensi self-actualization pada imam dapat digambarkan melalui seberapa besar derajat realisasi imam terhadap tantangan (challenge), orientasi individualism (individualism), kekuasaan (power), pengembangan (development), kebebasan (freedom), pengetahuan (knowledge), dan kreativitas (creativity). Dimensi selfactualization pada Imam akan tampak melalui sikapnya yang mampu mengubah suatu godaan hidup, antara lain wanita dan kemewahan menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi agar tetap memusatkan hidupnya kepada Tuhan. Seorang imam menunjukkan kemandirian dalam pelayanan, tetap bersemangat untuk mengerjakan tugas-tugasnya meskipun harus bekerja sendirian. Ia mampu menjalankan peran sebagai gembala yang membimbing dan memimpin umat dalam menjalani kehidupan iman mereka. Ia mengembangkan dirinya dan bersedia menerima masukan dari orang lain untuk dapat menjadikan dirinya lebih baik. Imam menjalankan tugasnya tidak sebagai beban tetapi sebagai konsekuensi atas pilihan hidupnya. Ia juga menunjukkan kesediaan untuk membekali dirinya dengan berbagai macam pengetahuan supaya dapat menjalankan peran dan tugasnya dengan lebih baik. Selain itu dimensi ini dapat digambarkan melalui sikap dan tindakan imam yang mampu menggunakan berbagai macam cara yang menarik dan kreatif dalam menjalankan peran dan tugasnya.

Dimensi ketiga adalah order, merupakan kebutuhan untuk memegang nilai-nilai, tindakan nyata, serta hal yang sepantasnya dalam kehidupannya. Dimensi order dapat digambarkan melalui seberapa tinggi derajat yang ditampilkan Imam terhadap tradisi


(25)

(tradition), kepraktisan (practicality), moral (morality), dan pertimbangan yang sehat (reason) dalam kehidupanya sehari-hari. Berdoa dan memimpin misa merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh setiap Imam Katolik, sehingga kegiatan tersebut menjadi suatu kebiasaan yang tidak boleh terlewatkan setiap harinya. Hal tersebut menggambarkan dimensi order yang tampak pada seorang Imam. Dimensi order juga akan tampak dalam cara ia bersikap dan mengambil suatu keputusan. Sikap serta pengambilan keputusan yang dibuat oleh seorang Imam selalu bertumpu pada norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungannya. Selain itu, dalam pengambilan suatu keputusan seorang Imam tetap mempertimbangkan sisi baik dan buruk yang menjadi konsekuensinya.

Dimensi keempat adalah Well-being dan Relatedness yaitu menggambarkan usaha dalam mencapai kebahagiaan dalam hidup baik secara pribadi maupun bersama oranglain. Dimensi well-being dan relatedness dapat digambarkan melalui seberapa tinggi derajat yang ditampilkan seorang Imam terhadap kegembiraan (fun), hal yang berhubungan dengan keintiman (love), kesenangan hidup (comfort), memberikan bantuan terhadap orang lain (care), ketaatan terhadap ritual (attentiveness), dan keselarasan (harmony). Memberikan bantuan terhadap orang yang membutuhkan merupakan salah satu kewajiban seorang Imam, bantuan biasanya dapat berupa kerja sosial, konseling, dll. Bukan hanya membimbing dan membantu umatnya, disaat-saat tertentu pun seorang Imam juga meluangkan waktunya untuk berekreasi dan berkumpul bersama rekan-rekan atau umatnya. Bercanda serta bergembira bersama dapat menjadi sebuah cara untuk menghilangkan kebosanan dalam rutinitas. Sama seperti pria pada umumnya, terkadang seorang Imam memiliki perasaan terhadap lawan jenisnya. Namun, dalam kondisi tersebut ia akan mengolah perasaannya menjadi sebuah nikmat alamiah yang cukup disyukuri.


(26)

Sumber makna hidup membantu memberikan arah dalam menjalani hidup yang secara eksplisit berusaha keras mengejar kebermaknaan. Sumber makna yang dihayati secara koheren/selaras dengan tujuan individu akan mengarahkan pada pengalaman kebermaknaan (meaningfulness). Sementara individu yang menghayati terganggunya perasaan koheren antara sumber makna dengan tujuan hidupnya akan mengarahkan kepada pengalaman krisis makna (crisis of meaning). Makna hidup merupakan hasil dari evaluasi secara global yang dihayati sebagai bermakna atau tidak bermakna (Schnell, 2014). Dalam menjalani tugas dan kesehariannya sebagai Imam, ia akan menghayati dan menilai seluruh pengalamannya secara menyeluruh sebagai pengalaman yang positif, koheren atau sebagai pengalaman yang negatif, mengecewakan. Kedua pengalaman tersebut merupakan dimensi dari makna hidup, yaitu kebermaknaan dan krisis makna. Pengalaman positif dan negatif yang dihayati oleh seorang Imam juga dimotivasi oleh sumber makna hidup yang berbeda-beda.

Dimensi kebermaknaan (meaningfulness) adalah perasaan utama dari makna hidup, didasari penilaian individu terhadap kehidupannya yang dirasa koheren, signifikan, terarah dan termasuk kedalam kelompok. Seorang Imam yang memiliki kebermaknaan dalam hidupnya akan merasa bahwa hidupnya bertujuan, ada hal yang berusaha dikejarnya dalam hidup ini, merasa dirinya tergabung dalam masyarakat atau kelompok imam katolik, serta memiliki arah yang ingin dicapainya dalam hidup.

Sedangkan dimensi krisis makna (crisis of meaning) adalah perasaan individu terhadap kehidupannya yang dinilai, kosong, tidak bertujuan, dan berkekurangan (Schnell, 2014). Seorang Imam yang mengalami krisis makna akan memandang panggilan hidup atau profesinya sebagai hal yang tidak berarti, mengecewakan, dan cenderung mengabaikan tugas pastoral dan tanggung jawabnya. Tidak jarang, bagi beberapa Imam pun mengalami kesepian


(27)

dalam hidupnya atau meragukan pilihan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ia sedang mengalami krisis makna.

Kombinasi dari kedua dimensi tersebut (meaningfulness dan crisis of meaning) menggolongkan makna hidup kedalam empat tipe, yaitu meaningful, crisis of meaning, existentially indifference, serta conflict. Tipe Meaningful pada seorang Imam ditunjukan oleh derajat yang tinggi pada dimensi kebermaknaan dan derajat yang rendah pada dimensi krisis makna. Imam Katolik di tipe tersebut menghayati bahwa hidupnya bermakna, memuaskan, dan bertujuan tanpa disertai dengan perasaan menderita atau kekosongan dalam hidup. Tipe kedua adalah crisis of meaning, yaitu suatu kondisi dimana Imam menunjukan derajat yang tinggi pada dimensi krisis makna dan derajat yang rendah pada dimensi kebermaknaan. Mereka menghayati bahwa kehidupannya tidak berarti dan cenderung mulai mencari arti dari hidupnya.

Selanjutnya, tipe ketiga adalah pengabaian eksistensial (existentially indifferent). Pengabaian eksistensial dapat digambarkan melalui kondisi dimana seorang Imam menunjukan derajat yang rendah pada dimensi kebermaknaan dan juga dimensi krisis makna. Ia cenderung memandang panggilan hidupnya tidak memiliki nilai, hanya sekedar menjalankan rutinitas dan tugas-tugas tanpa memedulikan tugas tersebut memuaskan atau tidak memuaskan. Sementara tipe konflik (conflict) dapat dicirikan oleh kondisi dimana seorang Imam menunjukan derajat yang tinggi pada kebermakanaan dan krisis makna. Ia menghayati kebermaknaan yang tinggi dalam panggilan hidupnya, namun disisi lain ia juga merasakan frustrasi karena hidupnya kosong dan tidak memuaskan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schnell (2009,2010), makna hidup dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis, seperti usia, status marital, status pendidikan, dan


(28)

status pekerjaan. Kebermaknaan yang rendah ditunjukkan pada masa remaja, kemudian meningkat seiring bertambahnya usia. Individu yang megalami tekanan hidup yang besar sekalipun, masih dapat menemukan makna yang positif dalam hidupnya. Pria katolik yang ditahbisakan menjadi seorang Imam rata-rata berumur 29 tahun. Pada usia tersebut peluang untuk mengalami satu atau lebih kejadian yang menyebabkan tekanan hidup yang besar akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Apabila tekanan hidup tersebut diolah dengan baik, maka mereka akan menemukan kebermakaan dalam hidupnya.

Status marital berhubungan dekat dengan kebermaknaan. Individu yang menikah menunjukkan pengalaman kebermaknaan yang tinggi dibandingkan dengan individu yang hidup sendiri/tidak memiliki pasangan hidup. Hal ini didasari adanya konfirmasi atas rasa memiliki dan adanya tujuan hidup baru yang implisit melalui pernikahan (Schnell, 2009). Sementara, menjadi seorang Imam Katolik merupakan suatu profesi yang terikat oleh kaul kemurnian. Kaul kemurnian merupakan bentuk penyerahan/pembaktian hidup kepada Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk tidak menikah. Status tidak menikah tersebut dapat menjadi pemicu rendahnya kebermaknaan hidup pada Imam Katolik, karena mereka tidak akan memeroleh pengalaman signifikan melalu rasa bertanggung jawab dalam keluarga.

Faktor riwayat pendidikan berpengaruh pada kebermaknaan individu. Semakin tinggi pendidikan individu, maka pengertian norma dan nilai bagi mereka akan berbeda. Proses untuk menjadi seorang Imam membutuhkan waktu yang lama. Minimal pendidikan akhir yang harus dilaluinya adalah S2 teologi. Status pendidikan tersebut akan mempengaruhi mereka dalam menganalisa pengalaman hidupnya berdasarkan intelektual yang dapat mengarahkan kepada kehidupan yang bermakna. Intelektual yang tinggi pada Imam Katolik akan memengaruhi mereka dalam menganalisa pengalaman hidupnya


(29)

Status pekerjaan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap makna hidup. Menjadi seorang Imam merupakan sebuah pekerjaan yang pada dasarnya bukan pekerjaan yang berbayar. Namun, seorang Imam yang pada awalnya memiliki komitmen untuk setia terhadap panggilan Tuhan dapat memunculkan sikap kerja yang positif yang dapat mengarahkan untuk mengalami kebermaknaan dalam hidupnya.

Kerangka pemikiran diatas apabila diringkas, maka akan menjadi skema sebagai berikut:


(30)

Skema 1.1 Kerangka Pemikiran

Faktor pengaruh Meanign in Life :

- Usia

- Status marital

- Status pekerjaan

- Riwayat pendidikan Dimensi : - Self-transcendence vertical - Self-transcendence horizontal - Self-actualisation - Order

- Well-being and relatedness Meaningful Conflict Existentially indifferent Crisis of Meaning Dimensi :

 Meaningfulness

 Crisis of meaning Imam

Katolik di Provinsi Gerejawi

Jakarta

Perception Action Meaning

in Life Source of

Meaning Goal


(31)

1.6 Asumsi

Imam Katolik akan mengalami setiap tahapan dalam hirarki pembentukan makna. Setiap Imam Katolik yang telah melewati proses common coding (persepsi, tindakan,

dan tujuan) yang dihayati sebagai bermakna akan memunculkan sumber makna hidupnya

 Sumber makna hidup Imam Katolik dapat diidentifikasi melalui 26 sumber makna yang dikelompokan pada empat dimensi dengan derajat yang berbeda-beda

 Sumber makna hidup yang dihayati Imam Katolik secara koheren dan selaras dengan tujuan hidupnya akan membentuk kebermaknaan (meaningfulness)

 Sumber makna hidup yang dihayati tidak koheren atau tidak selaras dengan tujuan hidup Imam Katolik akan membentuk krisis makna (crisis of meaning)

 Imam Katolik mampu mengevaluasi secara menyeluruh pengalaman yang dialaminya dari sisi positif (dimensi meaningfulness) dan dari sisi negatif (dimensi crisis of meaning),

Pengalaman positif (meaningfulness) dan pengalaman negatif (crisis of meaning) memebentuk empat kemungkinan tipe makna hidup, yaitu meaningful, crisis of meaning, existentially indifferent, dan conflicting.

 Dimensi makna hidup dan krisis makna Imam Katolik yang bervariasi dipengaruhi oleh faktor usia, status pendidikan, status marital dan status pekerjaan.


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan mengenai tipe makna dan sumber-sumber makna hidup yang paling signifikan pada kelompok Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta., dapat disimpulkan bahwa :

 Mayoritas Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta memiliki tipe makna existentially indifferent dan meaningful. Tipe existentially indifferent dikarakteristikan dengan kombinasi antara dimensi meaningfulness dengan crisis of meaning dengan derajat yang rendah dikeduanya. Sementara Tipe meaningful dikarakteristikan dengan tingginya derajat dimensi meaningfulness dan rendahnya derajat dimensi crisis of meaning.

 Sumber-sumber makna hidup yang paling signifikan dalam mempengaruhi arah dan tindakan Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta, antara lain sumber social commitment, explicit religiosity, dan generativity.

 Terdapat perbadaan derajat rata-rata sumber makna hidup disetiap tipe makna yang dimiliki Imam Katolik. Skor rata-rata sumber makna yang tertinggi dimiliki oleh Imam Katolik dengan tipe conflicting kemudian diikuti oleh tipe makna meaningful, crisis of meaning dan skor rata-rata sumber terendah adalah tipe existentially indifferent.

Terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi meaningfulness dengan sumber makna explicit religiosity, spirituality, social commitment, unison with nature, self-knowledge, generativity, power, development, self-knowledge, creativity, community, care,


(33)

attentiveness, dan harmony. Artinya, tingginya orientasi Imam Katolik pada sumber makna tersebut maka akan berdampak pada peningkatan makna hidupnya.

Terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi meaningfulness dengan riwayat pendidikan Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta. Artinya, tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki Imam Kaolik maka akan berdampak pada peningkatan makna hidupnya.

Terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi crisis of meaning dengan sumber makna individualism. Artinya, tingginya orientasi Imam Katolik pada sumber makna individualism maka akan berdampak pada peningkatan krisis makna hidupnya.

Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara sumber makna love dengan data demografis usia. Artinya, semakin bertambahnya usia Imam Katolik maka semakin rendah orientasi mereka pada hal cinta dan romantika.

Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara sumber makna love dengan data demografis usia tahbisan. Artinya, semakin bertambahnya usia tahbisan Imam Katolik maka semakin rendah orientasi mereka pada hal cinta dan romantika.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan, peneliti mengajukan beberapa saran teoritis untuk penelitian selanjutnya:

 Melakukan penelitian kontribusi antara tipe makna hidup dengan sumber-sumber makna hidupnya agar mendapatkan gambaran yang lebih rinci dan kaya.


(34)

 Melakukan penelitian terhadap faktor-faktor lain yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan makna hidup dan sumber-sumber makna hidup.

 Karena jumlah item yang cukup banyak, maka perlu adanya pendampingan oleh peneliti saat responden mengisi kuesioner agar meminimalisir pengisian item yang mungkin saja terlewatkan.

5.2.2. Saran Praktis

 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi keuskupan di provinsi gerejawi Jakarta, khususnya kepada pimpinan/bapak uskup untuk dapat mempererat hubungan sosial dan menambah pengalaman religius Imam Katolik melalui kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama. Karena melalui kegiatan tersebut dapat meningkatkan pengalaman kebermaknaan pada Imam Katolik.

 Hasil dan alat ukur dalam penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi dalam seleksi calon-calon uskup, terutama untuk melihat makna hidup dan sumber-sumber makna hidupnya yang dapat memprediksi tingkah laku ke depannya.

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan mengenai pentingnya makna hidup dan sumber-sumber makna hidup pada Imam Katolik melalui psikoedukasi atau kegiatan lainnya.

 Hasil dan alat ukur dalam penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi referensi bagi lembaga seminari tinggi, guna untuk mengetahui makna hidup dan sumber-sumber makna hidup para calon imam (frater) yang dapat memprediksi tingkah laku kedepannya.


(35)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TIPE MAKNA HIDUP DAN

SUMBER MAKNA HIDUP PADA IMAM KATOLIK

DI PROVINSI GEREJAWI JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Disusun oleh:

Sophie Widyatami Djajadi NRP: 1130212

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(36)

(37)

(38)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, berkah dan kasih sayang-Nya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang ditempuh di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Dalam skripsi ini peneliti membahas mengenai makna hidup dan sumber makna hidup pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.

Penelitian ini tidaklah mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan, masukan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, perkenankanlah peneliti menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam proses kelancaran penelitian ini, yang diajukan kepada:

1. Ibu Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2. Bapak Dr. Henndy Ginting, Psikolog dan Ibu Trisa Genia, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran, meluangkan waktu dan memberikan kritik serta saran yang membangun untuk terselesaikannya skripsi ini

3. Ibu Dra. Juliati A. Santoso, M.Psi., Psikolog dan Ibu Heliany Kiswantomo, M.Si, Psikolog selaku dosen pembahas seminar Usulan Penelitian dari peneliti, yang telah memberikan begitu banyak masukan demi penyempurnaan pengerjaan skripsi ini

4. Bapak Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo Pr, Bapak Uskup Bandung Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, dan Bapak Usup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan pengambilan data sehingga skripsi ini dapat berjalan lancar.


(39)

5. Rm. Sigit Setyantoro yang telah banyak memberikan informasi, dukungan, serta tenaga kepada peneliti, sejak survey awal penelitian hingga proses pengambilan data penelitian

6. Seluruh Pastor di Provinsi Gerejawi Jakarta yang telah bersedia menjadi responden dan meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penelitian dengan jumlah item yang cukup banyak

7. Kedua Orang Tua yang selalu memberi dukungan, baik moril maupun materiil, serta doa yang tulus dan tiada hentinya kepada peneliti

8. Kakak tercinta Gracecelia Djajadi beserta adik-adik tersayang Martha Agustina Djajadi, Julian Nektar Djajadi, dan Ilham Herdiansyah yang telah memberikan dukungan serta semangat kepada peneliti selama proses pengerjaan dan penyelesaian skripsi

9. Hj. Tuti Alawiyyah (Alm), nenek tercinta yang telah banyak memberi semangat serta doa yang tiada hentinya kepada peneliti selama masa hidupnya

10.Sahabat hidup terbaik, Hadi Oktama yang selalu memperhatikan, menemani dan memberi semangat kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

11.Teman-teman seperjuangan yaitu, Nadya Salsabila, Fetrin Alni Talenta, Megi Sukmagini, Claudya Cicilia, Septyani, Catur Octowibowo, Rahel Violin, Vincentius Kennaldy yang terus menerus membantu, memberi dukungan, serta memberi masukan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu

12.Evin Novinty, Ratih Kamajaya, Widya Bramantri, Alti Sella P, Joewitta Fitriana S, Achmad Syaiful A, serta sahabat peneliti lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas motivasi serta masukan-masukan yang diberikan


(40)

Peneliti menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti memohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan maupun adanya kesalahan penulisan didalamnya.

Bandung, Juni 2016


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Bukhori, Baidi. 2012. “Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial Keluarga

dengan Kesehatan Mental Narapidana”. Jurnal Addin. Volume 4 no. 1 Januari-Juni

2012. Hal. 4.

Fankl, Viktor E. 1985. Man’s Search for Meaning, Revised and Update. Diterjemahkna oleh Lala Hermawati Dharma. 2004. Bandung: Penerbit Nuansa.

Freidenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing Design, Analysis and Use: Allyn and Bacon Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Third edition.

Tokyo: Mc.Graw Hill, Kogakusha Company. Ltd.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius.

Noor, Hasanuddin. 2009. Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung: Jauhar Mandiri.

Octaviana, E.Y., & Handoyo, S. (2013). Proses pemaknaan calling pada imam katolik. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, Vol.02, 26.

Oladipo, Samuel E. and Uchenna C. Onuoha. 2014. “How Purposeful Are Seminarians in

Life?”. British Journal of Education, Society & Behavioural Science. Volume 4(5)

2014. pp. 625-632.

Santrock, John. W. 1995. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi kelima Jilid 1. Diterjemahkan oleh Juda Demanik & Achmad Chusaini. 2002. Jakarta: Erlangga.

_______________.1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi kelima Jilid 2. Diterjemahkan oleh Juda Demanik & Achmad Chusaini. 2002. Jakarta: Erlangga.

Schnell, T. 2009b. The Source of Meaning and Meaning in Life Questionare (SoMe): Relations to Demoghraphics and Well-Being. The Journal of Positive Psychology, 4(3), 483-499.

Schnell, T. 2010. Existential Indifference. Another Quality of Meaning in Life. Journal of Humanistic Psychology, 50(3), 351-373.

Schnel, T. 2011. Individual Differences in Meaning-Making: Considering The Variety of Sources of Meaning, Their Density and Diversity. Personality and Individual Differences, 51 (2011), 667-673.


(42)

Schnell, T., & Mathhias, H. 2012. Meaningful commitment : finding meaning in volunteer work. Journal of Belief &Values: Studies ini Religion & Education, 33(1), 35-53

Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA, cv.

Yuniswara, Ernestine O., & Seger Handoyo, 2013. Proses Pemaknaan calling pada Imam Katolik. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Volume 2 no.1, April 2013. Hal 2-3.


(43)

DAFTAR RUJUKAN

Chan, Rosyeni. 2015. Sumber Makna Hidup dan Makna Hidup Pada Atlet Penyandang Disabilitas di National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Konfrensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius.


(1)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, berkah dan kasih sayang-Nya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang ditempuh di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Dalam skripsi ini peneliti membahas mengenai makna hidup dan sumber makna hidup pada Imam Katolik di Provinsi Gerejawi Jakarta.

Penelitian ini tidaklah mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan, masukan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, perkenankanlah peneliti menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam proses kelancaran penelitian ini, yang diajukan kepada:

1. Ibu Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2. Bapak Dr. Henndy Ginting, Psikolog dan Ibu Trisa Genia, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran, meluangkan waktu dan memberikan kritik serta saran yang membangun untuk terselesaikannya skripsi ini

3. Ibu Dra. Juliati A. Santoso, M.Psi., Psikolog dan Ibu Heliany Kiswantomo, M.Si, Psikolog selaku dosen pembahas seminar Usulan Penelitian dari peneliti, yang telah memberikan begitu banyak masukan demi penyempurnaan pengerjaan skripsi ini

4. Bapak Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo Pr, Bapak Uskup Bandung Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, dan Bapak Usup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan pengambilan data sehingga skripsi ini dapat berjalan lancar.


(2)

vi

5. Rm. Sigit Setyantoro yang telah banyak memberikan informasi, dukungan, serta tenaga kepada peneliti, sejak survey awal penelitian hingga proses pengambilan data penelitian

6. Seluruh Pastor di Provinsi Gerejawi Jakarta yang telah bersedia menjadi responden dan meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penelitian dengan jumlah item yang cukup banyak

7. Kedua Orang Tua yang selalu memberi dukungan, baik moril maupun materiil, serta doa yang tulus dan tiada hentinya kepada peneliti

8. Kakak tercinta Gracecelia Djajadi beserta adik-adik tersayang Martha Agustina Djajadi, Julian Nektar Djajadi, dan Ilham Herdiansyah yang telah memberikan dukungan serta semangat kepada peneliti selama proses pengerjaan dan penyelesaian skripsi

9. Hj. Tuti Alawiyyah (Alm), nenek tercinta yang telah banyak memberi semangat serta doa yang tiada hentinya kepada peneliti selama masa hidupnya

10.Sahabat hidup terbaik, Hadi Oktama yang selalu memperhatikan, menemani dan memberi semangat kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

11.Teman-teman seperjuangan yaitu, Nadya Salsabila, Fetrin Alni Talenta, Megi Sukmagini, Claudya Cicilia, Septyani, Catur Octowibowo, Rahel Violin, Vincentius Kennaldy yang terus menerus membantu, memberi dukungan, serta memberi masukan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu

12.Evin Novinty, Ratih Kamajaya, Widya Bramantri, Alti Sella P, Joewitta Fitriana S, Achmad Syaiful A, serta sahabat peneliti lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas motivasi serta masukan-masukan yang diberikan


(3)

vii

Peneliti menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti memohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan maupun adanya kesalahan penulisan didalamnya.

Bandung, Juni 2016


(4)

86 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Bukhori, Baidi. 2012. “Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial Keluarga

dengan Kesehatan Mental Narapidana”. Jurnal Addin. Volume 4 no. 1 Januari-Juni

2012. Hal. 4.

Fankl, Viktor E. 1985. Man’s Search for Meaning, Revised and Update. Diterjemahkna oleh Lala Hermawati Dharma. 2004. Bandung: Penerbit Nuansa.

Freidenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing Design, Analysis and Use: Allyn and Bacon Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Third edition.

Tokyo: Mc.Graw Hill, Kogakusha Company. Ltd.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius.

Noor, Hasanuddin. 2009. Aplikasi Dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung: Jauhar Mandiri.

Octaviana, E.Y., & Handoyo, S. (2013). Proses pemaknaan calling pada imam katolik. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, Vol.02, 26.

Oladipo, Samuel E. and Uchenna C. Onuoha. 2014. “How Purposeful Are Seminarians in

Life?”. British Journal of Education, Society & Behavioural Science. Volume 4(5)

2014. pp. 625-632.

Santrock, John. W. 1995. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi kelima Jilid 1. Diterjemahkan oleh Juda Demanik & Achmad Chusaini. 2002. Jakarta: Erlangga.

_______________.1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi kelima Jilid 2. Diterjemahkan oleh Juda Demanik & Achmad Chusaini. 2002. Jakarta: Erlangga.

Schnell, T. 2009b. The Source of Meaning and Meaning in Life Questionare (SoMe): Relations to Demoghraphics and Well-Being. The Journal of Positive Psychology, 4(3), 483-499.

Schnell, T. 2010. Existential Indifference. Another Quality of Meaning in Life. Journal of Humanistic Psychology, 50(3), 351-373.

Schnel, T. 2011. Individual Differences in Meaning-Making: Considering The Variety of Sources of Meaning, Their Density and Diversity. Personality and Individual Differences, 51 (2011), 667-673.


(5)

87

Universitas Kristen Maranatha Schnell, T., & Mathhias, H. 2012. Meaningful commitment : finding meaning in volunteer

work. Journal of Belief &Values: Studies ini Religion & Education, 33(1), 35-53

Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA, cv.

Yuniswara, Ernestine O., & Seger Handoyo, 2013. Proses Pemaknaan calling pada Imam Katolik. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Volume 2 no.1, April 2013. Hal 2-3.


(6)

88 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Chan, Rosyeni. 2015. Sumber Makna Hidup dan Makna Hidup Pada Atlet Penyandang Disabilitas di National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Konfrensi Waligereja Indonesia. 1996. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius.