ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT.
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN DAN
PROPORSI BAHAN PENYALUT
PERMATASARI
NPM. 1033010020
INTISARI
Kacang-kacangan merupakan sumber protein bahan pangan yang potensial.
Diantara beberapa kacang-kacangan, kacang hijau, kacang merah dan kacang
tunggak. Sudah banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein. Protein sangat
diperlukan dalam tubuh manusia. Pekatan protein merupakan produk dari protein
bebas lemak atau berlemak rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga
kandungan proteinnya tinggi. Protein memiliki kelemahan yaitu mudah rusak oleh
udara, sehingga protein memerlukan perlindungan dari udara agar dapat bertahan
lebih lama. Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut
inti berupa suatu senyawa padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi senyawa aktif. Tujuan dari penelitian ini
untuk melindungi protein yang ada dalam pekatan protein, mendapatkan kombinasi
terbaik antara jenis kacang-kacangan dengan proporsi bahan penyalut. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini pekatan kacang tunggak, kacang merah, kacang hijau
dengan menggunakan penyalut gum arab dan kolagen, dan bahan pembusa tween
80.
Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah metode enkapsulasi foam
mat drying dengan cara mencampurkan bahan dengan gum arab dan kolagen
dilarutkan dalam air kemudian dibusakan dengan tween 80. Penelitian ini
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAK) dengan dua kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan Enkapsulasi pekatan protein terbaik diperoleh
oleh kacang tunggak. Hal ini didukung oleh hasil analisis uji kadar air 10,33%, kadar
protein 38.43%, kelarutan 97,15%, daya serap air 0,98 g/ml, rendemen 66,8%, uji
warna untuk tingkat kecerahan (L*) 53,7%, tingkat kemerahan (a+) 15,35%,
kecoklatan (b+) 19,15% dan ukuran partikel berkisar antara 52,25 sampai 53,20.
Kata kunci : Pekatan protein, kacang-kacangan, gum arab dan kolagen
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat
dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI
dengan judul “ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT”.
Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Dr. Dedin F.
Rosida, S.TP., MKes dan Ir. Rudi Nurismanto., MSi selaku dosen pembimbing,
terima kasih bimbingan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan SKRIPSI ini bisa terselesaikan.
Sebagaimana penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan serta
kekhilafan dalam penyusunan SKRIPSI ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknik Industri UPN “ Veteran”
Jawa Timur.
2. Ibu Dr. Dedin F. Rosida, S.TP., Mkes
selaku Ketua Jurusan Teknologi
Pangan.
3. Ibu Dr. Dedin F. Rosida, S.TP., MKes dan Bapak Ir. Rudi Nurismanto,. MSi.
selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran
dan motivasi dalam pembuatan laporan.
4. Ibu Ir. Sudaryati HP., MP dan Ir. Ulya Sarofa, MM selaku Dosen Penguji
seminar proposal dan hasil yang telah banyak memberikan bimbingan, saran
dalam pembuatan laporan ini
5. Ibu Ir. Tri Mulyani , MS selaku Dosen Penguji ujian lisan yang telah banyak
memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam pembuatan laporan.
6. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Moch. Nasution (alm) dan Ibu Trias
Agoestyarini, adikku Bayu Setiawan dan Nia
Paramita yang telah
memberikan dukungan, dan terima kasih doanya. Kalianlah kekuatanku
dalam menjalani hidup. Tinku.. :*
7. Ibu Indah Kusumadewi S.Si, Apt yang telah memberikan dukungan terhadap
kuliah saya selama bekerja.
8. Tim Guardian Surabaya terutama Guardian Maspion Surabaya (Hosnia, Pak
Darma, Mbak Dilla, Mbak Dwi, Mbak Ana, Mbak Aini, Mbak Rahma, Mbak
Wahyu, Mbak Nia, Mbak Dyah) thank you buat kerjasamanya, semangatnya
dan dukungannya buat aku,,, dari susah seneng bareng thank you so much ,,
very very love you all :*
9. Tim Apotek KAEL Surabaya (Pak Tirto, Bu Puput, Mb Yanti, Mb Nita, Rizka,
Maria, Yuli, Mas Roy, Pak Kukuh) terimakasih untuk pengertian dan
bantuannya selama proses skripsi berlangsung
10. Wanita Siaga (Cici, Mita dan Dhina) teman seperjuangan selama skripsi,
tetap semangat teman,, love you :*
11. Teman-teman seperjuangan TEPA’10 Family ,, Mb Winda, Mb Dian,
Fauziah, Mb Shinta, Mb Sulvi, Ayu, Tutik, Dyah, Oliph, Monic G, Monmon,
Okky, Opik, Khadik, Om Huda, Om Rama, Zul, Huda, Bima, Kak Nias, Babe,
Ilham, Wahid, Angel, Rahma, Asri, Reshi, Martha, Iin, Nurul, Cici, Dhina, Mita,
Mb We, Faid, dll,, thanks so much dear 4 tahun yang sangat berarti dan
menjadi lebih indah bersama kalian love you :*
12. Teman-teman KKN thanks so much buat motivasi nya dan membuat orang
galau menjadi lebih galau haha love you all :*
Penulis menyadari bahwa SKRIPSI ini masih jauh dari sempuna dan
dengan segala kerendahan, kekurangan serta keterbatasan penulis tidak menutup
kemungkinan terdapat kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan ini dan kebaikan untuk langkah selanjutnya.
Surabaya, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
vi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
1.1Latar belakang ..........................................................................................
3
1.2 Tujuan penelitian ......................................................................................
3
1.3 Manfaat penelitian ....................................................................................
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
4
2.1 Kacang-kacangan ....................................................................................
4
2.1.1 kacang tunggak .................................................................................
4
2.1.2 kacang hijau ......................................................................................
5
2.1.3 kacang merah ....................................................................................
6
2.2 Protein .....................................................................................................
7
2.2.1 Penggolongan protein ........................................................................
8
2.2.2 Sifat – sifat fungsional protein ............................................................
10
2.3 Pekatan protein ........................................................................................
10
2.4 Enkapsulasi .............................................................................................
12
2.4.1 Teknik pengeringan enkapsulasi .......................................................
13
2.4.2 Metode foam mat drying ....................................................................
14
2.4.3 Bahan pembusa ................................................................................
16
2.4.3.1 tween 80 ................................................................................
17
2.4.4 Bahan penyalut ..................................................................................
17
2.4.4.1 Gum arab .............................................................................
18
2.4.4.2 Kolagen ................................................................................
20
2.4.4.3 Interaksi antara Gum arab dengan Kolagen .........................
24
2.5 Landasan teori .........................................................................................
25
2.6 Hipotesis ..................................................................................................
27
BAB III. Bahan dan Metode .......................................................................................
28
3.1 Tempat dan waktu penelitian ...................................................................
28
3.2 Bahan penelitian ......................................................................................
28
3.3 Peralatan penelitian .................................................................................
28
3.4 Rancangan percobaan .............................................................................
28
3.5 Peubah yang digunakan ..........................................................................
28
3.6 Parameter yang diamati ...........................................................................
30
3.7 Prosedur penelitian ..................................................................................
30
BAB IV. Hasil dan pembahasan ...............................................................................
33
4.1 Analisa bahan baku .................................................................................
33
4.2 Hasil analisis produk enkapsulasi ............................................................
34
1. Analisis kadar air ................................................................................
34
2.Kadar protein ......................................................................................
35
3. Kelarutan .............................................................................................
37
4. Daya serap air .....................................................................................
39
5. Rendemen ..........................................................................................
41
6. Intensitas warna ..................................................................................
42
7. Ukuran partikel ....................................................................................
46
BAB V. Kesimpulan ..................................................................................................
49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
50
LAMPIRAN 1 .............................................................................................................
53
LAMPIRAN 2 .............................................................................................................
56
LAMPIRAN 3 .............................................................................................................
58
LAMPIRAN 4 .............................................................................................................
60
LAMPIRAN 5 .............................................................................................................
62
LAMPIRAN 6 .............................................................................................................
64
LAMPIRAN 7 .............................................................................................................
66
LAMPIRAN 8 .............................................................................................................
68
LAMPIRAN 9 .............................................................................................................
70
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kandungan gizi kacang tunggak ..............................................................
5
Tabel 2.2 Kandungan asam amino kacang tunggak ................................................
5
Tabel 2.3 Kandungan gizi kacang hijau ...................................................................
6
Tabel 2.4 Kandungan asam amino kacang hijau .....................................................
6
Tabel 2.5 Kandungan gizi kacang merah ................................................................
7
Tabel 2.6 Kandungan asam amino kacang merah ...................................................
7
Tabel 2.7 Sifat fisiko kimia Gum arab ......................................................................
19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur kimia Gum arab ........................................................................
18
Gambar 2.2 Urutan tahap pembentukan Kolagen .....................................................
21
Gambar 2.3 Struktur kimia Gelatin ............................................................................
22
Gambar 3.1 Proses pembuatan pekatan protein metode ekstraksi basa ...................
32
Gambar 3.2 Proses pembuatan enkapsulasi pekatan protein ....................................
33
Gambar 4.1 Pengaruh penambahan penyalut terhadap kadar air .............................
36
Gambar 4.2 Pengaruh penambahan penyalut terhadap kadar protein .......................
37
Gambar 4.3 Pengaruh penambahan penyaut terhadap kelarutan .............................
38
Gambar 4.4 Daya Serap air pekatan protein variasi kacang-kacangan dan
penambahan penyalut .............................................................................
41
Gambar 4.5 Rendemen enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan dengan
penambahan variasi bahan penyalut .......................................................
42
Gambar 4.6 Hasil nilai L* enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan dengan
penambahan penyalut .............................................................................
44
Gambar 4.7 Hasil analisis warna a+ enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan
dengan penambahan penyalut ................................................................
45
Gambar 4.8 Hasil analisis warna b+ enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan
dengan penambahan penyalut ................................................................
46
Gambar 4.9 Ukuran partikel enkapsulasi pekatan protein ..........................................
48
Gambar 4.10 Ilustrasi gambar pembentukan partikel ................................................
49
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Protein nabati telah meningkatkan kepentingan sebagai bahan dalam
enkapsulasi sejumlah makanan. Dibanding dengan protein yang berasal dari hewan,
misalnya sodium caseinate dan whey protein. Enkapsulasi lebih banyak dicirikan dan
diaplikasikan pada protein nebati. Penggunaan tanaman protein untuk enkapsulasi
merupakan
tren
untuk
lebih
lama
daya
simpannya
dan
penggunaannya
berkelanjutan, dan bahkan diet yang sehat. Dalam hal ini, protein nabati yang
digunakan sebagai bahan enkapsulasi termasuk pekatan protein kacang tanah,
kacang hijau dan kacang merah.
Pekatan protein telah banyak dimanfaatkan dalam industri pangan. Sebagai
bahan tambahan atau bahan substitusi suatu makanan untuk menambahkan nilai
tambah protein pada makanan. Pekatan protein merupakan bahan pangan yang
memiliki kandungan protein dengan kualitas tinggi sehingga dapat digunakan dalam
pembuatan produk pangan untuk menghasilkan sifat fungsional yang diinginkan.
Pekatan protein adalah suatu bahan pangan dengan kandungan protein yang
sangat tinggi. Oleh karena itu pekatan protein sangat dibutuhkan di dalam industri
pangan, sebagai bahan tambahan nutrisi dalam produk pangan. Dengan adanya
penambahan nutrisi dalam produk pangan maka akan meningkatkan nilai jual dari
produk tersebut. Hal ini dikarenakan pada saat ini konsumen lebih pintar dalam
memilih makanan berdasar nutrisi yang dikandung bukan hanya berdasar rasa
makanan.
Pekatan protein yang digunakan pada proses enkapsulasi kali ini adalah
pekatan protein kacang tunggak, kacang hijau dan kacang merah. Setiap pekatan
dari setiap kacang memiliki kandungan protein yang berbeda. Tetapi dengan
pembuatan pekatan protein ini diharapkan kita dapat mengambil dan mengamankan
sebagian besar dari protein yang dikandung oleh kacang-kacang tersebut.
Karena kandungan protein dalam pekatan protein sangat tinggi dan sangat
dibutuhkan oleh industri pangan. Sehingga dibutuhkan pekatan protein yang dapat
tahan disimpan lama dan tidak merusak protein yang terkandung. Teknologi
enkapsulasi diyakini dapat menjaga kandungan protein dalam pekatan protein.
Enkapsulasi dapat membantu penyerapan pekatan protein oleh makanan atau bahan
makanan. Enkapsulasi dapat menambah viskositas larutan pada makanan atau
minuman.
Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut inti
yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif. Enkapsulasi
membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material inti
terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core dan struktur yang
dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding,
membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasekoop et al. 2003). Kapsul
merupakan bahan semipermeabel, tipis berbentuk bulat dan kuat dengan diameter
bervariasi dari beberapa mikrometer hingga milimeter (Anal dan Singh 2007 dalam
Sugita 2010)
Teknik pengeringan yang digunakan dalam pembuatan enkapsulasi pekatan
protein adalah teknik pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet. Jenis
bahan penyalut yang digunakan adalah gum arab dan kolagen dengan tujuan untuk
membantu pembentukan suspensi tebal sehingga dapat melindungi bahan utama
dan mempermudah proses pembentukan enkapsulasi.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Yogaswara (2008) pada
pembuatan mikroenkapsulasi minyak ikan digunakan konsentrasi gum arab dan
gelatin sebanyak 70% dengan perbandingan (75:25) pada suhu freezer -50oC
selama 72 jam. Penelitian terdahulu oleh Iswari (2007) pada kajian pengolahan
bubuk instant wortel dengan metode foam mat drying menggunakan penyalut
dekstrin sebagai pembentuk suspensi dan tween 80 sebagai pembusa. Penelitian ini
menggunakan teknik pengeringan menggunakan pengering kabinet pada suhu 50oC
selama 6 jam.
Pada penelitian ini enkapsulasi yang dilakukan adalah enkapsulasi pekatan
protein. Enkapsulasi ini ditujukan untuk melindungi pekatan protein. Enkapsulasi kali
ini menggunakan bahan utama pekatan protein yang telah diuji kadar proteinnya
terlebih dahulu. Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan kadar protein pekatan
protein sebelum dan setelah dilakukan proses enkapsulasi. Pada proses enkapsulasi
diperlukan beberapa bahan sebagai penyalut dan emulsifier. Penelitian kali ini
dilakukan untuk mengetahui variasi terbaik antara jenis kacang yang digunakan
dengan bahan penyalut yang digunakan. Dengan membandingkan 3 jenis kacang
yaitu kacang tanah, kacang merah dan kacang hijau, dan perbandingan bahan
penyalut gum arab dengan kolagen. Kombinasi penyalut dan variasi kacangkacangan ditujukan untuk mendapatkan bentuk emulsi terbaik, sehingga dihasilkan
produk enkapsulasi yang baik pula.\
1.2 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui proporsi jenis penyalut dan variasi kacang-kacangan
2. Untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara jenis kacang-kacangan dengan
proporsi bahan penyalut
3. Melindungi kandungan protein yang ada dalam pekatan protein
1.3 Manfaat penelitian
1. Untuk meningkatkan fungsi pekatan protein
2 .Untuk meningkatkan nilai tambah protein kacang-kacangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kacang-kacangan
Kacang-kacangan adalah sebutan untuk biji berukuran relatif lebih besar
dibandingkan serealia dan digunakan untuk bahan pangan bagi manusia dan hewan
ternak. Kacang-kacangan umumnya didapatkan dari tanaman famili Fabaceae.
Untuk tanaman kacang-kacangan yang dipanen muda seperti kapri, buncis, dan
edamame
tidak
disebut
sebagai
kacang-kacangan
dalam
definisi
FAO
(Anonimousa,2014).
Kacang-kacangan bermanfaat sekali sebagai pangan yang kaya akan protein.
Walaupun serealia memberikan lebih banyak protein terhadap gizi masyarakat,
dengan istilah absolutnya pangan pokok (Zwartz & Hautvast, 1979 dalam Maesen &
Somaatmadja 1993), serealia hampir tidak pernah dimakan tanpa pengiring agar
enak dimakan dan lebih mudah dicerna (Maesen & Somaatmadja, 1993).
2.1.1 Kacang Tunggak
Kacang tunggak (Vigna unguiculata L) telah lama dibudidayakan di Indonesia
dan dikenal dengan kacang tolo. Tanaman ini berkerabat dengan kacang panjang,
sehingga ada yang memasukkannya ke dalam kelompok kacang panjang (Balitkabi
1998 dalam Hardiyanti 2011)
Tanaman kacang tunggak mempunyai tampilan fisik seperti kacang panjang
tetapi mempunyai perbedaan yaitu tidak merambat. Kacang tunggak merupakan
tanaman yang tahan hidup di lingkungan kering sehingga dapat dijadikan tanaman
perintis di lahan kritis. Kandungan gizinya sebagai sumber protein nabati dapat
digunakan bagi sebagian masyarakat yang kesulitan mendapatkan protein dari
sumber lain ( Andrianto 2004 dalam Hardiyanti 2011).
Keunggulan kacang tunggak adalah memiliki kadar lemak yang lebih rendah
sehingga dapat meminimalisasi efek negatif dari penggunaan produk pangan
berlemak dan mempunyai kandungan serat yang tinggi. Kacang tunggak memiliki
kandungan vitamin B (niasin serta riboflavin) dan vitamin C lebih tinggi dibandingkan
kacang-kacang lainnya (Anonimous 1979 dalam Hardianti 2011).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino Kacang Tunggak dapat dilihat
pada tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 2.1. Kandungan gizi kacang tunggak per 100g
Kandungan
Energi
342 kkal
Protein
22,9g
Lemak
1,4g
Karbohidrat
61,6g
Air
342kkal
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.2. Kandungan asam amino kacang tunggak
Asam amino
Isoleusin*
260 mg g-1 N
Leusin*
450 mg g-1 N
Lisin
410 mg g-1 N
Fenilalanin*
340 mg g-1 N
Tirosin
210 mg g-1 N
Metionin*
120 mg g-1 N
Sistein
110 mg g-1 N
Treonin
220 mg g-1 N
Valin
340 mg g-1 N
Sumber : Tiwari (2011),
Ket : (*) asam amino non polar
Kacang tunggak memiliki kandungan lisin yang tinggi sehingga dapat
menyempurnakan kualitas protein biji-bijian serealia. (Maesen dan Somaatmadja,
1993).
2.1.2 Kacang Hijau
Kacang hijau adalah sejenis tanaman budidaya dan palawija dan dikenal luas
di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki
banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber bahan pangan
berprotein nabati tinggi. Kacang hijau juga memiliki beberapa kandungan gizi protein
yang cukup tinggi, sumber mineral kalsium dan fosfor (Anonimousc,2014).
Biji kering kacang hijau dapat diolah dengan cara direbus atau dijadikan
tepung, dimakan dalam bentuk utuh atau dibelah. Biji atau tepungnya dicampur
dengan berbagai makanan, seperti sop, bubur, makanan kecil, roti, mi atau bahkan
dimasukkan kedalam es krim. Pati kacang hijau dimanfaatkan secara besar-besaran
untuk pati mi, dan protein kacang hijau dapat memperkaya gizi
tepung serealia
(Maesen & Somaatmadja, 1993).
Kacang hijau memiliki daya cerna yang lebih baik serta kurang menimbulkan
gas didalam perut daripada sebagian besar kacang-kacangan lainnya, karena cocok
sebagai gizi anak balita dan manusia lanjut usia. Kacang hijau ini memiliki faktor
antigizi yang rendah (Maesen & Somaatmadja, 1993).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino kacang hijau dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 2.3. Kandungan gizi kacang hijau
Kandungan
Energi
1430kj
Protein
22g
Lemak
1g
Karbohidrat
60g
Air
10g
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.4. Kandungan asam amino kacang hijau
Asam amino
Isoleusin*
350 mg g-1 N
Leusin*
560 mg g-1 N
Lisin
430 mg g-1 N
Fenilalanin*
300 mg g-1 N
Tirosin
100 mg g-1 N
Metionin*
70 mg g-1 N
Sistein
40 mg g-1 N
Treonin
200 mg g-1 N
Valin
370 mg g-1 N
Triptofan
Sumber : Tiwari (2011)
Ket : (*) asam amino non polar
50 mg g-1 N
2.1.3 Kacang Merah
Kacang merah tergolong makanan nabati kelompok kacang polong, satu
keluarga dengan kacang hijau, kacang kedelai, kacang tolo dan kacang uci. Ada
beberapa jenis kacang merah diantaranya red bean, kacang adzuki, dan kidney
bean. Kacang merah kaya akan asam folat, kalsium, karbohidrat kompleks, serat dan
protein yang tergolong tinggi. Kacang merah kering adalah sumber karbohidrat
kompleks, serat makanan, vit B (terutama asam folat dan vit B6), fosfor, mangan,
besi, thiamin dan protein. (364 mg), glycine (339 mg), dan lain-lain sisanya di bawah
300 mg (Anonimousd,2014).
Di India dan Sri Lanka, kacang merah ini ditanam
untuk diambil bijinya
sebagai sayuran. Polong mudanya yang masih lunak dikonsumsi sebagai lalapan.
Biji keringnya dimanfaatkan dalam bentuk biji utuh atau dibelah (Maesen &
Somaatmadja, 1993).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino kacang merah dapat dilihat
pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 2.5. Kandungan gizi kacang merah
Kandungan
Energi
1420kj
Protein
23,1g
Lemak
14g
Karbohidrat
59,1g
Air
10g
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.6. Kandungan asam amino kacang merah
Asam amino
Isoleusin*
360 mg g-1 N
Leusin*
540 mg g-1 N
Lisin
460 mg g-1 N
Fenilalanin*
350 mg g-1 N
Tirosin
240 mg g-1 N
Metionin*
60 mg g-1 N
Sistein
60 mg g-1 N
Treonin
270 mg g-1 N
Valin
380 mg g-1 N
60 mg g-1 N
Triptofan
Sumber : Tiwari (2011)
Ket : (*) asam amino non polar
Kandungan lisin yang tinggi menjadikan kacang merah ini suatu bahan yang
istimewa untuk menyempurnakan kualitas protein biji-bijian serealia (Maesen &
Somaatmadja, 1993).
2.2 Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat
ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang
mengandung unsur-unsur C,H,O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau
karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang dan ada jenis protein
yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 2004).
2.2.1 Penggolongan protein
Protein merupakan makro molekul yang komplek dan pada umumnya
digolongkan berdasarkan pada kelarutan dalam berbagai pelarut. Seiring dengan
perkembangan pengetahuan mengenai susunan dan struktur molekul, dipakai
kriteria lain untuk penggolongan, termasuk sifat ultrasentrifugal dan elektrofesis.
Protein dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu :
1. Protein sederhana
Protein sederhana hanya menghasilkan asam amino saja jika dihidrolisis dan
termasuk golongan berikut :
a. Albumin
Albumin larut dalam air netral yang tidak mengandung garam. Biasanya
ada protein yag berbobot molekul nisbi rendah.
Contohnya : albumin telur, laktalbumin, dan albumin serum dalam protein
air dadih susu, leukosin serealia, dan legumelin dalam biji polong.
b. Globulin
Globulin larut dalam larutan garam netral dan hampir tidak larut dalam air.
Contohnya globulin serum dan β-laktoglobulin dalam susu, myosin dan
aktin dalam daging, dan glisinin dalam kedelai.
c. Glutelin
Glutelin larut dalam asam atau basa yang sangat encer dan tidak larut
dalam pelarut netral. Protein ini terdapat dalam serealia seperti glutenin
dalam gandum dan orizenin dalam beras.
d. Prolamin
Prolamin larut dalam alkohol 50 sampai 90 persen dan tidak larut dalam
air. Protein ini mengandung sejumlah besar prolina dan asam glutamat
dan terdapat dalam serealia. Contihnay zein dalam jagung, gliadin dalam
gandum, dan hordein dalam barli.
e. Skleroprotein
Skleroprotein tidak larut dalam air dan pelarut netral dan tahan terhadap
hidrolisis memakai enzim. Ini merupakan protein serat yang berperan
pada struktur dan peningkatan. Kolagen dari jaringan otot dimasukan
kedalam golongan ini , seperti gelatin yang diperoleh dari kolagen.
Contoh yang lain termasuk elastin, yaitu komponen tendon, dan keratin,
komponen rambut dan kuku binatan.
f.
Histon
Histon adalah protein bersifat basa kuat, berbobot molekul rendah (4000
sampai 8000). Protein ini kaya akan arginina. Contohnya klupein dari ikan
hering (lupea harengus harengus) dan skombrin dari ikan makerel
(Scomber scombrus) (Deman, 1997).
2. Protein konyugasi
Protein konyugasi mengandung bagian asam amino yang terikat pada bahan
non protein seperti lipid, asam nukleat, atau karbohidrat. Beberapa protein
konyugasi yang penting, yaitu:
a. Fosfoprotein
Fosfoprotein merupakan golongan penting yang mencakup protein
makanan yang penting. Gugus fosfat terikat pada gugus hidroksil dari
serina dan treonina. Golongan ini mencakup kasein susu dan
fosfoprotein kuning telur.
b. Lipoprotein
Lipoprotein adalah gabungan lipid dengan protein dan mempunyai daya
mengemulsi yang sangat baik. Lipoprotein terdapat dalam susu dan
kuning telur.
c. Nukleoprotein
Nukleoprotein merupakan gabungan asam nukleat dengan protein.
Senyawa ini terdapat dalam inti sel.
d. Glikoprotein
Glikoprotein adalah gabungan karbohidrat dengan protein. Biasanya
jumlah karbohidrat kecil, tetapi beberapa glikoprotein mengandung
karbohidrat 8 sampai 20 persen. Satu contoh mukoprotein seperti itu ialah
ovumusin putih telur.
e. Kromoprotein
Kromoprotein adalah gabungan karbohidrat dengan protein yang gugus
prostetiknya berwarna. Terdapat banyak senyawa jenis ini, termasuk
didalamnya hemoglobin dan myoglobin, klorofil, dan flavoprotein (De
man, 1997).
3. Protein turunan
Protein turunan adalah senyawa yang diperoleh dengan metode kimia atau
dengan metode enzimatik dan dipilih kedalam turunan primer dan turunan
sekunder, bergantung pada derajat perubahan yang terjadi. Turunan primer
sedikit dimodifikasi dan tidak larut dalam air; kasein yang dikoagulasi dengan
rennet (isi lambung sapi) merupakan contoh protein turunan primer.
Turunan sekunder mengalami perubahan yang lebih besar dan mencakup
protease, pepton, dan peptida. Perbedaan antara hasil urai ini terletak pada
ukuran dan kelarutan. Semua larut dalam air dan tidak dikoagulasi oleh
bahang, tetapi protease dapat diendapkan dengan larutan amonium sulfat
jenuh. Peptida mengandung dua atau lebih sisa asam amino. Hasil urai ini
terbentuk
selama
pemrosesan
banyak
makanan,
misalnya
selama
pematangan keju (De man, 1997)
2.2.2 Sifat-sifat fungsional protein
Cheftel et al (1985) mendefinisikan sifat fungsional suatu komponen pangan
sebagai sifat-sifat diluar sifat nutrisi, yang mempengaruhi kegunaan suatu komponen
dalam bahan pangan. Sifat fungsional protein meliputi sifat fisik dan kimia yang
memungkinkan protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan.
Lebih lanjut, chef et al. (1985) mengelompokkan sifat-sifat fungsional ke
dalam kelompok, yaitu :
1. Sifat hidrasi, yang berhubungan dengan interaksi protein-air, seperti daya ikat
air, kebasahan, sweelling, daya lekat, kekentalan dan kelarutan.
2. Sifat
yang
pembentukan
2.3 Pekatan Protein
berhubungan
dengan
interaksi
protein-protein,
seperti
Pekatan protein adalah produk dari protein bebas lemak atau berlemak
rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut
definisinya, kandungan protein pada konsentrat atau disebut juga pekatan protein
adalah minimum 70%, sedangkan isolat minimum 95%. Kedua produk ini sangat
dibutuhkan oleh industri pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi
berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari konsentrat dan isolat protein kedelai
adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi
produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Anonimousb, 2014).
Natarajan (1980) dalam Sastri (2000) menyebutkan bahwa isolasi protein
pada
prinsipnya
terdiri
dari
tahap-tahap
ekstraksi
protein
dalam
medium
pengekstrak, penghilangan bahan tidak larut dengan sentrifusi, filtrasi atau
kombinasinya, pengendapan, pencucian, dan pengeringan pekatan.
Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah pengendapan
seluruh protein kacang pada titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein
menggumpal. Menurut chef et al (1985) dalam Sastri (2000) pemilihan suasana basa
sebagai pH selama ekstraksi berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar
asam amino akan bermuatan negatif pada pH diatas titik isoelektriknya, muatan yang
sejenis cenderung untuk tolak menolak, hal ini menyebabkan minimumnya interaksi
antara residu-residu asam amino yang berarti kelarutan protein akan meningkat.
Oleh sebab itu kelarutan protein lebih besar pada suasana basa daripada suasana
asam.
Pembuatan pekatan protein dilakukan berdasarkan kelarutan protein.
Umumnya asam dan basa digunakan secara berturut-turut untuk proses ekstraksi
dan penggumpalan/pengendapan. Ekstraksi protein pada pH basa dilakukan dengan
penambahan larutan basa kedalam campuran suspensi dan dilakukan pengaturan
pH dengan range antara 10,5-12. Hal ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pH
terhadap kelarutan protein (Moeyadi dkk, 2010). Penggunaan NaOH untuk
mengekstraksi suatu bahan dapat mendegradasi dinding sel dan menurunkan fraksi
organik dari dinding sel (McManus, 1978)
Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+ ,
sehingga protein bermuatan positif (Winarno, 1997 dalam Sastri 2000). Pada titik
isoelektriknya muatan total masing-masing amino dalam protein sama dengan nol,
artinya terjadi keseimbangan antara gugus bermuatan positif dengan gugus
bermuatan negatif. Interaksi elektrostatik antara asam amino akan maksimum karena
muatan yang tidak sejenis cenderung untuk tarik menarik, fenomena ini dapat
diamati dengan terjadinya penggumpalan protein (Suciono, 1995 dalam Sastri,
2000).
Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh bebrapa faktor, antara lain
ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan
serta suhu, pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella, 1979 dalam
Sastri, 2000).
2.4 Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut inti
yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut.
Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga
material tersebut terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core
dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut
sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasekoop et al. 2003).
Kapsul merupakan bahan semipermeabel, tipis berbentuk bulat dan kuat dengan
diameter bervariasi dari beberapa mikrometer hingga milimeter (Sugita 2010).
Mikroenkapsulasi adalah teknik yang digunakan untuk menyalut suatu
senyawa dengan menggunakan bahan penyalut dengan ukuran yang sangat kecil
dengan diameter rata-rata 15-20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut
manusia (Yoshizawa, 2002 dalam Usmayanti, 2007). Terdapat lebih dari 400 miliar
kapsul kecil dalam setiap galon material yang termikrokapsul (Sutriyo et, al. 2004
dalam Usmayanti, 2007).
Nanoenkapsulasi adalah teknik yang digunakan untuk menyalut suatu
senyawa dengan menggunakan bahan penyalut dengan ukuran yang sangat kecil
dengan diameter 0-1000 nm (Carvajal et al.; Chaundry et al, dalam Darmadji 2012).
Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka nanoenkapsulasi produk
pangan akan memberikan beberapa keunggulan diantaranya dalam hal peningkatan
rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk, absorpsifitas dan ketersediaan
komponen bioaktif (Darmadji, 2012).
Kegunaan dari menggunakan teknik ini antara lain untuk mengendalikan
pelepasan senyawa, membuat senyawa aktif lebih mudah dan aman untuk dipegang,
melindungi material peka dari lingkungan, dan mengubah wujud material dari cair
menjadi padat (Yoshizawa, 2002 dalam Usmayanti, 2007).
Banyak penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa enkapsulasi
produk dengan protein nabati sebagai bahan enkapsulasi menunjukkan sebanding
atau bahkan efisiensi enkapsulasi dan stabilitas terhadap oksidasi lebih baik
dibanding dengan sodium caseinate dan whey protein (Charve & Reineccius, 2009
dalam Liu, Chen dan Tang, 2013)
Secara umum ada dua macam metode untuk mengenkapsulasi suatu
senyawa, yaitu metode fisika dan metode kimia. Metode fisika antara lain dengan
pengeringan semprot (Spray drying), piringan pemutar, stationer extrusion nozzle
dan suspensi udara. Sedangkan dengan metode kimia dengan cara koaservasi
kompleks dan sederhana, polimerisasi interfusial, separasi fase dan penguapan
pelarut.
Enkapsulasi memiliki beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk menjaga
kualitas agar enkapsulasi tetap baik. Faktor yang mempengaruhi adalah : ukuran
partikel, interaksi permukaan, kadar air, kondisi penyimpanan. (Liu, Chen dan Tang,
2013).
2.4.1 Teknik pengeringan enkapsulasi
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengeringan enkapsulasi
makanan. Pemilihan proses berdasarkan sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia
baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran kapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi
bahan makanan, mekanisme pelepasan bahan aktif dan alasan ekonomi.
Menginformasikan perkembangan teknik enkapsulasi dari tahun 1955-2005. Metode
fisik dari enkapsulasi meliputi :
1. Spray drying
Enkapsulasi menggunakan spray drying paling banyak digunakan dalam
industri pangan karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel,
dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena
peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam bahan dan
menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran
partikel yang konsisten.
2. Freeze drying
Pengeringan beku freeze drying adalah suatu metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan,
khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Pengeringan
beku merupakan proses pengeluaran air dalam keadaan beku dari suatu
produk melalui cara sublimasi, yang dilakukan pada suhu tekanan rendah
(Fajri 2002 dalam Yogaswara 2008).
3. Foam mat drying
Foam mat drying adalah teknik pengeringan produk berbentuk cair dan peka
terhadap panas melalui teknik pembusaan dengan menambahkan zat
pembuih (Kumalaningsih et al 2005 dalam Ismawari 2007).
2.4.2 Metode foam mat drying
Dari semua metode enkapsulasi diatas, metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode foam mat drying dengan pengeringan menggunakan kabinet dryer.
Pemilihan metode ini didasarkan karena pertimbangan biaya yang digunakan untuk
penelitian tidak terlalu banyak, serta metode penelitian yang digunakan tidak terlalu
rumit, dan untuk selanjutnya dapat digunakan dalam industri termasuk industri rumah
tangga.
Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan
berbentuk
cair
yang
sebelumnya
dijadikan
busa
terlebih
dahulu
dengan
menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan
diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.
Foam (busa) didefinisikan sebagai suau sistem yang terbentuk oleh dua fase,
yaitu udara sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu. Salah satu
metode yang telah digunakan dan paling sering digunakan untuk membentuk foam
adalah metode pengocokan menggunakan mixer (Baniel dkk., 1997)
Menurut Karim dan Wai (1998), metode pengeringan busa diaplikasikan pada
bahan pangan yang sensitif terhadap panas. Setelah dilakukan pemanasan, bahan
dihancurkan menjadi bentuk bubuk.
Keuntungan pengeringan menggunakan
metode foam mat drying menurut
kumalaningsih dkk., (2005) antara lain :
1) Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses
pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan.
2) Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan
mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi,
suhu yang digunakan sekitar 50-80oC dan dapat menghasilkan kadar air
hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71oC
dapat menghasilkan kadar air 2%.
3) Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai kualitas warna dan rasa
yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh suhu penguapan yang tidak
terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma dan rasa tidak
banyak hilang.
4) Biaya lebih murah bila dibandingkan dengan proses produk siap saji lainnya
sebab tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga
energi yang dibutuhkan lwbih kecil da waktunya lebih singkat.
5) Produk bubuk yang dihasilkan lebih stabil selama proses penyimpanan
sehingga umur produk lebih tahan lama.
6) Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau
kepadatan yang rendah (ringan)/porous, dengan banyak gelembung gas
yang terkandung pada produk kering sehingga mudah dilarutkan dalam air.
Menurut Desroier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan
meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga
akan meningkatkan kecepatan pengeringan.
Andriastuti (2002), menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih
cepat kering daripada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini
disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa daripada melalui
lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain dari metode pengeringan
foam mat drying adalah menurunkan waktu pengeringan sepertiga waktu yang
digunakan.
Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh ketepatan
pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu, konsentrasi bahan
pembusa, dan bahan pengisi yang tepat, oleh sebab itu dalam penelitian ini akan
diteliti jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa yang tepat sehingga
diperoleh karakteristik bubuk yang baik.
Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh
Iswari (2007), pada pembuatan bubuk istant wortel, perlakuan terbaik diperoleh pada
penggunaan bahan pembusa (foaming agent) 1ml tween80 / kg dan dekstrin sebagai
penyalut.
Metode foam mat drying juga telah diteliti oleh Susanti dan Putri (2014), pada
pembuatan serbuk markisa merah, perlakuan terbaik diperoleh pada penggunaan
bahan pembusa (foaming agent) tween 80 1% dan suhu pengeringan 50oC.
Metode foam mat drying juga telah diteliti oleh Kamsiati (2006), pada pembuatan
bubuk sari buah tomat. Penelitian ini membandingkan bahan pembusa antra bahan
pembusa tween 80 dengan putih telur. Dari penelitian tersebut dihasilkan hasil yang
menunjukkan bahwa peningkatan kadar putih telur dapat meningkatkan kadar
vitamin C, pH, rendemen den menurunkan uap air dan menurunkan total asam
secara sangat nyata (α = 0,01), sedangkan peningkatan konsentrasi tween 80
sangat nyata (α = 0,01) meningkatkan vitamin C, reabsorpsi uap air dan kestabilan
dispersi bubuk.
2.4.3 Bahan pembusa
Bahan
pembusa adalah suatu bahan tambahan yang digunakan untuk
membentuk busa. Busa adalah dispersi koloid dari gelembung gas yang
terperangkap dalam cairan. Untuk menghasilkan busa yang stabil diperlukan
beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas
tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas.
Untuk membuat busa diperlukan bahan aktif permukaan. Bahan aktif permukaan
membantu cairan menyebar mengelilingi gas, pembentukan, dan kestabilan
gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural akan berada
pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan busanya.
Tekanan uapa yang rendah dari cairannya akan menurunkan kemungkinan dari
molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk menguap dengan mudah
yang dapat menyebabkan pecahnya busa (Pomeranz, 1985)
Bahan yang berperan dalam pembuatan foaming agent (zat/bahan pembusa)
adalah monogliserida atau protein kedelai yang dimodifikasi dengan metil selulose,
ester-ester dari sucrose, tween 80, dan protein putih telur (Tranggono dkk., 1990)
2.4.3.1 Tween 80
Tween 80 yang termasuk golongan non ionik surfaktan dimana bahan
asalnya adalah alkohol hensanhidrat, alkalin oxida dan asam lemak sifat hidrofilik
diberikan oleh gugus hidroksil bebas oksietilena (Belitz dan Grosch, 1987)
Daya kerja pengemulsi disebabkan oleh bentuk molekul yang dapat terikat
pada minyak dan air. Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis
emulsifier adalah berdasarkan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance), emulsifier yang
memiliki nilai HLB rendah (2-4) cenderung larut minyak, sedangkan yang memiliki
nilai HLB tinggi (14-18) cenderung larut air (Winarno, 1992)
Nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak
dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang kecil mampu
menurunkan tegangan muka antara air pada emulsi air dalam minyak. Tween 80
memiliki nilai HLB 15 yang sifatnya cenderung hidrofilik dan cocok dengan sistem
emulsi “oil in water” (Belitz and Grosch, 1987)
Tween 80 adalah kelompok ikatan sorbitan ester yang dibentuk oleh reaksi
antara sorbitol dan asam lemak juga etilen oksida, sehingga membentuk senyawa
dengan lapisan yang aktif (Emulsifying agent), yaitu zat untuk membentuk campuran
emulsi (Kumalaningsih dkk, 2005)
Pemakaian Tween 80 pada konsentrasi 0,04-0,1% dapat bekerja sebagai
bahan pendorong pembentukan foam, tetapi pada konsentrasi 0,005% tween 80
sebagai pemecah buih (Tranggono, dkk., 1990)
2.4.4 Bahan penyalut
Bahan utama yang digunakan pada pembuatan enkapsulasi kali ini adalah
pekatan protein. Sebelum digunakan sebagai bahan baku pekatan protein harus diuji
kadar proteinnya terlebih dahulu. Karena pada penelitian kali ini bertujuan untuk
membandingkan kadar protein pada pekatan sebelum dan sesudah proses
enkapsulasi.
Untuk pembuatan enkapsulasi selain diperlukan bahan baku diperlukan adanya
bahan penyalut, dimana bahan penyalut tersebut diperlukan untuk melapisi bahan
baku.
Bahan penyalut adalah bahan yang digunakan untuk menyeliputi bahan agar
terlindung dari pengaruh lingkungan yang merugikan. Menurut Kim dan Moor (1996
dalam Yogaswara 2008), bahan penyalut harus mampu melindungi dan menahan
bahan-bahan volatil dari kerusakan kimia selama pengolahan, penyimpanan dan
penanganan, serta harus bisa melepaskan materi yang disalutkan sewaktu
dikonsumsi. Sedangkan Bakan (1986 dalam Yogaswara 2008) menyatakan bahwa
bahan penyalut harus mampu memberikan suatu lapisan yang tipis yang kohesif
dengan bahan inti, agar dapat bercampur secara kimia dan tidak bereaksi dengan
bahan inti, memberikan sifat penyalutan yang diinginkan (kekuatan, fleksibilitas,
impermeabilitas, sifat optik, dan stabilitas). Bahan penyalut dibentuk hidrokoloid agar
dapat larut dengan air dan tidak bereaksi dengan inti penyalut.
Bahan penyalut yang umum digunakan untuk mengubah minyak menjadi
partikel-partikel padat adalah bahan murni (pure material) yang mengandung satu
macam zat makanan yaitu berupa karbohidrat ataupun protein. Bahan yang
mengandung karbohidrat di antaranya dekstrin, maltodekstrin, corn syrup solid dan
gum arab. Bahan yang mengandung protein adalah gelatin, kasein, isolat protein
kedele dan whey protein isolat.
Bahan-bahan penyalut dan pengisi
yang dibutuhkan dalam pembuatan
enkapsulasi dengan metode foam mat drying adalah:
2.4.4.1 Gum arab
Gambar 2.1. Struktur kimia gum arab
Gum arab atau gum acacia adalah biopolimer yang diperoleh dari eksudat
matang pohon acacia senegal dan acacia seyal yang tumbuh terutama di wilayah
afrika sahe di sudan. Eksudat adalah cairan tidak kental, kaya akan serat larut, dan
emanasi dari batang dan cabang-cabang biasanya terjadi dalam kondisi kekeringan,
kesuburan tanah yang buruk dan kerusakan (Williams & Phillips, 2000)
Secara kimia, gum arab merupakan campuran kompleks makromolekul dari
berbagai ukuran dan komposisi (terutama karbohidrat dan protein). Pada saat ini,
sifat dan fitur dari gum arab telah dieksplorasi secara luas dan dikembangkan dan
sedang digunakan dalam berbagai sektor industri seperti tekstil, keramik, litografi,
kosmetik, farmasi, enkapsulasi, makanan dan lain-lain. Mengenai industri makanan
digunakan sebagai stabilizer, pengental dan atau emulsifier agent ( misalnya sirup,
permen dan krim) (Verbeken et.al., 2003)
Tabel 2.7. Sifat fisiko kimia dan nutrisi untuk Gum acacia senegal dan Gum acacia
Seyal
Parameter
Gum acacia senegal
Gum acacia seyal
Bentuk fisik
Berwarna kuning
kecoklatan, bening,
keras
Berwarna merah/
coklat, mudah rapuh
Kandungan nutrisi (kcal/g)
1,7
1,7
Lemak total (%)
0
0
Karbohidrat kompleks (%)
95
95
Serat terlarut (%)
>85
>85
Protein (%)
~2
~ 0,8
Tanin (%)
0
0,11
Potassium (ppm)
8.500
2.000
Kalsium (ppm)
9.000
11.000
Magnesium (ppm)
1.400
1.200
Viskositas (25 % w/v soln, cps)
100
80
Kapasitas emulsi
Tinggi
Rendah
pH
4,5
4,4
Ash (%)
3,2
2,7
Sumber : Gum arabic (Kennedy et al., 2012)
Menurut Abdelgader et al (2011) dan Sarkar (2012) dalam Hakim (2012)
menyatakan bahwa gum arab dapat diaplikasikan sebagai binding agent (bahan
pengikat) bahan pangan maupun bahan obat. Seain itu gum arab sebagai emulsifier
sehingga bahan yang telah diproses dengan penambahan gum arab akan mudah
dilarutkan dalam air maupun minyak.
Menurut Philip (2000), gum arab dapat berperan sebagai emulsifier minyak
dan air dengan mengikat gugus polar air dan gugus non polar minyak, membentuk
suatu emulsi yang stabil.
Menurut Fennema (1976) dalam Nugroho dkk (2006), gum arab mempunyai
sifat mudah larut dalam air tetapi kemampuan meningkatkan viskositasnya rendah.
2.4.4.2 Kolagen
Kolagen merupakan material yang mempunyai kekuatan rentang dan struktur
yang berbentuk serat. Protein jenis ini banyak terdapat dalam vertebr
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT
SKRIPSI
Oleh :
PERMATASARI
NPM 1033010020
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2014
ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN DAN
PROPORSI BAHAN PENYALUT
PERMATASARI
NPM. 1033010020
INTISARI
Kacang-kacangan merupakan sumber protein bahan pangan yang potensial.
Diantara beberapa kacang-kacangan, kacang hijau, kacang merah dan kacang
tunggak. Sudah banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein. Protein sangat
diperlukan dalam tubuh manusia. Pekatan protein merupakan produk dari protein
bebas lemak atau berlemak rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga
kandungan proteinnya tinggi. Protein memiliki kelemahan yaitu mudah rusak oleh
udara, sehingga protein memerlukan perlindungan dari udara agar dapat bertahan
lebih lama. Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut
inti berupa suatu senyawa padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi senyawa aktif. Tujuan dari penelitian ini
untuk melindungi protein yang ada dalam pekatan protein, mendapatkan kombinasi
terbaik antara jenis kacang-kacangan dengan proporsi bahan penyalut. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini pekatan kacang tunggak, kacang merah, kacang hijau
dengan menggunakan penyalut gum arab dan kolagen, dan bahan pembusa tween
80.
Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah metode enkapsulasi foam
mat drying dengan cara mencampurkan bahan dengan gum arab dan kolagen
dilarutkan dalam air kemudian dibusakan dengan tween 80. Penelitian ini
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAK) dengan dua kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan Enkapsulasi pekatan protein terbaik diperoleh
oleh kacang tunggak. Hal ini didukung oleh hasil analisis uji kadar air 10,33%, kadar
protein 38.43%, kelarutan 97,15%, daya serap air 0,98 g/ml, rendemen 66,8%, uji
warna untuk tingkat kecerahan (L*) 53,7%, tingkat kemerahan (a+) 15,35%,
kecoklatan (b+) 19,15% dan ukuran partikel berkisar antara 52,25 sampai 53,20.
Kata kunci : Pekatan protein, kacang-kacangan, gum arab dan kolagen
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat
dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI
dengan judul “ENKAPSULASI PEKATAN PROTEIN VARIASI KACANG-KACANGAN
DAN PROPORSI BAHAN PENYALUT”.
Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Dr. Dedin F.
Rosida, S.TP., MKes dan Ir. Rudi Nurismanto., MSi selaku dosen pembimbing,
terima kasih bimbingan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan SKRIPSI ini bisa terselesaikan.
Sebagaimana penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan serta
kekhilafan dalam penyusunan SKRIPSI ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknik Industri UPN “ Veteran”
Jawa Timur.
2. Ibu Dr. Dedin F. Rosida, S.TP., Mkes
selaku Ketua Jurusan Teknologi
Pangan.
3. Ibu Dr. Dedin F. Rosida, S.TP., MKes dan Bapak Ir. Rudi Nurismanto,. MSi.
selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran
dan motivasi dalam pembuatan laporan.
4. Ibu Ir. Sudaryati HP., MP dan Ir. Ulya Sarofa, MM selaku Dosen Penguji
seminar proposal dan hasil yang telah banyak memberikan bimbingan, saran
dalam pembuatan laporan ini
5. Ibu Ir. Tri Mulyani , MS selaku Dosen Penguji ujian lisan yang telah banyak
memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam pembuatan laporan.
6. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Moch. Nasution (alm) dan Ibu Trias
Agoestyarini, adikku Bayu Setiawan dan Nia
Paramita yang telah
memberikan dukungan, dan terima kasih doanya. Kalianlah kekuatanku
dalam menjalani hidup. Tinku.. :*
7. Ibu Indah Kusumadewi S.Si, Apt yang telah memberikan dukungan terhadap
kuliah saya selama bekerja.
8. Tim Guardian Surabaya terutama Guardian Maspion Surabaya (Hosnia, Pak
Darma, Mbak Dilla, Mbak Dwi, Mbak Ana, Mbak Aini, Mbak Rahma, Mbak
Wahyu, Mbak Nia, Mbak Dyah) thank you buat kerjasamanya, semangatnya
dan dukungannya buat aku,,, dari susah seneng bareng thank you so much ,,
very very love you all :*
9. Tim Apotek KAEL Surabaya (Pak Tirto, Bu Puput, Mb Yanti, Mb Nita, Rizka,
Maria, Yuli, Mas Roy, Pak Kukuh) terimakasih untuk pengertian dan
bantuannya selama proses skripsi berlangsung
10. Wanita Siaga (Cici, Mita dan Dhina) teman seperjuangan selama skripsi,
tetap semangat teman,, love you :*
11. Teman-teman seperjuangan TEPA’10 Family ,, Mb Winda, Mb Dian,
Fauziah, Mb Shinta, Mb Sulvi, Ayu, Tutik, Dyah, Oliph, Monic G, Monmon,
Okky, Opik, Khadik, Om Huda, Om Rama, Zul, Huda, Bima, Kak Nias, Babe,
Ilham, Wahid, Angel, Rahma, Asri, Reshi, Martha, Iin, Nurul, Cici, Dhina, Mita,
Mb We, Faid, dll,, thanks so much dear 4 tahun yang sangat berarti dan
menjadi lebih indah bersama kalian love you :*
12. Teman-teman KKN thanks so much buat motivasi nya dan membuat orang
galau menjadi lebih galau haha love you all :*
Penulis menyadari bahwa SKRIPSI ini masih jauh dari sempuna dan
dengan segala kerendahan, kekurangan serta keterbatasan penulis tidak menutup
kemungkinan terdapat kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan ini dan kebaikan untuk langkah selanjutnya.
Surabaya, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
vi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
1.1Latar belakang ..........................................................................................
3
1.2 Tujuan penelitian ......................................................................................
3
1.3 Manfaat penelitian ....................................................................................
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
4
2.1 Kacang-kacangan ....................................................................................
4
2.1.1 kacang tunggak .................................................................................
4
2.1.2 kacang hijau ......................................................................................
5
2.1.3 kacang merah ....................................................................................
6
2.2 Protein .....................................................................................................
7
2.2.1 Penggolongan protein ........................................................................
8
2.2.2 Sifat – sifat fungsional protein ............................................................
10
2.3 Pekatan protein ........................................................................................
10
2.4 Enkapsulasi .............................................................................................
12
2.4.1 Teknik pengeringan enkapsulasi .......................................................
13
2.4.2 Metode foam mat drying ....................................................................
14
2.4.3 Bahan pembusa ................................................................................
16
2.4.3.1 tween 80 ................................................................................
17
2.4.4 Bahan penyalut ..................................................................................
17
2.4.4.1 Gum arab .............................................................................
18
2.4.4.2 Kolagen ................................................................................
20
2.4.4.3 Interaksi antara Gum arab dengan Kolagen .........................
24
2.5 Landasan teori .........................................................................................
25
2.6 Hipotesis ..................................................................................................
27
BAB III. Bahan dan Metode .......................................................................................
28
3.1 Tempat dan waktu penelitian ...................................................................
28
3.2 Bahan penelitian ......................................................................................
28
3.3 Peralatan penelitian .................................................................................
28
3.4 Rancangan percobaan .............................................................................
28
3.5 Peubah yang digunakan ..........................................................................
28
3.6 Parameter yang diamati ...........................................................................
30
3.7 Prosedur penelitian ..................................................................................
30
BAB IV. Hasil dan pembahasan ...............................................................................
33
4.1 Analisa bahan baku .................................................................................
33
4.2 Hasil analisis produk enkapsulasi ............................................................
34
1. Analisis kadar air ................................................................................
34
2.Kadar protein ......................................................................................
35
3. Kelarutan .............................................................................................
37
4. Daya serap air .....................................................................................
39
5. Rendemen ..........................................................................................
41
6. Intensitas warna ..................................................................................
42
7. Ukuran partikel ....................................................................................
46
BAB V. Kesimpulan ..................................................................................................
49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
50
LAMPIRAN 1 .............................................................................................................
53
LAMPIRAN 2 .............................................................................................................
56
LAMPIRAN 3 .............................................................................................................
58
LAMPIRAN 4 .............................................................................................................
60
LAMPIRAN 5 .............................................................................................................
62
LAMPIRAN 6 .............................................................................................................
64
LAMPIRAN 7 .............................................................................................................
66
LAMPIRAN 8 .............................................................................................................
68
LAMPIRAN 9 .............................................................................................................
70
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kandungan gizi kacang tunggak ..............................................................
5
Tabel 2.2 Kandungan asam amino kacang tunggak ................................................
5
Tabel 2.3 Kandungan gizi kacang hijau ...................................................................
6
Tabel 2.4 Kandungan asam amino kacang hijau .....................................................
6
Tabel 2.5 Kandungan gizi kacang merah ................................................................
7
Tabel 2.6 Kandungan asam amino kacang merah ...................................................
7
Tabel 2.7 Sifat fisiko kimia Gum arab ......................................................................
19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur kimia Gum arab ........................................................................
18
Gambar 2.2 Urutan tahap pembentukan Kolagen .....................................................
21
Gambar 2.3 Struktur kimia Gelatin ............................................................................
22
Gambar 3.1 Proses pembuatan pekatan protein metode ekstraksi basa ...................
32
Gambar 3.2 Proses pembuatan enkapsulasi pekatan protein ....................................
33
Gambar 4.1 Pengaruh penambahan penyalut terhadap kadar air .............................
36
Gambar 4.2 Pengaruh penambahan penyalut terhadap kadar protein .......................
37
Gambar 4.3 Pengaruh penambahan penyaut terhadap kelarutan .............................
38
Gambar 4.4 Daya Serap air pekatan protein variasi kacang-kacangan dan
penambahan penyalut .............................................................................
41
Gambar 4.5 Rendemen enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan dengan
penambahan variasi bahan penyalut .......................................................
42
Gambar 4.6 Hasil nilai L* enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan dengan
penambahan penyalut .............................................................................
44
Gambar 4.7 Hasil analisis warna a+ enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan
dengan penambahan penyalut ................................................................
45
Gambar 4.8 Hasil analisis warna b+ enkapsulasi pekatan protein kacang-kacangan
dengan penambahan penyalut ................................................................
46
Gambar 4.9 Ukuran partikel enkapsulasi pekatan protein ..........................................
48
Gambar 4.10 Ilustrasi gambar pembentukan partikel ................................................
49
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Protein nabati telah meningkatkan kepentingan sebagai bahan dalam
enkapsulasi sejumlah makanan. Dibanding dengan protein yang berasal dari hewan,
misalnya sodium caseinate dan whey protein. Enkapsulasi lebih banyak dicirikan dan
diaplikasikan pada protein nebati. Penggunaan tanaman protein untuk enkapsulasi
merupakan
tren
untuk
lebih
lama
daya
simpannya
dan
penggunaannya
berkelanjutan, dan bahkan diet yang sehat. Dalam hal ini, protein nabati yang
digunakan sebagai bahan enkapsulasi termasuk pekatan protein kacang tanah,
kacang hijau dan kacang merah.
Pekatan protein telah banyak dimanfaatkan dalam industri pangan. Sebagai
bahan tambahan atau bahan substitusi suatu makanan untuk menambahkan nilai
tambah protein pada makanan. Pekatan protein merupakan bahan pangan yang
memiliki kandungan protein dengan kualitas tinggi sehingga dapat digunakan dalam
pembuatan produk pangan untuk menghasilkan sifat fungsional yang diinginkan.
Pekatan protein adalah suatu bahan pangan dengan kandungan protein yang
sangat tinggi. Oleh karena itu pekatan protein sangat dibutuhkan di dalam industri
pangan, sebagai bahan tambahan nutrisi dalam produk pangan. Dengan adanya
penambahan nutrisi dalam produk pangan maka akan meningkatkan nilai jual dari
produk tersebut. Hal ini dikarenakan pada saat ini konsumen lebih pintar dalam
memilih makanan berdasar nutrisi yang dikandung bukan hanya berdasar rasa
makanan.
Pekatan protein yang digunakan pada proses enkapsulasi kali ini adalah
pekatan protein kacang tunggak, kacang hijau dan kacang merah. Setiap pekatan
dari setiap kacang memiliki kandungan protein yang berbeda. Tetapi dengan
pembuatan pekatan protein ini diharapkan kita dapat mengambil dan mengamankan
sebagian besar dari protein yang dikandung oleh kacang-kacang tersebut.
Karena kandungan protein dalam pekatan protein sangat tinggi dan sangat
dibutuhkan oleh industri pangan. Sehingga dibutuhkan pekatan protein yang dapat
tahan disimpan lama dan tidak merusak protein yang terkandung. Teknologi
enkapsulasi diyakini dapat menjaga kandungan protein dalam pekatan protein.
Enkapsulasi dapat membantu penyerapan pekatan protein oleh makanan atau bahan
makanan. Enkapsulasi dapat menambah viskositas larutan pada makanan atau
minuman.
Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut inti
yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif. Enkapsulasi
membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga material inti
terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core dan struktur yang
dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding,
membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasekoop et al. 2003). Kapsul
merupakan bahan semipermeabel, tipis berbentuk bulat dan kuat dengan diameter
bervariasi dari beberapa mikrometer hingga milimeter (Anal dan Singh 2007 dalam
Sugita 2010)
Teknik pengeringan yang digunakan dalam pembuatan enkapsulasi pekatan
protein adalah teknik pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet. Jenis
bahan penyalut yang digunakan adalah gum arab dan kolagen dengan tujuan untuk
membantu pembentukan suspensi tebal sehingga dapat melindungi bahan utama
dan mempermudah proses pembentukan enkapsulasi.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Yogaswara (2008) pada
pembuatan mikroenkapsulasi minyak ikan digunakan konsentrasi gum arab dan
gelatin sebanyak 70% dengan perbandingan (75:25) pada suhu freezer -50oC
selama 72 jam. Penelitian terdahulu oleh Iswari (2007) pada kajian pengolahan
bubuk instant wortel dengan metode foam mat drying menggunakan penyalut
dekstrin sebagai pembentuk suspensi dan tween 80 sebagai pembusa. Penelitian ini
menggunakan teknik pengeringan menggunakan pengering kabinet pada suhu 50oC
selama 6 jam.
Pada penelitian ini enkapsulasi yang dilakukan adalah enkapsulasi pekatan
protein. Enkapsulasi ini ditujukan untuk melindungi pekatan protein. Enkapsulasi kali
ini menggunakan bahan utama pekatan protein yang telah diuji kadar proteinnya
terlebih dahulu. Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan kadar protein pekatan
protein sebelum dan setelah dilakukan proses enkapsulasi. Pada proses enkapsulasi
diperlukan beberapa bahan sebagai penyalut dan emulsifier. Penelitian kali ini
dilakukan untuk mengetahui variasi terbaik antara jenis kacang yang digunakan
dengan bahan penyalut yang digunakan. Dengan membandingkan 3 jenis kacang
yaitu kacang tanah, kacang merah dan kacang hijau, dan perbandingan bahan
penyalut gum arab dengan kolagen. Kombinasi penyalut dan variasi kacangkacangan ditujukan untuk mendapatkan bentuk emulsi terbaik, sehingga dihasilkan
produk enkapsulasi yang baik pula.\
1.2 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui proporsi jenis penyalut dan variasi kacang-kacangan
2. Untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara jenis kacang-kacangan dengan
proporsi bahan penyalut
3. Melindungi kandungan protein yang ada dalam pekatan protein
1.3 Manfaat penelitian
1. Untuk meningkatkan fungsi pekatan protein
2 .Untuk meningkatkan nilai tambah protein kacang-kacangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kacang-kacangan
Kacang-kacangan adalah sebutan untuk biji berukuran relatif lebih besar
dibandingkan serealia dan digunakan untuk bahan pangan bagi manusia dan hewan
ternak. Kacang-kacangan umumnya didapatkan dari tanaman famili Fabaceae.
Untuk tanaman kacang-kacangan yang dipanen muda seperti kapri, buncis, dan
edamame
tidak
disebut
sebagai
kacang-kacangan
dalam
definisi
FAO
(Anonimousa,2014).
Kacang-kacangan bermanfaat sekali sebagai pangan yang kaya akan protein.
Walaupun serealia memberikan lebih banyak protein terhadap gizi masyarakat,
dengan istilah absolutnya pangan pokok (Zwartz & Hautvast, 1979 dalam Maesen &
Somaatmadja 1993), serealia hampir tidak pernah dimakan tanpa pengiring agar
enak dimakan dan lebih mudah dicerna (Maesen & Somaatmadja, 1993).
2.1.1 Kacang Tunggak
Kacang tunggak (Vigna unguiculata L) telah lama dibudidayakan di Indonesia
dan dikenal dengan kacang tolo. Tanaman ini berkerabat dengan kacang panjang,
sehingga ada yang memasukkannya ke dalam kelompok kacang panjang (Balitkabi
1998 dalam Hardiyanti 2011)
Tanaman kacang tunggak mempunyai tampilan fisik seperti kacang panjang
tetapi mempunyai perbedaan yaitu tidak merambat. Kacang tunggak merupakan
tanaman yang tahan hidup di lingkungan kering sehingga dapat dijadikan tanaman
perintis di lahan kritis. Kandungan gizinya sebagai sumber protein nabati dapat
digunakan bagi sebagian masyarakat yang kesulitan mendapatkan protein dari
sumber lain ( Andrianto 2004 dalam Hardiyanti 2011).
Keunggulan kacang tunggak adalah memiliki kadar lemak yang lebih rendah
sehingga dapat meminimalisasi efek negatif dari penggunaan produk pangan
berlemak dan mempunyai kandungan serat yang tinggi. Kacang tunggak memiliki
kandungan vitamin B (niasin serta riboflavin) dan vitamin C lebih tinggi dibandingkan
kacang-kacang lainnya (Anonimous 1979 dalam Hardianti 2011).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino Kacang Tunggak dapat dilihat
pada tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 2.1. Kandungan gizi kacang tunggak per 100g
Kandungan
Energi
342 kkal
Protein
22,9g
Lemak
1,4g
Karbohidrat
61,6g
Air
342kkal
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.2. Kandungan asam amino kacang tunggak
Asam amino
Isoleusin*
260 mg g-1 N
Leusin*
450 mg g-1 N
Lisin
410 mg g-1 N
Fenilalanin*
340 mg g-1 N
Tirosin
210 mg g-1 N
Metionin*
120 mg g-1 N
Sistein
110 mg g-1 N
Treonin
220 mg g-1 N
Valin
340 mg g-1 N
Sumber : Tiwari (2011),
Ket : (*) asam amino non polar
Kacang tunggak memiliki kandungan lisin yang tinggi sehingga dapat
menyempurnakan kualitas protein biji-bijian serealia. (Maesen dan Somaatmadja,
1993).
2.1.2 Kacang Hijau
Kacang hijau adalah sejenis tanaman budidaya dan palawija dan dikenal luas
di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki
banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber bahan pangan
berprotein nabati tinggi. Kacang hijau juga memiliki beberapa kandungan gizi protein
yang cukup tinggi, sumber mineral kalsium dan fosfor (Anonimousc,2014).
Biji kering kacang hijau dapat diolah dengan cara direbus atau dijadikan
tepung, dimakan dalam bentuk utuh atau dibelah. Biji atau tepungnya dicampur
dengan berbagai makanan, seperti sop, bubur, makanan kecil, roti, mi atau bahkan
dimasukkan kedalam es krim. Pati kacang hijau dimanfaatkan secara besar-besaran
untuk pati mi, dan protein kacang hijau dapat memperkaya gizi
tepung serealia
(Maesen & Somaatmadja, 1993).
Kacang hijau memiliki daya cerna yang lebih baik serta kurang menimbulkan
gas didalam perut daripada sebagian besar kacang-kacangan lainnya, karena cocok
sebagai gizi anak balita dan manusia lanjut usia. Kacang hijau ini memiliki faktor
antigizi yang rendah (Maesen & Somaatmadja, 1993).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino kacang hijau dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 2.3. Kandungan gizi kacang hijau
Kandungan
Energi
1430kj
Protein
22g
Lemak
1g
Karbohidrat
60g
Air
10g
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.4. Kandungan asam amino kacang hijau
Asam amino
Isoleusin*
350 mg g-1 N
Leusin*
560 mg g-1 N
Lisin
430 mg g-1 N
Fenilalanin*
300 mg g-1 N
Tirosin
100 mg g-1 N
Metionin*
70 mg g-1 N
Sistein
40 mg g-1 N
Treonin
200 mg g-1 N
Valin
370 mg g-1 N
Triptofan
Sumber : Tiwari (2011)
Ket : (*) asam amino non polar
50 mg g-1 N
2.1.3 Kacang Merah
Kacang merah tergolong makanan nabati kelompok kacang polong, satu
keluarga dengan kacang hijau, kacang kedelai, kacang tolo dan kacang uci. Ada
beberapa jenis kacang merah diantaranya red bean, kacang adzuki, dan kidney
bean. Kacang merah kaya akan asam folat, kalsium, karbohidrat kompleks, serat dan
protein yang tergolong tinggi. Kacang merah kering adalah sumber karbohidrat
kompleks, serat makanan, vit B (terutama asam folat dan vit B6), fosfor, mangan,
besi, thiamin dan protein. (364 mg), glycine (339 mg), dan lain-lain sisanya di bawah
300 mg (Anonimousd,2014).
Di India dan Sri Lanka, kacang merah ini ditanam
untuk diambil bijinya
sebagai sayuran. Polong mudanya yang masih lunak dikonsumsi sebagai lalapan.
Biji keringnya dimanfaatkan dalam bentuk biji utuh atau dibelah (Maesen &
Somaatmadja, 1993).
Kandungan gizi dan kandungan asam amino kacang merah dapat dilihat
pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 2.5. Kandungan gizi kacang merah
Kandungan
Energi
1420kj
Protein
23,1g
Lemak
14g
Karbohidrat
59,1g
Air
10g
Sumber : Maesen dan Somaatmadja (1993)
Tabel 2.6. Kandungan asam amino kacang merah
Asam amino
Isoleusin*
360 mg g-1 N
Leusin*
540 mg g-1 N
Lisin
460 mg g-1 N
Fenilalanin*
350 mg g-1 N
Tirosin
240 mg g-1 N
Metionin*
60 mg g-1 N
Sistein
60 mg g-1 N
Treonin
270 mg g-1 N
Valin
380 mg g-1 N
60 mg g-1 N
Triptofan
Sumber : Tiwari (2011)
Ket : (*) asam amino non polar
Kandungan lisin yang tinggi menjadikan kacang merah ini suatu bahan yang
istimewa untuk menyempurnakan kualitas protein biji-bijian serealia (Maesen &
Somaatmadja, 1993).
2.2 Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat
ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang
mengandung unsur-unsur C,H,O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau
karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang dan ada jenis protein
yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 2004).
2.2.1 Penggolongan protein
Protein merupakan makro molekul yang komplek dan pada umumnya
digolongkan berdasarkan pada kelarutan dalam berbagai pelarut. Seiring dengan
perkembangan pengetahuan mengenai susunan dan struktur molekul, dipakai
kriteria lain untuk penggolongan, termasuk sifat ultrasentrifugal dan elektrofesis.
Protein dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu :
1. Protein sederhana
Protein sederhana hanya menghasilkan asam amino saja jika dihidrolisis dan
termasuk golongan berikut :
a. Albumin
Albumin larut dalam air netral yang tidak mengandung garam. Biasanya
ada protein yag berbobot molekul nisbi rendah.
Contohnya : albumin telur, laktalbumin, dan albumin serum dalam protein
air dadih susu, leukosin serealia, dan legumelin dalam biji polong.
b. Globulin
Globulin larut dalam larutan garam netral dan hampir tidak larut dalam air.
Contohnya globulin serum dan β-laktoglobulin dalam susu, myosin dan
aktin dalam daging, dan glisinin dalam kedelai.
c. Glutelin
Glutelin larut dalam asam atau basa yang sangat encer dan tidak larut
dalam pelarut netral. Protein ini terdapat dalam serealia seperti glutenin
dalam gandum dan orizenin dalam beras.
d. Prolamin
Prolamin larut dalam alkohol 50 sampai 90 persen dan tidak larut dalam
air. Protein ini mengandung sejumlah besar prolina dan asam glutamat
dan terdapat dalam serealia. Contihnay zein dalam jagung, gliadin dalam
gandum, dan hordein dalam barli.
e. Skleroprotein
Skleroprotein tidak larut dalam air dan pelarut netral dan tahan terhadap
hidrolisis memakai enzim. Ini merupakan protein serat yang berperan
pada struktur dan peningkatan. Kolagen dari jaringan otot dimasukan
kedalam golongan ini , seperti gelatin yang diperoleh dari kolagen.
Contoh yang lain termasuk elastin, yaitu komponen tendon, dan keratin,
komponen rambut dan kuku binatan.
f.
Histon
Histon adalah protein bersifat basa kuat, berbobot molekul rendah (4000
sampai 8000). Protein ini kaya akan arginina. Contohnya klupein dari ikan
hering (lupea harengus harengus) dan skombrin dari ikan makerel
(Scomber scombrus) (Deman, 1997).
2. Protein konyugasi
Protein konyugasi mengandung bagian asam amino yang terikat pada bahan
non protein seperti lipid, asam nukleat, atau karbohidrat. Beberapa protein
konyugasi yang penting, yaitu:
a. Fosfoprotein
Fosfoprotein merupakan golongan penting yang mencakup protein
makanan yang penting. Gugus fosfat terikat pada gugus hidroksil dari
serina dan treonina. Golongan ini mencakup kasein susu dan
fosfoprotein kuning telur.
b. Lipoprotein
Lipoprotein adalah gabungan lipid dengan protein dan mempunyai daya
mengemulsi yang sangat baik. Lipoprotein terdapat dalam susu dan
kuning telur.
c. Nukleoprotein
Nukleoprotein merupakan gabungan asam nukleat dengan protein.
Senyawa ini terdapat dalam inti sel.
d. Glikoprotein
Glikoprotein adalah gabungan karbohidrat dengan protein. Biasanya
jumlah karbohidrat kecil, tetapi beberapa glikoprotein mengandung
karbohidrat 8 sampai 20 persen. Satu contoh mukoprotein seperti itu ialah
ovumusin putih telur.
e. Kromoprotein
Kromoprotein adalah gabungan karbohidrat dengan protein yang gugus
prostetiknya berwarna. Terdapat banyak senyawa jenis ini, termasuk
didalamnya hemoglobin dan myoglobin, klorofil, dan flavoprotein (De
man, 1997).
3. Protein turunan
Protein turunan adalah senyawa yang diperoleh dengan metode kimia atau
dengan metode enzimatik dan dipilih kedalam turunan primer dan turunan
sekunder, bergantung pada derajat perubahan yang terjadi. Turunan primer
sedikit dimodifikasi dan tidak larut dalam air; kasein yang dikoagulasi dengan
rennet (isi lambung sapi) merupakan contoh protein turunan primer.
Turunan sekunder mengalami perubahan yang lebih besar dan mencakup
protease, pepton, dan peptida. Perbedaan antara hasil urai ini terletak pada
ukuran dan kelarutan. Semua larut dalam air dan tidak dikoagulasi oleh
bahang, tetapi protease dapat diendapkan dengan larutan amonium sulfat
jenuh. Peptida mengandung dua atau lebih sisa asam amino. Hasil urai ini
terbentuk
selama
pemrosesan
banyak
makanan,
misalnya
selama
pematangan keju (De man, 1997)
2.2.2 Sifat-sifat fungsional protein
Cheftel et al (1985) mendefinisikan sifat fungsional suatu komponen pangan
sebagai sifat-sifat diluar sifat nutrisi, yang mempengaruhi kegunaan suatu komponen
dalam bahan pangan. Sifat fungsional protein meliputi sifat fisik dan kimia yang
memungkinkan protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan.
Lebih lanjut, chef et al. (1985) mengelompokkan sifat-sifat fungsional ke
dalam kelompok, yaitu :
1. Sifat hidrasi, yang berhubungan dengan interaksi protein-air, seperti daya ikat
air, kebasahan, sweelling, daya lekat, kekentalan dan kelarutan.
2. Sifat
yang
pembentukan
2.3 Pekatan Protein
berhubungan
dengan
interaksi
protein-protein,
seperti
Pekatan protein adalah produk dari protein bebas lemak atau berlemak
rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut
definisinya, kandungan protein pada konsentrat atau disebut juga pekatan protein
adalah minimum 70%, sedangkan isolat minimum 95%. Kedua produk ini sangat
dibutuhkan oleh industri pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi
berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari konsentrat dan isolat protein kedelai
adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi
produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Anonimousb, 2014).
Natarajan (1980) dalam Sastri (2000) menyebutkan bahwa isolasi protein
pada
prinsipnya
terdiri
dari
tahap-tahap
ekstraksi
protein
dalam
medium
pengekstrak, penghilangan bahan tidak larut dengan sentrifusi, filtrasi atau
kombinasinya, pengendapan, pencucian, dan pengeringan pekatan.
Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah pengendapan
seluruh protein kacang pada titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein
menggumpal. Menurut chef et al (1985) dalam Sastri (2000) pemilihan suasana basa
sebagai pH selama ekstraksi berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar
asam amino akan bermuatan negatif pada pH diatas titik isoelektriknya, muatan yang
sejenis cenderung untuk tolak menolak, hal ini menyebabkan minimumnya interaksi
antara residu-residu asam amino yang berarti kelarutan protein akan meningkat.
Oleh sebab itu kelarutan protein lebih besar pada suasana basa daripada suasana
asam.
Pembuatan pekatan protein dilakukan berdasarkan kelarutan protein.
Umumnya asam dan basa digunakan secara berturut-turut untuk proses ekstraksi
dan penggumpalan/pengendapan. Ekstraksi protein pada pH basa dilakukan dengan
penambahan larutan basa kedalam campuran suspensi dan dilakukan pengaturan
pH dengan range antara 10,5-12. Hal ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pH
terhadap kelarutan protein (Moeyadi dkk, 2010). Penggunaan NaOH untuk
mengekstraksi suatu bahan dapat mendegradasi dinding sel dan menurunkan fraksi
organik dari dinding sel (McManus, 1978)
Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+ ,
sehingga protein bermuatan positif (Winarno, 1997 dalam Sastri 2000). Pada titik
isoelektriknya muatan total masing-masing amino dalam protein sama dengan nol,
artinya terjadi keseimbangan antara gugus bermuatan positif dengan gugus
bermuatan negatif. Interaksi elektrostatik antara asam amino akan maksimum karena
muatan yang tidak sejenis cenderung untuk tarik menarik, fenomena ini dapat
diamati dengan terjadinya penggumpalan protein (Suciono, 1995 dalam Sastri,
2000).
Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh bebrapa faktor, antara lain
ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan
serta suhu, pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella, 1979 dalam
Sastri, 2000).
2.4 Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menyalut inti
yang berupa suatu senyawa aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan
pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut.
Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga
material tersebut terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut core
dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut
sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy 2002, Krasekoop et al. 2003).
Kapsul merupakan bahan semipermeabel, tipis berbentuk bulat dan kuat dengan
diameter bervariasi dari beberapa mikrometer hingga milimeter (Sugita 2010).
Mikroenkapsulasi adalah teknik yang digunakan untuk menyalut suatu
senyawa dengan menggunakan bahan penyalut dengan ukuran yang sangat kecil
dengan diameter rata-rata 15-20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut
manusia (Yoshizawa, 2002 dalam Usmayanti, 2007). Terdapat lebih dari 400 miliar
kapsul kecil dalam setiap galon material yang termikrokapsul (Sutriyo et, al. 2004
dalam Usmayanti, 2007).
Nanoenkapsulasi adalah teknik yang digunakan untuk menyalut suatu
senyawa dengan menggunakan bahan penyalut dengan ukuran yang sangat kecil
dengan diameter 0-1000 nm (Carvajal et al.; Chaundry et al, dalam Darmadji 2012).
Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka nanoenkapsulasi produk
pangan akan memberikan beberapa keunggulan diantaranya dalam hal peningkatan
rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk, absorpsifitas dan ketersediaan
komponen bioaktif (Darmadji, 2012).
Kegunaan dari menggunakan teknik ini antara lain untuk mengendalikan
pelepasan senyawa, membuat senyawa aktif lebih mudah dan aman untuk dipegang,
melindungi material peka dari lingkungan, dan mengubah wujud material dari cair
menjadi padat (Yoshizawa, 2002 dalam Usmayanti, 2007).
Banyak penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa enkapsulasi
produk dengan protein nabati sebagai bahan enkapsulasi menunjukkan sebanding
atau bahkan efisiensi enkapsulasi dan stabilitas terhadap oksidasi lebih baik
dibanding dengan sodium caseinate dan whey protein (Charve & Reineccius, 2009
dalam Liu, Chen dan Tang, 2013)
Secara umum ada dua macam metode untuk mengenkapsulasi suatu
senyawa, yaitu metode fisika dan metode kimia. Metode fisika antara lain dengan
pengeringan semprot (Spray drying), piringan pemutar, stationer extrusion nozzle
dan suspensi udara. Sedangkan dengan metode kimia dengan cara koaservasi
kompleks dan sederhana, polimerisasi interfusial, separasi fase dan penguapan
pelarut.
Enkapsulasi memiliki beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk menjaga
kualitas agar enkapsulasi tetap baik. Faktor yang mempengaruhi adalah : ukuran
partikel, interaksi permukaan, kadar air, kondisi penyimpanan. (Liu, Chen dan Tang,
2013).
2.4.1 Teknik pengeringan enkapsulasi
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengeringan enkapsulasi
makanan. Pemilihan proses berdasarkan sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia
baik bahan aktif maupun lapisan kulit, ukuran kapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi
bahan makanan, mekanisme pelepasan bahan aktif dan alasan ekonomi.
Menginformasikan perkembangan teknik enkapsulasi dari tahun 1955-2005. Metode
fisik dari enkapsulasi meliputi :
1. Spray drying
Enkapsulasi menggunakan spray drying paling banyak digunakan dalam
industri pangan karena biayanya relatif lebih rendah. Proses ini fleksibel,
dapat digunakan untuk variasi bahan dalam mikroenkapsulasi karena
peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan bermacam bahan dan
menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan distribusi ukuran
partikel yang konsisten.
2. Freeze drying
Pengeringan beku freeze drying adalah suatu metode pengeringan yang
mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan,
khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Pengeringan
beku merupakan proses pengeluaran air dalam keadaan beku dari suatu
produk melalui cara sublimasi, yang dilakukan pada suhu tekanan rendah
(Fajri 2002 dalam Yogaswara 2008).
3. Foam mat drying
Foam mat drying adalah teknik pengeringan produk berbentuk cair dan peka
terhadap panas melalui teknik pembusaan dengan menambahkan zat
pembuih (Kumalaningsih et al 2005 dalam Ismawari 2007).
2.4.2 Metode foam mat drying
Dari semua metode enkapsulasi diatas, metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode foam mat drying dengan pengeringan menggunakan kabinet dryer.
Pemilihan metode ini didasarkan karena pertimbangan biaya yang digunakan untuk
penelitian tidak terlalu banyak, serta metode penelitian yang digunakan tidak terlalu
rumit, dan untuk selanjutnya dapat digunakan dalam industri termasuk industri rumah
tangga.
Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan
berbentuk
cair
yang
sebelumnya
dijadikan
busa
terlebih
dahulu
dengan
menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan
diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.
Foam (busa) didefinisikan sebagai suau sistem yang terbentuk oleh dua fase,
yaitu udara sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu. Salah satu
metode yang telah digunakan dan paling sering digunakan untuk membentuk foam
adalah metode pengocokan menggunakan mixer (Baniel dkk., 1997)
Menurut Karim dan Wai (1998), metode pengeringan busa diaplikasikan pada
bahan pangan yang sensitif terhadap panas. Setelah dilakukan pemanasan, bahan
dihancurkan menjadi bentuk bubuk.
Keuntungan pengeringan menggunakan
metode foam mat drying menurut
kumalaningsih dkk., (2005) antara lain :
1) Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses
pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan.
2) Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan
mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi,
suhu yang digunakan sekitar 50-80oC dan dapat menghasilkan kadar air
hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71oC
dapat menghasilkan kadar air 2%.
3) Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai kualitas warna dan rasa
yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh suhu penguapan yang tidak
terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma dan rasa tidak
banyak hilang.
4) Biaya lebih murah bila dibandingkan dengan proses produk siap saji lainnya
sebab tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga
energi yang dibutuhkan lwbih kecil da waktunya lebih singkat.
5) Produk bubuk yang dihasilkan lebih stabil selama proses penyimpanan
sehingga umur produk lebih tahan lama.
6) Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau
kepadatan yang rendah (ringan)/porous, dengan banyak gelembung gas
yang terkandung pada produk kering sehingga mudah dilarutkan dalam air.
Menurut Desroier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan
meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga
akan meningkatkan kecepatan pengeringan.
Andriastuti (2002), menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih
cepat kering daripada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini
disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa daripada melalui
lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain dari metode pengeringan
foam mat drying adalah menurunkan waktu pengeringan sepertiga waktu yang
digunakan.
Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh ketepatan
pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu, konsentrasi bahan
pembusa, dan bahan pengisi yang tepat, oleh sebab itu dalam penelitian ini akan
diteliti jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa yang tepat sehingga
diperoleh karakteristik bubuk yang baik.
Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh
Iswari (2007), pada pembuatan bubuk istant wortel, perlakuan terbaik diperoleh pada
penggunaan bahan pembusa (foaming agent) 1ml tween80 / kg dan dekstrin sebagai
penyalut.
Metode foam mat drying juga telah diteliti oleh Susanti dan Putri (2014), pada
pembuatan serbuk markisa merah, perlakuan terbaik diperoleh pada penggunaan
bahan pembusa (foaming agent) tween 80 1% dan suhu pengeringan 50oC.
Metode foam mat drying juga telah diteliti oleh Kamsiati (2006), pada pembuatan
bubuk sari buah tomat. Penelitian ini membandingkan bahan pembusa antra bahan
pembusa tween 80 dengan putih telur. Dari penelitian tersebut dihasilkan hasil yang
menunjukkan bahwa peningkatan kadar putih telur dapat meningkatkan kadar
vitamin C, pH, rendemen den menurunkan uap air dan menurunkan total asam
secara sangat nyata (α = 0,01), sedangkan peningkatan konsentrasi tween 80
sangat nyata (α = 0,01) meningkatkan vitamin C, reabsorpsi uap air dan kestabilan
dispersi bubuk.
2.4.3 Bahan pembusa
Bahan
pembusa adalah suatu bahan tambahan yang digunakan untuk
membentuk busa. Busa adalah dispersi koloid dari gelembung gas yang
terperangkap dalam cairan. Untuk menghasilkan busa yang stabil diperlukan
beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas
tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas.
Untuk membuat busa diperlukan bahan aktif permukaan. Bahan aktif permukaan
membantu cairan menyebar mengelilingi gas, pembentukan, dan kestabilan
gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural akan berada
pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan busanya.
Tekanan uapa yang rendah dari cairannya akan menurunkan kemungkinan dari
molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk menguap dengan mudah
yang dapat menyebabkan pecahnya busa (Pomeranz, 1985)
Bahan yang berperan dalam pembuatan foaming agent (zat/bahan pembusa)
adalah monogliserida atau protein kedelai yang dimodifikasi dengan metil selulose,
ester-ester dari sucrose, tween 80, dan protein putih telur (Tranggono dkk., 1990)
2.4.3.1 Tween 80
Tween 80 yang termasuk golongan non ionik surfaktan dimana bahan
asalnya adalah alkohol hensanhidrat, alkalin oxida dan asam lemak sifat hidrofilik
diberikan oleh gugus hidroksil bebas oksietilena (Belitz dan Grosch, 1987)
Daya kerja pengemulsi disebabkan oleh bentuk molekul yang dapat terikat
pada minyak dan air. Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis
emulsifier adalah berdasarkan HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance), emulsifier yang
memiliki nilai HLB rendah (2-4) cenderung larut minyak, sedangkan yang memiliki
nilai HLB tinggi (14-18) cenderung larut air (Winarno, 1992)
Nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak
dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang kecil mampu
menurunkan tegangan muka antara air pada emulsi air dalam minyak. Tween 80
memiliki nilai HLB 15 yang sifatnya cenderung hidrofilik dan cocok dengan sistem
emulsi “oil in water” (Belitz and Grosch, 1987)
Tween 80 adalah kelompok ikatan sorbitan ester yang dibentuk oleh reaksi
antara sorbitol dan asam lemak juga etilen oksida, sehingga membentuk senyawa
dengan lapisan yang aktif (Emulsifying agent), yaitu zat untuk membentuk campuran
emulsi (Kumalaningsih dkk, 2005)
Pemakaian Tween 80 pada konsentrasi 0,04-0,1% dapat bekerja sebagai
bahan pendorong pembentukan foam, tetapi pada konsentrasi 0,005% tween 80
sebagai pemecah buih (Tranggono, dkk., 1990)
2.4.4 Bahan penyalut
Bahan utama yang digunakan pada pembuatan enkapsulasi kali ini adalah
pekatan protein. Sebelum digunakan sebagai bahan baku pekatan protein harus diuji
kadar proteinnya terlebih dahulu. Karena pada penelitian kali ini bertujuan untuk
membandingkan kadar protein pada pekatan sebelum dan sesudah proses
enkapsulasi.
Untuk pembuatan enkapsulasi selain diperlukan bahan baku diperlukan adanya
bahan penyalut, dimana bahan penyalut tersebut diperlukan untuk melapisi bahan
baku.
Bahan penyalut adalah bahan yang digunakan untuk menyeliputi bahan agar
terlindung dari pengaruh lingkungan yang merugikan. Menurut Kim dan Moor (1996
dalam Yogaswara 2008), bahan penyalut harus mampu melindungi dan menahan
bahan-bahan volatil dari kerusakan kimia selama pengolahan, penyimpanan dan
penanganan, serta harus bisa melepaskan materi yang disalutkan sewaktu
dikonsumsi. Sedangkan Bakan (1986 dalam Yogaswara 2008) menyatakan bahwa
bahan penyalut harus mampu memberikan suatu lapisan yang tipis yang kohesif
dengan bahan inti, agar dapat bercampur secara kimia dan tidak bereaksi dengan
bahan inti, memberikan sifat penyalutan yang diinginkan (kekuatan, fleksibilitas,
impermeabilitas, sifat optik, dan stabilitas). Bahan penyalut dibentuk hidrokoloid agar
dapat larut dengan air dan tidak bereaksi dengan inti penyalut.
Bahan penyalut yang umum digunakan untuk mengubah minyak menjadi
partikel-partikel padat adalah bahan murni (pure material) yang mengandung satu
macam zat makanan yaitu berupa karbohidrat ataupun protein. Bahan yang
mengandung karbohidrat di antaranya dekstrin, maltodekstrin, corn syrup solid dan
gum arab. Bahan yang mengandung protein adalah gelatin, kasein, isolat protein
kedele dan whey protein isolat.
Bahan-bahan penyalut dan pengisi
yang dibutuhkan dalam pembuatan
enkapsulasi dengan metode foam mat drying adalah:
2.4.4.1 Gum arab
Gambar 2.1. Struktur kimia gum arab
Gum arab atau gum acacia adalah biopolimer yang diperoleh dari eksudat
matang pohon acacia senegal dan acacia seyal yang tumbuh terutama di wilayah
afrika sahe di sudan. Eksudat adalah cairan tidak kental, kaya akan serat larut, dan
emanasi dari batang dan cabang-cabang biasanya terjadi dalam kondisi kekeringan,
kesuburan tanah yang buruk dan kerusakan (Williams & Phillips, 2000)
Secara kimia, gum arab merupakan campuran kompleks makromolekul dari
berbagai ukuran dan komposisi (terutama karbohidrat dan protein). Pada saat ini,
sifat dan fitur dari gum arab telah dieksplorasi secara luas dan dikembangkan dan
sedang digunakan dalam berbagai sektor industri seperti tekstil, keramik, litografi,
kosmetik, farmasi, enkapsulasi, makanan dan lain-lain. Mengenai industri makanan
digunakan sebagai stabilizer, pengental dan atau emulsifier agent ( misalnya sirup,
permen dan krim) (Verbeken et.al., 2003)
Tabel 2.7. Sifat fisiko kimia dan nutrisi untuk Gum acacia senegal dan Gum acacia
Seyal
Parameter
Gum acacia senegal
Gum acacia seyal
Bentuk fisik
Berwarna kuning
kecoklatan, bening,
keras
Berwarna merah/
coklat, mudah rapuh
Kandungan nutrisi (kcal/g)
1,7
1,7
Lemak total (%)
0
0
Karbohidrat kompleks (%)
95
95
Serat terlarut (%)
>85
>85
Protein (%)
~2
~ 0,8
Tanin (%)
0
0,11
Potassium (ppm)
8.500
2.000
Kalsium (ppm)
9.000
11.000
Magnesium (ppm)
1.400
1.200
Viskositas (25 % w/v soln, cps)
100
80
Kapasitas emulsi
Tinggi
Rendah
pH
4,5
4,4
Ash (%)
3,2
2,7
Sumber : Gum arabic (Kennedy et al., 2012)
Menurut Abdelgader et al (2011) dan Sarkar (2012) dalam Hakim (2012)
menyatakan bahwa gum arab dapat diaplikasikan sebagai binding agent (bahan
pengikat) bahan pangan maupun bahan obat. Seain itu gum arab sebagai emulsifier
sehingga bahan yang telah diproses dengan penambahan gum arab akan mudah
dilarutkan dalam air maupun minyak.
Menurut Philip (2000), gum arab dapat berperan sebagai emulsifier minyak
dan air dengan mengikat gugus polar air dan gugus non polar minyak, membentuk
suatu emulsi yang stabil.
Menurut Fennema (1976) dalam Nugroho dkk (2006), gum arab mempunyai
sifat mudah larut dalam air tetapi kemampuan meningkatkan viskositasnya rendah.
2.4.4.2 Kolagen
Kolagen merupakan material yang mempunyai kekuatan rentang dan struktur
yang berbentuk serat. Protein jenis ini banyak terdapat dalam vertebr