PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DAN KELOMPOK KECIL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERUANGAN, BERPIKIR LOGIS DAN SIKAP POSITIP TERHADAP MATEMATIKASISWA KELAS VIII.

(1)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

LEMBAR PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ………..……….…...… 1

B.Rumusan Masalah ... 20

C.Tujuan Penelitian ……….. 21

D.Manfaat Penelitian ...……….. 23

E. Definisi Operasional ……….. 23

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 25

A. Kemampuan Keruangan (Spatial Ability) ………...….……… 25

1. Pengertian Kemampuan Keruangan ... 25

2. Aspek-aspek Kemampuan Keruangan …... 30

3. Gender dan Kemampuan Keruangan ... 38

B. Berpikir Logis dalam Matematika ... 41

C. Sikap Siswa terhadap Matematik ... 48

D. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik ………… 54

E. Pembelajaran Kelompok Kecil ... 70

F. Implementasi Pendekatan PMR dan Kolompok Kecil dalam Pembelajaran . ... 79

G. Hipotesis Penelitian ... 81

BAB III. METODE PENELITIAN ... 82

A.Jenis dan Desain Penelitia ... 82

1.Jenis Penelitian ... 82


(2)

x

B.Variabel Penelitian .………... 84

C.Subjek Penelitian ………..….…… 85

D.Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ..……….. 97

1. Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM) ... 97

2. Tes Kemampuan Keruangan ... 101

3. Tes Kemampuan Berpikir Logis... 105

4. Angket Sikap ... 109

E. Pengembangan Bahan Ajar... 113

F. Analisa Data .………. 117

G.Kegiatan Pembelajaran………... 119

H.Prosedur Penelitian ..……….. 121

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 124

A. Hasil-hasil yang Terkait dengan Kemampuan Keruangan ... 125

1. Deskripsi Kemampuan Keruangan berdasarkan Pembelajaran ... 125 2. Deskripsi Kemampuan Keruangan berdasarkan Pembelajaran Pengetahuan Awal Matematika .….…… 129

3. Deskripsi Kemampuan Keruangan berdasarkan Kemampuan Berpikir Logis (KBL) ………...…... 140

4. Deskripsi Kemampuan Keruangan Siswa berdasarkan Jenis Kelamin ………..……….. 150

5. Intisari Hasil Analisis Data Kemampuan Keruangan….. 158

B. Hasil-hasil yang Terkait dengan Kemampuan Berpikir Logis ... 160

1. Deskripsi Kemampuan Berpikir Logis berdasarkan Pembelajaran... 161

2. Deskripsi Kemampuan Berpikir Logis berdasarkan Pembelajaran dan PAM .………...… 166

3. Intisari Hasil Analisis Data Kemampuan Berfikir Logis. 175 C. Hasil-hasil yang Terkait dengan Sikap terhadap Matematika 177 1. Deskripsi Sikap Positip terhadap Matematika berdasarkan Pembelajaran... 177

2. Deskripsi Sikap Positip terhadap Matematika berdasarkan Pembelajaran dan PAM .…... 187

3. Intisari Hasil Analisis Data Sikap Positip terhadap Matematika ... 195


(3)

xi

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 198

1. Faktor Pembelajaran ……….. 198

2. Kemampuan Keruangan ... 204

3. Berpikir Logis ... 206

4. Sikap terhadap Matematika ... 210

5. Pengetahuan Awal Matematika ……...…………. 213

6. Gambaran Proses Pembelajaran …………....………… 214

BAB V. Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi ………....…… 220

A.Kesimpulan ………...………….……….

B.Implikasi ………..….………….……….

C.Rekomendasi ………..

220 221 223 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(4)

xii

DAFTAR TABEL

Uraian Halaman

Tabel 2.1 Deskripsi Aspek dan Indikator Pengembangan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Logis ………..……….……….

47

Tabel 2.2 Sintak Penerapan Pendekatan RME dalam Kelas …..…. 78 Tabel 2.3 Sintak Pembelajaran dengan Pendekatan RME dan

Kelompok Kecil ... 79 Tabel 3.1 Tabel Weiner Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat

dan Kontrol (Pengetahuan Awal Matematika) ... 84 Tabel 3.2 Tabel Weiner Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat

dan Kontrol (Jenis Kelamin dan Berfikir Logis) ...…… 85 Tabel 3.3 Daftar Sekolah dan Pembagian Kelompok Penelitian … 88 Tabel 3.4 Sebaran Jumlah Siswa pada Setiap Kelompok Sampel

Penelitian ………....…………... 88

Tabel 3.5 Kriteria Pengelompokkan Sampel Penelitian ... 89 Tabel 3.6 Distribusi Jumlah Siswa Kelompok Tinggi, Sedang, dan

Rendah pada Setiap Sekolah berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ... 90 Tabel 3.7 Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas

Data Antara PMR dan PMB Setiap Level Sekolah ... 91 Tabel 3.8 Deskripsi Kesetaraan Rataan PAM antar Kelompok

PMR dan PMB pada Setiap Level Sekolah ………. 92 Tabel 3.9 Deskripsi Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas PAM

berdasarkan Kelompok PMR dan PMB…….………….. 93

Tabel 3.10 Deskripsi Rataan PAM Sampel Penelitian Kelompok

PMR dan PMB ………....… 94

Tabel 3.11 Deskripsi Data PAM Sampel Penelitian berdasarkan

Level Sekolah ………... 95

Tabel 3.12 Deskripsi Data PAM Sampel Penelitian berdasarkan

Level Pembelajaran ………...………... 96

Tabel 3.13 Deskripsi Hasil Uji Kesetaraan Rataan PAM antar Level

Sekolah ………...…...………. 97

Tabel 3.14 Deskripsi Hasil Uji Reliabillitas Validitas Soal Tes

Pengetahuan Awal Matematika ... 100 Tabel 3.15 Deskripsi Aspek Kemampuan Keruangan dan Indikator


(5)

xiii

Uraian Halaman

Tabel 3.16 Deskripsi Hasil Uji Reliabillitas Validitas Butir Tes

Kemampuan Keruangan (KK) ... 104 Tabel 3.17 Deskripsi Aspek dan Kisi-kisi Pengembangan Naskah

Tes Berfikir Logis ……….…..……… 105

Tabel 3.18 Bobot Skor Setiap Kriteria Jawaban Soal Berpikir Logis 106 Tabel 3.19 Deskripsi Hasil Uji Validitas Tes Berpikir Logis ... 108 Tabel 3.20 Kisi-kisi Pengembangan Angket Sikap terhadap

Matematika ……….……….………. 109

Tabel 3.21 Deskripsi Hasil Uji Reliabillitas Validitas Angket Sikap 112 Tabel 3.22 Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis dan Jenis Uji

Statistik ...……….…….. 118 Tabel 3.23 Perbandingan Model Paedagogik Kelas Eksprimen dan

Kontrol ... 120 Tabel 4.1 Deskripsi Kemampuan Keruangan berdasarkan

Pembelajaran ... 125 Tabel 4.2 Deskripsi N-Gain KK Siswa berdasarkan Aspek-aspek

Keruangan ... 126 Tabel 4.3 Uji Perbedaan Peningkatan KK Siswa berdasarkan

Pembelajaran ………...……..……… 129 Tabel 4.4 Deskripsi N-Gain, Deviasi Standar Kemampuan

Keruangan Siswa berdasarkan Pembelajaran dan PAM... 129 Tabel 4.5 Rekapitulasi Rataan N-Gain Kemampuan Keruangan

Siswa berdasarkan Pembelajaran dan Level PAM ... 131 Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Data KK berdasarkan

Pembelajaran dan PAM ………...………. 132

Tabel 4.7

Hasil Uji Perbedaan Peningkatan KK Antar

Pembelajaran berdasarkan Level PAM ... .…...……… 133 Tabel 4.8 Deskripsi Rataan N-Gain KK dan Selisihnya Antar

Level PAM Siswa Kelompok PMR ... 134 Tabel 4.9 Uji Perbedaan Peningkatan KK Ketiga Level PAM

Siswa Kelompok PMR ... 135 Tabel 4.10 Uji Perbedaan Peningkatan KK Antara Level PAM

Siswa Kelompok PMR ... 136 Tabel 4.11 Hasil Uji ANAVA Dua Jalur Uji Interaksi


(6)

xiv

Uraian Halaman

Tabel 4.12 Deskripsi Rataan N-Gain, Deviasi Standar KK

berdasarkan Pembelajaran dan KBL..………. 140 Tabel 4.13 Rekapitulasi Rataan N-Gain KK Siswa berdasarkan

Pembelajaran dan KBL ... 142 Tabel 4.14 Hasil Uji Normalitas Data KK berdasarkan

Pembelajaran dan KBL ………..…………. 142

Tabel 4.15 Hasil Uji Perbedaan Peningkatan KK Siswa Antar

Pembelajaran berdasarkan Level KBL ...….. 144 Tabel 4.16 Rekapitulasi Rataan N-Gain KK Siswa dan Selisihnya

Antar Level Kemampuan Berfikir Logis ... 144 Tabel 4.17 Uji Signifikansi Perbedaan Rataan Peningkatan KK

Siswa Kelompok PMR pada Ketiga Level PAM ... 146 Tabel 4.18 Rangkuman Hasil Uji Perbedaan KK Antar Level KBL

Siswa Kelompok PMR ……...………... 146 Tabel 4.19 Hasil Uji Anava Dua Jalur Interaksi Pembelajaran

dengan KBL dalam Peningkatan KK... 148 Tabel 4.20 Deskripsi Rataan N-Gain, Deviasi Standar KK Siswa

berdasarkan Pembelajaran dan Jenis Kelamin ………… 150 Tabel 4.21 Rekapitulasi Rataan N-Gain KK Siswa berdasarkan

Pembelajaran dan Jenis Kelamin ... 152 Tabel 4.22 Hasil Uji Normalitas Data KK berdasarkan

Pembelajaran dan Jenis Kelamin………... 152 Tabel 4.23

Hasil Uji Perbedaan Rataan Peningkatan KK antar

Pembelajaran berdasarkan Jenis Kelamin... 153 Tabel 4.24 Rekapitulasi Rataan N-Gain KK Siswa Kelompok PMR

dan Selisihnya berdasarkan Jenis Kelamin ... 154 Tabel 4.25 Uji Perbedaan Peningkatan KK Siswa Kelompok

PMR Ditinjau dari Jenis Kelamin …... 155 Tabel 4.26 Rangkuman Hasil Analisis Uji Anava Dua Jalur

Interaksi Pembelajaran dan Jenis Kelamin dalam

Peningkatan KK ... 156 Tabel 4.27 Deskripsi Umum Kemampuan Berpikir Logis Siswa

berdasarkan Pembelajaran…………... 161 Tabel 4.28 Deskripsi Rataan N-Gain KBL Siswa berdasarkan

Aspek Kemampuan Berpikir Logis... 162 Tabel 4.29 Deskripsi Hasil Uji Perbedaan Peningkatan KBL Siswa


(7)

xv

Tabel 4.30 Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Logis berdasarkan

Pembelajaran dan Level PAM………... 166 Tabel 4.31 Rekapitulasi Rataan N-Gain Kemampuan Berfikir Logis

Siswa berdasarkan Pembelajaran dan PAM ... 168 Tabel 4.32 Deskripsi Hasil Uji Normalitas Data KBL berdasarkan

Pembelajaran dan Level PAM ………... 168 Tabel 4.33

Hasil Uji Perbedaan Peningkatan KBL Siswa antar

Pembelajaran berdasarkan Level PAM ...…... 169 Tabel 4.34 Rekapitulasi Rataan N-Gain KBL Siswa Kelompok

PMR antar PAM dan Selisihnya ... 170 Tabel 4.35 Uji Perbedaan Peningkatan KBL Ketiga Level PAM

Siswa Kelompok PMR... 171 Tabel 4.36 Hasil Analisis uji Post Hoc Perbedaan Peningkatan KBL

antar Level PAM Siswa Kelompok PMR………... 172 Tabel 4.37 Rangkuman Hasil Uji Anava Dua Jalur Interaksi

Pembelajaran dan PAM dalam Peningkatan

Kemampuan Berfikir Logis ... 174 Tabel 4.38 Deskripsi Data Skor Sikap terhadap Matematika

berdasarkan Pembelajaran………...… 177

Tabel 4.39 Deskripsi Rataan N-Gain Skor setiap Aspek Sikap

terhadap Matematika ... 178 Tabel 4.40 Uji Perbedaan Peningkatan Sikap terhadap Matematika

berdasarkan Pembelajaran.…... 184 Tabel 4.41 Deskripsi N-Gain, Deviasi Standar Skor Sikap terhadap

Matematika berdasarkan Pembelajaran dan PAM ...… 185 Tabel 4.42 Rekapitulasi Rerataan N-Gain Skor Sikap terhadap

Matematika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan

PAM ... 187 Tabel 4.43 Hasil Uji Normalitas Data Sikap berdasarkan

Pembelajaran dan Level PAM ... 188 Tabel 4.44

Hasil Uji Perbedaan Peningkatan Sikap terhadap

Matematika antar Pembelajaran berdasarkan PAM ... 189 Tabel 4.45 Rekapitulasi Rataan Skor N-Gain Sikap dan


(8)

xvi

Uraian Halaman

Tabel 4.46 Uji Perbedaan Peningkatan Sikap Matematika Ketiga

Level PAM Siswa Kelompok PMR ... 191 Tabel 4.47 Hasil Analisis uji Post Hoc Perbedaan Sikap terhadap

Matematika antar Level PAM Siswa Kelompok PMR .. 192 Tabel 4.48 Rangkuman Hasil Analisis Dampak Pembelajaran dan

PAM Level Dalam Peningkatan Sikap Matematika ... 194 Tabel 4.49 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Dampak

Implementasi PMR terhadap Peningkatan Kemampuan Keruangan, Kemampuan Berpikir Logis dan Sikap


(9)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Hal

A.1 Satuan Pembelajaran Dan Lembar Aktivitas Siswa 233

A.2 Pengembangan Instrumen Penelitian 310

1. Kisi-kisi dan Naskah Tes Pengetahuan Awal Matematika ... 310

2. Kisi-kisi Tes KK dan Naskah Tes Kemampuan Keruangan ... 322

3. Kisi-kisi Pengembangan Tes KBL, dan Naskah Tes Kemampuan Berpikir Logis ……... 337

4. Pengembangan Indikator, Kisi-kisi, Pernyataan, dan Naskah Angket Sikap Terhadap Matematika ...…….… 348

Lampiran B B.1 Hasil Uji Coba 1. Rekapitulasi Data Kemampuan Awal Matematika dan Uji Kesetaraan Sampel ... 352 2. Rekapitulasi Hasil Pertimbangan Validator,Hasil Analisis Uji Keseragaman, dan Analisis Butir Tes PAM ... 367

3. Rekapitulasi Hasil Pertimbangan Validator,Hasil Analisis Uji Keseragaman, dan Analisis Butir Tes Kemampuan Keruangan ... 376

4. Rekapitulasi Hasil Pertimbangan Validator, Hasil Analisis Uji Keseragaman, dan Analisis Butir Tes Kemampuan Berpikir Logis 384

5. Rekapitulasi Hasil Pertimbangan Validator,Hasil Analisis Uji Keseragaman, dan Analisis Item Angket Sikap ... 391

B.2 Data Hasil Penelitian 1. Rekapitulasi Skor Kemampuan Keruangan Siswa ... 411

2. Rekapitulasi PAM, KBL dan KK Siswa ... 423

3. Rekapitulasi Skor Kemampuan Berpikir Logis Siswa ... 443

4. Rekapitulasi Skor Sikap Siswa Terhadap Matematika ... 468 Lampiran C

C.1 Hasil Analisis Data Kemampuan Keruangan ( Uji normalitas, homogen, perbedaan rataan dan interaksi)

494 C.2 Hasil Analisis Data Kemampuan Berpikir Logis

(Uji normalitas, homogen, perbedaan rataan dan interaksi)

523 C.-2 Hasil Analisis Data Sikap Terhadap Matematika

( Uji normalitas, homogen, perbedaan rataan dan interaksi)

537 Lampiran D


(10)

xviii

DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Bagan Proses Berpikir Menarik Kesimpulan ... 46

Gambar 2.2 Tahap Reinvention dalam RME ... 56

Gambar 2.3 Tahapan dalam Membangun Konsep Matematika ... 60

Gambar 2.4 Model Skematis Proses Matematisasi Konsep ... 65

Gambar 2.4 Proses Pemodelan dalam PMR ... 66

Gambar 4.1 Perbandingan Rataan Peningkatan KK berdasarkan Pembelajaran... 125

Gambar 4.2 Perbandingan Rataan Peningkatan Kemampuan Keruangan berdasarkan Pembelajaran dan PAM …... 130

Gambar 4.3 Perbandingan Rataan Peningkatan Kemampuan Keruangan berdasarkan Pembelajaran dan KBL ... 140

Gambar 4.4 Perbandingan Rataan Peningkatan Kemampuan Keruangan berdasarkan Pembelajaran dan Jenis Kelamin ... 150

Gambar 4.5 Perbandingan Rataan Peningkatan KBL berdasarkan Pembelajaran ... 161

Gambar 4.6 Perbandingan Rataan Peningkatan KBL berdasarkan Pembelajaran dan PAM ... 166

Gambar 4.7 Perbandingan Rataan Sikap Positip Siswa berdasarkan Pembelajaran ... 178 Gambar 4.8 Perbandingan Rataan Peningkatan Sikap terhadap Matematika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan PAM... 186

Grafik Grafik 4.1 Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KK ... 139

Grafik 4.2 Interaksi Pembelajaran dengan KBL terhadap KK ... 149

Grafik 4.3 Interaksi Pembelajaran dengan JK terhadap KK ... 157

Grafik 4.4 Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KBL .... 175


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, tidak terlepas dari peran matematika sebagai ilmu dasar. Disamping itu matematika juga yang memiliki nilai-nilai strategis dalam menumbuhkembangkan cara berfikir logis, bersikap kritis, dan bertindak rasional, penataan nalar, pembentukan sikap mental, dan penerapan matematika diberbagai permasalahan baik yang terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari maupun terkait dengan pengetahuan lain. Hal ini sesuai dengan tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan dalam

National Council of Teacher of Mathematics (2000) yaitu: (1) komunikasi matematika (mathematical communication); (2) penalaran matematika (mathematical reasoning); (3) pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving); (4) koneksi matematika (mathematical connections); (5) representasi matematik (mathematics representation). Sumarmo (2005) mengemukakan bahwa kemampuan-kemampuan di atas disebut dengan daya matematik (mathematical power) atau keterampilan matematika (doing math).

Keterampilan matematika (doing math) seperti melakukan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus-rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma) yang baku digolongkan kedalam aktivitas berpikir tingkat rendah. Sedangkan kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan


(12)

generalisasi, menalar secara logik, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematik, dan mengaitkan ide matematik dengan kegiatan intelektual lainnya digolongkan kedalam berpikir tingkat tinggi.

Keterampilan matematika (doing math) khususnya yang berkenaan dengan berpikir tingkat tinggi sampai saat ini masih menjadi sorotan oleh sejumlah pemerhati pendidikan matematika. Keprihatinan ini dipicu oleh kondisi nyata tentang kemampuan berpikir matematika siswa yang belum optimal dan berdampak pada kemampuan pemecahan masalah matematika. Salah satu indikator yang menunjukkan kemampuan matematika siswa belum optimal adalah hasil

assessment TIMSS (Trends in International Mathematics and Sciences Study)

tahun 2003 di bawah naungan International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IAEA), menempatkan siswa SMP di Indonesia pada peringkat 34 dari 40 negara yang berpartisipasi dalam penelitian ini (Lew, 2004). Dalam skala nasional, rata-rata hasil belajar matematika SMP pada Ujian Nasional (UN) tahun 2007 adalah 6,96, tahun 2008 adalah 6,69 dan 7,60 pada tahun 2009 (Sumber, BSNP 2009). Fakta ini menunjukkan baik dalam skala nasional maupun internasional prestasi matematika siswa khususnya di jenjang SMP belum optimal.

Belum optimalnya hasil belajar siswa menunjukkan bahwa masih terdapat bagian (topik) matematika yang belum terkuasai oleh siswa dengan baik, salah satu diantaranya adalah topik geometri. Fakta menunjukkan rata-rata hasil UN siswa pada topik geometri pada tahun 2007 adalah 4,32. Pada UN tahun 2008 menurun menjadi 3,92 dan pada UN tahun 2009 menurun lagi menjadi 3,57. Kondisi ini


(13)

merupakan suatu tantangan bagi pendidik dan pemerhati pendidikan matematika untuk melakukan perbaikan dalam pengelolaan pembelajaran.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan, unit geometri tampak merupakan unit dari pelajaran matematika yang tergolong sulit, antara lain terlihat bahwa murid sukar mengenal dan memahami bangun geometri terutama bangun-bangun ruang serta unsur-unsurnya. Kondisi ini ditemui di jenjang pendidikan dasar maupun menengah, Soedjadi (1991). Persepsi siswa dalam menangkap stimulus yang diberikan objek bangun ruang masih terikat pada bentuk tampilan gambar. Hal ini dapat dilihat dari fakta adanya sejumlah siswa berpersepsi bahwa alas suatu kubus adalah belah ketupat, Fauzan (1996).

Hasil studi pendahuluan Saragih (2008) pada tiga SMP di Pekanbaru menunjukkan bahwa kemampuan keruangan siswa kelas VIII dan IX masih rendah. Salah satu tes yang digunakan adalah perhatikan bangun kubus ABCD-EFGH dibawah ini.

Bentuk segi empat ABCD pada kubus tersebut adalah

Dari hasil tes diperoleh fakta sebagai berikut;

Sekolah I. 53,2% siswa kelas VIII dan 45,7% siswa kelas IX menjawab belah ketupat.

Sekolah II. 27,5% siswa kelas VIII dan 19,4% siswa kelas IX menjawab jajargenjang.

Sekolah III. 19,3% siswa kelas VIII dan 34,9% siswa kelas IX menjawab persegi.

E

G

A B

C D

F H


(14)

Penyelidikan tentang kemampuan keruangan siswa tidak hanya dilakukan di Indonesia, Bishop (1979) dalam hasil penelitiannya di Papua New Guinea menyimpulkan sejumlah siswa baik pada tingkat sekolah dasar maupun menengah, tidak mampu menafsirkan gambar-gambar dua dimensi sebagai wakil benda-benda tiga dimensi. Misalnya gambar prisma banyak ditafsirkan siswa sebagai bangun datar. Veron (dalam Ruslan, 1996) mengemukakan bahwa banyak anak-anak di Afrika yang tidak mampu menafsirkan gambar dua dimensi sebagai wakil benda tiga dimensi, meskipun yang digambar adalah hal-hal yang sesuai dengan lingkungannya. Fakta di atas merupakan indikator yang menunjukkan bahwa kemampuan keruangan siswa masih rendah.

Lemahnya kemampuan keruangan berdampak pada kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi, karena diyakini topik keruangan merupakan salah satu topik yang dapat disajikan sebagai sarana pembudayaan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Catel (dalam Ruseffendi, 2006) mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan matematika yang dapat menuntut siswa menggunakan kemampuan nalar dan berpikir kritis adalah memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan keruangan. Herawati (1994) menyatakan bahwa bagian dari matematika yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis antara lain adalah bagian geometri.

Kemudian Hofter (dalam Mashuri, 1998) mengemukakan bahwa salah satu keterampilan dasar dalam belajar geometri adalah kemampuan logika, yang meliputi mengenali kesamaan dan perbedaan gambar yang diberikan, mengenali gambar-gambar berdasarkan karakteristiknya, menentukan apakah gambar yang


(15)

diberikan termasuk dalam klasifikasi yang ditentukan, memahami dan mengaflikasikan sifat-sifat dalam setiap kelompok, mengidentifikasi konsekwuensi logis dari data yang diberikan. Manriquel, Nail, Sullivan dan Klein (1998) mengemukakan bahwa mahasiswa dengan level kemampuan spasial tinggi juga memiliki kemampuan berpikir logis lebih tinggi secara signifikan dibandingkan mahasiswa dengan level kemampuan spasial rendah.

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan keruangan berkorelasi dengan kemampuan berpikir logis sehingga dapat dikembangkan secara bersamaan dalam pembelajaran geometri, khususnya tentang bangun ruang. Sehubungan dengan itu guru seharusnya menyadari keterkaitan ini, agar dapat merencanakan pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan keruangan dan kemampuan berpikir logisnya secara bersamaan.

Rendahnya kemampuan keruangan dan kemampuan berpikir logis siswa tidak terlepas dari pengelolaan pembelajaran. Kenyataan di lapangan, umumnya guru matematika lebih menekankan bangun ruang dari aspek ingatan dan pemahaman seperti banyaknya titik sudut, rusuk, bidang sisi, mencari luas bidang sisi, dan volume. Meskipun sudah menggunakan alat peraga untuk menumbuhkan pengertian siswa tentang konsep-konsep bangun ruang, namun sering terjadi guru terburu membawa siswa memahami bangun ruang melalui gambar pada dua dimensi sebelum pengertian yang dibangun melalui alat peraga tersebut dipahami dengan baik. Guru jarang menjelaskan adanya perubahan tertentu bila objek tiga dimensi digambar pada bidang dua dimensi, sehingga memunculkan komplik kognitif dalam struktur berpikir siswa.


(16)

Disamping itu guru mungkin kurang menyadari bahwa siswa perlu memiliki pengetahuan yang lebih mendasar dan kuat untuk membangun pengetahuan matematika yang lebih formal menyebabkan siswa kesulitan memahami matematika, apabila dipandang sebagai pengetahuan formal yang abstrak. Karena hal ini kurang mendapat perhatian dari guru menyebabkan munculnya persepsi yang salah dari siswa dalam memandang bangun ruang. Oleh karena itu wajar bila masih banyak siswa memiliki persepsi bahwa alas sebuah bangun ruang balok berbentuk jajar genjang, atau diagonal sisi AC lebih panjang dari diagonal ruang DF dalam sebuah kubus ABCD-EFGH.

Rendahnya penguasaan geometri oleh siswa sebagai dampak pengelolaan pembelajaran yang kurang baik juga dikemukakan Kerans (1995) dan Soedjadi (1991) yakni metode yang digunakan guru kurang melibatkan aktivitas siswa dan strategi proses belajar yang digunakan oleh guru tidak sesuai dengan tingkat intelektual siswa. Sejalan dengan kedua pendapat tersebut dalam laporan hasil studi TIMSS (1999) yang dilakukan di 38 negara (termasuk Indonesia) oleh Mullis, et.al. (2000) dan Suryadi (2005) mengungkapkan bahwa sebagian besar kegiatan pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik atau kemampuan berpikir logis siswa. Kemudian Hudojo (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pembelajaran yang umum terjadi di lapangan saat ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan komunikasi matematis.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa salah satu factor yang menyebabkan lemahnya kemampuan keruangan siswa adalah


(17)

pengelolaan pembelajaran yang belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik atau kemampuan berpikir logis, kurang mengikut sertakan siswa dalam membangun pengetahuannya, dan strategi yang diterapkan kurang sesuai dengan perkembangan mental siswa. Memahami hal tersebut, maka tidak berlebihan jika reformasi pembelajaran dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa diawali dari upaya mereformasi pengelolaan pembelajaran. Cooney (dalam Sumarmo, 2005) menyarankan reformasi pembelajaran matematika dari pendekatan belajar meniru (menghapal) ke belajar pemahaman yang berlandaskan pada pandangan knowing mathematics is doing mathematics yaitu pembelajaran yang menekankan pada

doing atau proses dibandingkan dengan knowing that. Disamping itu agar dalam membangun pengetahuan tersebut menyenangkan, materi yang disajikan guru disesuaikan dengan kebutuhan siswa (masalah kontekstual). Paradigma ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dan menyenangkan dalam menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep matematika, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi dan aplikasi.

Perlu suatu keyakinan dalam diri guru bahwa prestasi belajar siswa yang tinggi dapat dicapai jika pengelolaan pembelajaran terfokus pada pengembangan kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi seperti berfikir logis atau penalaran. Mullis, et.al. (2000), dan Suryadi (2005) mengemukakan bahwa pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi siswa yang tinggi. Sebagai contoh, pembelajaran matematika di Jepang dan Korea yang lebih menekankan pada aspek


(18)

penalaran dan pemecahan masalah mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam tes matematika.

Reformasi pembelajaran sebagaimana yang dikemukakan di atas mengarah kepada pemberdayaan siswa dalam membangun pengetahuannya, dengan memberikan kesempatan mengembangkan kemampuan penalarannya melalui aktivitas menemukan konsep, prinsip atau aturan dalam matematika, dan menyelesaikan masalah-masalah tidak rutin. Mengingat perkembangan intelektual anak seumur siswa SMP yang secara umum masih berada pada tahap peralihan, maka dalam membangun pengetahuan tentang konsep, prinsip atau aturan dalam matematika seharusnya berangkat dari hal yang konkrit ke abstrak (bottom up). Sehubungan dengan itu, pemanfaatan konteks nyata dipadang sangat relevan digunakan dalam membangun pengetahuan matematika siswa.

Sejalan dengan hal tersebut Bruner (dalam Hudojo, 1981) mengemukakan bahwa cara terbaik bagi seseorang siswa untuk memulai belajar tentang konsep, prinsip atau aturan dalam matematika adalah dengan cara mengkonstruksikan konsep, prinsip atau aturan itu sendiri dan lebih baik lagi, bila siswa itu menggunakan konteks-konteks nyata yang mereka alami dalam merumuskan ide-ide tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam membangun kemampuan keruangan anak seumur siswa sebaiknya dilakukan dengan memanfaatkan konteks-konteks nyata yang mereka alami. Ben-Claim, Lappan and Houang (1988) menemukan bahwa aktivitas subjek untuk membangun, menilai dan mensketsa model-model bangun ruang yang dibuat dari dadu-dadu atau kubus-kubus dapat meningkatkan kemampuan visualisasi ruang. Sedangkan Braukman dan Pedras


(19)

(1993) mengemukakan bahwa aktivitas spasial yang berbeda tidak diperlukan untuk mencapai perbedaan dalam penampilan kemampuan keruangan. Mereka menemukan bahwa dengan menggunakan perlengkapan yang tradisional sama efektifnya dengan menggunakan bantuan komputer dalam meningkatkan kemampuan keruangan siswa.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengalaman sehari-hari, aktivitas memanipulasi objek-objek model bangun yang sederhana dalam pembelajaran memberikan kontribusi terhadap kemampuan keruangan. Disamping itu, penggunaan model-model bangun ruang yang dikenal siswa dalam kehidupannya (model tradisional) lebih cepat diterima. Disisi lain hal ini dapat memotivasi mereka karena dapat melihat keterkaitan/aplikasi materi yang dipelajari dalam hidup keseharian mereka. Terkait dengan hal ini, Henning Seu (dalam Halmaheri, 2004) mengemukakan bahwa agar kecakapan siswa “doing matematis” berkembang, pembelajaran harus menjadi lingkungan dimana siswa mampu terlibat secara aktif dalam banyak kegiatan bermanfaat. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam membangun kemampuan keruangan siswa, guru sedapat mungkin menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa terlibat aktif disalamnya dengan memanfaatkan model-model bangun ruang yang mereka kenal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kemampuan keruangan siswa adalah menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa menemukan kembali (re-invention) konsep, prinsip dan sifat-sifat keruangan dengan memanfaatkan konteks nyata yang mereka kenal dalam kehidupannya


(20)

sehari-hari. Pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika yang dapat mengakomodasi tuntutan di atas. Hal ini didasarkan pada ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali

(re-invention) ide dan konsep matematika melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world dengan bimbingan orang dewasa dan secara bertahap berkembang menuju kepemahaman matematika.

Dalam kegiatan pembelajaran siswa adalah subjek dan mitra guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, kondisi siswa sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan selama siswa belajar matematika akan membentuk sikap mereka terhadap pelajaran matematika dan hal ini akan terlihat pada perilaku mereka saat belajar matematika. Slameto (1995) mengemukakan bahwa sikap terbentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang, imitasi, sugesti, dan melalui identifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman belajar matematika yang menyenangkan siswa secara berulang-ulang akan memberikan image positip siswa terhadap matematika, sehingga bermuara pada perubahan sikap positp siswa terhadap matematika.

Harus diakui bahwa sikap siswa terhadap pelajaran matematika sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku guru dalam memfasilitasi, membimbing dan memotivasi siswa dalam belajar matematika. Sehubungan dengan itu, maka kedekatan emosional antara guru dengan siswa harus dibangun dengan baik, agar terjalinya suatu hubungan yang harmonis dalam kegiatan belajar. Di sinilah guru harus memainkan perannya sebagai mitra siswa dalam belajar yang senantiasa


(21)

bersikap terbuka dalam memfasilitasi, membimbing dengan prinsip scaffolding dan memotivasi dalam setiap kesempatan. Memberikan solusi terbaik dalam menanggapi pertayaan/masalah yang diajukan siswa dengan tetap memegang teguh pemberdayaan siswa dalam membangun pengetahuannya. Pendekatan PMR menempatkan peran guru seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka jika peran tersebut dapat terlaksana dengan baik diyakini akan menumbuhkembangkan sikap positip siswa terhadap matematika.

Disisi lain pemberdayaan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah kontekstual diawal pembelajaran akan memberikan nuansa tersendiri dalam belajar siswa. Dengan cara belajar sedemikian rupa siswa akan melihat keterkaitan materi yang dipelajari dengan kenyataan yang mereka alami, sehingga mereka akan merasakan matematika adalah suatu kebutuhan dalam menyelesaikan masalah yang mereka alami sendiri. Jika sikap yang demikian mulai terpatri dalam diri siswa, secara perlahan image siswa bahwa belajar matematika adalah belajar rumus akan dapat diminimalkan. Jika kondisi ini dilakukan secara berulang-ulang maka akan membentuk karakter sikap positip siswa terhadap matematika. Dalam pendekatan PMR pengajuan masalah kontekstual merupakan strating point dalam setiap kegiatan pembelajaran, sehingga diyakini dapat menumbuhkembangkan sikap positip siswa terhadap matematika.

Dalam pembelajaran matematika realistik, siswa mengembangkan cara-cara penyelesaian masalah yang diberikan menurut cara-cara-cara-cara mereka sendiri. Sehubungan dengan itu, baik secara individual atau kelompok siswa memberikan kontribusinya dengan strategi-strategi penyelesaian yang dikembangkan sendiri


(22)

oleh siswa (free production) yang difasilitasi oleh guru. Dengan demikian maka tidak dapat dihindari bahwa interaksi antara siswa dengan guru dan antar siswa merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik. Bentuk interaksi yang terjadi dapat berupa negoisasi secara eksplisit, intervensi kooperatif, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan, refleksi, dan evaluasi sesama siswa atau oleh guru.

Adanya interaksi antar siswa dalam memberikan kontribusinya akan berdampak pada pola berpikir siswa. Siswa akan menata struktur berpikirnya sehingga ide-ide atau gagasan yang dikemukakannya diterima dengan baik oleh temannya. Terciptanya situasi didaktik pedagogik yang dapat mendorong siswa untuk menata proses berpikirnya, secara perlahan namun pasti akan meningkatkan kemampuan berpikir logis dan kritis siswa. Disamping itu, proses pemodelan dari

model of ke model for yang dikembangkan siswa dalam suatu diskusi dibawah bimbingan guru, merupakan suatu proses yang logis dan dapat dirasakan sendiri oleh siswa. Aktivitas belajar yang berulang-ulang melalui pemodelan ini akan melatih siswa dalam membentuk kemampuan berfikir logis mereka. Konteks ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan RME dapat menumbuhkembangkan kemampuan berfikir logis siswa. Berkaitan dengan hal ini, Ruseffendi (2001) menyatakan bahwa untuk membudayakan berpikir logis atau kemampuan penalaran serta bersikap kritis dan kreatif, proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik.

Beberapa penelitian tentang penerapan pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) menunjukkan suatu hasil yang cukup menggembirakan,


(23)

diantaranya, hasil studi di Puerto Rico yang menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004 dan Haji, 2005). Di dalam negeri, melalui penelitian pengembangan (Developmental Research)

Armanto (2002) mengembangkan suatu prototipe tentang alur dan strategi pembelajaran lokal secara PMR dalam topik perkalian dan pembagian bilangan di kelas IV SD di Indonesia (di kota Medan dan Yogyakarta). Fauzan (2002) mengembangkan dan menerapkan model yang sama dalam pembelajaran geometri (luas dan keliling bangun) di kelas IV SD di Indonesia (di kota Padang dan Surabaya). Kedua hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan RME memberikan perubahan yang positif terhadap aktivitas siswa, dimana mereka lebih aktif dan kreatif, tidak selalu tergantung pada guru dan sudah memberikan kontribusi dalam memecahkan contextual problems serta kemampuan dalam memecahkan soal cerita semakin baik.

Penyelidikan terhadap dampak penerapan pendekatan RME tidak hanya dilakukan di sekolah dasar. Zulkardi (1999), penerapan pendekatan RME di jenjang SMU dan SMP sangat menarik bagi siswa. Sahat (2007), penerapan pendekatan RME dapat meningkatkan hasil belajar matematika dan sikap positif siswa SMP di kota Medan terhadap pelajaran matematika. Yuwono (1999), penerapan RME memberikan pengaruh positip terhadap kemampuan matematika horisontal siswa SMP. Fakta ini merupakan indikator yang menunjukkan bahwa penerapan pendekatan RME di jenjang sekolah menengah memberikan pengaruh


(24)

yang positif khususnya terhadap hasil belajar dan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran matematika di SMP.

Diakui bahwa penggunaan benda-benda konkret dalam pembelajaran matematika sebaiknya diberikan kepada siswa dimana perkembangan intelektualnya masih berada pada tahap konkret. Menurut teori Piaget, tahapan perkembangan mental siswa yang berumur 7-12 tahun masih pada tahap konkret. Namun berdasarkan hasil penelitian Sumarmo (1987) anak-anak di Indonesia yang seumur dengan siswa SMU masih banyak yang belum mencapai tahap formal. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan mental anak-anak Indonesia yang seumur dengan siswa SMP masih berada pada tahap konkret atau semi formal. Pernyataan ini setidaknya memberikan asumsi bahwa anak-anak di Indonesia yang seumur dengan siswa SMP masih memerlukan konteks-konteks nyata dalam memahami matematika. Dengan demikian penerapan pendekatan RME dimana starting point-nya berangkat dari kondisi-kondisi nyata dalam pembelajaran matematika di SMP dipandang masih relevan dan dibutuhkan.

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa interaksi antara siswa dengan guru dan antar siswa merupakan bagian penting dalam pendekatan matematika realistik. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan PMR memberikan ruang bahwa interaksi tersebut dapat terjadi dalam bentuk kelompok atau individu. Namun jika kelompok tersebut tidak terorganisasi dengan baik maka tidak tertutup kemungkinan interaksi yang dibangun hanya didominasi oleh siswa-siswa yang pandai. Sedangkan siswa yang kurang pandai karena merasa malu mereka kurang aktif dan hanya menunggu arahan dari guru dalam menyelesaikan


(25)

tugas-tugasnya. Hal ini mengingat, dalam PMR siswa didorong untuk memecahkan masalah kontekstual yang secara umum dalam bentuk soal cerita sehingga menuntut siswa untuk berpikir matematika tingkat tinggi.

Disatu sisi mengingat subjek berasal dari level sekolah menengah yang kemampuan akademik siswanya lebih heterogen, maka tidak tertutup kemungkinan terdapat sejumlah siswa yang memiliki kemampuan kurang pandai. Mengingat karakteristik siswa yang kurang pandai seperti malu bertanya, kurang mampu mengembangkan ide-ide dan cepat menyerah maka tidak tertutup kemungkinan jika belajar dalam kelompok tidak teroganisasi dengan baik maka siswa tersebut tidak akan memperoleh keuntungan yang optimal dalam belajarnya, malah dapat berujung pada rasa prustasi dan bosan. Memahami kondisi ini maka untuk mengomtimalkan keuntungan yang akan diperoleh siswa dalam belajarnya melalui pemecahan masalah, maka menempatkan siswa dalam kelompok kecil dengan kemampuan akademik yang heterogen dan teroganisir dengan baik dipandang sangat tepat.

Beberapa pendapat berkaitan dengan hal di atas, Rey et al (1998) pemecahan masalah dapat dikerjakan dengan mudah melalui diskusi kelompok besar, tetapi proses pemecahan masalah akan lebih praktis bila dikerjakan dalam kelompok kecil yang bekerja secara kooperatif. Saptuju (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan penerapan belajar dalam kelompok kecil meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.

Memahami permasalahan di atas, maka pengorganisasian siswa dalam kelompok kecil sehingga setiap anggota kelompok dapat bekerja bersama dengan


(26)

baik dalam pemunculan ide-ide dalam pemecahan masalah kontekstual dan untuk mengotimalkan keuntungan yang diperoleh siswa dari pemecahan masalah tersebut maka belajar dalam kelompok kecil adalah alternative yang sangat tepat. Salah satu strategi pembelajaran yang mendukung terciptanya suasana belajar dimana siswa dapat berinteraksi secara optimal adalah belajar dalam kelompok kecil. Lie (2005) mengungkapkan bahwa belajar dalam kelompok kecil Cooperative Learning memberikan landasan teoritis bagaimana siswa dapat sukses belajar bersama orang lain. Dalam Cooperative Learning, siswa dipandang sebagai makhluk sosial yang dapat saling berinteraksi yang menguntungkan sesama.

Keheterogenan anggota dalam kelompok kecil menurut Larson (dalam Manus,1996) menunjukkan kemampuan mengemukakan ide-ide lebih baik daripada kelompok homogen. Menurut Malone (1997) keheterogenan siswa dalam kelompok kecil, membuat kelompok lebih hidup karena pada setiap kelompok terdapat siswa pandai yang dapat membimbing atau membantu siswa lain dalam kelompok yang berkemampuan kurang. Sebaliknya siswa yang berkemampuan lemah, tidak merasa enggan untuk berdiskusi dengan siswa yang pandai, sehingga dapat terjadi kolaborasi antar siswa tanpa melihat perbedaan latar belakang. Kaimudin (2003) mengemukakan, aktivitas belajar matematika selama pembelajaran pemecahan masalah melalui kelompok tergolong tinggi.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa belajar dalam kelompok kecil lebih baik dibandingkan dengan belajar secara indivudial, karena dengan adanya saling bergantung secara positip akan meningkatkan interaksi antar siswa dalam bentuk negoisasi, interkuin dan klarifikasi tentang masalah yang dihadapi siswa. Hal ini


(27)

akan mendorong siswa untuk menata struktur berpikirnya dan mengembangkan kemampuan berpikirnya, kemampuan kognitif, dan keterampilan personalnya.

Selama berlangsungnya proses pembelajaran, setiap siswa mendapat kesempatan yang sama dalam menerima perlakuan guru. Munculnya perbedaan hasil belajar antara satu dengan lainnya diyakini oleh faktor lain, seperti minat, inteligensia, motivasi atau sarana yang dimiliki siswa secara individu yang mempengaruhi eksistensi keterlibatan mereka dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini tentu tidak terlepas dari strategi pembelajaran yang diterapkan guru. Ruseffendi (2006) mengemukakan, perbedaan kemampuan yang dimiliki siswa bukan semata-mata merupakan bawaan dari lahir, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lingkungan belajar khususnya pendekatan pembelajaran menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Artinya, pemilihan pendekatan pembelajaran harus dapat mengakomodasi kemampuan matematika siswa yang heterogen sehingga memaksimalkan hasil belajar siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi pembelajaran yang diterapkan guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa, baik laki-laki maupun perempuan.

Secara umum, laki-laki dan perempuan berbeda minimal dapat ditinjau dari tiga segi yakni biologis, kognitif dan psikologi. Atkinson (1991) mengatakan bahwa terdapat bukti hubungan antara masa kematangan dengan kemampuan khusus yang dimiliki seseorang. Berdasarkan hasil studi remaja yang berusia 10-16 tahun, yang terlambat matang secara pisik ternyata lebih baik dalam tugas visual-keruangan daripada yang cepat matang, apapun jenis kelaminnya. Semakin terlambat para remaja mencapai pubertas semakin baik penampilan, pada


(28)

tugas-tugas keruangan dibandingkan dengan tugas-tugas-tugas-tugas verbal. Mengacu pada pendapat di atas dan mengingat dari segi fisik khususnya, maka perempuan lebih cepat matang dibandingkan dengan laki-laki menyebabkan adanya perbedaan kemampuan dalam tugas-tugas keruangan.

Pengaruh kemampuan siswa juga disebabkan oleh perbedaan inteligensia siswa. Catel (dalam Ruseffendi, 2006) mengungkapkan bahwa secara umum otak atau itelegensia manusia terbagi dua bagian, yakni bagian cair (otak bagian kiri) dan bagian kristal (otak bagian kanan). Bagian kristal digunakan untuk menyelesaikan soal-soal atau permasalahan rutin, dan bagian cair digunakan untuk menyelesaikan soal-soal tidak rutin antara lain pemecahan masalah dan keruangan. Senada dengan Catel, Bogen et al (dalam Willis, 1980) mengemukakan bahwa otak bagian kiri lebih unggul daripada otak sebelah kanan dalam memproses berbagai tugas-tugas keruangan. Sedangkan Gross et al (dalam Willis, 1980) mengemukakan bahwa pada manusia normal, otak sebelah kiri lebih unggul dalam persepsi terhadap stimulus eksternal, yang meliputi konfigurasi-konfigurasi keruangan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa secara umum otak kiri laki-laki lebih besar dari pada otak kiri perempuan. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki belahan otak kiri yang lebih besar dibandingkan perempuan, maka laki-laki lebih unggul dalam tugas-tugas keruangan dibandingkan perempuan.

Maizam et al (2004) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan yang berhubungan dengan gender dalam tugas-tugas keruangan secara umum. Laki-laki lebih unggul pada beberapa tugas spatial dibanding perempuan dan pada sisi lain


(29)

perempuan lebih unggul dalam tugas-tugas spatial. Pernyataan di atas diperkuat oleh Mitzel (1982) yang mengemukakan bahwa perbedaan keberhasilan belajar dalam keruangan antara laki-laki dengan perempuan tidak signifikan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh faktor gender terhadap kemampuan keruangan pada aspek-aspek tertentu. Dengan kata lain, laki-laki lebih unggul pada beberapa aspek kemampuan keruangan dan perempuan mungkin lebih unggul pada aspek lainnya.

Matematika adalah ilmu terstruktur dan bersifat hirarkis, sehingga untuk menguasai suatu konsep B yang didasari dengan penguasaan konsep A tidak mungkin berhasil jika konsep A tidak dikuasai dengan baik. Dengan kata lain, pemahaman materi atau konsep baru yang mensyaratkan penguasaan materi atau konsep sebelumnya perlu menjadi perhatian dalam urutan proses pembelajaran. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Begle (Darhim, 2004) bahwa salah satu faktor prediktor terbaik untuk hasil belajar matematika adalah hasil belajar matematika sebelumnya, dan peran variabel kognitif lainnya tidak sebesar variabel hasil belajar matematika sebelumnya.

Dari uraian di atas, maka penyelidikan terhadap dampak penerapan pendekatan PMR dengan kelompok kecil dalam pembelajaran geometri khususnya yang terkait dengan kemampuan keruangan dan berfikir logis dipengaruhi oleh kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah) dan gender. Hal ini merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti.


(30)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pokok yang menjadi kajian dalam penelitian ini terfokus pada perbedaan peningkatan kemampuan keruangan (KK), kemampuan berfikir logis (KBL) dan sikap positif terhadap matematika antara pendekatan PMR dan PMB ditinjau dari (1) keselurhan siswa, (b) level pengetahuan awal matematika (PAM), (c) jenis kelamin (JK). Secara rinci rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KK antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil dengan PMB, ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) setiap level PAM; (c) antar level KBL; dan (d) jenis kelamin?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KK siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan PMR dan kelompok kecil ditinjau dari: (a) antar level PAM; (b) antar level KBL; dan (c) antar jenis kelamin?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan: (a) PAM, (b) KBL; dan (c) jenis kelamin, dalam peningkatan KK siswa?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KBL siswa antara yang pembelajarannya menggunakan PMR dan kelompok kecil dengan PMB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b). PAM ?

5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan KBL siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR dan kelompok kecil antar level PAM ?

6. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM dalam peningkatan KBL siswa?


(31)

7. Apakah terdapat perbedaan peningkatan sikap positif siswa antara yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil dengan PMB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b). PAM ?

8. Apakah terdapat perbedaan peningkatan sikap positif siswa antara yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil antar level PAM?

9. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan PAM terhadap dalam peningkatan sikap positif siswa terhadap matematika?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut,

1. Untuk meningkatkan kemampuan keruangan, kemampuan berpikir logis dan sikap positip terhadap matematika siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.

2. Untuk mengetahui apakah peningkatan KK antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMB, ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) setiap level PAM; (c) setiap level KBL; dan (d) JK.

3. Untuk mengetahui apakah peningkatan KK siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan PMR dan kelompok kecil berbeda ditinjau dari: (a) antar level PAM; (b) antar level KBL; dan (c) antar JK.


(32)

4. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan: (a) PAM; (b) KBL; dan (c) JK, dalam peningkatan KK.

5. Untuk mengetahui apakah peningkatan KBL siswa antara yang pembelajarannya menggunakan PMR dan kelompok kecil lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan PMB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) PAM.

6. Untuk mengetahui apakah peningkatan KBL siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR dan kelompok kecil berbeda antar level PAM.

7. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan PAM dalam peningkatan KBL siswa.

8. Untuk mengetahui apakah peningkatan sikap positif terhadap matematika antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b). PAM.

9. Untuk mengetahui apakah peningkatan sikap positif siswa antara yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PMR dan kelompok kecil berbeda antar level PAM.

10. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan pengetahuan awal matematika dalam peningkatan sikap positif siswa terhadap matematika.

D. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, seperti :


(33)

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru matematika khususnya, dalam menerapkan Pembelajaran Matematika Realistik sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

2. Sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam peningkatan kualitas pembelajaran matematika, untuk meningkatkan kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap positif terhadap matematika.

3. Sebagai bagian dari pengembangan bahan ajar pendidikan matematika, khusus dalam topik geometri bangun ruang.

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap beberapa variabel yang digunakan maka perlu penjelasan.

1. Kemampuan keruangan adalah kemampuan atau keterampilan mental yang dimiliki manusia untuk menemukan, memanggil kembali dan mentransformasi informasi visual tentang ruang yang terdiri dari Spatial Visualization, Spatial Relations, Spatial Perception, Spatial Orientation, dan Spatial Dissembling.

2. Kemampuan berpikir logis dalam matematika adalah kemampuan menggunakan aturan, sifat-sifat, karakteristik atau logika matematika (berpikir induktif dan deduktif) dalam membuat kesimpulan benar yang terdiri dari kemampuan Analogi, Generalisasi, Kondisional, Silogisma. 3. Sikap terhadap matematika adalah kecenderungan seseorang untuk


(34)

bersumber dari pengalaman belajar matematika, kegunaan matematika dan dorongan dalam belajar matematika.

4. Pendekatan PMR adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik: menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan kontribusi siswa, terjadinya interaksi dalam proses pembelajaran, menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. 5. Pengetahuan awal matematika adalah pengetahuan matematika yang

dimiliki siswa sebelum perlakuan, yang diperoleh melalui tes dengan ruang lingkup materi semester I kelas VIII yang sesuai dengan kompetensi dasar yang dimuat dalam KTSP.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen karena penelitian ini dilakukan dalam seting sosial, dengan memberikan suatu perlakuan kepada sekelompok sampel dan mengkaji dampak dari perlakuan tersebut. Adapun perlakuan yang diberikan adalah pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dan kelompok kecil. Selanjutnya, agar dampak perlakuan yang diberikan tidak bias, maka peneliti berupaya semaksimal mungkin mengontrol variabel-variabel luar yang tidak menjadi fokus kajian dalam penelitian.

Dampak dari pemberian perlakuan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap terhadap matematika yang disebut sebagai variabel terikat. Sedangkan perlakuan yang dikenakan kepada kelompok sampel penelitian disebut variabel bebas. Untuk melihat dampak dari perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperimen, maka dampak tersebut perlu dibandingkan dengan kelompok sampel yang tidak dikenakan perlakuan. Dalam penelitian eksperimen, sampel yang demikian disebut kelompok control. Jadi dalam penelitian ini sampel kelompok control tidak diberikan perlakuan khusus, sehingga siswa yang termasuk kelompok ini hanya dibelajarkan dengan pembelajaran biasa (konvensional)


(36)

2. Desain Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang diajukan, maka dampak pemberian perlakuan yang akan dimanipulasi dalam penelitian ini adalah kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap terhadap matematika sebagai variabel terikat. Sedangkan perlakuan yang diberikan yakni pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dan kelompok kecil sebagai variabel bebas. Kemudian berdasarkan jenis perlakuan, terdapat dua kelompok sampel penelitian yakni sampel kelompok eksperimen dan siswa kelompok control. Agar hasil-hasil penelitian ini lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka penetapan kelompok sampel penelitian atas kelompok eksperimen dan control dilakukan secara acak.

Memperhatikan kedudukan kedua variabel penelitian, yakni variabel bebas dan variabel terikat serta tehnik penetapan kelompok sampel penelitian sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka desain penelitian yang relevan digunakan adalah desain Pretes and Postest Group Design (Tuckman, 1978; Ruseffendi, 1998; McMillan & Schumacher, 2001). Adapun desain penelitian yang dimaksud, adalah:

A : O X1 O

A : O X2 O

Keterangan:

A : Pengambilan sampel secara acak kelas

X1 : Penerapan pembelajaran PMR dan kelompok kecil

X2 : Penerapan pembelajaran matematika secara konvensional


(37)

Penetapan kelompok sampel penelitian atas kelompok eksperimen dan kontrol mempertimbangkan pengelompokan siswa dalam rombongan belajar yang ada di sekolah. Setiap kelas penelitian diberikan pretes dan postes (O) untuk mengukur kemampuan keruangan, kemampuan berpikir logis dan sikap terhadap matematika. Skor hasil pre dan post tes tersebut merupakan data penelitian yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan.

B. Variabel Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka variabel penelitian yang menjadi pokok kajian terdiri dari variabel bebas yakni pembelajaran dengan pendekatan PMR dan kelompok kecil. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan keruangan (KK), kemampuan berfikir logis (KBL) dan sikap terhadap matematika dan variabel kontrol yang terkait adalah kemampuan awal matematika dan jenis kelamin. Tabel Weiner berikut secara singkat menggambarkan keterkaitan ketiga variabel penelitian, yakni variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol.

Tabel 3.1

Tabel Weiner Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol (Pengetahuan Awal Matematika)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN

KEMAMPUAN YANG DIUKUR KEMAMPUAN

KERUANGAN (U)

KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS (Lg)

SIKAP TERHADAP MATEMATIKA (K) PMR (A) PMB (B)

T PMR (A)

PMB (B)

T PMR (A)

PMB (B)

T

PAM

TG (T) UTA UTB UT LgTA LgTB LgT KTA KTB KT SDG(S) USA USB UB LgSA LgSB LgS KSA KSB KS RDH(R) URA URB UR LgRA LgRB LgR KRA KRB KR


(38)

Keterangan (Contoh):

A adalah Pendekatan pembelajaran matematika realistic; U : Kemampuan keruangan B adalah Pendekatan pembelajaran biasa; Lg. Kemampuan berfikir logis; K Sikap UAT : kemampuan keruangan siswa yang dibelajarkan dengan PMR klpk PAM tinggi. LgAT : kemampuan berpikir logis siswa yang dibelajarkan dengan PMR klp PAM tinggi KAT : sikap terhadap matematika siswa yang dibelajarkan dengan PMR klpk PAM tinggi

Tabel 3.2

Tabel Weiner Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol (Jenis Kelamin dan Berfikir Logis) PENDEKATAN

PEMBELAJARAN

KEMAMPUAN YANG DIUKUR KEMAMPUAN KERUANGAN (U)

PMR (A) PMB (B) Keseluruhan

JK

W UWA UWB UW

LL ULA ULB UL

KBL

T ULgTA ULgTB ULgT

S ULgSA ULgSB ULgS

R ULgRA ULgRB ULgR

Keterangan (Contoh):

UWA adalah kemampuan keruangan wanita dengan pendekatan PMR

ULgSA adalah kemampuan keruangan siswa pada level kemampuan berfikir logis sedang yang dibelajarkan dengan pendekatan PMR

C. Subjek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri se- Kabupaten Siak Tp. 2010/2011. Adapun yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan populasi ini adalah: (1) karena materi pokok kajian dalam penelitian ini adalah topik geometri yang berkaitan dengan kemampuan keruangan. Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) materi tentang bangun ruang sisi datar dan sifat-sifatnya disajikan di kelas VIII; (2) perkembangan intelektual anak seumur siswa kelas VIII secara umum masih belum formal, maka mempelajari bangun ruang dengan pemanfaatan masalah-masalah kontekstual masih sangat relevan; (3) berdasarkan studi terdahulu, penerapan pendekatan PMR di jenjang


(39)

sekolah menengah (SMU dan SMP) memberikan dampak positip terhadap keaktifan siswa, sikap dan hasil belajar siswa.

Penetapan sekolah dengan level menengah sebagai subjek penelitian mengingat pada level ini kemampuan akademik siswanya relatif heterogen. Disamping pertimbangan tersebut, Darhim (2004) berpendapat bahwa sekolah yang berasal dari level tinggi (baik) cenderung memiliki hasil belajar yang lebih baik tetapi baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang dilakukan, demikian juga dengan sekolah yang berasal dari level rendah (kurang), cenderung hasil belajarnya akan kurang (jelek) dan kurangnya (jelek) itu bisa terjadi bukan akibat kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan. Memperhatikan pendapat di atas maka cukup beralasan untuk menetapkan sekolah-sekolah dengan level menengah dijadikan subjek penelitian. Dengan kata lain sekolah-sekolah level tinggi dan rendah tidak diikutkan sebagai sampel penelitian.

Setelah menetapkan bahwa sampel penelitian adalah sekolah-sekolah yang berada pada level menengengah, maka untuk penetapan sampel yang menjadi subjek penelitian, digunakan teknik pengambilan sampel berstrata (stratified random sampling). Teknik ini dipilih karena sampel yang terambil dari kelompok-kelompok yang berbeda akan mewakili karakteristik masing-masing kelompok-kelompok populasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ruseffendi (1998) bahwa teknik berstrata digunakan agar subjek-subjek populasi yang bersifat heterogen tersebut dapat terwakili sesuai karakteristik masing-masing.


(40)

Memperhatikan tehnik –tehnik pengambilan sampel di atas, maka dalam penelitian ini tehnik penetapkan sampel sebagai sugjek penelitian dilakukan dengan cara menetapkan sebanyak 50% dari proporsi sekolah berada pada level menengah, setelah sebanyak 25% dari sekolah yang berada pada level tinggi dan bawah ditetapkan. Dasar pertimbangan menetapkan 50% untuk sekolah level menengah agar peluang memperoleh sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan yang lebih heterogen dapat terpenuhi.

Selanjutnya dari sekolah-sekolah level menengah tersebut, dipilih secara acak sebuah sekolah yang mewakili 25% level bawah, 25% level atas dan 50% level menengah. Cara ini dipilih atas pertimbangan, agar subjek penelitian dapat mewakili semua sekolah level menengah dari urutan ranking yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Siak. Secara singkat proses penetapan sampel penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Bagan Penetapan Sampel Penelitian SMPN DILINGKUNGAN DINAS PENDIDIKAN

25 % Level Tinggi 50 % Level Menengah 25 % Level Tinggi

25 % Level Tinggi 50 % Level Menengah 25 % Level Tinggi

Setiap level dipilih secara acak satu sekolah, dan setiap sekolah dipilih secara acak dua kelas dari beberapa kelas pararel sebagai subjek penelitian.


(41)

Dengan tehnik penetapan sampel seperti di atas, maka diperoleh tiga sekolah sebagai sampel penelitian. Selanjutnya dari setiap sekolah ditetapkan secara acak satu kelas eksperimen dan satu kelas control. Dengan demikian diperoleh sekolah dan kelas yang dijadikan sampel, kelas eksperimen dan kelas control seperti yang dimuat pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3

Daftar Sekolah dan Pembagian Kelompok Penelitian

Nama Sekolah Kelompok Eksperimen Kelompok Control

SMPN 23 SIAK Kelas VIII-B Kelas VIII-A

SMPN 7 SIAK Kelas VIII-C Kelas VIII-D

SMPN 4 SIAK Kelas VIII-C Kelas VIII-B

Selanjutnya dari penetapan sampel seperti dimuat pada Tabel 3.3 maka diperoleh sebaran jumlah siswa pada setiap kelompok sampel, yang dimuat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Sebaran Jumlah Siswa pada Setiap Kelompok Sampel Penelitian

Nama Sekolah/ Level

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Jumlah

SMPN 23 SIAK/ Tinggi 32 32 64

SMPN 7 SIAK/Sedang 34 34 67

SMPN 4 SIAK/Rendah 28 39 68

Total 93 105 199

Selanjutnya dengan menggunakan data hasil tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM), ditetapkan pengelompokan PAM siswa atas tiga level, yakni siswa dengan level PAM tinggi, sedang dan rendah. Adapun kriteria penetapan level tersebut didasarkan pada rataan ( ) dan simpangan baku (Sb), yakni:


(42)

PAM + SB : siswa level PAM tinggi – SB PAM < + SB : siswa level PAM sedang

PAM < - SB : siswa level PAM rendah

Berdasarkan kriteria di atas dan data hasil tes PAM kedua kelompok siswa (eksperimen dan control) diperoleh = 62,0 dan Sb = 10,3. Dengan demikian kriteria batasan pengelompokan level PAM ditetapkan sebagai berikut:

Tabel. 3.5

Kriteria Pengelompokan Sampel Penelitian

Kriteria Pengelompokan Level PAM

skor PAM 72,3 Tinggi

51,7 skor PAM 72,3 Sedang

skor PAM < 51,7 Rendah

Memperhatikan kriteria level PAM tersebut, maka diperoleh sebaran data tentang jumlah siswa untuk kelompok eksperimen (PMR) dan kelompok kontrol (PMB) pada setiap level PAM, seperti yang dimuat pada Tabel 3.6

Tabel 3.6

Distribusi Jumlah Siswa Kelompok Tinggi, Sedang, dan Rendah pada Setiap Sekolah berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Level PAM

Nama Sekolah Sekolah

Total

SMPN 23 SMPN 7 SMPN 4

PMR PMB PMR PMB PMR PMB

Tinggi 5 6 7 7 6 3 34

Sedang 23 20 21 21 12 29 126

Rendah 4 6 6 6 10 7 39


(43)

Mengingat jenis penelitian ini adalah eksperimen, maka setiap membandingkan dua kelompok sampel harus diuji kesetaraannya. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan yang terjadi antara kelompok eksperimen dan control diakhir pembelajaran, benar-benar akibat dari perlakuan yang diberikan. Sehubungan dengan itu, maka perlu dilakukan uji kesetaraan PAM kedua kelompok sampel. Uji kesetaraan yang dimaksud adalah (1) kesetaraan rata-rata PAM antar level sekolah; (2) kesetaraan rata-rata PAM antar kelompok ekperimen dan control pada setiap level sekolah; dan (3) kesetaraan rata-rata PAM antara kelompok eksperimen dan control secara keseluruhan. Data uji kesetaraan ini dikumpulkan dengan melakukan tes kepada semua siswa kelompok sampel penelitian. Adapun rekapitulasi data PAM tersebut dimuat pada Lampiran B.1 (hal 352)

1. Uji Kesetaraan Rataan PAM antar Kelompok PMR dengan PMB pada setiap Level Sekolah

Tujuan uji ini adalah untuk memastikan bahwa kelas eksperimen dan kontrol pada setiap level sekolah memiliki rataan PAM yang setara. Dengan kata lain tidak ada perbedaan yang signifikan rataan PAM antara kelas PMR dengan kelas PMB pada setiap level sekolah. Sebelum dilakukan uji perbedaan kesetaraan tersebut maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data masing-masing kelompok sampel. Rincian proses analisis uji normalitas dan uji homogen dapat dilihat pada Lampiran B.1 (hal 360) dan hasilnya dirangkum pada Tabel 3.7.


(44)

Tabel 3.7

Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data antara PMR dan PMB setiap Level Sekolah

Level Sekolah

Uji Normalitas Uji Homogen

Asymp Sig Kes Ho Asymp Kes Ho Uji

PMR PMB PMR PMB Sig Kesetaraan

Tinggi 0,195 0,379 Terima Terima 0,625 Diterima t

Sedang 0,161 0,032 Terima Tolak 0,960 Diterima Mann W U’

Rendah 0,195 0,097 Terima Terima 0,033 Tolak t’

Dari data pada Tabel 3.7 diperoleh informasi bahwa nilai sig uji normalitas untuk sekolah level tinggi berturut-turut 0,195 untuk PMR dan 0,379 untuk PMB. Sedangkan sekolah level rendah nilai sig uji normalitas berturut-turut 0,195 untuk PMR dan 0,095 untuk PMB. Mengingat nilai sig kedua pembelajaran untuk kedua level sekolah besar dari 0,095 maka disimpulkan data PAM siswa kedua level sekolah tersebut berdistribusi normal. Sedangkan pada sekolah level sedang diperoleh nilai sig uji normalitas sebesar 0,161 untuk PMR yang besar dari 0,05 dan 0,032 untuk PMB kecil dari 0,05. Dengan demikian disimpulkanbahwa data PAM siswa sekolah level sedang untuk kelompok PMR berdistribusi normal dan PMB tidak berdistribusi normal. Sehubungan dengan itu, maka untuk menguji kesetaraan rataan PAM siswa pada sekolah level sedang digunakan uji Mann Whitney U’.

Selanjutnya dari data pada Tabel 3.7 juga diperoleh informasi bahwa nilai

sig uji homogen untuk sekolah level tinggi dan sedang berturut-turut adalah 0,625 dan 0,960 yang besar dari 0,05. Dengan demikian disimpulkan data PAM siswa sekolah level tinggi dan sedang adalah homogen. Sedangkan untuk sekolah level rendah diperoleh nilai sig sebesar 0,033 yang kecil dari 0,05. Dengan demikian


(45)

disimpulkan data PAM siswa sekolah level rendah tidak homogen. Sehubungan dengan itu, maka untuk menguji kesertaan rataan PAM digunakan uji t’.

Selanjutnya untuk menguji kesetaraan rataan PAM siswa, hipotesis nol yang diuji adalah:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ1 ≠ μ 2, dengan

μ1 = rataan PAM siswa sekolah tinggi (atau sedang atau rendah) yang

mendapat pendekatan PMR

μ2 = rataan PAM siswa sekolah tinggi (atau sedang atau rendah) yang

mendapat pendekatan PMB

Dengan menggunakan α = 0,05, maka kriteria pengujian hipotesis:

Ho diterima jika nilai probabilitas (sig.) > 0,025, dalam hal lainnya, H0

ditolak.

Proses perhitungan uji perbedaan kesetaraan rataan PAM antar kelompok ekperimen (PMR) dan control (PMB) pada setiap level sekolah dimuat pada Lampiran B.1 (hal 360) dan hasilnya dirangkum pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8

Deskripsi Kesetaraan Rataan PAM antar Kelompok PMR dan PMB pada setiap Level Sekolah

Kelompok Sampel

/ Level Sekolah N Min. Max. Mean

Std. Deviation

Asymp. Sig t

Kes. Ho

PMR /Tinggi 32 50 87 63.59 9.408

0.038 Diterima

PMB/ Tinggi 30 47 86 63.50 9.923

PMR/Sedang 33 45 88 62.60 11.953

0.960* Diterima

PMB/Sedang 34 46 92 61.74 10.847

PMR /Rendah 28 49 90 60.866 11.401

0.308 Diterima

PMB / Rendah 39 50 85 60.103 8.660

* Uji kesetaraan digunakan uji statistik Man-Whitney U.

Fakta pada Tabel 3.8 menunjukkan bahwa nilai sig. uji kesetaraan rataan PAM siswa antara kelompok pembelajaran pada setiap level sekolah lebih besar dari 0,025. Hal ini berarti H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak


(46)

ada perbedaan yang signifikan rataan PAM siswa antara kedua kelompok pembelajaran yakni PMR dan PMB pada setiap level PAM. Dengan kata lain, rataan PAM siswa kelompok eksperimen dan kelompok control baik pada level sekolah tinggi, sedang dan rendah relatif sama.

2. Uji Kesetaraan Rataan PAM antara Kelompok Eksperimen dan Control secara Keseluruhan

Karena penelitian ini adalah penelitian eksperimen maka terdapat dua perlakuan yang berbeda kepada dua sampel yang berbeda yakni sampel yang diberi perlakuan pendekatan PMR dan sampel yang diberi perlakuan pendekatan PMB. Selanjutnya, agar kedua kelompok sampel tersebut dapat diperbandingkan maka perlu dijamin bahwa kedua kelompok sampel penelitian berada pada kondisi yang sama sebelum perlakuan dengan cara menguji kesetaraan PAM kedua kelompok sampel.

Untuk menguji kesetaraan rataan PAM tersebut maka diawali dengan uji normalitas dan homogenitas data kedua kelompok pembelajaran. Proses perhitungan uji normalitas dan homogenitas data menggunakan perangkat lunak SPSS-17 for Windows, yang dimuat pada Lampiran B.1 (hal 364), dan rangkuman hasilnya disajikan pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Deskripsi Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas PAM berdasarkan Kelompok PMR dan PMB

Klpk N Mean Std.Dev Uji Normalitas Uji Homogen Uji

Sig Kes Ho Sig Kes Ho Kesetraan

PMR 93 62,4 10,9 0,64 Terima 0,782 Terima Mann W

U


(47)

Dari data pada Tabel 3.9 diperoleh informasi bahwa nilai sig uji normalitas data PAM siswa yang dibelajarkan dengan PMR adalah 0,64 yang besar dari 0,05 dan data PAM siswa yang dibelajarkan dengan PMB adalah 0,003 kecil dari 0,05. Mengingat data PAM siswa kelompok PMR berdistribusi normal dan data PAM siswa kelompok PMB tidak berdistribusi normal, maka untuk menguji kesetaraan rataan PAM kedua kelompok digunakan uji Mann Whitney U. Kemudian dari uji homogenitas diperoleh nilai sig sebesar 0,782 yang besar dari 0,05, sehingga disimpulkan data PAM siswa kedua kelompok pembelajaran adalah homogen.

Tabel 3.10 berikut menggambarkan rataan, deviasi standar dari data PAM siswa kedua kelompok pembelajaran.

Tabel 3.10

Deskripsi Rataan PAM Sampel Penelitian Kelompok PMR dan PMB

Klpk N Rataan Std. Deviation Minimum Maximum

PMR 93 62.419 10.904 45 90

PMB 103 61.631 9.797 46 92

Selanjutnya, dari data pada Tabel 3.10 akan diuji kesetaraan rataan PAM antar kelompok ekperimen (PMR) dan control (PMB) secara keseluruhan dengan menggunakan uji Man-Whitney U. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ1 ≠ μ 2, dengan

μ1 = rataan PAM siswa yang mendapat pendekatan PMR

μ2 = rataan PAM siswa yang mendapat pendekatan PMB

Dengan menggunakan α = 0,05, maka kriteria pengujian hipotesis:

Ho diterima jika nilai probabilitas (sig.) > 0,025, dalam hal lainnya, H0 ditolak.

Proses perhitungan uji kesetaraan rataan PAM siswa antar kedua kelompok pembelajaran dengan menggunakan uji Man-Whitney dimuat pada


(48)

Lampiran B.1 (hal 364). Dari hasil analisis diperoleh Asymp. Sig = 0,782 yang lebih besar dari dari 0,025. Dengan demikian H0 diterima, sehingga disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan rataan PAM siswa kedua kelompok pembelajaran. Hal ini bermakna bahwa rataan PAM kedua kelompok pembelajaran relatif sama.

3. Uji Kesetaraan Rataan PAM antar Level Sekolah

Setelah ditetapkan sekolah yang menjadi sampel penelitian, yakni SMPN 23 yang mewakili sekolah level tinggi, SMPN 7 mewakili level sedang dan SMPN 4 mewakili level bawah kemudian diberikan tes PAM. Data hasil tes tersebut dimanfaatkan untuk menguji kesetaraan rataan PAM ketiga sekolah sampel penelitian. Tujuan dari uji ini adalah untuk memastikan bahwa ketiga level sekolah sampel penelitian berada pada kondisi (starting point) yang sama sebelum perlakuan diberikan. Tabel 3.11 memuat deskripsi rataan, standar deviasi dari data PAM ketiga ketiga level sekolah sampel penelitian yang dihitung menggunakan perangkat lunak SPSS-17 for Windows.

Tabel 3.11

Deskripsi Data PAM Sampel Penelitian berdasarkan Level Sekolah Nama Sekolah/

Level N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower

Bound

Upper Bound

SMPN 23/Tinggi 62 63.548 9.581 1.217 61.115 65.981 47 87 SMPN 7/Sedang 67 62.164 11.327 1.384 59.401 64.927 45 92 SMPN 4/Rendah 67 60.418 9.828 1.201 58.021 62.815 49 90 Total 196 62.005 10.318 .737 60.552 63.459 45 92


(49)

Berdasarkan data pada Tabel 3.11 dapat dikatakan bahwa siswa level sekolah tinggi memiliki rataan PAM yang lebih besar daripada siswa level sekolah sedang. Demikian juga siswa level sekolah sedang memiliki rataan PAM yang lebih besar daripada siswa level sekolah rendah. Hal ini memperkuat alasan pengambilan sampel ketiga level sekolah dan bahwa semakin tinggi level sekolah siswa, maka semakin tinggi pula rataan PAM yang dimilikinya.

Adanya perbedaan rataan PAM antar level sekolah perlu uji untuk menyakinkan kita bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan. Dengan kata lain, walaupun ada perbedaan rataan PAM antar level sekolah tersebut namun tidak signifikan. Hal ini mengingat dalam penelitian eksperimen sampel-sampel yang dapat diperbandingkan adalah sampel-sampel yang berada pada kondisi yang sama sebelum perlakuan diberikan. Untuk keperluan uji tersebut, diawali dengan homogenitas. Kemudian dari uji homogen dimuat pada Lampiran B.1 (hal 365), dan dari hasil analisis diperoleh nilai sig adalah 0,230 yang lebih besar dari 0,05, berarti H0 diterima. Artinya varians ketiga kelompok data adalah homogen.

Setelah dipastikan bahwa semua varians sampel penelitian sama, maka selanjutnya dilakukan uji kesertaraan (perbedaan rataan) PAM antar level sekolah dengan menggunakan uji Anava satu jalur.

H0 : μ1 = μ2 = μ3

H1 : paling sedikit salah satu rataan berbeda dengan yang lainnya, dengan

μ1, μ2, μ3 berturut-turut adalah rataan PAM sekolah tinggi, sedang dan

rendah.

Dengan menggunakan α = 0,05, maka kriteria pengujian hipotesis:

Ho diterima jika nilai probabilitas (sig.) > 0,025, dalam hal lainnya, H0


(50)

Proses perhitungan uji Anava tersebut dimuat pada Lampiran B.1 (hal 366) dan hasilnya dirangkuman pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13

Derkripsi Uji Kesetaraan Rataan PAM antar Level Sekolah

Jumlah Kuadrat df Rataan Kuadrat F Sig.

Antar Kelompok 318.148 2 159.074 1.502 0.225

Dalam Kelompok 20440.847 193 105.911

Total 20758.995 195

Dari Tabel 3.13 diperoleh informasi bahwa nilai probabilitas (sig.) = 0,225 yang lebih besar dari 0,025. Dengan demikian H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan rataan PAM siswa yang signifikan antara ketiga level sekolah. Dengan kata lain rataan PAM siswa ketiga level sekolah relative sama.

D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Secara umum instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah instrumen tes dan instrumen non tes. Instrumen tes yang dikembangkan adalah tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM), tes Kemampuan Keruangan (KK) dan tes Kemampuan Berpikir Logis (KLB). Sedangkan instrumen non tes adalah angket (questionnaire) sikap terhadap matematika.

1. Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM)

Pengetahuan Awal Matematika (PAM) dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengetahuan awal yang dimiliki pada pelajaran matematika sebelum perlakuan diberikan. Untuk mengumpulkan data PAM tersebut dilakukan tes kepada kedua kelompok sampel penelitian. Mengingat sampel penelitian ini


(51)

adalah kelas VIII semester-2 dan penelitiannya dilakukan diawal semester maka ruang lingkup materi tes PAM diambil dari materi kelas VIII semester-1. Penetapan ruang lingkup materi tes PAM ini dilakukan atas pertimbangan bahwa materi matematika yang disajikan pada semester-1 kelas VIII adalah materi yang paling representatif untuk menggambarkan pengetahuan matematika yang dimiliki siswa sebelum perlakuan diberikan.

Dalam mengembangkan tes PAM tersebut, diawali dengan menyusun kisi-kisi tes yang mengacu pada kompetensi dasar dan indikator yang dimuat dalam standar isi matematika. Berdasarkan kisi-kisi tersebut disusun butir tes PAM, kemudian dilakukan validasi isi dan muka oleh orang yang dianggap pakar. Pengukur validitas isi didasarkan pada kesesuaian butir soal yang menggambarkan aspek PAM yang diukur dengan indikator dalam standar isi dan indikator soal yang disusun. Sedangkan untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.

Hasil pertimbangan terhadap validitas isi dan validitas muka disajikan pada Lampiran B.1 (hal 367), kemudian dianalisis dengan menggunakan statistik Q-Cochran. Analisis statistik ini bertujuan untuk mengetahui apakah para penimbang memberikan pertimbangan terhadap setiap butir tes PAM secara seragam atau tidak. Hipotesis yang diuji adalah, Ho: para penimbang memberikan pertimbangan yang seragam. Kriteria pengujian adalah terima Ho jika probabilitas

sig > 0,05 dan keadaan lainnya Ho di tolak. Proses perhitungan uji Q-Cochran untuk uji keseragaman penimbang tentang validasi isi dimuat pada Lampiran B.1 (hal 368).


(1)

127


(2)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi dari hasil-hasil penelitian tersebut.

A. Kesimpulan

1. Secara umum penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan keruangan, kemampuan berpikir logis, dan sikap positip terhadap matematika.

2. Kemampuan keruangan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik dan kelompok kecil secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan matematika biasa baik ditinjau dari keseluruhan siswa, kemampuan awal matematika, kemampuan berpikir logis, dan jenis kelamin. 3. Kemampuan keruangan siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan PMR

dan kelompok kecil secara signifikan berbeda antar level pengetahuan awal matematika, antar level kemampuan berpikir logis, dan antar jenis kelamin. 4. Tidak ada interaksi pembelajaran dengan: (1) pengetahuan awal, (2)

kemampuan berpikir logis, dan (3) jenis kelamin dalam peningkatan kemampuan keruangan.

5. Kemampuan berpikis logis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik dan kelompok kecil secara


(3)

221

signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan matematika biasa baik ditinjau dari keseluruhan siswa, dan kemampuan awal matematika.

6. Kemampuan berfikir logis siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR dan kelompok kecil, secara signifikan berbeda antar level pengetahuan awal matematika.

7. Tidak ada interaksi pembelajaran dengan pengetahuan awal matematika dalam peningkatan kemampuan berfikir logis siswa.

8. Sikap siswa terhadap matematika yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik dan kelompok kecil yang signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan matematika biasa baik ditinjau dari keseluruhan siswa, dan kemampuan awal matematika.

9. Sikap positip siswa terhadap matematika yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik secara signifikan berbeda antar level pengetahuan awal matematika

10.Faktor pembelajaran dan pengetahuan awal matematika memiliki kontribusi bersama dalam peningkatan sikap positip siswa terhadap matematika.

B. Implikasi

Mengacu pada hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka implikasi dari hasil-hasil tersebut di uraikan berikut ini.

1. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil dapat dijadikan sebagai alternative strategi pembelajaran di jenjang SMP dalam upaya meningkatkan


(4)

kemampuan keruanga, kemampuan berpikil logis, dan sikap positip terhadap matematika.

2. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil direspon siswa dengan baik, oleh sebab itu strategi pembelajaran ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam mereformasi pengelolaan pembelajaran yang lebih berkualitas. 3. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil memungkinkan

berkembangnya kemampuan penalaran siswa dan direspon dengan baik oleh siswa, maka strategi pembelajaran ini dapat dijadikan sebagai alternative pembelajaran yang mendukung pendidikan matematika yang menyenangkan dan fokus pada pengembangan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah.

4. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil direspon dengan baik siswa, sehingga dipandang berpotensi untuk mengubah cara pandangan siswa bahwa belajar matematika bukan belajar tentang rumus tetapi belajar memahami matematika dari apa yang mereka alami dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal mendorong guru untuk selalu mengupayakan kegiatan pembelajaran dengan hal-hal kontekstual yang lebih bervariasi.

5. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil yang dikelola dengan baik oleh guru, memberikan nuansa paedagogik yang sangat konduksif khususnya bagi siswa yang memiliki kemampuan menengah dalam mengembangkan kemampuan matematis dan nilai-nilai afektif.

6. Penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil meningkatkan interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru, dapat mengembangkan kemampuan interpersonal siswa dalam belajar, sehingga guru perlu membuka


(5)

223

diri dalam menanggapi setiap respon siswa dan menyiapkan alternative pemotivasian yang sejalan dengan respon yang diberikan siswa.

7. Penempatan guru sebagai mediator dan fasilitator dalam pembelajaran mendorong guru untuk selalu memahami kelemahan dan kelebihan peserta didik dari karakteristik individual siswa yang dihadapi. Diyakini, jika hal ini dilakukan secara berkesinambungan dan didiskusikan dengan orang yang dianggap pakar akan berdampak positif terhadap profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran.

C. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian, diajukan beberapa saran sebagai berikut.

1. Pendekatan PMR dan kelompok kecil hendaknya menjadi alternatif strategi pembelajaran bagi guru di SMP khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap positif siswa terhadap matematika.

2. Pengembangan KK melalui pendekatan PMR dan kelompok kecil senantiasa memperhatikan upaya pengembangan kemampuan berpikir logis dengan memberikan penekanan pada setiap kesempatan yang memungkinkan seperti dalam bentuk intervensi atau diskusi-diskusi lain dan tidak hanya melalui kegiatan pelatihan.

3. Pengembangan KK melalui penerapan pendekatan PMR dan kelompok kecil secara khusus dan kemampuan matematika umumnya, senantiasa memperhatikan pengajuan masalah kontekstual yang sedapat mungkin


(6)

menggunakan kalimat yang sederhana, efektif dan komunikatif sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh siswa pada semua level kemampuan. 4. Kajian hubungan tentang KK dengan jenis kelamin baik yang terungkap

melalui penelitian ini maupun temuan sebelumnya mempertegas bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap KK. Namun kecenderungan jenis kelamin dalam aspek-aspek kemampuan keruangan tertentu belum dikaji dalam penelitian ini, sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam.

5. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pendekatan PMR dan kelompok kecil berdampak positif terhadap peningkatan kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap positif siswa terhadap matematika. Bagaimana dengan peningkatan aspek-aspek kemampuan keruangan, kemampuan berfikir logis dan sikap terhadap matematika dan korelasinya dengan PAM sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

6. Mengingat karakteristik pendekatan PMR yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran dan keterampilan personalnya maka peneliti selanjutnya dapat mengkaji kemampuan matematika yang lain seperti kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, representasi matematik dan nilai-nilai afektif lainnya yang dapat dikembangkan melalui PMR.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Teknik Scaffolding Terhadap Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa

6 54 244

PERBEDAAN SIKAP POSITIF DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DAN PEMBELAJARAN LANGSUNG DIKELAS VIII SMP.

1 4 39

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK.

0 1 35

PENERAPAN METODE PENDEKATAN REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PENALARAN Penerapan Metode Pendekatan Realistik Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran dalam Pemecahan Soal Matematika(PTK Pembelajaran Matematika SMK Negeri

0 0 16

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Intuisi dan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa.

0 1 55

PENERAPAN PENDEKATAN PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA.

0 2 53

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DAN KELOMPOK KECIL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERUANGAN, BERPIKIR LOGIS DAN SIKAP POSITIP TERHADAP MATEMATIKASISWA KELAS VIII.

1 6 87

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DAN KEMAMPUAN PENALARAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA.

0 0 18

Pembelajaran Matematika Realistik dan Pengembangan Kemampuan Berpikir

0 0 6

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

0 0 14