DALAM RANGKA PENINGKATAN KESADARAN HUKUM DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A AMBON.

(1)

DAFTAR ISI

Hal

LEMBARAN PENGESAHAN .,.……….. i

MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….. ii

PERNYATAAN..……….. iii

KATA PENGANTAR ………... .. iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……… vii

ABSTRAK ……… xi

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ……….. xvi

DAFTAR GAMBAR ………..…….……….. xvii

BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……... 1

B. Rumusan Masalah ………... 12

C. Tujuan Penelitian ………... 13

D. Manfaat Penelitian ………... ... ...13

BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN NILAI DAN DISIPLIN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESADARAN HUKUM PADA WARGA BINAAN A. Pengertian Pembinaan Hukum ………..15

B. Pendidikan Nilai ………...27

1. Pengertian Nilai ………... ... ..27

2. Sumber Nilai ………. ... ..31

a. Enam Orientasi Nilai ………... ..32

b. Enam Dunia Makna ……… ... ..36

C. Pengertian Disiplin …………... ..37

D. Pengertian Narapidana ……… ... ..42

E. Proses Pembinaan Narapidana ……… ... ..46

F. Kesadaran Hukum ... ... ..56

G. Indikator Kesadaran Hukum ……… ... ..62


(2)

1. Pengetahuan Hukum ………... ..68

2. Pemahaman Hukum ……… ... ..68

3. Sikap Hukum …... ... ..69

4. Pola Perilaku Hukum... ..69

I. Teori Kesadaran Hukum ………… ... ..71

1. Pelaksana Hukum ... ..72

2. Teori Talcott Parsons ... ..75

J. Implikasi Pendidikan Nilai Di Lapas ... ..77

K. Pendidikan Nilai Yang Didapat Oleh Setiap Narapidana Dengan Berbagai Jenis Kesalahan. ... ..86

1. Wujud Pembinaan ... ... ..87

2. Proses Pembinaan ... ... ..88

3. Tujuan Pembinaan ... ... ..89

4. Sasaran Pemasyarakatan ………... ..90

5. Pendidikan Nilai ditinjau dari aspek Kognitif dan Afektif………91

L. Metode Pembinaan Narapidana ………... ... .96

1. Pembinaan Keperibadian ... ... .98

2. Pembinaan Kemandirian ... 100

BAB. III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ………... ... 102

B. Sumber Data Penelitian ………... 104

1. Subjek Penelitian ……… ... 104

2. Sampel Penelitian ………... 104

3. Lokasi Penelitian ……… ... 115

4. Instrumen Penelitian ………. ... 106

C. Teknik Pengumpulan Data ... ... 106

1. Observasi ……... 107

2. Wawancara………...108

3. Dokumen ... 109


(3)

BAB IV HASIL-HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil-Hasil Temuan Penelitian ……… ... 111

B. Pembahasan ………... 113

1. Sruktur Organisasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon ... 115

2. Penerimaan, Pendaftaran dan Penempatan warga binaan ... 125

3. Pembinaan Nilai Disiplin Narapidana Dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Hukum ... 128

4. Program sistem pembinaan warga binaan ... 128

5. Tahap-Tahap Pembinaan Warga Binaan ... 134

6. Pengelolaan Fasilitas Kegiatan Pembinaan dan Pendidikan ………… 148

a. Kegiatan Pembinaan ... 148

b. Kegiatan Pendidikan ... 154

C. Temuan Hasil Penelitian ... 163

1. Pelaksanaan nilai-nilai disiplin yang ditanamkan kepada warga binaan di LAPAS Klas II.A Ambon ... 164

2. Bentuk-bentuk nilai disiplin yang ditanamkan di LAPAS Klas IIA Ambon ... 169

3. Faktor-faktor menunjang dan menghambat kegiatan-kegiatan nilai Disiplin dan pendidikan nilai di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon ... .174

4. Pemasyarakatan ... .178

5. Bentuk-bentuk penanaman nilai disiplin di LAPAS Klas IIA Ambon ….….. ... 179

6. Sistem pembinaan nilai disiplin di LAPAS Klas IIA Ambon ... .179

7. Sarana prasarana di LAPAS Klas IIA Ambon ... .180

8. Sarana dan prasarana pembinaan keterampilan ... .180

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 181

B. Rekomendasi ………... ... .184

DAFTAR PUSTAKA ………... ... 188


(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu paradigma hukum adalah nilai sehingga hukum dapat di lihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dengan demikian, hukum belum merupakan institusi teknik yang kosong-moral atau steril terhadap moral. Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo, (2010: 66) menegaskan bahwa salah satu perbincangan kritis mengenai hukum adalah tuntutan agar hukum memberikan keadilan, artinya kepada hukum selalu diharapkan pertanyaan tentang apakah ia mewujudkan keadilan. Beberapa ribu tahun yang lalu, yaitu di masa hukum alam, maka wacana mengenai hukum berputar di sekitar pencarian keadilan yang absolut itu (in search absolute justice).

Eksistensi dan kemampuan hukum, diukur seberapa jauh ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian, moral keadilan telah menjadi dasar untuk mensahkan kehadiran dan bekerjanya hukum. Sejalan dengan hal tersebut maka, Sarjipto Rahardjo, (2010: 69) menegaskan bahwa:

Sejak hukum menjadi cagar nilai (sanctuary), yaitu tempat nilai dan moral disucikan, maka bangsa-bangsapun berbeda dalam pembuatan praksis hukumnya. Sejarahnya dapat dilacak jauh sampai abad ketiga belas, saat diundangkan Hebeas Corpus Act di Inggris dan masa Renaissance di abad keempat belas, enam belas. Dokrin rule of law merupakan sanctuary bagi nilai-nilai dan moral kebebasan individualis. Kita juga melihat kehadiran bangsa-bangsa yang lebih menonjolkan peran negara dalam bentuk asas komunalitas dan kebersamaan. Penyucian terhadap nilai ini melahirkan institusi pendukungnya yang berbeda daripada yang tumbuh dan berkembang di Eropa sebagaimana di uraikan diatas, bangsa-bangsa Asia Timur, seperti Indonesia, Jepang, Korea, Muangthai, umumnya menjungjung asas dan nilai tersebut.


(5)

2

Nilai kaidah dalam hukum akan tampil lain dalam hubungan dengan institusi memang mengandung nilai dan kaidah, tetapi di samping itu juga peran-peran dan organisasi, maka kita akan membicarakan persoalan yang cukup jauh kaitannya dengan nilai dan kaidah tersebut. Masalah kepatuhan (compliance) terhadap hukum bukan merupakan persoalan baru dalam hukum dan ilmu hukum, namun bagaimana ia dipelajari berubah-ubah sesuai dengan kualitas penelitian yang dilakukan terhadap masalah tersebut. Apabila masalahnya diselesaikan “ kesadaran hukum rakyat”, perasaan keadilan masyarakat” dan sebagainya. Hukum itu akan dipatuhi oleh masyarakat, jadi diantara peraturan hukum dan kepatuhan hukum terdapat hubungan linear yang mutlak (Soetandyo Wignjosoebroto, 2008: 155).

Kita telah ketahui bahwa kepatuhan subjek pada perintah hukum undang-undang nyata sekali jika tidak selamanya dapat dijamin secara pasti kalau hanya berdasarkan kekuatan sangsi. Kecuali disebabkan oleh kondisi-kondisi objektif yang terdapat dalam atau seputar struktur hukum itu sendiri yang sering kali menyebabkan upaya penegakan undang-undang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, kondisi internal warga masyarakat baik yang psikologis maupun kultural juga tidak dapat diabaikan. Subjektivitas dalam bentuk kesediaan warga untuk mentaati hukum tanpa dipaksa, ternyata juga menjadi suatu prasyarat terealisasinya undang-undang secara signifikan dalam kehidupan hukum sehari-hari.

Sejalan dengan pernyataan diatas, Soetandyo Wignjosoebroto, (2008: 156) mengatakan bahwa:

“….diketahui bahwa tanpa bangkitnya kesediaan warga dalam mengikuti diperintahkan untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan oleh hukum secara sukarela, tidak setiap usaha untuk mengefektifkan bekerjanya hukum dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat terwujud seperti yang diharapakan. Ancaman sanksi sekeras apapun terbukti tidak akan dapat mengontrol perilaku subjek dengan sepenuhnya. Sekecil apapun yang akan dimanfaatkan oleh seseorang subjek dengan resiko yang telah diperhitungkannya untuk


(6)

3

menghindarkan diri dari kontrol hukum yang berhakekat sebagai kontrol eksternal itu. Penghindaran seperti itu sering kali dilakukan juga oleh individu-individu dalam jumlah besar yang menginsyaratkan adanya suatu resistensi yang terjadi pada arah kolektif.”

Pendapat dari Karl Marx dapat disebut sebagai sosiologi hukum mengenai pengadilan terhadap pencurian bahwa hukum adalah tatanan peraturan untuk kepentingan kelas orang berupaya dalam masyarakat. Hukum merupakan bangunan atas yang dipotong oleh interaksi antara kekuatan-kekuatan dalam sektor ekonomi, seperti pada kasus pencurian kayu, maka golongan ekonomi yang kuat muncul sebagai pemenang dan hukumpun memihak pada kepentingan mereka.

Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat penegakan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai dengan tradisi empiriknya, maka dalam pengamatan kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam usaha penegakan hukum tersebut.

Upaya kodifikasi hukum tersebut sesungguhnya bermaksud mengganti tata hukum yang kini berlaku yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan tata hukum baru yang benar-benar mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan usaha ini, timbul masalah, sistem hukum mana yang mewakili kesadaran hukum masyarakat, yang dapat menjadi sumber utama pembentukan hukum nasional. Hal ini di sebabkan, karena hingga saat ini terdapat tiga sistem hukum yang mempengaruhi atau merupakan sumber dari tata hukum positif Indonesia, yaitu satu (1), sistem hukum adat, dua (2) sistem hukum Islam, dan yang ketiga (3) sistem hukum barat. Untuk mengetahui sistem hukum mana yang merupakan pencerminan kesadaran hukum masyarakat masa kini dan untuk masa yang akan datang, perlu dilakukan suatu


(7)

4

penelitian yang mendalam. Sekaitan dengan hal tersebut, maka (Moeljanto, 1987: 1), menegaskan bahwa :

Hukum pidana sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku didalam suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut; menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah dicamkan; dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau bukan yang dapat dijatuhkan terhadap orang atau badan hukum yang melakukannya. Jadi hukum pidana tidak membuat norma hukum sendiri, tetapi sudah ada pada norma yang lain. Adanya sanksi pidana untuk menjamin agar norma itu ditaati. Norma itu dapat berupa norma kesusilaan seperti perkosaan, perbuatan tidak menyenangkan, norma hukum (pencurian) dan sebagainya. Norma juga bisa dapat disebut sebagai kaidah. Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah ada aturan yang melarang.

Dalam pengertian umum, tindak pidana mencakup isi dan sifat dari sipelaku (terdakwa) hanyalah sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan berat ringan hukuman atau pidana yang dijatuhkan. Sehingga, bagaimana untuk menentukan bahwa seseorang itu telah melakukan tindak pidana atau tidaknya perlunya asas Nullum

delictum nulla poenasine praevia lege sebagai suatu asas legalitas dalam hukum

pidana. tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dipertanggungjawabkan kepadanya. Orang-orang yang dipidana adalah orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana dan memenuhi syarat-syarat: melakukan tindak pidana, mampu bertanggung jawab, dengan sengaja alpa, tidak ada alasan pemaaf seperti sakit jiwa misalnya, atau


(8)

5

alasan lain. Mengenai faktor mampu bertanggung jawab dalam doktrin dikenal adanya faktor akal dan faktor kehendak.

Sehubungan dengan mengenai faktor mampu bertanggung jawab dalam doktrin dikenal adanya faktor akal dan faktor kehendak, menurut Ruslan Saleh dalam (Moh Hatta, 2010 :1-2) bahwa:

Faktor kehendak bukan merupakan faktor yang menentukan mampu atau tidaknya orang bertanggung jawab. Sedangkan mengenai soal” tindak pidana jika ada kesalahan” ternyata menimbulkan persoalan berapa pentingnya konsepsi antara tindak pidana dan pertanggung jawabkan pidana. Orang tidak mungkin dipidana bila tidak melakukan tindak pidana. Tetapi untuk menilai kesalahan seseorang haruslah juga dipikirkan dua hal, Pertama; keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana, kedua; hubungan antara keadaan batin dengan perbuatan yang dilakukannya, misalnya apakah ia menginsyafi perbuatan yang dilakukan itu. Mekanisme penegakan hukum oleh aparat penegak hukum harus berorentasi pada tujuan penyelenggaraan hukum sebagai suatu instrument dari tertib sosial dan proses pelaksanaan perlindungan kepentingan individu, harus dalam rangka suatu sistem tertib sosial. Dengan begitu ekssistensi hukum dan pelaksanaannya tidak bersifat otonomi dan tertutup dari kehidupan masyarakat.

Ditinjau dari pendekatan teoritis akademis, permasalahan dapat ditinjau dari tiga dimensi yaitu pertama bidang hukum yang mengatakan bahwa criminal law as a body

of legal text doctrines and ideas”,mempunyai kemampuan terbatas baik dalam

perumusan peraturannya maupun pilihan perbuatan anti sosial mana yang menjadi lingkup kejahatan yang diatur dalam hukum. Dimensi kedua: di bidang eksistensi dan fungsi petugas yang jumlahnya terbatas itu harus ada hubungan kebersamaan dalam suatu politik kriminal baik pada tingkat pembentukan hukum oleh badan pembentukan undang-undang maupun penegakan hukumnya oleh petugas/alat penegak hukum yang melaksanakan ketentuan undang-undang, karena harus diakui bahwa undang-undang itu sering ketinggalan dari kemajuan masyarakat kelompok criminal mapun nou-


(9)

6

criminal. Adapun dimensi ketiga: di bidang komunikasi hukum harus diberlakukan

secara berkesinambungan dengan berbagai kemajuan media massa dan teknologi untuk memasyarakatkan hukum ditengah-tengah warga masyarakat.

Dengan singkat dapat disimpulkan bahwa kalau pada peradilan tumbuh ketidakberesan dapat dipastikan penyebabnya tergantung ketiga dimensi tersebut yang terdiri atas keadaan substansi hukum, mekanisme organisasi aparat penegak hukum dan masyarakat yang sadar untuk menerima dan memahami hukum itu satu sama lain saling mempengaruhi untuk tegaknya hukum di masyarakat.

Kenyataan, orang mengira bahwa penegakan hukum itu tergantung pada “manusia” sebagai subjek hukum, namun hal demikian tidak selamnya benar. Disatu pihak terdapat anggapan walaupun hukumnya sudah baik tetapi kualitas manusia penegak hukum kurang baik, akan timbul masalah lain yaitu timbul penyalahgunaan hukum (abus de droit). Sebaliknya juga begitu jika substansi hukum kurang baik meskipun manusia penegak hukumnya baik masih juga timbul masalah lain yaitu dengan tata hukum kurang memadai, dibandingkan dengan kemampuan penegak hukum akan dapat menimbulkan kesengajaan peran (role distance) sehubungan dengan ketidakserasian antara peran yang diharapkan (role expectation) dari aturan hukum yang kurang memadai dengan peran yang dijalankan oleh alat penegak hukum

(role performance) untuk mengatur kehidupan masyarakat yang berkembang. Dalam

penegak hukum sering atau kadang timbul keadaan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, karena kenyataan sosial cenderung tumbuh dan berkembang dengan pengaruh kemajuan dari ekonomi, politik dan kebudayaan dalam kehidupaan masyarakat.

Hal-hal diuraikan seperti tersebut di atas berkaitan dengan persoalan, betulkah kebijakan penyelenggaraan tatanan hidup masyarakat untuk menghadapi gangguan kejahatan dan pejabat itu hanya menjadi monopoli lembaga-lembaga hukum. Lantaran


(10)

7

kritik-kritik terhadap pelaksanaan peradilan pidana membawa renungan pemikiran baru untuk menawarkan pengembangan model peradilan pidana yang berciri” yuridis

ontologism” berubah kearah model peradilan alternative atau model kemudi (stuur

model) dengan pendekatan yuridis orentasi” pada ilmu pengetahuan tentang perilaku

manusia. Jika mungkin malahan mengintegrasikan kedua model peradilan pidana tersebut (Moh Hatta, 2010: 4-5).

Masalah sangsi pidana merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai itu sendiri ada yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zaman ia juga dapat bersifat dinamis.

Sifat kedinamisan tata nilai berlaku pula pada sistem pemindanaan dan sistem sangsi pada hukum pidana. Bila sistem pemindanaan ini diartikan secara luas, maka pembahasan menyangkut aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dalam hukum pidana dan pemindanaan. Sistem permasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan di lembaga pemasyarakatan, sejak tahun 1964. Undang-undang perihal Pemasyarakatan belum ditetapkan pemerintah, namun praktek pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, berjalan terus.

Kusumaatmadja (1970: 133), memberikan batas hukum dalam arti yang luas, tentang keseluruhan asas-asas yaitu: kaidah-kaidah serta lembaga dan proses-proses untuk mewujudkan itu dalam kenyataan di dalam masyarakat. Selanjutnya, dikatakan pula, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang didalam masyarakat (nya).


(11)

8

Batasan tentang hukum tersebut diatas, mewujudkan bahwa, hukum tidak dapat dengan sendirinya mewujudkan dirinya dalam kenyataan di dalam masyarakat. Tanpa bantuan lembaga-lembaga serta tanpa melalui suatu proses (Atmasasmita, 1995: 134). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa batas tentang hukum tersebut di atas, mengandung makna, pertama, bahwa, perwujudan hukum terkait dengan aparatur hukum (lembaga-lembaga hukum), dan kedua, bahwa, hukum akan dapat diwujudkan melalui suatu mekanisme proses penegakan hukum. Keterkaitan antara hukum dengan aparatur hukum, dalam batasan tersebut di atas, sangat diutamakan. Kaidah keduanya sering dikumandangkan oleh Kusumaatmadja (1970: 33) dengan adagium bahwa :

“ ….hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan; sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah suatu anarkis. Penegak hukum sangat dekat dengan masalah kesusilaan dan nyawa seseorang; sehingga tetaplah kiranya jika adagium tersebut diatas menjadi perhatian dan renungan kita semua, terutama segenap aparatur hukum”.

Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakaat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan dengan kekerasan. Masalah kejahatan merupakan kejahatan abadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia. Sejarah perkembangan masyarakat sebelum, selama, dan sesudah abad pertengahan telah ditandai oleh pelbagai usaha manusia untuk mempertahankan kehidupannya, dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia abad ke 20 ini, masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena yang tidak berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan yang bersifat perorangan. Berkaitan dengan masalah kejahatan tersebut di atas, maka maka Atmasasmita, (2010: 63) mengemukakan bahwa:


(12)

9

Kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin mengejala dan menyebar luas frekwensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan serunya kejahatan semacam ini. Dengan demikian, pada gilirannya model kejahatan ini telah membentuk persepsi yang khas di kalangan masyarakat. Seseorang akan mudah muncul kepatuhan hukumnya, jika ia menyadari pentingnya hukum. Tidak mungkin seseorang dapat patuh terhadap hukum, jika ia tidak memahami hukum. Selain itu, kesanggupan untuk memahami hukum secara logis akan diikuti oleh kemampuan untuk menilainya, terlepas dari adil atau tidaknya hukum tersebut. Menurut Soerjono Soekanto masalah kepatuhan terhadap hukum merupakan unsur lain dari persoalan yang lebih luas yaitu kesadaran hukum. Selain itu kesadaran hukum menyangkut pula masalah pengetahuan, pengakuan dan penghargaan terhadap hukum. Selanjutnya, B. Kutscincky dalam Soerjono Soekanto (2003) mengatakan bahwa:

“ Kesadaran hukum sebagai konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau ditandai dengan indikator pengetahuan tentang isi peraturan hukum, sikap terhadap peraturan hukum dan pola perilaku hukum”.

Dalam sejarah peradaban manusia (Khususnya di Eropa), memenjarakan penjahat sesungguhnya merupakan cara paling manusiawi dibandingkan dengan cara-cara lain sebelum model ini diberlakukan pada akhir abad 18. Ia disebut demikian sebab sebelumnya menghukum penjahat dilakukan dengan menyentuh” tubuh: mencambuk, memancung, menyeret, dan tindak kekerasan lain yang dilakukan diruang publik. Sementara itu, penjara adalah model sebaliknya. Ia mengirim penjahat ke ruangan tersembunyi. Tubuh tidak boleh disentuh. Yang dirampas dari penjahat adalah waktu dan ruang geraknya.

Jika begitu, ukuran kemanusiawian atau ketidak manusiawian penjara tidak perlu dipersoalkan lagi, sebab dalam dirinya penjara telah jadi model hukuman paling


(13)

10

manusiawi. Topik pembicaraan mengenai penjara mestinya digeser kearah “pengelolaan” moral terhukum. Penjara harus mampu membuat penghuninya berefleksi. Namun, hal itu yang tampaknya justru tidak terpikirkan.

Model pemenjaraan, sejak diberlakukan pada akhir abad ke 18 hingga kini tidak pernah berubah. Orang yang dinyatakan bersalah dipengadilan dijebloskan ke dalam penjara dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan vonisnya. Di dalam penjara para tahanan itu kemudian diberikan pendidikan kemasyarakatan sehingga di Indonesia penjara dinamai Lembaga Pemasyarakatn (LP). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka (Acep Iwan Saidi, 2002: 27-30). Mengemukakan bahwa:

Penamaan penjara dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan mengandaikan bahwa para narapidana adalah orang yang cacat moral kemasyarakatannya. Dengan demikian, kesalahan narapidana adalah kesalahan yang dilakukan terhadap sesama dalam konteks hubungan sosial. Cacat ini harus dikoreksi sehingga simulasi dan pelatihan hidup bermasyarakat perlu dilakukan dalam penjara.

Sejalan dengan hal tersebut, maka Baharudin Suryobroto dalam Yahya Harahap, (2000: 164) bahwa salah satu unit pelaksana (UPT) pada jajaran pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat melakukan penahanan adalah Rumah Tahanan Negara yang juga disingkat Rutan adalah tempat orang di tahan secara sah oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa pidana tertentu).

Sekaitan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwap penempatan seseorang tersangka atau terdakwa di rutan merupakan proses awal hilangnya kemerdekaan bergerak. seperti dikemukakan oleh Baharudin Suryobroto dalam Yahya Harahap, (2000: 164):

Bahwa warga binaan pemasyarakatan yang ditempatkan dirutan merupakan proses penderitaan permulaan selama belum ada putusan dari pengadilan, pidana yang memutuskan apakah perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitif apakah yang bersangkutan selanjutnya harus dikenakan perampasan kemerdekaan sebagai sangsi pidana yang pelaksanaannya di lakukan oleh instansi pelaksana pidana yang hilang kemerdekaan atau instansi permasyarakatan.


(14)

11

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan perampasan dan kemerdekan dapat diakhiri dengan bebas dari segala tuntutan hukum atau di lanjutkan berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan pernyataan diatas, maka Suryo Broto, (2002:10) mengemukakan bahwa :

“ Yang memiliki kekuatan hukum tetapi yang menyatakan bahwa terpidana yang salah harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilaksanakannya dengan menjalani pidana penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan suatu bentuk masyarakat yang unik. Di mana anggota terdiri dari petugas warga binaan pemasyarakatan, dan narapidana serta masyarakat. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu keadaan yang dipaksakan. Lingkungan yang tereliminasi dari dunia luar karena dibatasi oleh tembok keliling dan diatur oleh berbagai macam kontrol sosial baik formal maupun informal yang bersumber dari petugas maupun yang berlaku dilaksanakan mereka sendiri. “

Lembaga Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan menjadi warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinann diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti berniat untuk melakukan penelitian dengan bertolak pada permasalahan penanaman nilai disiplin pada narapidana di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon untuk mengetahui, tingkat kesadaran hukum. Penelitian ini dilakukan dengan berdasarkan indikator-indikator kesadaran hukum, yakni: pengetahuan tentang isi peraturan hukum, sikap terhadap peraturan hukum dan pola perilaku hukum.

Berbicara mengenai lembaga pemasyarakatan Klas II A di Ambon sama saja dengan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia, yang menjadi pusat penampungan narapidana yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Negeri


(15)

12

maupun pengadilan Tinggi Ambon disamping juga menampung tahanan atau narapidana titipan Kepolisian, Kejaksaan serta pengadilan yang sementara dalam proses peradilan.

Dengan kapasitas tergantung pada jumlah tahanan setiap tahun, itu berbeda-beda, contohnya pada tahun 2005 ada 70 orang, pada tahun 2006 ada 92 orang, tahun 2007 ada 124 orang, tahun 2008 ada 211 0rang, tahun 2009 ada 219 orang, tahun 2010 jumlah tahanan yang masih berada di Lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon ada 324 Orang, dan pada tahun 2011 ini ada 230 orang, dengan masa tahanan yang berbeda-beda. Dengan kasus yang berbeda-beda contohnya kasus narkoba, pembunuhan, susila, pencurian, penggelapan, penipuan, teroris, KDRT dan kasus politik (menaikan bendera RMS).

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan uraian dan penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi persoalan inti dalam penelitian ini, dikemas dalam suatu rumusan masalah.

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan nilai disiplin pada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Ambon?

2. Bagaimana pelaksanaan Pendidikan nilai secara efektif dalam Lembaga Pemasyarakatan klas II A Ambon?

3. Faktor-faktor apa saja yang menunjang dan menghambat kegiatan-kegiatan nilai disiplin dan pendidikan nilai di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon ?


(16)

13 C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tentang implementasi proses pembinaan dan penanaman nilai disiplin dalam rangka peningkatan kesadaran hukum yang dilakukan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

2. Mendeskripsikan tentang faktor-faktor penunjang dan penghambat, para Pembina lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan nilai disiplin dalam rangka untuk mengetahui kesadaran hukum para narapidana di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

3. Mendeskripsikan tentang altenatif solusi melalui pendidikan nilai yang dilaksanakan di Lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu pendidikan pada umumnya, dan untuk program studi pendidikan umum/nilai pada khususnya, yang berhubungan dengan pembinaan nilai disiplin pada narapidana untuk mengetahui kesadaran hukum di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan kepada lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon. tentang nilai-nilai disiplin yang pedagogis dalam rangka pembinaan kesadaran hukum pada warga binaan .


(17)

14

b. Baik untuk Pemda Provinsi Maluku, warga binaan, maupun para pelaksana lapangan dapat memiliki nilai yang selaras dengan permasalahan yang dihadapi warga binaan dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan disiplin.


(18)

102 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada Bab tiga ini menguraikan tentang motode penelitian yang digunakan dalam menyusun tesis ini, pembahasan yang meliputi: pendekatan penelitian, jenis-jenis data, sumber-sumber data, teknik pengumpulan data, tahapan-tahapan penelitian, rancangan analisa data, serta pelaksanaan pengumpulan data. Adapun pengertian tesis menurut Pedoman Penulisan Karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia (2009)” tesis melukiskan kemampuan akademik dalam merancang, dan menyusun laporan penelitian pendidikan atau mengembangkan ilmu satu bidang keilmuan tertentu.

A. Metode Penelitian.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian yaitu untuk memberikan gambaran tentang pembinaan nilai disiplin pada narapida untuk mengetahui kesadaran hukum di Lembga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon. Maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif

(kualitative research), ini dipilih karena permasalahan yang dikaji menyangkut

hal-hal yang sedang berlangsung di Lembaga Pemasyarakatan. Penelitian adalah suatu penelitian yang ditunjukan untuk mendskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Sehubungan hal tersebut, maka Lincoln and Guba mengatakan bahwa:

Penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat naturalistik. Penelitian ini bertolak dari paradigma naturalistik bahwa “kenyataan itu berdimensi lama, peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif, tidak bisa dipisahkan suatu kesatuan berbentuk secara simultan, dan bertimbal balik, tidak mungkin memisahkan sebab dengan akibat, dan penelitian ini mengakibatkan nilai-nilai. Para peneliti mencoba memahami bagaimana individu mempersepsi makna dari dunia sekitarnya. Melalui pengalaman kita mengkontruksi pengalaman kita, tentang dunia sekitar, dan hal ini menentukan bagaimana kita perbuat.


(19)

103

Dalam penelitian ini, peneliti langsung berinteraksi dengan pimpinan lembaga pemasyarakatan, pegawai lembaga dan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon. Sehingga segala permasalahan yang terkait dengan pembinaan nilai disiplin pada narapidana untuk mengetahui kesadaran hukum yang dapat diketahui dan dipahami oleh peneliti secara jelas.

Ciri-ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogman dan Taylor dalam Hadi Subroto, (1998: 12) bahwa:

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dihasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif, lebih berupa kata-kata daripada angka-angka. Dengan demikian lebih memusatkan pada ucapan dan tindakan subjek penelitian, serta situasi yang dialami dan dihayatinya, dengan berpegang pada kekuatan data hasil wawancara.

Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, Bogman dan Biklen (1982: 27-29) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, diantaranya:

1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara langsung sumber data.

2. Mengimplementasikan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih cendrung kata-kata daripada angkah.

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses tidak semata-mata kepada hasil.

4. Melalui analisis induktif, peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang terjadi.

5. Mengungkapkan makna sebagai hasil yang esensial dari pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini ada terdapat beberapa karakteristik yang ditonjolkan, yakni, Pertama; Peneliti bertindak sebagai alat peneliti utama (key instrument) dengan melakukan wawancara sendiri pada informan dan pengumpulan bahan yang berkaitan dengan objek penelitian dan peneliti terlibat aktif dalam proses penelitian; Kedua, Peneliti mengumpulkan dan mencatat data-data dengan rinci yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Ketiga, melakukan triangulasi atau konfirmasi data.


(20)

104 B. Sumber Data Penelitian

1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, sumber data dipilih secara purposive dan bersifat

snowball sampling. Penentuan sumber data pada proposal ini masih bersifat

sementara, dan akan berkembang kemudian setelah penelitian di dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial dan objek yang diteliti, sehingga mampu “membukakan pintu” kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data. Mengacu pada hal di atas, maka dalam penelitian ini subjek yang akan diteliti dan dimintai informasinya adalah:

a. Pegawai lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

b. Para warga binaan yang ada di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon. 2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Jadi maksud sampling dalam hal ini adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber dan bangunannya (constructions). Dengan demikian tujuan adalah untuk merincikan kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh karena itu pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sanpel bertujuan (purposive sample).

Ciri-ciri sampel bertujuan (purposive sampeple) menurut Moleong (2005: 224-225), sebagai berikut: (a). rancangan sample yang munul tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu, (b). pemiliham sample secara berurutan, (c). penyesuaian berkelanjutan dari sampel, dan (d). pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan.


(21)

105

Pemilihan para pegawai di lembaga pemasyarakatan, dan para narapidana di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon. Sebagai sumber data di lakukan dengan jalan: responden yang terpilih digali data. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Bog dan & Biklen, (1982) dalam Moleong, (2005) menegaskan bahwa:

Pada prinsipnya, sampel dalam penelitian ini tidak ditentukan oleh banyaknya (jumlah responden, tetapi yang penting adalah sampel dapat memberikan segenap informasi yang dibutukan secara mendalam sesuai dengan sasaran penelitian. Dalam pengertian kualitatif pengambilan sampel yang besar tidak efektif juga tidak diperlukan, Karena yang diperlukan peneliti dapat menggali data dari sanpel secara mendalam dengan berbagai cara, bahkan peneliti diharapkan dapat tinggal dalam kurun waktu yang cukup lama dengan orang-orang yang diteliti.

Sampel dalam penelitian ini adalah kepala lembaga pemasyarakatan, pegawai di lembaga pemasyarakatan dan para warga binaan di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon. Sedangkan alat pengumpulan data adalah peneliti sendiri (human

instrument). Dan dibantu dengan tape recorder, kamera foto, video, dan buku

catatan, peneliti sebagai instrument penelitian mempunyai data penyesuaian yang cukup tinggi sehingga senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah-ubah. Peneliti senantiasa dapat menghasilkan pertanyaan untuk mendapatkan data yang lebih rinci menurut tujuan penelitian.

C. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian adalah di lembaga pemasyarakat Klas II A Ambon di Desa Negri lama Kecamatan Teluk Ambon Baguala. Peneliti tertarik untuk meneliti nilai disiplin warga binaan dalam rangkah peningkatan kesadaran hukum apa yang ditanamkan pada warga binaan di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.


(22)

106 D. Instrumen penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrument utama adalah peneliti itu sendiri. Penelitian kualitatif sebagai human interst, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data. Menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya. Oleh karena itu, Nasution (2003) mengatakan bahwa:

“… dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan bahkan hasil yang diharapkan itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya.

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya penelitian itu sendiri sebagai alat atau satu-satunya yang dapat mencapainya.

E. Teknik Pengumpulan Data:

Teknik pengumpulan data adalah merupakan langkah yang paling srategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak mendapatkan data yang memenuhi standard yang ditetapkan.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participation, obsrvation), wawancara mendalam (in depth inteieuw) dan dokumentasi.


(23)

107 1. Observasi

Nasution (2003) mengatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Sanafiah faisal (1990) mengklarisifikasikan observasi menjadi observasi partisivasi (partisipan observastion), observasi yang secara terang-terangan, dan observasi yang tidak bersrtuktur (structure obsevation).

Terkait dengan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini, observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipatif (partisipasi pasif), dimana peneliti datang langsung ke lokasi penelitian di lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon. Untuk mengamati situasi dan aktifitas para warga binaan.

Untuk yang secara terang-terangan., maka peneliti dapat berterus terang kepada sumber data (informan) bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Namun dalam hal-hal tertentu, penelitian juga dilakukan secara tersamar guna menghindari suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan secara terus terang, maka peneliti tidak akan diijinkan untuk melakukan observasi. Dikhawatirkan pada warga binaan masih tertutup sehingga tidak membuka diri untuk membuka informasi sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti.

Selain juga observasi dalam penelitian ini dilakukan secara tidak bersrtuktur, karena fokus penelitian belum jelas. Fokus observasi akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Ini berbeda dengan penelitian kuantitatif yang dilakukan secara berstruktur. Dengan demikian maka, Sugiono (2003) mengungkapkan bahwa:

Observasi tidak berstuktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistimatis tentang apa yang diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan.


(24)

108

Selanjutnya, Patton dalam Nasution, (2003), dinyatakan bahwa manfaat observasi adalah sebagai berikut:

1. Dengan observasi dilapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistic atau menyeluruh.

2. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.

3. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara. 4. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan

terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.

5. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang diluar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih koprohenship. 6. Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan data

yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

2. Wawancara.

Estenberg dalam Sugiyono, (2005:27) mendefenisikan interview sebagai berikut, “Ametting of ywo person to exchange information and idea through guestion and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topik “.

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makana dalam suatu topik tertentu.

Dalam penelitian kualitatif, sering mengabungkan teknik observasi partisipasif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada orang –orang yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan klas IIA Ambon, terkait dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini, peneliti disamping melakukan observasi terhadap warga binaaan,


(25)

109

juga diselingi dengaan memberikan pertanyaan (wawancara) yang berhubungan dengan masalah-masalah warga binaan.

Estenbeg mengemukakan beberapa wawancara, yaitu wawancara terstrutur,

semi struktur, dan tidak berstruktur. Namun dalam penelitian ini wawancara yang

peneliti lakukan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana peneliti memberikan kesempatan dan kebebasan kepada informan atau sumber data untuk menjawab dan memberikan informasi kepada peneliti sesuai dengan apa yang ia inginkan dan apa yang ia ketahui tanpa ada interprestasi terhadap apa yang ia ketahui dan ia pahami.

3. Dokumen.

Arikunto (1998: 236) mengemukakan bahwa “studi dokumenter merupakan teknik yang digunakan untuk menkaji dan mencari data mengenai hal-hal atau catatan-catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, noutulen rapat, agenda dan sebagainya.

Dokumen yang berbentuk gambar yang peneliti butuhkan adalah voto yang menggambarkan kondisi, aktifitas para warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Ambon.

4. Triangulasi Data

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila penelitih telah melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai ternik pengumpulan data dan berbagai sumber data,


(26)

110

Dalam penelitian kualitatif penelitian tidak boleh menunggu dan membiarkan data menumpuk, untuk kemudian menganalisanya. Bila demikian halnya ia akan mendapatkan berbagai kesulitan dalam menangani data. Semakin sedikit data, semakin mudah penanganannya. Untuk itu, data harus didapatkan, usai observasi atau interview, dengan langkahnya; pertama, segera menganalisa data lapangan dengan konsisten dan berulang dengan merunjuk pada pertannyaan penelitian (Chaedar Alwasilah, 2009: 158).

Analisa data juga dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagaimana disarankan oleh Nasution (1988: 129-130) yaitu:

1. Reduksi data, yakni; Mereduksi data dilakukan untuk menelah kembali seluruh catatan lapangan yang diperoleh, memilih hal-hal; yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas, dalam mempermudah penelitian untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari bila diperlukan.

2. Display Data, yakni: Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplinkan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam uraian singkat, pengembangan hubungan antara katergori flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Hoberman (1984) mengatakan “the most freguent from of display date for kalitative research date in the past been

narative tex”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

3. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi; Langkah ketiga menurut Milles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan, kesimpulan awal yang di temukan masih bersifat sementara dan beruba biarla ditemukan bukti-bukti yang kuat dan konsisten pada saat penelitian kembali di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kasual atau interaktif, hipotesis, atau teori.


(27)

181 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dalam Bab terakhir ini penulis akan dipaparkan kesimpulan dan rekomendasi yang mengacu pada deskripsi dari hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan dalam Bab IV sebagai berikut: Pertama, program pembinaan nilai disiplin terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon melalui peraturan tentang kegiatan-kegiatan dengan kepatuhan kepada jadwal kegiatan harian, bulanan, dan tahunan. Adapun yang harus dipatuhi oleh warga binaan bangun pagi, shalat bagi yang beragama Islam, dan ibadah bagi yang beragama Kristen di Gereja, setelah itu pemeriksaan kesehatan, jadwal bulanan, setelah itu pemberian remisi khusus merupakan kegiatan tahunan, sekaligus sebagai manifestasi dan konfigurasi dalam memberikan kepekaan terhadap pembentukkan keperibadian dan watak yang baik dari warga binaan dalam mematuhi berbagai aturan yang tetapkan oleh Lapas sebagai bagian dari aturan hukum dalam realitas kehidupan masyarakat luas yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum, dalam berbagai kegiatan pembinaan nilai disiplin dan kepatuhan hukum selaku warga negara.

Kedua, Pembinaan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan melalui Pendidikan nilai disiplin secara efektif dalam pelaksanaan kegiatan ceramah keagamaan, pelaksanaan ibadah dengan keyakinan dan keteladanan yang dimiliki oleh para warga binaan perlu melibatkan semua komponen yang ada, sehingga yang terpenting dari apa yang dilakukan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari interaktif yang didukung oleh program Pembinaan terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon, di mulai sejak bersangkutan di Lembaga


(28)

182

Pemasyarakatan sebagai tersangka atau terpidana, hal ini bertujuan untuk memberikan suatu arti kehidupan yang baru dalam menjalani proses pembinaan selama berada di Lapas, yang menyangkut pembinaan mental keperibadian, baik material maupun spiritual, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan sesuai dengan bakat dan minat para warga binaan serta berbagai macam kegiatan yang diarahkan guna mendukung proses pembinaan itu memperkuat jati diri warga binaan agar sekembalinya warga binan kedalam kehidupan masyarakat dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi sesuai dengan pola pelaksanaan pembinaan yang di dapatkan di Lapas, sehingga proses pembinaan di lapas dapat dinilai berhasil melalui pengembangan minat dan bakat warga binaan.

Ketiga, Kegiatan pembinaan dan penanaman nilai disiplin di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon, memiliki faktor penting yang perlu dilakukan, bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga warga binaan tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Seperti memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya warga binaan yang berprilaku baik, menciptakan manusia yang mandiri dalam hal bebas berani, bertanggung jawab kepada orang lain, terbentuk kepribadian warga binaan yang berkepribadian yang baik dan mampu beradaptasi dengan lingkungan, menciptakan kesadaran beragama bagi warga binaan agar memberikan keteladanan dalam pratek ibadah dalam kehidupan, menciptakan kesadaran berpikir agar dapat menciptakan kegiatan positif dalam kegiatan berpikir dan bertindak, dalam pembinaan kehidupan sosial warga binaan di lembaga pemasyarakatan dapat diterima di dalam masyarakat, hal ini dilakukan secara baik dan lancar, namun demikian terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam proses pembinaan warga binaan


(29)

183

di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon, yakni: (a) minimnya ketersediaan dana dalam proses pembinaan bagi warga binaan; (b) rendahnya tingkat pengetahuan petugas yang berkaitan dengan sistem lembaga pemasyarakatan dalam meminimasir persoalan-persoalan yang muncul pada pelaksanaan pembinaan bagi warga binaan; (c) Kurangnya tingkat kesadaran diri warga binaan dalam mengikuti pelaksanaan proses pembinaan di LAPAS, hal ini dikarenakan adanya kecenderungan intimidasi dan intervensi yang berlebihan dari para petugas Lapas Klas II A Ambon dalam proses dimaksud sehingga menimbulkan rasa acuh tak acuh oleh warga binaan dalam proses pembinaan; (d) minimnya sarana prasarana penunjang dalam kegiatan pembinaan yang berkaitan dengan pendidikan khususnya pendidikan yang berorientasi pada kesadaran hukum sebagai stackhoulders pembinaan di Lapas Klas II A Ambon; (e) kurang adanya keseimbangan antara kinerja petugas dengan upah kerja yang mencukupi, sehingga tidak tercipta keselarasan dan keserasian, dalam menjaga kenyamanan pembinaan bagi warga binaan yang dilakukan secara sistematis, programatis, dan berkesinambungan demi meningkatkan kesadaran hukum sehingga para warga binaan dapat kembali dalam kehidupannya secara wajar baik; dan (f) kurang adanya respons positif dari masyarakat terhadap pelaksanaan pembinaan bagi warga binaan di Lapas Klas II A Ambon, hal ini dikarenakan adanya berbagai penilaian dan pengukuran yang negatif terhadap karakter warga binaan dari kalangan masyarakat, lebih khusus lagi bagi pihak korban yang tidak menginginkan pelaku kejahatan kembali ke masyarakat, sehingga kebebasan di dalam kehidupan masyarakat, dianggap tidak memberikan nuansa baru, suasana baru yang menciptakan adanya tatanan kehidupan yang lebih baik dan berarti dalam keberlangsungan hidup warga binaan di tengah-tengah masyarakat, sehingga menimbulkan kecenderungan ingin kembalinya warga binaan ke Lapas dengan asumsi bahwa Lapas dengan


(30)

184

melakukan tindakan kejahatan yang baru dan atau mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang diuraikan di atas tampak bahwa pembinaan nilai disiplin pada narapidana dalam rangka peningkatan kesadaran hukum di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon menjadi kebutuhan yang sangat penting dilihat dengan adanya berbagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana, sebab kesadaran hukum pada dasarnya merupakan muatan nilai yang patut dikembangkan dalam setiap aspek kehidupan tak terkecuali pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon.

Pembinaan nilai disiplin pada narapidana senantiasa mengusung semangat hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam berbagai kegiatan pembinaan baik kegiatan kemandirian maupun kegiatan keperibadian teristimewa dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi, sehingga sebagai anggota masyarakat, warga binaan menyadari akan hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu untuk direkomendir hal-hal yang patut menjadi suatu kontribusi terhadap penyelenggaraan pembinaan nilai disiplin di lembaga Pemasyarakatan khususnya bagi para petugas lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon.

1. Kepada para petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon diharapkan dapat terus mengembangkan berbagai kegiatan pembinaan nilai disiplin dalam


(31)

185

rangka peningkatan kesadaran hukum bagi para narapidana dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh petugas LAPAS Klas IIA Ambon kepada pegawai Lapas tidak memanfaatkan warga binaan, dalam artian bahwa warga binaan mengerjakan hasil ketrampilan mereka diambil tanpa di bayar. Dalam arti bahwa hasil ketrampilan warga binaan yang dipamerkan dan atau dijual dengan harga yang mahal, dilaporkan kepada warga binaan dijualkan dengan harga yang murah serta tidak melakukan proses pemerasan dalam berbagai bentuk pembinaan di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon. Oleh karena itu, dalam pengimplementasian pembinaan nilai disiplin mengharuskan adanya usaha dari para petugas Lapas untuk mengembangkan pelatihan dan penyuluhan berkesadaran hukum yang lebih agar dapat mengembangkan kesadaran hukum pada diri narapidana. Selain itu, untuk para petugas agar terus menanamkan prinsip-prinsip kesadaran hukum melalui keteladanan perilaku sebagai upaya penyebaran semangat hidup dan saling menghargai serta menghormati diantara sesama warga binaan sehingga proses pembinaan nilai disiplin dapat berjalan secara damai dan saling mendukung diantara warga binaan.

2. Kepada para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon sebagai warga binaan yang sementara mengadakan recovery atau pembaharuan hidup yang berkaitan dengan tingkat pelanggarannya, penulis sarankan agar terus menerus mengadakan perubahan perilaku yang berorientasi pada pengembangan diri baik secara spiritual maupun secara material, serta dengan berbagai minat dan bakat dalam mengembangkan ketrampilan dan kreativitas yang dimiliki oleh setiap warga binaan sehingga tercipta nuansa kehidupan yang benar-benar dapat memberikan rasa percaya diri dalam meniti sebuah persoalan hidup. Selain itu, diharapkan agar warga binaan lebih kreatif dalam proses pembinaan sehingga


(32)

186

dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai positif dalam kehidupan kedepan baik secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat.

3. Kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon diharapkan dapat selalu memberikan penguatan birokrasi dan motivasi kepada para petugas Lapas agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga kenyamanan dan ketertiban dalam proses pembinaan baik itu berupa pendidikan dan pelatihan maupun dalam mengembangkan kreativitas warga binaan tidak didasari oleh kepentingan–kepentingan tertentu, sehingga muatan pengayoman selalu terpatri dalam diri para petugas dan atau pegawai dalam memperkuat birokrasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon sesuai dengan etika dan kedisiplinan kepegawaian, serta bagi para warga binaan, agar tetap menjaga keharmonisan dan kebersamaan dalam menjalin hubungan kerjasama baik diantara sesama warga binaan, maupun dengan para petugas agar terciptanya suasana yang kondusif dalam proses pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum sehingga memberikan suatu tata nilai kesadaran hukum bagi seluruh warga lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

4. Kepada para pengambil kebijakan dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia dan atau instansi terkait, terutama dalam proses pengembangan pembinaan bagi warga binaan perlu direkomendasikan untuk merespons realitas pelaksanaan kegiatan tersebut, baik dalam bentuk pembinaan kepribadian, maupun ketrampilan yang sangat dibutuhkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon sehingga tercipta suasana kesadaran hukum baik oleh para petugas maupun narapidana sebagai warga binaan, yang didasarkan pada prinsip nasional yakni pengayoman.


(33)

187

5. Kepada pengamat dan pemerhati masalah Hukum dan Hak Asasi Manusia khususnya mengenai proses pembinaan dan pengayoman di Lembaga Pemasyarakatan secara umum di Indonesia, khususnya di Klas II A Ambon agar terus menerus berusaha dalam mewacanakan dan memberikan pemahaman akan pentingnya pembinaan dan pengayoman bagi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, hal ini perlu untuk menjadi suatu pengetahuan dan kebutuhan menginat bahwa konsep pembinaan dan pengayoman di lembaga pemasyarakatan bagi umumnya masyarakat Indonesia saat ini masih menilai bahwa pembinaan di Lapas merupakan sebuah hukuman badan atau penyiksaan bagi yang melakukan tindakan pidana dalam berbagai bentuk pelanggaran, sehingga dapat dinilai bahwa konsep tersebut masih dikategorikan sebagai proses pencabutan hak asasi manusia. 6. Kepada Peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan tersebut

direkomendasikan untuk secara spesifik mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan mengenai proses pembinaan nilai disiplin dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari fenomena baru, hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu bentuk stimulus atau rangsangan kepada para petugas Lapas agar mengimplementasikan kesadaran hukum dalam proses pembinaan bagi warga binaan yang merupakan strategi yang tepat untuk menjawab tantangan baik yang datang dari para petugas Lapas maupun dari warga binaan terutama dengan melihat pada kondisi pembinaan dan pengayoman di negara ini. Sehingga diharapkan dapat membangun aktivitas dan kreativitas para warga binaan dalam mengembangkan kesadaran hkum yang di cita-citakan.


(34)

188

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir M. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

Anshohi G. A Ghofur. (2009). Filsafat Hukum. UGM Gadja Mada University Press. Alwasilah C.A. (2009). Pokoknya Kualitatif. Jakarta. Pustaka Jaya.

Atmasasmita R. (1992). Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung PT Eresco. Atmasasmita R. (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi. Bandung

CV Mandar Maju.

Atmasasmita R. (2010). Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung- PT Refika Bertens K. (2005). Etika Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiyono K. (2007). Nilai-Nilai Kepribadian Dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung. Alfabeta.

Budiyono K. (2009). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Bandung. Alfabeta. Aditama.

Chatab N. (2007). Profil Budaya Organisasi. Bandung. Alfabeta.

Darmadi H. (2009). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung. Alfabeta Elmubarok Z. (2009). Membumikan pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.

Ekopriyono A. (2005). The Spirit of Pluralism, Mengenaali Nilai-Nilai Kehidupan,

Mencapai Kearifan. Jakarta. PT Elex Media Komputindo Gramedia.

Gunawan. (2009). Etika Penulisan Karya Ilmiah. Bandung. Yayasan Akatiga. Hamzah A. (2008). KUHP dan KUHAP. Jakarta. Rineka cipta.

Ishao. (2009). Dasar-dasar ilmu hukum. Jakarta Sinar Grafika. Bandung. Yapendo. Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Kusumaatmadja M (2006). konsep-konsep hukum dalam pembangunan. Bandung. PT Alumni.

Lubis M & Zubaedi. (2009). Evalwasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.

Maulana E, Suroso A. (2008). Energi Agama Dalam Kuasa, Merapikan Nilai-Nilai Agama

Dalam pemerintahan. Bandung. Mutiara Press.

Manullang F. (2007). Mengapai hukum berkeadilan. Jakarta.Buku Kompas. Muladi dan Nawawi. (2010) Teori-Teori Dan Tindakan Pidana. PT Alumni. Muladi. (2008). Lembaga pidana bersyarat. Bandung. PT Alumni.


(35)

189

Mertokusumo S. (2010). Mengenal hukum suatu pengantar. Yogyakarta. Universitas Atma jaya jogyakarta.

Poernomo B. (1986) Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta.

Priyantno A. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung PT Refika Aditama.

Rimm S. (2003). Mendidik dan menerapkan disiplin pada anak prasekolah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Rahardjo S. (2002). Sosiologi hukum perkembangan metode dan pilihan

masalah.yogyakarta. Genta Publishing.

Poedjawijatna. (1986). Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta. PT.Bina Aksara. Riyanto A. (2007). Kapita selekta hukum dalam dinamika. Bandung. Yapendo. Santoso T. (2001). Kriminologi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Suprapto S. (2005). Etika Rahasia Sukses Manajer Masa Depan. Jakarta. Progres.

Sholehuddin. (2007). Sistem sanksi dalam hukum pidana. jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Shidarta. (2009). Moralitas profesi hukum. Bandung. Aditama.

Wreksosuhardjo S. (2004). Filsafat Pancasila Secara Ilmia dan Aplikatif. Yogyakarta. Andi Yogyakarta.


(1)

184

melakukan tindakan kejahatan yang baru dan atau mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang diuraikan di atas tampak bahwa pembinaan nilai disiplin pada narapidana dalam rangka peningkatan kesadaran hukum di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon menjadi kebutuhan yang sangat penting dilihat dengan adanya berbagai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana, sebab kesadaran hukum pada dasarnya merupakan muatan nilai yang patut dikembangkan dalam setiap aspek kehidupan tak terkecuali pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon.

Pembinaan nilai disiplin pada narapidana senantiasa mengusung semangat hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam berbagai kegiatan pembinaan baik kegiatan kemandirian maupun kegiatan keperibadian teristimewa dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi, sehingga sebagai anggota masyarakat, warga binaan menyadari akan hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu untuk direkomendir hal-hal yang patut menjadi suatu kontribusi terhadap penyelenggaraan pembinaan nilai disiplin di lembaga Pemasyarakatan khususnya bagi para petugas lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon.

1. Kepada para petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon diharapkan dapat terus mengembangkan berbagai kegiatan pembinaan nilai disiplin dalam


(2)

185

rangka peningkatan kesadaran hukum bagi para narapidana dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh petugas LAPAS Klas IIA Ambon kepada pegawai Lapas tidak memanfaatkan warga binaan, dalam artian bahwa warga binaan mengerjakan hasil ketrampilan mereka diambil tanpa di bayar. Dalam arti bahwa hasil ketrampilan warga binaan yang dipamerkan dan atau dijual dengan harga yang mahal, dilaporkan kepada warga binaan dijualkan dengan harga yang murah serta tidak melakukan proses pemerasan dalam berbagai bentuk pembinaan di lembaga pemasyarakatan Klas II A Ambon. Oleh karena itu, dalam pengimplementasian pembinaan nilai disiplin mengharuskan adanya usaha dari para petugas Lapas untuk mengembangkan pelatihan dan penyuluhan berkesadaran hukum yang lebih agar dapat mengembangkan kesadaran hukum pada diri narapidana. Selain itu, untuk para petugas agar terus menanamkan prinsip-prinsip kesadaran hukum melalui keteladanan perilaku sebagai upaya penyebaran semangat hidup dan saling menghargai serta menghormati diantara sesama warga binaan sehingga proses pembinaan nilai disiplin dapat berjalan secara damai dan saling mendukung diantara warga binaan.

2. Kepada para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambon sebagai warga binaan yang sementara mengadakan recovery atau pembaharuan hidup yang berkaitan dengan tingkat pelanggarannya, penulis sarankan agar terus menerus mengadakan perubahan perilaku yang berorientasi pada pengembangan diri baik secara spiritual maupun secara material, serta dengan berbagai minat dan bakat dalam mengembangkan ketrampilan dan kreativitas yang dimiliki oleh setiap warga binaan sehingga tercipta nuansa kehidupan yang benar-benar dapat memberikan rasa percaya diri dalam meniti sebuah persoalan hidup. Selain itu, diharapkan agar warga binaan lebih kreatif dalam proses pembinaan sehingga


(3)

186

dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai positif dalam kehidupan kedepan baik secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat.

3. Kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon diharapkan dapat selalu memberikan penguatan birokrasi dan motivasi kepada para petugas Lapas agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sehingga kenyamanan dan ketertiban dalam proses pembinaan baik itu berupa pendidikan dan pelatihan maupun dalam mengembangkan kreativitas warga binaan tidak didasari oleh kepentingan–kepentingan tertentu, sehingga muatan pengayoman selalu terpatri dalam diri para petugas dan atau pegawai dalam memperkuat birokrasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon sesuai dengan etika dan kedisiplinan kepegawaian, serta bagi para warga binaan, agar tetap menjaga keharmonisan dan kebersamaan dalam menjalin hubungan kerjasama baik diantara sesama warga binaan, maupun dengan para petugas agar terciptanya suasana yang kondusif dalam proses pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum sehingga memberikan suatu tata nilai kesadaran hukum bagi seluruh warga lembaga pemasyarakatan klas II A Ambon.

4. Kepada para pengambil kebijakan dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia dan atau instansi terkait, terutama dalam proses pengembangan pembinaan bagi warga binaan perlu direkomendasikan untuk merespons realitas pelaksanaan kegiatan tersebut, baik dalam bentuk pembinaan kepribadian, maupun ketrampilan yang sangat dibutuhkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Ambon sehingga tercipta suasana kesadaran hukum baik oleh para petugas maupun narapidana sebagai warga binaan, yang didasarkan pada prinsip nasional yakni pengayoman.


(4)

187

5. Kepada pengamat dan pemerhati masalah Hukum dan Hak Asasi Manusia khususnya mengenai proses pembinaan dan pengayoman di Lembaga Pemasyarakatan secara umum di Indonesia, khususnya di Klas II A Ambon agar terus menerus berusaha dalam mewacanakan dan memberikan pemahaman akan pentingnya pembinaan dan pengayoman bagi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, hal ini perlu untuk menjadi suatu pengetahuan dan kebutuhan menginat bahwa konsep pembinaan dan pengayoman di lembaga pemasyarakatan bagi umumnya masyarakat Indonesia saat ini masih menilai bahwa pembinaan di Lapas merupakan sebuah hukuman badan atau penyiksaan bagi yang melakukan tindakan pidana dalam berbagai bentuk pelanggaran, sehingga dapat dinilai bahwa konsep tersebut masih dikategorikan sebagai proses pencabutan hak asasi manusia. 6. Kepada Peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan tersebut

direkomendasikan untuk secara spesifik mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan mengenai proses pembinaan nilai disiplin dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari fenomena baru, hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu bentuk stimulus atau rangsangan kepada para petugas Lapas agar mengimplementasikan kesadaran hukum dalam proses pembinaan bagi warga binaan yang merupakan strategi yang tepat untuk menjawab tantangan baik yang datang dari para petugas Lapas maupun dari warga binaan terutama dengan melihat pada kondisi pembinaan dan pengayoman di negara ini. Sehingga diharapkan dapat membangun aktivitas dan kreativitas para warga binaan dalam mengembangkan kesadaran hkum yang di cita-citakan.


(5)

188

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir M. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

Anshohi G. A Ghofur. (2009). Filsafat Hukum. UGM Gadja Mada University Press. Alwasilah C.A. (2009). Pokoknya Kualitatif. Jakarta. Pustaka Jaya.

Atmasasmita R. (1992). Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung PT Eresco. Atmasasmita R. (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi. Bandung

CV Mandar Maju.

Atmasasmita R. (2010). Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung- PT Refika Bertens K. (2005). Etika Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiyono K. (2007). Nilai-Nilai Kepribadian Dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung. Alfabeta.

Budiyono K. (2009). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Bandung. Alfabeta. Aditama.

Chatab N. (2007). Profil Budaya Organisasi. Bandung. Alfabeta.

Darmadi H. (2009). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung. Alfabeta Elmubarok Z. (2009). Membumikan pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.

Ekopriyono A. (2005). The Spirit of Pluralism, Mengenaali Nilai-Nilai Kehidupan, Mencapai Kearifan. Jakarta. PT Elex Media Komputindo Gramedia.

Gunawan. (2009). Etika Penulisan Karya Ilmiah. Bandung. Yayasan Akatiga. Hamzah A. (2008). KUHP dan KUHAP. Jakarta. Rineka cipta.

Ishao. (2009). Dasar-dasar ilmu hukum. Jakarta Sinar Grafika. Bandung. Yapendo. Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Kusumaatmadja M (2006). konsep-konsep hukum dalam pembangunan. Bandung. PT Alumni.

Lubis M & Zubaedi. (2009). Evalwasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.

Maulana E, Suroso A. (2008). Energi Agama Dalam Kuasa, Merapikan Nilai-Nilai Agama Dalam pemerintahan. Bandung. Mutiara Press.

Manullang F. (2007). Mengapai hukum berkeadilan. Jakarta.Buku Kompas. Muladi dan Nawawi. (2010) Teori-Teori Dan Tindakan Pidana. PT Alumni. Muladi. (2008). Lembaga pidana bersyarat. Bandung. PT Alumni.


(6)

189

Mertokusumo S. (2010). Mengenal hukum suatu pengantar. Yogyakarta. Universitas Atma jaya jogyakarta.

Poernomo B. (1986) Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta.

Priyantno A. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung PT Refika Aditama.

Rimm S. (2003). Mendidik dan menerapkan disiplin pada anak prasekolah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Rahardjo S. (2002). Sosiologi hukum perkembangan metode dan pilihan masalah.yogyakarta. Genta Publishing.

Poedjawijatna. (1986). Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta. PT.Bina Aksara. Riyanto A. (2007). Kapita selekta hukum dalam dinamika. Bandung. Yapendo. Santoso T. (2001). Kriminologi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Suprapto S. (2005). Etika Rahasia Sukses Manajer Masa Depan. Jakarta. Progres.

Sholehuddin. (2007). Sistem sanksi dalam hukum pidana. jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Shidarta. (2009). Moralitas profesi hukum. Bandung. Aditama.

Wreksosuhardjo S. (2004). Filsafat Pancasila Secara Ilmia dan Aplikatif. Yogyakarta. Andi Yogyakarta.