Studi Deskriptif Mengenai Profil Intercultural Sensitivity Pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman di Jakarta.

(1)

i

Abstrak

Dewasa ini orang semakin sering berinteraksi dengan orang dari budaya lain. Untuk menghadapi perbedaan budaya diperlukan penyesuaian diri. Dalam konteks kerja intercultural, dibutuhkan persiapan sistematis karena menyangkut tujuan organisasi. Oleh karena itu dibutuhkan kompetensi yang bernama Intercultural Sensitivity. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil Intercultural Sensitivity pada karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman di Kota Jakarta. Teori Intercultural Sensitivity (ICS) diambil dari konsep Bhawuk dan Brislin dan dikembangkan di Indonesia oleh Dr. Phil. Hana Panggabean. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur ICS Indonesia yang terdiri dari tujuh dimensi, yaitu Group Harmony, Multiculturality, Active Sensitivity, Initial Cautiousness, Conflict Avoidance, Implicit Communication dan Musyawarah Mufakat. Jumlah item awal 70 item dan setelah diuji validitas secara post-hoc menggunakan kriteria Friendenberg menjadi 62 item. Kisaran validitas item 0.333-0.881. Koefisien Reliabilitas Alat ukur adalah 0.827, dihitung dengan teknik alpha cronbach. Data diolah dengan menggunakan statistik deskriptif, t test dan ANOVA one way menggunakan program SPSS 17 dengan α= 5%. Hasil penelitian menunjukkan dimensi yang menonjol tinggi. adalah Group Harmony. Dimensi yang menonjol rendah adalah Active Sensitivity dan Implicit Communication. Berdasarkan lama bekerja dan pendidikan terakhir terdapat perbedaan signifikan pada dimensi Initial cautiousness. Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian yang mendalami faktor-faktor yang mempengaruhi Intercultural Sensitivity. Peneliti juga menyarankan pada Lembaga Kebudayaan Jerman untuk memberikan training untuk mengembangkan Active Sensitivity.


(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan………. i

Abstrak ii

Kata Pengantar………. iii

Daftar isi………... v

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………... 1

1.2 Identifikasi Masalah………. 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………. 13

1.3.1 Maksud Penelitian……… 13

1.3.2 Tujuan Penelitian……….…. 13

1.4 Kegunaan penelitian………. 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis………. 13

1.4.2 Kegunaan Praktis……….. 14

1.5 Kerangka Pikir……….. 14

1.6 Asumsi……….. 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 29

2.1 Budaya……….. 29

2.1.1 Pengertian Budaya……… 29

2.1.2 Budaya Indonesia……… 31


(3)

iii

2.2 Intercultural Competence………. 33

2.2.1 Definisi Kompetensi……… 33

2.2.2 Definisi Intercultural competence……… 34

2.3 Intercultural Sensitivity (ICS)……….. 34

2.3.1 Definisi ICS……….. 34

2.3.2 ICS Indonesia ……….…………... 36

2.3.3 Dimensi ICS Indonesia……… 40

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi……….. 42

2.4 Lembaga Kebudayaan Jerman……… 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 46

3.1 Rancangan penelitian……… 46

3.2 Bagan Rancangan Penelitian……… 47

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………... 47

3.3.1 Variabel Penelitian……….. 47

3.3.2 Definisi Operasional……… 48

3.4 Alat Ukur……….. 49

3.4.1. Alat Ukur ICS……….. 49

3.4.1.1 Prosedur Pengisian……… 50

3.4.1.2 Sistem Penilaian……… 51

3.4.2 Data Penunjang……… 51

3.4.3 Validitas Alat Ukur……….. 52


(4)

iv

Universitas Kristen Maranatha

3.5.1 Karakteristik populasi………... 54

3.6 Teknik Analisis 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 56

4.1 Hasil Penelitian……….. 56

4.1.1 Gambaran Subjek Penelitian……… 56

4.1.1.1 Demografi Subjek Penelitian……… 56

4.1.1.2 Pengalaman Interkultural……….. 57

4.1.2 Profil ICS Subjek penelitian……… 59

4.1.3 Profil ICS Berdasarkan Pendidikan terakhir……… 60

4.1.4 Profil ICS Berdasarkan Lama Bekerja………. 61

4.1.2 Profil ICS Berdasarkan Pengalaman Interkultural……….. 63

4.2 Pembahasan……… 65

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………. 75

5.2 Saran 76 5.2.1 Saran Teoritis………... 77

5.2.2 Saran Praktis 77 DAFTAR PUSTAKA……… 78


(5)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ………. 50

Tabel 3.2 Sistem Penilaian ……….. 51

Tabel 3.3 Kriteria Friendenberg untuk Validitas ……….. 53

Table 3.4. Kriteria Guildford untuk Reliabilitas ……… 54

Tabel 4.1 Gambaran Demografi Subjek Penelitian ………. 56

Tabel 4.2 Proporsi Pengalaman Interkultural Subjek Penelitian ………. 57

Tabel 4.3 Hasil T-Test dimensi ICS ……… 60

Tabel 4.4 Hasil T-test dimensi ICS berdasarkan Pendidikan terakhir……. 61

Tabel 4.5 Hasil Anova Dimensi ICS Berdasarkan Lama Bekerja …………. 62

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Post HocMultiple Comparison Dimensi Initial cautiousness………. 63 Tabel 4.7 Hasil Anova Dimensi ICS Berdasarkan Pengalaman Interkultural


(6)

vi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN DAN DIAGRAM

Bagan 3.1 Prosedur Penelitian 47

Diagram 4.1 Profil Umum ICS Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan

Jerman 59

Diagram 4.2 Profil ICS Berdasarkan Pendidikan terakhir 60 Diagram 4.3 Profil ICS Berdasarkan Lama Bekerja 62 Diagram 4.4 Profil ICS Berdasarkan Pengalaman Interkuktural 64


(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A VALIDITS DAN RELIABILITAS LAMPIRAN B ALAT UKUR

LAMPIRAN C DISTRIBUSI MEAN LAMPIRAN D UJI STATISTIK


(8)

Universitas Kristen Maranatha LAMPIRAN A

VALIDITAS ALAT UKUR GROUP HARMONY

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 GHK1+ BAB 1 NO-1 0.237 DITOLAK

2 GHK2+ 13 0.680 DITERIMA

3 GHK3+ 17 0.252 DITOLAK

4 GHK4+ 21 0.584 DITERIMA

5 GHK5+ 24 0.558 DITERIMA

6 GHB1+ BAB 2 NO- 6 0.333 DITERIMA

7 GHB2+ 11 0.738 DITERIMA

8 GHB3+ 14 0.149 DITOLAK

9 GHB4- 18 -0.661 DITOLAK

10 GHB5+ 22 0.494 DITERIMA

11 GHB6+ 24 0.635 DITERIMA

12 GHB7+ 30 0.884 DITERIMA

MULTICULTURALITY

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 MCK1+ BAB 1 NO. 4 0.664 DITERIMA

2 MCK2+ 12 0.713 DITERIMA

3 MCK3+ 15 0.787 DITERIMA

4 MCK4+ 20 0.398 DITERIMA

5 MCK5+ 22 0.363 DITERIMA

6 MCB1+ BAB 2 NO. 2 0.456 DITERIMA

7 MCA2+ BAB 3 NO. 5 0.493 DITERIMA

8 MCA4+ 11 0.670 DITERIMA

9 MCA5+ 15 0.677 DITERIMA

ACTIVE SENSITIVITY

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 ASK2+ BAB 1 NO. 7 0.212 DITOLAK

2 ASK3+ 10 0.530 DITERIMA

3 ASB1+ BAB 2 NO. 1 0.659 DITERIMA

4 ASB2+ 12 0.775 DITERIMA

5 ASB3+ 15 0.394 DITERIMA


(9)

7 ASB6+ 27 0.400 DITERIMA

8 ASA1+ BAB 3 NO. 4 0.537 DITERIMA

INITIAL CAUTIOUSNESS

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 ICK2+ BAB 1 NO. 9 0.443 DITERIMA

2 ICK3+ 14 0.360 DITERIMA

3 ICK4+ 19 0.406 DITERIMA

4 ICB2+ BAB 2 NO. 7 0.350 DITERIMA

5 ICB3+ 13 0.466 DITERIMA

6 ICB4+ 21 0.599 DITERIMA

7 ICB5+ 28 0.727 DITERIMA

8 ICA1+ BAB 3 NO. 3 0.469 DITERIMA

9 ICA2+ 8 0.344 DITERIMA

10 ICA3+ 9 0.814 DITERIMA

11 ICA4+ 14 0.806 DITERIMA

CONFLICT AVOIDANCE

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 CAK1+ BAB 1 NO. 3 -0.165 DITOLAK

2 CAK2+ 8 0.072 DITOLAK

3 CAK3+ 25 0.688 DITERIMA

4 CAB1+ BAB 2 NO. 4 0.195 DITOLAK

5 CAB2+ 8 0.681 DITERIMA

6 CAB3+ 10 0.681 DITERIMA

7 CAB4+ 17 0.714 DITERIMA

8 CAB5+ 19 0.901 DITERIMA

9 CAB6+ 26 0.574 DITERIMA

10 CAA2+ BAB 3 NO. 7 0.354 DITERIMA

11 CAA3+ 12 0.636 DITERIMA

IMPLICIT COMMUNICATION

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 ICMK1+ BAB 1 NO. 5 0.661 DITERIMA

2 ICMK2+

6 0.619 DITERIMA

3 ICMK3+

16 0.426 DITERIMA

4 ICMK5+


(10)

Universitas Kristen Maranatha

5 ICMB1+ BAB 2 NO. 5 0.624 DITERIMA

6 ICMB2+ 9 0.695 DITERIMA

7 ICMB3+ 23 0.826 DITERIMA

8 ICMB4+ 29 0.595 DITERIMA

9 ICMA1+ BAB 3 NO. 2 0.716 DITERIMA

10 ICMA2+ 10 0.603 DITERIMA

MUSYAWARAH MUFAKAT

No. Kode No.item Koefisien

korelasi

Kesimpulan

1 MMK1- BAB 1 NO. 2 0.818 DITERIMA

2 MMK2- 11 0.926 DITERIMA

3 MMK3- 18 0.460 DITERIMA

4 MMB1- BAB 2 NO.3 0.688 DITERIMA

5 MMB2+ 16 0.318 DITERIMA 6 MMB3+ 25 0.692 DITERIMA

7 MMA1+ BAB 3 NO. 1 0.788 DITERIMA

8 MMA2+ 6 0.834 DITERIMA

9 MMA3+ 13 0.881 DITERIMA

Total Item diterima : 62 item Total Item ditolak : 8 item


(11)

LAMPIRAN B ALAT UKUR

KUESIONER

INTERCULTURAL SENSITIVITY (ICS)

INDONESIA

Bapak/Ibu yang terhormat,

Bersama ini kami mohon kesediaan Bapak /Ibu untuk mengisi sejumlah pertanyaan penelitian mengenai profil Intercultural Sensitivity (ICS) pada karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman. Penelitian ini dilakukan dalam rangka tugas akhir skripsi. ICS adalah kemampuan untuk mengelola perbedaan budaya (dalam hal ini budaya Indonesia dan budaya Jerman). Kemampuan ini meliputi keterampilan kognitif seperti mengenali perbedaan budaya, keterampilan afektif seperti kesediaan menerima perbedaan budaya dan keterampilan behavior yaitu keterampilan memodifikasi perilaku untuk menghadapi perbedaan budaya.

Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya akan diolah sesuai tujuan penelitian. Informasi akan dimanfaatkan secara kelompok dan tidak menunjuk atau mengindikasikan secara khusus kepada diri Bapak/Ibu. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berpertisipasi dalam penelitian ini, semoga dapat bermanfaat.

Terima kasih Peneliti,


(12)

Universitas Kristen Maranatha IDENTITAS RESPONDEN

Instruksi :

Mohon untuk melengkapi informasi di bawah ini dengan memberi tanda checklist (√) pada salah satu dari beberapa pilihan jawaban yang sesuai dengan diri Bapak/Ibu atau dengan mengisi di tempat yang tersedia.

Informasi umum

1. Jenis kelamin : L / P (lingkari yang sesuai) 2. Usia : ...tahun

3. Pendidikan terakhir : □ Diploma

□ S1 □ S2 □ S3 4. Agama :

□ Islam

□ Kristen Protestan □ Katholik

□ Buddha □ Hindu □ Konghucu □ Lainnya ……. 5. Pekerjaan

a. Posisi pada perusahaan : i. Manajerial

□ Lower level □ Middle level □ Top level ii. Non-manajerial

□ Staf □ Lainnya…

b. Masa kerja pada perusahaan sekarang : □ <6 bulan

□ 6 bulan-1 tahun □ 2-5 tahun □ 6-10 tahun

□ 11-15 tahun □ 16-20 tahun □ Di atas 20 tahun


(13)

K

5. Identitas Etnik dan bahasa ibu (mother tongue) yang dikuasai. (Beri tanda √ pada kolom yang sesuai)

Etnik (suku bangsa) Identitas Etnik diri (suku bangsa) Identitas Etnik ayah (suku bangsa ayah kandung) Identitas etnik ibu (suku bangsa ibu kandung) Bahasa ibu (Mother tongue) yang dikuasai Aceh Batak Toraja Minangkabau Palembang Melayu Jawa tengah Jawa timur Jawa barat Manado Minahasa Makassar Bali Timor Flores Kupang Dayak Papua Tionghoa Lainnya (sebutkan) …………

6. Kemampuan bahasa yang Anda miliki :

(lengkapi bagian kosong di bawah ini, boleh lebih dari 1) • Bahasa sehari-hari :

• Bahasa asing yang dikuasai : • Bahasa daerah yang dikuasai : Pengalaman Interkultural

7. Apakah Anda memiliki rekan dalam kelompok kerja dari berkebangsaan Jerman?

□ Ya (isi tabel dibawah ini) □ Tidak


(14)

K

Universitas Kristen Maranatha Atasan Rekan Kerja Dalam seminggu berapa hari bekerja sama

Bentuk kerjasama (diskusi, rapat dsb) Sarana Interaksi yang digunakan (pertemuan langsung,telepon, teleconference, email atau lainnya)

8. Apakah anda memiliki kerabat (teman, keluarga inti atau saudara) yang berkebangsaan asing?

□ Ya, asal negara kerabat ………….. □ Tidak (lanjut ke no 9)

Pengalaman interkultural dengan kerabat berkebangsaan asing

Teman Keluarga inti Saudara Frekuensi interaksi dalam

seminggu (berapa hari)

Sarana interaksi yang digunakan (pertemuan langsung, telepon, teleconference ,email, atau lainnya..)

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi

9. Bahasa apa yang anda gunakan dalam berinteraksi dengan orang dari negara lain?

(Beri tanda √ pada kolom yang sesuai)

Bahasa yang digunakan Atasan Rekan kerja Orang lain □ Bahasa sesuai dengan

asal negara lawan bicara (misal, menggunakan bahasa Jerman ketika berkomunikasi dengan orang Jerman)

□ Bahasa Indonesia □ Bahasa perantara

(bahasa asing lainnya) yaitu…

10.Apakah anda pernah berpindah daerah tempat tinggal?

□ Ya (isi tabel berikut dengan memberi tanda √ pada kolom yang sesuai, bisa lebih dari 1)


(15)

K

□ Tidak

Daerah Daerah Asal Daerah tujuan Sumatra Utara

Aceh

Sumatra barat Sumatra selatan Lampung Riau Jawa barat DKI Jakarta Jawa tengah DI Yogyakarta Jawa timur Bali

Nusa tenggara Maluku Papua Kalimantan Sulawesi Lainnya ...

11.Apakah anda pernah keluar negeri? □ Ya, isi tabel berikut

□ Tidak

Negara yang didatangi & tahun datang (boleh lebih dari 1)

Lama tinggal

Tujuan (beri tanda √) Wisata Tinggal ikut

keluarga

Dinas Kantor

Lainnya …


(16)

K

Universitas Kristen Maranatha PENGANTAR

Berikut ini akan disajikan 3 kelompok pernyataan. Bagian pertama, terdiri dari 25 item yang akan menggali aspek kognitif, yaitu seberapa sering bapak/ibu memiliki pemikiran tertentu.

Bagian kedua, terdiri dari 30 item yang menggali aspek behavior, yaitu seberapa sering bapak/ibu memunculkan perilaku tertentu.

Bagian ketiga, terdiri dari 15 item yang menggali aspek afektif yaitu seberapa sering bapak/ibu memiliki perasaan tertentu.

Tugas Bapak/Ibu memberi tanda checklist (√) pada kolom pilihan jawaban yang sesuai. Terdapat 4 pilihan jawaban, yaitu :

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Bapak/ibu diharap memilih satu jawaban yang paling sesuai. Pada awal setiap bagian akan diberikan contoh pengisian, harap bapak/ibu mengisi sesuai dengan petunjuk.


(17)

BAGIAN I Kognitif

Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang paling menggambarkan diri anda.

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Untuk menjawab item-item kognitif, pilih berdasarkan seberapa sering anda berpikir atau seberapa sering anda merasakan hal tersebut.

Contoh:

NO. ITEM TP K S SL

Saya merasa bahwa menolong orang tak dikenal merupakan hal yang penting

Jika Bapak/Ibu sering berpikirvbahwa menolong orang tak di kenal merupakan hal yang penting, maka beri tanda √ pada kolom sering (S)

No. ITEM TP K S SL

1. Saya merasa bahwa pengambilan keputusan secara musyawarah itu bertele-tele

2. Saya merasa penting untuk mencari tahu identitas budaya orang yang baru saya kenal sebelum kerjasama dengannya berlanjutnya. 3. Saya merasa sudah dapat mengenal asal-usul budaya seorang

rekan kerja di interaksi awal dari bahasa tubuhnya.

4. Saya berpikir bahwa kepuasan dan ketidakpuasan rekan kerja dapat diketahui melalui bahasa tubuhnya

5. Saya mengerti bahwa sebagai orang baru dalam kelompok saya harus banyak melihat situasi

6. Saya merasa bahwa saya cepat menyadari letak permasalahannya jika ada kesalahpahaman antar rekan kerja yang berbeda budaya 7. Saya merasa bahwa pengambilan keputusan secara musyawarah

itu tidak langsung mengenai pada sasaran permasalahan

8. Saya merasa asal-usul budaya adalah bagian penting dari identitas yang harus saya ketahui di awal pembentukan iklim kerja

kelompok

9. Saya merasa perlu menyesuaikan diri ketika masuk dalam suatu kelompok yang rekan kerjanya berbeda budaya

10. Saya menyadari bahwa saya lebih berani berargumen setelah lebih lama menjadi anggota kelompok

11. Saya merasa perlu mencari tahu asal usul rekan kerja di awal interaksi.


(18)

Kognitif

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Universitas Kristen Maranatha

NO. ITEM TP K S SL

12. Saya berpikir bahwa penerimaan atau penolakan ide yang saya utarakan dapat diketahui melalui perubahan ekspresi wajah rekan kerja saya ketika saya mengutarakan ide tersebut

13. Saya merasa bahwa memutuskan sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama membuang banyak waktu.

14. Saya merasa bahwa seorang anggota kelompok yang baru harus lebih berhati-hati untuk bertindak dan berpendapat dibandingkan anggota lama

15. Saya merasa salah satu hal pertama yang ingin saya ketahui dalam percakapan dengan rekan kerja yang baru dikenal adalah dari mana ia berasal

16. Saya merasa penting untuk saling menjaga kekompakan tak terkecuali jika anggotanya berbeda budaya

17. Saya berpikir bahwa dalam konteks kerjasama kita perlu memperhitungkan juga asal budaya teman kerja

18. Saya merasa bahwa kepekaan dalam membaca bahasa tubuh banyak membantu kelancaran kerjasama

19. Saya berpikir bahwa perbedaan budaya perlu diperhitungkan dalam mengelola iklim kerja kelompok


(19)

BAGIAN II Behavior

Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang paling menggambarkan diri anda.

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Untuk menjawab item behavior, pilih berdasarkan seberapa sering anda memunculkan perilaku tertentu

Contoh:

NO. ITEM TP K S SL

Saya memberi sedekah pada pengemis di jalanan.

Jika anda sering anda memberikan sedekah pada pengemis di jalanan, maka beri tanda √ di kolom sering (S)

NO. ITEM TP K S SL

1. Saya menyesuaikan tindakan saya terhadap rekan kerja berdasarkan pemahaman saya akan latar belakang budayanya. 2. Saya tetap bersikap tenang walaupun rekan kerja saya menunjukan

cara kerja yang berbeda dengan yang biasa saya lakukan 3. Saya menghindari pengambilan keputusan secara musyawarah 4. Saat mengajukan usul atau ide, saya berusaha mencari tahu

penerimaan rekan kerja saya melalui tanda implisit (ekspresi wajah, nada bicara)

5. Saya menyiapkan diri untuk munculnya perilaku yang tidak biasa bagi saya

6. Saya lebih banyak diam dan mengamati anggota lain di awal kerja kelompok

7. Saya menaruh hormat pada rekan kerja dengan cara tidak menentang pendapatnya secara terbuka.

8. Saya mengerti bahwa rekan kerja saya sedang punya masalah dari perubahan nada suaranya

9. Saya menahan diri untuk mengajukan suatu pendapat yang akan memanaskan situasi kelompok.

10. Saya memberi pujian atas prestasi seseorang sebagai rasa hormat 11. Rekan kerja datang pada saya untuk meminta nasihat jika terjadi

kesalahpahaman budaya

12. Saya lebih berani untuk mengajukan argumen setelah lebih mengenal para anggota kelompok


(20)

Behavior

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Universitas Kristen Maranatha 13. Rekan kerja datang pada saya untuk meminta informasi yang

relevan terkait dengan budaya rekan kerja lain

14. Kelompok kerja saya memutuskan sesuatu setelah melalui musyawarah.

15. Pada saat situasi kelompok memanas, saya diam sambil menunggu situasi mendingin

16. Ketika saya berkomunikasi dengan rekan kerja, saya mempertimbangkan latar belakang budayanya

17. Saya berusaha menahan emosi negatif (amarah, kecewa) demi terciptanya iklim kelompok yang positif

18. Saya menyesuaikan cara penyampaian informasi sesuai dengan posisi dan latar belakang rekan kerja yang saya hadapi

19. Saya lebih berhati-hati dalam berpendapat di awal kerja kelompok 20. Suasana kelompok tetap terjaga meskipun ada anggota yang

berkonflik

21. Saya sudah dapat mengenal asal-usul budaya seorang rekan kerja di interaksi awal dari ekspresi wajah

22. Dalam mengambil keputusan, semua anggota diberi kesempatan menjelaskan pendapatnya lebih dahulu

23. Pengalaman kerja kelompok saya menunjukkan bahwa pengambilan keputusan kelompok yang paling ideal adalah musyawarah

24. Pada saat kemarahan saya timbul, saya menahan diri dulu agar lebih tenang

25. Saya menjembatani kesalahpahaman antara rekan kerja 26. Saya lebih berhati-hati untuk menolak pendapat rekan kerja di

awal kerja kelompok

27. Saya sudah dapat mengenal asal-usul budaya seorang rekan kerja di interaksi awal dari cara bicaranya

28. Dalam kelompok kerja saya keputusan kelompok diambil berdasarkan kesepakatan


(21)

BAGIAN III Afektif

Berikan tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang paling menggambarkan diri anda.

TP : tidak pernah (frekuensi terjadinya 0%-10 %) K : kadang-kadang (frekuensi terjadinya 10%-50 %) S : sering (frekuensi terjadinya 50%-90 %)

SL : selalu (frekuensi terjadinya 90%-100 %)

Untuk menjawab item afektif, pilih berdasarkan seberapa sering anda memiliki perasaan tersebut

Contoh:

NO. ITEM TP K S SL

Saya merasa sedih melihat orang yang mengakami kecelakaan

Jika anda sering merasa sedih melihat orang yang mengakami kecelakaan, maka beri tanda √ dikolom sering (S)

NO. ITEM TP K S SL

1. Saya menyukai pengambilan keputusan secara musyawarah. 2 Saya merasa gelisah ketika saya tidak memahami maksud gerak

tubuh seseorang yang berbeda budaya

3. Saya merasa nyaman untuk lebih banyak diam dan mengamati para anggota lain di awal kerja kelompok

4. Saya segera dapat merasakan jika ada rekan kerja yang merasa tidak nyaman dalam diskusi

5. Saya merasa senang dengan keragaman cara kerja dalam kelompok yang disebabkan oleh pengaruh budaya masing-masing kelompok. 6. Saya merasa nyaman dengan keputusan yang diambil melalui

musyarah

7. Saya merasa enggan memaksakan kehendak saya, meskipun saya tahu bahwa hal tersebut benar jika akan memberatkan rekan saya. 8. Saya merasa tidak nyaman untuk menolak pendapat rekan kerja di

awal kerja kelompok

9. Saya merasa lebih nyaman untuk berargumen setelah lebih mengenal para anggota kelompok

10. Saya merasa gelisah ketika saya tidak memahami arti ekspresi wajah seseorang yang berbeda budaya

11. Saya merasa kecewa jika ada orang/ kelompok yang menganggap remeh atau memandang rendah orang/ kelompok lain yang berbeda budaya.

12. Ketika dua rekan saya berkonflik saya merasa tidak nyaman jika harus menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar


(22)

15

Universitas Kristen Maranatha

NO. ITEM TP K S SL

13. Saya merasa tenang melakukan pekerjaan yang menjadi kesepakatan dalam musyawarah

14. Sebagai orang baru dalam kelompok saya tidak suka jika harus berdebat keras dengan anggota kelompok yang lain

15. Saya merasa bahwa dengan adanya sifat atau perilaku khas budaya dapat memperkaya kelompok


(23)

16

DATA PENUNJANG

1. Jelaskan mengenai job description anda

. . . . 2. Jelaskan mengenai perbedaan mendasar orang Jerman dan Indonesia serta pengaruhnya dalam interaksi kerja pada tabel di bawah ini.

Perbedaan mendasar dalam hal.. Pengaruhnya dalam interaksi kerja Bahasa : .

. . . . . . . . . Agama : .

. . . . . . . Perilaku Kerja : .

. . . . . . . . . . . Norma : . .


(24)

17

Universitas Kristen Maranatha .

. .

. . . Kebiasaan : .

. . .

. . . .

5. Bagaimana pendapat anda tentang sikap atasan Anda yang berkebangsaan Jerman terhadap bawahannya, dan bagaimana Anda menghadapi sikap atasan anda tersebut?

. . .

. .

6. Apakah atasan Anda yang berkebangsaan Jerman pernah atau sering meminta pendapat anda mengenai sesuatu? Apa yang Anda ketika dimintai pendapat oleh atasan?

.

. .

. .


(25)

18

DATA PENUNJANG PENGALAMAN INTERKULTURAL

Dalam bagian ini,anda diminta untuk mengelompokan diri anda sendiri ke dalam salah satu dari tiga kelompok ini dengan melingkari kelompok yang sesuai.

Kelompok A : Kuliah di Indonesia, belum pernah bekerja dengan orang Jerman sebelum bekerja di Lembaga Kebudayaan Jerman ini

Kelompok B : Kuliah di Indonesia, pernah bekerja dengan orang jerman sebelum bekerja di lembaga kebudayaan Jerman ini

Kelompok C : Pernah kuliah/sekolah di Jerman, baik pernah maupun tidak pernah bekerja dengan orang Jerman sebelum bekerja disini.

Jawablah pertanyaan sesuai kelompok. Pertanyaan kelompok A

1. Apakah anda pernah berinteraksi dengan orang Jerman sebelum bekerja disini? Dalam situasi apa?

. .

. .

2. Bagaimana anda menyesuaikan diri dengan orang Jerman di lembaga kebudayaan ini?

. .

. .

Pertanyaan kelompok B

1. Kapan anda bekerja dengan orang Jerman sebelum bekerja disini?


(26)

19

Universitas Kristen Maranatha 2. Apa hubungan anda dengan orang jerman tersebut? (atasan-bawahan/rekan se-level)

. 3. Apakah pengenalan budaya termasuk dalam program orientasi di tempat kerja tersebut?

. .

4 Bagaimana anda menyesuaikan diri dengan orang Jerman di tempat kerja tersebut?

. .

. .

Pertanyaan kelompok C

1. Kapan anda mengenyam pendidikan di Jerman?

. 2. Apakah ada persiapan pengenalan budaya sebelum pergi bersekolah ke luar negeri?

. . 3. Bagaimana anda menyesuaikan diri dengan lingkungan di Jerman? . . . .


(27)

20

LAMPIRAN C

DISTRIBUSI MEAN SUBJEK PENELITIAN

SUBJEK GH M AS IC CA ICM MM

1 2.25 2.33 2.00 3.09 2.88 2.00 2.33

2 2.63 2.89 2.71 2.45 2.00 2.80 2.00

3 3.25 2.67 2.57 3.00 3.75 3.40 3.89

4 3.25 2.78 2.57 3.18 2.88 2.60 3.00

5 3.75 3.11 2.43 2.27 2.38 2.70 3.33

6 3.13 2.67 2.57 3.00 3.25 2.60 3.11

7 3.25 2.33 2.86 2.91 2.75 2.80 2.78

8 2.75 2.22 2.00 2.73 3.50 2.50 3.44

9 2.25 1.78 1.86 2.09 2.25 2.00 2.11

10 2.88 1.89 2.00 2.55 2.63 2.00 3.33

11 2.63 2.22 2.29 2.73 2.63 2.60 2.56

12 3.00 3.11 3.00 2.91 2.88 2.80 2.89

13 2.25 2.44 2.29 2.27 2.25 1.90 2.33

2.87 2.50 2.40 2.71 2.77 2.52 2.85

DISTRIBUSI MEAN MASING-MASING DIMENSI

Dimensi Aspek

Kognitif

Aspek Behavior

Aspek Afektif Group Harmony 3.05 2.81

Multiculturality 2.34 2.62 2.72 Active Sensitivity 2.85 2.23 2.77 Initial Cautiousness 2.87 2.75 2.54 Conflict Avoidance 3.31 2.85 2.31 Implicit

Communication 2.75 2.58 1.92 Musyawarah untuk


(28)

21

Universitas Kristen Maranatha LAMPIRAN D

UJI STATISTIK

UJI BEDA DIMENSI ICS T-Test Paired Samples

t df

Sig.(2-tailed)

KESIMPULAN

Pair 1 MEAN_GH - MEAN_TOTAL 2.775 12 .017 Signifikan Pair 2 MEAN_M - MEAN_TOTAL -1.757 12 .104 Tidak Signifikan Pair 3 MEAN_AS - MEAN_TOTAL -3.285 12 .007 Signifikan Pair 4 MEAN_IC - MEAN_TOTAL 0.625 12 .543 Tidak Signifikan Pair 5 MEAN_CA - MEAN_TOTAL 1.106 12 .290 Tidak Signifikan Pair 6 MEAN_ICM - MEAN_TOTAL -2.190 12 .049 Signifikan Pair 7 MEAN_MM - MEAN_TOTAL 1.861 12 .087 Tidak Signifikan

UJI BEDA DIMENSI ICS BERDASARKAN PENDIDIKAN TERAKHIR T-Test Independent Samples

Dimensi t Sig. (2-tailed) Kesimpulan

Group Harmony -0.210 0.867 Tidak Signifikan Mullticulturality 0.090 0.942 Tidak Signifikan Active Sensitivity 1.087 0.300 Tidak Signifikan Initial Cautiousness 2.947 0.013 Signifikan Conflict Avoidance 1.445 0.176 Tidak Signifikan Implicit Communication 0.570 0.580 Tidak Signifikan Musyawarah Mufakat 0. 348 0.734 Tidak Signifikan


(29)

22

UJI BEDA DIMENSI ICS BERDASARKAN LAMA KERJA Anova One Way

Dimensi F Sig. Kesimpulan

Group Harmony 0.086 0.966 Tidak Signifikan Mullticulturality 0.063 0.978 Tidak Signifikan Active Sensitivity 0.362 0.782 Tidak Signifikan Initial Cautiousness 7.825 0.007 Signifikan Conflict Avoidance 1.732 0.230 Tidak Signifikan Implicit Communication 0.818 0.516 Tidak Signifikan Musyawarah Mufakat 0.257 0.855 Tidak Signifikan

Post Hoc Dimensi Initial Cautiousness berdasarkan lama kerja

(I) LAMA_KERJA (J) LAMA_KERJA Sig. KESIMPULAN

6 BLN-1THN >1-5 THN 0.441 Tidak Signifikan

>5 THN-10 THN 0.765 Tidak Signifikan

>10 THN 0.006 Signifikan

>1-5 THN 6 BLN-1THN 0.441 Tidak Signifikan

>5 THN-10 THN 0.895 Tidak Signifikan >10 THN 0.064 Tidak Signifikan >5 THN-10 THN 6 BLN-1THN 0.765 Tidak Signifikan >1-5 THN 0.895 Tidak Signifikan

>10 THN 0.017 Signifikan

>10 THN 6 BLN-1THN 0.006 Signifikan


(30)

23

Universitas Kristen Maranatha >5 THN-10 THN 0.017 Signifikan

UJI BEDA DIMENSI ICS BERDASARKAN PENGALAMAN

INTERKULTURAL

Anova One Way

Dimensi F Sig. Kesimpulan

Group Harmony 0.635 0.652 Tidak Signifikan Mullticulturality 2.267 0.151 Tidak Signifikan Active Sensitivity 0.510 0.731 Tidak Signifikan Initial Cautiousness 1.287 0.352 Tidak Signifikan Conflict Avoidance 0.489 0.745 Tidak Signifikan Implicit Communication 0.455 0.767 Tidak Signifikan Musyawarah Mufakat 1.493 0.291 Tidak Signifikan


(31)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan dunia yang begitu pesat di bidang teknologi dan komunikasi semakin memudahkan hubungan antar negara. Dewasa ini kita dapat berkomunikasi dan bepergian antar negara dengan mudahnya. Hal ini memfasilitasi hubungan antar negara, sehingga negara-negara dapat saling bekerjasama.

Kerjasama antar negara awalnya lebih banyak di bidang ekonomi, namun kini meliputi bidang yang lebih luas. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Kerjasama dalam bidang ini dapat berupa beasiswa, kerjasama antar universitas, pertukaran pelajar dan juga pengajar. Salah satu negara yang banyak menjalin kerjasama dengan Indonesia di bidang pendidikan adalah Jerman. Kerjasama lain terwujud dalam seni budaya. Di bidang seni, yang sedang marak adalah sektor perfilman dan kesenian tradisional. Indonesia diberi kesempatan untuk menampilkan keseniannya sebagaimana Indonesia juga memberi kesempatan tampil bagi kesenian budaya lain. Dalam kerjasama antarnegara ini terjadi pertemuan budaya.

Pertemuan budaya bukanlah merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Indonesia memiliki ratusan suku yang memiliki budaya yang berbeda-beda. Orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari bertemu dengan orang dari budaya yang berbeda. Ratusan tahun lalu, para pedagang dari Arab, India dan China datang ke


(32)

2

Universitas Kristen Maranatha Indonesia. Negara-negara tersebut menjalin kerjasama dengan Indonesia terutama dalam bidang perdagangan. Disamping bidang ekonomi, pertemuan dengan negara-negara tersebut juga berdampak pada lingkungan sosial budaya. Contoh yang signifikan adalah penyebaran agama Buddha oleh pedagang China dan India, serta agama Islam oleh pedagang Arab.

Semakin besar peluang bekerjasama antar negara membuat orang Indonesia lebih banyak bertemu dengan orang dari budaya yang berbeda. Banyak orang Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai tenaga asing. Banyak pula perusahaan asing yang mempunyai tenaga ahli ekspatriat, sehingga tanpa keluar negeri pun, orang Indonesia dapat berinteraksi dengan orang dari budaya yang berbeda.

Bekerja dengan orang berbeda budaya atau bekerja perusahaan asing memiliki tantangan tersendiri. Para karyawan berinteraksi dengan orang yang memiliki bahasa, persepsi, gaya berkomunikasi, nilai-nilai, gaya hidup dan cara bekerja yang berbeda. Dalam menghadapi perbedaan ini diperlukan pemahaman mengenai budaya sendiri, budaya asing serta apa yang menjembatani perbedaan keduanya agar dapat menyesuaikan diri. Pemahaman budaya yang kurang tak jarang membawa kepada kesalahpahaman dan konflik.

Konteks kerja interkultural tidak hanya ditemui pada karyawan yang bekerja di luar negeri. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa orang Indonesia dapat berinteraksi dengan orang dari budaya lain di tempat kerja yang memiliki tenaga kerja asing, seperti lembaga kebudayaan asing. Lembaga kebudayaan asing adalah salah satu bentuk kerjasama antar negara dibidang


(33)

3

kebudayaan. Salah satu lembaga kebudayaan asing yang ada di Jakarta adalah Lembaga Kebudayaan Jerman. Karyawan lembaga kebudayaan Jerman adalah karyawan Indonesia, namun kepala bagian dan pucuk pemimpinnya merupakan orang Jerman. Selain dengan pimpinannya, para karyawan berinteraksi interkultural dengan para pengajar native, seniman, atau orang-orang Jerman yang hendak mengurus surat-surat penting.

Lembaga kebudayaan Jerman merupakan lembaga yang bertugas menjalin kerjasama budaya. Lembaga ini juga bertugas mengembangkan konsep-konsep inovatif demi terciptanya sebuah dunia humanis yang dilandasi sikap saling mengerti, dalam hal ini keberagaman kultural diakui sebagai sebuah kekayaan. Melalui informasi mengenai kehidupan budaya, masyarakat dan politik, lembaga tersebut berusaha memberikan sebuah gambaran yang utuh mengenai Jerman. Lembaga ini menyediakan kegiatan kursus bahasa dan ujian-ujian bahasa Jerman bertaraf internasional. Selain itu juga terdapat berbagai bentuk kebudayaan Jerman kontemporer yang disajikan melalui acara-acara kebudayaan seperti loka karya, pameran, media, musik, teater dan tari. Lembaga kebudayaan ini merupakan jalur ‘wajib’ untuk orang-orang yang ingin belajar di Jerman. Orang Indonesia yang akan menempuh pendidikan di Jerman terlebih dahulu mengikuti kursus bahasa dan budaya di lembaga ini sebagai bekal untuk beradaptasi.

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara orang Indonesia dengan orang Jerman dalam bekerja. Menurut Panggabean (2004) hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural kedua negara. Masyarakat Jerman yang cenderung homogen membuat mereka perlu mengembangkan perilaku baru


(34)

4

Universitas Kristen Maranatha ketika berhadapan dengan budaya lain. Oleh karena itu orang Jerman menanggapi perbedaan budaya dengan serius. Mereka melakukan persiapan budaya yang sistematis sehingga memiliki pengetahuan budaya yang komprehensif, apresiasi budaya yang baik dan kesiapan memodifikasi perilaku sesuai budaya yang dihadapi. Orang Jerman cenderung task oriented. Mereka melihat Intercultural Sensitivity sebagai faktor yang memfasilitasi pencapaian tujuan kelompok. Mereka pun lebih menekankan pada atribut-atribut yang berkaitan dengan pekerjaan seperti struktur kekuasaan, peranan strategis kelompok, dsb. Dalam berkomunikasi, mereka lebih transparan dalam pengekspresian emosi. Meskipun mereka dapat menangkap pesan dari komunikasi non verbal, mereka lebih mengandalkan komunikasi verbal.

Orang Indonesia yang telah mengalami pertemuan interkultural sejak dulu lebih santai dalam menghadapi perbedaan budaya. Orang Indonesia belajar dengan learning by doing. Hal ini sekaligus mencerminkan motivasi dasar orang Indonesia untuk menyesuaikan diri, yaitu menjaga harmoni sosial. Orang Indonesia menekankan atribut personal rekan kerja. Untuk menjaga harmoni kelompok orang Indonesia lebih mengendalikan pengekspresian emosi, terutama dalam bentuk verbal. Dalam berkomunikasi pun orang Indonesia lebih bergantung pada komunikasi nonverbal.

Perbedaan yang digambarkan Panggabean (2004a) di atas muncul pula dalam survei awal yang dilakukan peneliti pada 5 orang karyawan Lembaga Kebudayaan Jerman. Seluruh responden menyatakan bahwa orang Jerman lebih terus terang. Orang Jerman menekankan kedisiplinan, komitmen dan tanggung


(35)

5

jawab, sedangkan orang Indonesia lebih mementingkan atmosfer bekerja yang nyaman. Seluruh responden survei awal juga menyatakan bahwa orang Jerman lebih disiplin dan terorganisir.

Perbedaan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik jika tidak dikelola dengan baik. Dalam gaya komunikasi, orang Jerman lebih jujur dan straightforward, sementara orang Indonesia mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, yang seringkali malah diinterpretasikan sebagai ketidaktulusan oleh orang Jerman (Panggabean 2004b). Bagi orang Indonesia memuji rekan kerja atau bos merupakan sesuatu yang biasa, namun bagi orang Jerman dapat terasa berlebihan. Tidak heran bila orang Indonesia mempersepsi orang Jerman sebagai orang yang ‘dingin’ dan kurang ramah. Masing-masing pihak akan membuat suatu citra mengenai pihak dari budaya lain. Pencitraan ini dapat mempengaruhi sikap masing-masing saat bekerja. Misalnya karyawan Indonesia menjadi malas bekerja sama dengan orang berbeda budaya karena dinilai kurang ramah.

Seorang responden survei awal mengungkapkan bahwa dirinya pernah menerima satu tugas yang sebenarnya terlalu berat baginya. Tugas itu diterimanya semata-mata karena merasa segan menolak tugas tersebut. Akhirnya pencapaian hasil tugas dirasa kurang optimal. Atasan S yang merupakan orang Jerman meminta untuk selanjutnya S berterus-terang jika tugas yang diberikan terlalu berat. Perilaku responden tersebut yang tidak menyesuaikan diri dengan atasannya yang cenderung terus-terang mempengaruhi pencapaian tugas. Konflik-konflik yang terjadi dari kesalahpahaman seperti ini telah membawa berbagai pihak pada


(36)

6

Universitas Kristen Maranatha kesadaran akan pentingnya penyesuaian diri dalam dunia kerja. Kegagalan penyesuaian diri ini dapat berdampak pada munculnya simptom stress kerja, rasa frustrasi, konflik harga diri, bahkan sampai depresi (Albert 1994, dalam Panggabean 2004). Oleh karena itu, diperlukan persiapan yang sistematis agar menghasilkan penyesuaian yang adekuat. Untuk mempersiapkan diri dalam bekerja lintas budaya, diperlukan Intercultural competence, yaitu sekumpulan kompetensi yang dapat membantu individu untuk menyesuaikan diri dalam bekerja di lingkungan budaya berbeda.

Intercultural Competence meliputi kompetensi teknis, motivasi, toleransi terhadap stress, intercultural communication, dan Intercultural Sensitivity (Panggabean, 2004). Dari beberapa kompetensi yang ada, peneliti memilih untuk membahas Intercultural Sensitivity (ICS), karena ICS memiliki peran yang besar dalam bekerja lintas budaya. Berdasarkan beberapa penelitian ICS ini menjadi prediktor utama kesuksesan dalam bekerja lintas budaya (Panggabean 2004b). ICS ini memungkinkan para pekerja dapat menyadari dan mengenali perbedaan budaya, menerima dan menghormati perbedaan tersebut serta dapat memodifikasi perilaku untuk menyesuaikan diri. Dengan kompetensi ICS ini, individu diharapkan dapat bekerja lebih optimal di lingkungan yang berbeda budaya. Konkritnya menurut pandangan ICS, jika individu telah menyadari perbedaan budaya yang ada pada lingkunganya dan menerima perbedaan tersebut, individu dapat mengetahui perilaku yang tepat dalam lingkungan tersebut.

Menurut Bhawuk dan Brislin (1992 dalam Panggabean 2004a) ICS adalah kepekaan terhadap pentingnya perbedaan budaya dan sudut pandang orang dari


(37)

7

budaya lain, kesediaan menerima sudut pandang buddaya lain dan kesiapan untuk memodifikasi perilaku sebagaimana dituntut oleh konteks kultural. Berdasarkan rumusan tersebut, para ahli mengekplorasi dimensi ICS di negaranya masing-masing. Di Indonesia, eksplorasi dimensi ICS dilakukan oleh Dr. Phil. Hana Panggabean pada tahun 2004.

Menurut Panggabean (2004), Intercultural Sensitivity (ICS) adalah

”kemampuan individu untuk menghadapi perbedaan interkultural yang ambigu dan tidak familiar dalam cara yang fleksibel, yang meliputi keterampilan kognitif seperti kemampuan untuk mengenali, menyadari dan memahami atribusi dari sudut pandang budaya lain. ICS ini juga meliputi kesediaan untuk menerima dan menghormati pentingnya perbedaan kultural dalam rangka menjaga harmoni situasi interkultural dan mencegah konflik. ICS akan didapatkan dalam situasi dimana terdapat perilaku verbal dan non-verbal yang sesuai dan efektif. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa ICS menyediakan kesiapan dalam derajat tertentu untuk memodifikasi perilaku dalam menghadapi perbedaan interkultural” (Panggabean, 2004a).

Dengan ICS individu diharapkan dapat menyesuaikan diri tidak hanya sampai memahami budaya lain namun juga dapat melihat dari sudut pandang budaya lain. Cui dan Awa (1992 dalam Panggabean 2004a) menyatakan bahwa ICS ini lebih berperan penting pada performa kerja daripada adaptasi kultural sehari-hari. Hal ini dikarenakan situasi kerja menuntut relasi interpersonal yang intense dan keterampilan komunikasi interkultural yang lebih tinggi daripada interaksi


(38)

8

Universitas Kristen Maranatha personal sehari-hari. Oleh karena itu peran ICS dalam konteks kerja interkultural sangat penting.

Kesadaran mengenai pentingnya ICS telah membuat banyak ahli meneliti karakteristik ICS di negaranya masing-masing. Dr.Phil. Hana Panggabean telah melakukan suatu rangkaian penelitian mengenai karakteristik ICS Indonesia. Beliau menyusun karakteristik ICS Indonesia yang terdiri dari 8 dimensi pada tahun 2004. Pada tahun 2007 diadakan penelitian untuk merevisi dimensi-dimensi tersebut. Dari penelitian tersebut didapat karakteristik ICS Indonesia yang terdiri dari 7 dimensi yaitu group harmony, active sensitivity, multiculturality, initial cautiousness, conflict avoidance, implicit communication dan musyawarah untuk mufakat.

Dimensi pertama adalah group harmony, yaitu kecenderungan individu untuk mempertahankan harmoni dan atmosfer kelompok yang positif. Individu dengan Group Harmony yang tinggi memiliki kesadaran untuk merasakan iklim kelompok, sensitif terhadap anggota kelompok dan menunjukkan perilaku adaptif. Seluruh responden survey awal menunjukan group harmony yang tinggi. Bagi mereka mempertahankan iklim kerja yang positif adalah penting.

Dimensi kedua adalah multiculturality, yaitu kesiapan individu untuk menerima perbedaan budaya sebagai pusat identitas individual. Individu dengan multiculturality yang tinggi menerima adanya perbedaan budaya tanpa memandang negatif budaya lain dan menghormati perbedaan tersebut. Seluruh responden survey awal menunjukan multiculturality yang tinggi. Mereka dapat


(39)

9

menerima perbedaan budaya Jerman dan Indonesia tanpa memandang negatif keduanya.

Dimensi ketiga adalah active sensitivity, yaitu usaha mengatasi konflik dalam kelompok, ditandai dengan perilaku adekuat yang didasari oleh pengenalan personal yang mendalam tentang anggota dan atmosfir kelompok. Individu dengan active sensitivity yang tinggi mampu mengatasi konflik yang timbul dari perbedaan budaya, lebih jauh lagi menjadi mediating person dari dua budaya. Sebanyak 80% menunjukan dimensi active sensitivity yang tinggi. Mereka mampu menjadi informan budaya bagi pihak lain. 20% lainnya menunjukkan dimensi active sensitivity yang rendah.

Dimensi keempat adalah Initial cautiousness yaitu kecenderungan untuk bersikap hati-hati dan menjaga jarak pada awal interaksi kelompok. Individu dengan initial cautiousness yang tinggi akan mengambil jarak dan mengobservasi lingkungan baru untuk dapat memahami lingkungan tersebut . 20% dari responden survey awal lebih berhati-hati dan pasif pada awal interaksi. Mereka masih takut untuk memberi pendapat dan memilih untuk menjaga jarak sambil memperhatikan situasi. Sebanyak 80% dari responden tidak mengalami hal tersebut karena sebelum berinteraksi langsung mereka sudah mempelajari karakter dan budaya orang Jerman secara mendalam.

Dimensi kelima adalah Conflict avoidance , yaitu perilaku menghindari konflik. Individu dengan conflict avoidance yang tinggi akan berusaha mengikuti norma kelompok untuk menghindari terjadinya benturan dengan orang lain. Seluruh responden survey awal mengatakan bahwa orang Jerman, dalam hal ini


(40)

10

Universitas Kristen Maranatha atasan mereka, lebih terbuka pada perbedaan pendapat. Meskipun perbedaan pendapat itu berujung menjadi perdebatan, hal ini tidak berpengaruh buruk terhadap penilaian kerja mereka. Hal ini membuat 40% responden tidak ragu untuk berpendapat bahkan berdebat dengan atasannya. Namun begitu, 60% responden lebih memilih menghindari perdebatan. Mereka lebih mementingkan iklim kerja yang nyaman dan menghindari konflik yang dapat ditimbulkan dari perdebatan tersebut.

Dimensi keenam adalah Implicit communication yaitu pola komunikasi nonverbal. Individu dengan implicit communication yang tinggi peka terhadap komunikasi non-verbal, rasa tahu sama tahu dan penyampaian pesan tidak langsung. Seluruh responden merasa tidak kesulitan untuk memahami komunikasi nonverbal orang Jerman. Mereka mengatakan bahwa gesture mereka cenderung mirip dengan orang Indonesia. Selain itu orang Jerman lebih lugas, komunikasi non verbal dan verbalnya cenderung sesuai sehingga tidak terlalu sulit untuk memahami pesan yang disampaikan.

Dimensi ketujuh adalah Musyawarah untuk Mufakat yaitu teknik pengambilan keputusan kelompok yang menekankan pada konsensus. Individu dengan musyawarah untuk mufakat yang tinggi akan mengusahakan pengambilan keputusan dengan suara yang bulat. Sebanyak 80% responden survey awal memiliki dimensi musyawarah untuk mufakat yang tinggi. Mereka merasa keputusan bersama adalah yang terbaik. 20% lain lebih memilih untuk melaksanakan kehendak sendiri yang dirasakan lebih sesuai. Setiap divisi dalam lembaga kebudayaan Jerman mempunyai satu hari untuk mengadakan rapat kecil


(41)

11

dimana mereka sharing dan mendiskusikan masalah. Setiap orang memiliki kesempatan untuk berpendapat. Penyelesaian masalah diambil berdasarkan keputusan bersama.

Perbedaan budaya yang dihadapi sehari-hari menurut 80% responden membuat mereka lebih menyadari budaya sendiri. Dengan menghadapi perilaku orang lain yang berbeda budaya, mereka menyadari perbedaan tersebut disebabkan oleh budaya. Perbedaan tersebut menurut seluruh responden dapat dijembatani oleh bahasa. Melalui bahasa, mereka dapat saling berinteraksi untuk bekerja sama. Namun untuk dapat bekerja sama dengan baik, diperlukan lebih dari sekedar pengertian etimologis dari bahasa Jerman. Mereka menekankan pentingnya kepekaan dalam menangkap pesan yang disampaikan dengan memahami karakter orang Jerman. Oleh karena itu pemahaman akan budaya Jerman sebagai latar belakang yang mempengaruhi perilaku orang-orang Jerman sangat penting. Disinilah ICS berperan, untuk menyadari dan memahami perbedaan budaya, menerima perbedaan tersebut kemudian menyesuaikan perilaku untuk dapat bekerja sama.

Dari skor ketujuh dimensi ini terbentuklah profil ICS. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai ICS pada mahasiswa, praktisi dan TKI, ditemukan kemiripan profil ICS. Namun tetap ada perbedaan dalam tinggi rendah skor tiap dimensi serta dimensi yang paling kuat dalam setiap kelompok. Subjek penelitian ini yaitu karyawan lembaga kebudayaan Jerman, dapat digolongkan sebagai praktisi. Pada penelitian profil ICS terhadap praktisi Indonesia, terdapat beberapa dimensi yang menonjol tinggi yaitu group harmony dan musyawarah


(42)

12

Universitas Kristen Maranatha mufakat. Hal ini cukup sesuai dengan hasil survey awal. Dimensi yang menonjol rendah menurut penelitian sebelumnya adalah multiculturality. Dari hasil survey awal, dimensi multiculturality malah cukup tinggi.

Perbedaan hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai dimensi yang menonjol pada praktisi Indonesia dapat ini disebabkan karena konteks, situasi serta tuntutan yang berbeda-beda dalam setiap peran dalam kerjasama yang dilakukannya. Penelitian ini dan penelitian sebelumnya terhadap praktisi memiliki perbedaan dalam bangsa asing yang dihadapi subjek, posisi subjek dalam bekerjasama, tingkat pendidikan dan pengalaman interkultural. Konteks serta pengalaman interkultural, latar belakang pendidikan dan peran karyawan di lembaga kebudayaan Jerman dapat mempengaruhi profil ICS mereka. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti profil ICS karyawan lembaga kebudayaan Jerman. Penelitian ini juga merupakan bagian penelitian payung ICS di bawah pimpinan Dr. Phil. Hana Panggabean untuk memperkaya subjek penelitian dengan tujuan pengembangan alat ukur ICS.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana gambaran profil Intercultural Sensitivity pada karyawan Indonesia yang bekerja pada lembaga kebudayaan Jerman di Jakarta.


(43)

13

1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh profil Intercultural Sensitivity pada karyawan Indonesia yang bekerja di lembaga kebudayaan Jerman di Jakarta berdasarkan tujuh dimensi yaitu group harmony, active sensitivity, multiculturality, initial cautiousness, implicit communication, conflict avoidance dan musyawarah untuk mufakat.

.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dimensi yang menonjol tinggi dan dimensi yang menonjol rendah pada profil ICS karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman di Jakarta. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dimensi yang menonjol tinggi dan dimensi yang menonjol rendah pada profil ICS berdasarkan lama bekerja, pendidikan terakhir dan pengalaman interkultural.

1.4. Kegunaan

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam bidang ilmu Psikologi Lintas Budaya mengenai Intercultural Sensitivity

Hasil dari penelitian ini diharapkan juga dapat memberi kontribusi dalam pengembangan alat ukur ICS.


(44)

14

Universitas Kristen Maranatha Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Intercultural Sensitivity.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya ICS dalam mengelola perbedaan budaya

Memberi informasi pada karyawan Indonesia yang bekerja di Lembaga kebudayaan Jerman mengenai profil ICS yang mereka miliki agar mereka lebih mengetahui kompetensi ICS diri.

Memberi informasi pada para pimpinan di Lembaga kebudayaan Jerman mengenai profil ICS yang mereka miliki agar mereka lebih mengetahui kompetensi ICS bawahan mereka. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal untuk pertimbangan pemberian pelatihan guna meningkatkan dimensi ICS yang sesuai dengan budaya yang dihadapi para karyawan agar mereka lebih siap menghadapi tantangan kerja antar budaya.

1.5 Kerangka Pikir

Karyawan Indonesia di Lembaga kebudayaan Jerman bekerjasama dengan atasan mereka yang berbudaya Jerman dalam kesehariannya. Untuk dapat bekerja sama dengan orang Jerman dibutuhkan lebih dari sekedar keterampilan bahasa. Diperlukan pemahaman mendalam mengenai budaya Jerman sehingga karyawan


(45)

15

Indonesia dapat menyesuaikan perilaku dengan atasannya yang berkebangsaan Jerman. Penyesuaian perilaku ini diperlukan untuk melaksanakan kerjasama demi tercapainya tujuan organisasi.

Penyesuaian diri dalam dunia kerja berperan penting. Kegagalan penyesuaian diri ini dapat berdampak pada munculnya simtom stress kerja, rasa frustrasi, konflik harga diri, bahkan sampai depresi (Albert 1994, dalam Panggabean 2004). Selain itu kegagalan penyesuaian diri juga dapat mengancam tercapainya tujuan organisasi. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian diri secara sistematis dengan mempelajari keterampilan lintas budaya, salah satunya yaitu Intercultural Sensitivity (ICS).

Menurut Bhawuk dan Brislin (1992 dalam Panggabean 2004a) ICS adalah kepekaan terhadap pentingnya perbedaan budaya dan sudut pandang orang dari budaya lain, kesediaan menerima sudut pandang budaya lain dan kesiapan untuk memodifikasi perilaku sebagaimana dituntut oleh konteks kultural. Berdasarkan rumusan tersebut, para ahli mengekplorasi dimensi ICS di negaranya masing-masing. Di Indonesia, eksplorasi dimensi ICS dilakukan oleh Dr. Phil. Hana Panggabean pada tahun 2004.

Menurut Panggabean (2004) Intercultural Sensitivity (ICS) adalah kemampuan individu untuk menghadapi perbedaan interkultural yang ambigu dan tidak familiar dalam cara yang fleksibel. Berbeda dengan kepekaan atau sensitivity pada umumnya yang hanya mencapai tahap merasakan, ICS sudah mencapai tahap seseorang secara aktif menggunakan kepekaan tersebut untuk membentuk respon yang adekuat guna mencapai situasi yang lebih baik, meliputi keterampilan


(46)

16

Universitas Kristen Maranatha kognitif yaitu kemampuan untuk mengenali, menyadari dan memahami atribusi dari sudut pandang budaya lain. ICS ini juga meliputi kesediaan untuk menerima dan menghormati pentingnya perbedaan kultural dalam rangka menjaga harmoni situasi interkultural dan mencegah konflik. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa ICS menyediakan kesiapan dalam derajat tertentu untuk memodifikasi perilaku dalam menghadapi perbedaan interkultural (Panggabean, 2004a). Dengan ICS individu diharapkan dapat menyesuaikan diri tidak hanya sampai memahami budaya lain namun juga dapat melihat dari sudut pandang budaya lain. Cui dan Awa (1992 dalam Panggabean 2004a) menyatakan bahwa ICS ini lebih berperan penting pada performa kerja daripada adaptasi kultural sehari-hari karena situasi kerja menuntut relasi interpersonal yang intense dan dan keterampilan komunikasi interkultural yang lebih tinggi daripada interaksi personal sehari-hari.

ICS meliputi tiga aspek, kognitif, afektif dan behavior. Dalam aspek kognitif ini, kepekaan terhadap budaya lain ditandai dengan kemampuan seseorang membentuk atribusi yang menghasilkan evaluasi positif masing-masing budaya (Panggabean, 2004c). Aspek afektif mengacu pada kemauan menerima perbedaan budaya. Secara afektif, ICS ditandai dengan penerapan rasa dalam “membaca” situasi (Hadiprojo,2007). Aspek behavioral ditunjukkan dari kemampuan memproyeksikan pikiran maupun perasaan dalam wujud perilaku yang telah dimodifikasi sehingga dapat efektif dan sesuai saat berada dalam situasi interaksi antar budaya (Panggabean 2004a, 2004c). ICS ini diperkirakan sebagai faktor utama dalam kesuksesan bekerja Interkultural (Hammer dalam Panggabean, 2004a, hal 26).


(47)

17

Ketiga aspek ini dapat dilihat dari dimensi ICS Indonesia. Pada tahap awal ekplorasi dimensi yang dilakukan Panggabean (2004), terdapat 8 Dimensi ICS Indonesia, yaitu basic motivation, group-atmosphere assessment, acceptance of cultural difference, tenggang rasa, hormat, active sensitivity, sensitivity towards non-verbal behavior, dan display-emotional control. Setelah itu disusun alat ukur ICS pertama. Dari hasil uji validitas dan analisis faktorial dimensi ICS dihasilkan tujuh dimensi ICS yang telah direvisi. Ketujuh dimensi tersebut adalah Group harmony, Multiculturality, Active sensitivity, Conflict avoidance, Initial cautiousness, Implicit communication dan Musyawarah Mufakat.

Group harmony, didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk mempertahankan harmoni dan atmosfer kelompok yang positif. Pada karyawan Indonesia diindikasikan dengan adanya kesadaran untuk merasakan iklim kelompok kerja dimana dalam kelompok kerjanya tersebut terdapat orang Jerman. Selain itu ditunjukan dengan kepekaan terhadap keadaan anggota kelompok dan menunjukkan perilaku adaptif. Karyawan Indonesia di lembaga Kebudayaan Jerman yang memiliki Group harmony yang tinggi akan senantiasa menjaga kekompakan kelompok. Contohnya ketika ada konflik antar anggota dalam kelompok, karyawan akan mencoba membantu menyelesaikan agar kelompok kembali kompak. Dalam penelitian Tjitra (2001) dan Martin (2000) (dalam Panggabean,2004a hal 65) pada kelompok kerja Indonesia Jerman menunjukkan bahwa perhatian utama orang Indonesia adalah memelihara harmoni kelompok kerja. Bagi mereka mempertahankan harmoni kelompok merupakan hal yang


(48)

18

Universitas Kristen Maranatha penting. Harmoni kelompok yang terjaga akan mendukung masing-masing anggota kelompok bekerja secara optimal mencapai tujuan bersama.

Multiculturality, adalah kesiapan mental untuk menerima perbedaan budaya sebagai pusat identitas individual. Pada karyawan Indonesia di lembaga Kebudayaan Jerman diindikasikan dengan menyadari pentingnya asal-usul budaya seseorang, dan menghargai latar belakang budaya tersebut. Karyawan di lembaga kebudayaan Jerman yang memiliki multiculturality yang tinggi menerima perbedaan antara mereka dan atasannya, juga sesama karyawan yang memiliki beragam etnis tanpa memandang negatif budaya lain dan menghormati perbedaan tersebut. Mereka menghargai perbedaan cara bersikap yang berkaitan dengan nilai budaya yang dimiliki atasan atau karyawan lain.

Active sensitivity, adalah usaha mengatasi konflik dengan cara menampilkan perilaku berdasarkan pemahaman mengenai hubungan personal atau anggota dan iklim kelompok. Perwujudan active sensitivity muncul dalam dua pola perilaku yaitu sebagai ‘informan budaya’ dan ‘jembatan budaya’(Panggabean,2004b). Sebagai informan budaya, orang Indonesia menjelaskan pemahaman mengenai suatu budaya pada orang dari luar budaya tersebut yang sulit memahaminya. Sebagai jembatan budaya, orang Indonesia menggunakan pemahamannya mengenai suatu budaya sebagai dasar modifikasi perilaku untuk menyesuaikan diri dalam budaya tersebut. Karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman menjadi informan budaya bagi orang Indonesia, terutama siswa yang belajar di Lembaga tersebut. Menurut pemahaman mereka, orang Jerman lebih terus terang dalam berkomunikasi, maka mereka pun berbicara


(49)

19

terus terang jika ada yang ingin disampaikan pada atasan mereka atau orang Jerman lainnya. Perilaku terus terang karyawan Indonesia sebagai bentuk penyesuaian terhadap budaya Jerman menunjukan peran sebagai jembatan budaya. Karyawan dengan active sensitivity yang tinggi mampu mengatasi konflik yang timbul dari perbedaan budaya.

Dimensi keempat adalah Initial cautiousness yaitu kecenderungan untuk bersikap hati-hati dan menjaga jarak pada awal interaksi kelompok. Karyawan Indonesia yang memiliki initial cautiousness yang tinggi akan mengambil jarak dan mengobservasi lingkungan baru untuk dapat memahami lingkungan tersebut. Terutama apabila anggota kelompok terdiri dari orang yang berbeda budaya. Ini merupakan tanda terjadinya proses assessment terhadap situasi yang sedang berlangsung. Dengan assessment ini individu mencoba mendapatkan gambaran mengenai situasi kelompok untuk dapat memunculkan perilaku yang tepat.

Dimensi kelima adalah Conflict avoidance , yaitu perilaku menghindari konflik. Karyawan Indonesia dengan conflict avoidance yang tinggi akan berusaha mengikuti norma kelompok untuk menghindari terjadinya benturan dengan orang lain. Mereka lebih mementingkan iklim kerja yang nyaman dan menghindari konflik yang dapat ditimbulkan dari perdebatan tersebut. Perilaku ini berdasar pada nilai budaya yang mereka pegang. Mereka yang berasal dari Jawa memilih “mengalah untuk menang”, sesuai filosofi budayanya. Sedangkan yang berasal dari Minang memilih “mendengarkan pendapat orang agar dia senang namun tetap lakukan apa yang kita yakini” yang berarti menghindari perdebatan terbuka. Hal tersebut diakuinya sebagai salah satu filosofi orang Minang.


(50)

20

Universitas Kristen Maranatha Dimensi keenam adalah Implicit communication yaitu pola komunikasi tidak langsung. Karyawan Indonesia dengan implicit communication yang tinggi peka terhadap komunikasi non-verbal, rasa tahu sama tahu dan penyampaian pesan tidak langsung. Mereka dapat memahami ekspresi wajah dan gesture orang Jerman.

Dimensi ketujuh adalah Musyawarah untuk Mufakat yaitu teknik pengambilan keputusan kelompok yang menekankan pada konsensus. Karyawan Indonesia dengan musyawarah untuk mufakat yang tinggi akan mengusahakan pengambilan keputusan dengan suara yang bulat. Mereka memberi kesempatan yang sama bagi setiap anggota untuk mengeluarkan pendapat.

Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi ICS karyawan Indonesia yaitu faktor eksternal dan Internal. Faktor eksternal terdiri dari perbedaan budaya dan posisi individu dalam bekerja sama. Faktor internal terdiri dari tingkat pendidikan dan pengalaman interkultural. Dari hasil penelitian Hadiprojo (2007) diungkapkan bahwa perbedaan budaya dapat mempengaruhi profil ICS. Terdapat perbedaan ketika karyawan Indonesia berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis dan dengan orang Jerman, dimana perbedaan budayanya lebih kontras. Perbedaan yang signifikan dapat muncul pada dimensi initial cautiousness, implicit communication dan conflict avoidance. Pada dimensi initial cautiousness, karyawan Indonesia yang berinteraksi dengan orang Jerman berhadapan dengan budaya yang benar-benar baru sehingga mengalami keterasingan budaya yang lebih besar dibandingkan ketika berinteraksi dengan orang indonesia yang berbeda etnis, sehingga mereka lebih cenderung bersikap hati-hati di awal interaksi. Sikap


(51)

21

hati-hati ini sejalan dengan perilaku menghindari konflik. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan perbedaan budaya yang kontras akan cenderung lebih menjaga agar tidak terjadi konflik sehingga situasi kelompok mencapai keharmonisan. (Martin dan Tjitra, dalam Panggabean 2004a).

Budaya terdiri dari sistem yang kompleks, untuk penelitian ini diambil beberapa elemen yang muncul dalam penelitian Hadiprojo (2007) dan survey awal, yaitu bahasa, agama, orientasi manajemen, kebiasaan dan norma. Elemen budaya pertama adalah bahasa. Bahasa tidak sekedar menyangkut penguasaan kata, namun juga terkait dengan ‘rasa’ dan ketepatan penggunaan kata sesuai dengan situasi dan kondisi. Contohnya, karyawan Indonesia harus peka kapan waktunya memakai “sie” yang berarti anda, dan kapan menggunakan “du” yang berarti kamu, saat berbicara dengan orang Jerman. Selain kata-kata karyawan juga perlu memperhatikan bentuk implicit communication seperti ekspresi wajah dan gesture orang Jerman yang dapat berbeda dengan yang dimiliki orang Indonesia. Pada kelompok kerja internasional, perbedaan bahasa yang dialami lebih tajam, gaya komunikasi pun dirasa berbeda. Dengan orang yang berbeda negara, komunikasi implisit dengan orang dari bangsa lain lebih sulit dilakukan, karena budaya komunikasi di negara lain seperti di Jerman umumnya lebih lugas, (Panggabean 2004 dalam Hadiprojo 2007).

Elemen budaya yang kedua adalah agama. Agama yang dianut sebagian besar orang Jerman berbeda dengan agama yang dianut sebagian besar orang Indonesia. Perbedaan ini dapat memepengaruhi pola perilaku berkaitan dengan ajaran agama. Ada karyawan tidak mau datang ke acara informal lembaga karena


(52)

22

Universitas Kristen Maranatha disana selalu tersaji minuman beralkohol yang diharamkan oleh agamanya. Bagi sebagian karyawan memberi ucapan selamat hari raya pada orang yang berbeda agama dan budaya mengindikasikan penghormatan dan penerimaan perbedaan sebagai identitas individual. Namun bagi sebagian karyawan lain merupakan hal yang tidak dianjurkan agamanya.

Elemen budaya yang ketiga adalah orientasi manajemen. Orang Jerman lebih berorientasi pada tugas ketika bekerja sementara orang Indonesia lebih people oriented (Panggabean 2004a). Karyawan Indonesia perlu memiliki Active Sensitivity untuk memodifikasi perilakunya agar sesuai dengan cara bekerja atasannya yang berbudaya Jerman.

Elemen budaya yang lainnya adalah kebiasaan. Salah satu kebiasaan orang Indonesia adalah mudah memuji. Bagi orang Jerman yang tidak mudah melontarkan pujian, kebiasaan orang Indonesia ini dapat dinilai berlebihan. Orang Jerman menilai orang yang memuji berlebihan tidak dapat dipercaya (etika bisnis, internet). Oleh karena itu orang Indonesia perlu lebih peka menilai situasi dan memodifikasi perilakunya.

Elemen lain dari budaya adalah norma. Karyawan Indonesia perlu memahami norma-norma yang berlaku di budaya Jerman. Pada orang Indonesia kepatuhan dan loyalitas pada atasan adalah suatu harus dijunjung. Orang Jerman lebih menjunjung keterbukaan sehingga mereka lebih menyukai karyawan Indonesia yang dapat leluasa mengeluarkan pendapat tanpa segan.

Faktor eksternal yang kedua adalah posisi individu dalam kerjasama. Posisi disini juga mencakup tuntutan dari posisi tersebut dan rentang kekuasaan


(53)

23

antara individu dengan rekan yang berbeda budaya. Posisi karyawan Indonesia dalam kerjasama dengan orang Jerman adalah sebagai bawahan, sehingga dalam interaksi ini terdapat rentang kekuasaan. Hubungan dengan rentang kekuasaan yang besar akan berdampak pada dimensi active sensitivity. Menurut Hofstede salah satu tipe dasar budaya yang berpengaruh dalam kerjasama adalah rentang kekuasaan. Pada rentang kekuasaan yang tinggi orang dituntut sangat menghargai otoritas, mengikuti pentunjuk dan menghindari untuk berpendapat yang melawan pendapat umum. Karyawan Indonesia yang memiliki atasan berbeda budaya dengan rentang kekuasaan yang tinggi tidak berada dalam posisi yang cukup kuat atau mampu untuk melakukan usaha-usaha mengatasi konflik. Mereka umumnya hanya menerima dan mentaati apa yang dikatakan atasannya. Oleh karena itu dalam interaksi dimana individu menjadi bawahan, biasanya memiliki skor active sensitivity yang rendah. Selain itu tuntutan untuk menghindari pendapat yang melawan pendapat umum akan terlihat dari conflict avoidance yang tinggi.

Tuntutan pekerjaan karyawan Indonesia dapat dilihat dari job descriptionnya. Perlu dilihat tuntutan pekerjaan individu apakah memungkinkan untuk mengembangkan peran dan kompetensi ICSnya. Contohnya, bagian program budaya yang perlu banyak memahami dan memberi informasi mengenai budaya Jerman akan lebih besar active sensitivity-nya dibanding bagian keuangan yang konteks interkulturalnya hanya dengan atasan. Sama halnya pada praktisi yang memiliki teman kerja beda budaya dan mahasiswa yang kuliah di luar negeri skor active sensitivity lebih tinggi. Hal ini dikarenakan tuntutan dari posisi mereka


(54)

24

Universitas Kristen Maranatha yang mengharuskan mereka secara aktif memahami budaya, dan memodifikasi perilaku sesuai dengan pemahaman tersebut.

Faktor internal pertama adalah latar belakang pendidikan. Dalam penelitian Hadiprodjo (2007) dikatakan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dimiliki akan menunjang kemampuan dalam melakukan musyawarah mufakat. Berdasarkan penelitian tersebut menujukkan bahwa kemampuan musyawarah mufakat seseorang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman semakin tinggi dimensi musyawarah untuk mufakat.

Faktor internal kedua yang mempengaruhi ICS adalah pengalaman interkulturalnya. Menurut Ward (1996, dalam Grace 2005 dalam Hadiprodjo 2007) seseorang yang hidup dalam keragaman akan lebih siap menerima perbedaan budaya. Orang Indonesia memiliki sejarah pertemuan interkultural yang berdampak pada tingginya dimensi ICS multiculturality. Namun menurut Panggabean (2004) pengalaman interkultural yang dihadapi dengan learning by doing dan tidak sistematis tidak cukup untuk mengelola perbedaan yang ada. Berdasarkan pernyataan ini tentunya orang yang memiliki pengalaman interkultural dalam setting informal dimana mereka menyesuaikan diri secara learning by doing akan memiliki ICS yang berbeda dengan mereka yang belajar melalui training atau orientasi dalam konteks kerjasama interkultural.

Berdasarkan pengalaman interkultural sebelum bekerja di Lembaga kebudayaan Jerman, Subjek dibedakan berdasarkan tiga konteks. Konteks A adalah subjek yang mengenyam pendidikan tinggi di jurusan sastra Jerman di


(55)

25

universitas nasional. Interaksi interkulturalnya adalah hubungan mahasiswa-dosen. Konteks B adalah subjek yang pernah bekerja dengan orang Jerman sebelum bekerja di Lembaga Kebudayaan Jerman. Interaksi interkulturalnya adalah hubungan atasan-bawahan atau rekan kerja. Konteks C adalah subjek yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Jerman sebelum bekerja di Lembaga Kebudayaan Jerman ini. Interaksi interkulturalnya adalah hubungan dosen-mahasiswa, sesama mahasiswa dan individu dengan lingkungan sosial. Subjek kemudian dikelompokan sesuai konteksnya.

Beberapa karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman pernah memiliki hubungan pekerjaan dengan orang berkebangsaan Jerman di tempat kerja sebelumnya. Beberapa menyelesaikan pendidikan tinggi di Jerman. Beberapa lainnya kuliah di tanah air namun memiliki pengalaman interaksi dengan beberapa dosen berkebangsaan Jerman ketika kuliah. Dua kelompok terakhir memiliki setting yang tidak terlalu formal dibanding pengalaman interkultural dalam setting kerja. Namun mereka yang menyelesaikan pendidikan tinggi di Jerman mendapatkan ‘pembekalan’ sebelum berinteraksi. Mereka inilah yang memiliki multiculturality, implicit communication dan active sensitivity yang lebih tinggi serta initial cautiousness yang lebih rendah.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud untuk mengetahui profil ICS pada karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman secara umum dan secara khusus berdasarkan lama bekerja, pendidikan terakhir serta pengalaman interkulturalnya. Peneliti juga bertujuan mencari tahu dimensi yang menonjol secara signifikan dalam profil kelompok serta dimensi mana saja yang


(56)

26

Universitas Kristen Maranatha dipengaruhi secara signifikan oleh latar belakang pendidikan, lama bekerja dan pengalaman interkultural.


(57)

2 7 U n iv e rs it a s K ri s te n M a ra n a th a

SKEMA KERANGKA PIKIR

Karyawan

Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman Intercultural Sensitivity (ICS) Group harmony multiculturality Active Sensitivity Conflict avoidance Initial cautiousness Implicit communication

Musyawarah untuk mufakat Faktor internal :

- Pendidikan terakhir - Pengalaman Interkultural Faktor eksternal :

- Perbedaan Budaya dimiliki karyawan Indonesia dengan budaya Jerman.

- Posisi karyawan Indonesia dalam kerjasama Kognitif Behavior Kognitif Afektif Kognitif Afektif Behavior Behavior Kognitif Afektif Behavior Kognitif Afektif Kognitif Afektif Behavior Behavior Kognitif Afektif Behavior


(58)

28

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Dimensi yang menonjol tinggi pada karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman kota Jakarta adalah group harmony dan

musyawarah untuk mufakat.

2. Karyawan Indonesia pada Lembaga kebudayaan Jerman memiliki dimensi Initial Cautiousness dan Conflict Avoidance di atas rata-rata. 3. Karyawan Indonesia pada Lembaga kebudayaan Jerman memiliki

dimensi Implicit Communication di bawah rata-rata.

4. Tingkat pendidikan terakhir karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman berpengaruh positif terhadap dimensi musyawarah untuk mufakat.

5. Karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Jerman memiliki dimensi active sensitivity, multiculturality dan implicit communication menonjol tinggi.


(59)

1

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai Profil ICS pada Karyawan Indonesia di lembaga Kebudayaan Jerman sebagai berikut :

1) Dimensi yang paling tinggi hingga paling rendah pada profil umum ICS pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah sebagai berikut, Group harmony Musyawarah Mufakat, Conflict avoidance, Initial cautiousness, Implicit communication, Multiculturality dan Active sensitivity.

2) Dimensi yang menonjol tinggi pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Group harmony. Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menganggap penting memelihara iklim positif, kekompakan dan harmoni dalam kelompok.

3) Dimensi yang menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Active sensitivity. Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman kurang memanfaatkan pemahaman budaya yang mereka miliki untuk memodifikasi perilaku agar sesuai dengan budaya yang dihadapi. Mereka masih menyelesaikan konflik budaya yang timbul dengan learning by doing.


(60)

2

Universitas Kristen Maranatha 4) Dimensi yang juga menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Dimensi yang menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah implicit communication. Mereka cukup peka pada komunikasi nonverbal, namun tidak mengandalkan bentuk konunikasi nonverbal saatberkomunikasi dengan orang Jerman.

5) Pendidikan terakhir pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menunjukan kecenderungan perbedaan signifikan pada dimensi Initial cautiousness. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah dimensi Initial cautiousness.

6) Lama bekerja pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menunjukan kecenderungan perbedaan signifikan pada dimensi Initial cautiousness. Semakin lama bekerja semakin rendah dimensi Initial cautiousness.

7) Pengalaman Interkultural pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman tidak menunjukan kecenderungan perbedaan pada ketujuh dimensi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:


(1)

1.6 Asumsi

1. Dimensi yang menonjol tinggi pada karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman kota Jakarta adalah group harmony dan

musyawarah untuk mufakat.

2. Karyawan Indonesia pada Lembaga kebudayaan Jerman memiliki dimensi Initial Cautiousness dan Conflict Avoidance di atas rata-rata. 3. Karyawan Indonesia pada Lembaga kebudayaan Jerman memiliki

dimensi Implicit Communication di bawah rata-rata.

4. Tingkat pendidikan terakhir karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman berpengaruh positif terhadap dimensi musyawarah untuk mufakat.

5. Karyawan Indonesia di lembaga kebudayaan Jerman yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Jerman memiliki dimensi active sensitivity, multiculturality dan implicit communication menonjol tinggi.


(2)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai Profil ICS pada Karyawan Indonesia di lembaga Kebudayaan Jerman sebagai berikut :

1) Dimensi yang paling tinggi hingga paling rendah pada profil umum ICS pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah sebagai berikut, Group harmony Musyawarah Mufakat, Conflict avoidance, Initial cautiousness, Implicit communication, Multiculturality dan Active sensitivity.

2) Dimensi yang menonjol tinggi pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Group harmony. Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menganggap penting memelihara iklim positif, kekompakan dan harmoni dalam kelompok.

3) Dimensi yang menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Active sensitivity. Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman kurang memanfaatkan pemahaman budaya yang mereka miliki untuk memodifikasi perilaku agar sesuai dengan budaya yang dihadapi. Mereka masih menyelesaikan konflik budaya yang timbul dengan learning by doing.


(3)

4) Dimensi yang juga menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah Dimensi yang menonjol rendah pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman adalah implicit communication. Mereka cukup peka pada komunikasi nonverbal, namun tidak mengandalkan bentuk konunikasi nonverbal saatberkomunikasi dengan orang Jerman.

5) Pendidikan terakhir pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menunjukan kecenderungan perbedaan signifikan pada dimensi Initial cautiousness. Semakin tinggi pendidikan semakin rendah dimensi Initial cautiousness.

6) Lama bekerja pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman menunjukan kecenderungan perbedaan signifikan pada dimensi Initial cautiousness. Semakin lama bekerja semakin rendah dimensi Initial cautiousness.

7) Pengalaman Interkultural pada Karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman tidak menunjukan kecenderungan perbedaan pada ketujuh dimensi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti mengajukan beberapa saran yaitu:


(4)

Universitas Kristen Maranatha 5.2.1 Saran Teoritis

1) Disarankan untuk meneliti lebih jauh peranan pengalaman interkultural dengan mengomparasikan subjek yang mengalami persiapan sistematis dalam menghadapi perbedaan budaya dengan yang tidak sistematis

2) Disarankan untuk melakukan penelitian ICS pada sampel yang berhadapan dengan budaya yang mirip dengan budaya Indonesia, untuk menggali peranan kekontrasan budaya yang dihadapi.

3) Disarankan untuk penelitian selanjutnya agar memberikan kuesioner secara langsung, untuk menjaga asas kesediaan, meningkatkan kelengkapan data dan objektifitas serta keakuratan hasil penelitian.

.

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi karyawan Indonesia di Lembaga Kebudayaan Jerman, disarankan untuk mengembangkan active sensitivity agar dapat menjembatani perbedaan budaya yang ada sehingga dapat bekerja optimal.

2) Bagi pimpinan karyawan Lembaga Kebudayaan Jerman, disarankan mengadakan training untuk mengembangkan active sensitivity mengingat pentingnya peranan dimensi ini terutama pada bagian yang paling sering berhadapan dengan kedua budaya seperti bagian kerjasama pendidikan, konsultasi pendidikan dan program budaya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan.1997. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Prilaku. Jakarta: Bumi Aksara.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Panggabean, H. (2004a). Characteristic of Intercultular Sensitivity in Indonesian- German Work Groups. Jakarta: Fatoklesar.

---. (2004b). Peran dan pengembangan Intercultural Sensitivity (ICS)

sebagai sebuah kompetensi strategis manusia Indonesia, Jurnal Psikologi Arkhe, 9 (2), 61-69.

---. (2004c). Profil Intercultural Sensitivity (ICS) mahasiswa Indonesia, Jurnal Psikologi, 14 (2), 72-91.

---. (2004d). Proses modifikasi kultural, Jurnal Psikologi, 10 (2), 49-65. Priyatno,Duwi. 2009. 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17.Yogyakarta :

Andi.


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Agato. 2008. Studi Deskriptif Mengenai Model Kompetensi pada Wartawan Koran ‘X’ di Jakarta. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Fakultas Psikologi.2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Hadiprojo, Anastasia P. 2007. Profil Intercultural Sensitivity (ICS) Pembantu Rumah Tangga Indonesia dalam Konteks Multikultural (PRT) dan Internasional (TKI). Skripsi. Jakarta : Universitas Katolik Atma Jaya

Suryani, Angela O. 2007. Uji Validitas alat ukur Intercultural Sensitivity Indonesia. Paper. Jakarta : Universitas Katolik Atma Jaya

http://www.mdbgroupinc.com. 2008. Developmental Model of Intercultural Sensitivity (online) diakses tanggal 2 November 2008.

http://cyberjob.cbn.net. 3 Desember 2006. Etika Bisnis, Lain Padang Lain Belalang. (online) diakses tanggal 31 Oktober 2008.

http://deutschlandisjerman.allespedia.com. 15 January 2007. “Sie” oder “Du”. (online) diakses tanggal 24 Oktober 2008

http://bebencute.blogspot.com. Lima Dimensi Kebudayaan Hofstede.(online) diakses tanggal 26 Februari 2010